Anda di halaman 1dari 14

LAPORAN PENDAHULUAN

DIABETES MELITUS (DM)

SITI ULPIAH
2019 03 05 012

PROGRAM STUDI PROFESI NERS


FAKULTAS ILMU-ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS ESA UNGGUL
2019
DIABETES MELITUS

1. Pengertian
Diabetes melitus adalah penyakit kronis dengan metabolisme yang tidak teratur. Ketika
kita mengonsumsi karbohidrat (termasuk gula dan pati, dll), bahan-bahan tersebut
dipecah menjadi dekstrosa setelah dicerna dan menjadi glukosa pada saat diserap oleh
usus kecil ke dalam sistem peredaran darah. Pankreas mengeluarkan insulin, yang
membantu glukosa masuk ke dalam sel untuk digunakan oleh tubuh. Kadar glukosa
meningkat bila sekresi insulin tidak mencukupi atau tubuh tidak bisa menggunakan
insulin yang dihasilkan. Hiperglikemia bisa mengakibatkan gangguan metabolisme
lemak dan protein, dan penghancuran berbagai macam sistem tubuh dan organ, termasuk:
kardiovaskular, retina, saraf, dan ginjal dalam jangka waktu yang lama.
2. Anatomi Fisiologi
Pankreas merupakan sekumpulan kelenjar yang panjangnya kira-kira 15 cm, lebar 5 cm,
mulai dari duodenum sampai ke limpa dan beratnya rata-rata 60-90 gram. Terbentang
pada vertebrata lumbalis 1 dan 2 di belakang lambung. Pankreas merupakan kelenjar
endokrin terbesar yang terdapat di dalam tubuh manusia. Bagian depan (kepala) kelenjar
pankreas terletak pada lekukan yang dibentuk oleh duodenum dan bagian pilorus dari
lambung. Bagian badan yang merupakan bagian utama dari organ ini merentang ke arah
limpa dengan bagian ekornya menyentuh atau terletak pada alat ini. Dari segi
perkembangan embriologis, kelenjar pankreas terbentuk dari epitel yang berasal dari
lapisan epitel yang membentuk usus. Pankreas terdiri dari dua jaringan utama, yaitu
Asini sekresi getah pencernaan ke dalam duodenum, pulau Langerhans yang tidak tidak
mengeluarkan sekretnya keluar, tetapi menyekresi insulin dan glukagon langsung ke
darah. Pulau-pulau Langerhans yang menjadi sistem endokrinologis dari pamkreas
tersebar di seluruh pankreas dengan berat hanya 1-3 % dari berat total pankreas.Pulau
langerhans berbentuk ovoid dengan besar masing-masing pulau berbeda. Besar pulau
langerhans yang terkecil adalah 50 m, sedangkan yang terbesar 300 m, terbanyak adalah
yang besarnya 100-225 m. Jumlah semua pulau langerhans di pankreas diperkirakan
antara 1-2 juta.
3. Patofisiologi
Pada diabetes tipe ini terdapat dua masalah utama yang berhubungan dengan insulin itu
sendiri, antara lain: resisten insulin dan gangguan sekresi insulin. Normalnya insulin
terikat pada reseptor khusus di permukaan sel. Akibat dari terikatnya insulin tersebut
maka, akan terjadi suatu rangkaian reaksi dalam metabolism glukosa dalam sel tersebut.
Resisstensi glukosa pada diabetes mellitus tipe II ini dapat disertai adanya penurunan
reaksi intra sel atau dalam sel. Dengan hal – hal tersebut insulin menjadi tidak efektif
untuk pengambilan glukosa oleh jaringan tersebut. Dalam mengatasai resistensi insulin
atau untuk pencegahan terbentuknya glukosa dalam darah, maka harus terdapat
peningkatan jumlah insulin dalam sel untuk disekresikan. Pada pasien atau penderita
