Program Magister Perencanaan Wilayah dan Kota, Sekolah Arsitektur, Perencanaan dan Pengembangan Kebijakan, ITB.
Kelompok Keilmuan Pengelolaan Pembangunan dan Pengembangan Kebijakan, Sekolah Arsitektur, Perencanaan dan
Pengembangan Kebijakan, ITB
Abstrak
Di dalam konteks pembangunan wilayah perdesaan di negara berkembang kegagalan pendekatan
perencanaan top-down diakibatkan kurangnya pengetahuan pemerintah terkait kondisi ekosistem
maupun tatanan nilai masyarakat perdesaan yang memiliki karakter khusus dan tersebar luas secara
spasial. Akibatnya perancangan desain program dan proyek pembangunan yang dibuat semakin
memarjinalkan masyarakat perdesaan. Keterlibatan masyarakat dianggap menjadi strategi yang
dapat menurunkan inefisiensi pada pada pelaksanaan pendekatan perencanaan top-down. Meskipun
demikian, keberhasilan dari upaya pelibatan dan peran aktif masyarakat harus dilakukan secara
terlembaga. Konsekuensi dari hal tersebut adalah perlunya perubahan kepranataan kelembagaan
masyarakat maupun perubahan kapasitas sumber daya manusia di dalamnya. Konsep
pengorganisasian komunitas dinilai sebagai strategi yang tepat di dalam meningkatkan kapasitas
komunitas karena pelaksanaannya tidak hanya ditekankan pada mobilisasi komunitas pada suatu
tujuan tetapi merupakan suatu proses interaksi dalam bentuk komunitas yang memfokuskan pada
inisiatid dalam mengambil tindakan-tindakan secara sadar dalam mencapai transformasi sosial bagi
komunitas. Pada penelitian ini proses pengorganisasian komunitas dilihat dalam pelaksanaan
pelayanan kesehatan berbasis masyarakat. Pergeseran pendekatan pembangunan kesehatan dari
kuratif dan rehabilitatif menjadi promotif dan preventif menjadi landasan di dalam pelibatan
masyarakat di dalam pencapaian target-target pembangunan kesehatan di Indonesia. Konsep
pengorganisasian komunitas dalam pelayanan kesehatan diimplementasikan dengan pelaksanaan
RW Siaga. Salah satu pelaksana RW Siaga terbaik adalah Kota Banjar yaitu pada Dusun Cipantaran
Desa Cibereum. Proses pentahapan pelaksanaan RW Siaga di Dusun Cipantaran dilihat untuk
dijadikan pembelajaran pengorganisasian komunitas dalam konteks masyarakat perdesaan. Tiap-tiap
proses dari tahapan persiapan dan pengkajian, tahapan pengorganisasian serta tahapan luaran dan
hasil akan dijelaskan secara rinci untuk menggambarkan sejauhmana keterlibatan masyarakat
didalamnya dan penilaian kapasitas komunitas pada tiap tahapan tersebut. Selain penjelasan
pentahapan dan pemetaan kapasitas pada pelaksanaan RW Siaga juga dijelaskan terkait lesson
learned pelaksanaan RW Siaga di Dusun Cipantaran baik halhal internal yaitu karakteristik
masyarakat dan pendekatan sosial-budaya yang digunakan maupun eksternal yaitu dukungan sistem
pembangunan (dukungan sistem perencanaan pembangunan, pendanaan pembangunan dan
kelembagaan pembangunan) yang terintegrasi dan kekuatan jejaring eksternal yang menunjang
keberhasilan pelaksanan RW Siaga di Dusun Cipantaran.
Kata-kunci: Pengorganisasian komunitas, pelayanan kesehatan berbasis masyarakat, pentahapan
RW Siaga
Tahapan Pengorganisasian Komunitas dan Pemetaaan Kapasitas Komunitas Pelayanan Kesehatan Berbasis Masyarakat
Pendahuluan
Pada konteks negara berkembang kegagalan
kebijakan pemerintah dalam melaksanakan
pembangunan dengan pendekatan perencanaan
yang bersifat top-down di wilayah perdesaan
adalah ketidaktahuan pemerintah terhadap
kondisi ekosistem dan tatanan nilai masyarakat
perdesaan yang memiliki karakter khusus dan
tersebar luas secara spasial. Kegagalan tersebut
diterapkan dalam perancangan desain program
dan proyek pembangunan yang semakin
memarjinalkan masyarakat pedesaan baik
secara ekonomi, sosial maupun politis.
