Anda di halaman 1dari 32

PERENCANAAN PEMBANGUNAN PERKEBUNAN KELAPA SAWIT

Secara sistimatis pembangunan perkebunan kelapa sawit terbagi dalam tiga tahap utama,
yakni 1)Tahap Investigasi Lahan dan Persiapan, 2)Tahap Pembangunan dan Konstruksi serta
3) Tahap Operasi dan Pemeliharaan.

Tahap Investigasi Lahan dan Persiapan

Pengkajian secara tahap demi tahap atas semua faktor yang terlibat dalam Investigasi Lahan
dan Persiapan pembangunan perkebunan kelapa sawit perlu didalami dengan seksama
sebelum membuat keputusan membangun perkebunan kelapa sawit, antara lain :

1. Lokasi dan Kesesuaian Lahan


2. Aspek Sosial
3. Pemilihan Benih
4. Asumsi dan Proyeksi
5. Manajemen Proyek

1. Lokasi dan Kesesuaian Lahan

Survey Pendahuluan

Sebelum pelaksanaan pembukaan areal dimulai, dilaksanakan studi kelayakan terlebih dahulu.
Studi kelayakan ini harus dilakukan melalui survey pendahuluan untuk memeriksa atau
melakukan investigasi atas lahan calon perkebunan yang akan dibangun. Pemeriksaan hanya
dilakukan sebatas luas yang tercantum pada ijin lokasi dengan kajian tentang kawasan (hutan
atau non hutan), aksesibilitas, status dan tata guna kawasan, kesesuaian lahan ( a.l.
agroklimat, kelerengan, kelas tanah,dll), kondisi sosial ekonomi wilayah dan dukungan
masyarakat sekitar calon perkebunan. Bila hasil kajian menyatakan bahwa lahan yang
diperiksa itu ternyata tidak layak, maka proyek sebaiknya tidak dilanjutkan. Namun apabila hasil
kajian menyatakan lahan tersebut layak, maka proses dapat dilanjutkan.

Studi Kawasan

Investor perlu memahami kawasan yang ditetapkan berdasarkan TGHK dan RTRWP. TGHK (Tata
Guna Hutan Kesepakatan) adalah pembagian hutan negara menurut fungsinya yaitu hutan lindung,
hutan konservasi, hutan produksi, serta hutan produksi yang dapat dikonversi. TGHK ditetapkan
sejak tahun 1983 oleh Departemen Kehutanan yang disepakati oleh Pemerintah Daerah serta
sektor lainnya. RTRWP (Rencana Tata Ruang Wilayah Propinsi) adalah pembagian tata ruang
wilayah propinsi sebagai penjabaran dari Undang Undang Tata Ruang Tahun 1992. Dalam RTRWP
dikenal pembagian ruang sebagai hutan lindung, kawasan budidaya kehutanan dan kawasan
budidaya nonkehutanan. Dalam implementasinya, sejak tahun 1993, antara TGHK dan RTRWP
dipaduserasikan. Salah satu propinsi yang hingga kini belum paduserasi adalah Kalimantan
Tengah. Di propinsi ini, masih 100 % diberlakukan TGHK, sehingga ijin lokasi yang diterbitkan oleh
Bupati setempat sering masih tumpang tindih dengan kawasan hutan menurut ketetapan TGHK.

Oleh karenanya, langkah awal yang penting dilakukan dalam memilih/mengambil alih lahan
adalah pemeriksaan Kawasan. Di Indonesia terdapat dua kawasan dengan Penggunaan yang
berbeda, yakni Kawasan Hutan dan Kawasan Non Hutan atau dikenal oleh kalangan
perkebunan sebagai Area Penggunaan Lain (APL). Pada Kawasan Hutan yang ditetapkan
berdasarkan TGHK maupun RTRWP, hanya Hutan Konversi yang masih memungkinkan untuk
di alih fungsikan menjadi APL apabila memperoleh persetujuan pelepasan kawasan hutan dari
Menteri Kehutanan, namun dengan prosedur yang tidak mudah dan dapat ditolak oleh Menteri
Kehutanan dengan pertimbangan tertentu. Sedangkan APL dapat digunakan untuk
pengembangan perkebunan dengan cukup mengajukan permohonan Ijin Lokasi kepada Bupati
setempat. Oleh karenanya, dalam perencanaan pembangunan perkebunan sebaiknya tidak
memilih lokasi yang masuk di dalam Kawasan Hutan dan untuk memastikannya, perlu
dilakukan Cross Check melalui Badan Pemetaan dan Planologi Nasional yang berada di Bogor.

Hutan Lindung
Hutan Konservasi
Kawasan Taman Hutan Raya

Hutan
Hutan Produksi
Tata Ruang Indonesia Hutan Konversi
Kawasan Area Penggunaan Lain
(APL)
Non Hutan

Studi Bio-physical

Pengkajian berikut adalah menyangkut tentang Pelestarian Lingkungan Hidup dan tentang
persyaratan tumbuh untuk produktifitas tanaman kelapa sawit. Letak ketinggian lahan, data
agroklimat, kemiringan lahan, gambut dalam dan jenis tanah sangat perlu diperhatikan untuk
memastikan bahwa lahan yang akan dipilih adalah sesuai baik dari tinjauan aspek Lingkungan
Hidup maupun dari aspek persyaratan tumbuh untuk produktifitas. Studi awal untuk
memperoleh informasi tentang kondisi diatas dapat dilakukan melalui intepretasi citra satelit
dan lain lain, namun sangat disarankan untuk melaksanakan survey lapangan dengan
menunjuk konsultan yang sudah berpengalaman.

Tanah

Kriteria kesesuaian Tanah untuk produktifitas tanaman kelapa sawit di klasifikasikan dalam
empat kelas dari Sangat Sesuai (S1), Sesuai dengan faktor pembatas minor(S2), Bisa Sesuai
dengan banyak faktor pembatas (S3) dan Tidak Sesuai (N), seperti dipaparkan pada tabel
berikut ini :
Kondisi Tanah S1 S2 S3 N
Kedalaman > 90 60 - 90 30 - 60 < 30
Tanah (cm)
Kemiiringan 0 – 12 ° 12 – 16 ° 16 – 24 ° > 24 °

Tekstur Sandy Clay Loam, Sandy loam Sandy loam Sand


Loam
Struktur Strongly Moderate.Developed Buruk Sangat Buruk
Developed
Konsistensi Gembur Agak Gembur Padat Sangat Padat
pH >4 3,5 - 4 3 – 3,5 <3
Permeabilitas Tidak Tergenang karena Tergenang Tergenang
Tergenang sumbat musiman permanen
Fragmen Tidak ada Tidak ada s/d 25 % laterit >25 % laterit
Batuan
Status Hara Subur Cukup Subur Kurang Subur Tidak Subur
Sumber : Malaysian Society of Soil Science 1977, diolah
Iklim

Salah satu parameter yang sering digunakan mewakili kondisi iklim adalah water deficit. Water
deficit merupakan interaksi kompleks dari elevasi, bulan kering, curah hujan dan penyinaran
matahari. Diketahui bahwa dampak signifikan dari besarnya water deficit per tahun sangat
tidak suitable untuk kelapa sawit sebab akan menyebabkan turunnya produktifitas hingga 54 –
65 % dan oleh sebab itu, area seperti ini menjadi tidak ekonomis buat perkebunan kelapa sawit.
Area tanpa adanya water deficit merupakan area yang ideal untuk kelapa sawit., namun water
deficit kurang dari 200 mm masih baik untuk kelapa sawit. Water deficit antara 200 – 300 m
menjadi faktor pembatas ringan untuk kelapa sawit, sedangkan area dengan water deficit
antara 300 – 500 mm menjadi area marginal land perkebunan kelapa sawit ( Caliman &
Southworth, 1998 ).

