Studi Kawasan
Investor perlu memahami kawasan yang ditetapkan berdasarkan TGHK dan RTRWP.
TGHK (Tata Guna Hutan Kesepakatan) adalah pembagian hutan negara menurut fungsinya yaitu
hutan lindung, hutan konservasi, hutan produksi, serta hutan produksi yang dapat dikonversi.
TGHK ditetapkan sejak tahun 1983 oleh Departemen Kehutanan yang disepakati oleh Pemerintah
Daerah serta sektor lainnya. RTRWP (Rencana Tata Ruang Wilayah Propinsi) adalah pembagian
tata ruang wilayah propinsi sebagai penjabaran dari Undang Undang Tata Ruang Tahun 1992.
Dalam RTRWP dikenal pembagian ruang sebagai hutan lindung, kawasan budidaya kehutanan
dan kawasan budidaya nonkehutanan. Dalam implementasinya, sejak tahun 1993, antara TGHK
dan RTRWP dipaduserasikan. Salah satu propinsi yang hingga kini belum paduserasi adalah
Kalimantan Tengah. Di propinsi ini, masih 100 % diberlakukan TGHK, sehingga ijin lokasi yang
diterbitkan oleh Bupati setempat sering masih tumpang tindih dengan kawasan hutan menurut
ketetapan TGHK.
Oleh karenanya, langkah awal yang penting dilakukan dalam memilih atau mengambil
alih lahan adalah pemeriksaan kawasan. Di Indonesia terdapat dua kawasan dengan Penggunaan
yang berbeda, yakni Kawasan Hutan dan Kawasan Non Hutan atau dikenal oleh kalangan
perkebunan sebagai Area Penggunaan Lain (APL). Pada Kawasan Hutan yang ditetapkan
berdasarkan TGHK maupun RTRWP, hanya Hutan Konversi yang masih memungkinkan untuk
dialih fungsikan menjadi APL apabila memperoleh persetujuan pelepasan kawasan hutan dari
Menteri Kehutanan, namun dengan prosedur yang tidak mudah dan dapat ditolak oleh Menteri
Kehutanan dengan pertimbangan tertentu. Sedangkan APL dapat digunakan untuk pengembangan
perkebunan dengan cukup mengajukan permohonan Ijin Lokasi kepada Bupati setempat. Oleh
karenanya, dalam perencanaan pembangunan perkebunan sebaiknya tidak memilih lokasi yang
masuk di dalam Kawasan Hutan dan untuk memastikannya, perlu dilakukan cross check melalui
Badan Pemetaan dan Planologi Nasional yang berada di Bogor (Malangyudo, 2014).
Hutan Lindung
Hutan Konservasi
Hutan Produksi
Tata Ruang Indonesia
Hutan Konversi
Studi Bio-physical
Pengkajian berikut adalah menyangkut tentang pelestarian lingkungan hidup dan
tentang persyaratan tumbuh untuk produktifitas tanaman kelapa sawit. Letak ketinggian lahan,
data agroklimat, kemiringan lahan, gambut dalam dan jenis tanah sangat perlu diperhatikan untuk
memastikan bahwa lahan yang akan dipilih adalah sesuai baik dari tinjauan aspek lingkungan
hidup maupun dari aspek persyaratan tumbuh untuk produktifitas. Studi awal untuk memperoleh
informasi tentang kondisi diatas dapat dilakukan melalui intepretasi citra satelit dan lain lain,
namun sangat disarankan untuk melaksanakan survey lapangan dengan menunjuk konsultan yang
sudah berpengalaman (Malangyudo, 2014).
Tanah
Kriteria kesesuaian tanah untuk produktifitas tanaman kelapa sawit di klasifikasikan
dalam empat kelas dari sangat sesuai (S1), Sesuai dengan faktor pembatas minor (S2), bisa
sesuai dengan banyak faktor pembatas (S3) dan tidak sesuai (N), seperti dipaparkan pada
tabel berikut ini :
Kondisi
S1 S2 S3 N
Tanah
Kedalaman
> 90 60 - 90 30 - 60 < 30
Tanah (cm)
Kemiiringan 0 – 12 ° 12 – 16 ° 16 – 24 ° > 24 °
Sandy Clay
Tekstur Loam, Sandy loam Sandy loam Sand
Loam
Strongly
Struktur Moderate.Developed Buruk Sangat Buruk
Developed
Konsistensi Gembur Agak Gembur Padat Sangat Padat
pH >4 3,5 - 4 3 – 3,5 <3
Tergenang karena Tergenang Tergenang
Permeabilitas Tidak Tergenang
sumbat musiman permanen
Fragmen
Tidak ada Tidak ada s/d 25 % laterit >25 % laterit
Batuan
Status Hara Subur Cukup Subur Kurang Subur Tidak Subur
Sumber : Malaysian Society of Soil Science 1977 dalam Malangyudo (2014)
Iklim
Salah satu parameter yang sering digunakan mewakili kondisi iklim adalah water
deficit. Water deficit merupakan interaksi kompleks dari elevasi, bulan kering, curah hujan
dan penyinaran matahari. Diketahui bahwa dampak signifikan dari besarnya water deficit per
tahun sangat tidak suitable untuk kelapa sawit sebab akan menyebabkan turunnya
produktifitas hingga 54 – 65 % dan oleh sebab itu, area seperti ini menjadi tidak ekonomis
buat perkebunan kelapa sawit. Area tanpa adanya water deficit merupakan area yang ideal
untuk kelapa sawit., namun water deficit kurang dari 200 mm masih baik untuk kelapa sawit.
