Skenario 4 Ikterus
Skenario 4 Ikterus
di 04:57
Ikterus (jaundice) didefinisikan sebagai menguningnya warna kulit dan sklera akibat
akumulasi pigmen bilirubin dalam darah dan jaringan. Kadar bilirubin harus mencapai 35-40
mmol/l sebelum ikterus menimbulkan manifestasi klinik. (3)
Jaundice (berasal dari bahasa Perancis jaune artinya kuning) atau ikterus (bahasa Latin
untuk jaundice) adalah pewarnaan kuning pada kulit, sklera, dan membran mukosa oleh
deposit bilirubin (pigmen empedu kuning-oranye) pada jaringan tersebut.
Etiologi ikterus
Ikterus merupakan suatu keadaan dimana terjadi penimbunan pigmen empedu pada tubuh
menyebabkan perubahan warna jaringan menjadi kuning, terutama pada jaringan tubuh yang
banyak mengandung serabut elastin sperti aorta dan sklera (Maclachlan dan Cullen di dalam
Carlton dan McGavin 1995). Warna kuning ini disebabkan adanya akumulasi bilirubin pada
proses (hiperbilirubinemia). Adanya ikterus yang mengenai hampir seluruh organ tubuh
menunjukkan terjadinya gangguan sekresi bilirubin. Berdasarkan penyebabnya, ikterus dapat
dibedakan menjadi 3, yaitu:
1. Ikterus pre-hepatik
Ikterus jenis ini terjadi karena adanya kerusakan RBC atau intravaskular hemolisis, misalnya
pada kasus anemia hemolitik menyebabkan terjadinya pembentukan bilirubin yang berlebih.
Hemolisis dapat disebabkan oleh parasit darah, contoh: Babesia sp., dan Anaplasma
sp. Menurut Price dan Wilson (2002), bilirubin yang tidak terkonjugasi bersifat tidak larut
dalam air sehingga tidak diekskresikan dalam urin dan tidak terjadi bilirubinuria tetapi terjadi
peningkatan urobilinogen. Hal ini menyebabkan warna urin dan feses menjadi gelap. Ikterus
yang disebabkan oleh hiperbilirubinemia tak terkonjugasi bersifat ringan dan berwarna
kuning pucat. Contoh kasus pada anjing adalah kejadian Leptospirosis oleh
infeksi Leptospira grippotyphosa.
2. Ikterus hepatik
Ikterus jenis ini terjadi di dalam hati karena penurunan pengambilan dan konjugasi oleh
hepatosit sehingga gagal membentuk bilirubin terkonjugasi. Kegagalan tersebut disebabkan
rusaknya sel-sel hepatosit, hepatitis akut atau kronis dan pemakaian obat yang berpengaruh
terhadap pengambilan bilirubin oleh sel hati. Gangguan konjugasi bilirubin dapat disebabkan
karena defisiensi enzim glukoronil transferase sebagai katalisator (Price dan Wilson 2002).
Ikterus
3. Ikterus Post-Hepatik
Mekanisme terjadinya ikterus post hepatik adalah terjadinya penurunan sekresi bilirubin
terkonjugasi sehinga mengakibatkan hiperbilirubinemia terkonjugasi. Bilirubin terkonjugasi
bersifat larut di dalam air, sehingga diekskresikan ke dalam urin (bilirubinuria) melalui ginjal,
tetapi urobilinogen menjadi berkurang sehingga warna feses terlihat pucat. Faktor penyebab
gangguan sekresi bilirubin dapat berupa faktor fungsional maupun obstruksi duktus
choledocus yang disebabkan oleh cholelithiasis, infestasi parasit, tumor hati, dan inflamasi
yang mengakibatkan fibrosis.
Migrasi larva cacing melewati hati umum terjadi pada hewan domestik. Larva nematoda yang
melewati hati dapat menyebabkan inflamasi dan hepatocellular necrosis (nekrosa sel hati).
