Anda di halaman 1dari 30

Geologi Regional Pegunungan Selatan

I.

Fisiografi Regional
Secara umum, fisiografi Jawa Tengah bagian selatan-timur yang meliputi

kawasan Gunungapi Merapi, Yogyakarta, Surakarta dan Pegunungan Selatan


dapat dibagi menjadi dua zona, yaitu Zona Solo dan Zona Pegunungan Selatan
(Bemmelen, 1949) (lihat Gambar 1B). Zona Solo merupakan bagian dari Zona
Depresi Tengah (Central Depression Zone) Pulau Jawa. Zona ini ditempati oleh
kerucut G. Merapi ( 2.968 m). Kaki selatan-timur gunungapi tersebut merupakan
dataran Yogyakarta-Surakarta ( 100 m sampai 150 m) yang tersusun oleh
endapan aluvium asal G. Merapi. Di sebelah barat Zona Pegunungan Selatan,
dataran Yogyakarta menerus hingga pantai selatan Pulau Jawa, yang melebar dari
P. Parangtritis hingga K. Progo. Aliran sungai utama di bagian barat adalah K.
Progo dan K. Opak, sedangkan di sebelah timur ialah K. Dengkeng yang
merupakan anak sungai Bengawan Solo (Bronto dan Hartono, 2001).
Satuan perbukitan terdapat di selatan Klaten, yaitu Perbukitan Jiwo.
Perbukitan ini mempunyai kelerengan antara 40 150 dan beda tinggi 125 264
m. Beberapa puncak tertinggi di Perbukitan Jiwo adalah G. Jabalkat ( 264 m) di
Perbukitan Jiwo bagian barat dan G. Konang (lk. 257 m) di Perbukitan Jiwo
bagian timur. Kedua perbukitan tersebut dipisahkan oleh aliran K. Dengkeng.
Perbukitan Jiwo tersusun oleh batuan Pra-Tersier hingga Tersier (Surono dkk,
1992).

Gambar 1. Fisiografi daerah Jawa Timur (van Bemmelen 1949)

Geologi Jawa timur dibagi atas beberapa zona, menurut van Bemmelen jawa
timur dibagi atas 4 bagian antara lain :
1. Zona Pegunungan Selatan Jawa

(Souththern

Mountains)

batuan

pembentuknya terdiri atas siliklastik, volkaniklastik, volkanik , dan batuan


karbonat.
2. Zona Gunung Api Kuarter (Quartenary Volcanoes) : merupakan gunung aktiv
3. Zona Kendeng (Kendeng Zone) : batuan pembentuknya terdiri atas Sekuen
dari volkanogenik dan sedimen pelagik.
4. Zona Rembang (Rembang Zone) : batuan pembentuknya terdiri atas endapan
laut dangkal , sedimen klastik , dan batuan karbonat. Pada zona ini juga
terdapat patahan yang dinamakan Rembang High dan banyak lipatan yang
berarah timur-barat

Gambar 2. Sketsa peta fisiografi sebagian Pulau Jawa dan Madura (modifikasi dari van
Bemmelen, 1949).

Zona Pegunungan Selatan dibatasi oleh Dataran Yogyakarta-Surakarta di


sebelah barat dan utara, sedangkan di sebelah timur oleh Waduk Gajahmungkur,
Wonogiri dan di sebelah selatan oleh Lautan India. Di sebelah barat, antara
Pegunungan Selatan dan Dataran Yogyakarta dibatasi oleh aliran K. Opak,
sedangkan di bagian utara berupa gawir Baturagung. Bentuk Pegunungan Selatan
ini hampir membujur barat-timur sepanjang lk. 50 km dan ke arah utara-selatan
mempunyai lebar lk. 40 km (Bronto dan Hartono, 2001).
Zona Pegunungan Selatan dapat dibagi menjadi tiga subzona, yaitu Subzona
Baturagung, Subzona Wonosari dan Subzona Gunung Sewu (Harsolumekso dkk.,
1997 dalam Bronto dan Hartono, 2001). Subzona Baturagung terutama terletak di
bagian utara, namun membentang dari barat (tinggian G. Sudimoro, 507 m,
antara Imogiri-Patuk), utara (G. Baturagung, 828 m), hingga ke sebelah timur
(G. Gajahmungkur, 737 m). Di bagian timur ini, Subzona Baturagung
membentuk tinggian agak terpisah, yaitu G. Panggung ( 706 m) dan G.
Gajahmungkur ( 737 m). Subzona Baturagung ini membentuk relief paling kasar
dengan sudut lereng antara 100 300 dan beda tinggi 200-700 meter serta hampir
seluruhnya tersusun oleh batuan asal gunungapi.
Subzona Wonosari merupakan dataran tinggi ( 190 m) yang terletak di
bagian tengah Zona Pegunungan Selatan, yaitu di daerah Wonosari dan sekitarnya.

Dataran ini dibatasi oleh Subzona Baturagung di sebelah barat dan utara,
sedangkan di sebelah selatan dan timur berbatasan dengan Subzona Gunung
Sewu. Aliran sungai utama di daerah ini adalah K. Oyo yang mengalir ke barat
dan menyatu dengan K. Opak (lihat Gambar 2.2). Sebagai endapan permukaan di
daerah ini adalah lempung hitam dan endapan danau purba, sedangkan batuan
dasarnya adalah batugamping.
Subzona Gunung Sewu merupakan perbukitan dengan bentang alam karts,
yaitu bentang alam dengan bukit-bukit batugamping membentuk banyak kerucut
dengan ketinggian beberapa puluh meter. Di antara bukit-bukit ini dijumpai
telaga, luweng (sink holes) dan di bawah permukaan terdapat gua batugamping
serta aliran sungai bawah tanah. Bentang alam karts ini membentang dari pantai
Parangtritis di bagian barat hingga Pacitan di sebelah timur.
Zona Pegunungan Selatan di Jawa Timur pada umumnya merupakan blok
yang terangkat dan miring ke arah selatan. Batas utaranya ditandai escarpment
yang cukup kompleks. Lebar maksimum Pegunungan Selatan ini 55 km di sebelah
selatan Surakarta, sedangkan sebelah selatan Blitar hanya 25 km. Diantara
Parangtritis dan Pacitan merupakan tipe karts (kapur) yang disebut Pegunungan
Seribu atau Gunung Sewu, dengan luas kurang lebih 1400 km2 (Lehmann. 1939).
Sedangkan antara Pacitan dan Popoh selain tersusun oleh batugamping
(limestone) juga tersusun oleh batuan hasil aktifitas vulkanis berkomposisi asambasa antara lain granit, andesit dan dasit (Van Bemmelen,1949).
II.

Stratigrafi Regional
Stratigrafi Pegunungan Selatan Jawa Timur bagian Barat dan Jawa Tengah-

Daerah Istimewa Yogyakarta bagian Timur, yaitu jalur Baturagung dan


Kambengan. Rahardjo, dkk., 1977; Surono, et al., 1992; Samodra, et al., 1992,
menyatakan dalam peta geologi bahwa batuan beku intrusi di daerah Pegunungan
Selatan terletak di lokasi yang sama atau berdekatan dengan batuan gunungapi
(endapan turbidit). Daerah jalur Baturagung tersusun oleh batuan gunungapi
berumur Miosen Bawah. Formasi-formasi dari tua ke muda terdiri dari Formasi
Kebo-Butak (batupasir, batulempung, batulanau, serpih, tuf dan konglomerat),
Formasi Semilir (tuf, breksi batuapung, breksi tuf, batupasir tufan dan serpih),
Formasi Nglanggran (breksi volkanik, konglomerat, batupasir tufan, sisipan lava

andesit-basalt), Formasi Sambipitu (batupasir tufan dan batulempung), Formasi


Oyo (napal tufan dan batupasir konglomeratan), dan Formasi Wonosari
(batugamping).
Sampurno dan Samudro, (1997), mengemukakan bahwa zona Pegunungan
Selatan terdapat di bagian ujung selatan. Jalur ini termasuk di dalam jalur
Kambengan (Van Bemmelen, 1949). Formasi-formasi dari tua ke muda terdiri dari
Formasi Dayakan (perselingan batupasir dan batu lempung sisipan tuf), Formasi
Panggang (perselingan breksi gunungapi dan lava dengan sisipan batupasir) dan
Formasi Watupatok (lava basalt berstruktur bantal dengan sisipan batupasir,
batulempung dan rijang). Ketiga formasi tersebut saling menjari dan mempunyai
umur Oligosen Akhir Miosen Awal.

