Disusun Oleh:
061811041
B. Klasifikasi
Terdapat 2 jenis ikterus: ikterus fisiologis dan patologis (Mansjoer,
2002).
1. Ikterus fisiologis
Ikterus fisiologis ialah ikterus yang timbul pada hari kedua dan
ketiga kehidupan bayi yang tidak mempunyai dasar patologis,
kadarnya tidak melewati kadar yang membahayakan atau mempunyai
potensi menjadi ‘kernicterus’ dan tidak menyebabkan suatu morbiditas
pada bayi.
Ikterus fisiologis memiliki karakteristik sebagai berikut:
a. Timbul pada hari kedua-ketiga.
b. Kadar bilirubin indirek (larut dalam lemak) tidak melewati 12
mg/dL pada neonatus cukup bulan dan 10mg/dL pada kurang
bulan.
c. Kecepatan peningkatan kadar bilirubin tidak melebihi 5 mg/dL per
hari.
d. Kadar bilirubin direk (larut dalam air) kurang dari 1mg/dL.
e. Gejala ikterus akan hilang pada sepuluh hari pertama kehidupan.
f. Tidak terbukti mempunyai hubungan dengan keadaan patologis
tertentu.
2. Ikterus patologis
Ikterus patologis ialah ikterus yang mempunyai dasar patologis
atau kadar bilirubinnya mencapai suatu nilai yang disebut
hiperbilirubinemia. Dasar patologis ini misalnya jenis bilirubin, saat
timbul dan menghilangnya ikterus dan penyebabnya
Ikterus patologis memiliki karakteristik seperti berikut:
a. Ikterus yang terjadi pada 24 jam pertama kehidupan.
b. Ikterus dengan kadar bilirubin melebihi 12mg/dL pada neonatus
cukup bulan dan 10mg/dL pada neonates lahir kurang
bulan/premature.
c. Ikterus dengan peningkatan bilirubun lebih dari 5mg/dL per hari.
d. Ikterus yang menetap sesudah 2 minggu pertama.
e. Ikterus yang mempunyai hubungan dengan proses hemolitik,
infeksi atau keadaan patologis lain yang telah diketahui.
f. Kadar bilirubin direk melebihi 1mg/dL
C. Etilogi
Penyebab ikterus dapat dibagi kepada tiga fase yaitu:
i. Ikterus Prahepatik
Produksi bilirubin yang meningkat yang terjadi pada hemolisis sel
darah merah. Peningkatan pembentukan bilirubin dapat disebabkan
oleh:
- Kelainan sel darah merah
- Infeksi seperti malaria, sepsis.
- Toksin yang berasal dari luar tubuh seperti: obat – obatan, maupun
yang berasal dari dalam tubuh seperti yang terjadi pada reaksi
transfuse dan eritroblastosis fetalis.
ii. Ikterus Pascahepatik
Bendungan pada saluran empedu akan menyebabkan peninggian
bilirubin konjugasi yang larut dalam air. Akibatnya bilirubin
mengalami akan mengalami regurgitasi kembali kedalam sel hati dan
terus memasuki peredaran darah, masuk ke ginjal dan di eksresikan
oleh ginjal sehingga ditemukan bilirubin dalam urin. Sebaliknya
karena ada bendungan pengeluaran bilirubin kedalam saluran
pencernaan berkurang sehingga tinja akan berwarna dempul karena
tidak mengandung sterkobilin.
iii. Ikterus Hepatoseluler
Kerusakan sel hati menyebabkan konjugasi bilirubin terganggu
sehingga bilirubin direk akan meningkat dan juga menyebabkan
bendungan di dalam hati sehingga bilirubin darah akan mengadakan
regurgitasi ke dalam sel hati yang kemudian menyebabkan peninggian
kadar bilirubin konjugasi di dalam aliran darah. Kerusakan sel hati
terjadi pada keadaan: hepatitis, sirosis hepatic, tumor, bahan kimia, dll.
