Anda di halaman 1dari 6

PENDAHULUAN

Penyakit diabetes mellitus merupakan suatu gejala kompleks, bukan suatu


kesatuan penyakit. Diabetes mellitus termasuk penyakit metabolisme, dimana
metabolisme karbohidrat, lemak, dan protein terganggu.
Gangguan metabolisme pada penyakit diabetes mellitus diakibatkan
karena tubuh kekurangan hormon insulin. Hormon insulin tersebut dihasilkan di
dalam sel-sel beta pankreas.
Penyakit diabetes mellitus pada anjing hampir sama dengan penyakit
diabetes mellitus pada manusia. Diabetes pada anjing dapat terjadi pada usia muda
18 bulan. Namun, kebanyakan diabetes pada anjing terjadi antara usia tujuh
sampai sepuluh tahun ketika diagnosis diabetes anjing dibuat.
Sekitar 70% dari anjing dengan diabetes adalah anjing betina yang
berumur tua. Jenis-jenis anjing yang mudah terkena diabetes adalah anjing
dachshunds, pudel, miniatur poodle, rotweiller, scoties terrier, samoyed,
dachshundschnauzers miniatur, terrier cairn, dan kingcharles spaniel. Menariknya,
diabetes sangat jarang terlihat pada Cocker Spaniels, anjing gembala, collie, dan
boxer.
Hiperglikemia merupakan bentuk utama dari kebanyakan penyakit
diabetes mellitus. Meningkatnya kadar glukosa plasma melebihi ambang renal
glukosa menyebabkan gejala klinis berupa glukosuria. Glukosuria umumnya
digunakan sebagai petunjuk diagnosa klinis dari penyakit diabetes mellitus.
Penyakit diabetes mellitus sering berhubungan dengan keadaan terlalu
gemuk pada anjing, sifat keturunan, sifat kelamin, arteriosklerosis, katarak dan
keadaan ginjal.
Di Amerika, kejadian diabetes mellitus pada anjing dan kucing bervariasi
pada anjing mulai dari rasio satu dibanding dua ratus dan pada kucing satu
dibanding delapan ratus. Sedangkan di Indonesia kejadian penyakit diabetes
mellitus pada hewan belum mendapat banyak perhatian. Hal ini didukung dengan
minimnya sumber data mengenai kejadian penyakit ini dan kurangnya kesadaran
masyarakat tentang pentingnya kesehatan hewan (Wardhana, A. 2010)
Oleh karena penyakit diabetes mellitus cukup sering terjadi pada hewan
kecil, maka kita sebagai calon dokter hewan diperlukan pengetahuan yang

mendalam tentang diabetes mellitus, agar nantinya bila bertemu dengan kasus
diabetes mellitus kita bisa melakukan tindakan pengobatan maupun preventif
untuk menghindari penyakit tersebut. Berikut merupakan ulasan tentang tipe-tipe
diabetes mellitus.

TIPE-TIPE DIABETES MELITUS


Pemeriksaan dengan glucose tolerant test (tes kesanggupan tubuh untuk
memetabolisme glukosa) dan pengukuran dari respon insulin kepada kandungan
glukosa telah memungkinkan untuk mengidentifikasi tiga tipe diabetes pada
anjing (Kaneko, 1979).
1. Diabetes Melitus Tipe I (Insulin Dependent Diabetes Mellitus)
Diabetes melitus tipe I

disebabkan oleh tubuh yang tidak dapat

menghasilkan insulin atau hilangnya sel beta penghasil insulin pada pulaupulau

Langerhans

pankreas.

