Anda di halaman 1dari 20

BAB I

PENDAHULUAN
Sinusitis atau yang sekarang disebut rhinosinusitis merupakan penyakit yang sering
ditemuakn dalam praktek dokter sehari-hari, bahkan dianggap sebagai salah satu penyebab
gangguan kesehatan tersering di seluruh dunia.
Rhinosinusitis sendiri didefinisikan sebagai kelainan yang dikarakteristikkan dengan
inflamasi pada hidung dan sinus paranasal. Penyebab utamanya adalah selesma (common
cold) yang merupakan infeksi virus, yang selanjutnya dapat diikuti oleh infeksi bakteri. Bila
mengenai beberapa sinus disebut multisinusitis, sedangkan bila mengenai semua sinus
paranasal disebut pansinusitis. Yang paling sering terkena ialah sinus etmoid dan maksila,
sedangkan sinus frontal lebih jarang dan sinus sfenoid lebih jarang lagi. Sinus maksila disebut
juga antrum Highmore, letaknya dekat akar gigi rahang atas, maka infeksi gigi mudah
menyebar ke sinus yang disebut sinus dentogen.
Sinusitis kronis adalah salah satu penyakit kronis yang mempunyai prevalensi tinggi
untuk setiap kelompok usia. Sinusitis kronis adalah proses inflamasi yang melibatkan sinus
paranasal dan bertahan hingga 12 minggu atau lebih. Salah satu sinus yang terlibat adalah
sinus ethmoid. Ethmoiditis kronis dapat berasal dari ethmoiditis akut yang tidak ditangani
atau tidak merespon terhadap terapi.
Sinusitis kronis dapat menjadi berbahaya karena menyebabkan komplikasi ke orbita
dan intrakranial, serta menyebabkan peningkatan serangan asma yang sulit diobati.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
ANATOMI DAN FISIOLOGI HIDUNG

Hidung dari luar berbentuk piramid dengan bagian-bagiannya dari atas ke bawah :

Pangkal hidung (bridge)

Batang hidung (dorsum nasi)

Puncak hidung (tip)

Ala nasi

Kolumela

Lubang hidung (nares anterior)


Hidung luar dibentuk oleh kerangka tulang dan tulang rawan yang dilapisi kulit,

jaringan ikat dan beberapa otot kecil untuk melebarkan atau menyempitkan lubang hidung.
Kerangka tulang hidung terdiri dari :

Tulang hidung (os nasal)

Prosesus frontalis os maksila

Prosesus nasalis os frontal

Kerangka tulang rawan terdiri dari :

Sepasang kartilago nasalis lateralis superior

Sepasang kartilago nasalis lateralis inferior ( kartilago ala mayor)

Tepi anterior kartilago septum

Pintu atau lubang masuk kavum nasi bagian depan disebut nares anterior dan lubang
belakang disebut nares posterior (koana) yang menghubungkan kavum nasi dengan
nasofaring.
Bagian dari kavum nasi yang letaknya sesuai dengan ala nasi, tepat di belakang nares
anterior disebut vestibulum. Vestibulum dilapisis oleh kulit yang memiliki banyak kelenjar
sebasea dan rambut-rambut panjang yang disebut vibrise.
Tiap kavum nasi memiliki 4 dinding yaitu dinding medial, lateral, inferior dan superior.
Dinding medial adalah septum nasi yang dibentuk oleh tulang (lamina perpendikularis os
etmoid, vomer, krista nasalis os maksila, krista nasalis os palatina) dan tulang rawan
(kartilago septum/ lamina kuadrangularis dan kolumela).
Pada dinding lateral terdapat 4 buah konka (inferior, media, superior, suprema). Konka
inferior merupakan tulang tersendiri yang melekat pada os maksila dan labirin etmoid,
sedangkan sisanya merupakan bagian dari labirin etmoid.
Di antara konka dan dinding lateral hidung terdapat rongga sempit yang disebut meatus.
Meatus terdiri dari 3 bagian tergantung letaknya yaitu inferior, medius dan superior. Pada
meatus inferior terdapat muara (ostium) duktus nasolakrimalis, pada meatus medius terdapat
muara sinus frontal, maksila dan etmoid anterior, sedangkan pada meatus superior terdapat
muara sinus etmoid posterior dan sfenoid.

Batas rongga hidung :

Inferior (dasar rongga hidung)

: os maksila dan os palatum

Superior (atap hidung)

lamina kribiformis

(memisahkan rongga tengkorak dan rongga hidung),


lamina kribiformis merupakan lempeng tulang yang
berasal dari os etmoid dan tempat masuknya serabut
saraf olfaktorius.

