Pada suatu ketika, di awal decade 70-an, dunia dicekam ketegangan. Perang menjalar di Timur
Tengah. Negara Negara Arab menyerang Israel dan terjadilah krisis minyak Presiden Soeharto,
waktu itu, memandang bahwa batu bara layak menjadi sumber energi alternatif. Ia pun
menginstruksikan para menteri untuk mengembangkan batu bara. Pada 1980, pemerintah RI
mengundang kalangan investor dunia untuk pengembangan potensi batu bara di Kalimantan dan
Sumatra. Para investor asing itulah yang kemudian menjadi kontraktor pengembangan batu bara
di bawah naungan Perjanjian Karya Pengusaha Batubara (PKP2B) generasi pertama.
PKP2B generasi pertama diteken antara kurun 1981 hingga 1990. Tercatat, ada 11 perusahaan
pertambangan yang dibentuk untuk menjalankan kontrak itu. Volume produksi batu bara dari
para kontraktor PKP2B generasi pertama itu amat besar. Hingga saat ini, pemerintah sudah
meneken 376 kontrak pertambangan batu bara. Ada 141 kontrak PKP2B dari generasi I hingga
VII. Volume produksi kontraktor PKP2B generasi pertama tercatat menyumbang 75% dari
seluruh total produksi.
Para pemain pertama itu memang mendapat banyak keuntungan. Semua kontraktor PKP2B
generasi pertama, misalnya mendapat ketentuan system perpajakan yang telah tetap. Jadi
sepanjang masa kontraknya, perusahaan tidak terkena aturan pajak baru. Jika ada pajak baru
yang tidak tercatat dalam kontrak, maka pemerintah akan me-reimburse nilai yang sama pada
kontraktor.
Pada tahun 2005, Mentri Keuangan merilis peraturan No 95 tentang pungutan ekspor batu bara
untuk meningkatkan pasokan batu bara ke pasar domestik. Nyatanya, beleid itu tidak efektif.
Para kontraktor PKP2B generasi I tidak terkena aturan baru itu. Padahal 75% produksi batu bara
berada di tangan mereka. Alhasil, pungutan ekspor yang didapat sangat minim.
Pada tahun 1983, lahir UU tentang pajak pertambahan nilai (PPN). Karena PPN lahir setelah
sejumlah PKP2B diberlakukan, maka PPN juga tidak masuk dalam kewajiban kontraktor PKP2B
generasi pertama. Kalau PPN itu dibayar oleh perusahaan PKP2B, pemerintah wajib mengganti.
Enak nian, memang.
Belakangan, mekanisme pengembalian itu tersendat. Dari situlah, konflik antara konraktor
PKP2B generasi pertama dengan Lapangan Banteng Berkobar.
Saat ini, perusahaan perusahaan PKP2B generasi pertama sudah tidak lagi merupakan
perusahaan asing. Sesuai kontrak PKP2B itu pula, asing-asing tadi memang harus menjual
sahamnya ke perusahaan domestic dalam kurun tertentu setelah kontrak berjalan. Di saat harga
batu bara mahal seperti saat ini, kontrak PKP2B generasi pertama itu sekarang telah berhasil
menjadikan para pemilik barunya masuk dalam daftar orang-orang terkaya di negeri ini. Mungkin
ini yang membuat mereka terlihat begitu pede ketika harus berhadapan dengan para pejabat
Departemen Keuangan.
Kesebelasan Pertama Itu
1. PT KALTIM PRIMA COAL (KPC)
Awalnya, KPC merupakan perusahaan patungan milik Rio Tinto Australia (50%) dan British
Petroleum (50%) dari Inggris. KPC adalah operator batu bara terbesar di Indonesia. Kegiatan
produksi secara komersial di KPC dimulai pada tahun 1991. setelah itu KPC sanggup
memproduksi batu bara secara stabil di level stabil 15 juta metric ton per tahun. Kini, KPC
berada di bawah kepemilikan PT Bumi Resources, unit usaha kelompok Bakrie. Pada tahun
2007 silam produksi KPC mencapai 50 juta metric ton.
2. PT ARUTMIN INDONESIA
Sejak awal kelompok Bakrie terlibat di Arutmin. Perusahaan ini tadinya merupakan hasil; kongsi
antara Bakrie (20%) dengan BHP Minerals Australia (80%). Arutmin mengoperasikan dua
tambang terbuka di Kalimantan Selantan. Arutmin bias memproduksi 19 juta metric ton batu bara
setiap tahun. Kini, Arutmin juga sepenuhnya berada di bawah naungan PT Bumi resource.
3. PT ADARO INDONESIA
Perusahaan ini sekarang dimiliki PT Adaro Energy. Awalnya, Adaro dimiliki oleh New Hope
Corporation Australia (50%), PT Asminco Bara Utama Indonesia (40%), dan Mission Energy
Amerika (10%). Adaro memiliki sumber daya batu bara sekitar 2,803 milliar ton-separuhnya
merupakan cadangan. Saat ini, produksi tahunan Adaro sekitar 40 juta ton- nyaris setara dengan
20 % produksi nasional yang, sepanjang tahun 2007, mencapai 205 juta ton.
Adaro pernah dilaporkan melakukan transfer pricing pajak. Selain itu, Adaro punya kasus
sengketa saham dengan Beckett Pte. Ltd. gara-gara kredit yang diberikan Deutsche Bank
sebesar US$ 100 juta kepada Asminco. Pemilik Asminco adalah PT Swabara Mining energy.
Beckett adalah pemilik utama Swabara. Asmingo mengalami gagal bayar dan Deutsche Bank
mengeksekusi jaminan utang asminco di Adaro dan IBT kepada pemilik Adaro sekarang,
seharga US$ 46 juta. Syahdan, penjualan itu dilakukan secara diam-diam dan harganya
kemurahan.
4. PT BERAU COAL
PT Berau Coal saat ini berada di tangan kendali PT Armadaian Tritunggal (51%)- milik Rizal
Risjad (anak Ibrahim Risjad). Selain itu, ada juga Rognar holding BV Belanda (39%), dan Sojitc
Corp dari Jepang. Tadinya, Berau dimiliki oleh United Tractors (60%), PT Pandua Dian Pertiwi
(20%), dan Nissho Iwai (20%).
Berau memiliki tiga lokasi tambang di kabupaten Berau, Kalimantan Timur, yaitu Lati, Binungan,
dan Sambrata. Berau memegang Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara
(PKP2B) dengan pemerintah Indonesia atas konsesi sekitar 118 ribu hectare (ha) dengan lahan
produksi 40 ribu ha. Tahun ini perusahaan menargetkan produksi 15 juta metric ton batu bara
setelah tahun lalu mebukukan 12,5 juta ton.
https://m.facebook.com/notes/coal-modelling/sejarah-perkembangan-kontrakpkp2b-pertambangan-indonesia/10150343291623890/