Anda di halaman 1dari 24

Sekolah Arsitektur, Perencanaan dan Pengembangan Kebijakan ITB

Tahapan Pengorganisasian Komunitas dan Pemetaan Kapasitas


Komunitas Pelayanan Kesehatan Berbasis Masyarakat (Studi
Kasus: Pelaksanaan RW Siaga di Dusun Cipantaran Desa
Cibereum Kota Banjar)
Elmy Yasinta Ciptadi(1), Suhirman(2)
(1)
(2)

Program Magister Perencanaan Wilayah dan Kota, Sekolah Arsitektur, Perencanaan dan Pengembangan Kebijakan, ITB.
Kelompok Keilmuan Pengelolaan Pembangunan dan Pengembangan Kebijakan, Sekolah Arsitektur, Perencanaan dan
Pengembangan Kebijakan, ITB

Abstrak
Di dalam konteks pembangunan wilayah perdesaan di negara berkembang kegagalan pendekatan
perencanaan top-down diakibatkan kurangnya pengetahuan pemerintah terkait kondisi ekosistem
maupun tatanan nilai masyarakat perdesaan yang memiliki karakter khusus dan tersebar luas secara
spasial. Akibatnya perancangan desain program dan proyek pembangunan yang dibuat semakin
memarjinalkan masyarakat perdesaan. Keterlibatan masyarakat dianggap menjadi strategi yang
dapat menurunkan inefisiensi pada pada pelaksanaan pendekatan perencanaan top-down. Meskipun
demikian, keberhasilan dari upaya pelibatan dan peran aktif masyarakat harus dilakukan secara
terlembaga. Konsekuensi dari hal tersebut adalah perlunya perubahan kepranataan kelembagaan
masyarakat maupun perubahan kapasitas sumber daya manusia di dalamnya. Konsep
pengorganisasian komunitas dinilai sebagai strategi yang tepat di dalam meningkatkan kapasitas
komunitas karena pelaksanaannya tidak hanya ditekankan pada mobilisasi komunitas pada suatu
tujuan tetapi merupakan suatu proses interaksi dalam bentuk komunitas yang memfokuskan pada
inisiatid dalam mengambil tindakan-tindakan secara sadar dalam mencapai transformasi sosial bagi
komunitas. Pada penelitian ini proses pengorganisasian komunitas dilihat dalam pelaksanaan
pelayanan kesehatan berbasis masyarakat. Pergeseran pendekatan pembangunan kesehatan dari
kuratif dan rehabilitatif menjadi promotif dan preventif menjadi landasan di dalam pelibatan
masyarakat di dalam pencapaian target-target pembangunan kesehatan di Indonesia. Konsep
pengorganisasian komunitas dalam pelayanan kesehatan diimplementasikan dengan pelaksanaan
RW Siaga. Salah satu pelaksana RW Siaga terbaik adalah Kota Banjar yaitu pada Dusun Cipantaran
Desa Cibereum. Proses pentahapan pelaksanaan RW Siaga di Dusun Cipantaran dilihat untuk
dijadikan pembelajaran pengorganisasian komunitas dalam konteks masyarakat perdesaan. Tiap-tiap
proses dari tahapan persiapan dan pengkajian, tahapan pengorganisasian serta tahapan luaran dan
hasil akan dijelaskan secara rinci untuk menggambarkan sejauhmana keterlibatan masyarakat
didalamnya dan penilaian kapasitas komunitas pada tiap tahapan tersebut. Selain penjelasan
pentahapan dan pemetaan kapasitas pada pelaksanaan RW Siaga juga dijelaskan terkait lesson
learned pelaksanaan RW Siaga di Dusun Cipantaran baik halhal internal yaitu karakteristik
masyarakat dan pendekatan sosial-budaya yang digunakan maupun eksternal yaitu dukungan sistem
pembangunan (dukungan sistem perencanaan pembangunan, pendanaan pembangunan dan
kelembagaan pembangunan) yang terintegrasi dan kekuatan jejaring eksternal yang menunjang
keberhasilan pelaksanan RW Siaga di Dusun Cipantaran.
Kata-kunci: Pengorganisasian komunitas, pelayanan kesehatan berbasis masyarakat, pentahapan
RW Siaga

Jurnal Perencanaan Wilayah dan Kota 2 SAPPK V3N3| 497

Tahapan Pengorganisasian Komunitas dan Pemetaaan Kapasitas Komunitas Pelayanan Kesehatan Berbasis Masyarakat

Pendahuluan
Pada konteks negara berkembang kegagalan
kebijakan pemerintah dalam melaksanakan
pembangunan dengan pendekatan perencanaan
yang bersifat top-down di wilayah perdesaan
adalah ketidaktahuan pemerintah terhadap
kondisi ekosistem dan tatanan nilai masyarakat
perdesaan yang memiliki karakter khusus dan
tersebar luas secara spasial. Kegagalan tersebut
diterapkan dalam perancangan desain program
dan proyek pembangunan yang semakin
memarjinalkan masyarakat pedesaan baik
secara ekonomi, sosial maupun politis.
Akibatnya
desa
semakin
mengalami
kemunduran dan SDM yang tinggal di desa
memiliki
keterbatasan
akses
dalam
meningkatkan kualitas hidupnya. Permasalahan
kemiskinan
yang
terjadi
di
perdesaan
merupakan
suatu
implikasi
dari
ketidakberdayaan dan keterbatasan akses
masyarakat perdesaan sehingga tidak memiliki
posisi tawar secara politik yang kuat dalam
mempengaruhi kebijakan pemerintah pusat
yang bersifat sentralistis. Dampak yang
diakibatkan oleh kondisi ini adalah adanya
urbanisasi
masyarakat
perdesaan
yang
menyebabkan polarisasi spasial di kawasan
perkotaan semakin meningkat dan minimnya
keahlian SDM yang bermigrasi hanya akan
memindahkan masalah sosial yang dimilikinya
ke perkotaan. Padahal menurut Anwar (2000)
pembangunan perdesaan merupakan suatu
agenda
prioritas
dari
negara-negara
berkembang. Hal ini perlu dilakukan mengingat
masyarakat di negara-negara berkembang
sebagian besar tinggal di kawasan perdesaan.
Pembangunan perdesaan bukan merupakan
hanya pembangunan sektor pertanian namun
juga merupakan pembangunan SDM perdesaan
baik yang bekerja pada sektor pertanian
maupun non-pertanian sehingga masyarakat
perdesaan pun dapat memiliki kapasitas untuk
terus meningkatkan kualitas hidupnya tanpa
bergantung oleh perkotaan yang justru hanya
akan menjadikan desa sebagai bagian dari
sistem
penyedia
kebutuhan
masyarakat
perkotaan (Lipton, 1997).
Menurut
Nurske
dan
Myrdall
(1959)
menekankan bahwa pendekatan perencanaan
498 | Jurnal Perencanaan Wilayah dan Kota B SAPPK V3N3

wilayah yang seharusnya dilakukan di negara


berkembang adalah dengan pendekatan yang
mengedepankan pengembangan kelembagaan
dan organisasional. Tanpa adanya perubahan
kelembagaan maka pendekatan perencanaan
yang dilakukan tidak dapat dilakukan secara
berkelanjutan. Pengembangan dan perubahan
kelembagaan dapat dilakukan dengan adanya
perubahan yang dilakukan dari sisi kepranataan
kelembagaannya maupun perubahan sumber
daya manusia yang ada didalamnya (Ernest,
2005). Perencanaan wilayah hanya akan berarti
jika
dilaksanakan
dalam
kerangka
pengembangan masyarakat, sedangkan aspek
ekonomi regional dan aspek spasial hanya
merupakan bagian dari kerangka reformasi
kelembagaan.
Pandangan yang sama yang
berasal dari Myrdal (1968) dan Waterston
(1965)
mengenai
kerangka
reformasi
kelembagaan adalah adanya tiga prasyarat yang
dapat mempercepat pengembangan wilayah
yaitu 1) mobilisasi dan penggerakan potensi dan
sumberdaya domestik, 2) partisipasi masyarakat
luas dalam proses pembangunan dan upaya
memenuhi standar hidup minimum masyarakat
luas dan 3) menggunakan pendekatan
perencanaan partisipatif dalam membangunan
kapasitas sosial dan kelembagaan masyarakat.
Pada pendekatan berbasis masyarakat kekuatan
utama berada pada adanya sentralitas
partisipasi masyarakat sehingga pada prosesnya
modal sosial maupun kapasitas SDM yang
terlibat menjadi penting dalam mendukung
perubahan sosial yang berkelanjutan (Kubisch,
1997). Menurut Chaskin (2001) dalam konteks
kapasitas
komunitas,
pengorganisasian
masyarakat menjadi salah satu strategi
pengembangan
kapasitas
komunitas.
Pengorganisasian masyarakat merupakan suatu
proses
memobilisasi
orang-orang
untuk
memecahkan persoalan komunitas bersama dan
mencapai tujuan kolektif. Selain itu, pada
penerapan
pengorganisasian
komunitas
menawarkan kesempatan dan peluang untuk
membangun kapasitas komunitas didalamnya.
Selain itu, proses pengorganisasian komunitas
tersebut juga mampu meningkatkan dan
memperkuat
relasi
dengan
membangun
kepercayaan
dan
mengakui
kepentingan
bersama. Dengan demikian pengorganisasian

Elmy Yasinta Ciptadi

masyarakat bukan sekedar memobilisasi masa


untuk suatu kepentingan, tetapi suatu proses
interaksi dalam bentuk komunitas yang lebih
memfokuskan pada inisiatif dalam mengambil
tindakan-tindakan secara sadar dalam mencapai
perubahan yang lebih baik bagi komunitas
(Chaskin, 2001).
Konsep
pelibatan
masyarakat
melalui
pengorganisasian komunitas juga dilakukan
dalam sistem kesehatan nasional yang
diterapkan di Indonesia. Pergeseran pendekatan
kesehatan dari kuratif dan rehabilitatif menjadi
promotif dan preventif menjadi landasan di
dalam pelaksanaan pengorganisasian komunitas
dalam
upaya peningkatan
pembangunan
kesehatan.
Pelaksanaan
pengorganisasian
komunitas pada pembangunan kesehatan di
Indonesia dilakukan dengan RW Siaga. Salah
satu pelaksana RW Siaga terbaik adalah RW
Siaga di Dusun Cipantaran Desa Cibereum Kota
Banjar. Pada penelitian ini akan dilihat
pentahapan pengorganisasian komunitas yang
dilaksanakan dan sejauhmana keterlibatan
masyarakat dalam menunjang keberhasilan
tersebut.
Metodologi
Penelitian ini dikategorikan sebagai penelitian
deskriptif karena bertujuan untuk mengetahui
suatu situasi atau kejadian secara mendalam
(Babbie, 2007). Berdasarkan teknik penelitian,
pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini
menggunakan pendekatan kualitatif sebagai
pendekatan utama. Penelitian ini menggunakan
desain studi kasus tunggal holistik karena
menggunakan satu unit analisis dan sekaligus
menyatu dalam kasusnya, yaitu pentahapan
pengorganisasian komunitas pada pelayanan
kesehatan berbasis masyarakat dengan studi
kasus pelaksanaan RW Siaga di Dusun
Cipantaran Desa Cibereum Kota Banjar. Selain
itu
dalam
memetakan
kapasitas
pengorganisasian
komunitas
pelayanan
kesehatan berbasis kesehatan menggunakan
indikator CCI (Community Capacity Index).
Pemilihan kasus didasarkan pada pertimbangan
bahwa salah satu kota yang berhasil
menerapkan konsep Desa Siaga adalah Kota

