Anda di halaman 1dari 33

Kriteria Teknis Perencanaan Dermaga dan

Bangunan Lainnya

Perencanaan dermaga terkait erat dengan perencanaan fasilitas lainnya seperti alur
pelayaran, kolam pelabuhan, dan breakwater. Dengan adanya keterkaitan tersebut,
perencanaan teknis perlu dilakukan secara komprehensif agar masing-masing fasilitas
dapat berfungsi sebagaimana mestinya.

1. Ukuran Kapal Rencana

Ukuran kapal yang direncanakan akan menggunakan pelabuhan sebagai tempat


bongkar muat ikan akan mempengaruhi ukuran fasilitas laut pelabuhan. Beberapa
karakteristik umum kapal ikan diuraikan secara singkat sbb:

A. Kapal pancing
Jenis kapal pancing bergantung pada jenis ikan yang akan ditangkap, apakah Ikan
Pelagis atau Ikan Demersal. Selain itu, jenis kapal pancing juga bergantung pada
kegiatan industri perikanan di lokasi yang bersangkutan. Jumlah dan karakteristik kapal
dengan mengacu kepada jenis ikan yang ditangkap menentukan fasilitas yang perlu
disediakan oleh pelabuhan ikan.

B. Kapal laut kecil


Kapal laut kecil dengan panjang 3 m sampai 15 m, yang beroperasi dengan motor
dalam atau luar baik menggunakan layar atau dayung, umumnya terbuat dari kayu dan
fiber. Sedangkan kapal dengan panjang antara 15 m sampai 25 m biasanya dibuat
dari baja. Kapasitas tampung kapal ini berkisar antar 0,5 sampai 20 ton. Pada kondisi
tertentu, kapal-kapal yang lebih besar dapat mencapai 60 ton. Draft untuk kapal yang
telah disebutkan berkisar antara 1 m sampai 2 m, sedangkan kapal yang lebih besar
memiliki draft mencapai 3,5 m.

Siklus pemancingan untuk kapal laut kecil adalah 1 sampai 2 hari, dan untuk kapal
besar dapat mencapai satu minggu dengan menggunakan es atau garam untuk

1
mengawetkan ikan. Kapal kecil biasanya menggunakan jaring, barisan dan perangkap
ikan, sementara kapal besar menggunakan pukat (purse seining) atau jaring ikan
(trawling). Kegunaan dari es di kapal dan pengepakan di laut adalah sebagai ukuran
pengembangan perikanan.

C. Kapal laut besar


Kapal laut besar panjangnya berkisar antara 30 m sampai 40 m, memiliki draft
mencapai 4,5 m dan dapat membawa sampai 500 ton ikan, dengan lama penangkapan
ikan di laut selama 1 sampai 2 minggu. Biasanya, ikan didinginkan atau diberi es di
atas kapal. Beberapa proses tertentu dapat dilakukan di atas kapal misalnya
pemotongan kepala dan pengeluaran isi perut ikan.

D. Kapal laut lebih besar


Kapal laut yang lebih besar, panjangnya antara 25 m sampai 80 m, memiliki kapasitas
tampung ikan sampai 3000 ton dengan rata-rata penangkapan ikan di laut 1 bulan.
Ikan diberi es, disimpan di lemari pendingin, dibekukan, atau diproses di atas kapal.
Kapal tuna termasuk ke dalam kategori ini. Kapal penampung seringkali disuplai oleh
kapal-kapal kecil. Umumnya, kapal-kapal ini menggunakan fasilitas komersil
pelabuhan. Dimensi kapal ikan dan terutama hubungan antara variasi dimensi-dimensi
yang ada bervariasi sesuai dengan tipe kapal, iklim dan kondisi laut, material
konstruksi dan tradisi setempat.
5

4
D max

D min
3

0 50 100 150 200 250 300 350 400 0 0 0

draught (m) tons

3
ax
Dm
e
erag
2 D av

0
0 20 30 40 50 60 70 80 90

draught (m) tons

Figure 1 Fishing vessel draughts


Gambar 1 Draft Kapal Ikan
10

DEPTH (M)
BEAM (M)
7

AM
5

BE
4

3
H
EPT
2
D
1

0
0 5 10 15 20 25 30 35 40 45 50 55 60

Gambar 2 Lebar dan kedalaman yang diperlukan untuk kapal ikan

Gross Tonnage [GT] biasanya digunakan untuk mengklasifikasikan kapal laut


untuk keperluan administratif. Bagaimanapun, metode pengukuran tonasi
diperkirakan berbeda tiap negara. 2,83 m 3 (100 ft3) ruang lingkupan dinyatakan
sebagai 1 ton gross. Salah satu metode untuk menghitung tonasi gross adalah
berdasarkan jumlah kubik (cubic number) kapal sebagai produk dari panjang,
lebar, dan kedalaman. Metode ini mengharuskan pengenalan block coefficient
[C] untuk memasukkan streamline kapal ke dalam perhitungan. Koefisien blok
ini berdasarkan panjang keseluruhan. Tonasi gross berkisar antara 0,18 sampai
0,23 kali jumlah kubik.

Sebagai pendekatan pertama, formula berikut ini dapat digunakan:

GT = 0,2 x LOA x B x D

Kapasitas tampungan ikan dari berbagai tipe kapal pancing sangatlah


bervariasi, bahkan tidak ada figur rata-ratanya yang dapat diberikan, yang dapat
hanyalah nilai rata-rata maksimum dan minimum saja.
2000

1800

1600

F I S H HOLD CAP (m3)


CUB IC NUM BE R (m 3)

ER
1400

MB
1200

NU
1000

IC
B
800

CU
R
600 CA
LD
400 HO
200

0
0 5 10 15 20 25 30 35 40 45 50 55 60

Gambar 3 Kapasitas tampung ikan dari kapal penangkap ikan


Figure 3 Cubic number and fish hold
capacity of fishing vessels

2. Perencanaan Alur Pelayaran

2.1 Umum

Alur pelayaran digunakan untuk mengarahkan kapal yang akan masuk ke kolam
pelabuhan. Perairan di sekitar alur harus cukup tenang terhadap pengaruh gelombang
dan arus laut. Perencanaan alur pelayaran didasarkan ukuran kapal terbesar yang
akan masuk ke kolam pelabuhan. Parameter bagi perencanaan kedalaman dan lebar
alur adalah sebagai berikut:

 Bathimetri laut (kedalaman perairan).


