Anda di halaman 1dari 8

SEJARAH DESA BUGBUG

KI TARUNA BALI MULA DAN BHATARA DI BAU WKA

Berdasarkan hasil penelitian, dan kajian serta analisis yang mendalam terhadap bukti bukti yang ada, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa adanya desa Bugbug diketemukan
berawal dari suatu kisah pengembaraan keturunan bangsa Austronesia

yang

telah

menyebar dan mendiami seluruh wilayah Pulau Bali (Bnwa ing Bangsul), dengan pola hidup
mereka yang masih berkelompok-kelompok dan berpindah-pindah dengan Jero mekel
jero mekel

sebagai

pemimpin-pemimpin mereka. Kelompok inilah membuat pra-desa

pertama di daerah persubakan Lumpadang (kaswakan bhunghlunan), yang

selanjutnya

kemudian membangun Desa Bugbug, denga menyebut dirinya Ki Taruna Bali Mula
atau orang Bali Mula (Dewa Purana Giri Wana, dan Markandeya Purana:10.1).
Ketika itu mereka telah menganut aliran waisnawa namun mereka masih belum tahu tata
beragama

secara

utuh. Mereka hanya percaya dan menyembah leluhur yang lazim

disebutnya Hyang (Hyang ing siddha dewata). Ki Taruna Bali Mula

adalah

nama

(bhiska) lain dari Bhatara Gde Gumang. Bhatara Gde Gumang juga mempunyai bhiska
lainnya, seperti; bhiska Sang Hyang Sinuhun Kidul ketika Beliau berstana di Pura Bukit
Huluwatu. Dan juga disebut dengan bhiska Bhatara Gde Sakti. Kemudian beliau
mempersunting Putri Bhatara Gde di Pura Bukit/Gili Byaha yaitu Dewi Ayu Mas. Setelah
menjadi ardhanareswari lalu beliau menuju Ukir (Bukit) Gumang dengan membawa tatwa
usadha dan tatwa kadhyatmikan bersama-sama dengan Bhagawan akru, Bhagawan
Manggapuspa, Empu Sewa Sogatha (Siwa-Budha) dan selanjutnya berstana di Pura Bukit
Gumang Desa Pakraman Bugbug di Kabupaten Karangasem dengan bhiseka Bhatara Gde
Gumang (Sudarsana. 1997).
Selanjutnya beliaulah yang menjadi sasuhunan (junjungan atau pemujaan) bagi masyarakat
(Krama Desa); Bugbug, Bebandem, Datah, Jasri, dan Ngis di Kabupaten Karangasem. Oleh
masyarakat Desa Pakraman Bugbug, beliau juga disebut Ida Gde. Beliau bersama
Bhagawan akru, Bhagawan Manggapuspa, dan Empu Siwa Sogatha (Pendeta golongan
Siwa dan Budha) kemudian mengajarkan orang-orang yang tinggal disekitar Bukit Gumang

(sajuruh-juhing bukit gumang) tentang; tata agama, tata-krama bermasyarakat, bercocok