yang toleransi glukosa yang terganggu, keadaan ini diakibatkan karena sekresi insulin
yang berlebihan tersebut, serta kadar glukosa dalam darah akan dipertahankan dalam
angka normal atau sedikit meningkat. Akan tetapi hal-hal berikut jika sel-sel tidak
mampu mengimbangi peningkatan kebutuhan terhadap insulin maka, kadar glukosa
dalam darah akan otomatis meningkat dan terjadilah Diabetes Melitus Tipe II ini.
Walaupun sudah terjadi adanya gangguan sekresi insulin yang merupakan ciri khas dari
diabetes mellitus tipe II ini, namun masih terdapat insulin dalam sel yang adekuat untuk
mencegah terjadinya pemecahan lemak dan produksi pada badan keton yang
menyertainya. Dan kejadian tersebut disebut ketoadosis diabetikum, akan tetapi hal ini
tidak terjadi pada penderita diabetes melitus tipe II.
4. Etiologi
a. Diabetes Melitus Tipe 1
Disebut sebagai “Diabetes Melitus yang Tergantung pada Insulin”. Terkait dengan
faktor genetik dan sistem kekebalan tubuh, yang mengakibatkan kerusakan sel-sel
yang memproduksi insulin, sehingga sel tidak mampu untuk memproduksi insulin
yang dibutuhkan oleh tubuh. Kelompok orang yang paling sering mengidap penyakit
ini adalah anak-anak dan remaja, yang mewakili 3% dari jumlah seluruh pasien yang
ada.
b. Diabetes Melitus Tipe 2
Disebut “Diabetes Melitus yang Tidak Tergantung pada Insulin”, yang mewakili
lebih dari 90% kasus diabetes melitus. Terkait dengan faktor pola makan yang tidak
sehat, obesitas, dan kurangnya olahraga. Sel-sel tubuh menjadi resisten terhadap
insulin dan tidak bisa menyerap dan menggunakan dekstrosa dan kelebihan gula
darah yang dihasilkan secara efektif. Jenis diabetes melitus ini memiliki predisposisi
genetik yang lebih tinggi daripada Tipe 1.
c. Diabetes Melitus Gestasional
Terutama disebabkan oleh perubahan hormon yang dihasilkan selama kehamilandan
biasanya berkurang atau menghilang setelah melahirkan. Studi dalam beberapa tahun
terakhir ini menunjukkan bahwa wanita yang pernah mengalami diabetes melitus
gestasional memiliki tingkat risiko yang lebih tinggi untuk mengidap penyakit
diabetes melitus tipe II, sehingga wanita tersebut harus lebih memerhatikan pola
makan yang sehat demi mengurangi risiko tersebut.
d. Jenis lain dari Diabetes Melitus
Ada beberapa penyebab lain yang berbeda dari ketiga jenis diabetes melitus di atas,
termasuk sekresi insulin yang tidak memadai yang disebabkan oleh penyakit genetik
tertentu, disebabkan secara tidak langsung oleh penyakit lainnya (misalnya
pankreatitis, yaitu peradangan pada pankreas), yang diakibatkan oleh obat atau bahan
kimia lainnya.
5. Tanda dan Gejala
a. Gejala akut diabetes melitus yaitu : Poliphagia (banyak makan), polidipsia (banyak
minum), Poliuria (banyak kencing/sering kencing di malam hari), nafsu makan
bertambah namun berat badan turun, mudah lelah.
b. Gejala kronik diabetes melitus yaitu : Kesemutan, kulit terasa panas atau seperti
tertusuk tusuk jarum, rasa kebas di kulit, kram, kelelahan, mudah mengantuk,
pandangan mulai kabur, gigi mudah goyah dan mudah lepas, kemampuan seksual
menurun bahkan pada pria bisa terjadi impotensi, pada ibu hamil sering terjadi
keguguran atau kematian janin dalam kandungan atau dengan bayi berat lahir lebih
dari 4kg.
