Konsep Dasar Fraktur Manus WIRNA, S.KEP
Konsep Dasar Fraktur Manus WIRNA, S.KEP
yang
berada pada
ba intra- seluler.
Tulang berasal dari embrionic hyaline cartilage yang mana melalui proses
Osteogenesis menjadi tulang. Proses ini dilakukan oleh sel-sel yang disebut
Osteoblast. Proses mengerasnya tulang akibat penimbunan garam kalsium.
Ada 206 tulang dalam tubuh manusia, Tulang
dalam
lima
kelompok
dapat diklasifikasikan
berdasarkan bentuknya :
tulang
tulang
(cancellous
dibentuk
dari
spongi
Hormon
pertumbuhan,
estrogen,
fusi
lempeng
dan
testosteron
merangsang
testosteron,
bentuknya tidak
teratur dan
inti dari
cancellous (spongy) dengan suatu lapisan luar dari tulang yang padat. Tulang
pendek datar (tengkorak) terdiri atas dua lapisan tulang padat dengan
lapisan luar adalah tulang concellous. Tulang yang tidak
(vertebrata)
sama
beraturan
dengan persediaan dan didukung oleh tendon dan jaringan fasial, misalnya
patella (kap lutut).
Tulang tersusun atas sel, matriks protein dan deposit mineral. Selselnya
terdiri atas
asam
polisakarida)
dan
subtansi
proteoglikan).
sel
fibrous
diselimuti
dibagian
oleh
dan
limfatik.
Lapisan
yang
paling
membran
vaskuler
tipis
kanselus. Osteoklast ,
tulang
dewasa
terdiri
dari
30
bahan organik
kurang
dari
10
proteoglikan (protein
plus
memiliki
kekuatan
tensif
memiliki
berubah selama
hidup.
tulang. Osteoblas
osteoid dan
dalam
mulai
mengendap pada
Sebagian osteoblast tetap menjadi bagian dari osteoid, dan disebut osteosit
atau
sel
tulang
sejati.
tulang, osteosit
kalsium
yang dapat
dipertukarkan,
yaitu
dapat
dan
mencerna
Osteoklas biasanya
tulang
terdapat
dan
pada
hanya
memfagosit tulang
memudahkan
sebagian
sedikit
demi
fagositosis.
kecil
sedikit.
dari
enzim
potongan tulang,
yang
dan
osteoklas pada
tulang
yang pulih
total
massa
tulang
osteoblas juga
dari fraktur. Pada
imobilisasi.
Pada
usia
yang
kedelapan,
menjadi rapuh
Fraktur tulang
secara drastis
aktivitas
berhenti
tumbuh
dengan
merangsang
penutupan lempeng
masa
Defisiensi
hormon
jumlah
langsung dengan bekerja pada osteoblas dan secara tidak langsung dengan
merangsang penyerapan kalsium di usus. Hal ini meningkatkan konsentrasi
kalsium darah, yang mendorong kalsifikasi tulang. Namun, vitamin D dalam
jumlah besar meningkatkan kadar kalsium
yang
adekuat dalam
absorpsi tulang.
Adapun
faktor-faktor yang
ke dalam
lain
serum dengan
ginjal
bergantung
pada
hormon
paratiroid.
sebagai
respons
terhadap
peningkatan kadar
kalsium serum.
Efek-efek
ini
meningkatkan kalsifikasi
tulang
sehingga
berikut : Mendukung
organ tubuh
(misalnya jantung, otak, dan paru- paru) dan jaringan lunak. Memberikan
pergerakan (otot
yang
Penyebab terjadinya fraktur adalah trauma, stres kronis dan berulang maupun
pelunakan tulang yang abnormal.
Sebagian besar patah tulang merupakan akibat dari cedera, seperti kecelakan
mobil, olah raga atau karena jatuh. Patah tulang terjadi jika tenaga yang melawan
tulang lebih besar daripada kekuatan tulang. Jenis dan beratnya patah tulang
dipengaruhi oleh: arah, kecepatan dan kekuatan dari tenaga yang melawan tulang,
usia penderita, kelenturan tulang, dan jenis tulang
Mekanisme Fraktur
1) Trauma (benturan)
Ada dua trauma/ benturan yang dapat mengakibatkan fraktur, yaitu:
a. Benturan langsung
b. Benturan tidak langsung
c. Gaya Puntir
2) Tekanan/stres yang terus menerus dan berlangsung lama
Tekanan kronis berulang dalam jangka waktu lama akan mengakibatkan fraktur
(patah tulang) yang kebanyakan pada tulang tibia, fibula (tulang-tulang pada betis)
atau metatarsal pada olahragawan, militer maupun penari. Contoh: Seorang yang
senang baris berbaris dan menghentak-hentakkan kakinya, maka mungkin terjadi
patah tulang di daerah tertentu.