 Elevasi muka air rencana yang ada (hasil analisa pasang surut).
 Kondisi angin di perairan (arah dan kecepatan).
 Arah, kecepatan dan tinggi gelombang pada perairan (hasil peramalan
gelombang).
 Arus yang terjadi di perairan.
 Ukuran kapal rencana dan rencana manuver yang diperbolehkan.
 Jumlah lintasan kapal yang melalui alur pelayaran.
 Angka kemudahan pengontrolan kemudi kapal rencana.
 Trase (alignment) alur pelayaran dan stabilitas bahan dasar perairan.
 Koordinasi dengan fasilitas lainnya.
 Navigasi yang mudah dan aman.

2.2 Kedalaman Alur

Kedalaman air diukur terhadap muka air referensi nilai rerata dari muka air surut
terendah pada saat pasang kecil (neap tide) dalam periode panjang, yang disebut
LLWL (Lowest Low Water Level). Kedalaman alur total adalah:

H = d +G + R + P + S + K
dimana:

d= draft kapal (m)


G = gerak vertikal kapal karena gelombang dan squat (m)
R = ruang kebebasan bersih (m)
P = ketelitian pengukuran (m)
S = pengendapan sedimen antara dua pengerukan (m)
K = toleransi pengerukan (m)
Pendekatan untuk penentuan kedalaman alur (Gambar 1) adalah:

H = LLWL - draft kapal - clearance

LWS

Kapal
Draft

Clearance

Gambar 4 Penentuan Kedalaman Alur.

2.3 Lebar Alur

Saluran akses harus mempunyai lebar yang sesuai dengan jumlah jalur yang
dibutuhkan. Kondisi pendekatan terhadap pelabuhan harus diperhitungkan juga
dengan memperhatikan perilaku ombak, arus dan angin, serta margin tambahan
didekat rintangan seperti pemecah gelombang (breakwater). Lebar saluran juga
dipengaruhi oleh kemudahan dan keakuratan seorang navigator untuk menentukan
posisi kapalnya terhadap garis pusat (center line). Sama halnya, lebar saluran juga
dipengaruhi oleh faktor-faktor seperti pergerakan horizontal dari pelampung penanda
saluran terhadap pasang dan arus lainnya.

Lebar alur pelayaran dihitung dengan memakai persamaan sebagai berikut:

 Alur pelayaran untuk satu kapal


Lebar = 1,5B + 1,8B + 1,5B (lihat Gambar 5)
 Alur pelayaran untuk dua kapal
Lebar = 1,5B + 1,8B + C + 1,8B + 1,5B (lihat Gambar 6)
dimana:

B = lebar kapal (m)


C = clearence/jarak aman antar kapal (m), diambil = B
Untuk jelasnya, lebar alur pelayaran dapat dilihat pada Gambar 5 dan Gambar 6.

1,5 B 1,8 B 1,5 B

Kapal

Gambar 5 Lebar Alur Untuk Satu Kapal.

1,5 B 1,8 B C 1,8 B 1,5 B

B B

Kapal Kapal

Gambar 6 Lebar Alur Untuk Dua Kapal.

Kemiringan lereng alur pelayaran ditentukan berdasarkan analisa stabilitas lereng yang
harganya tergantung pada jenis material dasar perairan dan kedalaman alur.
Nilai minimum keseluruhan dari lebar saluran berkisar antara 30 m sampai 40 m, dapat
dipakai untuk kapal kecil sederhana dan kondisi laut yang baik. Bagaimanapun,
biasanya lebar bervariasi dari 90 m sampai 200 m. Untuk jalur luar yang digunakan
untuk lalu-lintas dua arah, sebagai aturan yang dibuat berdasarkan pengalaman, lebar
minimum berkisar 10 kali dari lebar ukuran kapal maksimum. Untuk saluran dalam, 8
kali dari lebar ukuran kapal maksimum akan berlaku.

3. Kolam Pelabuhan

3.1 Umum

Perairan yang menampung kegiatan kapal untuk bongkar muat, berlabuh, mengisi
persediaan dan memutar kapal dinamakan kolam pelabuhan. Parameter-parameter
bagi perencanaan kolam pelabuhan adalah sebagai berikut :

 Bathimetri laut (kedalaman perairan).


 Elevasi muka air rencana yang ada (hasil analisa pasang surut).
 Kondisi angin di perairan (arah dan kecepatan).
 Arah, kecepatan dan tinggi gelombang pada perairan (hasil peramalan
gelombang).
 Arus yang terjadi di perairan.
 Ukuran kapal rencana dan rencana manuver yang diperbolehkan.
 Perairan yang relatif tenang.
 Lebar dan kedalaman perairan disesuaikan dengan kebutuhan.
 Kemudahan gerak kapal (manuver).
Meskipun batas lokasi kolam pelabuhan sulit ditentukan secara tepat, akan tetapi
biasanya dibatasi oleh daratan, penahan gelombang, konstruksi dermaga atau batas
administratif pelabuhan.