tanam, berternak, melaut, dan membuat peralatan baik dari kayu maupun dari benda-benda
lainnya (Lontar Kutara Kanda Dewa Purana Bangsul, lembar 15.a).
Beliau pula yang membuka areal persawahan dan mendirikan gubuk-gubuk, di sekitar Bukit
Gumang seperti : Sabuni, Tegakin, Malegok, Lumpadang (Luhunpadangan/Bhunghlunan),
Belong, dan sekitarnya, serta membangun tempat memande (membuat segala peralatan) untuk
kepentingan bertani, melaut dan sebagainya di sebelah selatan pra-desa Malegok, yang
selanjutnya menjadi tempat pemujaan yang disebut Pura Pasujan, untuk memuja Hyang
Mpuning Pande, yakni Bhatara Sang Hyang Ghusalya Sakti Wwai Pasojan atau Bhatari
Hyang Nini Sakti Dalem Sakti Guguh Griguh Gumang Wwai Pasojan.Yang kemudian
dilanjutkan ke daerah-daerah pra-desa lainnya di sekitar Mel Pahang, Pangiyu (Lateng
Ngiyu), Gantalan, Gorek, Lebah Kangin (Teba/teben Kangin), dan Delod Poh, Segayas, yang
selanjutnya dinamakan juga persubakan Bunghlunan (kasuwakan bhunghlunan), serta dengan
membagi-bagikan petak-petak tanah persawahan tersebut untuk dihasili dan digunakan untuk
kepentingan upacara/upakara yadnya, mapahaci-haci, dan mapahayu Desa dan Pura-pura
(Kahyangan-kahyangan) di wilayah Desa Pakraman Bugbug Kabupaten Karangasem. Tanah
tersebut kemudian didoktrin dan diterima sebagi Tanah Ayahan Desa yang sampai saat kini
masih diyakini dan masih diayahkan oleh orang-orang Bali Mula tersebut yang selanjutnya
disebut sebagai Krama Desa Ngarep di Desa Pakraman Bugbug (Prasati Desa Bugbug).
Krama Desa Ngarep inilah yang merupakan penduduk asli Desa Bugbug, yang pola
kemasyarakatannya belum tertata, kebiasaan hidupn mereka masih berpindah-pindah.
Mengenai jumlah penduduk (Krama Desa) ketika itu baru berjumlah 120 Kepala Keluarga
yang diberi sebutan gebogan agung satus duwangdasa, yang terbagi menjadi beberapa
kelompok gebogan yang mendiami gubuk-gubuk pada pra-desa pra-desa di sekitar bukit
gumang (sajuruh-juruhing bukit gumang) tersebut, antara lain: gebogan satus, gebogan
satak, gebogan samas, dan gebogan domas, dan terbagi menjadi empat kelompok, yaitu; 1)
kelompok gebogan sabuni, tegakin, dan malegok. 2) kelompok gebogan belong, dan
lumpadangan. 3) kelompok gebogan gantalan, mel pahang, dan pangiyu. 4) kelompok
gebogan gorek, lebah kangin, delod poh, dan segayas. Pada gebogan-gebogan itu mempunyai
8 (delapan) pepimpin yang disebut i luput, dan 112 lagi yang merupakan krama pengayah
yang disebut krama i satus roras. Inilah yang menjadi cikal bakal sebagai awal mula
berdirinya Desa Bugbug yang dikenal sebagai Krama Desa Ngarep dengan mendapatkan
bukti tanah sawah winih sebagai tanah ayahan desa, yang digunakan untuk kesejahteraan
serta biaya-biaya upacara/upakara keagamaan, seperti; untuk kepentingan panghaci-haci
mapahayu kahyangan-kahyangan bhatara di Banyu Wka dan desa (pasuci bhumi) di
wilayah Desa Pakraman Bugbug, guna mempertahankan kelestarian tata agama, adat-istiadat
dan budaya yang telah diwarisi sejak dahulu sampai kelak kemudian hari. Sebagaimana
tercantum dalam Prasasti Desa Bugbug yang berangka tahun 1103 Saka, pada lembar 3.a.
baris ke-7, antara lain sebagai berikut; mangkan sakwhing sawah karman i bugbug i
kasuwakan bhunghlunan mapkn pacarw i sir bhar i bauwk, tan kihann apan
mangkan kramany mla katmu tinmu ring lgi, yang terjemahannya : begitu pula semua
pemilik sawah di Desa Pakraman Bugbug yang ada di wilayah persubakan Bhunghlunan