6. Faktor Resiko
a. Riwayat diabetes melitus pada anggota keluarga dekat
b. Penderita hipertensi atau hiperlipidemia (kadar lemak dalam darah yang sangat tinggi)
c. Wanita yang memiliki riwayat diabetes melitus gestasional (jenis diabetes melitus
yang terjadi hanya selama kehamilan) atau melahirkan bayi yang mengalami
kelebihan berat badan (bobot 4 kg ke atas)
d. Obesitas (dengan IMT lebih dari 23)
e. Berada di usia paruh baya (usia 45 tahun ke atas)
7. Cara Mencegah
Obesitas merupakan faktor risiko utama diabetes melitus. Dengan demikian, kita bisa
menurunkan risiko diabetes melitus dengan mencegah obesitas. Beberapa metode
pencegahan disarankan di bawah ini:
a. Menjaga berat badan ideal (IMT = Berat (kg) ÷ Tinggi (m))
b. Pola makan yang seimbang dengan target “Tiga rendah dan satu tinggi” –yaitu
prinsip pola makan rendah lemak, rendah gula, rendah natrium, dan tinggi serat.
c. Tetap aktif, berolahraga secara teratur dengan intensitas sedang (dianjurkan untuk
berolahraga setiap hari selama 30 menit atau lebih selama setidaknya 5 hari
seminggu).
d. Gejala awal Diabetes Melitus yang tidak jelas, pemeriksaan kesehatan yang tepat
setiap tahun bisa membantu mendeteksi penyakit ini sesegera mungkin
8. Komplikasi
Diabetes melitus sering menyebabkan komplikasi makrovaskular dan mikrovaskular.
Komplikasi makrovaskular terutama didasari oleh karena adanya resistensi insulin,
sedangkan komplikasi mikrovaskular lebih disebabkan oleh hiperglikemia kronik.
Kerusakan vaskular ini diawali dengan terjadinya disfungsi endotel akibat proses
glikosilasi dan stres oksidatif pada sel endotel.
Disfungsi endotel memiliki peranan penting dalam mempertahankan homeostasis
pembuluh darah. Untuk memfasilitasi hambatan fisik antara dinding pembuluh darah
dengan lumen, endotel menyekresikan sejumlah mediator yang mengatur agregasi
trombosit, koagulasi, fibrinolisis, dan tonus vaskular. Istilah disfungsi endotel mengacu
pada kondisi dimana endotel kehilangan fungsi fisiologisnya seperti kecenderungan
untuk meningkatkan vasodilatasi, fibrinolisis, dan antiagregasi. Sel endotel
mensekresikan beberapa mediator yang dapat menyebabkan vasokontriksi seperti
endotelin-a dan tromboksan A2, atau vasodilatasi seperti nitrik oksida (NO), prostasiklin,
dan endotheliumderived hyperpolarizing factor. NO memiliki peranan utama pada
vasodilatasi arteri.
Pada pasien DMT2 disfungsi endotel hampir selalu ditemukan, karena hiperglikemia
kronis memicu terjadinya gangguan produksi dan aktivitas NO, sedangkan endotel
memiliki keterbatasan intrinsik untuk memperbaiki diri. Paparan sel endotel dengan
kondisi hiperglikemia menyebabkan terjadinya proses apoptosis yang mengawali
kerusakan tunika intima. Proses apoptosis ini terjadi melewati serangkaian proses yang
kompleks yaitu teraktivasi jalur sinyal β-1 integrin, setelah aktivasi integrin, akan
terinduksi peningkatan p38 mitogen- activated protein kinase (MAPK) dan c-Jun N-
terminal (JNK) yang berujung pada apoptosis sel. Pada sel endotel yang telah mengalami
apoptosis, akan terjadi pula aktivasi vascular endothelial-cadherin yang akan
menyebabkan apoptosis sel-sel sekitar pada daerah yang rentan mengalami aterosklerosis.