Hal

tersebut

mengakibatkan

penurunan

pemasukan glukosa dalam otot dan jaringan adiposa. Secara patofisiologi,


penyakit ini terjadi lambat dan membutuhkan waktu yang bertahun-tahun,
biasanya terjadi ketika hewan muda. Penurunan berat badan merupakan ciri
khas dari anjing yang terkena diabetes melitus tipe I yang tidak terkontrol.
Gejala yang sering mengiringi diabetes melitus tipe I yaitu poliuria, polidipsia,
dan poliphagia. Peningkatan volume urin terjadi disebabkan oleh diuresis
osmotik (akibat peningkatan kadar glukosa darah atau hiperglikemik) dan
benda-benda keton dalam urin. Lebih lanjut, diuresis osmotik tersebut akan
mengakibatkan kondisi dehidrasi, kelaparan dan shock. Gejala haus dan lapar
merupakan akibat dari kehilangan cairan dan ketidakmampuan tubuh
menggunakan nutrisi (Lawrence, 1994; Karam et al., 1996).
Pada diabetes melitus tipe I, kadar glukosa darah sangat tinggi, tetapi
tubuh tidak dapat memanfaatkannya secara optimal untuk membentuk energi.
Oleh karena itu, energi diperoleh melalui peningkatan katabolisme protein dan
lemak. Seiring dengan kondisi tersebut, terjadi perangsangan lipolisis serta
peningkatan kadar asam lemak bebas dan gliserol darah. Dalam hal ini terjadi
peningkatan produksi asetil-KoA oleh hati, yang pada gilirannya diubah
menjadi asam asetoasetat dan pada akhirnya direduksi menjadi asam hidroksibutirat atau mengalami dekarboksilasi menjadi aseton. Pada kondisi
normal, konsentrasi benda-benda keton relatif rendah karena insulin dapat
menstimulasi sintesis asam lemak dan menghambat lipolisis. Hanya
dibutuhkan kadar insulin yang kecil untuk menghambat lipolisis (Unger dan
Foster, 1992; Lawrence, 1994).
3

Umumnya diabetes melitus tipe I ini tidak diturunkan melalui genetik,


tidak dikaitkan dengan hewan yang mengalami kegemukan (obesitas).
Pengobatannya dilakukan dengan pemberian suntikan insulin secara berkala
dan melakukan diet makanan.
2. Diabetes Melitus Tipe II (Non Insulin Dependent Diabetes Mellitus)
Diabetes melitus tipe II terjadi karena pankreas tidak dapat
menghasilkan insulin yang cukup atau sel tubuh kita tidak peka terhadap
insulin. Pada kondisi Diabetes melitus tipe II, insulin masih cukup untuk
mencegah terjadinya benda-benda keton sehingga jarang dijumpai ketosis.
Namun demikian, koma hiperosmolar nonketotik dapat terjadi. Diabetes
melitus tipe II tersebut cenderung terjadi pada hewan usia lanjut dan biasanya
didahului oleh keadaan sakit atau stres yang membutuhkan kadar insulin tinggi.
Pada Diabetes melitus tipe II, kehadiran insulin tidak cukup untuk mencegah
glukosuria. Seiring dengan itu, terjadi kehilangan cairan dan elektrolit tubuh
yang diikuti dengan dehidrasi berat. Lebih lanjut, terjadi penurunan ekskresi
glukosa dan pada akhirnya menghasilkan peningkatan osmolaritas serum
(hiperosmolaritas) dan glukosa darah (hiperglikemik) (Unger dan Foster, 1992;
Lawrence, 1994; Kahn, 1995).
Secara patofisiologi, Diabetes melitus tipe II disebabkan karena dua hal
yaitu : 1) penurunan respon jaringan perifer terhadap insulin (resistensi
insulin), dan 2) Penurunan kemampuan sel pankreas untuk mensekresi
insulin sebagai respon terhadap beban glukosa. Sebagian besar Diabetes
melitus tipe II diawali dengan kegemukan karena kelebihan makan. Sebagai
kompensasi, sel pankreas merespon dengan mensekresi insulin lebih banyak
sehingga kadar insulin meningkat (hiperinsulinemia). Konsentrasi insulin yang
tinggi mengakibatkan reseptor insulin berupaya melakukan pengaturan sendiri
(self regulation) dengan menurunkan jumlah reseptor atau down regulation.
Hal ini membawa dampak pada penurunan respon reseptornya dan lebih lanjut
mengakibatkan

terjadinya

resistensi

insulin.

Di

lain

pihak,

kondisi

hiperinsulinemia juga dapat mengakibatkan desensitisasi reseptor insulin pada


tahap postreseptor, yaitu penurunan aktivasi kinase reseptor, translokasi
glucose

transporter

dan

aktivasi

glycogen

synthase.