Water deficit antara 200 – 300 m menjadi faktor pembatas ringan untuk kelapa sawit,
sedangkan area dengan water deficit antara 300 – 500 mm menjadi area marginal land
perkebunan kelapa sawit (Caliman dan Southworth, 1998). Berikut ini adalah peta
perwilayahan (Zona) agroklimat di Indonesia dalam hubungannya dengan perkebunan kelapa
sawit (Malangyudo, 2014).
1 Curah hujan 1750 – 3000 mm; Sumatera Utara bagian Water deficit sekitar
1 bulan kering; lama timur, Aceh bagian 200 mm per tahun;
penyinaran matahari 6 jam per timur, Bagian utara dan
hari selatan Kepala Burung Sangat Sesuai untuk
Papua, Pantai utara Kelapa Sawit
Papua dan sebagian di
selatan Papua
2 Curah hujan 1750 – 3000 mm; Hampir seluruh wilayah Water deficit rendah
1 – 2 bulan kering; lama Riau, Jambi bagian timur namun radiasi
penyinaran matahari 6 jam per Sumatera Selatan, Pulau matahari sangat
hari Aru, sebagian kecil di kuat, sehingga
selatan Papua. produksi dapat turun
di musim kemarau.
3 Curah hujan > 3000 mm ; Aceh bagian Barat, Water deficit rendah
1 – 2 bulan kering; lama Sumatera Utara bagian namun radiasi
penyinaran matahari 5 – 5,5 Barat, Pulau Nias, matahari sangat
jam per hari Sumatera Barat bagian kuat, sehingga
utara. produksi dapat turun
di musim kemarau.
4 Curah hujan 2500 - 3000 mm; Kalimantan Barat dan Water deficit kurang
1 – 2 bulan kering; lama Papua bagian Barat dari 200 mm per
penyinaran matahari 6 jam per tahun; Sesuai untuk
hari Kelapa Sawit
5 Curah hujan > 3000 mm ; Sumatera Barat bagian Water deficit rendah
1 – 2 bulan kering; lama selatan dan bagian utara namun radiasi
penyinaran matahari 6 jam per Bengkulu matahari sangat
hari kuat, sehingga
produksi dapat turun
di musim kemarau.
6 Curah hujan 1450 – 1750 mm; Sebagian kecil di utara Water deficit 200 –
1 – 2 bulan kering; lama Kalimantan Timur, 300 mm radiasi
penyinaran matahari 5 – 5,5 Sulawesi Tengah matahari lemah,
jam per hari (kecuali Palu dan sehingga produksi
sekitarnya) dan bagian rendah.
utara Maluku
7 Curah hujan 1450 – 1750 mm; Sumatera Selatan bagian Water deficit 300 –
1 – 3 bulan kering; lama selatan, Bangka 400 mm,
penyinaran matahari 6 jam per Belitung,Lampung kontribusinya
hari bagian timur, sebagian menyebabkan
kecil Kalimantan produksi sawit
Tengah, Hampir seluruh rendah.
Sulawesi Selatan dan
perbatasan Papua dengan
Papua Nugini bagian
selatan
8 Curah hujan 1750 – 3000 mm; Lampung bagian barat Water deficit 200 –
3 – 4 bulan kering; lama dan sebagian kecil Jawa 300 mm, sehingga
penyinaran matahari 5,5 – 6 Barat produksi rendah
jam per hari selama musim
kemarau
9 Curah hujan 1250 – 1450mm ; Palu dan sekitarnya, Water deficit 300 –
3 – 4 bulan kering; lama hampir seluruh Sulawesi 400mm,
penyinaran matahari 5,5 – 6 Tenggara, Maluku menyebabkan
jam per hari Tengah dan Maluku produksi sawit
Selatan rendah.
10 Curah hujan 1250 – 1450mm ; Bagian timur Jawa Tidak sesuai untuk
> 4 bulan kering; lama Barat, Jawa Tengah, Kelapa Sawit
penyinaran matahari 6 jam per Jawa Timur, Bali, bagian
hari selatan Sulawesi Selatan
dan bagian selatan
Sulawesi Tenggara.
a. Jaringan Jalan
Panjang dan kualitas jalan di kebun merupakan salah satu faktor yang sangat
menentukan dalam menjamin kelancaran pengangkutan bahan, alat dan produksi serta
pengontrolan lapangan. Rencana pembuatan jaringan jalan harus selaras dengan desain kebun
secara keseluruhan, yang disesuaikan dengan kondisi topografi dan kebutuhan kebun.