Akibatnya
desa
semakin
mengalami
kemunduran dan SDM yang tinggal di desa
memiliki
keterbatasan
akses
dalam
meningkatkan kualitas hidupnya. Permasalahan
kemiskinan
yang
terjadi
di
perdesaan
merupakan
suatu
implikasi
dari
ketidakberdayaan dan keterbatasan akses
masyarakat perdesaan sehingga tidak memiliki
posisi tawar secara politik yang kuat dalam
mempengaruhi kebijakan pemerintah pusat
yang bersifat sentralistis. Dampak yang
diakibatkan oleh kondisi ini adalah adanya
urbanisasi
masyarakat
perdesaan
yang
menyebabkan polarisasi spasial di kawasan
perkotaan semakin meningkat dan minimnya
keahlian SDM yang bermigrasi hanya akan
memindahkan masalah sosial yang dimilikinya
ke perkotaan. Padahal menurut Anwar (2000)
pembangunan perdesaan merupakan suatu
agenda
prioritas
dari
negara-negara
berkembang. Hal ini perlu dilakukan mengingat
masyarakat di negara-negara berkembang
sebagian besar tinggal di kawasan perdesaan.
Pembangunan perdesaan bukan merupakan
hanya pembangunan sektor pertanian namun
juga merupakan pembangunan SDM perdesaan
baik yang bekerja pada sektor pertanian
maupun non-pertanian sehingga masyarakat
perdesaan pun dapat memiliki kapasitas untuk
terus meningkatkan kualitas hidupnya tanpa
bergantung oleh perkotaan yang justru hanya
akan menjadikan desa sebagai bagian dari
sistem
penyedia
kebutuhan
masyarakat
perkotaan (Lipton, 1997).
Menurut
Nurske
dan
Myrdall
(1959)
menekankan bahwa pendekatan perencanaan
498 | Jurnal Perencanaan Wilayah dan Kota B SAPPK V3N3
Tahapan Pengorganisasian Komunitas dan Pemetaaan Kapasitas Komunitas Pelayanan Kesehatan Berbasis Masyarakat
Deskripsi
ketiga
tahapan
diklasifikasikan
menurut komponen di dalam manajemen proses
yang terdiri dari dua komponen besar yaitu
komponen sumber daya dan komponen
tugas/fungsi. Pada komponen sumber daya
pembahasan dilakukan pada penggunaan
sumber daya material, sumber daya manusia
dan gagasan/ide sedangkan pada komponen
tugas/fungsi penjelasan dilakukan pada fungsi
konseptual desain, fungsi
administrasi dan
fungsi kepemimpinan. Jika dibuat dalam bentuk
yang
lebih
sederhana
proses
tahapan
pengorganisasian
komunitas
RW
Siaga
dijelaskan pada gambar 2 berikut.
Pemetaan Kapasitas
Pelaksanaan RW Siaga
Komunitas
Pada
dengan
menggunakan
Indeks
Kapasitas
Pengorganisasian
Diri
Komunitas
yang
merupakan modifikasi dari Indeks Kapasitas
Komunitas.
Penjabaran
kapasitas
pengorganisasian diri warga Dusun Cipantaran
dalam mendukung penerapan RW Siaga dibagi
menjadi tiga tahapan yang didefinisikan
berdasarkan tinjauan literatur yang menjelaskan
definisi dan tahapan dalam pengorganisasian
komunitas pada konteks pelayanan kesehatan
berbasis masyarakat. Tahapantahapan yang
menjadi indikator utama pengorganisasian diri
yaitu 1) Tahapan persiapan dan pengkajian, 2)
Tahap pengorganisasian dan 3) Tahap hasil dan
luaran.
Tahapan Pengorganisasian Komunitas dan Pemetaaan Kapasitas Komunitas Pelayanan Kesehatan Berbasis Masyarakat
Tahapan Pengorganisasian Komunitas dan Pemetaaan Kapasitas Komunitas Pelayanan Kesehatan Berbasis Masyarakat
lahan
mulai
meninggalkan
kebiasaannya.
Meskipun
pelaksanaan RW Siaga di Dusun Cipantaran
dapat dikatakan cukup berhasil namun ada
beberapa hal yang tetap harus ditingkatkan.