Di samping parameter-parameter yang telah dijelaskan di atas, kolam pelabuhan juga


harus memenuhi syarat sebagai berikut :

 Cukup luas sehingga dapat menampung semua kapal yang datang berlabuh
dan masih dapat bergerak dengan bebas.
 Cukup lebar sehingga kapal dapat melakukan manuver dengan bebas yang
merupakan gerak melingkar yang tidak terputus.
 Cukup dalam sehingga kapal terbesar masih bisa masuk ke dalam kolam
pelabuhan pada saat air surut.

3.2 Luas Kolam

Untuk perencanaan luas kolam yang ada, kemudahan manuver kapal menjadi salah
satu faktor yang perlu diperhatikan. Mengingat hal tersebut, maka perlu disediakan
area pada kolam untuk dapat menampung kegiatan yang dilakukan oleh kapal mulai
dari kedatangan sampai berangkat dengan membuat perencanaan kolam sebagai
berikut:

 Perlu disediakan kolam putar untuk manuver kapal.


 Perlu adanya area bongkar muat kapal.
 Perlu disediakan area tambat terpisah dengan area bongkar.
Dengan demikian persamaan untuk menghitung kebutuhan luas kolam pelabuhan
adalah:

A = ATR + AB + AT
di mana:

ATR = luas kolam putar (turning basin) (m2)


AB = luas area bongkar muat (m2)
AT = luas area tambat (m2)

Lebar Kolam harus cukup untuk melakukan manuver sederhana dan putar balik dari
kapal terbesar, sementara yang lainnya ditambatkan di dermaga. Hal ini terlihat
signifikan bahwa untuk ukuran kapal maksimum sebesar 30 m, lebar kolam harus
diukur kurang lebih 160 m sampai 170 m, yaitu 5L sampai 6L.

Kolam harus memfasilitasi bongkar muat, pemberhentian, penambatan, manuver dan


area pelayanan kapal.

3.2.1 Kolam Putar (Turning Basing)

Turning basin atau kolam putar diperlukan agar kapal dapat mudah berbalik arah. Luas
area untuk perputaran kapal sangat dipengaruhi oleh ukuran kapal, sistem operasi dan
jenis kapal. Radius kolam putar diperkirakan sebesar 1,5 kali ukuran panjang kapal
maksimum sehingga luas kolam putar menjadi:
ATR =  (1,5.L)2
dimana:

ATR = luas kolam putar (m2)


L = panjang kapal maksimum yang akan berlabuh di pelabuhan (m)

3.2.2 Area Bongkar Muat

Kolam pelabuhan diperlukan untuk kegiatan berlabuh untuk bongkar muatan,


persiapan operasi (loading), dan lain sebagainya. Diperkirakan luas kolam untuk
keperluan tersebut tidak kurang dari sebagai berikut:

ABM = 3 (n.l.b)
dimana:

ABM = luas area bongkar muat yang dibutuhkan (m2)


n = jumlah kapal berlabuh di pelabuhan
L = panjang kapal (m)
B = lebar kapal (m)

3.2.3 Area Tambat

Bila kolam direncanakan untuk dapat menampung kapal bertambat dengan catatan
tidak mengganggu kegiatan bongkar muat dan manuvering kapal yang akan keluar
masuk kolam pelabuhan, maka luas area tambat yang dibutuhkan adalah:

AT = n.(1,5.L) x (4/3.B)
dimana:
L = panjang kapal (m)
B = lebar kapal (m)

3.3 Kedalaman Kolam

Kedalaman minimum dari saluran masuk dipertimbangkan berdasarkan faktor-faktor


berikut ini:

 draft maksimum dari kapal ukuran maksimum


 pergerakan kapal terhadap gelombang
 variasi tinggi muka air berdasarkan pasang dan angin
 ketenggelaman kapal berdasarkan squat
 ruang minimum untuk terjungkir
 topografi dasar saluran
 karakteristik material dari dasar saluran (sama pentingnya dengan
kemiringan sisi)
Tidak ada aturan yang dibuat berdasarkan pengalaman yang dapat diberikan, karena
secara teliti respon gelombang dapat sangat bervariasi pada tiap kasusnya.

Namun demikian, secara umum kedalaman kanal dan pelabuhan ditentukan oleh
faktor-faktor draft kapal dengan muatan penuh, tinggi gelombang maksimum (< 50
cm), tinggi ayunan kapal (squat) dan jarak aman antara lunas dan dasar perairan.
Komponen penentu kedalaman kolam dapat dilihat pada Gambar 7. Rumus untuk
menghitung kedalaman kolam dapat diberikan sebagai berikut:

D = d+S+C
dimana:

D = draft kapal (m)


S = squat kapal (m)
C = clearance/jarak aman (m)

Gambar 7 Komponen Penentu Kedalaman Kolam Pelabuhan.

4. Dermaga

4.1 Tinggi Gelombang di Kolam Pelabuhan

Dermaga berfungsi sebagai tempat membongkar muatan (unloading), memuat


perbekalan (loading), mengisi perbekalan (servicing) dan berlabuh (idle berthing).
Dasar pertimbangan bagi perencanaan dermaga sebagai berikut :
 Bathimetri laut (kedalaman perairan).
 Elevasi muka air rencana yang ada (hasil analisa pasang surut).
 Arah, kecepatan dan tinggi gelombang pada perairan (hasil peramalan
gelombang).
 Penempatan posisi dermaga mempertimbangkan arah angin, arus dan
perilaku pantai yang stabil.
 Panjang dermaga disesuaikan dengan kapasitas kebutuhan kapal yang akan
berlabuh.
 Lebar dermaga disesuaikan dengan kapasitas kebutuhan kapal yang akan
berlabuh.
 Lebar dermaga disesuaikan dengan kemudahan aktivitas dan gerak bongkar
muat kapal dan kendaraan darat.
 Berjarak sependek mungkin dengan fasilitas darat.
 Ketinggian demaga memperhatikan kondisi pasang surut.

