Anda di halaman 1dari 35

KONSEP DASAR FRAKTUR MANUS

1. Anatomi dan Fisiologi


Tulang

terdiri dari sel-sel

yang

berada pada

ba intra- seluler.

Tulang berasal dari embrionic hyaline cartilage yang mana melalui proses
Osteogenesis menjadi tulang. Proses ini dilakukan oleh sel-sel yang disebut
Osteoblast. Proses mengerasnya tulang akibat penimbunan garam kalsium.
Ada 206 tulang dalam tubuh manusia, Tulang
dalam

lima

kelompok

dapat diklasifikasikan

berdasarkan bentuknya :

Tulang panjang (Femur, Humerus) terdiri dari batang tebal panjang


yang disebut diafisis dan dua ujung yang disebut epifisis. Di sebelah
proksimal dari epifisis terdapat metafisis. Di antara epifisis dan metafisis
terdapat daerah tulang rawan yang tumbuh, yang disebut lempeng epifisis
atau lempeng pertumbuhan. Tulang

panjang tumbuh karena akumulasi

tulang

rawan di lempeng epifisis. Tulang rawan digantikan oleh sel-sel

tulang

yang dihasilkan oleh osteoblas, dan tulang memanjang. Batang

dibentuk oleh jaringan tulang yang padat. Epifisis


bone
tulang

(cancellous

atau trabecular). Pada

dibentuk

dari

spongi

akhir tahun-tahun remaja

rawan habis, lempeng epifisis berfusi, dan tulang berhenti tumbuh.

Hormon

pertumbuhan,

estrogen,

pertumbuhan tulang panjang.


merangsang

fusi

lempeng

dan

testosteron

Estrogen, bersama dengan

merangsang
testosteron,

epifisis. Batang suatu tulang panjang memiliki

rongga yang disebut kanalis medularis. Kanalis medularis berisi sumsum


tulang.
Tulang pendek (carpals)

bentuknya tidak

teratur dan

inti dari

cancellous (spongy) dengan suatu lapisan luar dari tulang yang padat. Tulang
pendek datar (tengkorak) terdiri atas dua lapisan tulang padat dengan
lapisan luar adalah tulang concellous. Tulang yang tidak
(vertebrata)

sama

seperti dengan tulang

beraturan

pendek. Tulang sesamoid

merupakan tulang kecil, yang terletak di sekitar tulang yang berdekatan

dengan persediaan dan didukung oleh tendon dan jaringan fasial, misalnya
patella (kap lutut).
Tulang tersusun atas sel, matriks protein dan deposit mineral. Selselnya

terdiri atas

tiga jenis dasar-osteoblas, osteosit dan osteoklas.

Osteoblas berfungsi dalam pembentukan tulang dengan mensekresikan


matriks tulang. Matriks tersusun atas 98% kolagen dan 2%
dasar (glukosaminoglikan,
Matriks merupakan

asam

polisakarida)

dan

subtansi

proteoglikan).

kerangka dimana garam-garam mineral anorganik

ditimbun. Osteosit adalah sel dewasa yang terlibat dalam pemeliharaan


fungsi tulang dan terletak dalam osteon (unit matriks tulang). Osteoklas
adalah

sel

multinuclear (berinti banyak) yang berperan dalam

penghancuran, resorpsi dan remosdeling tulang.


Osteon merupakan unik fungsional mikroskopis tulang dewasa. Ditengah
osteon terdapat kapiler. Dikelilingi kapiler tersebut merupakan matriks
tulang yang dinamakan lamella. Didalam lamella terdapat osteosit, yang
memperoleh nutrisi melalui prosesus yang berlanjut kedalam kanalikuli
yang halus (kanal

yang menghubungkan dengan pembuluh darah yang

terletak sejauh kurang dari 0,1 mm). Tulang


membran

fibrous

diselimuti

dibagian

oleh

padat dinamakan periosteum. Periosteum memberi

nutrisi ke tulang dan memungkinkannya

tumbuh, selain sebagai tempat

perlekatan tendon dan ligamen. Periosteum mengandung saraf, pembuluh


darah,

dan

limfatik.

Lapisan

yang

paling

dekat dengan tulang

mengandung osteoblast, yang merupakan sel pembentuk tulang. Endosteum


adalah
tulang

membran

vaskuler

tipis

yang menutupi rongga sumsum

panjang dan rongga-rongga dalam tulang

kanselus. Osteoklast ,

yang melarutkan tulang untuk memelihara rongga sumsum, terletak dekat


endosteum dan dalam lacuna Howship (cekungan pada permukaan tulang).
Struktur

tulang

dewasa

terdiri

dari

30

bahan organik

(hidup) dan 70 % endapan garam. Bahan organik disebut matriks, dan


terdiri dari lebih

dari 90 % serat kolagen dan

kurang

dari

10

proteoglikan (protein

plus

sakarida). Deposit garam terutama adalah

kalsium dan fosfat, dengan sedikit natrium, kalium karbonat, dan


ion

magnesium. Garam-garam menutupi matriks dan berikatan dengan

serat kolagen melalui proteoglikan. Adanya bahan organik menyebabkan


tulang

memiliki

kekuatan

tensif

(resistensi terhadap tarikan yang

meregangkan). Sedangkan garam-garam menyebabkan tulang

memiliki

kekuatan kompresi (kemampuan menahan tekanan). Pembentukan tulang


berlangsung secara terus menerus dan dapat berupa pemanjangan dan
penebalan tulang. Kecepatan pembentukan tulang

berubah selama

hidup.

Pembentukan tulang ditentukan oleh rangsangn hormon, faktor makanan,


dan jumlah stres yang dibebankan pada suatu tulang, dan terjadi akibat
aktivitas sel-sel pembentuk tulang yaitu osteoblas.
Osteoblas dijumpai dipermukaan luar dan
berespon terhadap berbagai sinyal kimiawi
tulang. Sewaktu
Dalam

tulang. Osteoblas

untuk menghasilkan matriks

pertama kali dibentuk, matriks tulang disebut osteoid.

beberapa hari garam- garam kalsium

osteoid dan

dalam

mulai

mengendap pada

mengeras selama beberapa minggu atau bulan berikutnya.

Sebagian osteoblast tetap menjadi bagian dari osteoid, dan disebut osteosit
atau

sel

tulang

sejati.

Seiring dengan terbentuknya

tulang, osteosit

dimatriks membentuk tonjolan-tonjolan yang menghubungkan osteosit satu


dengan osteosit lainnya membentuk suatu sistem saluran mikroskopik di
tulang.
Kalsium adalah salah satu

komponen yang berperan terhadap tulang,

sebagian ion kalsium di tulang tidak mengalarni kristalisasi. Garam nonkristal


ini dianggap sebagai

kalsium

yang dapat

dipertukarkan,

yaitu

dapat

dipindahkan dengan cepat antara tulang, cairan interstisium, dan darah.


Sedangkan penguraian tulang disebut absorpsi, terjadi secara bersamaan
dengan pembentukan tulang.

Penyerapan tulang terjadi karena aktivitas

sel-sel yang disebut osteoklas. Osteoklas adalah sel fagositik multinukleus


besar yang berasal dari sel-sel

mirip-monosit yang terdapat di tulang.

Osteoklas tampaknya mengeluarkan berbagai asam

dan

mencerna

Osteoklas biasanya

tulang

terdapat

dan

pada

hanya

memfagosit tulang

memudahkan
sebagian

sedikit

demi

fagositosis.

kecil

sedikit.

dari

enzim

potongan tulang,

yang
dan

Setelah selesai di suatu daerah,

osteoklas menghilang dan muncul osteoblas. 0steoblas mulai mengisi daerah


yang kosong tersebut dengan tulang baru. Proses ini memungkinkan tulang
tua yang telah melemah diganti dengan tulang baru yang lebih kuat.
Keseimbangan antara aktivitas osteoblas dan osteoklas menyebabkan
tulang terus menerus diperbarui atau mengalami remodeling. Pada anak
dan remaja, aktivitas osteoblas melebihi aktivitas osteoklas, sehingga
kerangka menjadi lebih panjang dan menebal. Aktivitas
melebihi aktivitas

osteoklas pada

tulang

yang pulih

orang dewasa muda, aktivitas osteoblas dan


sehingga jumlah

total

massa

tulang

osteoblas juga
dari fraktur. Pada

osteoklas biasanya setara,

konstan. Pada usia pertengahan,

aktivitas osteoklas melebihi aktivitas osteoblas dan kepadatan tulang mulai


berkurang. Aktivitas
mengalami

osteoklas juga meningkat pada tulang-tulang

imobilisasi.

Pada

usia

dekade ketujuh atau

dominansi aktivitas osteoklas dapat menyebabkan tulang


sehingga mudah

yang

kedelapan,

menjadi rapuh

patah. Aktivitas osteoblas dan osteoklas dikontrol oleh

beberapa faktor fisik dan hormon. Faktor-faktor yang mengontrol Aktivitas


osteoblas dirangsang oleh olah raga dan stres beban akibat arus listrik yang
terbentuk sewaktu stres mengenai tulang.

Fraktur tulang

secara drastis

merangsang aktivitas osteoblas, tetapi mekanisme pastinya belum jelas.