Bekas infeksi ini kemudian diganti dengan jaringan ikat fibrosa (jaringan parut) yang sering
terjadi pada kapsula hati. Cacing yang telah dewasa berpindah pada duktus empedu dan
menyebabkan cholangitis atau cholangiohepatitis yang akan berdampak pada
penyumbatan/obstruksi duktus empedu. Contoh nematoda yang menyerang hati anjing
adalah Capillaria hepatica. Cacing cestoda yang berhabitat pada sistem hepatobiliary anjing
antara lain Taenia hydatigena dan Echinococcus granulosus. Cacing trematoda yang
berhabitat di duktus empedu anjing meliputi Dicrocoelium dendriticum, Ophisthorcis
KLASIFIKASI
Gambar 3 berisi daftar skema bagi klasifikasi umum jaundice: pre-hepatik, hepatik dan posthepatik. Jaundice obstruktif selalu ditunjuk sebagai post-hepatik sejak defeknya terletak pada
jalur metabolisme bilirubin melewati hepatosit. Bentuk lain jaundice ditunjuk sebagai
jaundice non-obstruktif. Bentuk ini akibat defek hepatosit (jaundice hepatik) atau sebuah
kondisi pre-hepatik.
Gejala kuning pada yang dikenal sebagai ikterus dibagi 3 golongan berdasarkan penyebab
kuningnya tersebut. (1) Ikterus hemolitik, ikterus yang timbul karena meningkatnya
penghancuran sel darah merah. Misal pada keadaan infeksi (sepsis), ketidak cocokan gol
darah ibu dengan golongan darah bayi, bayi yang baru lahir (ikterus fisiologik) dsb.
(2) Ikterus parenkimatosa, ikterus yang terjadi akibat kerusakan atau peradangan jaringan
hati, misal pada penyakit hepatitis. (3) Ikterus obstruktif, ikterus yang timbul akibat adanya
bendungan yang mengganggu aliran empedu. Misal pada tumor, kelainan bawaan (atresia
bilier), batu pada kandung empedu dsb.
Hiperbilirubinemia sendiri dikelompokkan dalam dua bentuk berdasarkan penyebabnya
yaitu hiperbilirubinemia retensi yang disebabkan oleh produksi yang berlebih (bilirubin
indirek meningkat) dan hiperbilirubinemia regurgitasi yang disebabkan refluks bilirubin
kedalam darah karena adanya obstruksi bilier (bilirubin direknya juga meningkat dan
produksi sterkobilinogen menurun).
Hiperbilirubinemia retensi dapat terjadi pada kasus-kasus haemolisis berat dan gangguan
konjugasi. Hati mempunyai kapasitas mengkonjugasikan dan mengekskresikan lebih dari
3000 mg bilirubin perharinya sedangkan produksi normal bilirubin hanya 300 mg perhari.
Hal ini menunjukkan kapasitas hati yang sangat besar dimana bila pemecahan heme
meningkat, hati masih akan mampu meningkatkan konjugasi dan ekskresi bilirubin larut.
Akan tetapi lisisnya eritrosit secara massive misalnya anemia hemolitik pada kasus sickle
cell anemia ataupun malaria akan menyebabkan produksi bilirubin lebih cepat dari
kemampuan hati mengkonjugasinya sehingga akan terdapat peningkatan bilirubin tak larut
didalam darah (indirek). Peninggian kadar bilirubin tak larut dalam darah tidak terdeteksi
didalam urine sehingga disebut juga dengan ikterus acholuria. Pada neonatus terutama yang
lahir premature peningkatan bilirubin tak larut terjadi biasanya fisiologis dan sementara,
dikarenakan haemolisis cepat dalam proses penggantian hemoglobin fetal ke hemoglobin
dewasa dan juga oleh karena hepar belum matur, dimana aktivitas glukoronosiltransferase
masih rendah. Jika ada dugaan ikterus hemolitik perlu dipastikan dengan pemeriksaan kadar
bilirubin total, bilirubin indirek, darah rutin, serologi virus hepatitis.
Apabila peningkatan bilirubin tak larut ini melampaui kemampuan albumin mengikat kuat,
bilirubin akan berdiffusi ke basal ganglia pada otak dan menyebabkan ensephalopaty toksik
yang disebut sebagai kern ikterus (ikterus neonatorum pathologis yang ditandai peningkatan
bilirubin direk dan pemecahan eritrosit). Beberapa kelainan penyebab hiperbilirubinemia
retensi diantaranya seperti Syndroma Crigler Najjar I yang merupakan gangguan konjugasi
karena glukoronil transferase tidak aktif, diturunkan secara autosomal resesif, merupakan
kasus yang jarang, dimana didapati konsentrasi bilirubin mencapai lebih dari 20 mg/dl.