Perilaku gelombang yang dapat diterima di tempat penambatan bergantung pada tinggi
dan periode gelombang, dan bergantung apakah kapal ditambatkan secara paralel
atau tegak lurus terhadap gelombang yang masuk. Untuk periode di bawah sekitar 6 s,
kapal laut kecil dapat membongkar muatan dengan adanya tinggi gelombang signifikan
Hs mencapai 0,3 m jika ditambatkan tegak lurus terhadap puncak gelombang yang
masuk, atau sekitar 0,15 m jika ditambatkan secara paralel.

Kapal besar dapat dibongkar muatannya dan dilayani sampai mencapai Hs = 0,5 m dan
Hs = 0,25 m masing-masing untuk arah pendekatan gelombang yang telah disebutkan
di atas. Untuk kapal yang disebutkan lebih akhir, dan periode gelombang lebih dari
sekitar 6 s, Hs mencapai 0,3 m dan 0,15 m untuk penambatan tegak lurus dan paralel
masing-masing dapat digunakan.

Tinggi gelombang yang dapat diterima digunakan untuk bongkar muatan normal
dengan menggunakan crane kecil atau derek, dan tidak sesuai untuk alat bongkar
muat spesial.

4.2 Pengaturan Penambatan

Penambatan dapat dilakukan pada:

 Paralel terhadap dermaga


Hal ini sangat menguntungkan untuk membongkar muatan karena ikan dapat
bergerak langsung dari kapal menuju terminal. Sebagai akibatnya, kecepatan
pembongkaran yang tinggi dapat dicapai, namun panjang dermaga yang
dibutuhkan besar. Di sepanjang dermaga ”marginal”, pelayanan seperti bahan
bakar, air dan es, biasanya hanya disediakan di bagian-bagian tertentu saja.
Bagaimanapun, untuk kapal pancing yang besar yang biasanya hanya melakukan
pemberhentian sebentar saja untuk membongkar muatan, mengisi bahan bakar
dan untuk penggantian kru, pelayanan harus terdapat di sepanjang dermaga.

Figure 5 Quaylength * Parallel berthing


Gambar 8 Penambatan paralel

 Penambatan miring (oblique)


Panambatan seperti ini mereduksi panjang dermaga dan dapat menjadi
menguntungkan, misalkan hanya terdapat sedikiti variasi ukuran kapal, dalam hal
ini bentuk dermaga adalah mata gergaji. Dalam hal dermaga yang lurus, variasi
ukuran kapal bukanlah faktor yang sangat penting.

 Tegak Lurus terhadap dermaga


Penambatan dapat dilakukan baik secara head-on (kepala maju) atau stern-on
(buritan maju). Panjang dermaga yang dibutuhkan diperkirakan berkurang. Tipe
penambatan seperti ini, bagaimanapun, sebenarnya membatasi kemungkinan
bongkar muatan secara operasi manual.
(a)

(b)

FigureQuaylength
6 *(a) oblique & (b) saw-tooth berthing
Gambar 9 Penambatan miring

Figure 7 Quaylength * Perpendicularl berthing


Gambar 10 Penambatan tegak lurus

 Dermaga menjari (fingerpiers) tegak lurus terhadap dermaga


Jenis ini merupakan variasi dari penambatan tegak lurus, tapi membutuhkan
peralatan transpor dari tempat pembongkaran untuk tidak membatasi kapasitas
kap//asitas dan hal ini dirasakan terlalu berat. Sebuah keuntungan dari jenis
penambatan ini adalah kedua sisi dapat dipergunakan untuk penambatan. Hal ini
meminimalisasikan panjang dermaga yang dibutuhkan.

Figure 8 Quaylength * Fingerpiers


Gambar 11 Penambatan menjari

4.3 Panjang Dermaga

Faktor-faktor yang mempengaruhi panjang dermaga yang dibutuhkan untuk bongkar


muatan adalah:

 jumlah kapal yang berpangkalan di pelabuhan tersebut


 panjang dermaga yang dibutuhkan oleh tiap kapal selama bertambat yang
bergantung pada pengaturan penambatan
 waktu yang dihabiskan oleh kapal untuk membongkar muatan dalam
hubungan dengan waktu yang dihabiskan untuk beristirahat dan berada di
laut (periode siklus pemancingan)
 pengaruh musim pancing dan periode puncak (kapal pancing biasanya
beroperasi antara 150 sampai 240 hari per tahun)
 kapal non-home yang menggunakan dermaga
 akumulasi kapal di pelabuhan misalnya saat sebelum liburan nasional
Hampir tidak mungkin untuk mengatur suatu sistem kalkulasi yang berlaku untuk
semua jenis situasi mengingat banyaknya faktor yang terlibat. Jika pola tingkah
lakunya dengan beralasan dapat diperkirakan, nilai rata-rata dapat digunakan dan
faktor ketidakteraturan dapat diperkenalkan untuk mengimbangi karakter stokastik
yang penting dari parameter-parameter yang berbeda. Jika terdapat data statistik yang
memadai, atau jika perkiraan yang cerdas dapat dibuat untuk probabilitas distribusi
kepadatan yang berbeda, panjang dermaga dapat dioptimasikan dengan bantuan
sebuah model simulasi logistik.

Perkiraan pertama untuk panjang dermaga bongkar muatan dapat dibuat dengan
rumus sbb.