Estrogen, testosteron, dan hormon perturnbuhan adalah promotor kuat
bagi

aktivitas

osteoblas dan pertumbuhan tulang. Pertumbuhan tulang

dipercepat semasa pubertas akibat

melonjaknya kadar hormon-hormon

tersebut. Estrogen dan testosteron akhirnya menyebabkan tulang-tulang


panjang

berhenti

tumbuh

dengan

merangsang

penutupan lempeng

epifisis (ujung pertumbuhan tulang). Sewaktu kadar estrogen turun pada

masa

menopaus, aktivitas osteoblas berkurang.

Defisiensi

hormon

pertumbuhan juga mengganggu pertumbuhan tulang.


Vitamin D dalam

jumlah

kecil merangsang kalsifikasi tulang secara

langsung dengan bekerja pada osteoblas dan secara tidak langsung dengan
merangsang penyerapan kalsium di usus. Hal ini meningkatkan konsentrasi
kalsium darah, yang mendorong kalsifikasi tulang. Namun, vitamin D dalam
jumlah besar meningkatkan kadar kalsium

serum dengan meningkatkan

penguraian tulang. Dengan demikian, vitamin D dalam jumlah besar tanpa


diimbangi kalsium

yang

adekuat dalam

makanan akan menyebabkan

absorpsi tulang.
Adapun

faktor-faktor yang

mengontrol aktivitas osteoklas terutama

dikontrol oleh hormon paratiroid. Hormon paratiroid dilepaskan oleh


kelenjar paratiroid yang terletak tepat di belakang kelenjar tiroid. Pelepasan
hormon paratiroid meningkat sebagai

respons terhadap penurunan kadar

kalsium serum. Hormon paratiroid meningkatkan aktivitas osteoklas dan


merangsang pemecahan tulang untuk membebaskan kalsium
darah. Peningkatan kalsium

ke dalam

serum bekerja secara umpan balik negatif

untuk menurunkan pengeluaran hormon paratiroid lebih lanjut. Estrogen


tampaknya mengurangi efek hormon paratiroid pada osteoklas. Efek
Hormon paratiroid

adalah meningkatkan kalsium

lain

serum dengan

menurunkan sekresi kalsium oleh ginjal. Hormon paratiroid meningkatkan


ekskresi ion fosfat oleh ginjal sehingga menurunkan kadar fosfat darah.
Pengaktifan vitamin D di

ginjal

bergantung

pada

hormon

paratiroid.

Sedangkan kalsitonin adalah suatu hormon yang dikeluarkan oleh kelenjar


tiroid

sebagai

respons

terhadap

peningkatan kadar

kalsium serum.

Kalsitonin memiliki sedikit efek menghambat aktivitas dan pernbentukan


osteoklas.

Efek-efek

ini

meningkatkan kalsifikasi

tulang

sehingga

menurunkan kadar kalsium serum.


Fisiologi Tulang; Fungsi tulang adalah sebagai

berikut : Mendukung

jaringan tubuh dan memberikan bentuk tubuh. Melindungi

organ tubuh

(misalnya jantung, otak, dan paru- paru) dan jaringan lunak. Memberikan
pergerakan (otot

yang

berhubungan dengan kontraksi dan pergerakan).

Membentuk sel-sel darah merah didalam sum-sum tulang belakang (hema


topoiesis). Menyimpan garam mineral, misalnya kalsium, fosfor.
2. Definisi
Fraktur atau patah tulang adalah keadaan dimana hubungan atau kesatuan
jaringan tulang terputus. Tulang mempunyai daya lentur (elastisitas) dengan kekuatan
yang memadai, apabila trauma melebihi dari daya lentur tersebut maka terjadi fraktur
(patah tulang). Definisi lain fraktur sebagaimana dikemukakan oleh para ahli adalah
sebagai berikut: Fraktur atau patah tulang adalah terputusnya kontinuitas jaringan
tulang dan/atau tulang rawan yang umumnya disebabkan oleh rudapaksa (Mansjoer,
2000). Fraktur adalah terputusnya kontinuitas tulang dan ditentukan sesuai jenis dan
luasnya (Smeltzer & Bare, 2001). Fraktur tulang adalah patah pada tulang (Corwin,
2009).
3. ETIOLOGI
Menurut Smeltzer dan Bare (2001), fraktur terjadi jika tulang dikenai stress yang
lebih besar dari yang dapat diabsorpsinya. Fraktur dapat disebabkan oleh pukulan
langsung, gaya remuk, gerakan puntir mendadak, dan bahkan kontraksi otot ekstrem.
Meskipun tulang patah, jaringan sekitarnya juga akan berpengaruh mengakibatkan
edema jaringan lunak, perdarahan ke otot dan sendi, dislokasi sendi, rupture tendon,
kerusakan saraf, dan kerusakan pembuluh darah.
Menurut Corwin (2009), penyebab fraktur tulang paling sering adalah trauma,
terutama pada anak-anak dan dewasa muda. Beberapa fraktur dapat terjadi setelah
trauma minimal atau tekanan ringan apabila tulang lemah (fraktur patologis) fraktur
patologis sering terjadi pada lansia yang mengalami osteoporosis, atau indivisu yang
mengalmai tumor tulang, infeksi, atau penyakit lain. Fraktur stress atau fraktur
keletihan dapat terjadi pada tulang normal akibat stress tingkat rendah yang
berkepanjangan atau berulang, biasanya menyertai peningkatan yang cepat tingkat
latihan atlet atau permulaan aktivitas fisik yang baru (Corwin, 2009).
Patah tulang biasanya disebabkan oleh trauma atau tenaga fisik. Kekuatan dan
sudut dari tenaga tersebut, keadaan tulang, dan jaringan lunak di sekitar tulang yang
akan menentukan apakah fraktur yang terjadi itu lengkap atau tidak lengkap.
6

Penyebab terjadinya fraktur adalah trauma, stres kronis dan berulang maupun
pelunakan tulang yang abnormal.
Sebagian besar patah tulang merupakan akibat dari cedera, seperti kecelakan
mobil, olah raga atau karena jatuh. Patah tulang terjadi jika tenaga yang melawan
tulang lebih besar daripada kekuatan tulang. Jenis dan beratnya patah tulang
dipengaruhi oleh: arah, kecepatan dan kekuatan dari tenaga yang melawan tulang,
usia penderita, kelenturan tulang, dan jenis tulang
Mekanisme Fraktur
1) Trauma (benturan)
Ada dua trauma/ benturan yang dapat mengakibatkan fraktur, yaitu:
a. Benturan langsung
b. Benturan tidak langsung
c. Gaya Puntir
2) Tekanan/stres yang terus menerus dan berlangsung lama
Tekanan kronis berulang dalam jangka waktu lama akan mengakibatkan fraktur
(patah tulang) yang kebanyakan pada tulang tibia, fibula (tulang-tulang pada betis)
atau metatarsal pada olahragawan, militer maupun penari. Contoh: Seorang yang
senang baris berbaris dan menghentak-hentakkan kakinya, maka mungkin terjadi
patah tulang di daerah tertentu.
3) Adanya keadaan yang tidak normal pada tulang dan usia
Kelemahan tulang yang abnormal karena adanya proses patologis seperti tumor
maka dengan energi kekerasan yang minimal akan mengakibatkan fraktur yang
pada orang normal belum dapat menimbulkan fraktur.
4. JENIS-JENIS FRAKTUR
1) Patah Tulang Tertutup ( Close Frakture )
Tidak ada luka, permukaan kulit tidak rusak/masih utuh, sehingga bagian tulang
yang patah tidak berhubungan dengan udara.
2) Patah Tulang Terbuka ( Open Frakture )
Ada luka, permukaan kulit diatas/dekat dengan bagian yang patah rusak,
sehingga bagian tulang yang patah berhubungan dengan udara luar. Dalam
mansjoer (2000) dan Smeltzer Bare (2001) fraktur terbuka didefinisikan sebagai
fratur yang terjadi bila terdapat hubungan antara fragmen tulang dengan dunia
7

luar karena adanya perlukaan pada kulit atau membrane mukosa sampai ke
patahan tulang (Mansjoer, 2000; Smeltzer & Bare, 2001). Akan tetapi tulang
patah tidak selalu terlihat atau menonjol keluar. Patah tulang terbuka
memerlukan pertolongan yang lebih cepat karena adanya risiko terjadinya
faktor penyulit yaitu infeksi yang cukup besar.Fraktur terbuka digradasi
menjadi:
Grade I: luka bersih kurang dari 1 cm panjangnya.
Grade II: luka lebih luas tanpa kerusakan jaringan lunak yang ekstensif.