Banjar. Kota Banjar merupakan kota yang baru


berdiri dari hasil pemekaran Kabupaten Ciamis.
Sesuai dengan salah satu misinya dalam
meningkatkan kualitas Sumber Daya Manusia
(SDM), pemerintah Kota Banjar menekankan
peranannya pada upaya perbaikan pelayanan
pendidikan dan kesehatan sehingga dapat
memberikan dampak peningkatan produktivitas
masyarakat.
Sejak diterapkannya RW Siaga di Kota Banjar,
terjadi banyak pencapaian target pemerintah
dalam bidang kesehatan seperti meningkatnya
derajat kesehatan masyarakat di Kota Banjar,
menurunnya Angka Kematian Ibu (AKI),
menurunnya Angka Kematian Bayi (AKB),
meningkatnya Umur Harapan Hidup (UHH)
masyarakat dan menurunnya angka kesakitan
masyarakat di Kota Banjar. Tidak hanya itu
beberapa penghargaan dalam pelaksanaan RW
Siaga di Kota Banjar sejak Tahun 2008 yaitu
Penghargaan Peringkat ke-2 RW Siaga Terbaik
se-Jawa Barat (2007), Penghargaan RW Siaga
Terbaik se-Jawa Barat (2008), Penghargaan RW
Siaga Terbaik se-Jawa Barat (2009) dan
Penghargaan Raksa Prasadha Jawa Barat Bidang
Lingkungan Hidup (2011) dalam melaksanakan
RW Siaga Sehat yaitu dalam program Green
and Clean. Hal ini mendukung pencapaian
pencapaian penghargaan lainnya di bidang
kesehatan baik secara regional maupun nasional
yang diterima oleh Kota Banjar seperti
Penghargaan Manggala Karya Kencana BKKBN,
Penghargaan Population Award dari IFPPD Jawa
Barat (2008), Penghargaan Lencana Jasa Madya
dari PMI, Penghargaan Best Effort City se-Jawa
Barat dalam Hari Lingkungan Hidup Se-Dunia
(2010), Penghargaan Satya Lencana Wira Karya
Bidang Keluarga Berencana dari Presiden RI
(2010),
Peringkat
ke-3
Penyelenggaraan
Pemerintahan
Kota
Berprestasi
Tertinggi
Nasional dari Mendagri RI (2011), Penghargaan
Swasti Saba Padapa dalam Penyelenggaraan
Kabupaten/Kota Sehat Tingkat Nasional dari
Menteri Kesehatan RI (2011), Penghargaan
Innovative Government Award (IGA) dari
Mendagri (2011), dan Penghargaan Indonesia
MDGs Award (2012) Bidang Pelayanan
Kesehatan Ibu dan Anak. Ketercapaian target
kesehatan maupun penghargaan yang diperoleh
oleh Kota Banjar dalam bidang kesehatan tidak
Jurnal Perencanaan Wilayah dan Kota 2 SAPPK V3N3| 499

Tahapan Pengorganisasian Komunitas dan Pemetaaan Kapasitas Komunitas Pelayanan Kesehatan Berbasis Masyarakat

terlepas dari adanya dukungan dari masyarakat.


Dengan demikian dapat dikatakan bahwa
pelaksanaan RW Siaga merupakan simpul
penting
dalam
peningkatan
pelayanan
kesehatan di Kota Banjar. Salah satu desa
berprestasi di Kota Banjar adalah Desa
Cibereum. Prestasi Desa Cibereum antara lain
desa percontohan Kampung KB tingkat Provinsi
Jawa Barat, Desa Layak Anak tingkat Provinsi
Jawa Barat dan salah satu desa dengan RW
Siaga terbaik di Kota Banjar yaitu pada Dusun
Cipantaran.

Pentahapan Pengorganisasian Komunitas


Pada Pelaksanaan RW Siaga Dusun
Cipantaran
Pentapan pengorganisasian komunitas pada
pelaksaaan RW Siaga dijelaskan di dalam tiga
tahapan secara garis besar yaitu tahap
persiapan
dan
pengkajian,
tahap
pengorganisasian dan tahap hasil dan luaran.

Gambar 1. Pemilihan Studi Kasus

500 | Jurnal Perencanaan Wilayah dan Kota B SAPPK V3N3

Elmy Yasinta Ciptadi

Deskripsi
ketiga
tahapan
diklasifikasikan
menurut komponen di dalam manajemen proses
yang terdiri dari dua komponen besar yaitu
komponen sumber daya dan komponen
tugas/fungsi. Pada komponen sumber daya
pembahasan dilakukan pada penggunaan
sumber daya material, sumber daya manusia
dan gagasan/ide sedangkan pada komponen
tugas/fungsi penjelasan dilakukan pada fungsi
konseptual desain, fungsi
administrasi dan
fungsi kepemimpinan. Jika dibuat dalam bentuk
yang
lebih
sederhana
proses
tahapan
pengorganisasian
komunitas
RW
Siaga
dijelaskan pada gambar 2 berikut.
Pemetaan Kapasitas
Pelaksanaan RW Siaga

Komunitas

Pada

dengan
menggunakan
Indeks
Kapasitas
Pengorganisasian
Diri
Komunitas
yang
merupakan modifikasi dari Indeks Kapasitas
Komunitas.
Penjabaran
kapasitas
pengorganisasian diri warga Dusun Cipantaran
dalam mendukung penerapan RW Siaga dibagi
menjadi tiga tahapan yang didefinisikan
berdasarkan tinjauan literatur yang menjelaskan
definisi dan tahapan dalam pengorganisasian
komunitas pada konteks pelayanan kesehatan
berbasis masyarakat. Tahapantahapan yang
menjadi indikator utama pengorganisasian diri
yaitu 1) Tahapan persiapan dan pengkajian, 2)
Tahap pengorganisasian dan 3) Tahap hasil dan
luaran.

Pemetaan kapasitas pengorganisasian diri di tiap


tahapan pengorganisasian komunitas dilakukan

Gambar 2. Pentahapan Pengorganisasian Komunitas Pelaksanaan RW Siaga Dusun


Cipantaran
Jurnal Perencanaan Wilayah dan Kota 2 SAPPK V3N3| 501

Tahapan Pengorganisasian Komunitas dan Pemetaaan Kapasitas Komunitas Pelayanan Kesehatan Berbasis Masyarakat

Gambar 3. Pemetaan Kapasitas Komunitas Berdasarkan Struktur CCI

Masingmasing tahapan pengorganisasian diri


komunitas akan diuraikan kembali berdasarkan
indikator utama, sub indikator dan kriteria atau
parameter pengukuran yang lebih rinci. Kriteria
atau parameter yang dimaksud di atas menjadi
acuan dalam pembuatan daftar pertanyaan yang
akan diajukan kepada sebagian warga Dusun
Cipantaran.
Pemetaan kapasitas komunitas akan ditujukan
untuk mendapatkan gambaran mengenai
potensi individu dan organisasi dalam spesifikasi
502 | Jurnal Perencanaan Wilayah dan Kota B SAPPK V3N3

pengorganisasian komunitas pada layanan


kesehatan berbasis masyarakat yang dilihat dari
pelaksanaan RW Siaga. Gambaran mengenai
kapasitas pengorganisasian komunitas pada
layanan
kesehatan
berbasis
masyarakat
merupakan informasi dalam pengembangan
kelembagaan kesehatan berbasis masyarakat di
masa
mendatang.
Tabel
di
atas
menggambarkan kapasitas pengorganisasian
komunitas pelaksanaan RW Siaga di Dusun
Cipantaran dilihat dari masing masing domain
indikator yang terdapat di dalam CCI, jika dilihat
untuk keempat domain yaitu jaringan kerjasama

Elmy Yasinta Ciptadi

(networks partnership), transfer pengetahuan


(transfer
knowledge),
penyelesaian
permasalahan
(problem
solving)
dan
infrastruktur (infrastructure) berdasarkan kolom
yang semakin ke bawah (secara vertikal) maka
penilaian kapasitas komunitas semakin tinggi
dan jika dilihat tiap baris pada tabel yang
semakin ke kanan menunjukkan bahwa
pelaksanaan RW Siaga memiliki keberlanjutan
(sustainability) yang tinggi.
Berdasarkan diagram alir tersebut, kapasitas
komunitas warga Dusun Cipantaran berdasarkan
hasil penilaian community capacity index
menyatakan bahwa di seluruh tahapan
pengorganisasian komunitas pada pelaksanaan
layanan kesehatan berbasis masyarakat sudah

cukup tinggi. Pemetaan kapasitas komunitas ini


dibagi ke dalam empat bagian (A, B, C dan X).
Bagian (A, B dan C) menjelaskan kapasitas
komunitas yang sudah dimiliki oleh warga Dusun
Cipantaran dalam pelaksanaan RW Siaga,
sedangkan bagian (X) menjelaskan komponen
pengorganisasian komunitas yang masih harus
ditingkatkan dalam meningkatkan keefektifan
pelaksanaan RW Siaga di Dusun Cipantaran.
Bagian (A) merupakan penjelasan kapasitas
komunitas pada tahapan penyiapan dan
pengkajian. Tahapan ini terdiri dari tiga
indikator yaitu pengidentifikasian permasalahan,
pengidentifikasian
sumber
daya
dan
peningkatan pemahaman dan diseminasi
informasi.

Gambar 5 Diagram Alir Pelaksanaan RW Siaga Dusun Cipantaran


Jurnal Perencanaan Wilayah dan Kota 2 SAPPK V3N3| 503

Tahapan Pengorganisasian Komunitas dan Pemetaaan Kapasitas Komunitas Pelayanan Kesehatan Berbasis Masyarakat

Ketiga indikator tersebut dilakukan paling awal


dalam pelaksanaan pengorganisasi komunitas
agar memperoleh gambaran dari permasalahan,
potensi sumber daya yang mampu menunjang
upaya
penyelesaian
permasalahan
dan
penyiapan warga Dusun Cipantaran sebelum
akhirnya melaksanakan RW Siaga. Pada tahapan
ini, dapat diketahui bahwa warga Dusun
Cipantaran sudah memiliki kemampuan dalam
memetakan kondisi permasalahan kesehatan.
Hal ini ditunjang dengan adanya potensi sumber
daya internal maupun eksternal yang ada di
Dusun Cipantaran tersebut. Kepemimpinan lokal
(Kepala Dusun, Ketua RW, Tokoh Agama, dll)
yang dihormati dan disegani warga mampu
menggerakan seluruh warga Dusun Cipantaran
pada pelaksanaan kegiatan - kegiatan RW Siaga
maupun kegiatan kemasyarakatan lainnya.
Bantuan materi maupun non-materi yang
berasal dari berbagai lembaga lain yang terkait
dengan pelaksanaan kesehatan juga menunjang
pelaksanaan RW Siaga di Dusun Cipantaran.
Pemahaman dan peningkatan kapasitas warga
Dusun Cipantaran dilakukan dengan adanya
sosialisasi, penyuluhan dan pelatihan dengan
tujuan agar terjadi penyamarataan informasi
dan mampu meningkatkan kesadaran warga
Dusun Cipantaran dalam upaya upaya
kesehatan, sehingga warga Dusun Cipantaran
mau terlibat aktif pada pelaksanaan RW Siaga.
Media media promosi kesehatan serta adanya
forum komunikasi menjadi sarana yang efektif
dalam upaya diseminasi informasi yang
dilakukan.
Bagian (B) merupakan penjelasan kapasitas
komunitas pada tahap pengorganisasian.
Tahapan ini terdiri dari tiga indikator yaitu
perencanaan,
tindakan
kolektif
serta
pengendalian dan pengevaluasian. Ketiga
indikator ini merupakan lanjutan dari tahapan
pengkajian dan penyiapan. Setelah warga
Dusun Cipantaran memiliki kesiapan dan
pemahaman setelah tahap pengkajian dan
penyiapan
dilanjutkan
dengan
tahap
pengorganisasian yang merupakan tahap
implementasi pelaksanaan RW Siaga. Tahapan
ini dimulai dengan proses perencanaan
pelaksanaan
RW
Siaga.
Pada
proses
perencanaan ada dua hal yang paling penting
yaitu perencanaan program dan pendanaan
program.
504 | Jurnal Perencanaan Wilayah dan Kota B SAPPK V3N3

