Anda di halaman 1dari 17

Teknik Geologi

Vol. 1, No. 1, April 2019.

Stratigrafi dan Sejarah Pembentukan Formasi Sentolo Dengan


Berdasarkan Data Petrologi

Prakoso Hadi Dharmawan (F1D216001)


Program Studi Teknik Geologi Universitas Jambi, Jambi

Abstrak
Satuan perbukitan Sentolo ini mempunyai penyebaran yang sempit dan
terpotong oleh kali Progo yang memisahkan wilayah Kabupaten Kulon Progo dan
Kabupaten Bantul. Ketinggiannya berkisar antara 50 – 150 meter diatas
permukaan air laut dengan besar kelerengan rata – rata 15 0. Di wilayah ini, satuan
perbukitan Sentolo meliputi daerah Kecamatan Pengasih dan Sentolo.
Pegunungan Kulon Progo menarik untuk diteliti karena pada daerah ini
tersusun atas litologi berupa batuan volkanik yang ditumpangi oleh batuan
karbonat yang berumur lebih muda. Daerah penelitian termasuk ke dalam Formasi
Sentolo yang tersusun atas litologi berupa batugamping dan napal. Litologi ini
memiliki kelimpahan dari fosil foraminifera yang baik dijadikan objek penelitian.
Penelitian ini menarik untuk diteliti karena masih sedikit penelitian yang
membahas tentang biostratigrafi dan lingkungan pengendapan pada Formasi
Sentolo.
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Batuan sedimen karbonmat merupakan batuan sedimen yang memiliki
komposisi material karbonat lebih dari 50% yang tersusun atas klastika-klastika
karbonat atau hasil presipitasi langsung, sedangkan batugamping adalah batuan
yang memiliki komposisi material karbonat lebih dari 95% (Reijers dan Hsu, 1986).
Oleh karena itu, tidak semua batuan sedimen karbonat adalah batugamping, tetapi
batugamping merupakan bagian dari kelompok batuan sedimen karbonat.
Organisme terumbu merupakan salah satu penyuplai terbesar bagi batuan
sedimen karbonat. Organisme terumbu ini idealnya hidup dalam kondisi yang

hangat, jernih, dan dangkal. Sehingga, batuan sedimen karbonat terbentuk pada

lingkungan yang berkondisi hangat, jernih, dan juga dangkal. Namun, terdapat
banyak hal yang memungkinkan terhambatnya perkembangan karbonat pada suatu
daerah, salah satunya adalah aktivitas vulkanisme. Akan tetapi, sudah banyak
penelitian-penelitian terbaru mengenai lingkungan pengendapan karbonat yang
mengindikasikan adanya percampuran antara material karbonat dengan material
jenuh klastik.
Bregada Kulon Progo yang merupakan lokasi penelitian ini termasuk ke
dalam fisiografi Pegunungan Selatan Jawa Timur (Smyth, dkk., 2005), berdasarkan
sumber lain Bregada Kulon Progo termasuk ke dalam Pegunungan Serayu Selatan
(Van Bemmelen, 1949). Bregada Kulon Progo ini dihasilkan dari aktivitas