Gambar 3. Stratigrafi Pegunungan Baturangung dan Perbukitan Jiwo


(dimodifikasi dari Sudarno, 1997)

III.

Struktur Regional
Menurut Sujanto dan Roskamil (1975), tektonik daerah Jawa Tengah bagian

selatan dipengaruhi oleh adanya zona penunjaman yang terletak di bagian selatan
Pulau Jawa. Samodra (1981) mengemukakan bahwa struktur yang berkembang di
Jawa Tengah mempunyai pola dengan arah Timurlaut Baratdaya, struktur ini
berasosiasi dengan Pegunungan Meratus di Kalimantan. Prihatmoko dkk., (2002)
mengemukakan di daerah Jawa Tengah dan Daerah Istimewa Yogyakarta terbagi
menjadi 5 struktur utama, yaitu: Citandui, Pati, Yogyakarta, Baribis dan Kendeng.

Gambar 4. Tektonik lempeng jawa bagian selatan

IV.

Stratigrafi Pegunungan Selatan


Pembahasan stratigrafi daerah survei tidak akan terlepas dengan stratigrafi

regional Pegunungan Selatan, khususnya stratigrafi Pegunungan Selatan Jawa


Timur bagian Barat dan Jawa Tengah-Daerah Istimewa Yogyakarta bagian Timur,
yaitu jalur Baturagung dan Kambengan. Rahardjo, dkk., 1977; Surono, et al.,
1992; Samodra, et al., 1992, menyatakan dalam peta geologi bahwa batuan beku
intrusi di daerah Pegunungan Selatan terletak di lokasi yang sama atau berdekatan
dengan batuan gunungapi (endapan turbidit). Daerah jalur Baturagung tersusun
oleh batuan gunungapi berumur Miosen Bawah. Formasi-formasi dari tua ke
muda terdiri dari Formasi Kebo-Butak (batupasir, batulempung, batulanau, serpih,
tuf dan konglomerat), Formasi Semilir (tuf, breksi batuapung, breksi tuf, batupasir
tufan dan serpih), Formasi Nglanggran (breksi volkanik, konglomerat, batupasir
tufan, sisipan lava andesit-basalt), Formasi Sambipitu (batupasir tufan dan
batulempung), Formasi Oyo (napal tufan dan batupasir konglomeratan), dan
Formasi Wonosari (batugamping).
Sampurno dan Samudro, (1997), mengemukakan bahwa zona Pegunungan
Selatan terdapat di bagian ujung selatan. Jalur ini termasuk di dalam jalur
Kambengan (Van Bemmelen, 1949). Formasi-formasi dari tua ke muda terdiri dari
Formasi Dayakan (perselingan batupasir dan batu lempung sisipan tuf), Formasi
Panggang (perselingan breksi gunungapi dan lava dengan sisipan batupasir) dan
Formasi Watupatok (lava basalt berstruktur bantal dengan sisipan batupasir,
batulempung dan rijang). Ketiga formasi tersebut saling menjari dan mempunyai
umur Oligosen Akhir Miosen Awal.

Gambar 5. Tatanan Stratigrafi Pegunungan Selatan dari beberapa peneliti

A. Pegunungan Selatan bagian barat


Penamaan satuan litostratigrafi Pegunungan Selatan telah banyak
dikemukakan oleh beberapa peneliti yang membedakan stratigrafi wilayah
bagian barat (Parangtritis Wonosari) dan wilayah bagian timur (Wonosari
Pacitan). Urutan stratigrafi Pegunungan Selatan bagian barat telah diteliti
antara lain oleh Bothe (1929), van Bemmelen (1949), Sumarso dan
Ismoyowati (1975), Sartono (1964), Nahrowi, dkk (1978) dan Suyoto
(1992) serta Wartono dan Surono dengan perubahan (1994)
Keterangan Gambar Formasi batuan pada Pegunungan Selatan Bagian
Barat:
1. Formasi Wungkal-Gamping
Lokasi tipe formasi ini terletak di G. Wungkal dan G. Gamping,
keduanya di Perbukitan Jiwo. Satuan batuan Tersier tertua di daerah

Pegunungan Selatan ini di bagian bawah terdiri dari perselingan antara


batupasir dan batulanau serta lensa batugamping. Pada bagian atas,
satuan batuan ini berupa napal pasiran dan lensa batugamping.
Formasi ini tersebar di Perbukitan Jiwo, antara lain di G. Wungkal,
Desa Sekarbolo, Jiwo Barat, menpunyai ketebalan sekitar 120 meter
(Bronto dan Hartono, 2001).
Di bagian bawah, Formasi Wungkal-Gamping mengandung fosil
foraminifera

besar,

yaitu

Assilina

sp.,

Nummulites

javanus

VERBEEK, Nummulites bagelensisVERBEEK dan Discocyclina


javana VERBEEK. Kelompok fosil tersebut menunjukkan umur
Eosen Tengah bagian bawah sampai tengah. Sementara itu bagian atas
formasi ini mengandung asosiasi fosil foraminifera kecil yang
menunjukkan umur Eosen Akhir. Jadi umur Formasi WungkalGamping ini adalah Eosen Tengah sampai dengan Eosen Akhir
(Sumarso dan Ismoyowati, 1975).
Sebagian dari satuan batuan ini semula merupakan endapan laut
dangkal yang kaya akan fosil. Karena pengaruh gaya berat di lereng
bawah laut, formasi ini kemudian meluncur ke bawah dan diendapkan
kembali di laut dalam sehingga merupakanexotic faunal assemblage
(Rahardjo, 1980). Formasi ini tersebar luas di Perbukitan Jiwo dan K.
Oyo di utara G. Gede, menindih secara tidak selaras batuan metamorf
serta diterobos oleh Diorit Pendul dan di atasnya, secara tidak selaras,
ditutupi oleh batuan sedimen klastika gunungapi (volcaniclastic
sediments) yang dikelompokkan ke dalam Formasi Kebo-Butak,
Formasi Semilir, Formasi Nglanggran dan Formasi Sambipitu.
2. Formasi Kebo-Butak
Lokasi tipe formasi ini terletak di G. Kebo dan G. Butak yang
terletak di lereng dan kaki utara gawir Baturagung. Litologi penyusun
formasi ini di bagian bawah berupa batupasir berlapis baik, batulanau,
batulempung, serpih, tuf dan aglomerat. Bagian atasnya berupa
perselingan batupasir dan batulempung dengan sisipan tipis tuf asam.