3) Adanya keadaan yang tidak normal pada tulang dan usia
Kelemahan tulang yang abnormal karena adanya proses patologis seperti tumor
maka dengan energi kekerasan yang minimal akan mengakibatkan fraktur yang
pada orang normal belum dapat menimbulkan fraktur.
4. JENIS-JENIS FRAKTUR
1) Patah Tulang Tertutup ( Close Frakture )
Tidak ada luka, permukaan kulit tidak rusak/masih utuh, sehingga bagian tulang
yang patah tidak berhubungan dengan udara.
2) Patah Tulang Terbuka ( Open Frakture )
Ada luka, permukaan kulit diatas/dekat dengan bagian yang patah rusak,
sehingga bagian tulang yang patah berhubungan dengan udara luar. Dalam
mansjoer (2000) dan Smeltzer Bare (2001) fraktur terbuka didefinisikan sebagai
fratur yang terjadi bila terdapat hubungan antara fragmen tulang dengan dunia
7
luar karena adanya perlukaan pada kulit atau membrane mukosa sampai ke
patahan tulang (Mansjoer, 2000; Smeltzer & Bare, 2001). Akan tetapi tulang
patah tidak selalu terlihat atau menonjol keluar. Patah tulang terbuka
memerlukan pertolongan yang lebih cepat karena adanya risiko terjadinya
faktor penyulit yaitu infeksi yang cukup besar.Fraktur terbuka digradasi
menjadi:
Grade I: luka bersih kurang dari 1 cm panjangnya.
Grade II: luka lebih luas tanpa kerusakan jaringan lunak yang ekstensif.
Catatan khusus harus dibuat untuk fraktur sendi, terutama apabila geometri
sendi terganggu secara bermakna. Jika tidak ditangani dengan tepat, cedera
semacam ini akan menyebabkan osteoatritis pasca trauma yang progresif
pada sendi yang cedera tersebut.
Sumber lain menjelaskan, fraktur dapat dibagi sebagai berikut: Lokasi
Fraktur dapat terjadi di berbagai tempat pada tulang seperti pada diafisis, metafisis,
epifisis, atau intraartikuler. Jika fraktur didapatkan bersamaan dengan dislokasi sendi,
maka dinamakan fraktur dislokasi. Luas terbagi menjadi fraktur lengkap dan tidak
lengkap; Fraktur komplet: fraktur yang mengenai tulang secara keseluruhan dan
biasanya mengalami pergeseran. Fraktur inkomplet: fraktur yang mengenai tulang
secara parsial atau sebagian dari garis tengah tulang, seperti: (Hair line fraktur (garis
fraktur hampir tidak tampak sehingga tidak ada perubahan bentuk tulang/patah retak
rambut), Buckle fraktur / torus fraktur (bila terjadi satu lipatan, satu korteks dengan
komprea tulang spongiosa dibawahnya), Greenstick fraktur (mengenai satu korteks
dengan angulasi korteks lainnya yang terjadi pada tulang panjang anak) (Smeltzer &
Bare, 2001; Corwin, 2009)).
Fraktur
tidak
lengkap
contohnya
adalah
retak.
Konfigurasi
Dilihat dari garis frakturnya, dapat dibagi menjadi transversal (mendatar), oblik
(miring), atau spiral (berpilin). Jika terdapat lebih dari satu garis fraktur, maka
dinamakan kominutif. Hubungan antar bagian yang fraktur; Antar bagian yang
fraktur dapat masih berhubungan (undisplaced) atau terpisah jauh (displaced).
Hubungan antara fraktur dengan jaringan sekitar. Fraktur dapat dibagi menjadi fraktur
terbuka (jika terdapat hubungan antara tulang dengan dunia luar) atau fraktur tertutup
(jika tidak terdapat hubungan antara fraktur dengan dunia luar. Komplikasi fraktur
dapat terjadi dengan disertai komplikasi, seperti gangguan saraf, otot,sendi, dll atau
tanpa komplikasi. Berdasarkan pergeseran terjadi pergeseran fragmen-fragmen
fraktur yang juga disebut lokasi fragmen, terbagi menjadi pergeseran searah sumbu
dan overlapping, pergeseran membentuk sudut, dan pergeseran di mana kedua
fragmen saling menjauhi. Fraktur tidak bergeser: garis patah komplit tetapi kedua
10
fragmen tidak bergeser, periosteumnya masih utuh (Mansjoer, 2000; Smeltzer &
Bare, 2001).