vulkanisme yang efektif selama masa Oligosen Tengah sampai Miosen Awal.
Aktivitas vulkanisme tersebut mengakibatkan terbentukanya sebaran endapan
vulkanik yang luas pada masa itu yaitu Formasi Andesit Tua (Old Andesite
Fomation/OAF) yang termasuk ke dalam Bregada Kulon Progo. Berakhirnya
aktivitas vulkanisme ini ditandai dengan adanya pertumbuhan terumbu yaitu
Formasi Jonggrangan selama masa Miosen Awal hingga Miosen Tengah.
Pertumbuhan terumbu pada Bregada Kulon Progo diikuti oleh pengendapan
klastika karbonat yaitu Formasi Sentolo. Formasi Sentolo dari bawah sampai atas
disusun oleh napal tufan, batugamping, dan batupasir napalan (Van Bemmelen,
1949). Formasi Sentolo ini secara tidak selaras terendapkan di atas Formasi Andesit
Tua dan di bagian atasnya secara tidak selaras terendapkan Endapan Merapi Muda
dan Endapan Alluvial (Rahardjo, dkk., 1995)
Bagian bawah dari Formasi Sentolo ini disusun oleh percampuran material
karbonat dan material vulkanik. Keterdapatan material vulkanik pada bagian bawah
Formasi Sentolo ini mengantarkan pada dugaan adanya aktivitas vulkanik yang
menyuplai material vulkanik ke dalam Formasi Sentolo atau adanya material
rombakan dari Formasi Andesit Tua yang tersedimentasi kembali ke dalam Formasi
Sentolo tersebut, sehingga terjadi sebuah percampuran pada Formasi Sentolo
bagian bawah ini. Menurut Smyth, dkk (2008) dalam synthem 3 menerangkan
bahwa material vulkanik yang terdapat pada endapan-endapan Miosen Tengah
berasal dari material yang rombakan dari synthem 2, bukan berasal dari produk
vulkanik pada masa tersebut. Berdasarkan uraian tersebut dilakukan penelitian
untuk mengkaji stratigrafi bagian bawah dan tengah Formasi Sentolo, berdasarkan
perbedaan atau variasi fasies pengendapannya dan komposisinya.

1.2 Rumusan Masalah


Berdasarkan latar belakang tersebut, terdapat beberapa rumusan masalah yang
dapat diuraikan sebagai berikut:
a. Bagaimana karakteristik litologi yang berada pada Formasi Sentolo bagian
bawah dan bagian tengah di lokasi penelitian?
b. Di manakah lingkungan pengendapan dari Formasi Sentolo pada daerah
penelitian?
c. Apa yang mempengaruhi perubahan komposisi selama peristiwa pengendapan
Formasi Sentolo?
d. Apakah suplai material vulkanik terus terjadi selama peristiwa pengendapan
Formasi Sentolo?
e. Apakah suplai material vulkanik pada Formasi Sentolo berasal dari material
rombakan (post-volcanism) atau berasal dari vulkanisme pada masa
pengendapan Formasi Sentolo (syn-volcanism)?

1.3 Maksud
Maksud dari penelitian ini adalah:
a. Mengidentifikasi dinamika sedimentasi bagian bawah dan bagian tengah
Formasi Sentolo dengan melakukan pengukuran stratigrafi terukur.
b. Melakukan analisis sayatan tipis untuk mengidentifikasi komposisi penyusun
Formasi Sentolo bagian bawah dan bagian tengah.

1.4 Tujuan
Tujuan dari penelitian ini adalah:
a. Mengetahui lingkungan pengendapan dan sejarah pengendapan bagian bawah
dan bagian tengah Formasi Sentolo berdasarkan pola penumpukan sedimennya.
b. Mengetahui perbedaan komposisi antara bagian bawah dan bagian atas
Formasi Sentolo berdasarkan data petrografi.
c. Mengetahui mekanisme dari suplai material vulkanik yang terdapat pada
Formasi Sentolo berdasarkan kenampakan morfologi material vulkanik pada
pengamatan petrografi.

1.5 Batasan Masalah


Berikut adalah batasan dari penelitian ini antara lain:
a. Penelitian lebih ditekankan pada Formasi Sentolo dengan melakukan
pengukuran stratigrafi terukur di wilayah Kulon Progo.
b. Penentuan lingkungan pengendapan berdasarkan data pengukuran stratigrafi
terukur.
c. Penentuan komposisi bagian bawah dan bagian tengah Formasi Sentolo dengan
melakukan pengamatan petrografi.