Ulkus Kaki Diabetik (UKD)
Ulkus kaki diabetik (UKD) merupakan salah satu komplikasi kronik dari DMT2 yang
sering ditemui.UKD adalah penyakit pada kaki penderita diabetes dengan karakteristik
adanya neuropati sensorik, motorik, otonom dan atau gangguan pembuluh darah tungkai.
UKD merupakan salah satu penyebab utama penderita diabetes dirawat di rumah sakit.
Ulkus, infeksi, gangren, amputasi, dan kematian merupakan komplikasi yang serius dan
memerlukan biaya yang tidak sedikit dan perawatan yang lebih lama. Amputasi
merupakan konsekuensi yang serius dari UKD. Sebanyak 14,3% akan meninggal dalam
setahun setelah amputasi, dan sebanyak 37% akan meninggal 3 tahun pasca amputasi.
Bila dilakukan deteksi dini dan pengobatan yang adekuat akan dapat mengurangi
kejadian tindakan amputasi. Perhatian yang lebih pada kaki penderita DM dan
pemeriksaan secara reguler diharapkan akan mengurangi kejadian komplikasi berupa
ulkus diabetik, yang pada akhirnya akan mengurangi biaya rawat dan kecacatan. Oleh
karena itu perlu peningkatan pemahanan mengenai diagnosis UKD yang kemudian
dilanjutkan dengan penatalaksanaan yang optimal. Penatalaksanaan UKD yang optimal
memerlukan pendekatan multidisiplin, seperti ahli bedah, ahli endokrin, ahli patologi
klinik, ahli mikrobiologi, ahli gizi, ahli rehabilitasi medik dan perawat mahir kaki.
Patogenesis
Faktor yang berperan pada patogenesis UKD meliputi hiperglikemia kronik, neuropati
perifer, keterbatasan sendi dan deformitas. Perubahan fisiologis yang diinduksi oleh
“hiperglikemia jaringan” ekstremitas bawah termasuk penurunan potensial pertukaran
oksigen dengan membatasi proses pertukaran atau melalui induksi kerusakan pada sistem
saraf otonom yang menyebabkan shunting darah yang kaya oksigen menjauhi permukaan
kulit. Sistem saraf dirusak oleh keadaan hiperglikemia melalui berbagai cara sehingga
lebih mudah terjadinya cedera pada saraf tersebut. Sedikitnya ada 3 mekanisme
kerusakan saraf yang disebabkan oleh hiperglikemia, yaitu efek metabolik, kondisi
mekanik, dan efek kompresi kompartemen tungkai bawah. Penurunan kadar oksigen
jaringan, yang digabung dengan fungsi saraf sensorik dan motorik yang terganggu bisa
menyebabkan UKD. Kerusakan saraf pada diabetes mengenai serat motorik, sensorik,
dan otonom. Neuropati motorik menyebabkan kelemahan otot, atrofi, dan paresis.
Neuropati sensorik menyebabkan hilangnya sensasi nyeri, tekanan, dan panas yang
protektif. Neuropati otonom yang menyebabkan vasodilatasi dan pengurangan keringat
juga bisa menyebabkan kehilangan integritas kulit, yang membentuk lokasi ideal untuk
invasi mikrobial. Keterbatasan mobilitas sendi pada sendi subtalar dan metatarsal
phalangeal sangat sering terjadi pada pasien DMT2 berhubungan dengan glikosilasi
kolagen yang menyebabkan penebalan struktur periartikuler, seperti tendon, ligamen, dan
kapsul sendi. Hilangnya sensasi karena neuropati pada sendi menyebabkan artropati
kronik, progresif, dan destruktif. Glikosilasi kolagen ikut memperburuk penurunan
fungsi tendon Achilles pada pasien DMT2 sehingga pergerakan tendon Achilles
menyebabkan deformitas. Pada keadaan di atas bila kaki mendapat tekanan yang tinggi