Bentuk garis patah dan hubungannya dengan mekanisme trauma; Garis patah
melintang (transversal): Trauma angulasi atau langsung. Garis patah oblique: Trauma
angulasi, garis patah miring, Garis patah spiral: Trauma notasi,garis patah melingkari
tulang, Fraktur kompresi: Trauma aksial fleksi pada tulang spongiosa, Fraktur avulse:
Trauma tarikan, fraktur patella.
5. TANDA DAN GEJALA
Nyeri biasanya merupakan gejala yang sangat nyata. Nyeri bisa sangat hebat dan
biasanya makin lama makin memburuk, apalagi jika tulang yang terkena digerakkan.
Menyentuh daerah di sekitar patah tulang juga bisa menimbulkan nyeri. Alat gerak
tidak dapat berfungsi sebagaimana mestinya, sehingga penderita tidak dapat
menggerakkan lengannya, berdiri diatas satu tungkai atau menggenggam dengan
tangannya. Darah bisa merembes dari tulang yang patah (kadang dalam jumlah yang
cukup banyak) dan masuk kedalam jaringan di sekitarnya atau keluar dari luka akibat
cedera.
Adanya fraktur dapat ditandai dengan adanya:
a. Pembengkakan. Kecuali frakturnya terjadi jauh didalam seperti pada tulang leher
atau tulang paha.
b. Perubahan bentuk, dapat terjadi angulasi (terbentuk sudut), rotasi (terputar), atau
pemendekan.
c. Terdapat rasa nyeri yang sangat pada daerah fraktur.
Menurut Smeltzer dan Bare (2001), manifestasi klinis fraktur antara lain:
a. Nyeri terus menerus dan bertambah beratnya sampai fragmen tulang diimobilisasi.
b. Setelah terjadi fraktur, bagian-bagian tak dapat digunakan dan cenderung bergerak
secara tidak alamiah (gerakan luar biasa) bukannya tetap rigid seperti normalnya.
Pergeseran fragmen pada fraktur lengan atau tungkai menyebabkan deformitas
(terlihat maupun teraba) ekstremitas yang bias diketahui dengan membandingkan
dengan ekstremitas normal.
c. Pada fraktur panjang, terjadi pemendekan tulang yang sebenarnya kerena kontraksi
otot yang melekat di atas dan bawah tempat fraktur.
d. Saat ekstremitas diperiksa dengan tangan, teraba adanya derik tulang dinamakan
krepitus yang teraba akibat gesekan antara fragmen satu dengan yang lainnya.
11
e. Pembengkakan dan perubahan warna local pada kulit terjadi sebagai akibat trauma
dan perdarahan yang mengikuti fraktur.
6. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Foto rontgen biasanya bisa menunjukkan adanya patah tulang. Hal yang perlu
diingat dalam pemeriksaan roentgen adalah hasilnya harus meliputi dua sendi, dua
sisi, dan dua tulang (kanan dan kiri). Kadang perlu dilakukan CT scan atau MRI
untuk bisa melihat dengan lebih jelas daerah yang mengalami kerusakan. Jika tulang
mulai membaik, foto rontgen juga digunakan untuk memantau penyembuhan.
7. PENATALAKSANAAN
Tujuan dari pengobatan adalah untuk menempatkan ujung-ujung dari patah
tulang supaya satu sama lain saling berdekatan dan untuk menjaga agar mereka tetap
menempel sebagaimana mestinya. Proses penyembuhan memerlukan waktu minimal
4 minggu, tetapi pada usia lanjut biasanya memerlukan waktu yang lebih lama.
Setelah sembuh, tulang biasanya kuat dan kembali berfungsi.
Pada beberapa patah tulang, dilakukan pembidaian untuk membatasi pergerakan.
Dengan pengobatan ini biasanya patah tulang selangka (terutama pada anak-anak),
tulang bahu, tulang iga, jari kaki dan jari tangan, akan sembuh sempurna. Patah
tulang
lainnya
harus
benar-benar
tidak
boleh
digerakkan
(imobilisasi).
12
penyembuhan total, penderita perlu menjalani terapi fisik selama 6-8 minggu atau
kadang lebih lama lagi.
Empat tujuan utama dari penanganan fraktur adalah:
1) Untuk menghilangkan rasa nyeri
Nyeri yang timbul pada fraktur bukan karena frakturnya sendiri, namun karena
terluka jaringan disekitar tulang yang patah tersebut. Untuk mengurangi nyeri
tersebut, dapat diberikan obat penghilang rasa nyeri dan juga dengan tehnik
imobilisasi (tidak menggerakkan daerah yang fraktur). Tehnik imobilisasi dapat
dicapai dengan cara pemasangan bidai atau gips.
2) Untuk menghasilkan dan mempertahankan posisi yang ideal dari fraktur.