Bagian (X) merupakan beberapa hal yang harus
ditingkatkan dalam pelaksanaan RW Siaga yaitu
sebagai berikut:
Peningkatan
pelibatan
warga
dalam
penetapan target - target pelaksanaan
kegiatan RW Siaga.
Peningkatan
pelibatan
warga
dalam
pembuatan prosedur, aturan dan strategi
pelaksaan kegiatan RW Siaga.
Pembuatan sistem manajemen pengetahuan
sederhana pada pelaksanaan RW Siaga
sebagai
bentuk
dokumentasi,
media
pembelajaran dan media komunikasi internal.
Peningkatan transparansi antara kader RW
Siaga dengan warga Dusun Cipantaran
terutama terkait dengan kerja sama dengan
stakeholder eksternal.
Peningkatan
pelibatan
warga
Dusun
Cipantaran dalam pembuatan prosedur,
metode dan standar evaluasi pelaksaan
kegiatan RW Siaga sehingga warga Dusun
Cipantaran dapat memperoleh pembelajaran
pembuatan
program
program
pemberdayaan
masyarakat
secara
menyeluruh.
Tahapan Pengorganisasian Komunitas dan Pemetaaan Kapasitas Komunitas Pelayanan Kesehatan Berbasis Masyarakat
Pembelajaran
Berdasarkan penelitian yang dilakukan baik
dalam melihat proses proses pengorganisasian
komunitas maupun dalam melihat kapasitas
warga Dusun Cipantaran yang terlibat, ada
beberapa hal yang dapat menjadi pembelajaran
dalam keberhasilan pelaksanaan RW Siaga di
Dusun Cipantaran yang terbagi menjadi faktor
eksternal maupun internal komunitas. Faktor
eksternal merupakan faktor penunjang yang
berasal dari luar kelembagaan RW Siaga di
Dusun Cipantaran, sedangkan faktor internal
merupakan faktor penunjang yang berasal dari
dalam kelembagaan RW Siaga termasuk
kapasitas
komunitas
didalamnya.
Berikut
merupakan penjelasan masing masing faktor
penunjang keberhasilan pelaksanaan RW Siaga.
Dukungan
Mekanisme
Perencanaan
Pembangunan Kesehatan Terintegrasi
Di tingkat Kota Banjar, arahan pembangunan
Kota Banjar yang tercantum di dalam visi dan
misi Kota Banjar yaitu Mewujudkan Kota Banjar
masyarakat.
Pemberdayaan
aparatur
pemerintah dikembangkan dalam rangka
peningkatan
kompetensi
sehingga
dapat
memberikan
pelayanan
prima
kepada
masyarakat yang didukung dari aspek kebijakan,
renumerasi, standard pelayanan minimal bagi
terciptanya organisasi yang efektif, efisien,
rasional dan proporsional sesuai dengan
kemampuan dan kebutuhan daerah. Sedangkan
pemberdayaan masyarakat merupakan upaya
perwujudan iklim demokrasi dan peningkatan
akses masyarakat terhadap berbagai formasi
penyelenggaraan pemerintahan dalam rangka
meningkatkan peran serta masyarakat dalam
perencanaan
serta
pengawasan
dan
pengendalian
pembangunan.
Pada
pelaksanaannya, visi misi tersebut diturunkan ke
dalam kebijakan pembangunan Kota Banjar
tahun 2009 - 2013. Arahan kebijakan yang
terkait dengan pelaksanaan RW Siaga adalah 1)
Peningkatan IPM, keberpihakan dan kemudahan
pelayanan kepada masyarakat yang menjadi
dasar intervensi pada bidang kesehatan
masyarakat
dan
2)
Penguatan
dan
pemberdayaan desa/kelurahan yang menjadi
dasar penguatan kelembagaan lokal dalam
meningkatkan partisipasi masyarakat.
Di tingkat Desa Cibereum, pendekatan politis
dituangkan didalam RPJMDes Desa Cibereum
yang memiliki visi Dengan Iman dan Taqwa
Desa Cibereum Menuju Desa Swasembada
Pangan Tahun 2015 dan misi yaitu
meningkatkan mutu Sumber Daya Manusia
(SDM);
menegakkan
supremasi
hukum;
meningkatkan peran, fungsi dan kinerja
kelembagaan; meningkatkan pelayanan untuk
masyarakat;
meningkatkan
Kamtibnas;
melestarikan,
memanfaatkan
dan
mengendalikan Sumber Daya Alam (SDA); dan
meningkatkan pendidikan, kesehatan dan
perekonomian masyarakat.