Pada pelaksanaannya kedua proses tersebut


dilaksanakan secara partisipatif oleh warga
Dusun Cipantaran melalui mekanisme forum
diskusi terbuka yang diikuti seluruh warga
Dusun Cipantaran. Pada prosesnya setiap warga
Dusun Cipantaran diberikan kesempatan untuk
memberikan masukan dalam pelaksanaan RW
Siaga. Kemudian setelah pelaksanaan tahapan
perencanaan, dilakukan tahap tindakan kolektif
yang merupakan suatu bentuk perwujudan
pengorganisasian
komunitas
itu
sendiri.
Tindakan kolektif terbagi menjadi dua yaitu rutin
dan insidental. Tindakan kolektif yang bersifat
rutin merupakan bentuk bentuk kegiatan
pencegahan
dan
penanganan
masalah
kesehatan warga Dusun Cipantaran. Seluruh
warga Dusun Cipantaran mengikuti kegiatan
tersebut, sedangkan tindakan kolektif yang
bersifat insidental merupakan bentuk bentuk
kegiatan kegawatdaruratan yang bisa terjadi
secara tiba - tiba. Ada tiga bentuk kegiatan
kegawatdaruratan
yang
dilakukan
dan
dipersiapkan warga Dusun Cipantaran yaitu
siaga maternal dalam membantu penanganan
persalinan,
siaga
kebencanaan
dalam
mempersiapkan diri ketika terjadi bencana dan
dalam menanggulangi dampak akibat bencana
serta siaga kegawatdaruratan sehari hari
seperti kebakaran, kematian, dll. Tidak ada
hambatan yang berarti ketika menggerakan
warga Dusun Cipantaran untuk terlibat dalam
kegiatan kegiatan kemasyarakatan karena
pada dasarnya nilai nilai kegotongroyongan
dan kepedulian yang tinggi sudah terbangun
dari sebelum RW Siaga dilaksanakan. Indikator
terakhir pada tahap pengorganisasian adalah
pengendalian dan pengevaluasian. Tujuan
diadakannya pengendalian dan pengevaluasian
selain
untuk
memonitor
keberjalanan
pelaksanaan program program RW Siaga juga
dilakukan sebagai bentuk aksi reflektif sehingga
dapat menjadi masukan bagi keberjalan RW
Siaga yang lebih baik dimasa mendatang. Pada
upaya
pengendalian
dan
pengevaluasian
sebagian besar warga terlibat di dalam forum
evaluasi/
forum
pertanggungjawaban
pelaksanaan kegiatan RW Siaga dan aktif dalam
memberikan masukan untuk keberjalanan RW
Siaga. Selain forum evaluasi, pelaksanaan RW
Siaga juga dimonitor oleh pemerintah desa

Elmy Yasinta Ciptadi

terkait pelaksanaan kegiatan yang didanai APBD


Desa, Puskesmas dan Dinas Kesehatan.
Bagian (C) adalah tahapan paling terakhir dari
tahap
pengorganisasian
komunitas
pada
pelaksanaan RW Siaga di Dusun Cipantaran
yaitu tahapan hasil dan luaran. Pada tahapan ini
hanya memiliki satu indikator yaitu tranformasi
sosial yang dilihat dari tiga faktor yaitu
transformasi individual, transformasi kinerja
kelembagaan dan transformasi nilai budaya.
Pada dasarnya pelaksanaan pengorganisasian
komunitas dan pemberdayaan masyarakat
bertujuan untuk membuat perubahan yang lebih
baik di masyarakat. Oleh karena itu,
transformasi sosial yang terjadi di lingkungan
setempat menjadi tolak ukur penilaian
keberhasilan pengorganisasian komunitas yang
dilakukan di Dusun Cipantaran. Perubahan pada
masyarakat terjadi dalam jangka waktu tertentu,
sehingga cukup sulit ketika dilakukan penilaian
pada program yang masih baru. Meskipun
demikian, pada pelaksanaan RW Siaga di Dusun
Cipantaran sudah dapat dilihat beberapa
perubahan yang terjadi baik secara individual,
kelembagaan maupun nilai budaya yang berlaku.
Perubahan secara individual dapat dilihat dari
adanya perubahan perubahan pola kebiasaan
warga Dusun Cipantaran untuk berperilaku
bersih dan selalu menjaga kesehatannya seperti
untuk tidak merokok di dalam ruangan,
menggunakan garam beryodium, memilah dan
mengolah
sampah
rumah
tangga,
mengkonsumsi makanan yang bergizi seimbang,
menggunakan jamban sehat, mencuci tangan
menggunakan sabun setelah melakukan aktifitas
di luar ruangan, berolahraga secara rutin, dll.
Lingkungan di sekitar tempat tinggal warga
Dusun Cipantaran tidak hanya bersih namun
juga
asri
dengan
ditanaminya
seluruh
pekarangan rumah dengan tanaman tanaman
(baik holtikultura, obat-obatan maupun tanaman
produksi). Perbaikan akses juga dilakukan untuk
meningkatkan kemudahan warga sendiri untuk
mencapai fasilitas kesehatan yang ada di Dusun
Cipantaran. Tidak hanya perubahan pada pola
perilaku warga, perubahan juga terjadi pada
peningkatan
pemahaman
warga
Dusun
Cipantaran pada permasalahan kesehatan.
Warga Dusun Cipantaran sudah mampu untuk
melakukan deteksi dini beberapa penyakit yang

sering dialami oleh warga dan cara yang


digunakan untuk menangani permasalahan
kesehatan terutama untuk penyakit penyakit
yang ringan. Selain itu, perubahan juga terjadi
pada sistem nilai budaya terutama pada proses
persalinan. Pada awalnya kultur warga Dusun
Cipantaran adalah melakukan persalinan dengan
dibantu oleh dukun bayi yang dikarenakan
adanya alasan yang bersifat klenik/kepercayaan,
namun setelah adanya RW Siaga kebiasaan
tersebut perlahan lahan dihilangkan dengan
persalinan dibantu oleh bidan desa. Pada
awalnya terdapat hambatan namun strategi
pengintegrasian kultur dilakukan sebagai
pendekatannya. Bidan desa dan dukun bayi
melakukan kerja sama sehingga warga Dusun
Cipantaran
perlahan

lahan
mulai
meninggalkan
kebiasaannya.
Meskipun
pelaksanaan RW Siaga di Dusun Cipantaran
dapat dikatakan cukup berhasil namun ada
beberapa hal yang tetap harus ditingkatkan.
Bagian (X) merupakan beberapa hal yang harus
ditingkatkan dalam pelaksanaan RW Siaga yaitu
sebagai berikut:

Peningkatan
pelibatan
warga
dalam
penetapan target - target pelaksanaan
kegiatan RW Siaga.
Peningkatan
pelibatan
warga
dalam
pembuatan prosedur, aturan dan strategi
pelaksaan kegiatan RW Siaga.
Pembuatan sistem manajemen pengetahuan
sederhana pada pelaksanaan RW Siaga
sebagai
bentuk
dokumentasi,
media
pembelajaran dan media komunikasi internal.
Peningkatan transparansi antara kader RW
Siaga dengan warga Dusun Cipantaran
terutama terkait dengan kerja sama dengan
stakeholder eksternal.
Peningkatan
pelibatan
warga
Dusun
Cipantaran dalam pembuatan prosedur,
metode dan standar evaluasi pelaksaan
kegiatan RW Siaga sehingga warga Dusun
Cipantaran dapat memperoleh pembelajaran
pembuatan
program

program
pemberdayaan
masyarakat
secara
menyeluruh.

Jurnal Perencanaan Wilayah dan Kota 2 SAPPK V3N3| 505

Tahapan Pengorganisasian Komunitas dan Pemetaaan Kapasitas Komunitas Pelayanan Kesehatan Berbasis Masyarakat

Pembelajaran
Berdasarkan penelitian yang dilakukan baik
dalam melihat proses proses pengorganisasian
komunitas maupun dalam melihat kapasitas
warga Dusun Cipantaran yang terlibat, ada
beberapa hal yang dapat menjadi pembelajaran
dalam keberhasilan pelaksanaan RW Siaga di
Dusun Cipantaran yang terbagi menjadi faktor
eksternal maupun internal komunitas. Faktor
eksternal merupakan faktor penunjang yang
berasal dari luar kelembagaan RW Siaga di
Dusun Cipantaran, sedangkan faktor internal
merupakan faktor penunjang yang berasal dari
dalam kelembagaan RW Siaga termasuk
kapasitas
komunitas
didalamnya.
Berikut
merupakan penjelasan masing masing faktor
penunjang keberhasilan pelaksanaan RW Siaga.
Dukungan
Mekanisme
Perencanaan
Pembangunan Kesehatan Terintegrasi
Di tingkat Kota Banjar, arahan pembangunan
Kota Banjar yang tercantum di dalam visi dan
misi Kota Banjar yaitu Mewujudkan Kota Banjar

sebagai Kota Agropolitan Termaju di Priangan


Timur Jawa Barat. Berdasarkan visi tersebut

terdapat empat misi yang menjadi arahan


strategi pembangunan di Kota Banjar. Dua
diantara keempat misi tersebut memiliki korelasi
dengan
pelaksanaan
RW
Siaga
yaitu
meningkatkan kualitas Sumber Daya Manusia
(SDM)
dan
meningkatkan
Tata
Kelola
Pemerintahan
secara
Profesional
untuk
Menjamin Terciptanya Good Governance.
Peningkatan kualitas Sumber Daya Manusia
(SDM)
ditunjukkan
dengan
Indeks
Pembangunan Manusia (IPM) yang tinggi.
Dengan menekankan perhatian terhadap
pendidikan dan kesehatan, maka diharapkan
dapat memberikan dampak produktivitas
masyarakat Kota Banjar menjadi masyarakat
yang mampu mendukung tercapainya Kota
Banjar sebagai kota agropolitan termaju di
Wilayah Priangan Timur Jawa Barat. Sedangkan
peningkatan tata kelola pemerintahah secara
profesional untuk menjamin terciptanya good
governance
dilakukan
dengan
upaya
pemberdayaan baik pemberdayaan aparatur
pemerintahan
maupun
pemberdayaan
506 | Jurnal Perencanaan Wilayah dan Kota B SAPPK V3N3