Syndroma Crigler Najjar II, merupakan kasus yang lebih ringan dari tipe I, karena kerusakan
pada isoform glukoronil transferase II, didapati bilirubin monoglukoronida terdapat dalam
getah empedu. Syndroma Gilbert, terjadi karena haemolisis bersama dengan penurunan
uptake bilirubin oleh hepatosit dan penurunan aktivitas enzym konjugasi dan diturunkan
secara autosomal dominan.
Hiperbilirubinemia regurgitasi paling sering terjadi karena terdapatnya obstruksi saluran
empedu, misalnya karena tumor caput pankreas (ditandai Couvisiers Law), batu, proses
peradangan dan sikatrik. Sumbatan pada duktus hepatikus dan duktus koledokus akan
menghalangi masuknya bilirubin keusus dan peninggian konsentrasinya pada hati
menyebabkan refluks bilirubin larut ke vena hepatika dan pembuluh limfe. Bentuknya yang
larut menyebabkan bilirubin ini dapat terdeteksi dalam urine dan disebut sebagai ikterus
choluria. Karena terjadinya akibat sumbatan pada saluran empedu disebut juga
sebagai ikterus kolestatik. Pada kasus ini didapatkan peningkatan bilirubin direk, bilirubin
indirek, zat yang larut dalam empedu serta batu empedu. Jadi pada ikterus obstruktif ini perlu
dibuktikan dengan pemeriksaan kadar bilirubin serum, bilirubin urin, urobilin urin, USG,
alkali fosfatase.
Beberapa kelainan lain yang menyebabkan hiperbilirubinemia regurgitasi adalah Syndroma
Dubin Johnson, diturunkan secara autosomal resesif, terjadi karena adanya defek pada
sekresi bilirubin terkonjugasi dan estrogen ke sistem empedu yang penyebab pastinya belum
diketahui. Syndroma Rotor, terjadi karena adanya defek pada transport anion an organik
termasuk bilirubin, dengan gambaran histologi hati normal, penyebab pastinya juga belum
dapat diketahui.
Hiperbilirubinemia toksik adalah gangguan fungsi hati karena toksin seperti chloroform,
arsfenamin, asetaminofen, carbon tetrachlorida, virus, jamur dan juga akibat cirhosis.
Kelainan ini sering terjadi bersama dengan terdapatnya obstruksi. Gangguan konjugasi
muncul besama dengan gangguan ekskresi bilirubin dan menyebabkan peningkatan kedua
jenis bilirubin baik yang larut maupun yang tidak larut. Terapi phenobarbital dapat
menginduksi proses konjugasi dan ekskresi bilirubin dan menjadi preparat yang menolong
pada kasus ikterik neonatus tapi tidak pada sindroma Crigler najjar.
E. Penegakan Diagnosis
1. Visual
Metode visual memiliki angka kesalahan yang tinggi, namun masih dapat digunakan apabila
tidak ada alat. Pemeriksaan ini sulit diterapkan pada neonatus kulit berwarna, karena
besarnya bias penilaian. Secara evidence pemeriksaan metode visual tidak direkomendasikan,
namun apabila terdapat keterbatasan alat masih boleh digunakan untuk tujuan skrining dan
bayi dengan skrining positif segera dirujuk untuk diagnostik dan tata laksana lebih lanjut.
WHO dalam panduannya menerangkan cara menentukan ikterus secara visual, sebagai
berikut:
Pemeriksaan dilakukan dengan pencahayaan yang cukup (di siang hari dengan cahaya
matahari) karena ikterus bisa terlihat lebih parah bila dilihat dengan pencahayaan
buatan dan bisa tidak terlihat pada pencahayaan yang kurang.
Tekan kulit bayi dengan lembut dengan jari untuk mengetahui warna di bawah kulit
dan jaringan subkutan.