Berdasarkan kebutuhan di lapangan terdapat beberapa jenis jalan, antara lain: ·
Jalan Utama (Main Road), yaitu jalan yang menghubungkan antara satu afdeling dengan
afdeling lainnya maupun dari afdeling ke pabrik serta menghubungkan langsung pabrik
dengan jalan luar/umum. Jalan utama dengan lebar 6 & 8 m, dilalui kendaraan lebih sering
dan lebih berat, termasuk kendaraan umum, sehingga perlu diperkeras dengan batu. Jalan
utama biasanya dibangun secara terpadu dengan infrastruktur lain seperti perumahan, bengkel
dan kantor.
Jalan Produksi (Collection Road), yaitu jalan yang berfungsi sebagai sarana untuk
mengangkut produksi TBS dari TPH. Jalan ini terdapat diantara blok dan berhubungan
dengan jalan utama, dibuat tegak lurus terhadap baris tanaman. Jalan ini lebih kecil dari jalan
utama, dengan lebar 5 – 6 m dan pada tempat tertentu perlu diperkeras. Untuk satu
hektar diperlukan sepanjang 50 m.
Jalan Kontrol (Control Road), yaitu jalan yang terdapat di dalam setiap blok. Jalan kontrol
berfungsi untuk memudahkan pengontrolan areal pada tiap blok dan sebagai batas pemisah
antar blok tanaman. Jalan ini lebarnya 4 & 5 m dan tiap hektar membutuhkan 10 m
(Malangyudo, 2014).
b. Saluran Air
Perencanaan pembangunan saluran air didasarkan atas topografi lahan, letak sumber air,
dan tinggi muka air tanah. Sistem pengeluaran air berlebih (drainase) dibuat berdasarkan kondisi
drainase areal. Untuk lahan gambut, pengelolaan tata air sangat dominan, mengingat karakteristik
lahan gambut yang mengering dan mengkerut tidak balik (irreversible shrinkage) apabila
mengalami kekeringan (Malangyudo, 2014).
ASPEK SOSIAL
Pada dasarnya, penguasaan lahan menurut hukum negara maupun adat, memiliki
banyak kesamaan, karena pada hakekatnya disusun atas nilai-nilai sosial dan kesejahteraan
bersama di dalamnya. Sehingga penggunaan tanah yang mampu memberi nilai ekonomi lebih,
misalnya dengan membangun perkebunan besar, dapat diterima asalkan misalnya dilakukan di
atas prinsip keadilan. Jika berdasarkan akal sehat, tidak mungkin suatu masyarakat hukum adat
mempertahankan isi dan pelaksanaan hak ulayatnya secara mutlak, seakan-akan ia terlepas dari
pada hubungannya dengan masyarakat masyarakat hukum dan daerah-daerah lainnya didalam
lingkungan negara sebagai kesatuan, k arena akan berakibat terhambatnya usaha-usaha untuk
mencapai kemakmuran rakyat seluruhnya.
Pada umumnya orang hanya memahami bahwa HGU berlaku untuk tanah negara,
sebagaimana Pasal 28 ayat 1 UUPA dan Pasal 4 PP No. 40/1996 Tentang Hak Guna Usaha, Hak
Guna Bangunan Dan Hak Pakai Atas Tanah. Namun Pasal 4 ayat 2 Permenag No. 5/1999
menyatakan bahwa: ”Pelepasan tanah ulayat sebagaimana dimaksud pada ayat 1 huruf b untuk
keperluan pertanian dan keperluan lain yang memerlukan Hak Guna Usaha atau Hak Pakai, dapat
dilakukan oleh masyarakat hukum adat dengan penyerahan penggunaan tanah untuk jangka
waktu tertentu, sehingga sesudah jangka waktu itu habis, atau sesudah tanah tersebut tidak
dipergunakan lagi atau ditelantarkan sehingga Hak Guna Usaha atau Hak Pakai yang
bersangkutan hapus, maka penggunaan selanjutnya harus dilakukan berdasarkan persetujuan baru
dari masyarakat hukum adat yang bersangkutan sepanjang hak ulayat masyarakat hukum adat itu
masih ada sesuai ketentuan Pasal 2.
Harus dipahami bahwa di Indonesia secara garis besar hanya dikenal ada dua jenis Hak
atas Tanah, yaitu Hak Milik sebagai bentuk dari penguasaan tetap atas tanah dan Hak Pakai
dimana penguasaan atas tanah bersifat sementara atau tidak permanen. Hak Pakai dibagi menurut
penggunaannya, yang antara lain Hak Guna Bangunan untuk properti, Hak Guna Usaha untuk
perkebunan dan Hak Pakai untuk kepentingan lain lain.
Bagi perkebunan, Hak Guna Usaha baik diatas tanah negara maupun diatas tanah adat
pada hakekatnya adalah sama, yakni hak penguasaan tanah yang bersifat sementara atau tidak
permanen menurut kurun waktu tertentu. Ketika jangka waktu itu habis, atau sesudah tanah
tersebut tidak dipergunakan lagi, maka tanah tersebut harus dikembalikan kepada pemiliknya
yang sah, yaitu kepada negara bila diatas tanah negara atau kepada masyarakat adat bila di atas
tanah adat atau pemilik perorangan. Bila penggunaannya akan dilanjutkan, maka harus dilakukan
berdasarkan ijin perpanjangan dari negara atau persetujuan baru dari masyarakat hukum adat
yang bersangkutan sepanjang hak ulayat masyarakat hukum adat itu masih menghendaki.