maka memudahkan terjadinya ulserasi pada pasien DMT2. UKD juga dapat terjadi oleh
karena adanya gangguan pada aliran darah pembuluh darah tungkai yang merupakan
manifestasi dari penyakit arteri perifer. Penyakit arteri perifer pada pembuluh darah
tungkai didasari oleh hiperglikemia kronik, kerusakan endotel dan terbentuknya plak
aterosklerosis.
Diagnosis
Deteksi dini kelainan pada kaki penderita DMT2, khususnya pada pasien dengan risiko
tinggi, membantu untuk menentukan intervensi awal dan mengurangi potensi perawatan
dirumah sakit atau amputasi. Deteksi dini itu meliputi identifikasi riwayat keluhan kaki
dan pemeriksaan fisik. Anamnesis secara rinci meliputi riwayat ulkus sebelumnya,
riwayat amputasi, riwayat trauma, dan anamnesis mengenai penyakit yang mendasarinya
serta kebiasaan merokok. Pemeriksaan fisik yang penting adalah penilaian adanya
neuropati tungkai, kelainan anatomi tungkai dan kelainan vaskuler tungkai serta tanda-
tanda infeksi.
Penilaian Vaskuler
Penilaian vaskuler pada ekstremitas bawah harus dinilai dengan seksama. Pemeriksaan
vaskuler dimulai dari pemeriksaan refilling kapiler, palpasi arteri ekstremitas bawah, dan
lebih lanjut dilakukan penilaian ankle brachial index (ABI). Bila riwayat penyakit dan
pemeriksaan fisik curiga iskemia pada tungkai atau bila ulkus tidak sembuh-sembuh,
maka dilakukan pemeriksaan tekanan darah pada ujung jari. Bila tekanan darah ujung
jari kurang dari 40 mmHg, atau transcutaneous oxygen tension (TcPO ) dengan nilai
kurang dari 30 2 mmHg karena gangguan perfusi arteri akan menyebabkan gangguan
penyembuhan luka.
Pemeriksaan Neurologis dan Muskuloskeletal pada Ekstremitas Bawah
Pemeriksaan neurologis dan muskuloskeletal bertujuan untuk mengetahui adanya
neuropati otonom, sensorik, dan motorik. Pada neuropati otonom terjadi perubahan
regulasi suhu yaitu ditandai dengan suhu yang lebih dingin, kulit yang kering, dan hilang
atau berkurangnya rambut pada ekstremitas bawah. Pada neuropati sensorik terjadi
kehilangan sensasi sensoris yang diperiksa dengan benang mikrofilamen (semmes-
weinstein monofilament). Pada neuropati motorik terjadi kerusakan saraf otot pada kaki.
Pemeriksaan neuropati motorik meliputi pemeriksaan kekuatan otot dan range of motion
tumit, kaki, dan jari-jari kaki.
Semmes Weinstein Monofilament (SWM)
Alat monofilamen yang sederhana ini awalnya diperkenalkan di Amerika. Bahan
dasarnya adalah 10 gram plastik nilon. Penderita duduk di atas kursi, lalu kaki diluruskan
ke depan, telapak kaki tegak lurus dengan lantai. Penderita dipersilakan menutup mata
dengan tangannya. Monofilamen disentuhkan pada permukaan kulit sampai tekanan
monofilamen sedikit melengkung. Titik-titik yang dites dianjurkan 10 titik, yaitu sisi
plantar jari 1, 3, 5, sisi plantar dari metatarsal 1, 3, 5, sisi plantar dari pertengahan medial
dan lateral, sisi plantar tumit dan sisi dorsal sela jari 1 dan jari 2. Apabila penderita tidak
mampu menjawab semua titik yang dites, maka hal ini berarti 90% sudah terjadi
gangguan sensibilitas. Sensitifitas SWM untuk mendeteksi neuropati diabetik adalah 66-
91%, spesifisitas 34-86%, positive predictive value 18-39%, dan negative predictive