Grade III: sangat terkontaminasi dan mengalami kerusakan jaringan lunak


ekstensif (Smeltzer & Bare, 2001)
3) Kompleksitas
Terjadi dua keadaan pada satu ekstrimitas yaitu terjadi fractur pada tulangnya
dan terjadi dislokasi pada sendinya.
Fraktur tulang menurut Price and Wilson (2005) diklasifikasikan sebagai
berikut:
1) Berdasarkan sudut patahan
a. Fraktur tranversal adalah fraktur yang garis patahannya tegak lurus
terhadap sumbu panjang tulang. Patah fraktur semacam ini, segmensegmen tulang yang patah direposisi atau direduksi kembali ke tempatnya
semula, maka segmen-segmen tersebut akan stabil, dan biasanya mudah
dikontrol dengan gibs.
b. Fraktur Oblik adalah fraktur yang garis patahannya membentuk sudut
terhadap tulang. Fraktur ini tidak stabil dan sulit untuk diperbaiki.
c. Fraktur spiral timbul akibat torsi pada ekstrimitas. Fraktur rendah energi
ini hanya menimbulkan sedikit kerusakan jaringan lunak, dan fraktur jenis
ini cenderung cepat sembuh dengan imobilisasi luar.
2) Fraktur Multipel pada Satu Tulang
a. Fraktur segmental adalah dua fraktur berdekatan pada satu tulang yang
menyebabkan terpisahnya segen sentral dari suplai darah. Fraktur
semacam ini sulit untuk ditangani. Biasanya satu ujung yang tidak
memiliki pembuluh darah menjadi sulit untuk menyembuh, dan keadaan
ini mungkin memerlukan pengobatan secara bedah.

b. Fraktur Kominuta adalah serpihan-serpihan atau terputusnya keutuhan


jaringan dengan lebih dari dua fragmen tulang.
3) Fraktur impaksi
Fraktur kompresi terjadi ketika dua tulang menumbuk (akibat tubrukan)
tulang ke iga yang berada di antaranya, seperti satu vertebra dengan dua
vertebra lainnya. Pada orang muda, fraktur kompresi dapat dapat disertai
pendarahan retroperitoneal yang cukup berat. Seperti pada fraktur pelvis,
pasien dapat secara cepat mengalami syok hipovolemik.
4) Fraktur Patologik
Fraktur patologik terjadi pada daerah-daerah tulang yang telah menjadi
lemah oleh karena tumor atau proses patologik lainnya. Tulang sering kali
menunjukkan penurunan densitas. Penyebab tersering dari fraktur semacam
ini adalah tumor primer atau tumor metastasis.
5) Fraktur Beban (Kelelahan) Lainnya.
Fraktur ini terjadi pada orang-orang yang baru saja menambah tingkat
aktivitas mereka, seperti baru diterima untuk berlatih menjadi angkatan
bersenjata, atau orang-orang yang baru memulai latihan lari. Fraktur
semacam ini akan sembuh dengan baik jika tulang ini diimobilisasi selama
beberapa minggu. Tetapi jka tidak terdignosis, tulang-tulang ini dapat
bergeser dapat bergeser dari tempat asalnya dan tidak menyembuh dengan
seharusnya.
6) Fraktur Greestick
Fraktur greenstick adalah fraktur tidak sempurna dan sering terjadi pada
anak-anak. Korteks tulangnya sebagian masih utuh, demikian pula
periosteum. Fraktur-fraktur ini akan sembuh dan segera mengalami
remodeling ke bentuk dan fungsi normal.
7) Fraktur Avulsi
Fraktur avulsi memisahkan suatu fragmen tulang pada tempat insersi tendon
maupun ligamen. Biassanya tidak ada pengobatan yang spesifik yang
diperlukan. Namun, bila diduga akan terjadi ketidakstabilan sendi atau halhal lain yang menyebabkan kecacatan, maka diperlukan tindakan
pembedahan.
8) Fraktur Sendi

Catatan khusus harus dibuat untuk fraktur sendi, terutama apabila geometri
sendi terganggu secara bermakna. Jika tidak ditangani dengan tepat, cedera
semacam ini akan menyebabkan osteoatritis pasca trauma yang progresif
pada sendi yang cedera tersebut.
Sumber lain menjelaskan, fraktur dapat dibagi sebagai berikut: Lokasi
Fraktur dapat terjadi di berbagai tempat pada tulang seperti pada diafisis, metafisis,
epifisis, atau intraartikuler. Jika fraktur didapatkan bersamaan dengan dislokasi sendi,
maka dinamakan fraktur dislokasi. Luas terbagi menjadi fraktur lengkap dan tidak
lengkap; Fraktur komplet: fraktur yang mengenai tulang secara keseluruhan dan
biasanya mengalami pergeseran. Fraktur inkomplet: fraktur yang mengenai tulang
secara parsial atau sebagian dari garis tengah tulang, seperti: (Hair line fraktur (garis
fraktur hampir tidak tampak sehingga tidak ada perubahan bentuk tulang/patah retak
rambut), Buckle fraktur / torus fraktur (bila terjadi satu lipatan, satu korteks dengan
komprea tulang spongiosa dibawahnya), Greenstick fraktur (mengenai satu korteks
dengan angulasi korteks lainnya yang terjadi pada tulang panjang anak) (Smeltzer &
Bare, 2001; Corwin, 2009)).
Fraktur

tidak

lengkap

contohnya

adalah

retak.

Konfigurasi

Dilihat dari garis frakturnya, dapat dibagi menjadi transversal (mendatar), oblik
(miring), atau spiral (berpilin). Jika terdapat lebih dari satu garis fraktur, maka
dinamakan kominutif. Hubungan antar bagian yang fraktur; Antar bagian yang
fraktur dapat masih berhubungan (undisplaced) atau terpisah jauh (displaced).
Hubungan antara fraktur dengan jaringan sekitar. Fraktur dapat dibagi menjadi fraktur
terbuka (jika terdapat hubungan antara tulang dengan dunia luar) atau fraktur tertutup
(jika tidak terdapat hubungan antara fraktur dengan dunia luar. Komplikasi fraktur
dapat terjadi dengan disertai komplikasi, seperti gangguan saraf, otot,sendi, dll atau
tanpa komplikasi. Berdasarkan pergeseran terjadi pergeseran fragmen-fragmen
fraktur yang juga disebut lokasi fragmen, terbagi menjadi pergeseran searah sumbu
dan overlapping, pergeseran membentuk sudut, dan pergeseran di mana kedua
fragmen saling menjauhi. Fraktur tidak bergeser: garis patah komplit tetapi kedua

10

fragmen tidak bergeser, periosteumnya masih utuh (Mansjoer, 2000; Smeltzer &
Bare, 2001).
Bentuk garis patah dan hubungannya dengan mekanisme trauma; Garis patah
melintang (transversal): Trauma angulasi atau langsung. Garis patah oblique: Trauma
angulasi, garis patah miring, Garis patah spiral: Trauma notasi,garis patah melingkari
tulang, Fraktur kompresi: Trauma aksial fleksi pada tulang spongiosa, Fraktur avulse:
Trauma tarikan, fraktur patella.
5. TANDA DAN GEJALA
Nyeri biasanya merupakan gejala yang sangat nyata. Nyeri bisa sangat hebat dan
biasanya makin lama makin memburuk, apalagi jika tulang yang terkena digerakkan.
Menyentuh daerah di sekitar patah tulang juga bisa menimbulkan nyeri. Alat gerak
tidak dapat berfungsi sebagaimana mestinya, sehingga penderita tidak dapat
menggerakkan lengannya, berdiri diatas satu tungkai atau menggenggam dengan
tangannya. Darah bisa merembes dari tulang yang patah (kadang dalam jumlah yang
cukup banyak) dan masuk kedalam jaringan di sekitarnya atau keluar dari luka akibat
cedera.
Adanya fraktur dapat ditandai dengan adanya:
a. Pembengkakan. Kecuali frakturnya terjadi jauh didalam seperti pada tulang leher
atau tulang paha.
b. Perubahan bentuk, dapat terjadi angulasi (terbentuk sudut), rotasi (terputar), atau
pemendekan.
c. Terdapat rasa nyeri yang sangat pada daerah fraktur.
Menurut Smeltzer dan Bare (2001), manifestasi klinis fraktur antara lain:
a. Nyeri terus menerus dan bertambah beratnya sampai fragmen tulang diimobilisasi.
b. Setelah terjadi fraktur, bagian-bagian tak dapat digunakan dan cenderung bergerak
secara tidak alamiah (gerakan luar biasa) bukannya tetap rigid seperti normalnya.
Pergeseran fragmen pada fraktur lengan atau tungkai menyebabkan deformitas
(terlihat maupun teraba) ekstremitas yang bias diketahui dengan membandingkan
dengan ekstremitas normal.
c. Pada fraktur panjang, terjadi pemendekan tulang yang sebenarnya kerena kontraksi
otot yang melekat di atas dan bawah tempat fraktur.
d. Saat ekstremitas diperiksa dengan tangan, teraba adanya derik tulang dinamakan
krepitus yang teraba akibat gesekan antara fragmen satu dengan yang lainnya.

11

e. Pembengkakan dan perubahan warna local pada kulit terjadi sebagai akibat trauma
dan perdarahan yang mengikuti fraktur.
6. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Foto rontgen biasanya bisa menunjukkan adanya patah tulang. Hal yang perlu
diingat dalam pemeriksaan roentgen adalah hasilnya harus meliputi dua sendi, dua
sisi, dan dua tulang (kanan dan kiri). Kadang perlu dilakukan CT scan atau MRI
untuk bisa melihat dengan lebih jelas daerah yang mengalami kerusakan. Jika tulang
mulai membaik, foto rontgen juga digunakan untuk memantau penyembuhan.
7. PENATALAKSANAAN
Tujuan dari pengobatan adalah untuk menempatkan ujung-ujung dari patah
tulang supaya satu sama lain saling berdekatan dan untuk menjaga agar mereka tetap
menempel sebagaimana mestinya. Proses penyembuhan memerlukan waktu minimal
4 minggu, tetapi pada usia lanjut biasanya memerlukan waktu yang lebih lama.
Setelah sembuh, tulang biasanya kuat dan kembali berfungsi.
Pada beberapa patah tulang, dilakukan pembidaian untuk membatasi pergerakan.
Dengan pengobatan ini biasanya patah tulang selangka (terutama pada anak-anak),
tulang bahu, tulang iga, jari kaki dan jari tangan, akan sembuh sempurna. Patah
tulang

lainnya

harus

benar-benar

tidak

boleh

digerakkan

(imobilisasi).