Setempat di bagian tengahnya dijumpai retas lempeng andesit-basal


dan di bagian atasnya dijumpai breksi andesit.
Pada Formasi Kebo-Butak, Sumarso dan Ismoyowati (1975)
menemukan

fosil

Globorotalia

opima

BOLLI,

Globorotalia

angulisuturalis BOLLI, Globorotalia kuqleri BOLLI, Globorotalia


siakensis LEROY, Globigerina binaiensis KOCH, Globigerinoides
primordius BLOW dan BANNER, Globigerinoides trilobus REUSS.
Kumpulan fosil tersebut menunjukkan umur Oligosen Akhir Miosen
Awal. Lingkungan pengendapannya adalah laut terbuka yang
dipengaruhi oleh arus turbid. Formasi ini tersebar di kaki utara
Pegunungan Baturagung, sebelah selatan Klaten dan diduga menindih
secara tidak selaras Formasi Wungkal-Gamping serta tertindih selaras
oleh Formasi Semilir. Ketebalan dari formasi ini lebih dari 650 meter.
3. Formasi Semilir
Formasi ini berlokasi tipe di G. Semilir, sebelah selatan Klaten.
Litologi penyusunnya terdiri dari tuf, tuf lapili, lapili batuapung,
breksi batuapung dan serpih. Komposisi tuf dan batuapung tersebut
bervariasi dari andesit hingga dasit. Di bagian bawah satuan batuan
ini, yaitu di K. Opak, Dusun Watuadeg, Desa Jogotirto, Kec. Berbah,
Kab. Sleman, terdapat andesit basal sebagai aliran lava bantal (Bronto
dan Hartono, 2001). Penyebaran lateral Formasi Semilir ini
memanjang dari ujung barat Pegunungan Selatan, yaitu di daerah
Pleret-Imogiri, di sebelah barat G. Sudimoro, Piyungan-Prambanan, di
bagian tengah pada G. Baturagung dan sekitarnya, hingga ujung timur
pada tinggian G. Gajahmungkur, Wonogiri. Ketebalan formasi ini
diperkirakan lebih dari 460 meter.
Pada umumnya, formasi ini miskin akan fosil. Namun, Sumarso
dan Ismoyowati (1975) menemukan fosil Globigerina tripartita
KOCH pada bagian bawah formasi dan Orbulina pada bagian atasnya.
Sedangkan

pada

bagian

tengah

formasi

ditemukan

Globigerinoides primordius BLOW dan BANNER, Globoquadrina

altispira CUSHMAN dan JARVIS, Globigerina praebulloides BLOW


dan Globorotalia siakensis LEROY.Berdasarkan hal tersebut, maka
dapat disimpulkan bahwa umur formasi ini adalah Miosen AwalMiosen Tengah bagian bawah.
Formasi Semilir ini menindih secara selaras Formasi Kebo-Butak,
namun secara setempat tidak selaras (van Bemmelen, 1949). Formasi
ini menjemari dengan Formasi Nglanggran dan Formasi Sambipitu,
namun tertindih secara tidak selaras oleh Formasi Oyo (Surono, dkk.,
1992). Dengan melimpahnya tuf dan batuapung dalam volume yang
sangat besar, maka secara vulkanologi Formasi Semilir ini dihasilkan
oleh letusan gunungapi yang sangat besar dan merusak, biasanya
berasosiasi dengan pembentukan kaldera letusan (Bronto dan hartono,
2001).
4. Formasi Nglanggran
Lokasi tipe formasi ini adalah di Desa Nglanggran di sebelah
selatan Desa Semilir. Batuan penyusunnya terdiri dari breksi
gunungapi, aglomerat, tuf dan aliran lava andesit-basal dan lava
andesit. Breksi gunungapi dan aglomerat yang mendominasi formasi
ini umumnya tidak berlapis. Kepingannya terdiri dari andesit dan
sedikit basal, berukuran 2 50 cm. Di bagian tengah formasi ini, yaitu
pada breksi gunungapi, ditemukan batugamping terumbu yang
membentuk lensa atau berupa kepingan. Secara setempat, formasi ini
disisipi oleh batupasir gunungapi epiklastika dan tuf yang berlapis
baik.
Pada umumnya Formasi Nglanggran ini juga miskin akan fosil.
Sudarminto (1982, dalam Bronto dan Hartono (2001)) menemukan
fosil foraminifera Globigerina praebulloides BLOW, Globigerinoides
primordius

BLOW

dan

BANNER,Globigerinoides

sacculifer

BRADY, Globoquadrina dehiscens CHAPMANN, PARR dan


COLLINS pada sisipan batulempung yang menunjukkan umur
Miosen Awal. Sedangkan Saleh (1977, dalam Bronto dan Hartono

(2001)) menemukan fosil foraminifera Globorotalia praemenardiii


CUSHMAN dan ELLISOR, Globorotalia archeomenardii BOLLI,
Orbulina suturalis BRONNIMANN, Orbulina universa DORBIGNY
dan Globigerinoides trilobus REUSS pada sisipan batupasir yang
menunjukkan umur Miosen Tengah bagian bawah. Sehingga
disimpulkan bahwa umur formasi ini adalah Miosen Awal-Miosen
Tengah bagian bawah.
Formasi ini juga tersebar luas dan memanjang dari Parangtritis di
sebelah barat hingga tinggian G. Panggung di sebelah timur.
Ketebalan formasi ini di dekat Nglipar sekitar 530 meter. Formasi ini
menjemari dengan Formasi Semilir dan Formasi Sambipitu dan secara
tidak selaras ditindih oleh Formasi Oyo dan Formasi Wonosari.
Dengan banyaknya fragmen andesit dan batuan beku luar berlubang
serta mengalami oksidasi kuat berwarna merah bata maka
diperkirakan lingkungan asal batuan gunungapi ini adalah darat
hingga laut dangkal. Sementara itu, dengan ditemukannya fragmen
batugamping terumbu, maka lingkungan pengendapan Formasi
Nglanggran ini diperkirakan di dalam laut.
5. Formasi Sambipitu
Lokasi tipe formasi ini terletak di Desa Sambipitu pada jalan raya
Yogyakarta-Patuk-Wonosari

kilometer

27,8.

Secara

lateral,

penyebaran formasi ini sejajar di sebelah selatan Formasi Nglanggran,


di kaki selatan Subzona Baturagung, namun menyempit dan kemudian
menghilang di sebelah timur. Ketebalan Formasi Sambipitu ini
mencapai 230 meter.
Batuan penyusun formasi ini di bagian bawah terdiri dari
batupasir kasar, kemudian ke atas berangsur menjadi batupasir halus
yang berselang-seling dengan serpih, batulanau dan batulempung.
Pada bagian bawah kelompok batuan ini tidak mengandung bahan
karbonat. Namun di bagian atasnya, terutama batupasir, mengandung

bahan

karbonat.

Formasi

Sambipitu

mempunyai

kedudukan

menjemari dan selaras di atas Formasi Nglanggran.