Bidai dan gips tidak dapat mempertahankan posisi dalam waktu yang lama. Untuk
itu diperlukan lagi tehnik yang lebih mantap seperti pemasangan traksi kontinyu,
fiksasi eksternal, atau fiksasi internal tergantung dari jenis frakturnya sendiri.
3) Agar terjadi penyatuan tulang kembali.
Biasanya tulang yang patah akan mulai menyatu dalam waktu 4 minggu dan akan
menyatu dengan sempurna dalam waktu 6 bulan. Namun terkadang terdapat
gangguan dalam penyatuan tulang, sehingga dibutuhkan graft tulang.
4) Untuk mengembalikan fungsi seperti semula.
Imobilisasi yang lama dapat mengakibatkan mengecilnya otot dan kakunya sendi.
Maka dari itu diperlukan upaya mobilisasi secepat mungkin.
Menurut Smeltzer dan Bare (2001), prinsip-prinsip tindakan terhadap fraktur:
1. Recognisi/pengenalan
Pengenalan mengenai diagnosis pada tempat kejadian kecelakaan dan kemudian di
RS Riwayat kecelakaan, parah tidaknya, jenis kekuatan yang berperan,
menentukan kemungkinan tulang yang patah dan pemeriksaan yang spesifik untuk
frakture.
2. Reduksi (Setting Tulang)
Berarti mengembalikan fragmen tulang pada kesejajarannya dan rotasi anatomis.
Dapat dibedakan menjadi :
a.
Reduksi tertutup
Dilakukan dengan mengembalikan fragmen tulang ke posisinya (ujungujungnya saling berhubungan) dengan manipulasi traksi manual (ex: gibs).
13
b.
Traksi
Digunakan untuk mendapatkan efek reduksi dan imobilisasi beratnya traksi
idisesuaikan dengan spasme otot yang terjadi.
c.
Reduksi terbuka
Dengan pendekatan bedah, fragmen tulang direduksi. Alat fikasi interna dalam
bentuk pin, kawat, sekrup, plat paku atau batangan logam digunakan sampai
penyembuhan tulang terjadi.
3. Imobilisasi Fraktur
Sebuah direduksi, fragmen tulang harus diimobilisasi (dipertahankan dalam posisi
dan kesejajaran dapat dilakukan dengan metode fiksasi eksterna dan interna.
Metode fixasu eksterna : pembalutan, gibs, bidai, traksi, kontinu (dengan plester
felt pada kulit), pin fiksator eksterna. Metode fikasi interna : inplant logam
4. Restorasi (Pemulihan Fungsi) dan Rehabilitasi
Segala upaya diarahkan pada penyembuhan tulang dan otot. Dapat dilakukan
dengan: Latihan isometrik dan setting otot: untuk meminimalkan atropi disease
dan meningkatkan peredaran darah. Fiksasi interna memungkinkan mobilisasi
lebih awal. Partisipasi dalam aktivitas hidup sehari-hari untuk memperbaiki
kemandirian fungsi dan harga diri. Periode ini dimudahkan dengan bantuan
fisioterapi.
8. KOMPLIKASI
1) Komplikasi Awal
a. Kerusakan Arteri
Pecahnya arteri karena trauma bisa ditandai dengan tidak adanya nadi, CRT
menurun, cyanosis bagian distal, hematoma yang lebar, dan dingin pada
ekstrimitas yang disebabkan oleh tindakan emergensi splinting, perubahan
posisi pada yang sakit, tindakan reduksi, dan pembedahan
b. Kompartement Syndrom
Syndrome kompartemen merupakan suatu kondisi dimana terjadi
peningkatan tekanan interstitial dalam sebuah ruangan terbatas yakni
kompartemen
osteofasial
yang
tertutup.
Sehingga
mengakibatkan
terutama pada pergerakan pasif dan nyeri tersebut tidak hilang oleh
narkotik. Tanda lain adalah terjadinya paralysis, dan berkurangnnya denyut
nadi.
c. Fat Embolism Syndrom
Fat Embolism Syndrom (FES) adalah komplikasi serius yang sering terjadi
pada kasus fraktur tulang panjang. FES terjadi karena sel-sel lemak yang
dihasilkan bone marrow kuning masuk ke aliran darah dan menyebabkan
tingkat oksigen dalam darah rendah yang ditandai dengan gangguan
pernafasan, tachykardi, hypertensi, tachypnea, demam. Serangan biasanya
2-3 hari setelah cedera.
d. Infeksi
Sistem pertahanan tubuh rusak bila ada trauma pada jaringan. Pada trauma
orthopedic infeksi dimulai pada kulit (superficial) dan masuk ke dalam. Ini
biasanya terjadi pada kasus fraktur terbuka, tapi bisa juga karena
penggunaan bahan lain dalam pembedahan seperti pin dan plat.
e. Avaskuler Nekrosi
Avaskuler Nekrosis (AVN) terjadi karena aliran darah ke tulang rusak atau
terganggu yang bisa menyebabkan nekrosis tulang dan diawali dengan
adanya Volkmans Ischemia.
f. Syok
Syok terjadi karena kehilangan banyak darah dan meningkatnya
permeabilitas kapiler yang bisa menyebabkan menurunnya oksigenasi. Ini
biasanya terjadi pada fraktur.