Berikut ini adalah peta perwilayahan (Zona) agroklimat di Indonesia dalam


hubungannya dengan perkebunan kelapa sawit.

ZONA KARAKTERISTIK DISTRIBUSI DAMPAK

1 Curah Hujan 1750 – 3000 mm ; Sumatera Utara bagian Water Deficit sekitar
timur, Aceh bagian timur, 200 mm per tahun;
1 bulan kering; lama penyinaran Bagian utara dan selatan
matahari 6 jam per hari Kepala Burung Papua,
Pantai utara Papua dan
sebagian di selatan Papua
Sangat Sesuai untuk
Kelapa Sawit

2 Curah Hujan 1750 – 3000 mm ; Hampir seluruh wilayah Water Deficit rendah
1 – 2 bulan kering; lama Riau, Jambi bagian namun radiasi
penyinaran matahari 6 jam per timur,Sumatera Selatan, matahari sangat kuat,
hari Pulau Aru, sebagian kecil sehingga produksi
di selatan Papua. dapat turun di musim
kemarau.

3 Curah Hujan > 3000 mm ; Aceh bagian Barat, Water Deficit rendah
Sumatera Utara bagian namun radiasi
1 – 2 bulan kering; lama Barat, Pulau Nias, matahari sangat kuat,
penyinaran matahari 5 – 5,5 jam Sumatera Barat bagian sehingga produksi
per hari utara. dapat turun di musim
kemarau.

4 Curah Hujan 2500 - 3000 mm ; Kalimantan Barat dan Water Deficit kurang
Papua bagian Barat dari 200 mm per
1 – 2 bulan kering; lama tahun; Sesuai untuk
penyinaran matahari 6 jam per Kelapa Sawit
hari

5 Curah Hujan > 3000 mm ; Sumatera Barat bagian Water Deficit rendah
selatan dan bagian utara namun radiasi
1 – 2 bulan kering; lama Bengkulu matahari sangat kuat,
penyinaran matahari 6 jam per sehingga produksi
hari dapat turun di musim
kemarau.

6 Curah Hujan 1450 – 1750 mm ; Sebagian kecil di utara Water Deficit 200 –
Kalimantan Timur, 300 mm radiasi
1 – 2 bulan kering; lama Sulawesi Tengah (kecuali matahari lemah,
penyinaran matahari 5 – 5,5 jam Palu dan sekitarnya) dan sehingga produksi
per hari bagian utara Maluku rendah.

7 Curah Hujan 1450 – 1750 mm ; Sumatera Selatan bagian Water Deficit 300 –
selatan, Bangka 400 mm, kontribusinya
1 – 3 bulan kering; lama Belitung,Lampung bagian menyebabkan
penyinaran matahari 6 jam per timur, sebagian kecil produksi sawit rendah.
hari Kalimantan Tengah,
Hampir seluruh Sulawesi
Selatan dan perbatasan
Papua dengan Papua
Nugini bagian selatan

8 Curah Hujan 1750 – 3000 mm ; Lampung bagian barat dan Water Deficit 200 –
sebagian kecil Jawa Barat 300 mm, sehingga
3 – 4 bulan kering; lama produksi rendah
penyinaran matahari 5,5 – 6 jam selama musim
per hari kemarau

9 Curah Hujan 1250 – 1450mm ; Palu dan sekitarnya, Water Deficit 300 –
hampir seluruh Sulawesi 400mm,
3 – 4 bulan kering; lama Tenggara, Maluku Tengah menyebabkan
penyinaran matahari 5,5 – 6 jam dan Maluku Selatan produksi sawit rendah.
per hari

10 Curah Hujan 1250 – 1450mm ; Bagian timur Jawa Barat, Tidak Sesuai untuk
Jawa Tengah, Jawa Timur, Kelapa Sawit
> 4 bulan kering; lama Bali, bagian selatan
penyinaran matahari 6 jam per Sulawesi Selatan dan
hari bagian selatan Sulawesi
Tenggara.

11 Curah Hujan < 1250 mm ; Sebagian Nusa Tenggara Sangat tidak


Barat dan seluruh Nusa direkomendasikan
> 4 bulan kering; lama Tenggara Timur untuk Kelapa Sawit.
penyinaran matahari 6 jam per
hari

Sebagai pegangan, disimpulkan bahwa Iklim yang sesuai untuk produktifitas tanaman kelapa
sawit adalah sebagai berikut :

- Iklim tropikal basah di daerah rendah(< 500 m dpl)


- Curah hujan 1750 - 3000 mm per tahun dan terdistribusi sepanjang tahun.
- Rata rata temperature minimum 20 - 23 oC dan Rata rata temperature maksimum 28o – 32o
C. Bila dimalam hari temperatur udara turun hingga dibawah 19o C, pembentukan Tandan
Buah akan terganggu yang pada akhirnya mempengaruhi Yield.
Pertumbuhan Bibit muda akan berhenti pada temperatur udara dibawah 15 o C.
- Penyinaran matahari rata rata 5 jam per hari setiap bulan dalam setahun dan sebanyak
banyaknya 7 jam per hari di bulan bulan tertentu .