L = Q(l+s)f1/r.h

Dengan:L = panjang dermaga

Q = pembongkaran puncak harian total di pelabuhan

r = tingkat pembongkaran utama per kapal per jam

h = jumlah jam pembongkaran dalam satu hari

l = panjang kapal utama

s = jarak antar kapal

f1 = faktor ketidakteraturan kapal (antar 1 dan 2)

Dermaga istirahat atau panjang tembok pelabuhan, sebagai alternatif untuk


penambatan untuk bongkar, dapat diperkirakan dengan rumus berikut ini:

Lb = Nb (l+s) / R

Dengan:

Lb = panjang dermaga penambatan yang dibutuhkan untuk peristirahatan


kapal

R = jumlah kapal yang bersandar (2-3)

Nb = jumlah kapal istirahat = Nn (dr+d1) / c f2

Nn = total jumlah kapal

dr = hari istirahat dalam satu siklus

d1 = waktu pembongkaran dalam dalam satu siklus


c = jumlah hari yang terdapat dalam satu siklus pemancingan

f2 = faktor ketidakteraturan

Dalam hal dermaga peristirahatan, fleksibilitas dapat ditemukan pada kapal


yang bertambat lebih dari 2 sampai 3 . Dalam kondisi tertentu, mungkin saja
untuk bertambat lebih dari 6 abreast yang diperkirakan akan menambah
kapasitas.

normal situation

special situation

Figure 9 Beam-on at fingerpiers


Gambar 12 Penambatan khusus

Pendekatan lain yang juga dapat digunakan pada perhitungan kebutuhan panjang
dermaga untuk kegiatan bongkar adalah sebagai berikut:

n . L U . Q .S
L
DC . U . T
di mana:

L = panjang kebutuhan dermaga bongkar (m)


n = jumlah kapal yang beroperasi (unit)
LU = panjang dermaga untuk 1 kapal (1,1 panjang kapal) (m)
Q = jumlah hasil tangkapan rata-rata perkapal yang bongkar
(ton/unit/hari)
DC = jumlah rata-rata hari siklus penangkapan (hari)
U = kecepatan rata-rata pembongkaran (ton/hari)
T = waktu yang ada untuk pembongkaran per hari (jam)
S = faktor ketidaktentuan
Sedangkan rumus kebutuhan panjang dermaga untuk kegiatan muat adalah:

n . L U . TS .S
L
DC . T
di mana:

TS = waktu pelayanan yang diperlukan per kapal (jam)

4.4 Lebar Dermaga

Dalam merencanakan lebar dermaga, banyak ditentukan oleh kegunaan dari dermaga
yang ditinjau dari jenis dan volume barang yang mungkin ditangani dermaga tersebut.

Pertimbangan-pertimbangan untuk menentukan lebar dermaga bongkar adalah


sebagai berikut:

 Kemungkinan ekspose ikan terhadap hujan atau sinar matahari harus


sesingkat mungkin
 Jika proses operasi dilakukan secara mekanis, lintasan seperti pelayanan
truk tidak boleh banyak terganggu
 Ketika peralatan transpor yang bergerak seperti truk forklift atau lori
digunakan, harus ada ruang yang cukup untuk melintas dan memutar
 Jika sebagian besar transpor terjadi pada arah tegak lurus terhadap
dermaga, lebar yang dibutuhkan dapat menjadi lebih kecil dibandingkan bila
terdapat juga transpor paralel.
Sejumlah pertimbangan tersebut bagaimanapun bersifat saling bertolak belakang satu
sama lain. Untuk tiap kasus, persetujuan khusus yang sesuai haruslah ada.

Sebagai pendekatan pertama, nilai-nilai berikut ini dapat diberikan untuk lebar apron
dermaga marginal:

 untuk operasi manual, dengan atau tanpa bantuan conveyor : 1,5 – 4 m


 untuk operasi dengan crane darat, konveyor :4–8m
 untuk operasi dengan menggunakan truk forklift dan/atau lori : 8 – 20

Lebar dari dermaga menjari (fingerpiers) dapat mencapai sampai lebih dari 15 m.
Kadang-kadang, gudang penerima berlokasi di dermaga menjari jika area lahan yang
ada sangat terbatas.

4.5 Tinggi Dek/Lantai Dermaga

Untuk Kebutuhan tinggi deck dermaga pantai disesuaikan dengan kondisi muka air
rencana dan pasang surut daerah setempat ditambah dengan suatu angka kebebasan
agar tidak terjadi limpasan (overtopping) pada saat keadaan gelombang.

Rumus untuk menentukan kebutuhan tinggi dek/lantai dermaga diberikan sebagai


berikut:

H = HHWL + Hd + Freeboard
di mana:

H = tinggi dek dermaga dari LLWL(m)


HHWL = tinggi muka air pada keadaan pasang tertinggi dari LLWL
(m)
Hd = tinggi gelombang maksimum di kolam pelabuhan (m)
Freeboard = tinggi jagaan (m)

4.6 Pemilihan Alternatif Struktur Dermaga

Perencanaan struktur dermaga yang akan digunakan perlu dilakukan pertimbangan


yang didasarkan atas beberapa aspek berikut:

1. Aspek kegunaan sistem struktur.


2. Aspek teknis, yang meliputi:
 Kekuatan sistem struktur dermaga dalam rnemikul beban rencana.
 Stabilitas sistem struktur dermaga yang berpengaruh baik dalam hal mungkin
tidaknya penggunaan suatu jenis struktur maupun pelaksanaannya.
 Kemampuan yang menangani pelaksanaan.
 Waktu pelaksanaan.
 Material yang akan digunakan/tersedia.
3. Aspek ke-ekonomisan struktur, yakni besar biaya yang dibutuhkan baik dalam
hal material maupun pelaksanaan.
Dengan pertimbangan-pertimbangan di atas, diharapkan akan dapat dihasilkan struktur
dermaga yang optimum sesuai dengan yang dibutuhkan.

4.7 Beban Pada Dermaga

4.7.1 Beban Horizontal

Beban horizontal dermaga terdiri dari :

1. Beban Angin dan Arus.

 Angin
Rumus perhitungan muatan akibat angin adalah sebagai berikut:

1
Qw  Vw 2 (kg/m 2 )
6
di mana:

Qw = beban angin (kg/m2)


Vw = kecepatan angin (m2/dtk)
Dengan batasan minimum beban angin adalah sebesar 40 kg/m2.

