Oleh: Afie MN
"Saya harap dalam tiga hari ke depan, rumah ini sudah kosong."
"Lho, bukankah akadnya masih berlaku setahun lagi, Baba? kenapa
mendadak begini?"
"Iya, tapi anak saya yang di Saudi mau pulang bersama istri dan anaknya.
Masak mereka tinggal di jalanan? Saya harap kamu bisa mengerti. Malisy!"
Melihat ekspresi Baba waktu itu, Arif merasa jengkel. Kenapa harus
semendadak ini? Kalau memang benar anaknya mau pulang, kenapa tidak
mengabari sebulan yang lalu? Kenapa tiba-tiba akad yang masih berlaku
setahun lagi itu tidak mempunyai arti apa-apa?
Sebenarnya Arif ingin protes. Tapi, mendengar kalimat Baba, Arif merasa
tidak bisa berkutik. Ia tak berdaya. Ia terpaksa harus bersabar. Ia hanya bisa
menerima, bahwa ia harus cepat pergi dari rumah itu. Mencari rumah baru.
Baginya, bertengkar mulut dengan orang Mesir hanya buang-buang waktu
saja.
***
"Sudah tahu nanya. Iya, betul. Kak Amien ke mana, Rud?" Arif balik bertanya.
"O, beliau sedang keluar. Katanya pergi ke Atabah, cari karpet. Ditunggu
saja, paling sebentar lagi datang," jelas lelaki pendek yang ternyata bernama
Rudi itu.
Arif tidak berkata lagi. Lelaki tinggi berambut sedikit bergelombang itu,
kemudian menyibukkan diri dengan melihat-lihat ratusan kitab yang
terpajang rapi di rak buku. Ia merasa tertarik dengan sebuah kitab yang ada
di sana. Kemudian tangannya yang yang tipis kering mengambil kitab itu dan
mulai serius membaca. Belum satu halaman penuh ia tuntaskan, Rudi
datang.
***
Arif melangkah cepat. Menyusuri jalan Bawwabah tiga. Melalui gang-gang
yang kotor. Penuh debu. Ketika ia sampai di depan gerbang Bawwabah dua,
jantungnya berdegup kencang. Tubuhnya yang kurus itu sedikit goyah. Ia
melihat segerombolan anjing sedang mengais-ngais sampah. Ia belum bisa
membiasakan diri untuk bersikap biasa terhadap anjing. Karena waktu di
Indonesia, yang ia lihat hanya anjing galak milik tetangganya. Ia trauma.
Namun, dengan mengumpulkan sedikit keberanian, ia meneruskan
langkahnya. Setelah melewati segerombolan anjing itu, matanya bersinar. Ia
melihat orang yang dicarinya telah menunggu di depan sekretariat
Gamajatim. Arif pun langsung mengucap salam.
“Assalamualaikum”
“Waalaikum salam”
“Sudah lama, Kak?”
“Nggak juga. Langsung aja yuk. Itu rumahnya. Tuan rumahnya sudah
menunggu,” jelas Amien sambil menunjuk ke arah sebuah Imaroh.
“Tidak, rumah ini tidak akan saya sewakan kalau tidak sembilan ratus
pound,” jelas orang berjanggut putih itu dengan bahasa Amiyahnya yang
fasih.
***
Arif hanya diam. Tidak ada kata. Pikirannya menerawang jauh. Betapa
kecewanya teman-temannya kalau sampai ia ceritakan kegagalannya
mencari rumah. Dengan sikap Arif yang demikian, membuat Antoni mengerti
bahwa Arif memang tidak mendapatkan rumah. Dan ia pun angkat bicara.
“Ya sudah, kalau begitu cepetan kita shalat maghrib. Setelah itu kita pergi
melihat rumah di Zahro. Gimana?”