Fosil yang ditemukan pada formasi ini diantaranya Lepidocyclina
verbeeki

NEWTON

PROVALE,
comunis

dan

HOLLAND,

Lepidocyclina

sumatrensis

MARTIN,

Miogypsina

Lepidocyclina

ferreroi

BRADY, Cycloclypeus

polymorphaRUTTEN

dan

Miogypsina thecideaeformis RUTTEN yang menunjukkan umur


Miosen Tengah (Bothe, 1929). Namun Suyoto dan Santoso (1986,
dalam Bronto dan Hartono, 2001) menentukan umur formasi ini mulai
akhir Miosen Bawah sampai awal Miosen Tengah. Kandungan fosil
bentoniknya menunjukkan adanya percampuran antara endapan
lingkungan laut dangkal dan laut dalam. Dengan hanya tersusun oleh
batupasir tuf serta meningkatnya kandungan karbonat di dalam
Formasi Sambipitu ini diperkirakan sebagai fase penurunan dari
kegiatan gunungapi di Pegunungan Selatan pada waktu itu (Bronto
dan Hartono, 2001).
6. Formasi Oyo
Lokasi tipe formasi ini berada di K. Oyo. Batuan penyusunnya
pada bagian bawah terdiri dari tuf dan napal tufan. Sedangkan ke atas
secara berangsur dikuasai oleh batugamping berlapis dengan sisipan
batulempung karbonatan. Batugamping berlapis tersebut umumnya
kalkarenit,

namun

kadang-kadang

dijumpai

kalsirudit

yang

mengandung fragmen andesit membulat. Formasi Oyo tersebar luas di


sepanjang K. Oyo. Ketebalan formasi ini lebih dari 140 meter dan
kedudukannya menindih secara tidak selaras di atas Formasi Semilir,
Formasi Nglanggran dan Formasi Sambipitu serta menjemari dengan
Formasi Oyo.
Formasi Oyo umumnya berlapis baik. Sedangkan fosil yang
dijumpai antara lain Cycloclypeus annulatus MARTIN, Lepidocyclina
rutteni VLERK, Lepidocyclina ferreroi PROVALE, Miogypsina
polymorpha RUTTEN dan Miogypsina thecideaeformis RUTTEN

yang menunjukkan umur Miosen Tengah hingga Miosen Akhir


(Bothe, 1929). Lingkungan pengendapannya pada laut dangkal (zona
neritik) yang dipengaruhi kegiatan gunungapi.
7. Formasi Wonosari
Formasi ini oleh Surono dkk., (1992) dijadikan satu dengan
Formasi Punung yang terletak di Pegunungan Selatan bagian timur
karena di lapangan keduanya sulit untuk dipisahkan, sehingga
namanya Formasi Wonosari-Punung. Formasi ini tersingkap baik di
daerah Wonosari dan sekitarnya, membentuk bentang alam Subzona
Wonosari dan topografi karts Subzona Gunung Sewu. Ketebalan
formasi ini diduga lebih dari 800 meter. Kedudukan stratigrafinya di
bagian bawah menjemari dengan Formasi Oyo, sedangkan di bagian
atas menjemari dengan Formasi Kepek. Formasi ini didominasi oleh
batuan karbonat yang terdiri dari batugamping berlapis dan
batugamping terumbu. Sedangkan sebagai sisipan adalah napal.
Sisipan tuf hanya terdapat di bagian timur.
Berdasarkan kandungan fosil foraminifera besar dan kecil yang
melimpah, diantaranya Lepidocyclina sp. dan Miogypsina sp.,
ditentukan umur formasi ini adalah Miosen Tengah hingga Pliosen.
Lingkungan pengendapannya adalah laut dangkal (zona neritik) yang
mendangkal ke arah selatan (Surono dkk, 1992).
8. Formasi Kepek
Lokasi tipe dari formasi ini terletak di Desa Kepek, sekitar 11
kilometer di sebelah barat Wonosari. Formasi Kepek tersebar di hulu
K. Rambatan sebelah barat Wonosari yang membentuk sinklin. Batuan
penyusunnya adalah napal dan batugamping berlapis. Tebal satuan ini
lebih kurang 200 meter.
Formasi Kepek umumnya berlapis baik dengan kemiringan
kurang dari 10o dan kaya akan fosil foraminifera kecil. Fosil yang
terkandung di antaranya Globorotalia plesiotumida BLOW dan
BANNER, Globorotalia merotumida, Globoquadrina dehiscens

CHAPMAN, PARR dan COLLINS,Amphistegina sp., Textularia sp.,


Cibicides sp., Cassidulina sp. dan

Virgulina sp.Berdasarkan

kandungan fosil tersebut, maka umur Formasi Kepek adalah Miosen


Akhir hingga Pliosen. Formasi Kepek menjemari dengan bagian atas
dari Formasi Wonosari-Punung. Lingkungan pengendapannya adalah
laut dangkal (zona neritik) (Samodra, 1984, dalam Bronto dan
Hartono, 2001).
9. Endapan Permukaan
Endapan permukaan ini sebagai hasil dari rombakan batuan yang
lebih tua yang terbentuk pada Kala Plistosen hingga masa kini. Terdiri
dari bahan lepas sampai padu lemah, berbutir lempung hingga kerakal.
Surono dkk. (1992) membagi endapan ini menjadi Formasi Baturetno
(Qb), Aluvium Tua (Qt) dan Aluvium (Qa). Sumber bahan rombakan
berasal dari batuan Pra-Tersier Perbukitan Jiwo, batuan Tersier
Pegunungan Selatan dan batuan G. Merapi. Endapan aluvium ini
membentuk Dataran Yogyakarta-Surakarta dan dataran di sekeliling
Bayat. Satuan Lempung Hitam, secara tidak selaras menutupi satuan
di bawahnya. Tersusun oleh litologi lempung hitam, konglomerat, dan
pasir, dengan ketebalan satuan 10 m. Penyebarannya dari Ngawen,
Semin, sampai Selatan Wonogiri. Di Baturetno, satuan ini menunjukan
ciri endapan danau, pada Kala Pleistosen. Ciri lain yaitu: terdapat
secara setempat laterit (warna merah kecoklatan) merupakan endapan
terarosa, yang umumnya menempati uvala pada morfologi karst.
B. Pegunungan Selatan Bagian Timur
Zona Pegunungan Selatan di Jawa Timur pada umumnya merupakan
blok yang terangkat dan miring ke arah selatan. Batas utaranya ditandai
escarpment yang cukup kompleks. Lebar maksimum Pegunungan Selatan
ini 55 km di sebelah selatan Surakarta, sedangkan sebelah selatan Blitar
hanya 25 km. Diantara Parangtritis dan Pacitan merupakan tipe karts
(kapur) yang disebut Pegunungan Seribu atau Gunung Sewu, dengan luas
kurang lebih 1400 km2 (Lehmann. 1939). Sedangkan antara Pacitan dan
Popoh selain tersusun oleh batugamping (limestone) juga tersusun oleh

batuan hasil aktifitas vulkanis berkomposisi asam-basa antara lain granit,


andesit dan dasit (Van Bemmelen,1949).
Sementara formasi Kabuh yang dijumpai di antara Madiun-Nganjuk
berada pada geomorfologi dataran-bergelombang lemah yang merupakan
sedimentasi bentukan channel (transisi).
Stratigrafi Pegunungan Selatan di Jawa Timur, telah diteliti oleh
Sartono (1964) dengan daerah telitian di daerah Punung dan sekitarnyaPacitan. Susunan litostratigrafinya sebagai berikut (dari tua ke muda):
Kelompok Formasi Besole, Formasi Jaten, Formasi Nampol, Formasi
Punung.
1. Formasi Besole
Merupakan satuan batuan tertua yang tersingkap di daerah ini.
Sartono (1964), pencetus nama formasi besole menyebutkan bahwa
satuan ini tersusun oleh dasit, tonalit, tuf dasitan, serta andesit,
dimana satuan ini diendapkan di lingkungan darat.
Nahrowi dkk (1978), dengan menggunakan satuan batuan
bernama formasi besole, menyebutkan bahwa formasi ini tersusun
oleh perulangan breksi volkanik, batupasir, tuf, dan lava bantal,
diendapkan dengan mekanisme turbidangit, pada lingkungan laut
dalam.
Samodaria dkk (1989 & 1991) membagi satuan yang bernama
formasi besole ini menjadi dua satuan yaitu formasi arjosari yang
terdiri dari perselingan batupasir dan breksi, yang diendapkan pada
lingkungan laut dangkal, dan formasi mandalika yang tersusun oleh
perselingan breksi, batupasir, serta lava bantal diendapkan pada
lingkungan laut dalam. Terlepas dari perbedaan litologi, dan
lingkungan pengendapan pada satuan yang bernama formasi besole
ini, mempunyai penyebaran menempati morfologi terjal, dan
berbukit-bukit. Oleh sartono (1964), satuan ini merupakan bagian dari
kelompok batuanold andesit (van bemmelen, 1949), seperti halnya
yang terdapat di kulon progo. Jadi secara umum formasi besole

tersusun

oleh

satuan

batuan

volkanik

(intrusi),

lava

dan

volkanoklastik (breksi, sisipan batupasir tufan).