masyarakat.
Pemberdayaan
aparatur
pemerintah dikembangkan dalam rangka
peningkatan
kompetensi
sehingga
dapat
memberikan
pelayanan
prima
kepada
masyarakat yang didukung dari aspek kebijakan,
renumerasi, standard pelayanan minimal bagi
terciptanya organisasi yang efektif, efisien,
rasional dan proporsional sesuai dengan
kemampuan dan kebutuhan daerah. Sedangkan
pemberdayaan masyarakat merupakan upaya
perwujudan iklim demokrasi dan peningkatan
akses masyarakat terhadap berbagai formasi
penyelenggaraan pemerintahan dalam rangka
meningkatkan peran serta masyarakat dalam
perencanaan
serta
pengawasan
dan
pengendalian
pembangunan.
Pada
pelaksanaannya, visi misi tersebut diturunkan ke
dalam kebijakan pembangunan Kota Banjar
tahun 2009 - 2013. Arahan kebijakan yang
terkait dengan pelaksanaan RW Siaga adalah 1)
Peningkatan IPM, keberpihakan dan kemudahan
pelayanan kepada masyarakat yang menjadi
dasar intervensi pada bidang kesehatan
masyarakat
dan
2)
Penguatan
dan
pemberdayaan desa/kelurahan yang menjadi
dasar penguatan kelembagaan lokal dalam
meningkatkan partisipasi masyarakat.
Di tingkat Desa Cibereum, pendekatan politis
dituangkan didalam RPJMDes Desa Cibereum
yang memiliki visi Dengan Iman dan Taqwa
Desa Cibereum Menuju Desa Swasembada
Pangan Tahun 2015 dan misi yaitu
meningkatkan mutu Sumber Daya Manusia
(SDM);
menegakkan
supremasi
hukum;
meningkatkan peran, fungsi dan kinerja
kelembagaan; meningkatkan pelayanan untuk
masyarakat;
meningkatkan
Kamtibnas;
melestarikan,
memanfaatkan
dan
mengendalikan Sumber Daya Alam (SDA); dan
meningkatkan pendidikan, kesehatan dan
perekonomian masyarakat.
Berdasarkan visi dan misi tersebut dapat
diketahui bahwa prioritas pembangunan yang
ada di Desa Cibereum adalah dalam mendukung
peningkatan perkembangan pertanian sehingga
mampu tercapai swasembada pangan. Desa
swasembada adalah desa yang memiliki
kemandirian kepada desa lainnya, meskipun ada
ketergantungan lebih bersifat interelasi yang

Elmy Yasinta Ciptadi

tidak menyebabkan timbulnya kendala dan


selalu berusaha mencari jalan keluar atas dasar
kemampuan, prakarsa dan motivasi sendiri
dalam mengelola dan mengembangkan potensi
yang dimiliki untuk mewujudkan visi yang telah
ditetapkan. Selain itu, menjadi desa yang
beriman dan bertaqwa yaitu memiliki warga
yang taat terhadap agama, aturan hukum,
toleransi beragama dan penghormatan kepada
Hak Asasi Manusia (HAM). Salah satu bentuk
upaya pencapaian tersebut adalah dengan
meningkatkan mutu Sumber Daya Manusia
(SDM), Peningkatan kualitas Sumber Daya
Manusia (SDM) adalah melalui peningkatkan
kualitas pendidikan dan kesehatan. Pendekatan
teknokratis
yang
dilakukan
oleh
Dinas
Kesehatan sebagai leading sector pada
pembangunan kesehatan di Kota Banjar. Jika
dilihat dari misi Kota Banjar pertama yaitu

Meningkatkan Kualitas Sumber Daya Manusia


maka dapat dikatakan bahwa salah satu upaya
untuk meningkatkan kualitas SDM adalah
dengan meningkatkan derajat kesehatan
masyarakatnya.
Visi Dinas Kesehatan yaitu Terwujudnya
Kemandirian Masyarakat Kota Banjar untuk
Hidup Sehat. Berdasarkan visi tersebut Dinas
Kesehatan Kota Banjar merumuskan misi
sebagai arahan kebijakan kesehatan di Kota
Banjar yaitu:
1)

2)

3)

Memberdayakan masyarakat untuk hidup


sehat dalam lingkungan sehat secara
mandiri yang bertujuan yaitu:
a. Terwujudnya kemandirian masyarakat
untuk mengatasi masalah kesehatan.
b. Meningkatnya perilaku hidup bersih dan
sehat.
c. Meningkatnya peran serta masyarakat
menciptakan lingkungan sehat.
Meningkatkan
pelayanan
kesehatan
masyarakat yang berkualitas, merata dan
terjangkau. Tujuannya yaitu terwujudnya
pelayanan kesehatan yang bermutu dan
berhasil guna dalam meningkatkan derajat
kesehatan masyarakat.
Meningkatkan manajemen kesehatan yang
efektif, efisien dan akuntabel. Tujuannya
yaitu
terselenggaranya
pelayanan

4)

kesehatan yang efektif, efisien dan


akuntabel.
Meningkatkan kerjasama kemitraan dengan
berbagai pihak dalam pembangunan
kesehatan. Tujuannya yaitu meningkatkan
koordinasi dengan berbagai sektor.

Di dalam pelaksanaannya Dinas Kesehatan Kota


Banjar pelaksanaan pembangunan kesehatan
juga merujuk pada Peraturan Bersama Menteri
Dalam
Negeri
dan
Menteri
Kesehatan
No.34/2005 dan No.1138/Menkes/PB/VIII/2005
tentang Penyelenggaraan Kabupaten/Kota Sehat.
Konsep tersebut merupakan bagian yang
terintegrasi dalam rencana pembangunan
dengan memperhatikan faktor fisik, ekonomi,
sosial dan budaya setempat. Pengembangan
tersebut
dilakukan
untuk
mewujudkan
"pendekatan
paradigma
sehat"
yang
berorientasi pada pembentukan bangsa yang
sehat melalui kota/kabupaten sehat. Tatanan
tersebut yang menjadi landasan arahan
pelaksanaan pembangunan kesehatan di Kota
Banjar. Keselarasan antara pendekatan politis di
semua tingkat pemerintahan dan pendekatan
teknokratis dapat menjadi suatu gambaran
bahwa adanya kesamaan isu dan substansi yang
diangkat dalam perencanaan di tiap tingkatan
pemerintahan sama. Adanya kesamaan prioritas
dan arahan kebijakan yang dibuat dapat
menggambarkan
bahwa
pelaksanaan
pembangunan kesehatan merupakan suatu
upaya yang terintegrasi. Proses pembuatan
program-program yang akan dilaksanakan
dilakukan
melalui
proses
perencanaan.
Mekanisme
proses
perencanaan
yang
terintegrasi dari tingkat dusun hingga tingkat
kota menjadikan adanya pendekatan bottom-up
yang berasal dari kondisi yang terjadi di
masyarakat.
Berikut
merupakan
proses
perencanaan pembangunan kesehatan yang
terintegrasi.
Seperti
halnya
proses
perencanaan
pembangunan lainnya, pada pembangunan
kesehatan juga dilakukan pada tahapan yang
sama. Hal ini terjadi karena pada pelaksanaan
Musrenbang yang dilakukan tidak adanya
batasan dalam usulan prioritas pembangunan
yang akan ditetapkan, sehingga untuk
pembangunan kesehatan juga dapat diusulkan
Jurnal Perencanaan Wilayah dan Kota 2 SAPPK V3N3| 507

Tahapan Pengorganisasian Komunitas dan Pemetaaan Kapasitas Komunitas Pelayanan Kesehatan Berbasis Masyarakat

melalui mekanisme Musrenbang. Adanya


pengintegrasian dalam proses perencanaan ini
menjadi salah satu bentuk adanya dukungan
sistem
perencanaan
pembangunan
yang
membuat tiap tingkatan pemerintahan turut
berkontribusi dalam pelaksanaan pembangunan
kesehatan di Kota Banjar.
Dukungan
Mekanisme
Kesehatan Terintegrasi

Kelembagaan

Peranan kelembagaan di dalam masyarakat


begitu sentral sehingga setiap perubahan sosial
menjadikan kelembagaan sebagai wadahnya.
Demikian pula halnya dengan pembangunan
kesehatan yang merupakan suatu perubahan
kondisi
kesehatan
masyarakat
yang
direncanakan. Menurut Shaffer dan Schmid
(1960)
kelembagaan
merupakan
sistem
organisasi dan kontrol terhadap sumber daya.
Dipandang dari sudut pandang individu,
kelembagaan sebagai gugus kesempatan bagi
individu dalam membuat keputusan dan
melaksanakan
aktivitasnya.
Di
dalam
kelembagaan terdapat aturan representasi (rule
of representation) yang mengatur permasalahan
pihak-pihak yang berhak berpartisipsi di dalam
proses
pengambilan
keputusan.
Aturan
representasi menentukan alokasi dan distribusi
sumber daya. Aturan representasi menentukan
alokasi dan distribusi sumber daya. Aturan
representasi mempengaruhi transactional cost di
dalam pembuatan keputusan. Transactional cost
yang
tinggi
menyebabkan
adanya
ketidakefektifan kelembagaan. Oleh karena itu,
harus terdapat suatu mekanisme representasi
yang efisien sehingga menurunkan transactional
cost. Salah satu cara menurut Tubbs (1984) dan
Hanel (1989) menyatakan bahwa pengambilan
keputusan atas dasar group process akan
meningkatkan loyalitas, kerja sama, motivasi,
dukungan anggota pada pimpinan dan
mengurangi tekanan internal serta transactional
cost yang pada akhirnya akan meningkatkan
kinerja kelembagaan dalam mencapai tujuan
tujuan yang ditetapkan. Seperti halnya
penjelasan di atas, demikian pun untuk
pembangunan
kesehatan.
Mekanisme
kelembagaan yang efektif dan mampu
mengurangi transactional cost merupakan suatu
508 | Jurnal Perencanaan Wilayah dan Kota B SAPPK V3N3

hal yang menunjang dalam pencapaian targettarget kesehatan.


Pelaksanaan pembangunan kesehatan di Kota
Banjar di dukung oleh kelembagaan yang
terintegrasi di tiap level pemerintahan. Hal inilah
yang menjadi salah satu faktor eksternal
penunjang dalam keberhasilan pelaksanaan RW
Siaga. Berikut merupakan diagram yang
menjelaskan mekanisme kelembagaan pada
pembangunan kesehatan yang terintegrasi.
Dukungan
Mekanisme
Kesehatan Terintegrasi

Penganggaran

Pada
pelaksanaan
pembangunan
aspek
penganggaran merupakan salah satu aspek
penting
dalam
menunjang
keberhasilan
pelaksanaan pembangunan. Pada pembangunan
kesehatan penganggaran juga menjadi suatu
aspek penting di dalam menunjang pelaksanaan
program program kesehatan yang dilakukan.
Pada bagian ini akan dijelaskan mengenai
mekanisme penganggaran kesehatan yang
terintegrasi dalam mendukung pembangunan
kesehatan di Kota Banjar. Adanya alokasi
anggaran pemerintah yang ada di tiap tingkatan
pemerintahan merupakan bentuk komitmen
dalam mendukung pembangunan kesehatan.
Pelaksanaan penganggaran kesehatan merujuk
pada Standar Pelayanan Minimal (SPM) bidang
kesehatan
di
Kabupaten/Kota
menurut
Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor
741/Menkes/Per/VII/2008 adalah tolak ukur
kinerja
pelayanan
kesehatan
yang
diselenggarakan Kabupaten/Kota. Pelayanan
dasar kesehatan kepada masyarakat adalah
fungsi pemerintah dalam memberkan dan
mengurus kebutuhan dasar masyarakat untuk
meningkatkan
taraf
kesejahteraan
masyarakatnya. Standar Pelayanan Minimal
(SPM) meliputi empat jenis pelayanan yaitu:
1)
2)
3)
4)

Pelayanan Kesehatan Dasar


Pelayanan Kesehatan Rujukan
Penyelidikan
Epidemologi
dan
Penanggulangan Kejadian Luar Biasa (KLB)
Promosi Kesehatan dan Pemberdayaan
Masyarakat.