Imobilisasi bisa dilakukan melalui:


1) Pembidaian: benda keras yang ditempatkan di daerah sekeliling tulang.
2) Pemasangan gips: merupakan bahan kuat yang dibungkuskan di sekitar tulang
yang patah.
3) Penarikan (traksi): menggunakan beban untuk menahan sebuah anggota gerak
pada tempatnya. Sekarang sudah jarang digunakan, tetapi dulu pernah menjadi
pengobatan utama untuk patah tulang pinggul.
4) Fiksasi internal: dilakukan pembedahan untuk menempatkan piringan atau batang
logam pada pecahan-pecahan tulang. Merupakan pengobatan terbaik untuk patah
tulang pinggul dan patah tulang disertai komplikasi. Imobilisasi lengan atau
tungkai menyebabkan otot menjadi lemah dan menciut. Karena itu sebagian besar
penderita perlu menjalani terapi fisik. Terapi dimulai pada saat imobilisasi
dilakukan dan dilanjutkan sampai pembidaian, gips atau traksi telah dilepaskan.
Pada patah tulang tertentu (terutama patah tulang pinggul), untuk mencapai

12

penyembuhan total, penderita perlu menjalani terapi fisik selama 6-8 minggu atau
kadang lebih lama lagi.
Empat tujuan utama dari penanganan fraktur adalah:
1) Untuk menghilangkan rasa nyeri
Nyeri yang timbul pada fraktur bukan karena frakturnya sendiri, namun karena
terluka jaringan disekitar tulang yang patah tersebut. Untuk mengurangi nyeri
tersebut, dapat diberikan obat penghilang rasa nyeri dan juga dengan tehnik
imobilisasi (tidak menggerakkan daerah yang fraktur). Tehnik imobilisasi dapat
dicapai dengan cara pemasangan bidai atau gips.
2) Untuk menghasilkan dan mempertahankan posisi yang ideal dari fraktur.
Bidai dan gips tidak dapat mempertahankan posisi dalam waktu yang lama. Untuk
itu diperlukan lagi tehnik yang lebih mantap seperti pemasangan traksi kontinyu,
fiksasi eksternal, atau fiksasi internal tergantung dari jenis frakturnya sendiri.
3) Agar terjadi penyatuan tulang kembali.
Biasanya tulang yang patah akan mulai menyatu dalam waktu 4 minggu dan akan
menyatu dengan sempurna dalam waktu 6 bulan. Namun terkadang terdapat
gangguan dalam penyatuan tulang, sehingga dibutuhkan graft tulang.
4) Untuk mengembalikan fungsi seperti semula.
Imobilisasi yang lama dapat mengakibatkan mengecilnya otot dan kakunya sendi.
Maka dari itu diperlukan upaya mobilisasi secepat mungkin.
Menurut Smeltzer dan Bare (2001), prinsip-prinsip tindakan terhadap fraktur:
1. Recognisi/pengenalan
Pengenalan mengenai diagnosis pada tempat kejadian kecelakaan dan kemudian di
RS Riwayat kecelakaan, parah tidaknya, jenis kekuatan yang berperan,
menentukan kemungkinan tulang yang patah dan pemeriksaan yang spesifik untuk
frakture.
2. Reduksi (Setting Tulang)
Berarti mengembalikan fragmen tulang pada kesejajarannya dan rotasi anatomis.
Dapat dibedakan menjadi :
a.

Reduksi tertutup
Dilakukan dengan mengembalikan fragmen tulang ke posisinya (ujungujungnya saling berhubungan) dengan manipulasi traksi manual (ex: gibs).

13

b.

Traksi
Digunakan untuk mendapatkan efek reduksi dan imobilisasi beratnya traksi
idisesuaikan dengan spasme otot yang terjadi.

c.

Reduksi terbuka
Dengan pendekatan bedah, fragmen tulang direduksi. Alat fikasi interna dalam
bentuk pin, kawat, sekrup, plat paku atau batangan logam digunakan sampai
penyembuhan tulang terjadi.

3. Imobilisasi Fraktur
Sebuah direduksi, fragmen tulang harus diimobilisasi (dipertahankan dalam posisi
dan kesejajaran dapat dilakukan dengan metode fiksasi eksterna dan interna.
Metode fixasu eksterna : pembalutan, gibs, bidai, traksi, kontinu (dengan plester
felt pada kulit), pin fiksator eksterna. Metode fikasi interna : inplant logam
4. Restorasi (Pemulihan Fungsi) dan Rehabilitasi
Segala upaya diarahkan pada penyembuhan tulang dan otot. Dapat dilakukan
dengan: Latihan isometrik dan setting otot: untuk meminimalkan atropi disease
dan meningkatkan peredaran darah. Fiksasi interna memungkinkan mobilisasi
lebih awal. Partisipasi dalam aktivitas hidup sehari-hari untuk memperbaiki
kemandirian fungsi dan harga diri. Periode ini dimudahkan dengan bantuan
fisioterapi.
8. KOMPLIKASI
1) Komplikasi Awal
a. Kerusakan Arteri
Pecahnya arteri karena trauma bisa ditandai dengan tidak adanya nadi, CRT
menurun, cyanosis bagian distal, hematoma yang lebar, dan dingin pada
ekstrimitas yang disebabkan oleh tindakan emergensi splinting, perubahan
posisi pada yang sakit, tindakan reduksi, dan pembedahan
b. Kompartement Syndrom
Syndrome kompartemen merupakan suatu kondisi dimana terjadi
peningkatan tekanan interstitial dalam sebuah ruangan terbatas yakni
kompartemen

osteofasial

yang

tertutup.

Sehingga

mengakibatkan

berkurangnya perfusi jaringan dan tekanan oksigen jaringan. Gejala utama


dari sindrom kompartemen adalah rasa sakit yang bertambah parah
14

terutama pada pergerakan pasif dan nyeri tersebut tidak hilang oleh
narkotik. Tanda lain adalah terjadinya paralysis, dan berkurangnnya denyut
nadi.
c. Fat Embolism Syndrom
Fat Embolism Syndrom (FES) adalah komplikasi serius yang sering terjadi
pada kasus fraktur tulang panjang. FES terjadi karena sel-sel lemak yang
dihasilkan bone marrow kuning masuk ke aliran darah dan menyebabkan
tingkat oksigen dalam darah rendah yang ditandai dengan gangguan
pernafasan, tachykardi, hypertensi, tachypnea, demam. Serangan biasanya
2-3 hari setelah cedera.
d. Infeksi
Sistem pertahanan tubuh rusak bila ada trauma pada jaringan. Pada trauma
orthopedic infeksi dimulai pada kulit (superficial) dan masuk ke dalam. Ini
biasanya terjadi pada kasus fraktur terbuka, tapi bisa juga karena
penggunaan bahan lain dalam pembedahan seperti pin dan plat.
e. Avaskuler Nekrosi
Avaskuler Nekrosis (AVN) terjadi karena aliran darah ke tulang rusak atau
terganggu yang bisa menyebabkan nekrosis tulang dan diawali dengan
adanya Volkmans Ischemia.
f. Syok
Syok terjadi karena kehilangan banyak darah dan meningkatnya
permeabilitas kapiler yang bisa menyebabkan menurunnya oksigenasi. Ini
biasanya terjadi pada fraktur.
2) Komplikasi Dalam Waktu Lama
a. Delayed Union dan nonunion
` Sambungan tulang yang terlambat dan tulang patah yang tidak
menyambung kembali. Delayed union adalah proses penyembuhan yang
terus berjalan tetapi dnegan kecepatan yang lebih lambat dari keadaan
normal. Nonunion dari tulang yang telah patah dapat menajdi komplikasi
yang membahayakan Banyak keadaan yang menjadi predisposisi dari
nonunion seperti reduksi yang tidak benar akan menyebabkan bagianbagian tulang yang patah tetap tidak menyatu, imobilisasi yang kurang
tepat baik cara terbuka maupun tertutup.
b. Malunion