agar melaksanakan upacara pecaruan kehadapan Bhatara di Banyu Wka, tidak boleh tidak
sebab memang demikian telah diterima dari sejak dahulu hingga kelak kemudian hari
(Budiastra. 1981:33).
Orang-orang (Krama Desa) tersebut, kemudian memohon kehadapan Ida Gde (Bhatara Gde
Gumang) agar tercipta air dan sungai di sebelah barat Bukit Penyu (Bukit pe-Dukuhan), untuk
mengairi areal persawahan yang ada di sekitarnya. Jika permohonan mereka terkabulkan
maka mereka berjanji; apabila kelak mereka beranak-pinak, mereka akan menghaturkan
guling babi sebagai banten papintonan untuk setiap kelahiran. Mendengar permohonan dari
orang-orang (Krama Desa) itu, maka Bhatara Gde Gumang (Ida Gde) segera beryoga
mempersatukan cipta beliau untuk memohon kehadapan Bhatara Hyang Hyanging
Toklangkir yang berstana di Gunung Agung. Dari yoga beliau itulah lalu dititahkanlah agar
Bhatari Giri Putri meneteskan air suci kehidupan (tirtha amertha) dari sebuah kendi manik.
Dalam memenuhi titah Bhatara Parameswara di gunung Toklangkir (Gunung Agung),
Bhatari Giri Putri lalu turunpadha nyaludira berwujud sebagai seorang wanita tua renta
dengan membawa air suci (tirtha amertha) itu yang dibungkus dengan sehelai daun
kaumbang/candung (sejenis daun talas hutan), dengan maksud menguji kesungguhan dari
orang-orang yang memohon air suci tersebut. Sepanjang perjalanan, biliau diikuti pula
dengan kemunculan seorang Pria gagah dengan perawakan tegap yang merupakan
perwujudan saludira dari dewata yang juga ikut turunpadha. Dimana pria tersebut sedang
mengikuti pergumulan dari orang-orang yang mengadakan pertemuan di sebuah hutan kecil
yang disebut ebetan, yang juga sangat mendambakan air untuk kelangsungan hidup mereka.
Bhatara Giri Putri yang telah berwujud sebagai seorang wanita tua renta itu lalu mendekati
orang-orang yang sedang berkumpul itu, dan menawarkan setetes air yang dibawanya itu
untuk ditukar dengan bekakak kerbau bertaduk emas. Mendengan perkataan dari seorang
wanita tua dan renta seperti itu, ditanggapi sebagai orang gila, masa hanya setetes air lantas
ditukar dengan bekakak kerbau bertanduk emas, sangat lucu rupanya, begitu tanggapan
orang-orang yang sedang berkumpul di hutan kecil itu.
Tak lama kemudian, Pria yang merupakan perwujudan dewata itu, mengetahui bahwa air
yang ditawarkan oleh wanita tua itu adalah air suci kehidupan (tirtha amertha) yang
dibungkus dengan daun kaumbang/candung, yang telah ditaruhnya di atas cabang ranting
pohon kayu apah. Dengan tidak sabaran pria itu secara diam-diam lalu ngandok (merogoh)
air suci itu hingga tumpah ke tanah. Dari tumpahan air suci (tirtha) itulah, memunculkan
mata air yang sangat besar, yang kemudian di tempat tersebut airnya juga menggenang
menjadi sebuah telaga yang disebutnya dengan nama telaga tirtha, yang selanjutnya
kemudian menjadi Telaga Tistha. Sedangkan sisa air yang mesih ada pada daun
candung/kaumbang itu dilemparkan ke timur, dan akhirnya jatuh di sebuah tempat dan
menimbulkan mata air yang sangat besar pula yang hendak menghanyutkan daerah-daerah
pra-desa yang ada diwilayah selatan. Menyaksikan hal yang sangat mengejutkan itu dan akan
menimbulkan bencana bagi kehidupan yang ada disekitarnya, wanita tua renta yang
merupakan perwujudan dari Bhatari Giri Putri itu sangatlah marah, dan tahu bahwa orang
yang merogohnya itu adalah perwujudan dewata yang juga sedang turunpadha. Oleh karena