2) Komplikasi Dalam Waktu Lama
a. Delayed Union dan nonunion
` Sambungan tulang yang terlambat dan tulang patah yang tidak
menyambung kembali. Delayed union adalah proses penyembuhan yang
terus berjalan tetapi dnegan kecepatan yang lebih lambat dari keadaan
normal. Nonunion dari tulang yang telah patah dapat menajdi komplikasi
yang membahayakan Banyak keadaan yang menjadi predisposisi dari
nonunion seperti reduksi yang tidak benar akan menyebabkan bagianbagian tulang yang patah tetap tidak menyatu, imobilisasi yang kurang
tepat baik cara terbuka maupun tertutup.
b. Malunion
15
Malunion adalah suatu keadaan dimana tulang yang patah telah sembuh
dalam posisi yang tidak seharusnya, membentuk sudut, atau miring.
Contoh yang khas adalah patah tulang paha yang dirawat dengan traksi,
dan kemudian diberi gips untuk imobilisasi dimana kemungkinan gerakan
untuk rotasi dari fragmen-fragmen tulang yang patah kurang diperhatikan.
Akibatnya sesudah gips dibuang ternyata anggota tubuh bagian distal
memutar ke dalam atau ke luar, dan penderita tidak dapat mempertahankan
posisi tubuhnya dalam posisi netral.
9. PENYEMBUHAN
Secara rinci proses penyembuhan fraktur dapat dibagi dalam beberapa tahap
sebagai berikut:
1) Fase hematoma
Tiap fraktur biasanya disertai putusnya pembuluh darah sehingga terdapat
penimbunan darah di sekitar fraktur. Pembuluh darah robek dan membentuk
hematoma disekitar daerah fraktur. Hematoma ini disertai dengan pembengkakan
jaringan lunak. Sel-sel darah membentuk fibrin guna melindungi tulang yang rusak
dan sebagai tempat tumbuhnya kapiler baru dan fibroblast.Pada ujung tulang yang
patah terjadi iskemia sampai beberapa milimeter dari garis patahan yang
mengakibatkan matinya osteosit pada daerah fraktur tersebut. Stadium ini
berlangsung 24 48 jam.
2) Fase proliferative
Pada stadium ini terjadi proliferasi dan differensiasi sel-sel periosteal dan
endoosteal menjadi fibro kartilago yang berasal dari periosteum,`endosteum,dan
bone marrow yang telah mengalami trauma. Kemudian, hematoma akan terdesak
oleh proliferasi ini dan diabsorbsi oleh tubuh. Sel-sel yang mengalami proliferasi
ini terus masuk ke dalam lapisan yang lebih dalam dan di sanalah osteoblast
beregenerasi dan terjadi proses osteogenesis. Bersamaan dengan aktivitas sel-sel
sub periosteal maka terjadi aktifitas sel-sel dari kanalis medularis dari lapisan
endosteum dan dari bone marrow masing-masing fragmen. Proses dari periosteum
dan kanalis medularis dari masing-masing fragmen bertemu dalam satu preses
yang sama, proses terus berlangsung kedalam dan keluar dari tulang tersebut
sehingga menjembatani permukaan fraktur satu sama lain. Pada saat ini mungkin
16
17
medula tulang. Apabila union sudah lengkap, tulang baru yang terbentuk pada
umumnya berlebihan, mengelilingi daerah fraktur di luar maupun di dalam kanal,
sehingga dapat membentuk kanal medularis. Dengan mengikuti stress/tekanan dan
tarik mekanis, misalnya gerakan, kontraksi otot dan sebagainya, maka callus yang
sudah mature secara pelan-pelan terhisap kembali dengan kecepatan yang konstan
sehingga terbentuk tulang yang sesuai dengan aslinya.
Penyembuhan fraktur berkisar antara 3 minggu sampai 4 bulan. Perkiraan
penyembuhan fraktur pada orang dewasa berdasarkan lokalisasi fraktur adalah
sebagai berikut: Falang/metacarpal/metatarsal/kosta: 3-6 minggu, Distal radius: 6
minggu, Diafisis ulna dan radius: 12 minggu, Humerus: 10-12 minggu, Klavikula: 6
minggu, Panggul: 10-12 minggu, Femur: 12-16 minggu, Kondilus femur atau tibia: 810 minggu, Tibia/fibula: 12-16 minggu, Vertebra: 12 minggu.