1.6 Lokasi dan Waktu Pelaksanaan


Secara administratif daerah penelitian terletak di Desa Sidomulyo dan
sekitarnya, Kecamatan Pengasih (X = 407000 – 411000 TM dan Y = 9134000 –
9137000), dan Desa Giripurwo dan sekitarnya, Kecamatan Girimulyo (X = 407000
– 411000 TM dan Y = 9138000 – 9141000), Kabupaten Kulon Progo, Daerah
Istimewa Yogyakarta. Gambaran lokasi penelitian dapat ditempuh sekitar 15
menit dari mess yang terletak di Degan Kulon Progo.
Waktu pelaksanaan dari penelitian ini berlangusung selama 5 hari, dimulai
dari survey lapangan dan pengambilan data pada yang dilakukan selama 4 hari
dan satu hari digunakan untuk MS (Measured Section).

1.7 Manfaat Penelitian


Penelitian stratigrafi bagian bawah dan bagian tengah Formasi Sentolo, dapat
memberikan beberapa manfaat, diantaranya yaitu:
a. Memberikan informasi/data yang bersifat ilmiah mengenai kondisi geologi
Formasi Sentolo di Kulon Progo.
b. Memberikan informasi/data mengenai stratigrafi bagian bawah dan bagian
tengah Formasi Sentolo di Kulon Progo.
c. Memberikan informasi/data mengenai suplai material vulkanik yang terjadi pada
Formasi Sentolo.

d. Mendetailkan stratigrafi regional Bregada Kulon Progo.


1.8 Penelitian Terdahulu
Lokasi dan objek dari penelitian ini pernah dikaji dan diteliti oleh peneliti
lain. Berikut adalah para peneliti yang telah melakukan penelitian di daerah Kulon

Progo, tepatnya pada Formasi Sentolo yang dapat dilihat pada Tabel 1.8.1
Tabel 1.8.1 Penelitian terdahulu di daerah Kulon Progo dan sekitarnya.

No. Peneliti Lokasi Topik Hasil Keterangan


Stratigrafi
Van Bemmelen
1. Regional
(1949) Pulau Jawa Geologi Kualitatif
Kulon Progo
Foraminifera
Pringgoprawiro Kulon Progo, Planktonik

2. (1968) Yogyakarta Paleontologi Formasi Kualitatif


Sentolo
Foraminifera
Kulon Progo, Planktonik
Paleontologi
3. Kadar (1986) Yogyakarta Formasi Kualitatif
Sentolo
Rahardjo, dkk
4. Yogyakarta Geologi Peta Geologi Kualitatif
(1995)
Rekaman
Stratigrafi dari
Jawa Bagian
Stratigrafi Letusan di
Timur Kualitatif
5. Smyth, dkk (2008) Batas
Margin
Al Hafizh & Biofasies
Kulon Progo,
6. Akmaluddin Peleontologi Formasi
Yogyakarta Kualitatif
(2016) Sentolo
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Tektonik dan Struktur geologi
Kepulauan indonesia secara geologi merupakan wilayah yang komplek, hasil
interaksi komvergen tiga lempeng besar, yang meliputi lempeng eurasia yang
relatif stasioner diutara, lempeng indo-australia di selatan dan bergerak ke utara,
dan lempeng pasifik di timur yang bergerak ke barat. Berdasarkan pengaru
interaksi lempeng yang dominan, secara umum kepulauan indonesia dibagi
menjadi dua yaitu: indonesia bagian barat dan indonesia bagian timur. Tektonika
indonesia bagian barat dipengaruhi terutama oleh interaksi lempeng indo-australia
dan daratan sundasedangkan tektonika indonesia bagian timur dikendalikan oleh
interaksi lempeng indo-australia dan lempeng pasifik. (Hall 2002 dan 2007).
Daerah Kulon Progo mengalami tiga kali fase tektonik (Rahardjo et al, 1995).
Fase tektonik pertama terjadi pada Oligosen Awal dengan disertai aktifitasvulkani
sme. Fase kedua terjadi pada Miosen Awal terjadi penurunan daerah KulonProgo.
Kemudian, fase ketiga terjadi pada Pliosen sampai Pleistosen terjadi fasetektonik
berupa pengangkatan dan aktivitas vulkanisme.
1. Fase Tektonik Oligosen Awal – Oligosen Akhir
Fase tektonik Oligosen Awal terjadi proses pengangkatan daerah KulonProgo
yang dicirikan oleh ketidakselarasan Formasi Nanggulan yang diendapkan di
darat. Fase tektonik ini juga mengaktifkan vulkanisme di daerah tersebut,yang
tersusun oleh beberapa sumber erupsi. Perkembangan vulkanisme di Kulon Progo
tidak terjadi bersamaan, namun di mulai oleh Gunung Gajah (bagian tengah
Pegunungan Kulon Progo), kemudian berpindah ke selatan pada Gunung Idjo, dan
terakhir berpindah ke utara pada Gunung Menoreh.
2. Fase Tektonik Miosen Awal.
Pada pertengahan Miosen Awal terjadi fase tektonik kedua berupa penurunan
daerah Kulon Progo. Penurunan ini dicirikan oleh berubahnya lingkungan pengen
dapan, yaitu dari Formasi Kebobutak yang diendapkan di darat menjadi Formasi
Jonggrangan yang diendapkan di laut dangkal. Pada fase ini, hampir semua batuan
gunungapi Formasi Kebobutak tertutup oleh batugamping Formasi Jonggrangan,
menandakan adanya genangan laut regional.
3. Fase Tektonik Pliosen – Pleistosen.
Pada akhir Pliosen terjadi fase tetonik ketiga di daerah Kulon Progo, berupa
pengangkatan. Proses ditandai oleh berakhirnya pengendapan Formasi Sentolo
dilaut dan diganti oleh sedimentasi darat berupa aluvial dan endapan gunung
apikuarter. Fase tektonik inilah yang mengangkat daerah Kulon Progo menjadi
pegunungan kubah memanjang yang disertai dengan gaya regangan di utara
yangmenyebabkan terpancungnya sebagian Gunung Menoreh. Bisa dikatakan
bahwafase tektonik inilah yang membentuk morfologi Pegunungan Kulon Progo
saat ini.
Struktur ini dapat dikenali dengan adanya kenampakan pegunungan yang
dikelilingi oleh dataran alluvial. Secara umum struktur geologi yang bekerja
adalah sebagai berikut :