Konflik sosial yang sering terjadi adalah akibat tidak adanya pemahaman tentang HGU,
baik dari pihak investor maupun masyarakat. Pada dasarnya dalam HGU tidak pernah terjadi
pengalihan Hak kepemilikan atas tanah, yang ada hanyalah Hak Pakai selama kurun waktu yang
di sepakati, yaitu selama usia HGU itu berlaku. Tanpa penjelasan melalui proses sosialisasi,
masyarakat menjadi tidak paham dan akan merasa kehilangan. Kompensasi yang diberikan pada
hakekatnya bukan GANTI RUGI, akan tetapi semacam BIAYA PINJAM PAKAI dimana pemilik
lahan juga akan menerima bagian kebun sesuai proporsi luas lahannya dalam konteks Program
Inti Plasma (Malangyudo, 2014).
Dalam hal ini lahan plasma melalui wadah koperasi akan dibuatkan sertifikat HGU atas
nama Koperasinya dan bukan sertifikat Hak Milik. Dengan demikian, ketika Ketika jangka
waktu HGU itu habis, atau sesudah tanah tersebut tidak dipergunakan lagi, maka tanah tersebut
akan mudah untuk dikembalikan kepada pemiliknya atau ahli warisnya yang sah. Melalui pola
seperti ini, potensi konflik sosial akan menjadi sangat kecil, namun terlepas dari semua itu,
pemilihan lokasi sebaiknya diarahkan pada area dimana perkampungan tidak banyak dan
pemanfaatan air untuk kebutuhan sehari hari tidak besar dan pemanfaatan lahan untuk
perladangan atau pertanian masyarakat juga tidak luas. Dari pengalaman, dapat dikatakan bahwa,
luas efektif yang dapat diperoleh untuk pembangunan perkebunan berkisar 60 % hingga 70 %
dari luas ijin lokasi yang diberikan oleh Bupati. Adapun faktor pengurang yang utama dapat
dilihat pada contoh berikut ini :
a. Inti Plasma
Pola pengembangan yang diterapkan atau dikembangkan oleh perusahaan harus
mengikuti pola pengembangan berdasarkan pola kemitraan sebagaimana yang diatur dalam
Peraturan Menteri Pertanian Nomor : 26/Permentan/OT.140/2/2007 tentang Pedoman Perizinan
Usaha Perkebunan dimana Perusahaan perkebunan yang memiliki IUP atau IUP-B akan
membangun kebun untuk masyarakat sekitar paling rendah seluas 20% (dua puluh per seratus)
dari total luas areal kebun yang diusahakan oleh Perusahaan, artinya adalah jika Perusahaan
membangun kebun milik Perusahaan (“Inti”). Komposisi inti dan plasma merupakan sebuah hasil
kesepakatan awal antara Pihak Inti dan Masyarakat yang harus dituangkan dalam sebuah
perjanjian ikatan kemitraan. Komposisi tersebut bervariasi dari 50 : 50 hingga 70 : 30 , dimana
pihak inti menguasai 70 % dan pihak Plasma 30 % (Malangyudo, 2014).
Adapun lingkup hunbungan kemitraan meliputi :
Penyediaan Lahan
Lahan yang dimaksud harus memenuhi kriteria kesesuaian lahan (suitable) dari aspek
teknis, terjamin dari aspek Legal dan kondusif secara sosial.
Pembangunan Perkebunan
Inti bertanggung jawab membangun kebun sesuai kriteria pada standar aplikasi
agronomis yang baik, menjadi penjamin pasar hasil produksi kebun plasma dengan menyediakan
pabrik pengolahan TBS, memberikan kesempatan pertama pada anggota plasma untuk menjadi
tenaga kerja perkebunan dll.
Pembiayaan
Inti bertanggung jawab mengupayakan sumber dana perbankan untuk plasma dan
bertindak selaku avalist serta proses pengembalian hutang petani plasma (Malangyudo, 2014).
b. Sosialisasi Kegiatan Proyek
Perubahan Persepsi Masyarakat
Idealnya ”sosialisasi” dimaknai sebagai proses diseminasi dan pembelajaran tentang
norma-norma yang berlaku sehingga dapat berperan dan diakui oleh kelompok masyarakat yang
menjadi sasaran program atau proyek. Pada tingkat implementasi program atau proyek,
sosialisasi pada dasarnya merupakan upaya penyebarluasan informasi (program, kebijakan,
peraturan) dari satu pihak (pemrakarsa program, kebijakan, peraturan) kepada pihak-pihak lain
(aparat, masyarakat yang terkena program, dan masyarakat umum). Isi informasi yang
disebarluaskan harus menyeluruh sesuai dengan tujuan program, seperti : Informasi dan materi
yang disosialisaikan meliputi : kebijakan operasional program atau rencana usaha pada seluruh
tahapan kegiatan baik pada tahap pra-operasi, operasi, panduan dan standar kinerja yang
digunakan, hasil kegiatan, lessons learned dari pengalaman baik (best practices) proyek yang
sama untung ruginya ada proyek, dampak positip dan negatip proyek, program CD atau CSR
yang dirancang untuk masyarakat, pola kemitraan, system rekruitmen tenaga kerja, hak dan
kewajiban perusahaan dan masyarakat, kebijakan exit strategy dan rencana pasca operasi
(Malangyudo, 2014).