Tentukan keparahan ikterus berdasarkan umur bayi dan bagian tubuh yang tampak
kuning. (tabel 1)
2. Bilirubin Serum
Pemeriksaan bilirubin serum merupakan baku emas penegakan diagnosis ikterus neonatorum
serta untuk menentukan perlunya intervensi lebih lanjut. Beberapa hal yang perlu
dipertimbangkan dalam pelaksanaan pemeriksaan serum bilirubin adalah tindakan ini
Hari 1
Bagian tubuh manapun
Berat
Hari 2
Tengan dan tungkai *
Hari 3
Tangan dan kaki
* Bila kuning terlihat pada bagian tubuh manapun pada hari pertama dan terlihat pada lengan,
tungkai, tangan dan kaki pada hari kedua, maka digolongkan sebagai ikterus sangat berat dan
memerlukan terapi sinar secepatnya. Tidak perlu menunggu hasil pemeriksaan kadar
bilirubin serum untuk memulai terapi sinar.
DIAGNOSIS
Langkah pertama pendekatan diagnosis pasien dengan ikterus ialah melalui anamnesis,
pemeriksaan fisik yang teliti serta pemeriksaan faal hati. (5)
Anamnesis ditujukan pada riwayat timbulnya ikterus, warna urin dan feses, rasa gatal,
keluhan saluran cerna, nyeri perut, nafsu makan berkurang, pekerjaan, adanya kontak dengan
pasien ikterus lain, alkoholisme, riwayat transfusi, obat-obatan, suntikan atau tindakan
pembedahan. (5)
Diagnosa banding jaundice sejalan dengan metabolisme bilirubin (Tabel 1). Penyakit yang
menyebabkan jaundice dapat dibagi menjadi penyakit yang menyebabkan jaundice medis
seperti peningkatan produksi, menurunnya transpor atau konjugasi hepatosit, atau kegagalan
ekskresi bilirubin; dan ada penyakit yang menyebabkan jaundice surgical melalui kegagalan
transpor bilirubin kedalam usus. Penyebab umum meningkatnya produksi bilirubin termasuk
anemia hemolitik, penyebab dapatan hemolisis termasuk sepsis, luka bakar, dan reaksi
transfusi. Ambilan dan konjugasi bilirubin dapat dipengaruhi oleh obat-obatan, sepsis dan
akibat hepatitis virus. Kegagalan ekskresi bilirubin menyebabkan kolestasis intrahepatik dan
hiperbilirubinemia terkonjugasi. Penyebab umum kegagalan ekskresi termasuk hepatitis viral
atau alkoholik, sirosis, kolestasis induksi-obat. Obstruksi bilier ekstrahepatik dapat
disebabkan oleh beragam gangguan termasuk koledokolitiasis, striktur bilier benigna, kanker
periampular, kolangiokarsinoma, atau kolangitis sklerosing primer. (2) Ketika mendiagnosa
jaundice, dokter harus mampu membedakan antara kerusakan pada ambilan bilirubin,
konjugasi, atau ekskresi yang biasanya diatur secara medis dari obstruksi bilier ekstrahepatik,
yang biasanya ditangani oleh ahli bedah, ahli radiologi intervensional, atau ahli endoskopi.
Pada kebanyakan kasus, anamnesis menyeluruh, pemeriksaan fisik, tes laboratorium rutin dan
pencitraan radiologis non-invasif membedakan obstruksi bilier ekstrahepatik dari penyebab
jaundice lainnya. Kolelitiasis selalu berhubungan dengan nyeri kuadran atas kanan dan
gangguan pencernaan. Jaundice dari batu duktus biliaris umum
biasanya sementara dan berhubungan dengan nyeri dan demam (kolangitis). Serangan
jaundice tak-nyeri bertingkat sehubungan dengan hilangnya berat badan diduga sebuah
keganasan/malignansi. Jika jaundice terjadi setelah kolesistektomi, batu kandung empedu
menetap atau cedera kandung empedu harus diperkirakan. (2)
Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik meliputi perabaan hati, kandung empedu, limpa, mencari tanda-tanda
stigmata sirosis hepatis, seperti spider naevi, eritema palmaris, bekas garukan di kulit karena
pruritus, tanda-tanda asites. Anemi dan limpa yang membesar dapat dijumpai pada pasien
dengan anemia hemolitik. Kandung empedu yang membesar menunjukkan adanya sumbatan
pada saluran empedu bagian distal yang lebih sering disebabkan oleh tumor (dikenal hukum
Courvoisier). (5)
Hukum Courvoisier
Kandung empedu yang teraba pada ikterus tidak mungkin disebabkan oleh batu kandung
empedu. Hal ini biasanya menunjukkan adanya striktur neoplastik tumor (tumor pankreas,
ampula, duodenum, CBD), striktur pankreatitis kronis, atau limfadenopati portal. (3)
Pemeriksaan Laboratorium
Tes laboratorium harus dilakukan pada semua pasien jaundice termasuk serum bilirubin direk
dan indirek, alkali fosfatase, transaminase, amilase, dan hitung sel darah lengkap.