Elmy Yasinta Ciptadi

Pada jenis pelayanan ke-4 yaitu promosi


kesehatan dan pemberdayaan masyarakat
memiliki indikator kinerja yaitu cakupan Desa
Siaga Aktif yang pada Kota Banjar merupakan
pelaksanaan RW Siaga Aktif dengan penetapan
target nasional yaitu mencapai 80% pada tahun
2015. Pelayanan Minimal Kesehatan yang
ditetapkan
merupakan
acuan
dalam
perencanaan
program
pencapaian
target
masing-masing
Kabupaten/Kota.
Meskipun
demikian target pencapaian bidang kesehatan
ini juga disesuaikan dengan prioritas tiap tiap
Kabupaten/Kota. Seperti Kota Banjar, penetapan
target pelaksanaan pembangunan kesehatan
menetapkan target-target pencapaian bidang
kesehatan melebihi yang ditetapkan oleh SPM.
Hal ini dipengaruhi oleh prioritas masingmasing Kabupaten/Kota.
Pada penganggaran pembangunan kesehatan
setelah adanya desentralisasi menjadi tanggung
jawab
baik
pemerintah
pusat
maupun
pemerintah daerah. Berdasarkan UU No. 32
Tahun 2004 menyatakan bahwa bidang
kesehatan merupakan urusan wajib dari
pemerintah daerah Kabupaten/Kota, sehingga
juga berimplikasi pada penganggaran bidang
kesehatan. Pada pencapaian SPM sebagian
besar pendanaan dilakukan melalui APBD
Kota/Kabupaten. Pembagian pendanaan SPM
bidang kesehatan antara pusat dengan daerah
adalah sebagai berikut:
1)

2)

Pendanaan Standar Pelayanan Minimal


Kesehatan yang berkaitan dengan kegiatan
penyusunan,
penetapan,
pelaporan,
monitoring dan evaluasi, pembinaan dan
pengawasan, pembangunan sistem atau
sub sistem informasi serta pengembangan
kapasitas untuk menyelenggarakan Standar
Pelayanan Minimal Bidang Kesehatan
dibebankan kepada APBN Kementrian
Kesehatan.
Pendanaan Standar Pelayanan Minimal
Kesehatan
yang
berkaitan
dengan
penerapan,
pencapaian
kinerja/target,
pelaporan,
monitoring
dan
evaluasi,
pembinaan dan pengawasan, pembangunan
sub-sistem informasi manajemen serta
pengembangan
kapasitas
dibebankan
kepada APBD Kota/Kabupaten.

Mekanisme perencanaan dan pembiayaan


kesehatan di Kota Banjar dilakukan dengan
adanya pengintegrasian SPM ke dalam RAPBD.
Hal ini dilakukan agar terjadi pemerataan
pembangunan
kesehatan
di
seluruh
kota/kabupaten di Indonesia, karena dengan
adanya pengintegrasian SPM ke dalam RAPBD
menjadi bentuk komitmen yang mengikat
pemerintahan daerah Kota/Kabupaten untuk
mendanai pembangunan kesehatan didaerahnya.
Pengintegrasian SPM ke dalam RAPBD dilakukan
dengan mengintegrasikan Indikator Kinerja dan
target SPM yang telah ditetapkan dengan
Permenkes RI No. 741/Menkes/Per/VII/2008
tentang Standar Pelayanan Minimal Bidang
Kesehatan di Kabupaten/Kota ke dalam Nota
Kesepahaman Kebijakan Umum APBD (KUA) dan
Prioritas Plafon Anggaran (PPA) yang disepakati
bersama antara Kepala Daerah dan DPRD. Nota
Kesepakatan inilah yang menjadi dasar
penyusunan Rencana Kerja Anggaran Satuan
Kerja Perangkat Daerah (RKA - SKPD) yang
menggambarkan secara rinci dan jelas program
dan kegiatan yang akan dilakukan dalam rangka
pencapaian dan penerapan SPM Bidang
Kesehatan
di
Kabupaten/Kota.
Berikut
merupakan
diagram
yang
menjelaskan
pengintegrasian penganggaran pembangunan
kesehatan di Kota Banjar.
Mekanisme pengintegrasian substansi
bidang kesehatan ke dalam RAPBD yaitu:
1)

2)

3)

4)

SPM

Pemerintah daerah menyusun rincian


kegiatan
untuk
masing-masing
jenis
pelayanan dalam rangka pencapaian SPM
dengan mengacu pada indikator kinerja dan
batas waktu pencapaian SPM yang telah
ditetapkan oleh pemerintah.
Pemerintah daerah menetapkan batas
waktu pencapaian SPM untuk daerahnya
dengan mengacu pada batas waktu
pencapaian
SPM
secara
nasional,
kemampuan
dan
potensi
daerahnya
masing-masing.
Pemerintah daerah menetapkan target
tahunan pencapaian SPM mengacu pada
batas waktu yang sudah ditentukan oleh
maisng-masing daerah.
Pemerintah daerah membuat rincian
belanja utnuk setiap kegiatan masingJurnal Perencanaan Wilayah dan Kota 2 SAPPK V3N3| 509

Tahapan Pengorganisasian Komunitas dan Pemetaaan Kapasitas Komunitas Pelayanan Kesehatan Berbasis Masyarakat

5)

6)

7)

masing daerah.
Pemerintah daerah dapat mengembangkan
jenis kegiatan dari masing-masing jenis
pelayanan yang sudah ditetapkan oleh
Kementrian Kesehatan sesuai dengan
kebutuhan daerahnya dalam pencapaian
SPM di daerahnya masing-masing.
Pemerintah
daerah
menggunakan
perencanaan pembiayaan pencapaian SPM
bidan kesehatan untuk melihat kemampuan
keuangan daerahnya dalam mencapai SPM
bidang kesehatan yang sudah ditetapkan
oleh pemerintah pusat.
Apabila pembiayaan yang dibutuhkan
dalam pencapaian SPM bidang kesehatan
melebihi kemampuan keuangan daerah
maka pemerintah daerah dapat mengurangi
kegiatan atau mencapi sumber anggaran
lainnya.

2)

Dengan SKPD

Melalui
kegiatan
pra-Musrenbang
Kecamatan
dan
Musrenbang
Kecamatan
(Sosialisasi
dan
Pembahasan PIK).
Melalui kegiatan pra-Forum SKPD dan
Forum
SKPD
(Sosialisasi
dan
pembahasan Pagu Indikatif SKPD).
Melalui
kegiatan
pra-Musrenbang
Kabupaten dan Musrenbang Kabupaten
(Pemantapan PIK dan Pagu Indikatif
SKPD serta mensinergikannya dengan
sumber pendanaan yang lain.

Dengan DPRD

Melalui konsultasi dengan DPRD dalam


penyusunan nota kesepakatan (Pagu
Indikatif SKPD dan Pagu Indikatif
Kewilayahan).
Melalui kegiatan pra-Musrenbang dan
Musrenbang
(sebagai
narasumber
berdasarkan pendekatan Dapil).
Melalui rapat pembahasan dengan
komisi yang membidangi permasalahan

510 | Jurnal Perencanaan Wilayah dan Kota B SAPPK V3N3

3)

dengan

Koordinasi Pengelolaan Anggaran dengan


Desa

Sedangkan
pengintegrasian
mekanisme
penganggaran dilakukan sebagai berikut:
1) Koordinasi Penganggaran SKPD dan DPRD

kesehatan.
Melalui rapat pembahasan
Badan Anggaran.

Melalui kegiatan pra-Musrenbang Desa:


Desa diberikan informasi tentang Pagu
Indikatif ADD dan PIK serta rancangan
awal RKPD (arah dan kebijakan
daerah).
Melalui kegiatan Musrenbang Desa:
Fasilitasi
pembahasan
dalam
pengalokasian
ADD,
PIK
dan
mensinergikannya dengan partisipasi
dan swadaya masyarakat.
Melalui kegiatan pra-Musrenbang Desa:
Desa
melalui
Forum
Delegasi
Musrenbang (FDM) bersama-sama
mengawal
proses
lanjutan
dari
perencanaan dan penganggaran.

Sinkronisasi Antara Perencanaan


Penganggaran Pembangunan Desa

dan

Dilaksanakan
pada
saat
praMusrenvang Desa dan Musrenbang
Desa dalam rangka penyusunan RKP
Desa:
Perencanaan
dirumuskan
berdasarkan prediksi kapasitas fiscal
desa (pagu indikatif ADD dan PIK)
serta mengacu pada realisasi APBDes
tahun sebelumnya.
Dilaksanakan pada saat musyawarah
desa dalam rangka penyusunan
APBDes: Penganggaran dialokasian
berdasarkan dokumen RKPDesa serta
realisasi ADD dan PIK (sebagaimana
tertuang dalam APBD).
Didahului dengan adanya forum
RW/Dusun dalam menggali gagasan
perencanaan yang akan dilakukan.
Forum RW/Dusun merupakan forum
yang diikuti warga masyarakat secara
langsung. Pada prosesnya semua
warga diberikan kesempatan untuk
memberikan
masukan
pada
keberjalanan pembangunan termasuk
masukan
dalam
pembangunan
kesehatan.

Elmy Yasinta Ciptadi

4)

Sinkronisiasi Penganggaran SKPD dengan


Usulan Desa

5)

Dibahas awal pada saat pra forum


SKPD: Penganggaran SKPD selain
memperhatikan
kajian
teknokratis
SKPD sesuai dengan renstra SKPD juga
memperhatikan secara seksama usulan
desa dan kecamatan sebagaimana
tertuang dalam hasil Musrenbang
Kecamatan.
Diputuskan pada saat Forum SKPD:
Putusan didasarkan pada kolaborasi
antara hasil kajian teknokratis SKPD
dengan
usulan
partisipatif
dari
kecamatan/desa yang dilakukan dalam
kerangka pencapaian target kinerja
Renstra SKPD.

Efektivitas
Pengelolaan
Pembangunan Desa

Anggaran

Pengelolaan anggaran pembangunan


desa dilakukan berdasarkan ketentuan
peraturan perundang undangan yang
berlaku.
Pengelolaan anggaran pembangunan
desa didasarkan pada Peraturan Desa
yang mengatur tentang APBDes dan
RKPDes.
Pengelolaan anggaran pembangunan
desa dilakukan berdasarkan prinsip
kemitraan,
transparansi
dan
akuntabilitas oleh para pemangku
kepentingan di desa.
Pelaksanaan
pengawasan
dan
pengawalan
terhadap
pengelolaan
anggaran
pembangunan
desa
dilakukan oleh BPD serta Forum
Delegasi Musrenbang Desa.
Pengelolaan anggaran pembanguan
desa diarahkan sebesar-besarnya untuk
meningkatkan
kesejahteraan
masyarakat desa.