Suvey Detil dan Tata Ruang Kebun

Perencanaan luas kebun yang akan dibangun serta tata ruangnya. Luas satu kebun biasanya
disesuaikan dengan kapasitas pabrik yang akan dibangun. Satu unit pabrik yang berkapasitas
30 ton TBS/jam disuplai oleh tanaman yang luasnya 6.000 ha, sedangkan yang berkapasitas
60 ton TBS/jam membutuhkan areal seluas 11.000 ha-12.000 ha. Satu kebun dibagi dalam
beberapa afdeling yang luasnya 600-800 ha/afdeling tergantung kondisi areal dan tiap afdeling
terdiri dari blok tanaman yang luasnya 16-40 ha/blok tergantung kondisi areal. Blok ini sangat
penting sebagai satuan luas administrasi dan semua pekerjaan akan diperhitungkan dalam
satuan blok. Untuk areal yang rata atau berombak mudah membagi blok tersebut, tetapi untuk
kondisi bergelombang atau berbukit akan memiliki blok yang lebih kecil dan tidak jarang
sebagai batas blok dipakai batas alam seperti sungai, jalan dan lain-lain.
Jadwal atau perencanaan juga harus sudah dibuat, karena banyak pekerjaan atau hal-hal
tertentu yang harus dilaksanakan atau dipesan beberapa bulan sebelumnya, misalnya
pemesanan kecambah dilakukan 3-6 bulan sebelum pembibitan dimulai dan pembibitan dimulai
1 tahun sebelum penanaman di lapangan. Demikian pula pemesanan alat-alat berat, instalasi
penyiraman, pencarian tenaga kerja, penyelesaian ganti rugi, menghubungi calon pemborong
dan lain-lain.

Tata Guna Lahan

Kajian atas lahan dengan melaksanakan survey detil guna memperlajari tata guna lahan yang
ada di lokasi yang dipilih. Kondisi tata guna lahan ini akan mempengaruhi besarnya luas efektif
lahan, ketika ternyata dilokasi tersebut banyak terdapat pemukiman penduduk dan perlanian
masyarakat yang tidak mungkin digunakan untuk pengembangan perkebunan kelapa sawit.

Survey Detil ini dilakukan terutama untuk menekan seminimal mungkin dampak negatif dari
pembukaan kawasan untuk perkebunan dalam skala besar terhadap kepentingan masyarakat
lokal, erosi tanah, kesuburan tanah dan biodiversity; melalui upaya upaya menjaga kelestarian
alam dan fungsi sosial atas tata ruang alam semula yang sudah terbentuk sebelumnya. Konsep
ini selaras dengan standar pengelolaan Pembangunan Perkebunan Kelapa Sawit Berkelanjutan
yang kini telah menjadi perhatian masyarakat dunia.

Ide dasar konsep Survey Detil ini adalah melakukan prosedur pengkajian dua Zona utama :
(1) Zona Fungsional
Fokus pada pengkajian tata guna lahan masyarakat yang sudah ada, keterjalan bukit (slope
gradient) atau kedalaman rawa gambut, dan kemungkinan adanya gangguan atas flora and
fauna yang harus dilindungi.

(2) Zona Spesifik

Zona yang meliputi wilayah produksi netto untuk ditata secara spesifik pengelolaan kebun
menjadi blok blok homogen yang teratur.
Desain Kebun

Maksud perencanaan/desain kebun adalah untuk merencanakan tata ruang alam kebun dan
afdeling yang terbagi atas: jaringan jalan, areal pembibitan, saluran air serta lokasi afdeling dan
blok.

a. Jaringan Jalan

Panjang dan kualitas jalan di kebun merupakan salah satu faktor yang sangat menentukan
dalam menjamin kelancaran pengangkutan bahan, alat dan produksi serta pengontrolan
lapangan.
Rencana pembuatan jaringan jalan harus selaras dengan desain kebun secara keseluruhan,
yang disesuaikan dengan kondisi topografi dan kebutuhan kebun. Berdasarkan kebutuhan di
lapangan terdapat beberapa jenis jalan, antara lain: ·

Jalan utama (Main Road), yaitu jalan yang menghubungkan antara satu afdeling dengan
afdeling lainnya maupun dari afdeling ke pabrik serta menghubungkan langsung pabrik dengan
jalan luar/umum. Jalan utama dengan lebar 6 & 8 m, dilalui kendaraan lebih sering dan lebih
berat, termasuk kendaraan umum, sehingga perlu diperkeras dengan batu. Jalan utama
biasanya dibangun secara terpadu dengan infrastruktur lain seperti perumahan, bengkel dan
kantor. ·

Jalan produksi (Collection Road), yaitu jalan yang berfungsi sebagai sarana untuk mengangkut
produksi TBS dari TPH. Jalan ini terdapat diantara blok dan berhubungan dengan jalan utama,
dibuat tegak lurus terhadap baris tanaman. Jalan ini lebih kecil dari jalan utama, dengan lebar 5
&ndash; 6 m dan pada tempat tertentu perlu diperkeras. Untuk satu hektar diperlukan
sepanjang 50 m. ·

Jalan kontrol (Control Road), yaitu jalan yang terdapat di dalam setiap blok. Jalan kontrol
berfungsi untuk memudahkan pengontrolan areal pada tiap blok dan sebagai batas pemisah
antar blok tanaman. Jalan ini lebarnya 4 & 5 m dan tiap hektar membutuhkan 10 m.

b. Saluran Air
Perencanaan pembangunan saluran air didasarkan atas topografi lahan, letak sumber air, dan
tinggi muka air tanah. Sistem pengeluaran air berlebih (drainase) dibuat berdasarkan kondisi
drainase areal. Untuk lahan gambut, pengelolaan tata air sangat dominan, mengingat
karakteristik lahan gambut yang mengering dan mengkerut tidak balik (irreversible shrinkage)
apabila mengalami kekeringan.

c. Afdeling dan Blok

Luas afdeling dan blok disesuaikan dengan keadaan topografi lahan dan efisiensi pengelolaan
areal yang dikaitkan dengan kemudahan perawatan tanaman dan kegiatan panen. Luas areal
satu afdeling yang ideal berkisar 750 ha dan luas satu blok adalah 25 ha (500 m x 500 m) untuk
topografi datar, sedangkan luas blok untuk daerah dengan topografi bergelombang atau
berbukit adalah 16 ha (400 m x 400 m). Luas satu blok tersebut juga dikaitkan terhadap
kepentingan penetapan kesatuan contoh daun (KCD).

2. Aspek Sosial

Pada dasarnya, penguasaan lahan menurut hukum negara maupun adat, memiliki banyak
kesamaan, karena pada hakekatnya disusun atas nilai-nilai sosial dan kesejahteraan bersama
di dalamnya. Sehingga penggunaan tanah yang mampu memberi nilai ekonomi lebih, misalnya
dengan membangun perkebunan besar, dapat diterima asalkan misalnya dilakukan di atas
prinsip keadilan. Jika berdasarkan akal sehat, tidak mungkin suatu masyarakat hukum adat
mempertahankan isi dan pelaksanaan hak ulayatnya secara mutlak, seakan-akan ia terlepas
dari pada hubungannya dengan masyarakat masyarakat hukum dan daerah-daerah lainnya
didalam lingkungan Negara sebagai kesatuan. Karena akan berakibat terhambatnya usaha-
usaha untuk mencapai kemakmuran rakyat seluruhnya.