c. Perijinan
Pengelolaan Usaha Budidaya Perkebunan
Kebijakan teknis terbaru yang terkait dengan perizinan usaha perkebunan telah diatur
secara operasional oleh Menteri Pertanian melalui Permentan No.26/Permentan/OT.140/2/2007
tentang Pedoman Perizinan Usaha Perkebunan. Di dalam permentan tersebut, yaitu Pasal 5 dan
Pasal 6, menginformasikan bahwa untuk usaha budidaya tanaman perkebunan dengan luasan
lahan lebih dari 25 hektar wajib memiliki izin usaha perkebunan untuk Budidaya (IUP-B),
sedangkan untuk luasan lahan kurang dari 25 hektar cukup didaftarkan dengan bukti Surat Tanda
Daftar Usaha Budidaya Perkebunan (STD-B) dari Bupati atau Walikota. Terkait dengan pola
usaha perkebunan, Pasal 22 UU No.18/2004 menyebutkan bahwa Perusahaan perkebunan
melakukan kemitraan yang saling menguntungkan, saling menghargai, saling bertanggungjawab,
saling memperkuat dan saling ketergantungan dengan pekebun, karyawan dan masyarakat sekitar.
Adapun Pola kemitraan usaha perkebunan dapat berupa kerjasama penyediaan sarana produksi,
kerjasama produksi, pengolahan dan pemasaran, transportasi, kerjasama operasional, kepemilikan
saham dan jasa pendukung lainnya.
Adapun berdasarkan ketentuan sebagaimana tercantum dalam Pasal 11 Permentan No.
No.26/Permentan/OT.140/2/2007 tentang Pedoman Perizinan Usaha Perkebunan, dinyatakan
bahwa Perusahaan yang memiliki IUP-B wajib membangun kebun untuk masyarakat sekitar
paling rendah seluas 20% (dua puluh persen) dari total luas areal perkebunan yang diusahakan
oleh perusahaan. Pembangunan kebun masyarakat untuk masyarakat tersebut dapat dilakukan
antara lain melalui pola kredit, hibah atau bagi hasil yang dilakukan bersamaan dengan
pembangunan kebun yang diusahakan oleh perusahaan.
UU No.18/2004 memuat ketentuan bahwa usaha industri pengolahan hasil perkebunan
adalah kegiatan penanganan dan pemrosesan yang dilakukan terhadap hasil tanaman perkebunan
yang ditujukan untuk mencapai nilai tambah yang lebih tinggi. Pencapaian nilai tambah tersebut
dapat dilakukan di dalam atau di luar kawasan pengembangan perkebunan dan dilakukan secara
terpadu dengan usaha budidaya tanaman perkebunan, sebagaimana dimaksud di dalam Pasal 27
ayat (3). Di samping itu, usaha industri pengolahan hasil perkebunan harus dapat menjamin
ketersediaan bahan bakunya dengan mengusahakan budidaya tanaman perkebunan sendiri,
melakukan kemitraan dengan pekebun, perusahaan perkebunan dan atau bahan baku dari sumber
lainnya, sebagaimana dimaksud di dalam Pasal 17 UU No.18/2004 dimaksud.
Guna menegaskan keterjaminan pasokan bahan baku bagi usaha industri pengolahan
hasil perkebunan, maka Menteri Pertanian melalui Permentan No.26/Permentan/OT.140/2/2007
mengatur mengenai keharusan bagi usaha industri pengolahan hasil kelapa sawit memenuhi
paling rendah 20% kebutuhan bahan bakunya dari kebun yang diusahakan sendiri, sebagaimana
termuat dalam ketentuan Pasal 10 Permentan dimaksud. di dalam atau di luar kawasan
pengembangan perkebunan dan dilakukan secara terpadu dengan usaha budidaya tanaman
perkebunan, sebagaimana dimaksud di dalam Pasal 27 ayat (3). Disamping itu, usaha industri
pengolahan hasil perkebunan harus dapat menjamin ketersediaan bahan bakunya dengan
mengusahakan budidaya tanaman perkebunan sendiri, melakukan kemitraan dengan pekebun,
perusahaan perkebunan dan atau bahan baku dari sumber lainnya, sebagaimana dimaksud di
dalam Pasal 17 UU No.18/2004 dimaksud.
Guna menegaskan keterjaminan pasokan bahan baku bagi usaha industri pengolahan
hasil perkebunan, maka Menteri Pertanian melalui Permentan No.26/Permentan/OT.140/2/2007
mengatur mengenai keharusan bagi usaha industri pengolahan hasil kelapa sawit memenuhi
paling rendah 20% kebutuhan bahan bakunya dari kebun yang diusahakan sendiri, sebagaimana
termuat dalam ketentuan Pasal 10 Permentan dimaksud. Terkait dengan Perizinan usaha,
Permentan Nomor 26/Permentan/OT.140/2/2007 mengatur bahwa untuk usaha industri
pengolahan hasil perkebunan yang WAJIB mendapat Izin Usaha Perkebunan untuk pengolahan
(IUP-P) adalah yang memiliki kapasitas produksi pengolahan 5 ton tandan buah segar per jam.