15

Malunion adalah suatu keadaan dimana tulang yang patah telah sembuh
dalam posisi yang tidak seharusnya, membentuk sudut, atau miring.
Contoh yang khas adalah patah tulang paha yang dirawat dengan traksi,
dan kemudian diberi gips untuk imobilisasi dimana kemungkinan gerakan
untuk rotasi dari fragmen-fragmen tulang yang patah kurang diperhatikan.
Akibatnya sesudah gips dibuang ternyata anggota tubuh bagian distal
memutar ke dalam atau ke luar, dan penderita tidak dapat mempertahankan
posisi tubuhnya dalam posisi netral.
9. PENYEMBUHAN
Secara rinci proses penyembuhan fraktur dapat dibagi dalam beberapa tahap
sebagai berikut:
1) Fase hematoma
Tiap fraktur biasanya disertai putusnya pembuluh darah sehingga terdapat
penimbunan darah di sekitar fraktur. Pembuluh darah robek dan membentuk
hematoma disekitar daerah fraktur. Hematoma ini disertai dengan pembengkakan
jaringan lunak. Sel-sel darah membentuk fibrin guna melindungi tulang yang rusak
dan sebagai tempat tumbuhnya kapiler baru dan fibroblast.Pada ujung tulang yang
patah terjadi iskemia sampai beberapa milimeter dari garis patahan yang
mengakibatkan matinya osteosit pada daerah fraktur tersebut. Stadium ini
berlangsung 24 48 jam.
2) Fase proliferative
Pada stadium ini terjadi proliferasi dan differensiasi sel-sel periosteal dan
endoosteal menjadi fibro kartilago yang berasal dari periosteum,`endosteum,dan
bone marrow yang telah mengalami trauma. Kemudian, hematoma akan terdesak
oleh proliferasi ini dan diabsorbsi oleh tubuh. Sel-sel yang mengalami proliferasi
ini terus masuk ke dalam lapisan yang lebih dalam dan di sanalah osteoblast
beregenerasi dan terjadi proses osteogenesis. Bersamaan dengan aktivitas sel-sel
sub periosteal maka terjadi aktifitas sel-sel dari kanalis medularis dari lapisan
endosteum dan dari bone marrow masing-masing fragmen. Proses dari periosteum
dan kanalis medularis dari masing-masing fragmen bertemu dalam satu preses
yang sama, proses terus berlangsung kedalam dan keluar dari tulang tersebut
sehingga menjembatani permukaan fraktur satu sama lain. Pada saat ini mungkin

16

tampak di beberapa tempat pulau-pulau kartilago, yang mungkin banyak


sekali,walaupun adanya kartilago ini tidak mutlak dalam penyembuhan tulang.
Dalam beberapa hari terbentuklah tulang baru yang menggabungkan kedua
fragmen tulang yang patah. Pada fase ini sudah terjadi pengendapan kalsium. Fase
ini berlangsung selama 8 jam setelah fraktur sampai selesai, tergantung frakturnya.
3) Fase pembentukan callus
Pada fase ini terbentuk fibrous callus dan disini tulang menjadi osteoporotik akibat
resorbsi kalsium untuk penyembuhan. Selsel yang berkembang memiliki potensi
yang kondrogenik dan osteogenik mulai membentuk tulang dan juga kartilago.
Populasi sel ini dipengaruhi oleh kegiatan osteoblast dan osteoklast yang mulai
berfungsi dengan mengabsorbsi sel-sel tulang yang mati. Sel-sel osteoblas
mengeluarkan matriks intra selluler yang terdiri dari kolagen dan polisakarida,
yang segera bersatu dengan garam-garam kalsium, membentuk tulang immature
atau young callus. Massa sel yang tebal dengan tulang yang imatur dan kartilago,
membentuk kallus atau bebat pada permukaan endosteal dan periosteal makapada
akhir stadium akan terdapat dua macam callus yaitu didalam disebut internal callus
dan diluar disebut external callus. Sementara tulang yang imatur (anyaman tulang )
menjadi lebih padat sehingga gerakan pada tempat fraktur berkurang pada 4
minggu setelah fraktur menyatu.
4) Fase konsolidasi
Pada fase ini callus yang terbentuk mengalami maturisasi lebih lanjut oleh
aktivitas osteoblas, callus menjadi tulang yang lebih dewasa (mature) dengan
pembentukan lamela-lamela. Pada setadium ini sebenarnya proses penyembuhan
sudah lengkap. Pada fase ini terjadi pergantian fibrous callus menjadi primary
callus. Fase ini terjadi sesudah empat minggu, namun pada umur-umur lebih
mudah lebih cepat. Secara berangsur-angsur primary bone callus diresorbsi dan
diganti dengan second bone callus yang sudah mirip dengan jaringan tulang yang
normal. Ini adalah proses yang lambat dan mungkin perlu beberapa bulan sebelum
tulang kuat untuk membawa beban yang normal.
5) Fase remodeling
Pada fase ini secondary bone callus sudah ditimbuni dengan kalsium yang banyak
dan tulang sudah terbentuk dengan baik, serta terjadi pembentukan kembali dari

17

medula tulang. Apabila union sudah lengkap, tulang baru yang terbentuk pada
umumnya berlebihan, mengelilingi daerah fraktur di luar maupun di dalam kanal,
sehingga dapat membentuk kanal medularis. Dengan mengikuti stress/tekanan dan
tarik mekanis, misalnya gerakan, kontraksi otot dan sebagainya, maka callus yang
sudah mature secara pelan-pelan terhisap kembali dengan kecepatan yang konstan
sehingga terbentuk tulang yang sesuai dengan aslinya.
Penyembuhan fraktur berkisar antara 3 minggu sampai 4 bulan. Perkiraan
penyembuhan fraktur pada orang dewasa berdasarkan lokalisasi fraktur adalah
sebagai berikut: Falang/metacarpal/metatarsal/kosta: 3-6 minggu, Distal radius: 6
minggu, Diafisis ulna dan radius: 12 minggu, Humerus: 10-12 minggu, Klavikula: 6
minggu, Panggul: 10-12 minggu, Femur: 12-16 minggu, Kondilus femur atau tibia: 810 minggu, Tibia/fibula: 12-16 minggu, Vertebra: 12 minggu.
Menurut Smeltzer dan Bare (2001), Faktor-faktor yang mempercepat
penyembuhan fraktur antara lain: Imobilisasi fragmen tulang, Kontak fragmen tulang
maksimal, Asupan darah yang memadai, Nutrisi yang baik, Latihan pembebanan
berat badan untuk tulang panjang, Hormone-hormon pertumbuhan, tiroid, kalsitonin,
vitamin D, steroid anabolic, Potensial listrik pada patahan tulang
Sedangkan faktor-faktor yang menghambat penyembuhan tulang anatara lain:
Trauma local ekstensif, Kehilangan tulang, Imobilisasi tak memadai, Rongga atau
jaringan di antara fragmen tulang, Infeksi, Keganasan local, Penyakit tulang
metabolic (misalnya penyakit paget), Radiasi tulang (nekrosis radiasi), Nekrosis
avaskuler, Fraktur intraartikuler (cairan synovial mengandung fibrolisin, yang akan
melisis bekuan darah awal dan memperlambat pembentukan jendalan), Usia (lansia
sembuh lebih lama), Kortikosteroid (menghambat kecepatan perbaikan).

18

10. PATHWAY

KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN

19

1.

Pengkajian
Pengkajian merupakan tahap awal dan landasan dalam proses keperawatan,

untuk itu diperlukan kecermatan dan ketelitian tentang masalah-masalah klien


sehingga dapat memberikan arah terhadap tindakan keperawatan. Keberhasilan proses
keperawatan sangat bergantuang pada tahap ini. Tahap ini terbagi atas:
a. Pengumpulan Data
1)

Anamnesa

a) Identitas Klien Meliputi nama, jenis kelamin, umur, alamat, agama, bahasa
yang dipakai, status perkawinan, pendidikan, pekerjaan, asuransi, golongan
darah, no. register, tanggal MRS, diagnosa medis.
b) Keluhan Utama
Pada umumnya keluhan utama pada kasus fraktur adalah rasa nyeri. Nyeri
tersebut bisa akut atau kronik tergantung dan lamanya serangan. Untuk
memperoleh pengkajian yang lengkap tentang rasa nyeri klien digunakan:
(1)

Provoking Incident: apakah ada peristiwa yang menjadi


yang menjadi faktor presipitasi nyeri.

(2)

Quality of Pain: seperti apa rasa nyeri yang dirasakan atau


digambarkan klien. Apakah seperti terbakar, berdenyut, atau menusuk.

(3)

Region : radiation, relief: apakah rasa sakit bisa reda,


apakah rasa sakit menjalar atau menyebar, dan dimana rasa sakit
terjadi.

(4)

Severity (Scale) of Pain: seberapa jauh rasa nyeri yang


dirasakan klien, bisa berdasarkan skala nyeri atau klien menerangkan
seberapa jauh rasa sakit mempengaruhi kemampuan fungsinya.