Menurut Smeltzer dan Bare (2001), Faktor-faktor yang mempercepat
penyembuhan fraktur antara lain: Imobilisasi fragmen tulang, Kontak fragmen tulang
maksimal, Asupan darah yang memadai, Nutrisi yang baik, Latihan pembebanan
berat badan untuk tulang panjang, Hormone-hormon pertumbuhan, tiroid, kalsitonin,
vitamin D, steroid anabolic, Potensial listrik pada patahan tulang
Sedangkan faktor-faktor yang menghambat penyembuhan tulang anatara lain:
Trauma local ekstensif, Kehilangan tulang, Imobilisasi tak memadai, Rongga atau
jaringan di antara fragmen tulang, Infeksi, Keganasan local, Penyakit tulang
metabolic (misalnya penyakit paget), Radiasi tulang (nekrosis radiasi), Nekrosis
avaskuler, Fraktur intraartikuler (cairan synovial mengandung fibrolisin, yang akan
melisis bekuan darah awal dan memperlambat pembentukan jendalan), Usia (lansia
sembuh lebih lama), Kortikosteroid (menghambat kecepatan perbaikan).
18
10. PATHWAY
19
1.
Pengkajian
Pengkajian merupakan tahap awal dan landasan dalam proses keperawatan,
Anamnesa
a) Identitas Klien Meliputi nama, jenis kelamin, umur, alamat, agama, bahasa
yang dipakai, status perkawinan, pendidikan, pekerjaan, asuransi, golongan
darah, no. register, tanggal MRS, diagnosa medis.
b) Keluhan Utama
Pada umumnya keluhan utama pada kasus fraktur adalah rasa nyeri. Nyeri
tersebut bisa akut atau kronik tergantung dan lamanya serangan. Untuk
memperoleh pengkajian yang lengkap tentang rasa nyeri klien digunakan:
(1)
(2)
(3)
(4)
(5)
c)
20
bisa ditentukan kekuatan yang terjadi dan bagian tubuh mana yang terkena.
Selain itu, dengan mengetahui mekanisme terjadinya kecelakaan bisa
diketahui luka kecelakaan yang lain (Ignatavicius, Donna D, 1995).
d)
e)
f)
Riwayat Psikososial
Merupakan respons emosi klien terhadap penyakit yang dideritanya dan
peran klien dalam keluarga dan masyarakat serta respon atau pengaruhnya
dalam kehidupan sehari-harinya baik dalam keluarga ataupun dalam
masyarakat (Ignatavicius, Donna D, 1995).
g)
21
klien
bisa
membantu
menentukan
penyebab
masalah
22
(Ignatavicius, Donna D,
1995).
(7) Pola Persepsi dan Konsep Diri
Dampak yang timbul pada klien fraktur yaitu timbul ketidakutan akan
kecacatan akibat frakturnya, rasa cemas, rasa ketidakmampuan untuk
melakukan aktivitas secara optimal, dan pandangan terhadap dirinya
yang salah (gangguan body image) (Ignatavicius, Donna D, 1995).
(8) Pola Sensori dan Kognitif
Pada klien fraktur daya rabanya berkurang terutama pada bagian distal
fraktur, sedang pada indera yang lain tidak timbul gangguan. begitu
juga pada kognitifnya tidak mengalami gangguan. Selain itu juga,
timbul rasa nyeri akibat fraktur (Ignatavicius, Donna D, 1995).
(9) Pola Reproduksi Seksual
Dampak pada klien fraktur yaitu, klien tidak bisa melakukan hubungan
seksual karena harus menjalani rawat inap dan keterbatasan gerak serta
rasa nyeri yang dialami klien. Selain itu juga, perlu dikaji status
perkawinannya
termasuk
jumlah
anak,
lama
perkawinannya
23
2)
Pemeriksaan Fisik
Gambaran Umum
(a) Keadaan umum: baik atau buruknya yang dicatat adalah tandatanda, seperti: Kesadaran penderita: apatis, sopor, koma, gelisah,
komposmentis tergantung pada keadaan klien. Kesakitan, keadaan
penyakit: akut, kronik, ringan, sedang, berat dan pada kasus fraktur
biasanya akut. Tanda-tanda vital tidak normal karena ada gangguan
baik fungsi maupun bentuk.