Dukungan
Mekanisme
Kerjasama
Intersektoral Efektif (N etw orks P ow er)
Menurut Innes (2010) menyatakan bahwa
kekuatan jaringan timbul dari komunikasi dan
kolaborasi di antara individu, masyarakat dan

swasta. Umumnya di-drive oleh kesamaan tugas,


nilai, tujuan dll. Adanya alasan tersebut
membuat adanya ketergantungan diantara para
aktor yang terlibat sehingga terus memperkuat
kekuatan jaringan didalamnya untuk mencapai
collective purpose. Kekuasaan dalam jaringan
digunakan bukan untuk kepentingan individu,
namun dalam me-leverage kekuatan untuk
membuat dampak yang lebih besar misalnya
dalam mempengaruhi kebijakan yang akan
dibuat. Pelaksanaan RW Siaga termasuk dalam
bentuk pengorganisasian komunitas yaitu locally
development/pengembangan komunitas lokal.
Model ini lebih menekankan pada peran serta
seluruh masyarakat untuk mandiri. Prinsipnya
adalah keterlibatan langsung masyarakat,
melayani sendiri, membantu diri sendiri dalam
penyelesaian masalah, dan mengembangkan
keterampilan individual/kelompok dalam proses
pemecahan masalah. Peran fasilitator dalam
model ini adalah sebagai pendukung dan
pendidik. Fasilitator menjadi bagian dari proses
self - organized yang dilakukan stakeholder lain
dalam pembangunan
dalam membantu
memberikan informasi, transfer knowlegde and
skill, membangun kepercayaan masyarakat
terhadap
fungsi
dan
potensinya,
mengembangkan kapasitas stakeholder lain,
menghubungkan networks dan memobilisasi
tindakan.
Keberagaman stakeholder yang terlibat dan
adanya
interdepedensi
antar
stakeholder
diwadahi oleh adanya mekanisme komunikasi
(authentic dialogue) yang di dalam prosesnya
terjadi proses proses pertukaran informasi
(reciprocity), pembentukan hubungan/relasi
(relationship), pembelajaran (learning) dan
peningkatan
kreatifitas
(creativity) antar
stakeholder yang berjejaring. Model ini pada
akhirnya
akan
menghasilkan
tranformasi
kelembagaan, penyamaan tujuan/nilai maupun
inovasi (innovation). Pada diagram alir berikut
dijelaskan mengenai proses proses yang
terjadi di dalam pembentukan networks power.
Pada pelaksanaan RW Siaga bentuk model
Networks Power merupakan salah satu bentuk
dari dukungan eksternal kelembagaan di luar
RW Siaga. Model Networks Power pada RW
Siaga di Dusun Cipantaran adalah sebagai
berikut.
Jurnal Perencanaan Wilayah dan Kota 2 SAPPK V3N3| 511

Tahapan Pengorganisasian Komunitas dan Pemetaaan Kapasitas Komunitas Pelayanan Kesehatan Berbasis Masyarakat

Faktor Internal Penunjang Pelaksanaan


RW Siaga
Pada bagian ini akan dijelaskan mengenai faktor
internal penunjang dalam pelaksanaan RW
Siaga. Kepemimpinan lokal yang merupakan
tokoh masyarakat dan tokoh agama di Dusun
Cipantaran memiliki pengaruh yang sangat
besar dalam mendukung pelaksanaan RW Siaga
di Dusun Cipantaran. Jika dilihat dari
karakteristik masyarakatnya pelaksanaan RW
Siaga di Dusun Cipantaran sangat dipengaruhi
oleh
bentuk
masyarakat
agraris.
Pada
pengorganisasian
masyarakat
tradisional
(perdesaan)
yang
agraris
umumnya
mementingkan keharmonisan hubungan dengan
alam, sehingga umumnya masyarakat memiliki
keberterimaan dengan kondisi cukup tinggi. Hal
tersebut terjadi karena mereka menjadi terdidik
dan terlatih untuk bisa berpikir positif terhadap
berbagai fenomena dan pengalaman hidup serta
secara sosial memiliki kecenderungan untuk
mematuhi penguasa penguasa lokal yang ada.
Seperti halnya warga Dusun Cipantaran yang
memiliki kepatuhan terhadap penguasa maupun
pemimpin lokal. Hal ini terlihat dari pemilihan
Ketua RW Siaga penilaian warga Dusun
Cipantaran lebih didasarkan pada ketokohan
dan status sosial di dalam masyarakat bukan
berdasarkan
kapasitasnya
dalam
bidang
kesehatan. Meskipun demikian, hal ini memiliki
dampak positif bagi pelaksanaan RW Siaga,
karena dengan adanya kepatuhan pada
kepemimpinan lokal upaya dalam menggerakan
warga Dusun Cipantaran mudah dilakukan. Pada
prinsipnya jenis kepemimpinan seperti ini
merupakan kepemimpinan yang memiliki peran
sebagai direction - setter, change agent, spoke
person
dan
coach.
Dengan
demikian
kepemimpinan lokal tersebut tidak saja harus
menyusun visi sebagai direction - setter tetapi
juga harus mampu mengkomunikasikannya
sehingga
menjadi
suatu
upaya
dalam
menggerakan warga Dusun Cipantaran untuk
memiliki kesamaan tujuan. Pemimpin juga
melakukan pemberdayaan SDM dan sumber
daya lain dalam organisasi untuk mencapai
suatu tujuan tertentu dan dalam membuat
perubahan ke arah yang lebih baik.

512 | Jurnal Perencanaan Wilayah dan Kota B SAPPK V3N3

Menurut Kuntowijoyo (1999) menyatakan bahwa


pada masyarakat yang masih tradisional dan
patrimonial masih menggunakan simbol yang
mengandung
unsur-unsur
kepercayaan,
sedangkan pada kontrol sosial didasarkan pada
norma
komunal
dan
kepatuhan.
Pada
masyarakat pedesaan belum adanya diferensiasi
struktur spesialisasi peranan yang jelas biasanya
yang terjadi adalah berupa struktur yang
melaksanakan lebih dari satu fungsi. Hal ini pun
yang terjadi di Dusun Cipantaran, kepala dusun
juga menjadi kader ambulans dusun dan
kader/pengurus RW Siaga juga menjadi tim
penggerak PKK. Struktur warga Dusun
Cipantaran masih sederhana dan bersifat
informal. Pola kekuasaan yang ada pada
masyarakat tradisional tidak memiliki struktur
monopoli kewenangan dalam menggunakan
paksaan fisik karena kekuasaan terdistribusi
pada seluruh anggota masyarakat, namun
bukan berupa paksaan fisik, melainkan berupa
sanksi moral dan psikologis seperti pengucilan
dari pergaulan, pengusiran maupun teguran dari
warga lainnya.
Pada pelaksanaan RW Siaga di Dusun
Cipantaran pendekatan budaya dilakukan
dengan
melakukan
kemitraan
dengan
DKM/Muslimatan. Hal ini dilakukan dengan
melihat latar belakang dari warga Dusun
Cipantaran yang mayoritas beragama Islam.
Melalui kegiatan-kegiatan pengajian yang
dilakukan secara rutin di Dusun Cipantaran
upaya peningkatan pemahaman kesehatan
disosialisasikan kepada warga. Adanya upaya
peningkatan pemahaman yang dilakukan secara
berkelanjutan menyebabkan adanya kesadaran
kritis akan isu dan kebutuhan bersama. Adanya
kesadaran kritis pada warga Dusun Cipantaran
menjadikan warga memiliki keinginan untuk
bekerja sama dalam mencari solusi. RW Siaga
sebagai kelembagaan kesehatan berbasis
komunitas semakin memperkuat ikatan warga
Dusun
Cipantaran
dalam
menjawab
permasalahan permasalahan terkait kesehatan
yang terjadi diwilayahnya. Jika dilihat dalam
konteks pemberdayaan RW Siaga merupakan
wadah berpartisipasi, pembelajaran bersama
dan pembuatan keputusan bersama. Namun jika
dilihat dari sisi pembangunan RW Siaga
merupakan modal sosial (social capital) yang

Elmy Yasinta Ciptadi

dimiliki warga Dusun Cipantaran.


Bentuk dari kelembagaan RW Siaga di Dusun
Cipantaran dilakukan pada skala komunitas.
Komunitas merupakan bentuk kelembagaan
yang
paling
alamiah
dan
universal.
Kelembagaan
komunitas
merupakan
kelembagaan pertama yang dibentuk pada
masyarakat dan tidak kehilangan eksistensinya
meskipun muncul kelembagaan negara dan
pasar yang memiliki kekuataan yang jauh lebih
besar. Orientasi terbentuknya kelembagaan
komunitas adalah pemenuhan kebutuhan hidup
secara komunal. Keberjalanan demokrasi yang
murni
dapat
ditemukan
pada
bentuk
kelembagaan komunitas yang didukung oleh
struktur sosial ekonomi masyarakat yang
cenderung setara. Karakteristik warga Dusun
Cipantaran yang homogen juga menjadi faktor
internal penunjang dalam pelaksanana RW
Siaga. Warga Dusun Cipantaran sebagian besar
bermata pencaharian sebagai petani dengan
tingkat pendidikan yang hampir sama dan
memiliki pola hidup keseharian yang dipengaruhi
budaya Sunda. Kesamaan latar belakang
tersebut menjadikan ikatan yang kuat antar
warga di Dusun Cipantaran karena sebelum
adanya RW Siaga pun kegiatan kemasyarakatan
pun sudah berjalan. Keberhasilan pelaksanaan
RW Siaga di Dusun Cipantaran pun menjadi
bukti bahwa kekerabatan dan ikatan yang kuat
tersebut menjadi suatu modal sosial dalam
pencapaian tujuan bersama.
Kesimpulan
Pelaksanaan RW Siaga di Dusun Cipantaran
dinilai mampu menjadi simpul pembelajaran
sosial dalam meningkatkan pelayanan kesehatan
masyarakat (Freire, 2000). Proses-proses yang
diterapkan dalam pelaksanaan RW Siaga
dilakukan dengan pendekatan pendidikan yang
dialogis dengan menekankan pada konteks dan
nilai-nilai lokal dan adanya media-media
komunikasi yang dibentuk sebagai saluran
komunikasi dan wadah pembelajaran bagi
masyarakat. Proses pembelajaran pada RW
Siaga
dimulai
dengan
meningkatkan
kemampuan komunitas dalam memahami
permasalahan yang terjadi. Upaya-upaya
diseminasi informasi seperti pelatihan dan

sosialisasi dilakukan sehingga diharapkan


adanya kesadaran dan peningkatan pemahaman
masyarakat tentang pentingnya kesehatan.
Semakin besarnya kesadaran masyarakat
tersebut memacu masyarakat untuk melakukan
aksi kolektif sebagai bentuk aksi dalam
mengupayakan perbaikan dari permasalahanpermasalahan yang dihadapi. Pada pelaksanaan
RW Siaga aksi kolektif dilakukan setelah
menghimpun sumber daya pendukung baik
internal maupun eksternal sehingga diharapkan
pada
akhirnya
dapat
menyelesaikan
permasalahan-permasalahan kesehatan yang
terjadi.
Strategi
dan
pendekatan
pengorganisasian menggunakan pendekatan
proses yang partisipatif dengan pendampingan
yang intensif dimulai dari proses perencanaan,
pelaksanaan dan monitoring dilakukan secara
partisipatif oleh masyarakat. Pada akhirnya
dapat mendukung transformasi sosial di
masyarakat baik secara individu, kelembagaan
maupun nilai-nilai sosio-kultural di masyarakat.
Meski demikian ada beberapa hal yang harus
diperbaiki dalam pelaksanaan RW Siaga di
Dusun Cipantaran. Pelaksanaan RW Siaga di
Dusun Cipantaran dilakukan sebagai upaya
pemerintah Kota Banjar untuk meningkatkan
efektifitas program-program kesehatan di
tingkat grassroot. Pelaksanaan konsep Desa
Siaga
pada
tingkat
RW
atau
dusun
dilatarbelakangi keinginan pemerintah untuk
memperkecil distorsi yang sering terjadi pada
pelaksanaan program-program pemerintah di
tingkat desa. Desa dianggap sebagai political
entity menyebabkan adanya kemungkinan
terjadinya hambatan birokrasi akibat fenomena
elite capture (Platteau, 2004). Di sisi lain, RW
yang merupakan social community diharapkan
mampu menghilangkan kesenjangan (gap)
dengan masyarakat sebagai subyek sekaligus
obyek dari upaya pemberdayaan kesehatan. Jika
dilihat
berdasarkan
pemetaan
kapasitas
komunitas secara umum telah mencapai nilai
cukup baik, namun untuk beberapa proses
warga Dusun Cipantaran banyak yang tidak
mengetahui dan mengikutinya terutama dalam
proses pengevaluasian. Indikator yang sudah
embedded di dalam program membuat warga
tidak memiliki kesempatan untuk memberikan
usulan. Selain itu, beberapa warga juga
Jurnal Perencanaan Wilayah dan Kota 2 SAPPK V3N3| 513