kekurang sabarannya itu, maka ia dikatakan mangkak/bangkak. Seketika itu pula


mengagetkan orang-orang yang ada disekitar itu dan berupaya untuk menahan luapan air itu
namun tidak berhasil. Sampai pada akhirnya Ida Gde (Bhatara Gde Gumang) menjadi
khawatir dengan keadaan itu, yang hendak membahayakan pra-desa pra-desa disekitar Bukit
Gumang. Lalu beliau menyuruh orang-orang yang mendiami pra-desa pra-desa disekitar
Bukit Gumang untuk membantu menahan dan menutup luapan air itu, namun juga tidak
berhasil. Pada akhirnya beliau menyuruh menimbun dengan Gong Peturun yang
didapatkannya di Pasujan. Perintah itupun segera dilaksanakan, dan selanjutnya Gong
Peturun itu digunakan untuk menutup mata air itu dan ditindih dengan kayu ilat-ilat, kepuh
dan sebagainya. Barulah luapan mata air itu menjadi tenang dan mengecil. Sebagai akibat
dari tertutupnya mata air itu, maka air dari mata air itu selanjutnya mengalir melalui saluran
urat-urat bumi di beberapa tempat (rgng hmbhukan wwating bhumi), yakni; di
Hembhukan (sekarang; Tirta Gangga) yang disertai penunggu (pangemit) Kaki Sedahan
Bejagul Putih, Kaki Sedahan Juru Tumbak, di Batu Belah (bentar watuparangan ing
sagara) dengan penunggu (pangemit) Kaki Sedahan Buaya putih, Kaki Sedahan Gurita,
Kaki Sedahan Rekata, di Candidasa dengan penunggu (pangemit) Kaki Sedahan Bejulit
Hirng, Kaki Sedahan Juru Tumbak, Kaki Sedahan Udanggragho, Kaki Sedahan Ayuyu,
Kaki Sedahan Kakul, Kaki Sedahan Gondang, Kaki Sedahan Hemping, Kaki Sedahan KapuKapu. Dan di Telaga Tistha (Telaga Tirtha) yang sebagai pusat dari saluran mata air itu
ditunggu (kakmitan dening) Kaki Sedahan Bejulit Putih, Kaki Sedahan Tukad, Kaki Sedahan
Kaladasabhumi, Kaki Sedahan Udang Testes Ngragho, Kaki Sedahan Yuyu Kracah, Kaki
Sedahan Juru Tumbak, Kaki Sedahan Kakul, Kaki Sedahan Gondang, Kaki Sedahan
Hemping, Kaki sedahan Kapu-Kapu, dan lain sebagainya (maka mwah sakalwiranya).
Pria perwujudan dewata itu disuruhnya menjaga dan memelihara air Bangkak dan air Telaga
Tista (Telaga Tirtha) itu, agar ketersediaan simpanan airnya tidak habis sampai kelak
kemudian hari, dengan melakukan upacara pecaruan (pacarwwa) berupa bekakak kerbau
yang bertanduk emas serta santalan yang disertai dengan entip jakan sebagai ajeng-ajengan
para pangemit. Begitu pula di Candidasa agar melaksanakan upacara pecaruan (pacarwwa)
dan pasuci bhumi serta pakelem. Di Tirta Gangga dan Batu Belah juga agar demikian halnya.
Selanjutnya Pria perwujudan dewata yang turunpadha itu menjadi junjungan (sasuhunan) di
tempat itu (Bangkak) dengan sebutan bhiseka Ida Gde Bangkak (Bhatara Gde Bangkak),
dan di Talaga Tista (Telaga Tirtha) berstana Bhatari Nini Sri Prameswari Amertha
Arundhathi Uma Dewi, begitu pula beliau yang dipuja di Candidasa (ye te ma. kang
pinuja marng candidasa) adalah Bhatari Sri Haritthi dan Bhatara Gde Sakti Siwaning
Bhumi. Dari sejak itulah di sekitar tempat itu berdiri sebuah Pura (Parhyangan), yang
dikenal dengan nama Pura Bangkak dan Pura Telaga Tistha (Telaga Tirtha), Pura Candidasa,
Pura Watu Belah, dan Tirta Gangga sebagai Pura bagi mereka yang mengerjakan tanah
persawahan dan perkebunan (kahyangan maka siwaning i kasuwakan kang mathani).
Selanjutnya karena yang memohon air suci itu agar menjadi sebuah sungi ke jalur selatan
adalah Ida Gde (Bhatara Gde Gumang), dan agar aliran airnya tidak membahayakan sampai
ke hilir (ke laut), maka dititahlah pria perwujudan dewata yang turunpadha itu, yang tiada
lain adalah Ida Gde Bangkak (Bhatara Gde Bangkak) untuk mempertanggungjawabkan