Hiperbilirubinemia (indirek) tak terkonjugasi terjadi ketika ada peningkatan produksi
bilirubin atau menurunnya ambilan dan konjugasi hepatosit. Kegagalan pada ekskresi
bilirubin (kolestasis intrahepatik) atau obstruksi bilier ekstrahepatik menyebabkan
hiperbilirubinemia (direk) terkonjugasi mendominasi. Elevasi tertinggi pada bilirubin serum
biasanya ditemukan pada pasien dengan obstruksi maligna, pada mereka yang levelnya
meluas sampai 15 mg/dL yang diamati. Batu kandung empedu umumnya biasanya
berhubungan dengan peningkatan lebih menengah pada bilirubin serum (4 8 mg/dL). Alkali
fosfatase merupakan penanda yang lebih sensitif pada obstruksi bilier dan mungkin
meningkat terlebih dahulu pada pasien dengan obstruksi bilier parsial. (2)
Pemeriksaan faal hati dapat menentukan apakah ikterus yang timbul disebabkan oleh
gangguan pada sel-sell hati atau disebabkan adanya hambatan pada saluran empedu. Bilirubin
direk meningkat lebih tinggi dari bilirubin indirek lebih mungkin disebabkan oleh sumbatan
saluran empedu dibanding bila bilirubin indirek yang jelas meningkat. Pada keadaan normal
bilirubin tidak dijumpai di dalam urin. Bilirubin indirek tidak dapat diekskresikan melalui
ginjal sedangkan bilirubin yang telah dikonjugasikan dapat keluar melalui urin. Karena itu
adanya bilirubin lebih mungkin disebabkan akibat hambatan aliran empedu daripada
kerusakan sel-sel hati. Pemeriksaan feses yang menunjukkan adanya perubahan warna feses
menjadi akolis menunjukkan terhambatnya aliran empedu masuk ke dalam lumen usus
(pigmen tidak dapat mencapai usus). (2)
Pemeriksaan Penunjang
USG
Pemeriksaan pencitraan pada masa kini dengan sonografi sangat membantu dalam
menegakkan diagnosis dan dianjurkan merupakan pemeriksaan penunjang pencitraan yang
pertama dilakukan sebelum pemeriksaan pencitraan lainnya. Dengan sonografi dapat
ditentukan kelainan parenkim hati, duktus yang melebar, adanya batu atau massa tumor.
Ketepatan diagnosis pemeriksaan sonografi pada sistem hepatobilier untuk deteksi batu
empedu, pembesaran kandung empedu, pelebaran saluran empedu dan massa tumor tinggi
sekali. Tidak ditemukannya tanda-tanda pelebaran saluran empedu dapat diperkirakan
penyebab ikterus bukan oleh sumbatan saluran empedu, sedangkan pelebaran saluran empedu
memperkuat diagnosis ikterus obstruktif.(2)
Keuntungan lain yang diperoleh pada penggunaan sonografi ialah sekaligus kita dapat
menilai kelainan organ yang berdekatan dengan sistem hepatobilier antara lain pankreas dan
ginjal. Aman dan tidak invasif merupakan keuntungan lain dari sonografi. (2)
Pemeriksaan Radiologi
Pemeriksaan foto polos abdomen kurang memberi manfaat karena sebagian besar batu
empedu radiolusen. Kolesistografi tidak dapat digunakan pada pasien ikterus karena zat
kontras tidak diekskresikan oleh sel hati yang sakit. (5)
Pemeriksaan endoskopi yang banyak manfaat diagnostiknya saat ini adalah pemeriksaan
ERCP (Endoscopic Retrograde Cholangio Pancre atography). Dengan bantuan endoskopi
melalui muara papila Vater kontras dimasukkan kedalam saluran empedu dan saluran
pankreas. Keuntungan lain pada pemeriksaan ini ialah sekaligus dapat menilai apakah ada
kelainan pada muara papila Vater, tumor misalnya atau adanya penyempitan. Keterbatasan
yang mungkin timbul pada pemeriksaan ini ialah bila muara papila tidak dapat dimasuki
kanul. (5)
Adanya sumbatan di saluran empedu bagian distal, gambaran saluran proksimalnya dapat
divisualisasikan dengan pemeriksaan Percutaneus Transhepatic Cholangiography (PTC).