Pada umumnya orang hanya memahami bahwa HGU berlaku untuk tanah negara,
sebagaimana Pasal 28 ayat 1 UUPA dan Pasal 4 PP No. 40/1996 Tentang Hak Guna Usaha,
Hak Guna Bangunan Dan Hak Pakai Atas Tanah. Namun Pasal 4 ayat 2 Permenag No. 5/1999
menyatakan bahwa: ”Pelepasan tanah ulayat sebagaimana dimaksud pada ayat 1 huruf b
untuk keperluan pertanian dan keperluan lain yang memerlukan Hak Guna Usaha atau Hak
Pakai, dapat dilakukan oleh masyarakat hukum adat dengan penyerahan penggunaan tanah
untuk jangka waktu tertentu, sehingga sesudah jangka waktu itu habis, atau sesudah tanah
tersebut tidak dipergunakan lagi atau ditelantarkan sehingga Hak Guna Usaha atau Hak Pakai
yang bersangkutan hapus, maka penggunaan selanjutnya harus dilakukan berdasarkan
persetujuan baru dari masyarakat hukum adat yang bersangkutan sepanjang hak ulayat
masyarakat hukum adat itu masih ada sesuai ketentuan Pasal 2.

Harus dipahami bahwa di Indonesia secara garis besar hanya dikenal ada dua jenis Hak atas
Tanah, yaitu Hak Milik sebagai bentuk dari penguasaan tetap atas tanah dan Hak Pakai dimana
penguasaan atas tanah bersifat sementara atau tidak permanen. Hak Pakai dibagi menurut
penggunaannya, yang antara lain Hak Guna Bangunan untuk properti, Hak Guna Usaha untuk
perkebunan dan Hak Pakai untuk kepentingan lain lain.

Bagi perkebunan, Hak Guna Usaha baik diatas tanah negara maupun diatas tanah adat pada
hakekatnya adalah sama, yakni hak penguasaan tanah yang bersifat sementara atau tidak
permanen menurut kurun waktu tertentu. Ketika jangka waktu itu habis, atau sesudah tanah
tersebut tidak dipergunakan lagi, maka tanah tersebut harus dikembalikan kepada pemiliknya
yang sah, yaitu kepada negara bila diatas tanah negara atau kepada masyarakat adat bila
diatas tanah adat atau pemilik perorangan. Bila penggunaannya akan dilanjutkan, maka harus
dilakukan berdasarkan ijin perpanjangan dari negara atau persetujuan baru dari masyarakat
hukum adat yang bersangkutan sepanjang hak ulayat masyarakat hukum adat itu masih
menghendaki.

Konflik sosial yang sering terjadi adalah akibat tidak adanya pemahaman tentang HGU, baik
dari pihak investor maupun masyarakat. Pada dasarnya dalam HGU tidak pernah terjadi
pengalihan Hak kepemilikan atas tanah, yang ada hanyalah Hak Pakai selama kurun waktu
yang di sepakati, yaitu selama usia HGU itu berlaku. Tanpa penjelasan melalui proses
sosialisasi, masyarakat menjadi tidak paham dan akan merasa kehilangan. Kompensasi yang
diberikan pada hakekatnya bukan GANTI RUGI, akan tetapi semacam BIAYA PINJAM PAKAI
dimana pemilik lahan juga akan menerima bagian kebun sesuai proporsi luas lahannya dalam
konteks Program Inti Plasma.
Dalam hal ini lahan plasma melalui wadah koperasi akan dibuatkan sertifikat HGU atas nama
Koperasinya dan bukan sertifikat Hak Milik. Dengan demikian, ketika Ketika jangka waktu HGU
itu habis, atau sesudah tanah tersebut tidak dipergunakan lagi, maka tanah tersebut akan
mudah untuk dikembalikan kepada pemiliknya atau ahli warisnya yang sah.

Melalui pola seperti ini, potensi konflik sosial akan menjadi sangat kecil, namun terlepas dari
semua itu, pemilihan lokasi sebaiknya diarahkan pada area dimana perkampungan tidak
banyak dan pemanfaatan air untuk kebutuhan sehari hari tidak besar dan pemanfaatan lahan
untuk perladangan atau pertanian masyarakat juga tidak luas. Dari pengalaman, dapat
dikatakan bahwa, luas efektif yang dapat diperoleh untuk pembangunan perkebunan berkisar
60 % hingga 70 % dari luas ijin lokasi yang diberikan oleh Bupati. Adapun faktor pengurang
yang utama dapat dilihat pada contoh berikut ini :

Inti Plasma

Pola pengembangan yang diterapkan/dikembangkan oleh Perusahaan harus mengikuti pola


pengembangan berdasarkan Pola Kemitraan sebagaimana yang diatur dalam Peraturan Menteri
Pertanian Nomor : 26/Permentan/OT.140/2/2007 tentang Pedoman Perizinan Usaha Perkebunan dimana
Perusahaan perkebunan yang memiliki IUP atau IUP-B akan membangun kebun untuk masyarakat
sekitar paling rendah seluas 20% (dua puluh per seratus) dari total luas areal kebun yang diusahakan
oleh Perusahaan, artinya adalah jika Perusahaan membangun kebun milik Perusahaan (“Inti”)

Komposisi Inti dan Plasma merupakan sebuah hasil kesepakatan awal antara Pihak Inti dan Masyarakat
yang harus dituangkan dalam sebuah perjanjian ikatan kemitraan. Komposisi tersebut bervariasi dari 50 :
50 hingga 70 : 30 , dimana pihak inti menguasai 70 % dan pihak Plasma 30 %.
Adapun lingkup hunbungan kemitraan meliputi :

1. Penyediaan Lahan
Lahan yang dimaksud harus memenuhi kriteria KESESUAIAN LAHAN ( Suitable) dari aspek teknis,
TERJAMIN dari aspek Legal dan KONDUSIF secara Sosial.

2. Pembangunan Perkebunan
Inti bertanggung Jawab membangun Kebun sesuai kriteria pada standar aplikasi agronomis yang baik,
menjadi penjamin pasar hasil produksi kebun plasma dengan menyediakan pabrik pengolahan TBS,
memberikan kesempatan pertama pada anggota plasma untuk menjadi tenaga kerja perkebunan dll.

3. Pembiayaan
Inti bertanggung jawab mengupayakan sumber dana perbankan untuk plasma dan bertindak selaku
Avalist serta proses pengembalian hutang petani plasma.
Sosialisasi Kegiatan Proyek
Perubahan Persepsi Masyarakat

Idealnya ”sosialisasi” dimaknai sebagai proses diseminasi dan pembelajaran tentang norma-norma yang
berlaku sehingga dapat berperan dan diakui oleh kelompok masyarakat yang menjadi sasaran
program/proyek. Pada tingkat implementasi program/proyek, sosialisasi pada dasarnya merupakan
upaya penyebarluasan informasi (program, kebijakan, peraturan) dari satu pihak (pemrakarsa program,
kebijakan, peraturan) kepada pihak-pihak lain (aparat, masyarakat yang terkena program, dan
masyarakat umum). Isi informasi yang disebarluaskan harus menyeluruh sesuai dengan tujuan program,
seperti : Informasi dan materi yang disosialisaikan meliputi : kebijakan operasional program/rencana
usaha pada seluruh tahapan kegiatan baik pada tahap pra-operasi, operasi, panduan dan standar kinerja
yang digunakan, hasil kegiatan, lessons learned dari pengalaman baik (best practices) proyek yang
sama untung ruginya ada proyek, dampak positip dan negatip proyek, program CD atau CSR yang
dirancang untuk masyarakat, pola kemitraan, system rekruitmen tenaga kerja, hak dan kewajiban
perusahaan dan masyarakat, kebijakan exit strategy dan rencana pasca operasi.