Kejadian

ini

mengakibatkan terjadinya resistensi insulin. Dua kejadian tersebut terjadi pada


permulaan proses terjadinya Diabetes melitus tipe II. Secara patologis, pada
permulaan Diabetes melitus tipe II terjadi peningkatan kadar glukosa plasma
dibanding normal, namun masih diiringi dengan sekresi insulin yang
berlebihan (hiperinsulinemia). Hal tersebut mengindikasikan telah terjadi defek
pada reseptor maupun postreseptor insulin. Pada resistensi insulin, terjadi
peningkatan produksi glukosa dan penurunan penggunaan glukosa sehingga
mengakibatkan peningkatan kadar gula darah (hiperglikemik). Seiring dengan
kejadian tersebut, sel pankreas mengalami adaptasi diri sehingga responnya
untuk mensekresi insulin menjadi kurang sensitif, dan pada akhirnya membawa
akibat pada defisiensi insulin. Sedangkan pada Diabetes melitus tipe II akhir
telah terjadi penurunan kadar insulin plasma akibat penurunan kemampuan sel
pankreas untuk mensekresi insulin, dan diiringi dengan peningkatan kadar
glukosa plasma dibandingkan normal. Pada penderita Diabetes melitus tipe II,
pemberian obat-obat oral antidiabetes sulfonilurea masih dapat merangsang
kemampuan sel Langerhans pankreas untuk mensekresi insulin (Unger dan
Foster, 1992; Lawrence, 1994; Kahn, 1995).
3. Diabetes Melitus Tipe III
Diabetes melitus tipe III merupakan diabetes melitus tipe ringan. Dimana
pengobatanya dapat dilakukan dengan mengurangi hewan mengkonsumsi
karbohidrat dan memberikan obat hipoglikemik.

DAFTAR PUSTAKA
Endro, Agung. 2006. Hewan Percobaan Diabetes Mellitus : Patologi Dan
Mekanisme Aksi Diabetogenik. Biodiversitas ISSN: 1412-033X. Volume 7,
Nomor 4 Oktober 2006 Halaman: 378-382. Laboratorium Farmakologi dan
Toksikologi, Bagian Farmakologi dan Farmasi Klinik, Fakultas Farmasi
Universitas Gadjah Mada.
Kahn, C.R. 1995, Disorder of Fuel Metabolism, In Becker, K.L. (Ed.), Priciples
and Practice of Endocrinology and Metabolism, 2nd Ed., 1148-54.
Kaneko, J.J. 1979. Renal Clearance, Insulin Secretion and Glucose Tolerance in
Spontaneous Diabetes Mellitus in Dogs. Cornell Veterinary. 69:375-283.
Karam, J.H., Patricia, P.R., Salber, and Forsham, P.H., 1996, Pancreatic
Hormones and Diabetes Mellitus, In Greenspan, F.S., Basic and Clinical
Endocrinology, 3rd Ed, 593-649, Prentice-Hall International Inc., London.
Lawrence, J.C., 1994, Insulin and Oral Hypoglycemic Agents, In Brody, T.M.,
Larner, J., Minneman, K.P., and Neu, H.C. (Ed.), Human Pharmacology,
2nd Ed., 523-539, Mosby, London.
Rahardjo, S.D., 1985. Diabetes Mellitus pada Anjing. Skripsi. Institut Pertanian
Bogor.
Unger, R.H. and Foster, D.W., 1992, Diabetes Mellitus, In Wilson, J.D. and
Foster, D.W., Endocrinology, 1255-1317, W.B Sunders Company, A
Division of Harcourt Brace and Company, London.
Wardhana, A., 2010. Pemberian Jintan Hitam (Nigella sativa) sebagai Tindakan
Prefentif Meningkatnya Kadar Glukosa Darah Tikus Putih (Rattus
norvegicus) yang Diinjeksi Aloksan. Artikel Ilmiah. FKH Universitas
Airlangga:Surabaya.

Anda mungkin juga menyukai