Pemeriksaan ini dilakukan dengan penyuntikan kontras melalui jarum yang ditusukkan ke
arah hilus hati dan sisi kanan pasien. Kontras disuntikkan bila ujung jarum sudah diyakini
berada di dalam saluran empedu. Computed Tomography (CT) adalah pemeriksaan radiologi
yang dapat memperlihatkan serial irisan-irisan hati. Adanya kelainan hati dapat diperlihatkan
lokasinya dengan tepat. (5)
Untuk diagnosis kelainan primer dari hati dan kepastian adanya keganasan dilakukan biopsi
jarum untuk pemeriksaan histopatologi. Biopsi jarum tidak dianjurkan bila ada tanda-tanda
obstruksi saluran empedu karena dapat menimbulkan penyulit kebocoran saluran empedu.
PENATALAKSANAAN
1. Pencegahan
Hiperbilirubin dapat dicegah dan dihentikan peningkatannta dengan cara :
a. Pengawasan antenatal yang baik
b. Menghindari obat-obatan yang dapat meningkatkan ikterus pada masa kehamilan dan
kelahiran, misalnya sulfa furazole, oksitosin, dsb.
c. Pencegahan pengobatan hipoksin dapa janin dan neonatus
d . Penggunaan fenobarbital pada ibu 1-2 hari sebelum partus
e. Pemberian makanan yang dini
f. Pencegahan infeksi
2. Penanganan
a. Foto terapi
Fototerapi; dilakukan apabila telah ditegakkan hiperbilirubin patologis yang berfungsi untuk
menurunkan bilirubin dalam kulit melalui tinja dan urine dengan oksidasi foto pada bilirubin
dari biliverdin. Cahaya menyebabkan reaksi foto kimia dalam kulit yang mengubah bilirubin
tak terkonjugasi kedalam fotobilirubin, yang dieksresikan dalam hati kemudian ke empedu.
Produk akhir adalah reversibel dan dieksresikan ke dalam empedu tanpa perlu konjugasi.
Mekanisme : menimbulkan dekomposisi bilirubin, kadar bilirubin dipecah sehingga mudah
larut dalam air dan tidak toksik, yang dikeluarkan melalui urine (urobilinogen) dan feses
(sterkobilin).
Terdiri dari 8-10 buah lampu yang tersusun pararel 160-200 watt, menggunakan cahaya
Fluorescent (biru atau putih), lama penyinaran tidak lebih dari 100 jam.
Jarak bayi dan lampu antara 4050cm, posisi berbaring tanpa pakaian, daerah mata dan alat
kelamin ditutup dengan bahan yang dapat memantulkan cahaya (contoh : karbon), dan posisi
bayi diubah setiap 1-6 jam.
Dapat dilakukan pada sebelum atau sesudah transfusi tukar.
b. Fenobarbital
Fenobarbital : dapat mengeksresi bilirubin dalam hati dan memperbesar konjugasi.
Meningkatkan sintesis hepatik glukoronil tranferase yang meningkatkan bilirubin konjugasi
dan clearance hepatik pada pigmen empedu, sintesis protein dimana dapat meningkatkan
albumin untuk mengikat bilirubin.
c. Transfusi Tukar
Tujuan : menurunkan kadar bilirubun dan mengganti darah yang terhemolisis.
Indikasi : pada keadaan kadar bilirubin indirek 20 mg/dL atau bila sudah tidak dapat
ditangani dengan fototerapi, kenaikan biirubin yang cepat yaitu 0,3 -1 mgz/jam, anemia berat
pada neonatus dengan gejala gagal jantung, atau bayi dengan kadar Hb tali pusat 14 mgz dan
uji coombs direk positif.
d. Antibiotik : diberikan bila terkait dengan adanya infeksi
Pencegahan
- Segera menurunkan kadar bilirubin indirek.