Sedangkan untuk yang berkapasitas dibawah dari kapasitas tersebut cukup mendaftarkannya yang
kemudian dibuktikan dengan Surat Tanda Daftar Usaha Industri Pengolahan Hasil Perkebunan
(STD-P) yang diterbitkan oleh Bupati/Walikota.
Dari uraian diatas jelas, bahwa IUP adalah wajib di miliki sebelum mulai melaksanakan
pembangunan Perkebunan, namun IUP itu sendiri tidak akan diterbitkan oleh Bupati atau
Gubernur sebelum pengusaha melaksanakan AMDAL diatas lahan yang sudah dipilih.
Izin Usaha Perkebunan (IUP) diberikan oleh :
Gubernur, apabila lokasi lahan usaha perkebunan berada pada lintas wilayah daerah
Kabupaten dan atau Kota;
Bupati atau Walikota, apabila lokasi lahan usaha perkebunan berada diwilayah daerah
Kabupaten atau Kota.
Izin Usaha Perkebunan berlaku selama perusahaan masih melakukan pengelolaan
perkebunan secara komersial yang sesuai standar teknis dan sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan yang berlaku serta memenuhi seluruh kewajiban yang telah ditetapkan.
Usaha perkebunan dapat dilakukan oleh perorangan warga negara Indonesia atau badan hukum
yang didirikan menurut hukum Indonesia meliputi Koperasi, Perseroaan Terbatas (PT), Badan
Usaha Milik Negara (BUMN), dan Badan Usaha Milik Daerah (BUMD). Untuk memperoleh izin
usaha perkebunan, perusahaan perkebunan wajib memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
a. Akte pendirian atau perubahannya yang terakhir,
b. Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP),
c. Surat Keterangan Domisili,
d. Rencana kerja usaha perkebunan,
e. Rekomendasi lokasi dari instansi pertanahan,
f. Pertimbangan teknis ketersediaan lahan dari instansi kehutanan sepanjang kawasan hutan,
g. Rekomendasi teknis kesesuaian lahan dari Kepala Dinas yang membidangi usaha perkebunan
Provinsi, Kabupaten atau Kota setempat yang didasarkan pada perencanaan makro,
perwilayahan komoditi dan RUTR,
h. Pernyataan mengenai pola pengembangan yang dipilih dan dibuat dalam akte notaris,
i. Peta calon lokasi dengan skala 1: 100.000,
j. Surat persetujuan dokumen AMDAL dari komisi AMDAL daerah (Malangyudo, 2014).
Dengan telah diperolehnya perijinan dasar yang berupa, Ijin Lokasi, Amdal dan IUP,
maka perusahaan perkebunan baru secara sah dapat mulai beroperasi. Sedangkan proses
sosialisasi dalam rangka perolehan lahan sudah dapat dimulai sejak Ijin Lokasi sudah di terbitkan
dan laporan hasil survey detil sudah selesai. Diagram proses perijinan untuk kawasan hutan
konversi dan kawasan APL dapat dilihat dibawah ini :
BENIH KELAPA SAWIT
Menurut Malangyudo (2014) sasaran utama dari perkebunan kelapa sawit adalah
menghasilkan yield atau produktifitas TBS ton per hektar atau produktifitas CPO ton per hektar
yang tinggi. Faktor faktor yang sangat mempengaruhi pertumbuhan dan produktifitas tanaman,
diantaranya adalah kualitas dan karakteristik bahan tanaman atau benih yang ditanam. Benih dan
Pembibitan merupakan langkah awal dari seluruh rangkaian kegiatan budidaya tanaman kelapa
sawit dan bersifat monumental, artinya kesalahan memilih benih hari ini, risikonya akan
ditanggung selama 30 tahun.
a. Produksi Benih
Varietas unggul kelapa sawit adalah varietas Dura sebagai induk betina dan Pisifera
sebagai induk jantan
DURA x PISIFERA (D xP)
Kebanyakan berbasis pada Deli dura yang berasal dari
– Chemara, Banting, DOA/MARDI/MPOB, Dami, Socfindo, Dabou
Sumber Utama pisifera
– AVROS, NIFOR (Calabar), Ekona, Yangambi, La Me
PERENCANAAN KEUANGAN
Perencanaan keuangan dalam perusahaan perkebunan kelapa sawit merupakan suatu
kegiatan yang penting untuk mendukung keberlanjutan serta jalannya kinerja dalam perusahaan
perkebunan kelapa sawit. Perencanaan keuangan meliputi kegiatan persiapan lahan, kegiatan
budidaya, panen dan pasca panen, pengolahan bahan mentah dan limbah, serta kegiatan
pendistribusian. Dalam perencanaan perusaan perkebunan kelapa sawit tersedia hasil audit neraca
keuangan perusahaan oleh akuntan publik, serta terdapat laporan keuangan yang diperbarui setiap
tahun.
SUMBERDAYA MANUSIA
Ruang lingkup manajemen sumberdaya manusia dalam perkebunan meliputi perencanaan
sumberdaya manusia, penyajian data analisa tiap pekerjaan, remunerasi atau tunjangan dan gaji,
pengembangan karier SDM dalam perusahaan, serta penilaian kerja masing-masing individu.