Perijinan

Pengelolaan Usaha Budidaya Perkebunan

Kebijakan teknis terbaru yang terkait dengan perizinan usaha perkebunan telah diatur secara operasional
oleh Menteri Pertanian melalui Permentan No.26/Permentan/OT.140/2/2007 tentang Pedoman Perizinan
Usaha Perkebunan. Di dalam permentan tersebut, yaitu Pasal 5 dan Pasal 6, menginformasikan bahwa
untuk usaha budidaya tanaman perkebunan dengan luasan lahan lebih dari 25 hektar WAJIB memiliki
Izin Usaha Perkebunan untuk Budidaya (IUP-B), sedangkan untuk luasan lahan kurang dari 25 hektar
cukup didaftarkan dengan bukti Surat Tanda Daftar Usaha Budidaya Perkebunan (STD-B) dari
Bupati/Walikota.Terkait dengan pola usaha perkebunan, Pasal 22 UU No.18/2004 menyebutkan bahwa
Perusahaan perkebunan melakukan kemitraan yang saling menguntungkan, saling menghargai, saling
bertanggungjawab, saling memperkuat dan saling ketergantungan dengan pekebun, karyawan dan
masyarakat sekitar. Adapun Pola kemitraan usaha perkebunan dapat berupa kerjasama penyediaan
sarana produksi, kerjasama produksi, pengolahan dan pemasaran, transportasi, kerjasama operasional,
kepemilikan saham dan jasa pendukung lainnya.

Adapun berdasarkan ketentuan sebagaimana tercantum dalam Pasal 11 Permentan No.


No.26/Permentan/OT.140/2/2007 tentang Pedoman Perizinan Usaha Perkebunan, dinyatakan bahwa
Perusahaan yang memiliki IUP-B wajib membangun kebun untuk masyarakat sekitar paling rendah
seluas 20% (dua puluh persen) dari total luas areal perkebunan yang diusahakan oleh perusahaan.
Pembangunan kebun masyarakat untuk masyarakat tersebut dapat dilakukan antara lain melalui pola
kredit, hibah atau bagi hasil yang dilakukan bersamaan dengan pembangunan kebun yang diusahakan
oleh perusahaan.

UU No.18/2004 memuat ketentuan bahwa usaha industri pengolahan hasil perkebunan adalah kegiatan
penanganan dan pemrosesan yang dilakukan terhadap hasil tanaman perkebunan yang ditujukan untuk
mencapai nilai tambah yang lebih tinggi. Pencapaian nilai tambah tersebut dapat dilakukan di dalam atau
di luar kawasan pengembangan perkebunan dan dilakukan secara terpadu dengan usaha budidaya
tanaman perkebunan, sebagaimana dimaksud di dalam Pasal 27 ayat (3).
Disamping itu, usaha industri pengolahan hasil perkebunan harus dapat menjamin ketersediaan bahan
bakunya dengan mengusahakan budidaya tanaman perkebunan sendiri, melakukan kemitraan dengan
pekebun, perusahaan perkebunan dan atau bahan baku dari sumber lainnya, sebagaimana dimaksud di
dalam Pasal 17 UU No.18/2004 dimaksud.
Guna menegaskan keterjaminan pasokan bahan baku bagi usaha industri pengolahan hasil perkebunan,
maka Menteri Pertanian melalui Permentan No.26/Permentan/OT.140/2/2007 mengatur mengenai
keharusan bagi usaha industri pengolahan hasil kelapa sawit memenuhi paling rendah 20% kebutuhan
bahan bakunya dari kebun yang diusahakan sendiri, sebagaimana termuat dalam ketentuan Pasal 10
Permentan dimaksud. di dalam atau di luar kawasan pengembangan perkebunan dan dilakukan secara
terpadu dengan usaha budidaya tanaman perkebunan, sebagaimana dimaksud di dalam Pasal 27 ayat
(3).
Disamping itu, usaha industri pengolahan hasil perkebunan harus dapat menjamin ketersediaan bahan
bakunya dengan mengusahakan budidaya tanaman perkebunan sendiri, melakukan kemitraan dengan
pekebun, perusahaan perkebunan dan atau bahan baku dari sumber lainnya, sebagaimana dimaksud di
dalam Pasal 17 UU No.18/2004 dimaksud.
Guna menegaskan keterjaminan pasokan bahan baku bagi usaha industri pengolahan hasil perkebunan,
maka Menteri Pertanian melalui Permentan No.26/Permentan/OT.140/2/2007 mengatur mengenai
keharusan bagi usaha industri pengolahan hasil kelapa sawit memenuhi paling rendah 20% kebutuhan
bahan bakunya dari kebun yang diusahakan sendiri, sebagaimana termuat dalam ketentuan Pasal 10
Permentan dimaksud.

Terkait dengan Perizinan usaha, Permentan Nomor 26/Permentan/OT.140/2/2007 mengatur bahwa


untuk usaha industri pengolahan hasil perkebunan yang WAJIB mendapat Izin Usaha Perkebunan
untuk pengolahan (IUP-P) adalah yang memiliki kapasitas produksi pengolahan 5 ton tandan buah segar
per jam. Sedangkan untuk yang berkapasitas dibawah dari kapasitas tersebut cukup mendaftarkannya
yang kemudian dibuktikan dengan Surat Tanda Daftar Usaha Industri Pengolahan Hasil Perkebunan
(STD-P) yang diterbitkan oleh Bupati/Walikota.

Dari uraian diatas jelas, bahwa IUP adalah wajib di miliki sebelum mulai melaksanakan pembangunan
Perkebunan, namun IUP itu sendiri tidak akan diterbitkan oleh Bupati atau Gubernur sebelum pengusaha
melaksanakan AMDAL diatas lahan yang sudah dipilih.

a. Izin Usaha Perkebunan (IUP) diberikan oleh :


o Gubernur, apabila lokasi lahan usaha perkebunan berada pada lintas wilayah daerah Kabupaten
dan atau Kota;
o Bupati atau Walikota, apabila lokasi lahan usaha perkebunan berada diwilayah daerah
Kabupaten atau Kota.

b. Izin Usaha Perkebunan berlaku selama perusahaan masih melakukan pengelolaan perkebunan
secara komersial yang sesuai standar teknis dan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan yang berlaku serta memenuhi seluruh kewajiban yang telah ditetapkan.