Tahapan Pengorganisasian Komunitas dan Pemetaaan Kapasitas Komunitas Pelayanan Kesehatan Berbasis Masyarakat

menyatakan bahwa di Dusun Cipantaran proses


kaderisasi tidak berjalan dengan baik, karena
yang menjadi kader biasanya juga mengambil
tanggung jawab di organisasi kemasyarakatan
lainnya. Sebagian besar warga juga menyatakan
bahwa apabila posisi kader/petugas dilakukan
secara bergilir tentunya akan lebih baik.
Pada konteks desa, pelaksanaan RW Siaga di
Dusun Cipantaran menjadi salah satu bentuk
self-governing community yang menjadi esensi
pemerintahan
desa.
Pada
self-governing
community diharapkan adanya kapasitas dan
inisiatif lokal yang kuat. Inisiatif tersebut
merupakan gagasan kehendak dan kemauan
entitas desa yang berbasis pada kearifan lokal,
komunalisme dan modal sosial (kepemimpinan,
jaringan dan solidaritas sosial). Inisiatif lokal
menjadi pondasi dalam kemandirian desa.
Inisiatif lokal akan berkembang dengan baik jika
terdapat ruang yang memungkinkan (enabling)
untuk tumbuh. Terdapat dua hal yang
dibutuhkan sebagai perwujudan self-governing
community yaitu inisiatif lokal dan respons
kebijakan. Dalam hal ini pelaksanaan RW Siaga
mampu mendukung tujuan tersebut terutama
dalam tiga hal yaitu memperkuat kemandirian
desa, mendekatkan perencanaan pembangunan
ke masyarakat, memperbaiki pelayanan publik
dan pemerataan pembangunan. Selain itu,
pelaksanaan RW Siaga juga sejalan dengan nilai
demokrasi yang menjadi nilai dan sistem dalam
tata pemerintahan desa. Demokrasi diartikan
mempunyai sejumlah prinsip dasar yaitu
representasi,
transparansi,
akuntabilitas,
responsivitas dan partisipasi yang semua prinsip
ini menjadi fondasi bagi pengelolaan kebijakan
perencanaan, pengelolaaan keuangan dan
pelayanan publik. Isu kesejahteraan menjadi isu
penting dalam konteks pengembangan desa di
Indonesia. Terdapat dua hal besar yaitu
penyediaan layanan dasar (pangan, papan,
pendidikan dan kesehatan) dan pengembangan
ekonomi desa yang berbasis potensi lokal.
Pelaksanaan RW Siaga memberikan kontribusi
terhadap peningkatan penyediaan layanan dasar
yaitu kesehatan. Oleh karena itu, praktik
praktik pengorganisasian komunitas yang
digagas di desa harus didukung dan

514 | Jurnal Perencanaan Wilayah dan Kota B SAPPK V3N3

dikembangkan karena memiliki porsi yang besar


dalam mewujudkan kemandirian dan demokrasi
untuk mencapai kesejahteraan masyarakat desa.
Rekomendasi
Studi terhadap pengorganisasian komunitas
dalam penyediaan layanan kesehatan berbasis
masyarakat di Dusun Cipantaran dapat menjadi
pelajaran bagi daerah lain dalam kaitannya
peningkatan layanan kesehatan dalam konteks
masyarakat pedesaan. Beberapa rekomendasi
kepada daerah lain dalam melaksanakan
pengorganisasian komunitas dalam penyediaan
layanan kesehatan berbasis masyarakat, yaitu :
a.

Keberhasilan
pelaksanaan
RW
Siaga
memerlukan dukungan sistem perencanaan,
kelembagaan
dan
pendanaan
pembangunan kesehatan yang integratif.
Pelaksanaan RW Siaga merupakan bentuk
perpanjangan pelaksanaan pembangunan
kesehatan di tingkat grassroot, sehingga
keberhasilannya sangat dipengaruhi oleh
sistem/kebijakan yang lebih luas. Adanya
supporting system baik dalam perencanaan
program, kelembagaan maupun pendanaan
menunjukkan komitmen pemerintah daerah
didalamnya.
Dengan
demikian,
pelaksanaan RW Siaga tidak dibebankan
semua kepada masyarakat secara umum
namun menjadi tanggung jawab bersama
antara pemerintah sebagai penyedia
layanan kesehatan (enabler) dengan warga
sebagai pelaksana program (executor)
maupun penerima manfaat (beneficiary).

b.

Pembangunan kekuatan jaringan antar


aktor (networks power)
Upaya kolaborasi dengan berbagai aktor
yang memiliki kesamaan tugas, nilai dan
tujuan dianggap mampu meningkatkan
kekuatan kelembagaan dan diharapkan
memberikan dampak yang lebih besar
misalnya dalam mempengaruhi kebijakan
yang akan dibuat. Proses proses dialog
antar stakeholder yang berjejaring pada
akhirnya akan meningkatkan kemampuan
untuk berinovasi.

Elmy Yasinta Ciptadi

Gambar 6 Skema Perencanaan Pembangunan Kesehatan Terintegrasi

Jurnal Perencanaan Wilayah dan Kota 2 SAPPK V3N3| 515

Tahapan Pengorganisasian Komunitas dan Pemetaaan Kapasitas Komunitas Pelayanan Kesehatan Berbasis Masyarakat

Gambar 7 Skema Kelembagaan Pembangunan Kesehatan Terintegrasi

Gambar 8 Skema Pendanaan Pembangunan Kesehatan Terintegrasi

516 | Jurnal Perencanaan Wilayah dan Kota B SAPPK V3N3

Elmy Yasinta Ciptadi

c.

d.

e.

f.

Penggunaan saluran saluran komunikasi


efektif
Fungsi saluran saluran komunikasi secara
garis besar dibagi menjadi dua yaitu
informatif dan persuasif. Fungsi informatif
dalam pelaksanaan RW Siaga dilakukan
sebagai upaya peningkatan kapasitas
komunitas melalui pelatihan, sosialisasi,
workshop maupun pertemuan pertemuan
rutin yang diadakan oleh masyarakat.
Adapun fungsi persuasif menitikberatkan
pada upaya meningkatkan antusiasme
warga di dalam proses memobilisasi sumber
daya melalui himbauan, penggunaan media
promosi (poster, kegiatan olahraga rutin,
dll) dan stiker stiker yang ditempel pada
tempat yang menjadi tempat berkumpulnya
warga.
Komitmen pemimpin lokal/ kelembagaan
RW Siaga secara konsisten dan
konsekuen
Pada
masyarakat
pedesaan,
peran
kepemimpinan lokal sangat besar yaitu
sebagai direction - setter, change agent,
spoke person dan coach bagi masyarakat.
Oleh karena itu, diperlukan komitmen dari
pemimpin
lokal
dalam
mendukung
pelaksanaan RW Siaga, sehingga pada
tahap awal pelaksanaan RW Siaga
pendekatan harus dilakukan pada pemimpin
pemimpin lokal yang berkuasa.
Penggunaan metode pendekatan inovatif
dan disesuaikan dengan karakteristik dan
konten lokal
Pendekatan
pelaksanaan
RW
Siaga
dilakukan berdasarkan pendekatan nilai dan
budaya masyarakat. Hal tersebut dapat
dilakukan
baik
dengan
melakukan
kemitraan dengan lembaga keagamaan,
adaptasi kultur masyarakat maupun dengan
memasukkan agenda agenda RW Siaga di
dalam pelaksanaan kegiatan kegiatan
rutin di masyarakat.
Peningkatan mutual trust di dalam aktor
aktor RW Siaga
Transparansi pelaksanaan program maupun
keuangan
menjadi
modal
dalam
meningkatkan mutual trust diantara aktor
aktor yang terlibat. Hal ini dapat dilakukan
dengan proses proses pengevaluasian

g.

kinerja RW Siaga yang terbuka dan dapat


diikuti oleh seluruh warga dan adanya
pendokumentasian
kegiatan
maupun
laporan keuangan yang lengkap sebagai
bentuk
pertanggungjawaban
kader/pengurus RW Siaga kepada warga
maupun lembaga yang bekerja sama
dengan RW Siaga.
Pemberian insentif dan sistem reward
dalam menstimulus efektifitas pelaksanaan
RW Siaga
Insentif diberikan sebagai bentuk stimulus
dalam pelaksanaan RW Siaga. Bentuk
bentuk insentif maupun reward dapat
disesuaikan dengan target penerimanya.
Seperti misalnya untuk kader/pengurus
dapat diberikan insentif setiap bulan dari
APBD Kota Banjar, penghargaan RW Siaga
terbaik maupun penghargaaan pada
individu pelaksana PHBS terbaik.

Pada pelaksanaan RW Siaga di Dusun


Cipantaran diperlukan beberapa perbaikan
dalam beberapa komponen yang ada di
pemetaan kapasitas komunitas yaitu:
a.

Peningkatan
pelibatan
warga
dalam
penetapan target - target pelaksanaan
kegiatan RW Siaga.
Penetapan target target RW Siaga selama
ini didasarkan pada target target yang
ditetapkan didalam aturan yang menjadi
landasan pelaksanaan RW Siaga, target
target
yang
ditetapkan
seharusnya
disesuaikan dengan kondisi dari Dusun
Cipantaran.
Pelibatan
warga
Dusun
Cipantaran dapat dilakukan melalui MMD
ketika program program RW Siaga dibuat.

b.

Peningkatan
pelibatan
warga
dalam
pembuatan prosedur, aturan dan strategi
pelaksanaan kegiatan RW Siaga.
Penetapan prosedur, aturan dan strategi
RW Siaga selama ini didasarkan pada
aturan yang menjadi landasan pelaksanaan
RW Siaga, target target yang ditetapkan
seharusnya disesuaikan dengan kondisi dari
Dusun Cipantaran. Pelibatan warga Dusun
Cipantaran dapat dilakukan melalui MMD
ketika program program RW Siaga dibuat
Jurnal Perencanaan Wilayah dan Kota 2 SAPPK V3N3| 517

Tahapan Pengorganisasian Komunitas dan Pemetaaan Kapasitas Komunitas Pelayanan Kesehatan Berbasis Masyarakat

c.

d.

e.

atau sebelum ditetapkan oleh ketua RW


Siaga dimusyawarahkan terlebih dahulu
sebagai bagian dari sosialisasi.
Pembuatan
sistem
manajemen
pengetahuan sederhana pada pelaksanaan
RW Siaga sebagai bentuk dokumentasi,
media pembelajaran dan media komunikasi
internal.
Pembuatan
sistem
manajemen
pengetahuan yang lebih komunikatif dan
dapat diperbarui tiap waktunya. Diperlukan
bantuan dari Dinas Kesehatan untuk
membantu kader RW Siaga membuat
sistem database yang lebih sederhana
sehingga mudah untuk diupdate.
Peningkatan transparansi antara kader RW
Siaga dengan warga Dusun Cipantaran
terutama terkait dengan kerja sama dengan
stakeholder eksternal.
Peningkatan transparansi terkait dengan
kerja sama stakeholder eksternal dapat
dilakukan dengan adanya suatu pertemuan
yang melibatkan seluruh pihak sehingga
seluruh pelaksana RW Siaga mengetahui
pihak-pihak
yang
terlibat
dalam
pelaksanaan RW Siaga.
Peningkatan
pelibatan
warga
Dusun
Cipantaran dalam pembuatan prosedur,
metode dan standar evaluasi pelaksanan
kegiatan RW Siaga sehingga warga Dusun
Cipantaran
dapat
memperoleh
pembelajaran pembuatan program
program pemberdayaan masyarakat secara
menyeluruh.
Penetapan prosedur, metode dan standar
evaluasi pelaksanaan RW Siaga selama ini
ditetapkan di dalam aturan yang menjadi
landasan pelaksanaan RW Siaga, Pelibatan
warga Dusun Cipantaran dalam pembuatan
prosedur, metode dan standar evaluasi
pelaksanaan RW Siaga dapat dilakukan
melalui MMD ketika program program RW
Siaga dibuat, sehingga fungsi kontrol warga
Dusun Cipantaran pada pelaksanaan RW
Siaga menjadi lebih efektif.