1. Struktur Dome
Menurut Van Bemellen (1948), pegunungan Kulon Progo secara keseluruhan
merupakan kubah lonjong yang mempunyai diameter 32 km mengarah NE – SW
dan 20 km mengarah SE – NW. Puncak kubah lonjong ini berupa satu dataran
yang luas disebut jonggrangan plateu. Kubah ini memanjang dari utara ke selatan
dan terpotong dibagian utaranya oleh sesar yang berarah tenggara – barat laut dan
tertimbun oleh dataran magelang, sehingga sering disebut oblong dome.
Pemotongan ini menandai karakter tektonik dari zona selatan jawa menuju zona
tengah jawa. Bentuk kubah tersebut adalah akibat selama pleistosen, di daerah
mempunyai puncak yang relative datar dan sayap – sayap yang miring dan terjal.
Dalam kompleks pegunungan Kulon Progo khususnya pada lower burdigalian
terjadai penurunan cekungan sampai di bawah permukaan laut yang menyebabkan
terbentuknya sinklin pada kaki selatan pegunungan Menoreh dan sesar dengan
arah timur – barat yang memisahkan gunung Menoreh denagn vulkan gunung
Gadjah. Pada akhir miosen daerah Kulon Progo merupakan dataran rendah dan
pada puncak Menoreh membentang pegunungan sisa dengan ketinggian sekitar
400 m. secara keseluruhan kompleks pegunungan Kulon Progo terkubahkan
selama pleistosen yang menyebabkan terbentuknya sesar radial yang memotong
breksi gunung ijo dan Formasi Sentolo, serta sesar yang memotong batu gamping
Jonggrangan. Pada bagian tenggara kubah terbentuk graben rendah.
2. Unconformity
Di daerah Kulon Progo terdapat kenampakan ketidakselarasan
(disconformity) antar formasi penyusun Kulon Progo. Kenampakan telah
dijelaskan dalam stratigrafi regional berupa formasi andesit tua yang diendapkan
tidak selaras di atas formasi Nanggulan, formasi Jonggrangan diendapkan secara
tidak selaras diatas formasi Andesit Tua, dan formasi Sentolo yang diendapkan
secara tidak selaras diatas formasi Jonggrangan.