Usaha perkebunan dapat dilakukan oleh perorangan warga negara Indonesia atau badan hukum yang
didirikan menurut hukum Indonesia meliputi Koperasi, Perseroaan Terbatas (PT), Badan Usaha Milik
Negara (BUMN), dan Badan Usaha Milik Daerah (BUMD).
Untuk memperoleh izin usaha perkebunan, perusahaan perkebunan wajib memenuhi syarat-syarat
sebagai berikut:
a. Akte pendirian atau perubahannya yang terakhir,
b. Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP),
c. Surat Keterangan Domisili,
d. Rencana kerja usaha perkebunan,
e. Rekomendasi lokasi dari instansi pertanahan,
f. Pertimbangan teknis ketersediaan lahan dari instansi kehutanan sepanjang kawasan hutan,
g. Rekomendasi teknis kesesuaian lahan dari Kepala Dinas yang membidangi usaha perkebunan
Provinsi, Kabupaten atau Kota setempat yang didasarkan pada perencanaan makro,
perwilayahan komoditi dan RUTR,
h. Pernyataan mengenai pola pengembangan yang dipilih dan dibuat dalam akte notaris,
i. Peta calon lokasi dengan skala 1: 100.000,
j. Surat persetujuan dokumen AMDAL dari komisi AMDAL daerah.

Dengan telah diperolehnya perijinan dasar yang berupa, Ijin Lokasi, Amdal dan IUP, maka perusahaan
perkebunan baru secara sah dapat mulai beroperasi. Sedangkan proses sosialisasi dalam rangka
perolehan lahan sudah dapat dimulai sejak Ijin Lokasi sudah di terbitkan dan laporan hasil survey detil
sudah selesai.
Diagram proses perijinan untuk kawasan hutan konversi dan kawasan APL dapat dilihat dibawah ini :

3. Benih Kelapa Sawit

Sasaran utama dari perkebunan kelapa sawit adalah menghasilkan YIELD atau produktifitas
TBS ton per hektar atau produktifitas CPO ton per hektar yang tinggi. Faktor faktor yang sangat
mempengaruhi pertumbuhan dan produktifitas tanaman, diantaranya adalah kualitas dan
karakteristik bahan tanaman atau benih yang ditanam.

Benih dan Pembibitan merupakan langkah awal dari seluruh rangkaian kegiatan budidaya
tanaman kelapa sawit dan bersifat monumental, artinya kesalahan memilih benih hari ini,
risikonya akan ditanggung selama 30 tahun.

Produksi Benih

Varietas unggul kelapa sawit adalah varietas Dura sebagai induk betina dan Pisifera sebagai induk
jantan

DURA x PISIFERA (D xP)

Kebanyakan berbasis pada Deli dura yang berasal dari


– Chemara, Banting, DOA/MARDI/MPOB, Dami, Socfindo, Dabou

Sumber Utama pisifera


– AVROS, NIFOR (Calabar), Ekona, Yangambi, La Me

Kecambah Kelapa Sawit


Estimasi Produksi Benih Kelapa Sawit Nasional

Sumber : Tony Liwang, PT SMART TBK 2009


Pembelian benih harus berasal dari sumber penyedia benih nasional seperti pada daftar di atas, di
luar dari sumber benih diatas, risiko memperoleh benih palsu atau memperoleh benih
terkontaminasi Dura dan penyakit akan menjadi kenyataan.

Akibat Benih Palsu


4 Asumsi dan Proyeksi

Setelah tahap investigasi lahan dan persiapan selesai dilakukan, dan sebelum memulai tahap
selanjutnya yakni tahap pembangunan dan konstruksi, maka yang perlu dilakukan adalah
membuat perencanaan pembiayaan proyek (Master Budget). Seperti diketahui, sebuah master
budget akan memerlukan asumsi-asumsi dan proyeksi yang menyangkut produksi dan
penjualan.

Asumsi Asumsi

Penetapan asumsi antara lain didasarkan atas ;

a) karakteristik harga CPO dengan tinjauan trend perubahan harganya selama satu kurun
waktu tertentu (misalnya 5 – 10 tahun terakhir), untuk kemudian dihitung besarnya harga rata
rata dari periode waktu tersebut. Ada juga yang membuat perhitungan harga CPO berdasarkan
asumsi kenaikan pertahun, namun dengan cara ini, asumsi harga CPO pertahun akan jauh
meleset dari kenyataan (karena harga CPO selalu berubah sesuai kehendak pasar) dan
mempersulit perhitungan budget itu sendiri.
Perlu dipahami bahwa Prinsip utama dari bisnis komoditi seperti kelapa sawit adalah menekan
biaya yang sekecil kecilnya dengan meningkatkan produksi yang se tinggi tingginya. Dengan
demikian, ketika harga CPO jatuh ke titik yang rendah, harga tersebut masih diatas dari biaya
yang dikeluarkan. Oleh karenanya penetapan asumsi harga CPO, sebaiknya dibuat pesimis
namun realistik;
b) karakteristik produktifitas berdasarkan perubahan umur tanaman dan zona kesesuaian lahan
serta kerapatan tanam per hektar seperti berikut :

 Kerapatan Tanam 136 pohon per hektar,


 Panen dimulai pada tahun ke 4 setelah tanam, produksi maximum dicapai antara tahun ke
9 hingga tahun ke 15
 Produksi TBS per hektar bervariasi antara 17 - 30 ton per hektar, tergantung umur
tanaman , kesuburan tanah and perlakuan teknis agronomis.
 Rendemen CPO bervariasi antara 21 - 23 % and Kernel antara 3 - 5 % ;
Contoh Rencana Tanam
Contoh Potensi Produksi Kelapa Sawit

c) Perkiraan nilai tukar rupiah terhadap mata uang US dollar yang asumsikan tetap untuk kurun
waktu yang panjang; dan d) asumsi rencana tanam berdasarkan ketersediaan lahan serta d)
Perkiraan kenaikkan inflasi per tahun dalam persen.