Berdasarkan visi dan misi tersebut dapat
diketahui bahwa prioritas pembangunan yang
ada di Desa Cibereum adalah dalam mendukung
peningkatan perkembangan pertanian sehingga
mampu tercapai swasembada pangan. Desa
swasembada adalah desa yang memiliki
kemandirian kepada desa lainnya, meskipun ada
ketergantungan lebih bersifat interelasi yang
2)
3)
4)
Tahapan Pengorganisasian Komunitas dan Pemetaaan Kapasitas Komunitas Pelayanan Kesehatan Berbasis Masyarakat
Kelembagaan
Penganggaran
Pada
pelaksanaan
pembangunan
aspek
penganggaran merupakan salah satu aspek
penting
dalam
menunjang
keberhasilan
pelaksanaan pembangunan. Pada pembangunan
kesehatan penganggaran juga menjadi suatu
aspek penting di dalam menunjang pelaksanaan
program program kesehatan yang dilakukan.
Pada bagian ini akan dijelaskan mengenai
mekanisme penganggaran kesehatan yang
terintegrasi dalam mendukung pembangunan
kesehatan di Kota Banjar. Adanya alokasi
anggaran pemerintah yang ada di tiap tingkatan
pemerintahan merupakan bentuk komitmen
dalam mendukung pembangunan kesehatan.
Pelaksanaan penganggaran kesehatan merujuk
pada Standar Pelayanan Minimal (SPM) bidang
kesehatan
di
Kabupaten/Kota
menurut
Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor
741/Menkes/Per/VII/2008 adalah tolak ukur
kinerja
pelayanan
kesehatan
yang
diselenggarakan Kabupaten/Kota. Pelayanan
dasar kesehatan kepada masyarakat adalah
fungsi pemerintah dalam memberkan dan
mengurus kebutuhan dasar masyarakat untuk
meningkatkan
taraf
kesejahteraan
masyarakatnya. Standar Pelayanan Minimal
(SPM) meliputi empat jenis pelayanan yaitu:
1)
2)
3)
4)
2)
2)
3)
4)
SPM
Tahapan Pengorganisasian Komunitas dan Pemetaaan Kapasitas Komunitas Pelayanan Kesehatan Berbasis Masyarakat
5)
6)
7)
masing daerah.
Pemerintah daerah dapat mengembangkan
jenis kegiatan dari masing-masing jenis
pelayanan yang sudah ditetapkan oleh
Kementrian Kesehatan sesuai dengan
kebutuhan daerahnya dalam pencapaian
SPM di daerahnya masing-masing.
Pemerintah
daerah
menggunakan
perencanaan pembiayaan pencapaian SPM
bidan kesehatan untuk melihat kemampuan
keuangan daerahnya dalam mencapai SPM
bidang kesehatan yang sudah ditetapkan
oleh pemerintah pusat.
Apabila pembiayaan yang dibutuhkan
dalam pencapaian SPM bidang kesehatan
melebihi kemampuan keuangan daerah
maka pemerintah daerah dapat mengurangi
kegiatan atau mencapi sumber anggaran
lainnya.
2)
Dengan SKPD
Melalui
kegiatan
pra-Musrenbang
Kecamatan
dan
Musrenbang
Kecamatan
(Sosialisasi
dan
Pembahasan PIK).
Melalui kegiatan pra-Forum SKPD dan
Forum
SKPD
(Sosialisasi
dan
pembahasan Pagu Indikatif SKPD).
Melalui
kegiatan
pra-Musrenbang
Kabupaten dan Musrenbang Kabupaten
(Pemantapan PIK dan Pagu Indikatif
SKPD serta mensinergikannya dengan
sumber pendanaan yang lain.
Dengan DPRD
3)
dengan
Sedangkan
pengintegrasian
mekanisme
penganggaran dilakukan sebagai berikut:
1) Koordinasi Penganggaran SKPD dan DPRD
kesehatan.
Melalui rapat pembahasan
Badan Anggaran.
dan
Dilaksanakan
pada
saat
praMusrenvang Desa dan Musrenbang
Desa dalam rangka penyusunan RKP
Desa:
Perencanaan
dirumuskan
berdasarkan prediksi kapasitas fiscal
desa (pagu indikatif ADD dan PIK)
serta mengacu pada realisasi APBDes
tahun sebelumnya.