ketidak sabarannya itu agar mengendalikan perjalanan air itu sampai ke hilir (ke laut). Dan
sepanjang sungai tempat air suci itu mengalir, yakni; dari Telaga Tistha (Telaga Tirtha)
sampai ke laut selatan dinamakan Tukad Buhu. [(kata buhu/bhuhwa (Bhs Sanskerta, artinya
permohonan/permintaan)].
Dalam perjalanan air itu menuju hilir (laut), sesampainya di daerah Baunghasana
(Bongsana), beliau bertemu dengan Ida Gde (Bhatara Gde Gumang) yang sedang beryoga di
atas sebuah gurit (kiskis)(sejenis alat pemangkas rumput di sawah), lalu Ida Gde Bangkak
(Bhatara Gde Bangkak) bertanya, kepada Bhatara Gde Gumang. Ida Gde akan diarahkan
kemanakah aliran air ini?. Lalu Ida Gde (Bhatara Gde Gumang) menunjuk ke sebuah bukit,
yaitu Bukit Penyu (Bukit pe-Dukuhan) yang ada di antara pra-Desa pra-Desa di sekitar Bukit
Gumang, dan mengatakan agar air itu mengalir di sebelah barat Bukit itu. Dengan demikian
maka dipotonglah bukit yang dipandang sebagai penghalang aliran air itu ke barat. Potongan
bukit itu lau dinamakan Ngampan Rempak dan menjadi sebuah gundukan di sebelah utara
Batu Koek (di daerah Bongsana). Dengan demikian maka mengalirlah air itu di sebelah barat
Bukit Penyu (Bukit pe-Dukuhan) sesuai dengan harapan Ida Gde (Bhatara Gde Gumang).
Aliran air sungai Tukad Buhu itu dapat juga digunakan sebagai sarana untuk ngeruat mala
atau membersihkan mala kawisyan (segala bentuk noda/kepapaan yang diakibatkan oleh
kekuatan magis mistis). Dan tempat reruntuhan dari potongan bukit yang dinamakan sebagai
ngampan rmpak itu selanjutnya menjadi batas Uttara wilayah Desa Pakraman Bugbug
Kabupaten Karangasem hingga sekarang (Prasasti Desa Bugbug Tahun 1103 Saka).
Demikian mitologinya hingga timbul upacara mapinton di Pura Bukit Gumang dan adanya
kewajiban dari masyarakat (Krama Desa) Desa Pakraman Bugbug, serta Desa-desa
Pakraman lainnya yang menggunakan air dari Tukad Buhu yang sumbernya dari Telaga Tista
(Telaga Tirtha) itu, juga agar melaksanakan upacara/upakara panghaci-haci yang
dilaksanakan di Pura Bangkak dan di Pura Telaga Tista (Telaga Tirtha) berupa bukakak
krbao bertanduk emas yang pemujaannya dipimpin oleh Ki Buyut Bangkak. Jika tidak
demikian maka akan terkena kutukan (sapata) Bhatara bahwa segala hasil persawahan
sewilayah desa-desa itu akan hampa, termakan oleh segala bentuk hama dan sebagainya
(Lontar Awig-awig Desa Pakraman Sibetan Kabupaten Karangasem yang merupakan
pengejawantahan dari Raja Purana Desa Sibetan, lembar 55.a 56.b).
Setelah terdapat sungai Tukad Buhu tersebut, dan orang-orang di sekitar Bukit Gumang
(sajuruh-juruhing bukit gumang) yang telah lama pula mendiami gubuk-gubuk di areal
persawahan pada pra-Desa pra-Desa itu, pada suatu ketika terjadilah hujan lebat yang tiada
henti-hentinya (titir gntr bart ngalinus hudan madrs) yang menyebabkan banjir dalam
jangka waktu yang cukup lama, sehingga menjadikan penghambat bagi mereka untuk
melaksanakan aktifitasnya, termasuk penguburan mayat. Maka timbul keinginan Ida Gde
(Bhatara Gde Gumang) untuk mempersatukan mereka dari pra-Desa pra-Desa itu menjadi
satu di sebuah tempat yang dipandang layak dan terbebas dari banjir.