 Arus
Besarnya muatan akibat arus diperhitungkan menurut ketentuan:

Qc = air laut.Vc2
di mana:

Qc = beban akibat arus (kg/m2)


air laut = massa jenis air laut = 104 kg/m3
Vc = kecepatan arus m/dtk
Beban Akibat Benturan dan Tambat Kapal
Adanya arus dan angin akan menyebabkan timbulnya benturan
antara kapal dan dermaga.

2. Gaya Gempa

Besarnya gaya gempa: F = k.w


di mana:
F = gaya gempa (kg/m2)
w = beban vertikal dengan muatan hidup (kg/m2)
k = koefisien gempa

4.7.2 Beban Vertikal

Beban vertikal yang terdapat di dermaga terdiri dari:

1. Beban Mati
Beban mati adalah muatan yang berasal dari berat sendiri konstruksi
(lantai, balok, kolom dan dinding) ditambah dengan berat peralatan
pendukung yang ada di atas dermaga.

2. Beban Hidup
Beban hidup terpusat berasal dari roda-roda truk, crane, tambat, forklift,
crane mobil dan sebagainya yang sedang melakukan operasi.

4.8 Analisa Berthing

Pada saat kapal akan merapat, kapal akan membentur dermaga. Benturan juga terjadi
selama kapal merapat di dermaga untuk melakukan kegiatan bongkar muat. Gaya
yang ditimbulkan akibat benturan antara kapal dan dermaga dikenal dengan gaya
berthing. Hal yang perlu diperhatikan dalam analisa berthing adalah:

 Kecepatan maksimum kapal saat mendarat.


 Arah kapal saat akan merapat di dermaga.
 Kecepatan angin di lokasi.
 Kecepatan arus di lokasi.
4.8.1 Energi Kinetik

Energi kinetik efektif pada saat berthing dihitung dengan menggunakan


persamaan:

W .V2
E= .Cm.Ce.Cs.Cc
2. g

di mana :

E = energi kinetik yang terjadi


Cm = koefisien massa hidrodinamik
W = berat virtual kapal (ton)
V = kecepatan merapat kapal (m/detik)
Ce = koefisien eksentrisitas
Cs = koefisien softness
Cc = koefisien konfigurasi penambatan
Besarnya koefisien parameter untuk perhitungan energi kinetik adalah:

1. Berat Virtual (W)


Berat virtual kapal (W) dihitung dengan menggunakan persamaan berikut:

W = Wa + Wd
dimana:

Wd = displacement tonnage (ton)


Wa = added weight = 0,25..d2.B.air laut.(2/3) (ton)

2. Massa Hidrodinamik (Cm)

Merupakan koefisien yang mempengaruhi pergerakan air di sekitar kapal


dihitung dengan menggunakan persamaan berikut:

2d
Cm  1 
B
dengan:

d = draft kapal (m)


B = lebar kapal (m)
3. Eksentrisitas (Ce)
Koefisien reduksi energi yang ditransfer ke fender pada saat titik bentur
kapal tidak sejajar dengan pusat massa dari kapal dan dihitung dengan
menggunakan persamaan berikut:

K 2  R 2cos 2 γ
Ce 
K2  R2
dengan:

K = radius ration dari kapal (m)


K = (0,19Cb + 0,11).LOA
R = Jarak antara pusat massa dengan titik bentur kapal, dihitung secara
geometrik dengan menggunakan Gambar 5 (m)
 = Sudut yang dibentuk antara titik bentur kapal dengan vektor
kecepatan dan kapal dengan menggunakan Gambar 5 (derajat)

l
v

R 
 

Titik Benturan

Gambar 13 Kondisi Berthing Kapal.

4. Koefisien Block (Cb)


Dihitung dengan persamaan:

W
Cb 
LOA . B. d . γ airlaut

air laut = massa jenis air laut (kg/m3)

5. Koefisien Softness (Cs)


Merupakan koefisien akibat pengaruh energi bentur yang diserap oleh
lambung kapal.

6. Koefisien Berthing (CC)


Koefisien yang menunjukkan efek massa air yang berperangkap antara
lambung kapal dan sisi dermaga. Nilai Cc bergantung pada jenis konstruksi
dermaga (Gambar 6) yang besarnya sebagai berikut:

Cc = 1,0 untuk jenis struktur dermaga dengan pondasi tiang


0,8 < Cc < 1,0 untuk jenis struktur dermaga dengan dinding penahan

Cc = 0.8 – 0.9 Cc = 0.9 – 1

Gambar 14 Koefisien Berthing (Cc) Sesuai Jenis Dermaga.

4.8.2 Posisi Fender

Dari perhitungan energi berthing di atas, maka dapat ditentukan jenis dan
ukuran fender yang diperlukan. Penempatan letak fender ditentukan dari
dimensi kapal terkecil yang akan bertambat pada saat air laut sedang surut
(Gambar 7). Contoh pemasangan dapat dilihat pada gambar berikut ini.

+ LWS

+ 1.0 LWS
0.0 LWS
Kapal 500
DWT
Kondisi
Full=load

Gambar 15 Contoh Posisi Fender Pada Dermaga.

4.8.3 Jarak Antar Fender

Dalam arah horizontal, jarak antara fender harus ditentukan sedemikan


rupa sehingga dapat menghindari kontak langsung antara kapal dan
dinding dermaga. Jarak pemasangan fender dalam arah horizontal dapat
dilihat pada gambar di bawah.

Gambar 16 Jarak Antar Fender.

Jarak maksimum antar fender dapat dihitung dengan persamaan berikut:

21  2 r 2   r  h  2

dimana:

2l = jarak antar fender (m)


r = radius lengkung dari bow (m)
h = tinggi dari fender pada saat energi kinetik dari kapal diserap
(m)
Radius lengkung dari bow kapal dihitung dengan menggunakan
rumus sebagai berikut:

Untuk b = 100 : log (rbow) = -0,113 + 0,44 log (Wd).