(5)

Time: berapa lama nyeri berlangsung, kapan, apakah


bertambah buruk pada malam hari atau siang hari.

c)

Riwayat Penyakit Sekarang


Pengumpulan data yang dilakukan untuk menentukan sebab dari fraktur,
yang nantinya membantu dalam membuat rencana tindakan terhadap klien.
Ini bisa berupa kronologi terjadinya penyakit tersebut sehingga nantinya

20

bisa ditentukan kekuatan yang terjadi dan bagian tubuh mana yang terkena.
Selain itu, dengan mengetahui mekanisme terjadinya kecelakaan bisa
diketahui luka kecelakaan yang lain (Ignatavicius, Donna D, 1995).
d)

Riwayat Penyakit Dahulu


Pada pengkajian ini ditemukan kemungkinan penyebab fraktur dan
memberi petunjuk berapa lama tulang tersebut akan menyambung.
Penyakit-penyakit tertentu seperti kanker tulang dan penyakit pagets yang
menyebabkan fraktur patologis yang sering sulit untuk menyambung.
Selain itu, penyakit diabetes dengan luka di kaki sanagt beresiko terjadinya
osteomyelitis akut maupun kronik dan juga diabetes menghambat proses
penyembuhan tulang.

e)

Riwayat Penyakit Keluarga


Penyakit keluarga yang berhubungan dengan penyakit tulang merupakan
salah satu faktor predisposisi terjadinya fraktur, seperti diabetes,
osteoporosis yang sering terjadi pada beberapa keturunan, dan kanker
tulang yang cenderung diturunkan secara genetik (Ignatavicius, Donna D,
1995).

f)

Riwayat Psikososial
Merupakan respons emosi klien terhadap penyakit yang dideritanya dan
peran klien dalam keluarga dan masyarakat serta respon atau pengaruhnya
dalam kehidupan sehari-harinya baik dalam keluarga ataupun dalam
masyarakat (Ignatavicius, Donna D, 1995).

g)

Pola-Pola Fungsi Kesehatan


(1) Pola Persepsi dan Tata Laksana Hidup Sehat
Pada kasus fraktur akan timbul ketidakutan akan terjadinya kecacatan
pada dirinya dan harus menjalani penatalaksanaan kesehatan untuk
membantu penyembuhan tulangnya. Selain itu, pengkajian juga
meliputi kebiasaan hidup klien seperti penggunaan obat steroid yang
dapat mengganggu metabolisme kalsium, pengkonsumsian alkohol

21

yang bisa mengganggu keseimbangannya dan apakah klien melakukan


olahraga atau tidak.(Ignatavicius, Donna D,1995).
(2) Pola Nutrisi dan Metabolisme
Pada klien fraktur harus mengkonsumsi nutrisi melebihi kebutuhan
sehari-harinya seperti kalsium, zat besi, protein, vit. C dan lainnya
untuk membantu proses penyembuhan tulang. Evaluasi terhadap pola
nutrisi

klien

bisa

membantu

menentukan

penyebab

masalah

muskuloskeletal dan mengantisipasi komplikasi dari nutrisi yang tidak


adekuat terutama kalsium atau protein dan terpapar sinar matahari
yang kurang merupakan faktor predisposisi masalah muskuloskeletal
terutama pada lansia. Selain itu juga obesitas juga menghambat
degenerasi dan mobilitas klien.
(3) Pola Eliminasi
Untuk kasus fraktur humerus tidak ada gangguan pada pola eliminasi,
tapi walaupun begitu perlu juga dikaji frekuensi, konsistensi, warna
serta bau feces pada pola eliminasi alvi. Sedangkan pada pola
eliminasi uri dikaji frekuensi, kepekatannya, warna, bau, dan jumlah.
Pada kedua pola ini juga dikaji ada kesulitan atau tidak.
(4) Pola Tidur dan Istirahat
Semua klien fraktur timbul rasa nyeri, keterbatasan gerak, sehingga hal
ini dapat mengganggu pola dan kebutuhan tidur klien. Selain itu juga,
pengkajian dilaksanakan pada lamanya tidur, suasana lingkungan,
kebiasaan tidur, dan kesulitan tidur serta penggunaan obat tidur
(Doengos. Marilynn E, 2002).
(5) Pola Aktivitas
Karena timbulnya nyeri, keterbatasan gerak, maka semua bentuk
kegiatan klien menjadi berkurang dan kebutuhan klien perlu banyak
dibantu oleh orang lain. Hal lain yang perlu dikaji adalah bentuk
aktivitas klien terutama pekerjaan klien. Karena ada beberapa bentuk

22

pekerjaan beresiko untuk terjadinya fraktur dibanding pekerjaan yang


lain (Ignatavicius, Donna D, 1995).
(6) Pola Hubungan dan Peran
Klien akan kehilangan peran dalam keluarga dan dalam masyarakat.
Karena klien harus menjalani rawat inap

(Ignatavicius, Donna D,

1995).
(7) Pola Persepsi dan Konsep Diri
Dampak yang timbul pada klien fraktur yaitu timbul ketidakutan akan
kecacatan akibat frakturnya, rasa cemas, rasa ketidakmampuan untuk
melakukan aktivitas secara optimal, dan pandangan terhadap dirinya
yang salah (gangguan body image) (Ignatavicius, Donna D, 1995).
(8) Pola Sensori dan Kognitif
Pada klien fraktur daya rabanya berkurang terutama pada bagian distal
fraktur, sedang pada indera yang lain tidak timbul gangguan. begitu
juga pada kognitifnya tidak mengalami gangguan. Selain itu juga,
timbul rasa nyeri akibat fraktur (Ignatavicius, Donna D, 1995).
(9) Pola Reproduksi Seksual
Dampak pada klien fraktur yaitu, klien tidak bisa melakukan hubungan
seksual karena harus menjalani rawat inap dan keterbatasan gerak serta
rasa nyeri yang dialami klien. Selain itu juga, perlu dikaji status
perkawinannya

termasuk

jumlah

anak,

lama

perkawinannya

(Ignatavicius, Donna D, 1995).


10) Pola Penanggulangan Stress
Pada klien fraktur timbul rasa cemas tentang keadaan dirinya, yaitu
ketidakutan timbul kecacatan pada diri dan fungsi tubuhnya.
Mekanisme koping yang ditempuh klien bisa tidak efektif.
11) Pola Tata Nilai dan Keyakinan
Untuk klien fraktur tidak dapat melaksanakan kebutuhan beribadah
dengan baik terutama frekuensi dan konsentrasi. Hal ini bisa
disebabkan karena nyeri dan keterbatasan gerak klien

23

2)

Pemeriksaan Fisik

Dibagi menjadi dua, yaitu pemeriksaan umum (status generalisata) untuk


mendapatkan gambaran umum dan pemeriksaan setempat (lokalis). Hal ini
perlu untuk dapat melaksanakan total care karena ada kecenderungan dimana
spesialisasi hanya memperlihatkan daerah yang lebih sempit tetapi lebih
mendalam.
a)

Gambaran Umum
(a) Keadaan umum: baik atau buruknya yang dicatat adalah tandatanda, seperti: Kesadaran penderita: apatis, sopor, koma, gelisah,
komposmentis tergantung pada keadaan klien. Kesakitan, keadaan
penyakit: akut, kronik, ringan, sedang, berat dan pada kasus fraktur
biasanya akut. Tanda-tanda vital tidak normal karena ada gangguan
baik fungsi maupun bentuk.

Secara sistemik dari kepala sampai kelamin: Sistem Integumen; Terdapat


erytema, suhu sekitar daerah trauma meningkat, bengkak, oedema, nyeri tekan.
Kepala; Tidak ada gangguan yaitu, normo cephalik, simetris, tidak ada penonjolan,
tidak ada nyeri kepala. Leher; Tidak ada gangguan yaitu simetris, tidak ada
penonjolan, reflek menelan ada. Muka; Wajah terlihat menahan sakit, lain-lain tidak
ada perubahan fungsi maupun bentuk. Tak ada lesi, simetris, tak oedema. Mata;
Tidak ada gangguan seperti konjungtiva tidak anemis (karena tidak terjadi
perdarahan); Telinga; Tes bisik atau weber masih dalam keadaan normal. Tidak ada
lesi atau nyeri tekan. Hidung; Tidak ada deformitas, tak ada pernafasan cuping
hidung. Mulut dan Faring; Tak ada pembesaran tonsil, gusi tidak terjadi perdarahan,
mukosa mulut tidak pucat. Thoraks; Tak ada pergerakan otot intercostae, gerakan
dada simetris. Paru; Inspeksi (Pernafasan meningkat, reguler atau tidaknya
tergantung pada riwayat penyakit klien yang berhubungan dengan paru). Palpasi
(Pergerakan sama atau simetris, fermitus raba sama). Perkusi (Suara ketok sonor, tak
ada erdup atau suara tambahan lainnya). Auskultasi (Suara nafas normal, tak ada
wheezing, atau suara tambahan lainnya seperti stridor dan ronchi). Jantung; Inspeksi