2.2 Fisiografi
Fisiografi regional dataran Yogyakarta termasuk dalam Pegunungan Kulon.
Pegunungan Kulon di bagian utara dan timur dibatasi oleh lembah Progo, dan di
bagian selatan dan barat dibatasi oleh dataran pantai Jawa Tengah. Dan pada
bagian barat-laut pegunungan ini memiliki hubungan dengan Pegunungan Serayu.
Menurut Van Bemmelen (1949, hal. 596).
Pegunungan Kulon ditafsirkan sebagai dome (kubah) besar dengan bagian
puncak datar dan sayap-sayap curam, dikenal sebagai “Oblong Dome”. Dome ini
mempunyai arah utara timur laut – selatan barat daya, dan diameter pendek 15-20
Km, dengan arah barat laut-timur tenggara. Inti dome terdiri dari 3 gunung api
Andesit tua yang pada sekarang ini telah tererosi cukup dalam, dan
mengakibatkan beberapa bagian bekas dapur magmanya telah tersingkap. Bagian
tengah dari dome ini adalah Gunung Gajah yang merupakan gunung api tertua
yang menghasilkan kandungan Andesit hiperstein augit basaltic. Gunung api Ijo
adalah gunung api yang terbentuk setelahnya yang berada dibagian selatan. Dari
hasil aktivitasnya Gunung Ijo menghasilkan Andesit piroksen basaltic, kemudian
Andesit augit hornblende, kemudian pada tahap akhir adalah intrusi Dasit di
bagian intinya. Setelah aktivitas gunung Gajah berhenti dan mengalami denudasi,
gunung Menoreh terbentuk dibagian utara. Gunung Menoreh merupakan gunung
terakhir yang terbentuk di komplek pegunungan Kulon Progo. Hasil dari aktivitas
gunung Menoreh awalnya menghasilkan Andesit augit hornblen, kemudian
dihasilkan Dasit dan yang terakhir yaitu Andesit. Dome Kulon Progo memiliki
bagian puncak yang datar yang dikenal dengan “Jonggrangan Platoe”. Bagian
puncak dome tertutup oleh batugamping koral dan napal dengan kenampakan
topografi kars. Topografi kars ini dapat dijumpai di sekitar desa Jonggrangan,
yang kemudian penamaan litologi pada daerah ini dikenal dengan Formasi
Jonggrangan. Sisi utara dari pegunungan Kulon Progo telah teropotong oleh
gawir-gawir sehingga pada bagian ini banyak yang telah hancur dan tertimbun di
bawah alluvial Magelang (Pannekoek (1939), vide (Van Bammelen, 1949, hal
601)).