Untuk tujuan tersebut maka tempat yang pertama dipilih adalah di sekitar Pangiyu (lateng
ngiyu), namun setelah diperhatikan secara seksama tempat itu sangat sempit dan kurang
mendukung. Ditinjaulah daerah di bagian timur Bukit Penyu (Bukit pe-Dukuhan) yang
ternyata terdapat genangan air berwarna biru yang disebutnya sebagai Telaga Ngembeng atau
Bau Wka. Tempat ini ternyata merupakan tempat yang sangat tepat, baik, datar, luas, dan
terlindung oleh dua bukit yakni Bukit Penyu (Bukit pe-Dukuh-an) dan Bukit/Giri Asaha,
sehingga sangat cocok untuk dijadikan tempat pemukiman menjadi sebuah Desa. Disinilah
beliau lalu membangun sebuah Desa. Dengan upaya menimbun genangan air (Telaga
Ngembeng) itu, guna mengumpulkan (mempersatukan) orang-orang yang mendiami gubukgubuk yang tersebar di areal persawahan pada pra-Desa pra-Desa di sekitar Bukit Gumang.
Setelah lama melakukan pekerjaan menimbun genangan air itu, namun genangan air itu tetap
saja demikian adanya tidak tertimbun, dan sepertinya tidak ada hasil. Setelah hampir
mencapai puncak keputusasaan dari orang-orang yang menimbun genangan air (Telaga
Ngembeng) itu, barulah Ida Gde (Bhatara Gde Gumang) beryoga dan mempersatukan
ciptanya untuk menyatu (manunggal) dengan Bhatara Kala, tanpa diketahui oleh orangorang (Krama Desa) tersebut. Dan tak lama kemudian munculah perwujudan sebagai seorang
laki-laki yang bertubuh tinggi besar, kekar dan gagah perkasa, yang merupakan perwujudan
dari Ida Gde (Bhatara Gde Gumang) yang telah menyatu dengan Bhatara Kala.
Orang-orang (Krama Desa) yang bekerja ketika itu sama sekali tidak mengenali siapa
sebenarnya yang datang tersebut, dan beliau menamakan dirinya sebagai Ki Taruna Bali
Mula. Orang inilah (Ki Taruna Bali Mula) yang menyanggupi untuk menimbun genangan air
berwarna biru (Telaga Ngembeng) itu, asalkan dirinya ditanggung makan dan minumnya oleh
orang-orang (Krama Desa) yang berniat membangun sebuah Desa di tempat itu. Tiada
berpikir panjang orang-orang (Krama Desa) tersebut lalu menyanggupinya, untuk
menanggung makan dan minumnya sampai selesai.
Setelah beberapa lama menimbun genangan air (Telaga Ngembeng) itu, tersebutlah bahwa
porsi makan dan minumnya Ki Taruna Bali Mula itu kian hari kian bertambah, sehingga
membuat orang-orang (Krama Desa) itu menjadi kewalahan memberinya makan dan minum,
dan khawatir akan tidak mampu. Tiada lama kemudian, hampir rampunglah pekerjaan Ki
Taruna Bali Mula menimbun genangan air itu. Disaat itulah lalu timbul niat yang kurang baik
dari orang-orang (Krama Desa) yang menjadi pengikut setia dari Ida Gde (Bhatara Gde
Gumang), untuk memperdayakan (mbhiskayang halapnrohn, artinya; direncanakan untuk
dibinasakan) Ki Taruna Bali Mula. Akan tetapi Ki Taruna Bali Mula yang merupakan
perwujudan dari menyatunya Bhatara Gde Gumang dengan Bhatara Kala itu, mengetahui
niat yang kurang baik itu, namun karena keprihatinan Beliau akan kesetian dan ketulusan dari
orang-orang (Krama Desa) yang masih lugu itu, lantas Ki Taruna Bali Mula yang sangat
bijaksana itu, kemudian memberikan jalan keluarnya, dengan isyarat; da pamoran dong
(jangan hendaknya hanya bisa menorehkan kapur saja). Secara lebih luas maksud dari
pemaknaannya adalah janganlah senantiasa mempunyai niat/prasangka yang kurang baik
seperti itu. Dan kemudian beliau mengatakan kepada orang-orang (Krama Desa) itu agar
nantinya ia melakukan kewajibannya, senantiasa menyelenggarakan upacara/upakara