24

Tidak tampak iktus jantung. Palpasi Nadi meningkat, iktus tidak teraba. Auskultasi
Suara S1 dan S2 tunggal, tak ada mur-mur. Abdomen; Inspeksi Bentuk datar,
simetris, tidak ada hernia. Palpasi Tugor baik, tidak ada defands muskuler, hepar
tidak teraba. Perkusi Suara thympani, ada pantulan gelombang cairan. Auskultasi
Peristaltik usus normal 20 kali/menit. Inguinal-Genetalia-Anus; Tak ada hernia,
tak ada pembesaran lymphe, tak ada kesulitan BAB. Keadaan Lokal; Harus
diperhitungkan keadaan proksimal serta bagian distal terutama mengenai status
neurovaskuler (untuk status neurovaskuler 5 P yaitu Pain, Palor, Parestesia,
Pulse, Pergerakan). Pemeriksaan pada sistem muskuloskeletal adalah: Look
(inspeksi) Perhatikan apa yang dapat dilihat antara lain: Cicatriks (jaringan parut baik
yang alami maupun buatan seperti bekas operasi). Cape au lait spot (birth mark).
Fistulae. Warna kemerahan atau kebiruan (livide) atau hyperpigmentasi. Benjolan,
pembengkakan, atau cekungan dengan hal-hal yang tidak biasa (abnormal). Posisi
dan bentuk dari ekstrimitas (deformitas). Posisi jalan (gait, waktu masuk ke kamar
periksa). Feel (palpasi) Pada waktu akan palpasi, terlebih dahulu posisi penderita
diperbaiki mulai dari posisi netral (posisi anatomi). Pada dasarnya ini merupakan
pemeriksaan yang memberikan informasi dua arah, baik pemeriksa maupun klien.
Yang perlu dicatat adalah: Perubahan suhu disekitar trauma (hangat) dan kelembaban
kulit. Capillary refill time Normal 3 5 , Apabila ada pembengkakan, apakah
terdapat fluktuasi atau oedema terutama disekitar persendian. Nyeri tekan
(tenderness), krepitasi, catat letak kelainan (1/3 proksimal, tengah, atau distal). Otot:
tonus pada waktu relaksasi atau konttraksi, benjolan yang terdapat di permukaan atau
melekat pada tulang. Selain itu juga diperiksa status neurovaskuler. Apabila ada
benjolan, maka sifat benjolan perlu dideskripsikan permukaannya, konsistensinya,
pergerakan terhadap dasar atau permukaannya, nyeri atau tidak, dan ukurannya.
Move (pergerakan terutama lingkup gerak); Setelah melakukan pemeriksaan feel,
kemudian diteruskan dengan menggerakan ekstrimitas dan dicatat apakah terdapat
keluhan nyeri pada pergerakan. Pencatatan lingkup gerak ini perlu, agar dapat
mengevaluasi keadaan sebelum dan sesudahnya. Gerakan sendi dicatat dengan
ukuran derajat, dari tiap arah pergerakan mulai dari titik 0 (posisi netral) atau dalam
25

ukuran metrik. Pemeriksaan ini menentukan apakah ada gangguan gerak (mobilitas)
atau tidak. Pergerakan yang dilihat adalah gerakan aktif dan pasif (Reksoprodjo,
Soelarto, 1995).
3)

Pemeriksaan Diagnostik
a)

Pemeriksaan Radiologi
Sebagai penunjang, pemeriksaan yang penting adalah pencitraan
menggunakan sinar rontgen (x-ray). Untuk mendapatkan gambaran 3
dimensi keadaan dan kedudukan tulang yang sulit, maka diperlukan 2
proyeksi yaitu AP atau PA dan lateral. Dalam keadaan tertentu diperlukan
proyeksi tambahan (khusus) ada indikasi untuk memperlihatkan pathologi
yang dicari karena adanya superposisi. Perlu disadari bahwa permintaan xray harus atas dasar indikasi

kegunaan pemeriksaan penunjang dan

hasilnya dibaca sesuai dengan permintaan. Hal yang harus dibaca pada xray:
1. Bayangan jaringan lunak.
2. Tipis tebalnya korteks sebagai akibat reaksi periosteum atau biomekanik
atau juga rotasi.
3. Trobukulasi ada tidaknya rare fraction.
4. Sela sendi serta bentuknya arsitektur sendi.
Selain foto polos x-ray (plane x-ray) mungkin perlu tehnik khususnya
seperti:
a.

Tomografi: menggambarkan tidak satu struktur


saja tapi struktur yang lain tertutup yang sulit divisualisasi. Pada kasus
ini ditemukan kerusakan struktur yang kompleks dimana tidak pada satu
struktur saja tapi pada struktur lain juga mengalaminya.

b.

Myelografi:

menggambarkan

cabang-cabang

saraf spinal dan pembuluh darah di ruang tulang vertebrae yang


mengalami kerusakan akibat trauma.
c.

Arthrografi: menggambarkan jaringan-jaringan


ikat yang rusak karena ruda paksa.

26

d.

Computed

Tomografi-Scanning:

menggambarkan potongan secara transversal dari tulang dimana


didapatkan suatu struktur tulang yang rusak.
b)

Pemeriksaan Laboratorium
(1)

Kalsium Serum dan Fosfor Serum meningkat pada


tahap penyembuhan tulang.

(2)

Alkalin Fosfat meningkat pada kerusakan tulang dan


menunjukkan kegiatan osteoblastik dalam membentuk tulang.

(3)

Enzim

otot

seperti

Kreatinin

Kinase,

Laktat

Dehidrogenase (LDH-5), Aspartat Amino Transferase (AST), Aldolase


yang meningkat pada tahap penyembuhan tulang.
c)

Pemeriksaan lain-lain
(1)

Pemeriksaan mikroorganisme kultur dan test sensitivitas: didapatkan


mikroorganisme penyebab infeksi.

(2)

Biopsi tulang dan otot: pada intinya pemeriksaan ini sama dengan
pemeriksaan diatas tapi lebih dindikasikan bila terjadi infeksi.

(3)

Elektromyografi: terdapat kerusakan konduksi saraf yang diakibatkan


fraktur.

(4)

Arthroscopy: didapatkan jaringan ikat yang rusak atau sobek karena


trauma yang berlebihan.

(5)

Indium Imaging: pada pemeriksaan ini didapatkan adanya infeksi pada


tulang.

(6) MRI: menggambarkan semua kerusakan akibat fraktur.


(Ignatavicius, Donna D, 1995)
2.

Diagnosa Keperawatan
Adapun diagnosa keperawatan yang lazim dijumpai pada klien fraktur adalah

sebagai berikut:
1. Nyeri akut berhubungan dengan spasme otot, gerakan fragmen tulang, edema,
cedera jaringan lunak, pemasangan traksi

27

2. Risiko disfungsi neuromuscular perifer berhubungan dengan penurunan aliran


darah (cedera vascular, edema, pembentukan trombus)
3. Gangguan mobilitas fisik berhubungan dengan kerusakan neuromuscular, terapi
restriktif
4. Gangguan integritas kulit berhubungan dengan fraktur terbyka, pemasangan traksi
(pen, kawat, sekrup)
5. Risiko infeksi berhubungan dengan ketidakadekuatan pertahanan primer
(kerusakan kulit, trauma jaringan lunak, prosedur invasive/traksi tulang)
6. Kurang pengetahuan tentang kondisi, prognosis dan kebutuhan pengobatan
berhubungan dengan kurang terpajan, salah interpretasi terhadap informasi,
keterbatasan kognitif (Dongoes, 2000)
3.

Intervensi Keperawatan
a.

Nyeri akut b/d spasme otot, gerakan fragmen tulang, edema,


cedera jaringan lunak, pemasangan traksi, stress/ansietas.
Tujuan: Klien mengataka nyeri berkurang atau hilang dengan menunjukkan
tindakan santai, mampu berpartisipasi dalam beraktivitas, tidur, istirahat dengan
tepat, menunjukkan penggunaan keterampilan relaksasi dan aktivitas trapeutik
sesuai indikasi untuk situasi individual

INTERVENSI KEPERAWATAN
RASIONAL
1. Pertahankan imobilasasi bagian a. Mengurangi nyeri dan mencegah
yang sakit dengan tirah baring,

malformasi.

gips, bebat dan atau traksi


2. Tinggikan posisi ekstremitas yang b. Meningkatkan aliran balik vena,
terkena.
3. Lakukan dan awasi latihan gerak

meningkatkan sirkulasi vaskuler.


d. Meningkatkan sirkulasi umum,

pasif/aktif.
4. Lakukan

tindakan

meningkatkan

untuk

kenyamanan

(masase, perubahan posisi)


5. Ajarkan

mengurangi edema/nyeri.
c. Mempertahankan kekuatan otot dan

penggunaan

menurunakan area tekanan lokal


dan kelelahan otot.
e. Mengalihkan perhatian terhadap

teknik

nyeri, meningkatkan kontrol

manajemen nyeri (latihan napas

terhadap nyeri yang mungkin

28

dalam, imajinasi visual, aktivitas


dipersional)
6. Lakukan kompres dingin selama

berlangsung lama.
f. Menurunkan edema dan
mengurangi rasa nyeri.
g. Menurunkan nyeri melalui

fase akut (24-48 jam pertama)

mekanisme penghambatan

sesuai keperluan.

rangsang nyeri baik secara sentral

7. Kolaborasi pemberian analgetik


sesuai indikasi.

maupun perifer.
h. Menilai perkembangan masalah
klien.

8. Evaluasi keluhan nyeri (skala,


petunjuk verbal dan non verval,
b.

perubahan tanda-tanda vital)


Risiko disfungsi neurovaskuler perifer b/d penurunan aliran
darah (cedera vaskuler, edema, pembentukan trombus)
Tujuan

: Klien akan menunjukkan fungsi neurovaskuler baik dengan kriteria

akral hangat, tidak pucat dan syanosis, bisa bergerak secara aktif
INTERVENSI KEPERAWATAN

RASIONAL

1. Dorong klien untuk secara rutin a. Meningkatkan sirkulasi darah dan


melakukan latihan menggerakkan
jari/sendi distal cedera.
2. Hindarkan

restriksi

b. Mencegah stasis vena dan sebagai


sirkulasi

akibat tekanan bebat/spalk yang


terlalu ketat.
3. Pertahankan

letak

mencegah kekakuan sendi.

petunjuk

perlunya

penyesuaian

keketatan bebat/spalk.
c. Meningkatkan drainase vena dan

tinggi

menurunkan edema kecuali pada

ekstremitas yang cedera kecuali

adanya keadaan hambatan aliran

ada

arteri

kontraindikasi

adanya

sindroma kompartemen.
4. Berikan

obat

menyebabkan

penurunan perfusi.
d. Mungkin diberikan sebagai upaya
profilaktik

antikoagulan

(warfarin) bila diperlukan.

yang

trombus vena.
e. Mengevaluasi

29

untuk

menurunkan
perkembangan

5. Pantau kualitas nadi perifer, aliran


kapiler,

warna

kulit

masalah

dan

klien

dan

perlunya

intervensi sesuai keadaan klien.

kehangatan kulit distal cedera,


bandingkan

dengan

sisi

yang

normal.

c.