2.3 Statigrafi
Menurut Sujanto dan Ruskamil (1975) daerah Kulon Progo merupakan
tinggian yang dibatasi oleh tinggian dan rendahan Kebumen di bagian barat dan
Yogyakarta di bagian timur, yang didasarkan pada pembagian tektofisiografi
wilayah Jawa Tengah bagian selatan. Yang mencirikan tinggian Kulon Progo
yaitu banyaknya gunung api purba yang timbul dan tumbuh di atas batuan
paleogen, dan ditutupi oleh batuan karbonat dan napal yang berumur neogen.
Dalam stratigrafi regional mengenai daerah fieldtrip, dibahas umur batuan
berdasarkan batuan penyusunnya, untuk itu perlu diketahui sistem umur batuan
penyusun tersebut. Sistem tersebut antara lain :
1. Sistem eosen
Batuan yang menyusun sistem ini adalah batu pasir, lempung, napal, napal
pasiran, batugamping, serta banyak kandungan fosil foraminifera maupun
moluska. Sistem eosen ini disebut “Nanggulan group”. Tipe dari sistem ini
misalnya di desa Kalisongo, Nanggulan Kulon Progo, yang secara keseluruhannya
tebalnya mencapai 300 m. Tipe ini dibagi lagi menjadi empat yaitu “Yogyakarta
beds”, “Discoclyina”, “Axiena Beds” dan Napal Globirena, yang masing -
masing sistem ini tersusun oleh batupasir, napal, napal pasiran, lignit dan
lempung. Di sebelah timur ”Nanggulan group” ini berkembang facies gamping
yang kemudian dikenal sebagai gamping eosen yang mengandung fosil
foraminifera, colenterata, dan moluska
2. Sistem oligosen – miosen
Sistem oligosen – miosen terjadi ketika kegiatan vulkanisme yang memuncak
dari Gunung Menoreh, Gunung Gadjah, dan Gunung Ijo yang berupa letusan dan
dikeluarkannya material – material piroklastik dari kecil sampai balok yang
berdiameter lebih dari 2 meter. Kemudian material ini disebut formasi andesit tua,
karena material vulkanik tersebut bersifat andesitik, dan terbentuk sebagai lava
andesit dan tuff andesit. Sedang pada sistem eosen, diendapkan pada lingkungan
laut dekat pantai yang kemudian mengalami pengangkatan dan perlipatan yang
dilanjutkan dengan penyusutan air laut. Bila dari hal tersebut, maka sistem
oligosen – miosen dengan formasi andesit tuanya tidak selaras dengan sistem
eosen yang ada dibawahnya. Diperkirakan ketebalan istem ini 600 m. Formasi
andesit tua ini membentuk daerah perbukitan dengan puncak – puncak miring.
3. Sistem miosen
Setelah pengendapan formasi andesit tua daerah ini mengalami penggenangan
air laut, sehingga formasi ini ditutupi oleh formasi yang lebih muda secara tidak
selaras. Fase pengendapan ini berkembang dengan batuan penyusunnya terdiri
dari batu gamping reef, napal, tuff breksi, batu pasir, batu gamping globirena dan
lignit yang kemudian disebut formasi jonggrangan, selain itu juga berkembang
formasi sentolo yang formasinya terdiri dari batu gamping, napal dan batu
gamping konglomeratan. Formasi Sentolo sering dijumpai kedudukannya diatas
formasi Jonggrangan. Formasi Jonggrangan dan formasi Sentolo sama – sama
banyak mengandung fosil foraminifera yang beumur burdigalian – miosen.
Formasi – formasi tersebut memilik ipersebaran yang luas dan pada umumnya
membentuk daerah perbukitan dengan puncak yang relative bulat. Diakhir kala
pleistosen daerah ini mengalami pengangkatan dan pada kuarter terbentuk
endapan fluviatil dan vulkanik dimana pembentukan tersebut berlangsung terus –
menerus hingga sekarang yang letaknya tidak selaras diatas formasi yang
terbentuk sebelumnya.
Berdasarkan system umur yang ditentukan oleh penyusun batuan stratigrafi
regional menurut Wartono Rahardjo dkk(1977), Wirahadikusumah (1989), dan
Mac Donald dan partners (1984), daerah penelitian dapat dibagi menjadi 4
formasi, yaitu :
a. Formasi Nanggulan
Formasi Nanggulan mempunyai penyusun yang terdiri dari batu pasir, sisipan
lignit, napal pasiran dan batu lempungan dengan konkresi limonit, batu gamping