value 94-95%. Penggunaan SWM yang berulangulang akan menyebabkan monofilamen
tidak sensitif, sehingga hasil pemeriksaan tidak akurat. Oleh karena itu dianjurkan satu
SWM maksimal untuk 10 kali pemeriksaan.
Penilaian Infeksi pada UKD
Untuk menilai adanya infeksi, pertama dilakukan pemeriksaan hitung darah lengkap
untuk mengetahui apakah ada peningkatan leukosit dengan peningkatan neutrofil segmen.
Sebagai gold standard adanya infeksi pada UKD adalah ditemukan hasil kultur yang
positif pada swab ulkus. Lebih lanjut, suatu UKD yang mengalami infeksi harus
dicurigai apakah sudah terjadi osteomyelitis atau belum yaitu dengan melakukan
pemeriksaan radiologis. Rontgen pedis biasa harus dilakukan sebagai pemeriksaan
radiologi awal pasien diabetes dengan tanda dan gejala klinis penyakit UKD. Pada
pemeriksaan rontgen pedis dapat ditemukan gambaran osteomielitis, osteolisis, fraktur,
dislokasi, kalsifikasi arteri medial, gas jaringan lunak, benda asing, serta adanya arthritis.
Osteomielitis akut pada rontgen pedis biasanya tidak menunjukkan perubahan tulang
hingga 14 hari berikutnya. Pada osteomielitis akut diperlukan pemeriksaan radiologis
serial. Bone scan dengan Technetium-99 methylene diphosphonate (Tc-99 MDP) sering
digunakan untuk mencari osteomielitis pada infeksi UKD. Pemeriksaan ini memiliki
sensitifitas yang tinggi, tidak spesifik untuk pemeriksaan kaki neuropati. Tidak
spesifiknya pemeriksaan ini disebabkan oleh adanya peningkatan radiotracer uptake pada
banyak kondisi seperti: osteomielitis, fraktur, arthritis, dan neuropati artropati.
Computed tomography scanning (CT scan) diindikasikan untuk menilai tulang dan sendi
yang dicurigai mengalami gangguan, tetapi tidak terbukti pada pemeriksaan radiologi
biasa. CT scan dapat memberikan gambaran fragmentasi tulang dan subluksasio sendi.
Magnetic resonance imaging (MRI) untuk pemeriksaan osteomielitis lebih disukai dari
CT scan karena resolusi gambar yang lebih baik dan dapat melihat proses infeksi yang
meluas. MRI digunakan untuk menilai osteomielitis, abses dalam, dan ruptur tendon.
Mekipun mahal, MRI diterima secara luas dalam diagnostik radiologi infeksi UKD.
Penggunaan ultrasonografi (USG) untuk deteksi osteomielitis kronis tampaknya lebih
superior di bandingkan dengan rontgen biasa, sensitifitas yang sebanding dengan Tc-99
MDP bone scanning.
Tabel Sistem Klasifikasi Wagner
Grade Lesi
0 Tidak ada lesi terbuka, dapat berupa deformitas atau selulitis
1 Ulkus superfisial
2 Ulkus dalam hingga ke tendon atau kapsul sendi
3 Ulkus dalam dengan abses, osteomielitis atau sepsis sendi
4 Ganggren lokal – pada kaki depan atau tumit
5 Ganggren pada semua kaki
Klasifikasi yang sesuai pada UKD berdasarkan penilaian yang seksama akan
memudahkan rencana terapi dan dapat menilai prognosis. Meskipun belum ada satu
sistem yang digunakan secara universal, sistem klasifikasi yang sering digunakan adalah
sistem Wagner.
9. Pengkajian
a. Biodata
1) Identitas Pasien (nama, umur, jenis kelamin, agama, pendidikan, pekerjaan, agama,
suku, alamat,status, tanggal masuk, tanggal pengkajian, diagnose medis)
2) Identitas penanggung jawab (nama,umur,pekerjaan, alamat, hubungan dengan