babanten pacaruan (pacarwwa) lengkap dengan perasapan, petabuhan dan rajah (gambar)
berupa wong-wongan yang dinamakan rajah Sang Hyang Yamarajadhipati Uriping Bhuana,
dan juga harus dikelilingi oleh tarian rejang, yang ditarikan oleh putra-putri yang masih
muda belia (daha) yang merupakan keturunan dari orang-orang (Krama Desa Ngarep), pada
setiap diadakan upacara suci pangaci-aci atau pangusabhan ditempat itu, setiap bulan
pertama purnama sasih kasa (Shrawana) nuju btng, setelah datang dari laut selatan dan
selanjutnya orang-orang (Krama Desa) semuanya melakukan penyucian diri (masuci
laksana) serta memohon (nuhur) air suci kehidupan (tirtha amertha, tirtha sudha-mala,
tirtha pangenteg pangererapuhan, dan tirtha panguripan jagat) dan sebagainya dari tengah
lautan, guna membersihkan tempat-tempat di Bau Wka ini, dan para dewa semuanya agar
distanakan pada panggungan (stanakna mareng gaduh reyod). Dan disinilah dibangun sebuah
Bale Agung dan Kahyangan Patokan yang pertama kali di bhumi bangsul sebagai stana
Bhatara Gde Sakti Ngawa Rat yang selalu dipuja sebagai utpatti stithi, dan sebagai pusat atau
poros (patokan) yang disebut Pura Penataran Desa Bale Agung. Dan agar selalu ditaati oleh
orang-oang yang menjadi Krama Desa Ngarep di Desa Pakraman Bugbug Kabupaten
Karangasem sampai kelak kemudian hari.
Setelah disanggupi oleh orang-orang (Krama Desa) tersebut, lalu Ki Taruna Bali Mula
kemudian menyuruh mencampurkan nasi rayunannya (makanannya) dengan kapur (pamor)
dan ditaruh di atas sebuah gelaran (anyaman gedeg dari bambu menyerupai tikar yang
diambil bagian tengah/dalamnya), kemudian Beliaupun (Ki Taruna Bali Mula) lalu
menghilang dari pandangan orang-orang (Krama Desa) yang ada disekelilingnya di atas
Telaga Ngembeng atau Bau Wka yang ditimbunnya itu. Dari titah inilah yang menyebabkan
nasi (ajengan/rayunan) di Pura Bale Agung ketika aci atau usabha manggung dialasi dengan
gelaran yang diolesi kapur (pamor). Inilah yang harus selalu dipatuhi oleh Krama Desa
Bugbug sampai kelak kemudian hari. Jika tidak, maka mereka akan terkena kutukan (sapata)
Bhatara Gde Sakti di Bau Wka. Tentang sapata (kutukan) bagi masyarakat (Krama Desa)
Bugbug apabila tidak melaksanakan upacara yang dititahkan itu, ditegaskan kembali dalam
Prasasti yang dianugrahkan oleh Sri Maharaja Aji Jayapangus tahun 1103 Saka, pada lembar
9.a. dari baris ke-3 sampai 7.
Dengan demikian lalu terbentuklah sebuah desa, yang dinamakan Desa Bugbug Dalam
bahasa Bali kuna, kata Bugbug berarti pusat, dipusatkan, satu, dipersatukan. Di tempat inilah
kelompok masyarakat dari orang-orang (Krama Desa) yang pada mulanya berada di pra-Desa
pra-Desa yang mendiami gubuk-gubuk di areal persawahan di sekitar Bukit Gumang
(sajuruh-juruhing bukit gumang), seperti : Sabuni, Tegakin, Malegok, Belong, Lumpadang,
Mel Pahang, Pangiyu, Gantalan, Gorek, Lebah Kangin/teba/ teben kangin dan Delod Poh,
segayas itu, lalu kabugbug (dipusatkan, dipersatukan atau dikumpulkan menjadi satu).
Demikianlah sekilas tentang mitologi Bhatara Gde Gumang/Bhatara Gde Sakti dan sejarah
berdirinya Desa Bugbug Kabupaten Karangasem, serta timbulnya sungai yang disebut Tukad
Buhu dan adanya keyakinan pada masyarakat da pamoran doeng jika ada orang yang
berniat kurang baik. Juga tentang adanya upacara suci berupa rajah (gambar) wong-wongan
atau yang lazim disebut rajah Sang Hyang Yamarajadhipati Uriping Bhuwana pada Natar