Cara lain untuk menghitung jarak maksimum antar fender juga
dapat dengan rumus:

21 = 0,15.LOA

4.8.4 Kondisi Pembebanan Pada Fender

Analisa gaya reaksi dari fender dilakukan terhadap 2 kondisi berthing


sebagai berikut:

 Sudut Berthing 10°


Pada kondisi ini dianalisa gaya reaksi fender akibat berthing kapal
pada kecepatan maksimum dengan sudut berthing (b) = 10°.

Gambar 17 Kondisi Berthing = 100.

 Sudut Berthing 0°

Pada kondisi ini dianalisa gaya reaksi masing-masing fender pada saat
kapal berthing dengan kecepatan maksimum dan sudut berthing = 0°.

Gambar 18 Kondisi Berthing  = 0 0.

4.9 Analisa Mooring

4.9.1 Gaya Tambat

Gaya tambat (mooring) dari kapal pada prinsipnya merupakan gaya-gaya


horizontal dan vertikal yang disebabkan oleh angin dan arus. Sistem
mooring (tambat) didesain untuk dapat mengatasi gaya-gaya akibat
kombinasi angin dan arus. Keseluruhan gaya angin dan arus yang terjadi
dapat dimodelkan sebagai gaya-gaya dalam arah transversal dan
longitudinal yang dikombinasikan dengan gaya momen terhadap sumbu
vertikal yang bekerja di tengah kapal. Perhitungan gaya-gaya di atas
menggunakan persamaan-persamaan berikut:

1. Gaya Angin Transversal

Gaya angin transversal terjadi apabila angin datang dari arah lebar
(a = 900).
FTW = 1,1.Qw.Aw
dimana:

QW = tekanan angin (kg/m2)


AW = luas bagian yang tertiup angin (m2)

2. Gaya Angin Longitudinal


Gaya angin longitudinal dapat dibedakan atas:

 Angin datang dari arah haluan (a = 00)


FLW = 0,42.Qw.Aw
 Angin datang dari arah buritan (a = 1800)
FLW = 0,5.Qw.Aw
di mana:

QW = tekanan angin (kg/m2)


AW = luas bagian yang tertiup angin (m2)
3. Gaya Arus Transversal
3
 d 
FTC = 0,22.QC.LOA.d. 1  
 3,5 

dimana:

Qc = tekanan arus (kg/m2)


LOA = panjang kapal (m)
d = draft kapal (m)

4. Gaya Arus Longitudinal


3
 d 
FLC = 0,07.QC.B.d. 1  
 3,5 

di mana:

Qc = tekanan arus (kg/m2)


B = lebar kapal (m)
d = draft kapal (m)
Transfer gaya-gaya angin dan arus dilakukan dengan notasinya x, y,
dan xy. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Gambar 11 berikut
ini.
Fy

Fx

Gambar 19 Gaya-gaya Yang Bekerja Pada Kapal.

 Gaya longitudinal pada tengah-tengah kapal, Fx:


Fx = FLW ( = 00) – FLW ( = 1800) – FLC
 Gaya transversal pada tengah-tengah kapal, Fy:
Fy = FTW + FTC
 Momen terhadap sumbu vertikal, MXY:
LBP . Fy
Mxy =
2
Besarnya LBP (Length Between Perpendicular) dapat dicari
dengan persamaan berikut:

LOA
L BP 
1,04

4.9.2 Gaya Pada Tali

Gaya pada tali/pengikat merupakan gaya reaksi akibat adanya gaya tambat
yang bekerja pada tali-tali penahan kapal. Sistem gaya yang bekerja
disederhanakan dengan mengasumsi bahwa gaya longitudinal yang
bekerja akan ditahan oleh spring lines dan untuk gaya transversal oleh
breasting lines.

Tali atau pengikat kapal untuk tiap-tiap gaya yang bekerja diasurnsikan
mempunyai karakteristik yang sama dan analisa memperhitungkan sudut-
sudut yang dibentuk (Gambar 12) antara tali dan garis sejajar dermaga.
Rumus-rumus perhitungan gaya spring lines dan breasting lines adalah:

1. Gaya satu tali pada breasting lines

Fx
Fbreasting =
2. cosβ b

2. Gaya satu tali pada spring lines

Fy
Fspring =
2. cosβ s
di mana:

Fx = gaya mooring longitudinal (ton)


Fx = gaya mooring transversal (ton)
b = sudut breasting tali (°)
s = sudut springl tali (°)

Fx

Breasting Spring Lines Breasting


Lines Lines
Fbreasting
s b
Fspring
Fy Fy
Bollard 2 2

Fy

Gambar 20 Kondisi Mooring Kapal.

4.10 Bangunan di Sekitar Dermaga

A. Tempat Pelelangan dan Gudang

Setetelah hasil tangkapan dibongkar dari kapal, ikan untuk bahan konsumsi
manusia langsung biasanya dibawa ke tempat pemasaran atau gudang di mana
ikan tersebut dijual kepada saudagar yang mengurusi transportasi onward dan
pendistribusian ikan-ikan tersebut. Berbagai aktivitas yang nantinya dilakukan
baik semua atau sebagian di tempat pemasaran atau gudang yaitu:
pembersihan, pemilihan, penentuan mutu, penimbangan, pengawetan kembali,
pengemasan, pameran, pelelangan, pengepakan, dan pembongkaran. Fasilitas-
fasilitas nantinya harus disediakan untuk pengemasan dan penyimpanan
peralatan, transpor internal, tempat pendinginan sementara, ruangan lelang,
kantor, ammeniti, dan kios pedagang.
Pengaturan layout dan kebutuhan ruang total untuk tempat pemasaran sangat
bergantung pada tipe dan kuantitas tangkapan, tingkat persiapan sebelum
pemasaran, sistem pameran, sistem pelelangan dan jumlah lelang, tempat
tujuan tangkapan, dan sistem distribusi. Mengacu pada faktor-faktor di atas,
kebutuhan ruang total dapat berkisar antara 6 m 2/t sampai 25m2/t per lelang.
Sebagai pendekatan pertama, gambaran berikut ini dapat digunakan:

persiapan terhadap tangkapan sebelum penjualan : 4 m2/t per lelang


pameran dan lelang, berbagai tipe dan kualitas : 12 m2/t per lelang
pameran dan lelang, produk seragam : 6 m2/t per lelang
penyimpanan kemasan dan peralatan serta
tempat penyimpanan produk sementara : 4 m2/t per lelang
kantor dan kios pedagang : 4 m2/t per lelang