pasien)
b. Riwayat kesehatan
1) Keluhan utama, biasanya keluhan utama yang dirasakan pasien saat dilakukan
pengkajian. Pada pasien post debridement ulkus kaki diabetik yaitu nyeri 5 – 6
(skala 0 - 10)
2) Riwayat kesehatan sekarang, data diambil saat pengkajian berisi tentang perjalanan
penyakit pasien dari sebelum dibawa ke IGD sampai dengan mendapatkan
perawatan di bangsal
3) Riwayat kesehatan dahulu, Adakah riwayat penyakit terdahulu yang pernah
diderita oleh pasien tersebut, seperti pernah menjalani operasi berapa kali, dan
dirawat di RS berapa kali
4) Riwayat kesehatan keluarga Riwayat penyakit keluarga, adakah anggota keluarga
dari pasien yang menderita penyakit Diabetes Mellitus karena DM ini termasuk
penyakit yang menurun.
c. Pola Fungsional Gordon
1) Pola persepsi kesehatan: adakah riwayat infeksi sebelumnya, persepsi pasien dan
keluarga mengenai pentingnya kesehatan bagi anggota keluarganya.
2) Pola nutrisi dan cairan : pola makan dan minum sehari – hari, jumlah makanan
dan minuman yang dikonsumsi, jeni makanan dan minuman, waktu berapa kali
sehari, nafsu makan menurun/tidak, jenis makanan yang disukai, penurunan berat
badan.
3) Pola eliminasi : mengkaji pola BAB dan BAK sebelum dan selama sakit ,
mencatat konsistensi,warna, bau, dan berapa kali sehari, konstipasi, beser.
4) Pola aktivitas dan latihan : reaksi setelah beraktivitas (muncul keringat dingin,
kelelahat/ keletihan), perubahan pola nafas setelah aktifitas, kemampuan pasien
dalam aktivitas secara mandiri
5) Pola tidur dan istirahat : berapa jam sehari, terbiasa tidur siang, gangguan selama
tidur (sering terbangun), nyenyak, nyaman.
6) Pola persepsi kognitif : konsentrasi, daya ingat, dan kemampuan mengetahui
tentang penyakitnya
7) Pola persepsi dan konsep diri : adakah perasaan terisolasi diri atau perasaan tidak
percaya diri karena sakitnya.
8) Pola reproduksi dan seksual
9) Pola mekanisme dan koping : emosi, ketakutan terhadap penyakitnya, kecemasan
yang muncul tanpa alasan yang jelas.
10) Pola hubungan : hubungan antar keluarga harmonis, interaksi , komunikasi, car
berkomunikasi
11) Pola keyakinan dan spiritual : agama pasien, gangguan beribadah selama sakit,
ketaatan dalam berdo’a dan beribadah.
d. Pemeriksaan Fisik
1) Keadaan umum Penderita post debridement ulkus dm biasanya timbul nyeri
akibat pembedahan skala nyeri (0 - 10), luka kemungkinan rembes pada balutan.
Tanda-tanda vital pasien (peningkatan suhu, takikardi), kelemahan akibat sisa
reaksi obat anestesi.
2) Sistem pernapasan, Ada gangguan dalam pola napas pasien, biasanya pada pasien
post pembedahan pola pernafasannya sedikit terganggu akibat pengaruh obat
anesthesia yang diberikan di ruang bedah dan pasien diposisikan semi fowler
untuk mengurangi atau menghilangkan sesak napas.
3) Sistem kardiovaskuler. Denyut jantung, pemeriksaan meliputi inspeksi, palpasi,
perkusi dan auskultasi pada permukaan jantung, tekanan darah dan nadi
meningkat.
4) Sistem pencernaan Pada penderita post pembedahan biasanya ada rasa mual
akibat sisa bius, setelahnya normal dan dilakukan pengkajian tentang nafsu
makan, bising usus, berat badan.
5) Sistem musculoskeletal Pada penderita ulkus diabetic biasanya ada masalah pada