dan tuff, kaya akan fosil foraminifera dan moluska dengan ketebalan 300 m.
berdasarkan penelitian tentang umur batuannya didapat umur formasi nanggulan
sekitar eosen tengah sampai oligosen atas. Formasi ini tersingkap di daerah Kali
Puru dan Kali Sogo di bagian timur Kali Progo. Formasin Nanggulan dibagi
menjadi 3, yaitu :
1. Axinea Beds
Formasi paling bawah dengan ketebalan lapisan sekitar 40 m, terdiri dari abut
pasir, dan batu lempung dengan sisipan lignit yang semuanya berfasies litoral,
axiena bed ini memiliki banyak fosil pelecypoda.
2. Yogyakarta beds
Formasi yang berada di atas axiena beds ini diendapkan secara selaras denagn
ketebalan sekitar 60 m. terdiri dari batu lempung ynag mengkonkresi nodule,
napal, batu lempung, dan batu pasir. Yogyakarta beds mengandung banyak fosil
poraminifera besar dan gastropoda.
3. Discocyclina beds
Formasi paling atas ini juga diendapkan secara selaras diatas Yogyakarta beds
denagn ketebalan sekitar 200m. Terdiri dari batu napal yang terinteklasi dengan
batu gamping dan tuff vulakanik, kemudian terinterklasi lagi dnegan batuan
arkose. Fosil yang terdapat pada discocyclina beds adalah discocyclina.
b. Formasi Andesit Tua
Formasi ini mempunyai batuan penyusun berupa breksi andesit, lapili tuff,
tuff, breksi lapisi , Aglomerat, dan aliran lava serta batu pasir vulkanik yang
tersingkap di daerah kulon progo. Formasi ini diendapkan secara tidak selaras
dengan formasi nanggulan dengan ketebalan 660 m. Diperkirakan formasi ini
formasi ini berumur oligosen – miosen.
c. Formasi Jonggrangan
Formasi ini mempunyai batuan penyusun yang berupa tufa, napal, breksi,
batu lempung dengan sisipan lignit didalamnya, sedangkan pada bagian atasnya
terdiri dari batu gamping kelabu bioherm diselingi dengan napal dan batu
gamping berlapis. Ketebalan formasi ini 2540 meter. Letak formasi ini tidak
selaras dengan formasi andesit tua. Formasi jonggrangan ini diperkirakan berumur
miosen. Fosil yang terdapat pada formasi ini ialah poraminifera, pelecypoda dan
gastropoda.
d. Formasi Sentolo
Formasi Sentolo ini mempunyai batuan penyusun berupa batu pasir napalan
dan batu gamping, dan pada bagian bawahnya terdiri dari napal tuffan. Ketebalan
formasi ini sekitar 950 m. Letak formasi ini tak selaras dengan formasi
jonggrangan. Formasi Sentolo ini berumur sekitar miosen bawah sampai
pleistosen. Sedang menurut Van Bemellen Pegunungan Kulon Progo
dikelompokkan menjadi beberapa formasi berdasarkan batuan penyusunnya.
Formasi tersebut dimulai dari yang paling tua yaitu sebagai berikut :
e. Formasi Alluvial dan gumuk pasir
Formasi ini iendapan secara tidak selaras terhadap lapisan batuan yang
umurnya lebih tua. Litologi formasi ini adalah batu apsr vulkanik merapi yang
juga disebut formasi Yogyakarta. Endapan gumuk pasir terdiri dari pasir – pasir
baik yang halus maupun yang kasar, sedangkan endapan alluvialnya terdiri dari
batuan sediment yang berukuran pasir, kerikir, lanau dan lempung secara
berselang – seling.
Dari seluruh daerah Kulon Progo, pegunungan Kulon Progo sendiri termasuk
dalam formasi Andesit tua. Formasi ini mempunyai litologi yang penyusunnya
berupa breksi andesit, aglomerat, lapili, tuff, dan sisipan aliran lava andesit. Dari
penelitian yang dilakukan Purmaningsih (1974) didapat beberapa fosil plankton
seperti Globogerina Caperoensis bolii, Globigeria Yeguaensis” weinzeierl dan
applin dan Globigerina Bulloides blow. Fosil tersebut menunjukka batuan
berumur Oligosen atas.
BAB III
METODELOGI PENELITIAN
3.1 Alat dan Bahan
Adapun alat dan bahan yang digunakan pada penelitian yaitu
1. Kompas geologi
2. Gps
3. Palu geologi
4. Plastik sampel
5. Hcl
6. Meteran
7. Alat tulis lengkap dan buku lapangan
8. Peta Topografi
9. Komperator batuan beku dan sedimen