24
Tidak tampak iktus jantung. Palpasi Nadi meningkat, iktus tidak teraba. Auskultasi
Suara S1 dan S2 tunggal, tak ada mur-mur. Abdomen; Inspeksi Bentuk datar,
simetris, tidak ada hernia. Palpasi Tugor baik, tidak ada defands muskuler, hepar
tidak teraba. Perkusi Suara thympani, ada pantulan gelombang cairan. Auskultasi
Peristaltik usus normal 20 kali/menit. Inguinal-Genetalia-Anus; Tak ada hernia,
tak ada pembesaran lymphe, tak ada kesulitan BAB. Keadaan Lokal; Harus
diperhitungkan keadaan proksimal serta bagian distal terutama mengenai status
neurovaskuler (untuk status neurovaskuler 5 P yaitu Pain, Palor, Parestesia,
Pulse, Pergerakan). Pemeriksaan pada sistem muskuloskeletal adalah: Look
(inspeksi) Perhatikan apa yang dapat dilihat antara lain: Cicatriks (jaringan parut baik
yang alami maupun buatan seperti bekas operasi). Cape au lait spot (birth mark).
Fistulae. Warna kemerahan atau kebiruan (livide) atau hyperpigmentasi. Benjolan,
pembengkakan, atau cekungan dengan hal-hal yang tidak biasa (abnormal). Posisi
dan bentuk dari ekstrimitas (deformitas). Posisi jalan (gait, waktu masuk ke kamar
periksa). Feel (palpasi) Pada waktu akan palpasi, terlebih dahulu posisi penderita
diperbaiki mulai dari posisi netral (posisi anatomi). Pada dasarnya ini merupakan
pemeriksaan yang memberikan informasi dua arah, baik pemeriksa maupun klien.
Yang perlu dicatat adalah: Perubahan suhu disekitar trauma (hangat) dan kelembaban
kulit. Capillary refill time Normal 3 5 , Apabila ada pembengkakan, apakah
terdapat fluktuasi atau oedema terutama disekitar persendian. Nyeri tekan
(tenderness), krepitasi, catat letak kelainan (1/3 proksimal, tengah, atau distal). Otot:
tonus pada waktu relaksasi atau konttraksi, benjolan yang terdapat di permukaan atau
melekat pada tulang. Selain itu juga diperiksa status neurovaskuler. Apabila ada
benjolan, maka sifat benjolan perlu dideskripsikan permukaannya, konsistensinya,
pergerakan terhadap dasar atau permukaannya, nyeri atau tidak, dan ukurannya.
Move (pergerakan terutama lingkup gerak); Setelah melakukan pemeriksaan feel,
kemudian diteruskan dengan menggerakan ekstrimitas dan dicatat apakah terdapat
keluhan nyeri pada pergerakan. Pencatatan lingkup gerak ini perlu, agar dapat
mengevaluasi keadaan sebelum dan sesudahnya. Gerakan sendi dicatat dengan
ukuran derajat, dari tiap arah pergerakan mulai dari titik 0 (posisi netral) atau dalam
25
ukuran metrik. Pemeriksaan ini menentukan apakah ada gangguan gerak (mobilitas)
atau tidak. Pergerakan yang dilihat adalah gerakan aktif dan pasif (Reksoprodjo,
Soelarto, 1995).
3)
Pemeriksaan Diagnostik
a)
Pemeriksaan Radiologi
Sebagai penunjang, pemeriksaan yang penting adalah pencitraan
menggunakan sinar rontgen (x-ray). Untuk mendapatkan gambaran 3
dimensi keadaan dan kedudukan tulang yang sulit, maka diperlukan 2
proyeksi yaitu AP atau PA dan lateral. Dalam keadaan tertentu diperlukan
proyeksi tambahan (khusus) ada indikasi untuk memperlihatkan pathologi
yang dicari karena adanya superposisi. Perlu disadari bahwa permintaan xray harus atas dasar indikasi
hasilnya dibaca sesuai dengan permintaan. Hal yang harus dibaca pada xray:
1. Bayangan jaringan lunak.
2. Tipis tebalnya korteks sebagai akibat reaksi periosteum atau biomekanik
atau juga rotasi.
3. Trobukulasi ada tidaknya rare fraction.
4. Sela sendi serta bentuknya arsitektur sendi.
Selain foto polos x-ray (plane x-ray) mungkin perlu tehnik khususnya
seperti:
a.
b.
Myelografi:
menggambarkan
cabang-cabang
26
d.
Computed
Tomografi-Scanning:
Pemeriksaan Laboratorium
(1)
(2)
(3)
Enzim
otot
seperti
Kreatinin
Kinase,
Laktat
Pemeriksaan lain-lain
(1)
(2)
Biopsi tulang dan otot: pada intinya pemeriksaan ini sama dengan
pemeriksaan diatas tapi lebih dindikasikan bila terjadi infeksi.
(3)
(4)
(5)
Diagnosa Keperawatan
Adapun diagnosa keperawatan yang lazim dijumpai pada klien fraktur adalah
sebagai berikut:
1. Nyeri akut berhubungan dengan spasme otot, gerakan fragmen tulang, edema,
cedera jaringan lunak, pemasangan traksi
27
Intervensi Keperawatan
a.