Djohor, 1993 meneliti singkapan di k.grindulu (pacitantegalombo) menyimpulkan urutan formasi besole yang tersingkap di
daerah tersebut adalah sebagaiberikut: bagian bawah terdiri dari
breksi volkanik (pyroclastic), batupasir tufan (greywacke), sisipan
crystal tuf, dan dibeberapa tempat dijumpai intrusi (korok dasit).
Bagian tengah tersusun oleh lava dasitik, tuf dasitik, breksi volkanik,
batupasir volkanik, dan sisipan lava basaltik dengann kekar-kekar
kolom, dibe-berapa tempat dijumpai intrusi korok berkomposisi
basaltis, dan dasitik. Bagian atas didominasi oleh batn volkanoklastik
(perulangan konglomerat, batupasir tufan, tuf, dengan sisipan breksi
dan batulempung). Didapat intrusi berupa volcanic neck berkomposisi
andesitik. Juga dijumpai sisipan tipis batulempung gampingan yang
mengandung foraminifera planktonik serta bongkah batu-gamping
berukuran mencapai 1 m didalam tubuh tuf. Secara tidak selaras di
atasnya terdapat formasi jaten.
2. Formasi Jaten
Dengan lokasi tipenya K.Jaten Donorojo, Pacitan (Sartono
1964), tersusun oleh konglomerat, batupasir kuarsa, batulempung
(mengandung

fosilGastrophoda,

Pelecypoda,

Coral,

Bryozoa,

Foraminifera), dengan sisipan tipis lignit. Ketebalan satuan ini


mencapai 20-150 m. Diendapkan pada lingkungan transisi neritik
tepi pada Kala Miosen Tengah (N9 N10).
3. Formasi Wuni
Dengan lokasi tipenya K.Wuni (anak Sungai S Basoka) Punung,
Pacitan (Sartono, 1964), tersusun oleh breksi, aglomerat, batupasir
tufan, lanau, dan batugamping. Berdasarkan fauna koral satuan ini
berumur

Miosen Bawah (Te.5 Tf.1), berdasarkan

hadirnya

Globorotalia siakensis, Globigerinoides trilobus & Globigerina


praebuloides berumur Miosen Tengah (N9-N12) (Tim Lemigas).

Ketebalan Formasi Wuni = 150 -200 m. Satuan ini terletak selaras


menutupi Formasi Jaten, dan selaras di bawah Formasi Nampol.
4. Formasi Nampol
Tersingkap baik di K.Nampol, Kec Punung, Pacitan
(Sartono,1964), dengann susunan batuan sebagai berikut: bagian
bawah terdiri dari konglomerat, batupasir tufan, dan bagian atas:
terdiri dari perselingan batulanau, batupasir tufan, dan sisipan serpih
karbonan dan lapisan lignit. Diendapkan pada Kala Miosen Awal
(Sartono,1964)

atau

Nahrowi

(1979),

Pringgoprawiro

(1985),

Samodaria & Gafoer (1990) menghitungnya berumuri Miosen Awal


Miosen Tengah. Ketiga formasi (Jaten, Wuni, Nampol) berhu-bungan
jari-jemari dengan bagian bawah Formasi Punung.
5. Formasi Punung
Dengan lokasi tipenya di daerah Punung, Pacitan, tersusun oleh
dua litofasies yaitu: fasies klastika dan fasies kar-bonat (Sartono,
1964). Fasies karbonat, tersusun oleh batu-gamping terumbu,
batugamping bioklastik, batugamping pasiran, napal, dimana satuan
ini merupakan endapan sistim karbonat paparan. Ketebalan fasies ini
200-300 m, berumur Miosen Tengah-Atas (N9-N16). Sedangkan
fasies klastika tersusun oleh perselingan batupasir tufan, batupasir
gampingan, lanau dan serpih. Ketebalan satuan ini 76 -230 m.
Berdasarkan kandungan fosil foram menunjukan umur Miosen Tengah
(N15), diendapkan pada lingkungan nertitik tepi. Hubungan dengan
fasies karbonat adalah menjari, dan kedua satuan fasies ini menutupi
secara tidak selaras Formasi Nampol (Sartono, 1964). Sedangkan
menurut Nahrowi (1979), Pringgoprawiro (1985) Formasi Punung
menutui secara tidak selaras Formasi Besole, dengan saling menjari
dengan Formasi Jaten, Wuni, dan Nampol.
6. Endapan Tersier
Di daerah Pegunungan Selatan bagian Timur, endapan yang
paling muda adalah endapan terarosa dan endapan sungai yang secara
tidak selaras menutupi seri endapan Tersier.
C. Pegunungan Selatan Bagian Barat

Struktur geologi di daerah Pegunungan Selatan bagian barat berupa


perlapisan homoklin, sesar, kekar dan lipatan. Perlapisan homoklin
terdapat pada bentang alam Subzona Baturagung mulai dari Formasi
Kebo-Butak di sebelah utara hingga Formasi Sambipitu dan Formasi Oyo
di sebelah selatan. Perlapisan tersebut mempunyai jurus lebih kurang
berarah barat-timur dan miring ke selatan. Kemiringan perlapisan menurun
secara berangsur dari sebelah utara (200 350) ke sebelah selatan (50
150). Bahkan pada Subzona Wonosari, perlapisan batuan yang termasuk
Formasi Oyo dan Formasi Wonosari mempunyai kemiringan sangat kecil
(kurang dari 50) atau bahkan datar sama sekali. Pada Formasi Semilir di
sebelah barat, antara Prambanan-Patuk, perlapisan batuan secara umum
miring ke arah baratdaya. Sementara itu, di sebelah timur, pada tanjakan
Sambeng dan Dusun Jentir, perlapisan batuan miring ke arah timur.
Perbedaan jurus dan kemiringan batuan ini mungkin disebabkan oleh sesar
blok (anthithetic fault blocks; Bemmelen, 1949) atau sebab lain, misalnya
pengkubahan (updoming) yang berpusat di Perbukitan Jiwo atau
merupakan kemiringan asli (original dip) dari bentang alam kerucut
gunungapi dan lingkungan sedimentasi Zaman Tersier (Bronto dan
Hartono, 2001).
Struktur sesar pada umumnya berupa sesar turun dengan pola
anthithetic fault blocks (van Bemmelen,1949).
Sesar utama berarah baratlaut-tenggara dan setempat berarah
timurlaut-baratdaya. Di kaki selatan dan kaki timur Pegunungan
Baturagung dijumpai sesar geser mengkiri. Sesar ini berarah hampir utaraselatan dan memotong lipatan yang berarah timurlaut-baratdaya. Bronto
dkk. (1998, dalam Bronto dan Hartono, 2001) menginterpretasikan tandatanda sesar di sebelah selatan (K. Ngalang dan K. Putat) serta di sebelah
timur (Dusun Jentir, tanjakan Sambeng) sebagai bagian dari longsoran
besar (mega slumping) batuan gunungapi tipe Mt. St. Helens.Di sebelah
barat K. Opak diduga dikontrol oleh sesar bawah permukaan yang berarah
timurlaut-baratdaya dengan blok barat relatif turun terhadap blok barat.