Mendengar itu, Arif hanya tersenyum lemas. Tidak yakin. Tapi karena Antoni
memaksa, akhirnya ia pun percaya dan segera bersiap-siap melaksanakan
shalat maghrib berjamaah di masjid yang berada tepat di samping
rumahnya.
Mata Antoni bersinar-sinar ketika sampai di ujung gang. Dilihatnya pria botak
berjaket kulit telah berada di depan imaroh yang ingin ditunjukkan kepada
teman-temannya itu. Ia yakin bahwa orang itulah yang tadi pagi ditemuinya.
Dan ia pun mempercepat langkahnya.
Arif hanya diam. Sedang yang lain asyik melihat-lihat dan mencoba-coba
menyalakan kompor dan kran.Takut tidak bisa digunakan. Setelah
bermusyawarah, akhirnya mereka berlima sepakat untuk menyewa rumah
itu. Dan tepat di hari yang ketiga sejak rumah yang mereka tempati itu
diminta oleh tuan rumahnya, mereka melakukan perpindahan.
***
Waktu berjalan begitu cepat. Tak terasa, ternyata sudah empat bulan mereka
menempati rumah itu. Semuanya sudah bersih. Tuan rumah yang
mengontrol hanya beberapa kali itu merasa puas dengan mereka berlima.
Rumah itu telah berhasil disulap menjadi tempat tinggal yang nyaman.
Temboknya dicat dengan warna putih bersih. Lantainya ditutupi karpet biru.
Di dapur, tidak ada lagi sampah berserakan. Tidak ada lagi tumpahan
minyak. Begitu juga di kamar mandi, semuanya telah dibersihkan. Arif dan
teman-temannya merasa senang tinggal di rumah itu. Ia sudah bisa
menikmati hasil kerja mereka.
Menginjak bulan yang kelima, tuan rumahnya mulai bawel. Tiba-tiba saja
tuan rumahnya ingin menaikkan uang sewa. Katanya, ini sudah keputusan
dari pusat. Namun, Arif dan teman-temannya merasa keberatan. Mereka
meminta untuk dinaikkan tahun depan saja. Mengikuti apa yang telah
disepakati waktu akad beberapa bulan yang lalu. Tapi tuan rumah tetap
memaksa untuk menaikkan uang sewa.
Merasa tidak berdaya, Arif melapor kepada Amien. Dengan modal surat akad
rumah dan bahasa amiyah yang sangat baik, Amien berhasil membuat si
tuan rumah tidak berkutik. Dan rumah itu bisa ditempati tanpa dinaikkan
uang sewanya selama setahun. Arif dan teman-temannya merasa senang.
Hingga suatu malam pada bulan yang sama. Tuan rumahnya datang
bersama dengan seorang pemuda. Kebetulan hanya Arif yang sedang berada
di rumah. Dan Ia pun mempersilahkan masuk tamunya itu.
Arif tidak bisa berkata-kata. Ia diam seribu bahasa. Ia juga masih ragu.
Benarkah itu adalah anaknya? Benarkah baru pulang dari Saudi? Ia
mengingat-ingat kejadian beberapa bulan yang lalu. Kalimat itu mirip dengan
kalimat yang diucapkan oleh tuan rumah sebelumnya. Dan ia pun hanya bisa
pasrah menunggu nasib.
Keterangan:
Baba : panggilan untuk tuan rumah di Mesir
Malisy : Bahasa Mesir yang berarti maaf. Dengan kata ini, semarah apa pun
orang mesir akan memaafkan
Bawwabah : nama sebuah daerah di kota Nasr, Kairo, Mesir.
Gamajatim : Himpunan mahasiswa yang berasal dari Jawa Timur
Imaroh : Gedung bertingkat yang dijadikan tempat tinggal oleh penduduk
Mesir (seperti rumah susun)
Akhi : Bahasa Arab Fusha yang berarti Saudaraku.
Atabah : sebuah pasar rakyat yang murah meriah.
Tramko : sebutan angkot di Mesir, (entah ejaannya benar atau tidak)