Proyeksi

Perhitungan proyeksi produksi dan proyeksi penjualan dengan mudah dapat diperhitungkan
berdasarkan asumsi asumsi yang ditetapkan sebelumnya. Semua perhitungan proyeksi, baik
proyeksi produksi maupun proyeksi penjualan selalu akan mengacu pada Rencana Tanam dan
potensi produktiftas serta asumsi harga yang telah ditetapkan.
Contoh Tabel Proyeksi Produksi Palm Product
Tahap Pembangunan dan Konstruksi

Contoh Tabel Proyeksi Penjualan

Tipikal Aktifitas
Pembibitan (Nursery establishment)

o Pembangunan Akses Jalan ( Access road)


o Pembuatan Bangunan Sementara ( Base camp)
o Pembersihan Lahan (Site clearing - underbrushing & clear felling)
o Pengelolaan Biomass (Biomass management & disposal)
o Perataan Tanah, pemaritan dan Jaringan penyiraman (Earthworks, drainage &
irrigation)
o Penanaman Kecambah dan Pemeliharaan (Planting and maintenance of seedlings)

Pembukaan Lahan (Site preparation)

o Pembangunan Akses Jalan ( Access road)


o Pembuatan Bangunan Sementara ( Base camp)
o Utilities provision
o Pembersihan Lahan (Site clearing - underbrushing & clear felling)
o Pengelolaan Biomass (Biomass management & disposal)
o Land clearing, pemaritan , infrasruktur (Earthworks, drainage & infrastructure)
o Penanaman Cover Crop

Penanaman di Lapangan (Field establishment)

o Pemancangan dan Lubang Tanam (Field lining & holing)


o Seleksi Bibit terakhir (Final culling)
o Penanaman di Lapangan (Transplanting)

Perawatan & Panen (Maintenance & harvesting)

o Aplikasi Pemupukan (Fertilizer application)


o Penggunaan dan Kontrol Bahan Kimia (Use of control agro-chemicals)
o Perawatan Tanaman (General field upkeep)
o Panen (Harvesting)
o Angkutan Tandan Buah Segar ke Pabrik ( Transportation of fresh fruit bunches to oil
mill)

Sebelum aktifitas pembukaan lahan dimulai, harus dipastikan bahwa bahan tanaman kelapa sawit sudah
di pesan dari sumber benih yang diuraikan pada tahap persiapan dimuka. Pemesanan kecambah
sebaiknya dilakukan 3 - 6 bulan sebelum pembibitan dimulai dan persiapan lapangannya agar
disesuaikan dengan jadwal kedatangan kecambah.Bahan tanaman kelapa sawit disediakan dalam
bentuk kecambah (germinated seed). Untuk kerapatan tanam 130 pohon/ha, diperlukan 180 - 185
kecambah/ha.
Harga kecambah yang ditawarkan oleh masing masing sumber benih berbeda beda, dengan kisaran
antara Rp 7000 hingga Rp. 11.000,- per kecambah. Seleksi bibit di pembibitan dalam rangka memilih
bibit yang jagur untuk ditanam di lapangan adalah penting untuk dilakukan agar potensi produksi yang
diharapkan dapat terpenuhi. Oleh karena itu , Sumber benih manapun yang dipilih, pemesanan
kecambah harus selalu ditambah 35% - 40% dari jumlah kebutuhan bibit untuk ditanam di lapangan.

Jadwal pembibitan dibuat tersendiri dan jadwal pembukaan lahan serta penanaman tersendiri pula.
Mengingat sebagian pekerjaan akan menghadapi tantangan alam maka pekerjaan tersebut harus
disesuaikan dengan keadaan yang akan terjadi. Jadwal kerja ini tergantung pada kondisi setempat dan
hendaknya disesuaikan dengan keadaan iklim, sarana,tenaga kerja dan dana yang tersedia. Telah
disinggung dimuka bahwa pemesanan kecambah harus dilakukan 3-6 bulan sebelum pembibitan dimulai
dan kegiatan pembibitan dimulai 1 tahun sebelum penanaman di lapangan. Demikian pula pemesanan
alat-alat berat, instalasi penyiraman, pencarian tenaga kerja, menghubungi calon pemborong dan lain-
lain.

1 ha Lahan Pembibitan = +/- 100 ha Lahan Tanam

= 15.000 bibit dlm polybag besar

= +/- 2 hari untuk Penyiapan 1 ha Lahan Pembibitan dengan menggunakan Alat


Berat

Pre-Nursery Ukuran Seedling bed 10 x 1,2 m


Peletakan polybag 100 x 10

Daya tampung kecambah per bed = 1000 kecambah’


Ukuran Polybag = 14 cm x 25 cm x 0,1 cm , dengan 250 lubang
Jenis Polybag black UV stabilized
Pengisisan Tanah dilakukan 2 minggu sebelum kecambah datang. Tanah yang
digunakan harus Top Soil,

Pupuk phosphorus (P) dicampur dengan Tanah sebelum di isi kedalam polybag.

Fasilitas Penyiraman harus sudah tersedia, sejak kecambah di tanam pada


polybag.

Main Nursery Persiapan fasilitas Penyiraman harus sudah selesai 1 bulan sebelum pemindahan
bibit dari pre nursery ke main nursery.
Pengisian tanah di polybags harus sudah selesai untuk menerima pemindahan
bibit dari pre nursery sesuai jumlah bibit yang akan dipindahkan dan terus berlanjut
sampai siap untuk menampung semua kecambah.
Ukuran Polybag 50 cm x 40 cm x 0,2 cm, 500 lubang , jenis black UV stabilized)
Pompa dan mesin berkapasitas 30 kva untuk melayani 10 ha bibit di main nursery
Jumlah pipa dan perlengkapannya harus di hitung sesuai design di lapangan.

Lihat gambar design pembibitan dibawah ini

Design Jaringan Pipa Pembibitan 10 Ha


Design Jaringan Pipa Pembibitan Per Ha

Norma Tenaga Kerja dan Mesin

Penyiapan Lahan untuk Pembibitan per Hektar


(Ex Hutan)
Penyiapan Lahan untuk Pembibitan per Hektar
(Ex Padang Ilalang)

Catatan :
Harga HK berdasarkan UMK yang berlaku
Harga JKT (Jam Kerja Traktor) berdasarkan harga Sewa yang berlaku
Norma Kebutuhan HK, Material dan Peralatan untuk Pre Nursery
Norma Kebutuhan HK, Material dan Peralatan untuk Main Nursery

Perhitungan Upah Harian Tetap

NOTE : Premium & Overtime = 20 % To Normal Wage (Estimate )


Medical & Social Expenses = 10 % To Normal Wage (Estimate )
Rice Allowance = Worker - 15 Kg
Dependant Wife - 9 Kg
3 Children - 22.5 Kg (7.5 Kg/CHILD- MAXIMUM 3
CHILDREN )
TOTAL - 46.5 Kg
Estimate Price Of Rice = Rp. 6.000 / Kg = USD 0.64/Kg
TOTAL RICE ALLOWANCE (IN Rp ) = Rp. 279,000 / MONTH = Rp. 11,160 /Day
1 Month = 25 Days
Pekerja Harian Lepas tidak diberikan tunjangan no 3 dan 4

Pembukaan Lahan

Pembangunan kebun pada umumnya dilakukan secara bertahap disesuaikan dengan


kemampuan dana, sumberdaya manusia dan keadaan lainnya, walaupun pembukaan lahan
sekaligus seluas 6.000 & 12.000 ha dapat dilakukan jika semua fasilitas tersedia. Tahapan luas
kebun yang dibangun juga harus diperhitungkan, agar pabrik yang akan dibangun 1-2 tahun
kemudian dapat mengolah secara optimal atau tidak terlalu lama mengalami idle capacity&
Kondisi areal yang akan dibuka tidak selalu sama baik ditinjau dari segi vegetasi, topografi, tata
guna lahan dan drainasenya. Berdasarkan keadaan vegetasi, ada beberapa kemungkinan
yaitu:
- Hutan Primer: hutan yang belum pernah dikelola manusia, dengan kerapatan pohon padat.
- Hutan sekunder: hutan yang pernah dikelola manusia, dengan kerapatan pohon lebih sedikit
dan terdapat pohon yang telah ditanam.
- Areal Lalang: areal bekas perladangan yang telah ditinggal dan ditumbuhi alang-alang
- Areal Konversi: areal yang sebelumnya diusahakan dengan komoditi tertentu misal bekas
karet, kopi, kelapa sawit dan lain-lain.