- Penanganan bayi ikterus; fototerapi, kemoterapi, transfusi tukar.
Bayi dengan kadar bilirubin tinggi diobati dengan menggunakan fototerapi, bahkan dengan
transfusi tukar. Kini terdapat obat baru yaitu Stanate yang dalam ujicoba terbukti dapat
memblokade produksi bilirubin sehingga dapat mencegah kern ikterus, hingga sekarang obat
ini masih terus dikembangkan4.
Tanpa memandang etiologi, tujuan terapi adalah mencegah kadar yang memungkinkan
terjadinya neurotoksikosis, dianjurkan agar fototerapi, dan jika tidak berhasil, transfusi tukar
dilakukan untuk mempertahankan kadar maksimum bilirubin total dalam serum di bawah
kadar yang ditunjukkan pada tabel 1 (untuk preterm) dan tabel 2 (untuk bayi cukup
bulan). Pada setiap bayi, resiko jejas bilirubin terhadap sistem saraf pusat harus
dipertimbangkan dengan resiko yang ditimbulkan oleh pengobatan. Belum ada persetujuan
yang umum mengenai kriteria untuk memulai fototerapi. Karena fototerapi mungkin
memerlukan 6-12 jam untuk mempunyai pengaruh yang dapat diukur, maka fototerapi ini
harus dimulai saat kadar bilirubun masih berada di bawah kadar yang diindikasi untuk
transfusi darah. Bila teridentifikasi, penyebab dasar dasar ikterus harus diobati, misalnya
antibiotik untuk septikemia. Faktor-faktor fisiologis yag menambah resiko cedera neurologis
harus diobati juga (misalnya koreksi terhadap asidosis)2.
Fototerapi biasanya dimulai pada 50-70 % dari kadar maksimum bilirubin indirek. Jika nilai
sangat melebihi kadar ini, jika fototerapi tidak berhasil mengurangi kadar bilirubin
maksimum, atau jika ada tanda-tanda kern ikterus, transfusi tukar merupakan indikasi. Jadi
jika ada tanda-tanda kern ikterus selama evaluasi atau pengobatan, pada kadar bilirubin
berapapun, maka transfusi tukar darurat harus dilakukan2.
- Melakukan pemeriksaan kadar bilirubin pada semua bayi baru lahir sebelum meninggalkan
Rumah Sakit.
- Kontrol bayi baru lahir ke dokter dalam jangka waktu 24-48 jam setelah meninggalkan
Rumah Sakit.
- Meningkatkan pengetahuan orang tua tentang ikterus5.
Tabel 1.
Kadar bilirubin serum indirek maksimum yang disarankan pada bayi preterm.
Berat Badan Lahir
Tidak Ada Komplikasi
Ada Komplikasi*
(gram)
(g/dL)
(g/dL)
<>
12-13
10-12
1000-1250
12-14
10-12
1251-1499
14-16
12-14
1500-1999
16-20
15-17
2000-2500
20-22
18-20
*Komplikasi meliputi asfiksia perinatal, asidosis, hipoksia, hipotermia, hipoalbuminemia,
meningitis, PIV, hemolisis, hipoglikemia, atau tanda-tanda kern ikterus.
Tabel 2.
Srategi pengobatan terhadap hiperbilirubinemia indirek pada bayi cukup bulan yang sehat
tanpa hemolisis.
Umur
Fototerapi
Fototerapi &
Transfusi Tukar
(Jam)
(g/dL)
Persiapan
Jika Fototerapi
Transfusi Tukar*
Gagal
(g/dL)
(g/dL)
<>
**
**
**
24-48
15-18
25
20
49-72
18-20
30
25
> 72
20
30
25
> 2 minggu
***
***
***
* Jika bilirubin awal yang terpresentasi tinggi, fototerapi yang intensif harus dimulai dan
persiapan untuk transfusi tukar dilakukan. Jika fototerapi gagal mengurangi kadar bilirubuin
sampai ke kadar yang tercatat pada kolom sebelah kanan, mulailah transfusi tukar.