Perencanaan sumberdaya manusia meliputi perencanaan kebutuhan karyawan dan suplai,
inventori tenaga unggul atau kader, serta bagan rencana penggantian posisi serta
ringkasannya. Tujuan dari perencanaan SDM dalam perusahaan adalah untuk
menyelaraskan aktivitas SDM dengan tujuan perusahaan perkebunan serta meningkatkan
pendayagunaan SDM dalam perusahaan. Kegiatan dari perencanaan SDM ini salah satunya
untuk pendataan kinerja individu karyawan serta persiapan penggantian tempat untuk
promosi jabatan.
Penyajian data analisa pekerjaan meliputi standar pekerjaan yang mempunyai SOP
tersendri, uraian pekerjaan, serta spesifikasi pekerjaan. Uraian pekerjaan dari penyajian
data analisa pekerjaan ini antara lain memberikan informasi tentang lingkup pekerjaan tiap
pemangku jabatan dan penjelasan mengenai kewajiban, tugas dan hubungan tanggungjawab
tiap pemangku jabatan, sehingga dapat menghindarkan dari overlapping pekerjaan.
Remunerasi meliputi upah, gaji, dan golongan , serta paket tunjangan. Remunerasi
bertujuan untuk memikat dan menahan karyawan yang vakap, memotivasi karyawan, serta
dapat meningkatkan kepatuhan karyawan pada peraturan perusahaan. Remunerasi meliputi
kompensasi finansial dan kompensasi non-finansial.
Pengembangan karier meliputi rencana karier dalam organisasi dan rencana karier secara
individu. Pengembangan karier bertujuan untuk kaderisasi karyawan, tersedianya jalur
karier bagi tenaga kerja yang cakap dan berbakat, serta untuk memenuhi kepuasan
kebutuhan dalam pengembangan pribadi karyawan. Dalam perencanaan karier organisasi,
hal-hal yang mencakup di dalamnya, antara lain orang, waktu, serta pangkat atau golongan
tiap jabatan. Sedangkan perencanaan karier individu meliputi masa kerja individu,
minimum tingkat pendidikan dan pelatihan karyawan, serta adanya peluang promosi.
Penilaian kinerja masing-masing individu meliputi standar dan ukuran kinerja masing-
masing individu, teknik penilaian karyawan, serta teknik wawancara dan evaluasi masing-
masing individu karyawan. Penilaian kerja bertujuan untuk menghasilkan data yang akurat
berkenaan dengan perilaku dan kinerja karyawan sebagai dasar pengambilan keputusan
kepersonaliaan, serta dapat menghasilkan alat bantu untuk pimpinan dalam program
pengembangan kinerja karyawan.
PEMBUKAAN LAHAN
PENGENDALIAN GULMA
PEMUPUKAN
SENSUS POHON
Sensus pohon adalah menghitung jumlah pohon kelapa sawit tiap blok
pada areal afdeling. Dengan sensus pohon akan diketahui apakah jumlah pohon
tiap blok telah sesuai atau belum terhadap standar.
Standar Sensus Pohon
Jumlah pohon tiap blok harus sesuai dengan standar jarak tanam atau kerapatan
pohon yaitu 136 pohon /ha
Sensus pohon harus dilakukan setelah selesai penanaman dan tidak boleh lebih
dari 6 bulan.
Pelaksanaan sensus harus memakai form sensus yang telah disediakan .
Hasil sensus harus dipetakan tiap blok.
Kode –kode dalam peta harus mengikuti aturan yang sudah ada.Sensus dilakukan
setahun sekali oleh petugas sensus.
Ka. Afdeling harus melakukan cross check terhadap hasil sensus yang dibuat
petugas.
PERALATAN KERJA
Peralatan panen
Untuk umur TM muda (3 – 5 tahun) alat panen yang digunkan adalah
dodos, sedangkan untuk TM dewasa (diatas 5 tahun) alat panen yang digunakan
adalah egrek. Alat – alat tambahan dalam kegiatan panen adalah gancu, kereta
sorong (angkong), goni, tali dan kapak.
Perencanaan pabrik disesuaikan dengan luas areal tanaman kelapa sawit yang
produksinya akan diolah dan letaknya tidak mengganggu kesehatan lingkungan
pemukima
PENGOLAHAN LIMBAH
Kelapa sawit merupakan salah satu komoditi andalan Indonesia yang perkembangannya sangat
pesat. Selain produksi minyak kelapa sawit yang tinggi, produk samping atau limbah pabrik
kelapa sawit juga tinggi. Secara umum limbah dari pabrik kelapa sawit terdiri atas tiga macam
yaitu limbah cair, padat dan gas. Limbah cair pabrik kelapa sawit berasal dari unit proses
pengukusan (sterilisasi), proses klarifikasi dan buangan dari hidrosiklon. Pada umumnya, limbah
cair industri kelapa sawit mengandung bahan organik yang tinggi sehingga potensial mencemari
air tanah dan badan air.