D. Patofisiologi
Peningkatan kadar bilirubin tubuh dapat terjadi pada beberapa
keadaan . Kejadian yang sering ditemukan adalah apabila terdapat
penambahan beban bilirubin pada sel hepar yang berlebihan. Hal ini dapat
ditemukan bila terdapat peningkatan penghancuran eritrosit, polisitemia.
Gangguan pemecahan bilirubin plasma juga dapat menimbulkan
peningkatan kadar bilirubin tubuh. Hal ini dapat terjadi apabila kadar
protein Y dan Z berkurang, atau pada bayi hipoksia, asidosis. Keadaan lain
yang memperlihatkan peningkatan kadar bilirubin adalah apabila
ditemukan gangguan konjugasi hepar atau neonatus yang mengalami
gangguan ekskresi misalnya sumbatan saluran empedu. Pada derajat
tertentu bilirubin ini akan bersifat toksik dan merusak jaringan tubuh.
Toksisitas terutama ditemukan pada bilirubin indirek yang bersifat sukar
larut dalam air tapi mudah larut dalam lemak. Sifat ini memungkinkan
terjadinya efek patologis pada sel otak apabila bilirubin tadi dapat
menembus sawar darah otak. Kelainan yang terjadi pada otak disebut
Kernikterus. Pada umumnya dianggap bahwa kelainan pada saraf pusat
tersebut mungkin akan timbul apabila kadar bilirubin indirek lebih dari 20
mg/dl. Bilirubin indirek akan mudah melalui sawar darah otak apabila bayi
terdapat keadaan berat badan lahir rendah , hipoksia, dan hipoglikemia.
E. Gejala Klinis
F. Diagnosis
1) Pendekatan menentukan kemungkinan penyebab
Menetapkan penyebab ikterus tidak selamanya mudah dan
membutuhkan pemeriksaan yang banyak dan mahal, sehingga dibutuhkan
suatu pendekatan khusus untuk dapat memperkirakan penyebabnya.
a) Ikterus yang timbul pada 24 jam pertama. Penyebab ikterus yang
terjadi pada 24 jam pertama menurut besarnya kemungkinan dapat
disusun sebagai berikut :
1. Inkompatibilitas darah Rh, ABO atau golongan lain.
2. Infeksi intrauterin (oleh virus, toxoplasma, dan kadang-kadang
bakteri).
3. Kadang-kadang oleh defisiensi G6PD.
b) Ikterus yang timbul 24-72 jam sesudah lahir
1. Biasanya ikterus fisiologis.
2. Masih ada kemungkinan inkompatibilitas darah ABO atau Rh
atau golongan lain. Hal ini dapat diduga kalau peningkatan
kadar bilirubin cepat, misalnya melebihi 5 mg% per 24 jam.
3. Defisiensi enzim G6PD juga mungkin.
4. Polisitemia
5. Hemolisis perdarahan tertutup (perdarahan subaponeurosis,
perdarahan hepar subkapsuler dan lain-lain).
6. Hipoksia
7. Sferositosis, elipsitosis, dan lain-lain.
8. Dehidrasi asidosis
9. Defisiensi enzim eritrosit lainnya.
c) Ikterus yang timbul sesudah 72 jam pertama sampai akhir minggu
pertama
1. Biasanya karena infeksi (sepsis)
2. Dehidrasi asidosis
3. Defisiensi enzim G6PD
4. Pengaruh obat
5. Sindrom Crigler-Najjar
6. Sindrom Gilbert
d) Ikterus yang timbul pada akhir minggu pertama dan selanjutnya
1. Biasanya karena obstruksi
2. Hipotiroidisme
3. Breast milk jaundice
4. Infeksi
5. Neonatal hepatitis
Bilirubin serum total 24 jam pertama > 4,5 mg/dL dapat digunakan
sebagai faktor prediksi hiperbilirubinemia pada bayi cukup bulan sehat
pada minggu pertama kehidupannya. Hal ini kurang dapat diterapkan di
Indonesia karena tidak praktis dan membutuhkan biaya yang cukup
besar.