Pura Bale Agung Desa Pakraman Bugbug Kabupaten Karangasem ketika dilaksanakannya
upacara suci pangaci-aci atau usabha desa atau usabha Nini, yang dikenal dengan nama aci
atau usabha manggung, yakni setiap punamaning sasih kasa (Shrawana) penanggal ping
13, 14, 15 nuju triwara beteng menurut penanggalan kalender Bali, yang jatuh sekitar bulan
Juli menurut perhitungan kalender masehi. Hal ini ditegaskan kembali dalam prasasti Desa
Bugbug yang dianugrahkan oleh Sri Maharaja Aji Jaya Pangus tahun 1103 Saka, lembar 3.a.
baris ke-3 sampai ke-7, dan lembar 3.b. baris ke-1.
Tentang nama Desa Bugbug menurut sumber tertulis lainnya selain yang dapat dikumpulkan,
yang juga berarti dipusatkan atau dikumpulkan atau dipersatukan, disebutkan dalam lontar
Babad Bali Bondan, dan Babad Pucak Bukit Mundi, lembar 11b, antara lain sebagai berikut :
Rh sapa kwhning roang, dwaning ya kabugbug, hana skt, hana pitungpuluhpitu, hana .
tan tuna atunggalan bangbang kabugbug. Yang Terjemahan bebasnya adalah : Walau
berapapun jumlahnya orang, karena sudah dikumpulkan, ada lima puluh, ada jumlahnya,
dapat dipersatuka menjadi satu tempat kuburan (Mangku. 1976:4).
Sumber lain pula yang merujuk pada kata Bugbug yang berarti penyatuan, pengumpulan, dan
juga berarti puncak atau pemusatan disebutkan dalam Kekawin Bharata Yudha bait delapan
baris ke tiga antara lain; lwr papikat jalad, ngelih rarasiwitangk nikn kumlab
(terjemahannya; bagaikan penangkap awan yang tipis, keindahan penyatuan atau pemusatan
atap (pamugbug) pesanggrahan itu kelihatan menyala (Tim Penyusun. 1989:26).
Dari pernyataan tersebut di atas dapat ditarik benang-benang kesamaannya tentang adanya
suatu kebenaran bahwa kata pamugbug dapat berubah menjadi kata; pabugbug/kabugbug
yang kata dasarnya bugbug, yang berarti; penyatuan, puncak atau pusat. Jika dicermati dari
cerita mitologi tentang terbentuknya desa Bugbug yang awalnya dipersatukan atau dipusatkan
menjadi satu di sebuah tempat oleh Ki Taruna Bali Mula yang juga merupakan nama
bhiseka lain dari Bhatara Gde Gumang/Bhatara Gde Sakti ketika Beliau manyatu
(manunggal) dengan Bhatara Kala, dan selanjutnya Beliaulah yang berstana di Pura
Penataran Desa Bale Agung sebagai utpatti stithi dan pusat pemujaan (Patokan) bagi
masyarakat (Krama Desa) Bugbug Kabupaten Karangasem. [The autor
is_isaliksikgalangapi].

Anda mungkin juga menyukai