Dilaksanakan pada saat musyawarah
desa dalam rangka penyusunan
APBDes: Penganggaran dialokasian
berdasarkan dokumen RKPDesa serta
realisasi ADD dan PIK (sebagaimana
tertuang dalam APBD).
Didahului dengan adanya forum
RW/Dusun dalam menggali gagasan
perencanaan yang akan dilakukan.
Forum RW/Dusun merupakan forum
yang diikuti warga masyarakat secara
langsung. Pada prosesnya semua
warga diberikan kesempatan untuk
memberikan
masukan
pada
keberjalanan pembangunan termasuk
masukan
dalam
pembangunan
kesehatan.
4)
5)
Efektivitas
Pengelolaan
Pembangunan Desa
Anggaran
Dukungan
Mekanisme
Kerjasama
Intersektoral Efektif (N etw orks P ow er)
Menurut Innes (2010) menyatakan bahwa
kekuatan jaringan timbul dari komunikasi dan
kolaborasi di antara individu, masyarakat dan
Tahapan Pengorganisasian Komunitas dan Pemetaaan Kapasitas Komunitas Pelayanan Kesehatan Berbasis Masyarakat
Tahapan Pengorganisasian Komunitas dan Pemetaaan Kapasitas Komunitas Pelayanan Kesehatan Berbasis Masyarakat
Keberhasilan
pelaksanaan
RW
Siaga
memerlukan dukungan sistem perencanaan,
kelembagaan
dan
pendanaan
pembangunan kesehatan yang integratif.
Pelaksanaan RW Siaga merupakan bentuk
perpanjangan pelaksanaan pembangunan
kesehatan di tingkat grassroot, sehingga
keberhasilannya sangat dipengaruhi oleh
sistem/kebijakan yang lebih luas. Adanya
supporting system baik dalam perencanaan
program, kelembagaan maupun pendanaan
menunjukkan komitmen pemerintah daerah
didalamnya.
Dengan
demikian,
pelaksanaan RW Siaga tidak dibebankan
semua kepada masyarakat secara umum
namun menjadi tanggung jawab bersama
antara pemerintah sebagai penyedia
layanan kesehatan (enabler) dengan warga
sebagai pelaksana program (executor)
maupun penerima manfaat (beneficiary).
b.
Tahapan Pengorganisasian Komunitas dan Pemetaaan Kapasitas Komunitas Pelayanan Kesehatan Berbasis Masyarakat
c.
d.
e.
f.
g.
Peningkatan
pelibatan
warga
dalam
penetapan target - target pelaksanaan
kegiatan RW Siaga.
Penetapan target target RW Siaga selama
ini didasarkan pada target target yang
ditetapkan didalam aturan yang menjadi
landasan pelaksanaan RW Siaga, target
target
yang
ditetapkan
seharusnya
disesuaikan dengan kondisi dari Dusun
Cipantaran.
Pelibatan
warga
Dusun
Cipantaran dapat dilakukan melalui MMD
ketika program program RW Siaga dibuat.
b.
Peningkatan
pelibatan
warga
dalam
pembuatan prosedur, aturan dan strategi
pelaksanaan kegiatan RW Siaga.
Penetapan prosedur, aturan dan strategi
RW Siaga selama ini didasarkan pada
aturan yang menjadi landasan pelaksanaan
RW Siaga, target target yang ditetapkan
seharusnya disesuaikan dengan kondisi dari
Dusun Cipantaran. Pelibatan warga Dusun
Cipantaran dapat dilakukan melalui MMD
ketika program program RW Siaga dibuat
Jurnal Perencanaan Wilayah dan Kota 2 SAPPK V3N3| 517
Tahapan Pengorganisasian Komunitas dan Pemetaaan Kapasitas Komunitas Pelayanan Kesehatan Berbasis Masyarakat
c.
d.
e.
Acmadi,
Buku Kompas.
Agustino, Leo. (2006). Dasar - dasar Kebijakan
Publik. Bandung: CV. Alfabeto.
Alinsky, Saul. 1972. Rules for Radicals. New
York: Vintage Books.
Anwar,
Affendi.
(2000).
Pembangunan
Tataruang (Spatial) Wilayah Perdesaan
dalam Rangka Pembangunan Regional.