2) Monitoring
Monitoring yang dilakukan antara lain:
1. Bilirubin dapat menghilang dengan cepat dengan terapi sinar. Warna
kulit tidak dapat digunakan sebagai petunjuk untuk menentukan
kadar bilirubin serum selama bayi mendapat terapi sinar dan selama
24 jam setelah dihentikan.
2. Pulangkan bayi bila terapi sinar sudah tidak diperlukan, bayi minum
dengan baik, atau bila sudah tidak ditemukan masalah yang
membutuhkan perawatan di RS.
H. Komplikasi
Bahaya hiperbilirubinemia adalah kern icterus. Kern icterus atau
ensefalopati bilirubin adalah sindrom neurologis yang disebabkan oleh
deposisi bilirubin tidak terkonjugasi (bilirubin tidak langsung atau
bilirubin indirek) di basal ganglia dan nuclei batang otak. Patogenesis kern
icterus bersifat multifaktorial dan melibatkan interaksi antara kadar
bilirubin indirek, pengikatan oleh albumin, kadar bilirubin yang tidak
terikat, kemungkinan melewati sawar darah otak, dan suseptibilitas saraf
terhadap cedera. Kerusakan sawar darah otak, asfiksia, dan perubahan
permeabilitas sawar darah otak mempengaruhi risiko terjadinya kern
icterus (Richard E. et al, 2003).
Pada bayi sehat yang menyusu kern icterus terjadi saat kadar
bilirubin >30 mg/dL dengan rentang antara 21-50 mg/dL. Onset umumnya
pada minggu pertama kelahiran tapi dapat tertunda hingga umur 2-3
minggu. Gambaran klinis kern icterus antara lain:
1) Bentuk akut :
a. Fase 1(hari 1-2): menetek tidak kuat, stupor, hipotonia, kejang.
b. Fase 2 (pertengahan minggu I): hipertoni otot ekstensor,
opistotonus, retrocollis, demam.
c. Fase 3 (setelah minggu I): hipertoni.
2) Bentuk kronis :
a. Tahun pertama : hipotoni, active deep tendon reflexes, obligatory
tonic neck reflexes, keterampilan motorik yang terlambat.
b. Setelah tahun pertama : gangguan gerakan (choreoathetosis,
ballismus, tremor), gangguan pendengaran.
I. Pencegahan
1) Pencegahan Primer
- Menganjurkan ibu untuk menyusui bayinya paling sedikit 8 – 12
kali/ hari untuk beberapa hari pertama.
- Tidak memberikan cairan tambahan rutin seperti dekstrose atau air
pada bayi yang mendapat ASI dan tidak mengalami dehidrasi.
2) Pencegahan Sekunder
- Wanita hamil harus diperiksa golongan darah ABO dan rhesus
serta penyaringan serum untuk antibody isoimun yang tidak biasa.
- Memastikan bahwa semua bayi secara rutin di monitor terhadap
timbulnya ikterus dan menetapkan protocol terhadap penilaian
ikterus yang harus dinilai saat memeriksa tanda – tanda vital bayi,
tetapi tidak kurang dari setiap 8 – 12 jam.
DAFTAR PUSTAKA
1. Ngastiyah, 1997, Perawatan Anak Sakit, Jakarta, EGC
2. Nelson, Waldoe, 1996, Ilmu Kesehatan Anak Nelson Volume I, Jakarta, EGC
3. Kasim MS, Yunanto A, Dewi R, Sarosa GI, Usman A. Buku ajar neonatologi.
1st ed. Jakarta: Ikatan Dokter Anak Indonesia; 2008
4. http://repository.usu.ac.id/bitstream/handle/123456789/41185/Chapter
%20II.pdf?sequence=4&isAllowed=y