sistem ini karena pada bagian kaki biasannya jika sudah mencapai stadium 3 – 4
dapat menyerang sampai otot. Dan adanya penurunan aktivitas pada bagian kaki
yang terkena ulkus karena nyeri post pembedahan.
6) Sistem intregumen. Turgor kulit biasanya normal atau menurun akibat input dan
output yang tidak seimbang. Pada luka post debridement kulit dikelupas untuk
membuka jaringan mati yang tersembunyi di bawah kulit tersebut.
10. Diagnosa Keperawatan
Diagnosa keperawatan yang muncul antara lain :
a. Nyeri akut
b. Kerusakan integritas jaringan
c. Hambatan Mobilitas fisik
d. Ketidakstabilan kadar glukosa darah
e. Defisit perawatan diri : Eliminasi
e. Intervensi Keperawatan
a. Diagnosa : Nyeri akut
NOC : Nyeri akut (Skala nyeri berkurang (0-10), pasien terlihat rileks atau
nyaman, pasien mampu mengontrol nyeri)
Intervensi : Nyeri akut
1) Lakukan pengkajian nyeri yang komprehensif (lokasi, karakteristik, durasi,
frekuensi, kualitas,, beratnya nyeri dan faktor pencetus)
2) Kolaborasi pemberian analgetik
3) Gunakan strategi komunikasi teraputik dan sampaikan penerimaan pasien
terhadap nyeri
4) Gali faktor-faktor yang dapat mengurangi atau memperberat nyeri
5) Ajarkan teknik non farmakologi (Hipnosis, relaksasi, terapi musik dsb)
6) Monitor kepuasan pasien terhadap manajemen nyeri dala interval yang spesifik
b. Diagnosa : Kerusakan integritas jaringan
NOC : Integritas jaringan : Kulit & membran mukosa (Suhu kulit dalam
rentang nornal, perfusi jaringan baik, lesi/luka pada kulit berkurang
/hilang)
Intervensi : Perawatan Luka
1) Angkat balutan & plester perekat
2) Monitor karakteristik luka (Panjang, lebar, kedalaman, warna dan bau)
3) Bersihkan dengan cairan atau pembersih yang tepat
4) Oleskan salep atau pelembap yang sesuai dengan kulit/luka
5) Berikan balutan yang sesuai dengan jenis luka
6) Reposisi pasien setiap 2 jam
7) Dukung keluarga/pasien untuk mengetahui tanda gejala infeksi
c. Diagnosa : Ketidakstabilan kadar glukosa darah
NOC : Kadar glukosa darah dalam rentang normal (135-147)
Intervensi : Pemberian obat : Intramuskular (IM)
1) Ikuti prinsip 5 benar pemberian obat
2) Pertimbangkan indikasi dan kontraindikasi untuk dilakukan injeksi IM
3) Pilih jarum suntik dan obat-obatan yang sesuai
4) Siapkan dosis yang benar dari obat atau jarum suntik yang sudah terisi
5) Pilih tempat suntikan yang sesuai (Deltoid)
6) Berikan injeksi menggunakan teknik aseptik
7) Suntikan jarum dengan cepat pada sudut 90 derajat
8) Tunggu 10 detik setelah menyuntikan obat, maka tarik jarum dan bebaskan kulit
9) Pantau efek pengobatan
10) Dokumentasikan pemberian obat dan respon pasien
DAFTAR PUSTAKA

Decroli, Eva. 2019. Diabetes Melitus Tipe 2. Padang : Universitas Andalas

Fatimah, Resyana Noor. 2015. Diabetes Melitus Tipe 2. Lampung : Universitas Lampung

Herdman, T. Heather. 2017. NANDA-I Diagnosis Keperawatan : Definisi dan Klasifikasi


2018-2020. Jakarta : EGC

Nurjannah, Intansari., Tumanggor, R Devi. 2015 Nursing Interventions Classification.


Indonesia : Elsevier

Nurjannah, Intansari., Tumanggor, R Devi. 2015 Nursing Outcomes Classification.


Indonesia : Elsevier

Anda mungkin juga menyukai