Gangguan mobilitas fisik b/d kerusakan rangka neuromuskuler,


nyeri, terapi restriktif (imobilisasi)
Tujuan
paling

: Klien dapat meningkatkan/mempertahankan mobilitas pada tingkat


tinggi

yang

mungkin

dapat

mempertahankan

posisi

fungsional

meningkatkan kekuatan/fungsi yang sakit dan mengkompensasi bagian tubuh


menunjukkan tekhnik yang memampukan melakukan aktivitas
INTERVENSI KEPERAWATAN

RASIONAL

1. Pertahankan pelaksanaan aktivitas a. Memfokuskan


rekreasi terapeutik (radio, koran,

meningkatakan

kunjungan teman/keluarga) sesuai

diri/harga

keadaan klien.
2. Bantu latihan rentang gerak pasif

perhatian,
rasa
diri,

kontrol
membantu

menurunkan isolasi sosial.


b. Meningkatkan sirkulasi

darah

muskuloskeletal, mempertahankan

aktif pada ekstremitas yang sakit

tonus otot, mempertahakan gerak

maupun yang sehat sesuai keadaan

sendi, mencegah kontraktur/atrofi

klien.

dan mencegah reabsorbsi kalsium


karena imobilisasi.
c. Mempertahankan posis fungsional
3. Berikan papan penyangga kaki,

ekstremitas.
gulungan trokanter/tangan sesuai d. Meningkatkan kemandirian klien
indikasi.

dalam

4. Bantu dan dorong perawatan diri


(kebersihan/eliminasi)

sesuai

perawatan

diri

sesuai

kondisi keterbatasan klien.


e. Menurunkan insiden komplikasi

30

keadaan klien.

kulit dan pernapasan (dekubitus,

5. Ubah posisi secara periodik sesuai


keadaan klien.

atelektasis, penumonia)
f. Mempertahankan hidrasi adekuat,
men-cegah komplikasi urinarius

6. Dorong/pertahankan asupan cairan

dan konstipasi.
g. Kalori dan protein yang cukup

2000-3000 ml/hari.

diperlukan

7. Berikan diet TKTP.

untuk

penyembuhan
pertahankan

tubuh.
8. Kolaborasi pelaksanaan fisioterapi h. Kerjasama
sesuai indikasi.

dan

mem-

fungsi
dengan

fisiologis
fisioterapis

perlu untuk menyusun program

9. Evaluasi kemampuan mobilisasi

aktivitas fisik secara individual.


i. Menilai perkembangan masalah
klien.

klien dan program imobilisasi.


d.

proses

Gangguan integritas kulit b/d fraktur terbuka, pemasangan traksi


(pen, kawat, sekrup)
Tujuan

: Klien menyatakan ketidaknyamanan hilang, menunjukkan perilaku

tekhnik untuk mencegah kerusakan kulit/memudahkan penyembuhan sesuai


indikasi, mencapai penyembuhan luka sesuai waktu/penyembuhan lesi terjadi
INTERVENSI KEPERAWATAN
1. Pertahankan tempat tidur yang
nyaman
bersih,

dan
alat

aman
tenun

RASIONAL
a. Menurunkan

(kering,

risiko

kerusakan/abrasi kulit yang lebih

kencang,

luas.

bantalan bawah siku, tumit).


2.

Masase kulit terutama daerah

b. Meningkatkan

sirkulasi

perifer

penonjolan tulang dan area distal

dan meningkatkan kelemasan kulit

bebat/gips.

dan otot terhadap tekanan yang

3.

Lindungi kulit dan gips pada

relatif konstan pada imobilisasi.


c. Mencegah gangguan integritas

31

daerah perianal
4.

Observasi

kulit
keadaan

kulit,

penekanan gips/bebat terhadap

Risiko

infeksi

jaringan

akibat

kontaminasi fekal.
d. Menilai perkembangan masalah
klien.

kulit, insersi pen/traksi.


e.

dan

b/d

ketidakadekuatan

pertahanan

primer

(kerusakan kulit, taruma jaringan lunak, prosedur invasif/traksi tulang


Tujuan

: Klien mencapai penyembuhan luka sesuai waktu, bebas drainase

purulen atau eritema dan demam


INTERVENSI KEPERAWATAN

RASIONAL

1. Lakukan perawatan pen steril dan a. Mencegah

infeksi

sekunderdan

perawatan luka sesuai protokol

mempercepat penyembuhan luka.


b. Meminimalkan kontaminasi.
2. Ajarkan
klien
untuk
c. Antibiotika spektrum luas atau
mempertahankan sterilitas insersi
spesifik dapat digunakan secara
pen.
profilaksis,
mencegah
atau
3. Kolaborasi pemberian antibiotika
mengatasi infeksi. Toksoid tetanus
dan toksoid tetanus sesuai indikasi.
untuk mencegah infeksi tetanus
d. Leukositosis biasanya terjadi pada
4. Analisa
hasil
pemeriksaan
proses infeksi, anemia dan
laboratorium
(Hitung
darah
peningkatan LED dapat terjadi
lengkap,
LED,
Kultur
dan
pada osteomielitis. Kultur untuk
sensitivitas luka/serum/tulang)
mengidentifikasi
organisme
penyebab infeksi.
e. Mengevaluasi
5.

Observasi tanda-tanda

masalah klien.

vital dan tanda-tanda peradangan


lokal pada luka.

32

perkembangan

f.

Kurang pengetahuan tentang kondisi, prognosis dan kebutuhan


pengobatan b/d kurang terpajan atau salah interpretasi terhadap informasi,
keterbatasan kognitif, kurang akurat/lengkapnya informasi yang ada.
Tujuan

: Klien akan menunjukkan pengetahuan meningkat dengan kriteria

klien mengerti dan memahami tentang penyakitnya


INTERVENSI KEPERAWATAN
1.

RASIONAL

Kaji kesiapan klien mengikuti a. Efektivitas proses pemeblajaran


program pembelajaran.

dipengaruhi oleh kesiapan fisik


dan mental klien untuk mengikuti

2.

program pembelajaran.
b. Meningkatkan partisipasi

Diskusikan metode mobilitas


dan

ambulasi

sesuai

kemandirian

program

perencanaan

terapi fisik.

klien
dan

dan
dalam

pelaksanaan

program terapi fisik.


c. Meningkatkan kewaspadaan klien
3.

Ajarkan

tanda/gejala

klinis

untuk mengenali tanda/gejala dini

yang memerluka evaluasi medik

yang memerulukan intervensi lebih

(nyeri berat, demam, perubahan

lanjut.
d. Upaya

sensasi kulit distal cedera)


4.

Persiapkan

klien

untuk

diperlukan

mengikuti terapi pembedahan bila


4.

pembedahan
untuk

mungkin
mengatasi

maslaha sesuai kondisi klien.

diperlukan.
Evaluasi
1)

Nyeri berkurang atau hilang

2)

Tidak terjadi disfungsi neurovaskuler perifer

3)

Pertukaran gas adekuat

4)

Tidak terjadi kerusakan integritas kulit

5)

Infeksi tidak terjadi

6)

Meningkatnya pemahaman klien terhadap penyakit yang


dialami

33

DAFTAR PUSTAKA
Price, Sylvia A. dan Wilson, Lorraine M. W. 2005. Patofisiologi: Konsep Klinis
Proses-Proses Penyakit, vol. 2, ed 6. Jakarta: EGC
Smeltzer, Suzanne C. dan Bare, Brenda G. 2001. Keperawatan Medikal-Bedah
Brunner and Suddart, vol 2, Ed 8. Jakarta: EGC
Carpenito (2000), Diagnosa Keperawatan-Aplikasi pada Praktik Klinis. Edisi 6.
Jakarta: EGC.
Corwin, E. J. 2009. Buku Saku Patofisiologi. Edisi Revisi 3. Jakarta: EGC.
Doenges. 2000. Rencana Asuhan Keperawatan. Edisi 3. Jakarta:EGC
Mansjoer, A., Triyanti, K., Savitri, R., Wardhani, W. I., Setiowulan, W., Tiara, A. D.,
Hamsah, A., Patmini, E., Armilasari, E.,Yunihastuti, E., Madona, F., Wahyudi,
I., Kartini, Harimurti, K., Nurbaiti, Suprohaita, Usyinara, & Azwani, W. 2000.

34

Kapita Selekta Kedokteran. Edisi 3. Jakarta: Media Aesculapius FK UI. pp:372374.


Muttaqin, Arif. 2008. Buku Ajar Asuhan Keperawatan Klien Gangguan Sistem
Muskuloskeletal. Jakarta: EGC.

35

Anda mungkin juga menyukai