Struktur lipatan banyak terdapat di sebelah utara G. Panggung berupa


sinklin dan antiklin. Tinggian batuan gunung berapi ini dengan tinggian G.
Gajahmungkur di sebelah timurlautnya diantarai oleh sinklin yang berarah
tenggara-baratlaut. Struktur sinklin juga dijumpai di sebelah selatan, yaitu
pada Formasi Kepek, dengan arah timurlaut-baratdaya.
D. Pegunungan Selatan Bagian Timur
Struktur geologi di daerah Pegunungan Selatan bagian timur berupa
perlapisan homoklin, sesar, kekar dan lipatan. Struktur utama yang
berkembang di Daerah Pegunungan Selatan Bagian Timur ini terutama
adalah sesar yang berkembang di sepanjang Sungai Grindulu dan
kemungkinan besar struktur inilah yang menimbulkan banyak dijumpai
mineralisasi di daerah ini.
Bagian sebelah timur dari Pegunungan Serayu Selatan, secara
stratigrafis termasuk ke dalam stratigrafis Pegunungan Kulon Progo. Unit
stratigrafis yang paling tua di daerah Pegunungan Kulon Progo dikenal
dengan Formasi nanggula, kemudian secara tidak selaras diatasnya
diendapkan batuan-batuan dari Formasi Jonggaran dan Formasi Sentolo,
yang menurut Van Bemmmelen (1949, hal.598), kedua formasi terakhir ini
mempunyai umur yang sama, keduanya hanya berbeda fasies.
1. Formasi Nanggulan
Formasi Nanggulan merupakan formasi yang paling tua di
daerah pegunungan Kulon Progo. Singkapan batuan batuan penyusun
dari Formasi Naggulan dijumpai di sekitar desa Nanggulan, yang
merupakn kaki sebelah timur dari Pegunungan Kulon Progo.
Penyusun batuan dari formasi ini menurut Wartono Raharjo dkk
(1977) terdiri dari Batupasir dengan sisipan Lignit, Napal pasiran,
Batulempung

dengan

konkresi

Limonit,

sisipan

Napal

dan

Batugamping, Batupasir dan Tuf serta kaya akan fosil foraminifera


dan Moluska. Diperkirakan ketebalan formasi ini adalah 30 meter.
Marks (1957, hal.101) menyebutkan bahwa berdasarkan
beberapa studi yang dilakukan olh Martin (1915 dan 31 ), Douville
(1912), Oppernorth & Gerth (1928), maka formasi Nanggulan ini

dibagai menjadi 3 bagian secara strtigrafis dari bawah ke atas adalah


sebagai berikut
a) Anggota ( Axinea Berds), marupakan bagian yang paling
bawah dari formasi Nanggulan. Ini terdiri dari Batupasir dengan
interkalasi Lignit, kemudian tertutup oleh batupasir yang banyak
mengandung fosil Pelcypoda, dengan Axinea dunkeri Boetgetter
yang dominan. Ketebalan anggota Axinea ini mencapai 40 m.
b) Anggota Djogjakartae (Djokjakarta). Batuan penyususn dari
bagian ini adalh Napal pasiran, Batuan dan Lempung dengan
banyak konkresi yang bersifat gampingan. Anggota Djokjakartae
ini kaya akan Foraminifera besar dan Gastropoda. Fosil yang khas
adalah

Nummulites

djokjakartae

MARTIN,

bagian

ini

mempunyai ketenalan sekitar 60 m.


c) Anggota Discocyclina (Discocylina Beds), Batuan penyususn
dari bagian ini adalah Napal pasiran, Batupasir arkose sebagi
sisipan yang semakin ke atas sering dijumpai. Discocyciina
omphalus, merupakan fosil penciri dari bagian ini.Ketebalan dari
anggota ini mencapai 200 m.
Berdasarkan pada studi fosil yang diketemukan, Formasi
Nanggulan mempunyai kisaran umur antara Eosen Tengah sampai
Oligosen Atas (Hartono, 1969, vide Wartono Raharjo dkk, 1977).
2. Formasi Andesit Tua
Batuan penyusun dari formasi ini terdiri atas Breksi andesit, Tuf,
Tuf Tapili, Aglomerat dan sisipan aliran lava andesit. Lava, terutama
terdiri dari Andesit hiperstein dan Andesit augit hornblende (Wartono
Raharjo dkk, 1977).
Formasi Andesit Tua ini dengan ketebalan mencapai 500 meter
mempunyai kedudukan yang tidak selaras di atas formasi Nanggulan.
Batuan penyusun formasi ini berasal dari kegiatan vulaknisme di
daerah tersebut, yaitu dari beberapa gunung api tua di daerah
Pegunungan Kulon Progo yang oleh Van Bemmelen (1949) disebut
sebagai Gunung Api Andesit Tua. Gunung api yang dimaksud adalah

Gunung Gajah, di bagian tengah pegunungan, Gunung Ijo di bagian


selatan, serta Gunung Menoreh di bagian utara Pegunungan Kulon
Progo.
Aktivitas dari Gunung Gajah di bagian tengah mengahsilkan
aliran-aliran lava dan breksi dari andesit piroksen basaltic. Aktivitas
ini kemudian diikuti Gunung Ijo di bagian selatan Pegunungan Kulon
Progo, yang menghasilkan Andesit piroksen basaltic, kemudian
Andesit augit hornblende dan kegiatan paling akhir adalah intrusi
Dasit. Setelah denudasi yang kuat, sedikit anggota dari Gunung Gajah
telah tersingkap, di bagian utara, Gunung Menoreh ini menghasilkan
batuan breksi Andesit augithornblende, yang disusul oleh intrusi Dasit
dan Trakhiandesit.
Purnamaningsih (1974, vide warttono rahardjo, dkk, 1977)
menyebutkan telah menemukan kepingan Tuff napalan yang
merupakan fragmen Breksi. Kepingan Tuff napalan ini merupakan
hasil dari rombakan lapisan yang lebih tua, dijumpai di kaki gunun
Mujil. Dari hasil penelitian, kepingan Tuff itu merupakan fosil
Foraminifera plantonik yang dikenal sebagai Globigerina ciperoensis
bolli, Globigerina geguaensis weinzrel; dan applin serta Globigerina
praebulloides blow. Fosil-fosil ini menunjukkan umur Oligosen atas.
Formasi Andesit Tua secara stratrigrafis berada di bawah
Formasi Sentolo. Harsono Pringgoprawiro (1968, hal.8) dan Darwin
Kadar (1975, hal.2) menyimpulkan bahwa umur Formasi Sentolo
berdasarkan penelitian terhadap Foraminifera plantonik adalah
berkisar antara Awal Meiosen sampai Pliosen. Formasi Nanggulan,
yang terletak di bawah Formasi Andesit Tua mempunyai kisaran umur
Eosen Tengah hingga Oligosen Atas (hartono, 1969, vide Wartono
Rahardjo, dkk, 1977). Jika kisaran umur itu dipakai, maka Formasi
Andesit Tua diperkirakan berumur Oligosen Atas sampai Meiosen
Bawah. Menurut Purbaningsih (1974, vide wartono Rahardjo, dkk,
1977) umur Formasi Tua ini adalah Oligosen.