INTERVENSI KEPERAWATAN
RASIONAL
1. Pertahankan imobilasasi bagian a. Mengurangi nyeri dan mencegah
yang sakit dengan tirah baring,
malformasi.
pasif/aktif.
4. Lakukan
tindakan
meningkatkan
untuk
kenyamanan
mengurangi edema/nyeri.
c. Mempertahankan kekuatan otot dan
penggunaan
teknik
28
berlangsung lama.
f. Menurunkan edema dan
mengurangi rasa nyeri.
g. Menurunkan nyeri melalui
mekanisme penghambatan
sesuai keperluan.
maupun perifer.
h. Menilai perkembangan masalah
klien.
akral hangat, tidak pucat dan syanosis, bisa bergerak secara aktif
INTERVENSI KEPERAWATAN
RASIONAL
restriksi
letak
petunjuk
perlunya
penyesuaian
keketatan bebat/spalk.
c. Meningkatkan drainase vena dan
tinggi
ada
arteri
kontraindikasi
adanya
sindroma kompartemen.
4. Berikan
obat
menyebabkan
penurunan perfusi.
d. Mungkin diberikan sebagai upaya
profilaktik
antikoagulan
yang
trombus vena.
e. Mengevaluasi
29
untuk
menurunkan
perkembangan
warna
kulit
masalah
dan
klien
dan
perlunya
dengan
sisi
yang
normal.
c.
yang
mungkin
dapat
mempertahankan
posisi
fungsional
RASIONAL
meningkatakan
diri/harga
keadaan klien.
2. Bantu latihan rentang gerak pasif
perhatian,
rasa
diri,
kontrol
membantu
darah
muskuloskeletal, mempertahankan
klien.
ekstremitas.
gulungan trokanter/tangan sesuai d. Meningkatkan kemandirian klien
indikasi.
dalam
sesuai
perawatan
diri
sesuai
30
keadaan klien.
atelektasis, penumonia)
f. Mempertahankan hidrasi adekuat,
men-cegah komplikasi urinarius
dan konstipasi.
g. Kalori dan protein yang cukup
2000-3000 ml/hari.
diperlukan
untuk
penyembuhan
pertahankan
tubuh.
8. Kolaborasi pelaksanaan fisioterapi h. Kerjasama
sesuai indikasi.
dan
mem-
fungsi
dengan
fisiologis
fisioterapis
proses
dan
alat
aman
tenun
RASIONAL
a. Menurunkan
(kering,
risiko
kencang,
luas.
b. Meningkatkan
sirkulasi
perifer
bebat/gips.
3.
31
daerah perianal
4.
Observasi
kulit
keadaan
kulit,
Risiko
infeksi
jaringan
akibat
kontaminasi fekal.
d. Menilai perkembangan masalah
klien.
dan
b/d
ketidakadekuatan
pertahanan
primer
RASIONAL
infeksi
sekunderdan
Observasi tanda-tanda
masalah klien.
32
perkembangan
f.
RASIONAL
2.
program pembelajaran.
b. Meningkatkan partisipasi
ambulasi
sesuai
kemandirian
program
perencanaan
terapi fisik.
klien
dan
dan
dalam
pelaksanaan
Ajarkan
tanda/gejala
klinis
lanjut.
d. Upaya
Persiapkan
klien
untuk
diperlukan
pembedahan
untuk
mungkin
mengatasi
diperlukan.
Evaluasi
1)
2)
3)
4)
5)
6)
33
DAFTAR PUSTAKA
Price, Sylvia A. dan Wilson, Lorraine M. W. 2005. Patofisiologi: Konsep Klinis
Proses-Proses Penyakit, vol. 2, ed 6. Jakarta: EGC
Smeltzer, Suzanne C. dan Bare, Brenda G. 2001. Keperawatan Medikal-Bedah
Brunner and Suddart, vol 2, Ed 8. Jakarta: EGC
Carpenito (2000), Diagnosa Keperawatan-Aplikasi pada Praktik Klinis. Edisi 6.
Jakarta: EGC.
Corwin, E. J. 2009. Buku Saku Patofisiologi. Edisi Revisi 3. Jakarta: EGC.
Doenges. 2000. Rencana Asuhan Keperawatan. Edisi 3. Jakarta:EGC
Mansjoer, A., Triyanti, K., Savitri, R., Wardhani, W. I., Setiowulan, W., Tiara, A. D.,
Hamsah, A., Patmini, E., Armilasari, E.,Yunihastuti, E., Madona, F., Wahyudi,
I., Kartini, Harimurti, K., Nurbaiti, Suprohaita, Usyinara, & Azwani, W. 2000.
34
35