Sedangkan limbah padat pabrik kelapa sawit dikelompokan menjadi dua yaitu limbah yang
berasal dari proses pengolahan dan yang berasal dari basis pengolahan limbah cair. Limbah padat
yang berasal dari proses pengolahan berupa Tandan Kosong Kelapa Sawit (TKKS), cangkang
atau tempurung, serabut atau serat, sludge atau lumpur, dan bungkil. TKKS dan lumpur yang
tidak tertangani menyebabkan bau busuk, tempat bersarangnya serangga lalat dan potensial
menghasilkan air lindi (leachate). Limbah padat yang berasal dari pengolahan limbah cair berupa
lumpur aktif yang terbawa oleh hasil pengolahan air limbah. Kandungan unsur hara kompos yang
berasal dari limbah kelapa sawit antara lain N, P2O5, dan K2O.
Pemanfaatan limbah cair pabrik kelapa sawit dari kolam anaerobik sekunder dengan BOD 3.500-
5000 mg/liter yang dapat menyumbangkan unsur hara terutama N dan K, bahan organik, dan
sumber air terutama pada musim kemarau. Kandungan hara limbah cair sisa tanaman kelapa
sawit adalah 450 mg N/l, 80 mg P/l, 1.250 mg K/l dan 215 mg/l. Sistem aplikasi limbah cair
dapat dilakukan dengan system sprinkle (air memancar), flatbed (melalui pipa ke bak-bak
distribusi ke parit sekunder), longbed (ke parit yang lurus dan berliku-liku) dan traktor tanki
(pengangkutan limbah cair dari IPAL/Instalasi Pengolah Air Limbah) ke areal tanam.
Dengan perencanaan yang benar limbah sisa tanaman kelapa sawit tersebut tidak akan mencemari
lingkungan sekitar dan jika pengolahannya sesuai, limbah kelapa sawit tersebut akan member
manfaat seperti bisa digunakan sebagai sumber unsure hara untuk pertumbuhan kelapa sawit
selanjutnya.
Salah satu strategi pemasaran yang sebaiknya harus diperhatikan agar aktivitas jalannya distribusi
dapat berjalan dengan lancar, adalah dengan memperhatikan saluran distribusi. Saluran ditribusi
dapat membantu perusahaan dalam proses pemasaran terutama untuk menganalisis berbagai
kendala yang terjadi di lapangan, sehingga dapat diambil kebijakan strategi yang tepat untuk
memecahkan masalah yang dihadapi dan distibusi kembali akan dapat berjalan dengan normal
dan baik demi tercapainya kepuasan konsumen.
Salah satu unit yang sangat membantu dalam jalannya proses distribusi adalah unit distributor.
Distributor sangat dibutuhkan oleh perusahaan dalam membantu pemasaran objek produksi.
Dalam menunjuk distributor yang tepat dan juga menetapkan kebijkan yang benar tentang saluran
distribusi dengan memperhatikan hal-hal sebagai berikut:
1. Melakukan riset dan analisis yang lebih mendalam terhadap pihak-pihak lembaga yang terkait
dalam menunjang proses pemasaran, terutama seabagai contoh adalah pihak-pihak terkait seperti
pedagang perantara antara pihak perusahaan dengan konsumen di daerah tertentu.
2. Mempertimbangkan karakteristisk dari segmen pasar yang telah dibidik, dan secara geografis
bagaimana lokasi pembeli, apakah mudah dijangkau atau keadaan yang terjadi adalah sebaliknya.
3. Memperhitungkan seberapa besar persediaan produk yang dipasok yang disesuaikan dengan
seberapa besar dengan kebutuhan konsumen. Hal ini bertujuan untuk menganailisis efektifitas
proses distribusi yang akan dilakukan dalam jangka panjang.
4. Memikirkan dengan segala jaringan pemasaran yang dimiliki agar dapat didaya upayakan
secara maksimal sehingga hasil pemasaran yang disokong dari proses distribusi dapat
memberikan hasil yang optimal.
5. Melakukan kegiatan promosi. Dengan adanya promosi maka konsumen akan mengetahui
bahwa perusahaan meluncurkan produk baru yang akan menggoda konsumen untuk melakukan
kegiatan pembelian. Kegiatan promosi banyak yang mengatakan identik dengan dana yang
dimiliki oleh perusahaan.
Pola distribusi yang harus dipertimbangkan dan selalu diamati adalah dengan melakukan
penyesuaian dengan perkembangan pola dinamika gaya hidup masyarakat. Jika hal ini dapat
dilakukan dengan baik, maka proses distibusi dapat berjalan dengan baik dan akan mensuport
untuk menghasilkan nilai penjualan yang memuaskan.
Daftar Pustaka
Malangyudo, Arie. 2014. Perencanaan Perkebunan Kelapa Sawit (Online).
http://arieyoedo.blogspot.com/2011/04/perencanaan-pembangunan-perkebunan.html.
Diakses pada tanggal 13 Maret 2014.
TUGAS KELOMPOK MANAJEMEN TANAMAN PERKEBUNAN
“Perencanaan Perkebunan Kelapa Sawit”
Di susun oleh :
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
FAKULTAS PERTANIAN
PROGRAM STUDI AGROEKOTEKNOLOGI
MALANG
2014