3.2 Tahapan Penelitian


3.2.1 Tahapan Pendahuluan
- Analisis peta topografi daerah penelitian
- Analisis pola aliran daerah penelitian
- Studi pustaka geologi regional dari peneliti terdahulu pada wilayah
pemetaan
-
3.2.2 Tahapan pemetaaan/observasi
- Orientasi lapangan dilakukan sebagai pengenalan daerah penelitian secara
umum dan yang harus dilakukan ketika berada di lapangan. Orientasi
lapangan dilakukan bersama dosen pembimbing kuliah lapangan.
- Mendengarkan, memperhatikan dan memahami penjelasan dari dosen
tentang fenomena geologi lapangan.
- Adapun yang dilakukan pada tahap pengenalan atau observasi yaitu
melakuan profil, dan melihat struktur geologi secara lokal, kemudian
mendeskripsi litologi batuan disetiap stopsite.
- Penelitian detail berupa pemetaan geologi yang mencakup plotting lokasi,
tracking menggunakan GPS, pengamatan geomorfologi.
BAB IV
STRATIGRAFI FORMASI SENTOLO
Formasi Sentolo ini mempunyai batuan penyusun berupa batu pasir napalan
dan batu gamping, dan pada bagian bawahnya terdiri dari napal tuffan. Ketebalan
formasi ini sekitar 950 m. Letak formasi ini tak selaras dengan formasi
jonggrangan. Formasi Sentolo ini berumur sekitar miosen bawah sampai
pleistosen. Sedang menurut Van Bemellen Pegunungan Kulon Progo
dikelompokkan menjadi beberapa formasi berdasarkan batuan penyusunnya.

Kolom Stratigrafi

Umur
Endapan
Permukaan
Zaman Kala

Holosen Qc
Kuarter
Plistosen

Pliosen Tmps

Tersier
Miosen Tmoa
BAB V
PENUTUP
Kesimpulan
Adapun kesimpulan pada penelitian kali ini yaitu :
1. Lingkungan pengendapan formasi sentolo dapat dikatakan terbentuk
secara bergantian, dimana bagian bawah sentolo yang merupaka satuan
breksi terendapkan terlebih dahulu yang merupakan satuan formasi OAF
yag kemudian formasi sentolo ikut terendapkan dan tersingkap karena
adanya pengangkatan sehingga formasi sentolo merupakan bentukan
lahan denudasi.
2. Perbedadaan antara bagian bawah dan bagian atas dari formasi sentolo
terlihat cukup jelas dimana bagian bawah terdiri dari gamping pasiran
yang semakin keatas semakin terdapat fosil
3. Mekanisme suplai material vulkanik terjadi karena aliran yang merupakan
satuan brekasi yang langsung kontak dengan batas formasi sentolo yang
dicirikan dengan adanya breksi yang berfragmen terumbu.
DAFTAR PUSTAKA
Hall, R. 2002. Reconstructing Cenozoic SE Asia. In Hall, R, and Blundell,D. J.
(eds), Tectonic Evolution Of Southeast Asia. Geological Society, Special
Publication, 106,152-184.
Rahardjo, W., Sukandarrumidi, & Rosidi, H.M.D.,1995, Peta Geologi Lembar
Yogyakarta, Jawa, Edisi 2, Pusat Penelitian Dan Pengembangan Geologi
Bandung.
Smyth, H., Hall, R., Hamilton, J. and Kinny, P. 2005. East Java: Cenozoic Basins,
Volcanoes and Ancient Basement, Proceedings, Indonesian Petroleum
Association, Thirtieth Annual Convention & Exhibition, August 2005.
T. J. A. Reijers & K. J. Hsü (eds) 1986. Manual of Carbonate Sedimentology. A
Lexicographical Approach. xix + 301 pp. London, Orlando, San Diego, New
York, Austin, Montreal, Sydney, Tokyo, Toronto: Academic Press.
Van Bemmelem, r.w.1949.The Geologi Of Indonesia, Volume 1. A.Haque.
Netherlands.

Anda mungkin juga menyukai