Ucapan Terima Kasih


Ucapan terima kasih Penulis tujukan kepada
Dosen Pembimbing, Suhirman, Drs., SH., MT.,
Dr. yang telah memberikan pembelajaran,
518 | Jurnal Perencanaan Wilayah dan Kota B SAPPK V3N3

pengetahuan, dan motivasi kepada penulis


untuk mengerjakan studi ini sebaik-baiknya.
Selain itu, terima kasih juga Penulis tujukan
kepada semua narasumber, yaitu Pemerintah
Daerah Kota Banjar, Pemerintah Desa Cibereum,
Pemerintah Dusun Cipantaran, pengurus RW
Siaga, PKK, DKM, Linmas, Kelompok Wanita
Tani, pengurus Kampung KB dan seluruh warga
Dusun Cipantaran.
DAFTAR PUSTAKA
Umar Fahmi. (2005). Manajemen
Penyakit Berbasis Wilayah. Jakarta: Penerbit

Acmadi,

Buku Kompas.
Agustino, Leo. (2006). Dasar - dasar Kebijakan
Publik. Bandung: CV. Alfabeto.
Alinsky, Saul. 1972. Rules for Radicals. New
York: Vintage Books.
Anwar,
Affendi.
(2000).
Pembangunan
Tataruang (Spatial) Wilayah Perdesaan
dalam Rangka Pembangunan Regional.
Bogor: IPB
Arisman. (2004). Gizi Dalam Daur Kehidupan
Buku Ajar Ilmu Gizi. Jakarta: Buku
Kedokteran EGC.
Babbie, Earl R. (2007). The Practice of Social
Research.
Belmont,
CA:
Thomson
Wadsworth.
Beckwith, Dave. (1997). People Power from the
Grassroots. Washington, DC: Center for
Community Change.
Bryant, William D.A. (1994). Mis-interpretations
of the Second Fundamental Theorem of
Welfare Economics: Barriers to Better
Economic Education. Journal of Economic
Education. Vol. 25, No.1, Winter, pp. 75-80.
Burkey, S. (1993). People First: A Guide to SelfReliance Participatory Rural Development.
London: Zet Books Ltd.
Burke, Lee et al. (1986). Corporate Community
Involvement in the San Francisco Bay Area.
California Management Review. Spring, Vol.
28 Issue 3, p.122
Cernea, M, (1991). Putting People First:
Sociological Variables in Rural Development.
New York: Oxford University Press.
Chambers, R. (1983). Rural Development:
Putting the Last First. Harlow: Longman.
Chaskin, Robert et al. (2001). Building
Community Capacity. New York: Aldine De

Elmy Yasinta Ciptadi

Gruyter.
Chaskin, R. J., P. Brown, S. Venkatesh, and A.
Vidal. (2001). Building Community Capacity.
New York: Aldine De Gruyter.
Creswell, J. W. (1994). Research Design
Qualitative and Quantitative Approaches.
London: SAGE Publications.
Cole, Richard. (1974). Citizen Participation in the
Urban Policy Process. Lexington: Lexington
Books.
Coleman, James S. (1988). Social Capital in the
Creation of Human Capital. American Journal
of Sociology. Vol. 94 Supplement S95 S120
Devas, Nick et al. (1993). Managing Fast

Growing Cities: New Approach to Urban


Planning and Management in Developing
World. New York: Longman Scientific &
Technical.
Dever, G.E. Alan. (1984).

Ife, J. W. (2002). Community Development:

Community-Based Alternatives in an Age of


Globalisation. Melbourne: Longman
Kemm, Close. (1995). Health Promotion Theory
and Practice. London: MacMillan Press Ltd.
Krippendorf, Klaus. (2004). Content Analysis: An
Introduction to Its Methodology. Thousand
Oaks: SAGE Publication. Second Edition.
Koentjaraningrat.
(1997).
Kebudayaan,
Mentalitas dan Pembangunan. Jakarta: PT.
Gramedia Pustaka Utama.
Kretzman, J. P., and J. McKnight. (1993).

Building Community from the Inside Out: a


Path Toward Finding and Mobilizing
Community Assets. Evanston, Il: Center for
Urban
Affairs
and
Policy
Research
Northwestern University.
Kubisch, A. C. (1997). Voices from the Field:

Epidemiology in
Health Service Management. Gaithesburg,

Learning from Comprehensive Community


Initiatives. Washington, DC: The Aspen

MD: Aspen Publishers, Inc.


Egger, P. (1995). Freedom of Association, Rural

Institute.
Labonte, R., & Laverack, G. (2001). Capacity
Building in Health Promotion. Critical Public
Health. Volume 11, Issue 2
Lipton, M. (1997). Accelerated Resource
Degradation by Agriculture in Developing
Countries? The Role of Population Change
and Responses to It in Vosti, S.A. and
Reardon, T (eds.). (1997). Sustainability,

Workers' Organisations and Participatory


Development. Paris: OECD.
Eichler, M. (2007). Consensus Organizing:
Building Communities of Mutual SelfInterest. Thousand Oaks: Sage Publications
Fajar, Ibnu dkk. (2001). Penilaian Status Gizi.
Jakarta: Buku Kedokteran EGC.
Freire, Paulo, 2000. Pendidikan Sebagai Proses.
Yogyakarta: Penerbit Pustaka Pelajar.
Gibson, James et al. (1994). Organisasi dan
Manajemen: Perilaku, Struktur, Proses.
Jakarta: Erlangga
Goodman, R. (1989). A Model for the
Institutionalization of Health Promotion
Programs. Family and Community Health.
February - Volume 11 - Issue 4 pp.63-78
Hanel, A. (1989). Pokok-pokok Pikiran Mengenai

Organisasi Koperasi dan Kebijaksanaan


Pembangunan di Negara Berkembang,
Bandung: UNPAD.
Harrison, L. (1995). Race, Ethnicity and
Community
Development.
Community
Development Journal, 30 (2): 144 - 154.
Hess, Douglas R. (1999). Community Organizing,

Building and Developing: Their Relationship


to Comprehensive Community initiative.
Washington, DC: Center for Community
Change

Growth, and Poverty Alleviation. A Policy and


Ecological Perspective. Baltimore: The John
Hopkins University Press.
Mansuri, Ghazala and Vijayendra Rao. (2004).
Community-Based and Driven Development:
A Critical Review. The World Bank Research
Observer. Vol. 19, No.1
Minieri, Joan et al. (2007). Tools for Radical
Democracy. New York City: Chardon Press.
Moleong, Lexy J. (2006). Metode Penelitian
Kualitatif. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.
Myrdal, Gunnar. (1968). Asian Drama An

Inquiry
into
the
Poverty
of
Nations. Harmondsworth: Penguin.
Notoadmojo, S. (1993). Pengantar Pendidikan
Kesehatan dan Ilmu Perilaku Kesehatan.
Yogyakarta: PT.Andi Offset.
Nurman, Ari dkk. (2008. Merumuskan Skema

Penyediaan Jaminan Pelayanan Kesehatan


yang Sesuai untuk Daerah. Bandung:
Perkumpulan Inisiatif.
Jurnal Perencanaan Wilayah dan Kota 2 SAPPK V3N3| 519

Tahapan Pengorganisasian Komunitas dan Pemetaaan Kapasitas Komunitas Pelayanan Kesehatan Berbasis Masyarakat

Platteau, J. P. (2004). Monitoring Elite Capture


in
Community-Driven
Development.
Development and Change 35(2): 22346.
Putnam, Robert D. (1993). The Prosperous
Community: Social Capital and Public Life.
The American Prospect. Vol. 4 No. 13, March.
Santoso, Soegeng. (2004). Kesehatan dan Gizi.
Jakarta: Rineka Cipta.
Stahl, Michael J. (2003). Encyclopedia of Health
Care Management. Thousand Oaks: SAGE
Publication.
Stoecker, Randy et al. (2008). States, Cultures

and Community Organizing: Two Tales of


Two Neighborhoods. Toledo: University of

Toledo.
World
Health
Organization,
Commission of Social Determinant of Health.
Stone, R. (1996). Core Issues in Comprehensive
Community Building Initiatives. Chicago:
Chapin Hall Center for Children at the
University of Chicago.
Sudrajat, dkk. (2013). Banjar Satu Dekade:

Resep Manjur Kepemimpinan Dokter Herman.


Garut: YAF Publish.
Suharto, Edi. (2005). Membangun Masyarakat

Memberdayakan
Masyarakat:
Kajian
Strategis Pembangunan Kesejahteraan Sosial
dan Pekerjaan Sosial. Bandung: Refika

Adhitama.
Suparmanto, E. (2006). Pengembangan Desa
Siaga dan Pos Kesehatan Desa. Jakarta:

520 | Jurnal Perencanaan Wilayah dan Kota B SAPPK V3N3

Depkes RI.
Suwarno, Yogi. (2008). Inovasi di Sektor Publik.
Jakarta: Penerbit STIA - LAN Press.
Tangkilisan, Hessel Nogi S. (2005). Manajemen
Publik. Jakarta: PT. Gramedia Widiasarana
Indonesia.
Tubb, Stewart L. (1984). A system Approach to
Small Group Interaction Second Edition.
Reading, MA: Addison Wesley Publishing
Company.
Waterston,
Albert.
(1965).
Development
Planning. Baltimore: The Johns Hopkins Press.
Widiarta, N. dan S. Hendarsih S. (2003).
Integrasi Sistem Pengendalian Hama Terpadu
ke dalam Model Pengelolaan Tanaman
Terpadu. Avaliable at:
http://www.202.158.78.120/publication/
wr254.035.pdf.25(4):1-3
Wicaksono, Wazir dkk. (2001). Catatan Pertama

Pengalaman Belajar Praktek Pengorganisasian


Masyarakat di Simpul Belajar. Bogor: Simpul
Belajar Pengorganisasian Masyarakat
Yin, Robert. K. (2004). Case Study Research:
Design and Methods. Thousand Oaks: Sage
Publication. Third Edition.
World Health Organization, (1986). Ottawa

Charter for Health Promotion in First


International Conference on Health Promotion
Declaration of Alma-Ata. 17-21 November.
Copenhagen: WHO Regional Office for Europe

Anda mungkin juga menyukai