Bogor: IPB
Arisman. (2004). Gizi Dalam Daur Kehidupan
Buku Ajar Ilmu Gizi. Jakarta: Buku
Kedokteran EGC.
Babbie, Earl R. (2007). The Practice of Social
Research.
Belmont,
CA:
Thomson
Wadsworth.
Beckwith, Dave. (1997). People Power from the
Grassroots. Washington, DC: Center for
Community Change.
Bryant, William D.A. (1994). Mis-interpretations
of the Second Fundamental Theorem of
Welfare Economics: Barriers to Better
Economic Education. Journal of Economic
Education. Vol. 25, No.1, Winter, pp. 75-80.
Burkey, S. (1993). People First: A Guide to SelfReliance Participatory Rural Development.
London: Zet Books Ltd.
Burke, Lee et al. (1986). Corporate Community
Involvement in the San Francisco Bay Area.
California Management Review. Spring, Vol.
28 Issue 3, p.122
Cernea, M, (1991). Putting People First:
Sociological Variables in Rural Development.
New York: Oxford University Press.
Chambers, R. (1983). Rural Development:
Putting the Last First. Harlow: Longman.
Chaskin, Robert et al. (2001). Building
Community Capacity. New York: Aldine De
Gruyter.
Chaskin, R. J., P. Brown, S. Venkatesh, and A.
Vidal. (2001). Building Community Capacity.
New York: Aldine De Gruyter.
Creswell, J. W. (1994). Research Design
Qualitative and Quantitative Approaches.
London: SAGE Publications.
Cole, Richard. (1974). Citizen Participation in the
Urban Policy Process. Lexington: Lexington
Books.
Coleman, James S. (1988). Social Capital in the
Creation of Human Capital. American Journal
of Sociology. Vol. 94 Supplement S95 S120
Devas, Nick et al. (1993). Managing Fast
Epidemiology in
Health Service Management. Gaithesburg,
Institute.
Labonte, R., & Laverack, G. (2001). Capacity
Building in Health Promotion. Critical Public
Health. Volume 11, Issue 2
Lipton, M. (1997). Accelerated Resource
Degradation by Agriculture in Developing
Countries? The Role of Population Change
and Responses to It in Vosti, S.A. and
Reardon, T (eds.). (1997). Sustainability,
Inquiry
into
the
Poverty
of
Nations. Harmondsworth: Penguin.
Notoadmojo, S. (1993). Pengantar Pendidikan
Kesehatan dan Ilmu Perilaku Kesehatan.
Yogyakarta: PT.Andi Offset.
Nurman, Ari dkk. (2008. Merumuskan Skema
Tahapan Pengorganisasian Komunitas dan Pemetaaan Kapasitas Komunitas Pelayanan Kesehatan Berbasis Masyarakat
Toledo.
World
Health
Organization,
Commission of Social Determinant of Health.
Stone, R. (1996). Core Issues in Comprehensive
Community Building Initiatives. Chicago:
Chapin Hall Center for Children at the
University of Chicago.
Sudrajat, dkk. (2013). Banjar Satu Dekade:
Memberdayakan
Masyarakat:
Kajian
Strategis Pembangunan Kesejahteraan Sosial
dan Pekerjaan Sosial. Bandung: Refika
Adhitama.
Suparmanto, E. (2006). Pengembangan Desa
Siaga dan Pos Kesehatan Desa. Jakarta:
Depkes RI.
Suwarno, Yogi. (2008). Inovasi di Sektor Publik.
Jakarta: Penerbit STIA - LAN Press.
Tangkilisan, Hessel Nogi S. (2005). Manajemen
Publik. Jakarta: PT. Gramedia Widiasarana
Indonesia.
Tubb, Stewart L. (1984). A system Approach to
Small Group Interaction Second Edition.
Reading, MA: Addison Wesley Publishing
Company.
Waterston,
Albert.
(1965).
Development
Planning. Baltimore: The Johns Hopkins Press.
Widiarta, N. dan S. Hendarsih S. (2003).
Integrasi Sistem Pengendalian Hama Terpadu
ke dalam Model Pengelolaan Tanaman
Terpadu. Avaliable at:
http://www.202.158.78.120/publication/
wr254.035.pdf.25(4):1-3
Wicaksono, Wazir dkk. (2001). Catatan Pertama