3. Formasi Jonggrangan
Litologi dari Formasi Jonggrangan ini tersingkap baik di sekitar
desa Jonggrangan, suatu desa yang ketinggiannya di atas 700 meter
dari muka air laut dan disebut sebagai Plato Jonggrangan.
Bagian bawah dari formasi ini terdiri dari Konglomerat yang
ditumpangi oleh Napal tufan dan Batupasir gampingan dengan sisipan
Lignit. Batuan ini semakin ke atas berubah menjadi Batugamping
koral (Wartono rahardjo, dkk, 1977)
Formasi Jonggrangan ini terletak secara tidak selaras di atas
Formasi Andesit Tua. Ketebalan dari Formasi Jonggrangan ini
mencapai sekitar 250 meter (van Bemmelen, 1949, hal.598).
koolhoven (vide van Bemmelen, 1949, hal.598) menyebutkan bahwa
formasi Jonggrangan dan Formasi SEntolo keduanya merupakan
Formasi Kulon Progo (Westopo Beds) ini diduga berumur Miosen
Tengah.
4. Formasi Sentolo
Litologi penyusun Formasi Sentolo ini di bagian bawah, terdiri
dari Aglomerat dan Napal, semakin ke atas berubah menjadi
Batugamping berlapis dengan fasies neritik. Batugamping koral
dijumpai secara lokal, menunjukkan umur yang sama dengan formasi
Jonggrangan, tetapi di beberapa tempat umur Formasi Sentolo adalah
lebih muda (Harsono Pringgoprawiro, 1968, hal.9).
Berdasarkan penelitian fosil Foraminifera yang dilakukan
Darwin kadar (1975) dijumpai beberapa spesies yang khas, seperti :
Globigerina insueta CUSHMAN & STAINFORTH, dijumpai pada
bagian bawah dari Formasi Sentolo. Fosil-fosil tersebut menurut
Darwin Kadar (1975, vide Wartono Rahardjo, dkk, 1977) mewakili
zona N8 (Blow, 1969) atau berumur Miosen bawah. Menurut Harsono
Pringgoprawiro (1968) umur Formasi Sentolo ini berdasarkan
penelitian terhadap fosil Foraminifera Plantonik, adalh berkisar antara
Miosen Awal sampai Pliosen (zona N7 hingga N21). Formasi Sentolo

ini mempunyai ketebalan sekitar 950 meter ( wartono rahardjo, dkk,


1977).
Dari uraian di atas terlihat stratigrafi daerah Pegunungan Kulon
Progo, baik itu perbedaan hubungan stratigrafis antara formasi,
maupun perbedaan umur dari masing-masing formasi. Ini disebabkan
oleh adanya perbedaan data fosil yang digunakan untuk penentuan
umur, karena sebagian ahli mempergunakan fosil Moluska dan
Foraminifera besar sebagai dasar penelitian, sedangkan ahli lain
mempergunakan Foraminifera kecil plantonik sebagai penelitian.
Tidak lengkapnya data merupakan penyebab utama adanya perbedaan
tersebut. Untuk lebih jelasnya perbedaan tentang susunan stratigrafi di
daerah pegunungan Kulon Progo tersebut.
V.

Struktur Geologi Pegunungan Selatan


Menurut Sujanto dan Roskamil (1975), tektonik daerah Jawa Tengah bagian

selatan dipengaruhi oleh adanya zona penunjaman yang terletak di bagian selatan
Pulau Jawa. Samodra (1981) mengemukakan bahwa struktur yang berkembang di
Jawa Tengah mempunyai pola dengan arah Timurlaut Baratdaya, struktur ini
berasosiasi dengan Pegunungan Meratus di Kalimantan. Prihatmoko dkk., (2002)
mengemukakan di daerah Jawa Tengah dan Daerah Istimewa Yogyakarta terbagi
menjadi 5 struktur utama, yaitu: Citandui, Pati, Yogyakarta, Baribis dan Kendeng.
Di bagian utara dan timur, komplek pegunungan ini dibatasi oleh lembah
Progo, dibagian selatan dan barat dibatasi oleh dataran pantai Jawa Tengah.
Sedangkan di bagian barat laut pegunungan ini berhubungan dengan deretan
Pegunungan Serayu.
Inti dari dome ini terdiri dari 3 gunung api Andesit tua yang sekarang telah
tererosi cukup dalam, sehingga dibeberapa bagian bekas dapur magmanya telah
tersingkap. Gunung Gajah yang terletak di bagian tengah dome tersebut,
merupakan gunung api tertua yang menghasilkan Andesit hiperstein augit basaltic.
Gunung api yang kemudian terbentuk yaitu gunung api Ijo yang terletak di bagian
selatan. Kegiatan gunung api Ijo ini menghasilkan Andesit piroksen basaltic,

kemudian Andesit augit hornblende, sedang pada tahapterakhir adalh intrusi Dasit
pada bagian inti. Setelah kegiatan gunung Gajah berhenti dan mengalami
denudasi, di bagian utara mulai terbentuk gunung Menoreh, yang merupakan
gunung terakhir pada komplek pegunungan Kulon Progo. Kegiatan gunung
Menoreh mula-mula menghasilkan Andesit augit hornblen, kemudian dihasilkan
Dasit dan yang terakhir yaitu Andesit.
Dome Kulon Progo ini mempunyai puncak yang datar. Bagian puncak yang
datar ini dikenal sebagai Jonggrangan Platoe yang tertutup oleh batugamping
koral dan napal dengan memberikan kenampakan topografi kars. Topografi ini
dijumpai di sekitar desa Jonggrangan, sehingga litologi di daerah tersebut dikenal
sebagai Formasi Jonggrangan.
Pannekoek (1939), vide (Van Bammelen, 1949, hal 601) mengatakan bahwa
sisi utara dari Pegunungan Kulon Progo tersebut telah terpotong oleh gawir-gawir
sehingga di bagian ini banyak yang hancur, yang akhirnya tertimbun di bawah
alluvial Magelang.
Seperti yang sudah dibahas pada geomorfologi regional, pegunungan Kulon
Progo oleh Van Bemmelen (1949, hal.596) dilukiskan sebagai kubah besar
memanjang ke arah barat daya-timur laut, sepanjang 32 km, dan melebar kea rah
ternggara-barat laut, selebar 15-20 km. Pada kaki-kaki pegunungan di sekekliling
kubah tersebut banyak dijumpai sesar-sesar yang membentuk pola radial.
Skema blok diagram dome pegunungan Kulon Progo, yang digambarkan
Van Bemmelen (1945, hal.596)

Gambar 6. Skema blok diagram dome pegunungan Kulon Progo, yang digambarkan Van
Bemmelen (1945, hal.596)

Pada kaki selatan gunung Menoreh dijumpai adanya sinklinal dan sebuah
sesar dengan arah barat-timur, yang memisahkan gunung Menoreh dengan gunung
ijo serta pada sekitar zona sesar.
VI.

Sejarah Geologi
A. Pegunungan Selatan Bagian Barat
Sejarah geologi zona Pegunungan Selatan Jawa Timur dimulai pada Kala

Eosen Tengah sampai dengan Eosen Akhir . Mula-mula terendapkan Formasi


Wungkal-Gamping, di bagian bawah terdiri dari perselingan antara batupasir dan
batulanau. Sebagian dari satuan batuan ini semula merupakan endapan laut
dangkal yang kaya akan fosil. Karena pengaruh gaya berat di lereng bawah laut,
formasi ini kemudian meluncur ke bawah dan diendapkan kembali di laut dalam.
Pada formasi ini terdapat terobosan yaitu intrusi diorite pendul
Kemudian terjadi pengangkatan yang menyebabkan erosi pada kisaran umur
Oligosen Awal Tengah. Kemudian terjadi sedimentasi pada umur Oligosen
Akhir Miosen Awal, yaitu formasi Kebo-Butak. Litologi penyusun formasi ini di
bagian bawah berupa batupasir berlapis baik, batulanau, batulempung, serpih, tuf
dan aglomerat. Bagian atasnya berupa perselingan batupasir dan batulempung
dengan sisipan tipis tuf asam. Setempat di bagian tengahnya dijumpai retas
lempeng andesit-basal dan di bagian atasnya dijumpai breksi andesit. Lingkungan
pengendapannya adalah laut terbuka yang dipengaruhi oleh arus turbid, pada akhir
pembantukan formasi ini dipengaruhi oleh adanya aktivitas gunungapi.
Pada Kala Miosen Awal (N 6 N7) terjadi peningkatan aktivitas gunungapi
yang ditandai dengan adanya piroklastik yang cukup luas. Endapan piroklastik
menyusun satuan tuf Semilir. Satuan ini terendapakan dengan mekanisme endapan
jatuhan piroklastik. Endapan hasil erupsi gunungapi tersebut terendapkan pada
lingkungan laut dangkal. Aktivitas gunungapi memuncak pada Kala Miosen Awal
(N7). Pada kala ini terjadi letusan besar yang bersifat destruktif, membentuk
sistem kaldera. Letusan tersebut bersifat eksplosif dan menghasilkan material
gunungapi berupa pumis yang membentuk satuan breksi pumis Semilir. Satuan
breksi pumis Semilir ini terendapkan dengan mekanisme jatuhan piroklastik. Pada