Mengenai akses menuju hall, pintu angkat yang memanjang sepanjang kedua
sisi hall diantara dua struktur kolom merupakan solusi yang fleksibel. Lantai
gudang tidak boleh terdiri dari beton biasa, tapi dalam berbagai cara harus
dilengkapi dengan permukaan anti licin. Di gudang, tenaga listrik dan
pencahayaan serta air harus bisa diperoleh. Persediaan air kadangkala
dipisahkan menjadi persediaan air tawar dan persediaan air laut. Yang
disebutkan terakhir harus bersistem tekanan tinggi (4 sampai 5 bar) untuk
keperluan pembersihan. Pemasangan kabel listrik, stop kontak, dan saklar
memerlukan perhatian khusus karena kondisi lingkungan yang sangat basah
dan korosif. Pencahayaan listrik tidak boleh mengubah warna alami ikan.

B. Pabrik Es

Dalam tahap awal perencanaan pelabuhan, mungkin tidak diperlukan adanya


rencana mendetail lebih jauh untuk membuat sebuah pabrik es, tapi sangat
disarankan untuk mengalokasikan area tertentu untuk pembangunan di masa
depan seperti pembangunan pabrik es. Es tidak hanya diperlukan untuk untuk
persiapan ikan di kapal saja tetapi juga diperlukan untuk penyiapan ikan untuk
keperluan lelang publik dan untuk ditransportasikan.

Terdapat dua tipe utama dari pabrik es, yaitu:

Pabrik es blok/batangan (blok dari 10 kg sampai 150 kg)


Pabrik es kecil
Perbedaan karakteristik layout dari tipe-tipe pabrik ini adalah pabrik es blok
mempunyai sistem transportasi horizontal sementara pabrik es kecil biasanya
bekerja secara vertikal dengan es yang berjatuhan dari mesin produksi es ke
dalam tampungan di bawahnya.

Ruang yang dibutuhkan untuk produksi es blok berkisar antara 10 m2 sampai 20


m2 per ton es per kapasitas harian. Faktor penyimpanan es blok adalah 1,4 m3/t.
Penyimpanan es blok memerlukan kurang lebih 1,5 m2/t.

Ruang yang dibutuhkan untuk produksi es kecil berkisar antara 1 m 2 sampai 6


m2 per ton es per kapasitas harian. Untuk beberapa tipe, tinggi bangunan
mencapai lebih dari 10 m mungkin saja diperlukan. Faktor penyimpanan es-
kecil adalah 1,6 m3/t sampai 2,1 m3/t. Penyimpanan es-kecil membutuhkan
kurang lebih 0,5 m2/t sampai 1 m2/t.

C. Gudang Pendingin

Ikan segar kebanyakan disimpan sementara didinginkan di dalam ruang yang


disebut ”ruang pendingin” yang didinginkan beberapa centigrade di bawah nol.
Ikan beku disimpan di dalam gudang pembeku dengan temperatur kurang dari
-20ºC.

Ruang yang dibutuhkan dapat diperkirakan berkisar sekitar 0,5 m2/t sampai 1,5
m2/t termasuk ruang untuk akses dan bagian ruang lain yang berhubungan, di
luar luas neto dari gudang pendingin.

D. Kantor, Kantin, Ruang Istirahat

Ruang yang dibutuhkan untuk keperluan ini bergantung sepenuhnya pada tipe
pelabuhan, jumlah orang yang terlibat dalam kegiatan operasi perikanan,
pengaturan dan administrasi pelabuhan.
SORTING
GRADING

AUCTION
DISPLAY
WEIGHING

OFICES AND MERCHANT STALLS


BOXES
EQUIPM

COLD
STORAGE

Figure 14 Possible lay-out of market hall


Gambar 21 Contoh Layout Tempat Pelelangan Ikan

E. Fasilitas Lainnya

Hal ini mencakup:

pengeringan dan perbaikan jaring


instalasi pemadam kebakaran
toko penyuplai
penyimpanan bahan bakar
gudang roda gigi (perawatan dan perbaikan)
penanganan limbah padat dan cair
drainase
jalan dan area parkir

F. Peralatan

Kadangkala kapal yang menggunakan peralatan on-board-tetapi lebih sering


menggunakan crane sisi dermaga, derek, dsb.- digunakan untuk bongkar
muatan. Teknik bongkar muatan lebih jauh bergantung pada apakah ikan tiba
tanpa dikemas atau dalam kemasan. Sejumlah alat untuk bongkar muatan yang
dapat digunakan di antaranya sistem pneumatik, sabuk pembawa horizontal
dan vertikal, pengangkat timba, pompa, dsb. Pada tiap kasus, harus dengan
hati-hati dipertimbangkan peralatan apa yang paling efektif dari segi biaya.

M ANUAL

DERRI CK S - CRANES

DERRI CK S - CRANES
ROLLE R T RA CK S - CONVEYORS

Figure 16 Unloading operat ions


Gambar 22 Ilustrasi operasi bongkar muat

Anda mungkin juga menyukai