1. Rintisan Areal
Kondisi areal yang akan dibuka perlu diketahui lebih dulu untuk menentukan sistem yang akan
digunakan dalam pembukaan areal tersebut. Setelah diketahui kondisi lokasi dan luas yang
akan dibuka pada tahun pertama, maka dilakukan rintisan yang serupa dengan rintisan pada
pembuatan studi kelayakan, namun lebih mendetail untuk mengetahui secara pasti vegetasi,
topografi, sumber air, drainase serta batas dan luas areal. Selanjutnya berdasarkan peta hasil
rintisan dibuat perencanaan jalan, lokasi pemondokan sementara, pembagian blok besar dan
kecil untuk persiapan pemborongan pekerjaan, arah pembukaan lahan dan lain-lain.
Selanjutnya dilakukan pengukuran dan penataaan blok yang dimulai dengan penentuan batas
areal. Setelah itu dibuat rintisan untuk jalur pengukuran dan pemasangan patok. Patok yang
dicat putih dipasang setiap jarak 25 m dan patok merah dipasang di setiap sudut blok.

2. Pembukaan Lahan Hutan Tanpa Bakar (Zero Burning)

Udara bersih yang bebas dari pencemaran asap merupakan manfaat utama dari pembukaan
hutan dengan teknik tanpa bakar, disamping adanya peningkatan kandungan bahan organik
dan anorganik sebagai akibat pembusukan kayu secara alami. Dengan peningkatan kandungan
bahan organik dan anorganik tanah, maka akan meningkatkan kesuburan fisik dan kimia tanah,
misalnya perbaikan tekstur tanah, meningkatnya kapasitas penahanan air dan kapasitas tukar
kation, menurunkan plastisitas tanah dan kohesi tanah serta meningkatkan kandungan hara.

Aktifitas pembangunan fisik perkebunan tidak dikupas seluruhnya, karena fokus


pembahasan pada artikel ini adalah perencanaan, terutama yang menyangkut
perencanaan perolehan lahan, perencanaan tata ruang kebun dan perencanaan
pembiayaan.
Time Frame Pembangunan Perkebunan

Tenaga Kerja dan Kebutuhan Dasar Lainnya

Kebutuhan mendasar untuk membangun dan mengelola Perkebunan Kelapa Sawit misalnya
dalam hal ini seluas 7,000 Ha.
• Satu Kontraktor rata rata mampu membuka lahan seluas 1,800 ha per tahun atau 150 ha
per bulan (tanpa bakar dan vegetasi hutan sekunder)
• Mempersiapkan pembelian kecambah sebanyak 1 250 000 butir yang disesuaikan dengan
tahapan pembukaan lahan per tahun
• Mempersiapkan lahan pembibitan lengkap dengan instalasi penyiraman seluas lebih
kurang 100 Ha
• Kebutuhan tenaga kerja untuk 7,000 Ha kebun tertanam
1 Estate Manager (Administratur)

1 Mill Manager untuk pabrik kapasitas 45 T/jam


1 Senior Asistant Manager (KTU) - Administration
1 Senior Assistant Manager (ASKEP) - Community Relation
2 Senior Asistant Managers (ASKEP) – Field/Agronomic
2 Infrastructure & Transport Sub Divisional Managers
8 Field Assistant Managers (Asisten Lapangan)

5 Administration Assistant Managers (Asisten Administrasi)

5 Mill Assistant Managers (Asisten Pabrik)

2 Community Relation Officers


15 1st Field Mandore (Mandor 1)
15 1st Mill Mandore (Mandor 1)
12 Officers/ Administration Officer (Mandor 1)
50 Mandore/Foreman
700 Workers for Field Maintenance ( contractual basis)
450 Harvesters (permanent workers/SKU)

• Housing Facilities for Staffs & workers (Fasilitas Perumahan)


• Estate Office (Kantor Administratur) & Field Offices (Kantor Kebun)
• Vehicles (Kendaraan untuk tenaga Staff)
• Pembangunan Pabrik Kelapa Sawit ( 30 ton FFB/ jam extendable ke 45 ton FFB/ jam

Perkiraan Biaya Pembangunan Kebun


Berikut ini diberikan contoh biaya investasi pembangunan perkebunan kelapa sawit.
Angka angka didalamnya belum tentu sesuai di lokasi lain, namun cukup memberikan
gambaran tentang aktifitas dan proporsi biayanya.

Contoh Biaya Investasi Pembangunan Perkebunan Kelapa Sawit


Telah disinggung dimuka bahwa kegiatan pembangunan perkebunan kelapa sawit
pada areal yang luas umumnya dilaksanakan secara tahap demi tahap. Setiap
tahap dibagi kedalam aktifitas biaya seperti biaya kecambah dan pembibitan, Land
Clearing dan penanaman palma, pemeliharaan tahun pertama, tahun kedua dan
tahun ketiga dimasa TBM. Semua perkiraan biaya ini harus dievaluasi setiap tahun
karena mungkin ada pengaruh dari perubahan biaya input.

Biaya pembangunan perkebunan meliputi semua biaya investasi kecuali biaya


perolehan tanah. Variasi biaya terutama pada biaya land clearing terutama
disebabkan oleh vegetasi dan jenis tanah (mineral, gambut atau berbukit bukit).
Variasi biaya per ha lainnya juga dipengaruhi oleh aplikasi pemupukan, drainase,
pemeliharaan jalan dan teras. Biaya Penanaman baru dan biaya pemeliharaan pada
masa TBM akan meningkat seiring dengan naiknya biaya upah (UMK) dan kenaikan
harga material input karena inflasi.
Perkiraan Biaya land clearing, adalah kurang lebih mirip dengan perkiraan kebutuhan
tenaga kerja, material dan alat berat untuk penyiapan lahan pembibitan seperti telah
diuraikan dimuka.

Anda mungkin juga menyukai