fase ini pula terbentuk kaldera pada bagian puncak gunungapi dan merusak
sebagian besar dari tubuh gunungapi. Kemudian diikuti oleh fase konstruktif
dengan adanya aliran lava yang menyusun bagian bawah dari satuan breksi
andesit Nglanggran.
Selain menghasilkan material gunungapi melalui mekanisme jatuhan
piroklastik, gunungapi tersebut juga menghasilkan material melalui mekanisme
aliran lava dan aliran piroklastik yang menempati lembah-lembah berupa endapan
channel. Pada Kala Miosen Awal bagian atas hingga Miosen Tengah bagian
bawah (N7 N9) tersebut juga terendapkan breksi andesit epiklastik yang
menyusun satuan breksi andesit Nglanggran. Bagian bawahnya tersusun oleh
breksi basal piroklastik. Satuan ini terendapkan pada lingkungan darat dengan
mekanisme high density flows. Pada fase ini, kegiatan gunungapi sudah mulai
menurun.
Kemudian pada Kala Miosen Tengah, terendapkan satuan batupasir
karbonatan Sambipitu yang didominasi oleh batupasir karbonatan yang bergradasi
secara normal menjadi batulempung karbonatan. Material ini terendapkan pada
lingkungan laut dangkal dengan mekanisme pengendapan arus turbid.
Pada kala Miosen Tengah (N9-N10) cekungan mengalami pengangkatan
kepermukaan, sehingga mengalami erosi dan terendapkan secara tidak selaras
satuan batugamping klastik. Dijumpainya batugamping yang korelasi hasil
analisis foraminifera kecil, batugamping ini masuk dalam satuan batugamping
Oyo. Hal ini menandai bahwa cekungan sedimen pada waktu itu semakin tenang
yang menendakan aktifitas vulkanisme menurun. Dalam hal ini tentunya akan
berkembang dengan baik secara normal yang berkarakteristik klastik
Pada saat pengendapan terus berlangsung dan vulkanisme menurun, tetapi
secara setempat dijumpainya tuf yang mempunyai hubungan melensa dengan
satuan batugamping Oyo. Kedapatan tuf pada satuan batugamping Oyo bisa
terjadi karena pada saat kegiatan vulkanisme menurun berarti kegiatan vulkanisme
masih berjalan. Secara genesa tuf sangat dipengaruhi oleh arah angin dan gravitasi
dan itu membentuk satuan tuf Oyo.

Pada Kala Resen, sebagian material pada tinggian Zona Baturagung


mengalami pelapukan, erosi dan penggerusan oleh aktivitas fluvial. Material hasil
rombakan ini kemudian terendapkan di sebelah utara tinggian tersebut dan
membentuk satuan endapan lempung-bongkal.
Formasi wonosari tebentuk berikutnya dengan umur Miosen Tengah hingga
Pliosen. Lingkungan pengendapannya adalah laut dangkal (zona neritik) yang
mendangkal ke arah selatan dengan litologi didominasi oleh batuan karbonat yang
terdiri dari batugamping berlapis dan batugamping terumbu. Pada bagian bawah
adanya hubungan menjari dengan formasi Oyo yang berarti pembentukannya
seumur dengan formasi oyo bagian atas.
Akhir pembentukan formasi Wonosari bersamaan dengan terbentuknya
formasi Kepek, batuan penyusunnya adalah napal dan batugamping berlapis.
umur Formasi Kepek adalah Miosen Akhir hingga Pliosen.Lingkungan
pengendapannya adalah laut dangkal (zona neritik)
Endapan permukaan ini sebagai hasil dari rombakan batuan yang lebih tua
yang terbentuk pada Kala Plistosen hingga masa kini. Terdiri dari bahan lepas
sampai padu lemah, berbutir lempung hingga kerakal.
B. Pegunungan Selatan Bagian Barat
Formasi Besole secara umum tersusun oleh satuan batuan volkanik (intrusi),
lava dan volkanoklastik (breksi, sisipan batupasir tufan). Urutan Formasi Besole:
bagian bawah terdiri dari breksi volkanik (pyroclastic), batupasir tufan
(greywacke), sisipan crystal tuf, dan dibeberapa tempat dijumpai intrusi (korok
dasit). Bagian tengah tersusun oleh lava dasitik, tuf dasitik, breksi volkanik,
batupasir volkanik, dan sisipan lava basaltik dengann kekar-kekar kolom, dibeberapa tempat dijumpai intrusi korok berkomposisi basaltis, dan dasitik.
Bagian

atas

didominasi

oleh

batuan

volkanoklastik

(perulangan

konglomerat, batupasir tufan, tuf, dengan sisipan breksi dan batulempung).


Didapat intrusi berupa volcanic neckberkomposisi andesitik. Juga dijumpai
sisipan tipis batulempung gampingan yang mengandung foraminifera planktonik
serta bongkah batu-gamping . formasi ini berumur Miosen Bawah. Fiendapakan
pada lingkungan laut dangkal.

Kemudian Diendapkan formasi Jaten pada lingkungan transisi neritik tepi


pada Kala Miosen Tengah (N9 N10) tersusun oleh konglomerat, batupasir
kuarsa, batulempung.
Selaras diatas formasi Jaten diendapkan Formasi Wuni Berdasarkan fauna
koral satuan ini berumur Miosen Bawah (Te.5 Tf.1), berdasarkan hadirnya
Globorotalia siakensis, Globigerinoides trilobus & Globigerina praebuloides
berumur Miosen Tengah (N9-N12) (Tim Lemigas).
Formasi Nampol dengan susunan batuan sebagai berikut: bagian bawah
terdiri dari konglomerat, batupasir tufan, dan bagian atas: terdiri dari perselingan
batulanau, batupasir tufan, dan sisipan serpih karbonan dan lapisan lignit.
Diendapkan pada Kala Miosen Awal (Sartono,1964) atau Nahrowi (1979),
Pringgoprawiro (1985), Samodaria & Gafoer (1990) menghitungnya berumuri
Miosen Awal Miosen Tengah. Ketiga formasi (Jaten, Wuni, Nampol) berhubungan jari-jemari dengan bagian bawah Formasi Punung.
Pada miosen tengah terjadi pengangkatan yang menyebabkan terjadi erosi.
Sehingga Formasi Punung menumpang tidak selaras di atas forrmasi Jaten, Wuni,
Nampol. Formasi ini diendapkan pada Miosen Tengah Atas yang terendapkan
pada lingkungan neritik tepi.endapan yang paling muda adalah endapan terarosa
dan endapan sungai yang secara tidak selaras menutupi seri endapan Tersier.
Endapan ini berumur kuarter.

Anda mungkin juga menyukai