Posterior (atap rongga hidung)

: os sfenoid

Kompleks Ostiomeatal (KOM)


KOM merupakan celah pada dinding lateral hidung yang dibatasi oleh konka media dan
lamina papirasea.
Struktur anatomi yang membentuk KOM adalah : Prosesus unsinatus, infudibulum
etmoid, hiatus semilunaris, bula etmoid dan resessus frontal
KOM merupakan unit fungsional yang merupakan tempat ventilasi dan drainasi dari
sinus-sinus yang letaknya anterior yaitu sinus maksila, etmoid anterior dan frontal.
Perdarahan Hidung
Rongga hidung mendapat pendarahan dari a. etmoid anterior dan posterior yang
merupakan cabang dari a. oftalmika dari a. karotis interna. Bagian bawah rongga hidung
mendapat pendarahan dari cabang a. maksilaris interna, diantaranya ialah ujung a.palatina
mayor an a. sfenopalatina. Bagian depan hidung mendapat pendarahan dari cabang-cabang a.
fasialis.
Pada bagian depan septum terdapat anastomosis dari cabang-cabang a. sfenopalatina, a.
etmoid anterior, a. labialis superior dan a.palatina mayor (pleksus Kiesselbach / Littles area).
Pleksus Kiesselbach letaknya superficial dan mudah cedera oleh trauma sehingga sering
menjadi sumber epistaksis (terutama pada anak-anak).
Vena-vena hidung memiliki nama yang sama dengan arterinya dan berjalan
berdampingan. Vena di vestibulum dan struktur luar bermuara ke v. oftalmika yang
berhubungan dengan sinus kavernosus. Vena-vena di hidung tidak memiliki katup sehingga
merupakan faktor predisposisi untuk mudahnya penyebaran infeksi sampai ke intrakranial.

Persarafan hidung
Bagian depan dan atas rongga hidung mendapat persarafan sensoris dari n. etmoidalis
anterior, yang merupakan cabang dari n. nasosiliaris, yang berasal dari n.oftalmikus (n.V-1).
Rongga hidung lainnya, sebagian besar mendapat persarafan sensosir dari n. maksila
melalui ganglion sfenopalatina. Ganglion ini juga memberikan persarafan vasomotor /
otonom untuk mukosa hidung. Ganglion sfenopalatina menerima serabut saraf sensoris dari
n. maksila (V-2), serabut simpatis dari n. petrosus superfisialis mayor dan serabut saraf
simpatis dari n. petrosus profundus. Ganglion sfenopalatina terletak di belakang dan sedikit di
atas ujung posterior konka media.
Fungsi penghidu berasa dari n. olfaktorius yang turun melalui lamina kribosa dari
permukaan bawah bulbus olfaktorius dan kemudian berakhir pada sel-sel reseptor penghidu
pada mukosa olfaktorius di daerah 1/3 atas hidung.
Mukosa hidung
Rongga hidung dilapisi oleh mukosa yang secara histologik dan fungsional dibagi atas
mukosa pernapasan (mukosa respiratori) dan mukosa penghidu (mukosa olfaktorius). Mukosa
pernapasan terdapat pada sebagian besar rongga hidung dan permukaannya dilapisi oleh
epitel torak berlapis semu yang memiliki silia dan bersel goblet. Mukosa penghidu terdapat
pada atap rongga hidung, konka superior dan 1/3 atas septum. Mukosa ini dilapisi epitel torak
berlapis semu tidak bersilia dan berwarna coklat kekuningan. Epitel mukosa penghidu terdiri
dari 3 macam sel, yaitu sel penunjang, sel basal dan sel reseptor penghidu.
Pada keadaan normal, mukosa respiratori berwarna merah muda dan selalu basah
karena diliputi oleh palut lendir (mucous blanket) pada permukaannya.
Sistem Transpor Mukosilier
Sistem transpor mukosilier merupakan sistem pertahanan aktif rongga hidung terhadap
mikroorganisme atau partikel bahaya yang terhirup bersama udara. Efektivitas sistem ini
dipengaruhi oleh kualitas silia dan palut lendir. Bagian bawah dari palut lendir ini
mengandung cairan serosa sedangkan permukaannya terdiri dari mukus yang lebih elastik
dan banyak pengandung protein plasma, seperti IgG, IgM, albumin, dan faktor komplemen.
Cairan serosa di bawahnya mengandung laktoferin, lisozim, inhibitor lekoprotease sekretorik
dan IgA sekretorik (s-IgA). Glikoprotein berguna untuk pertahanan lokal yang bersifat
antimikrobial. IgA berfungsi mengeluarkan mikroorganisme dari jaringan dengan mengikat

antigen pada lumen saluran napas, sedangkan IgG beraksi di dalam mukosa dengan memicu
reaksi inflamasi jika terpajan antigen bakteri.
Pada sinus maksila, sistem transpor menggerakkan sekret sepanjang dinding serta atap
rongga sinus sehingga membentuk gambaran halo/ bintang yang mengarah ke ostium.
Setinggi ostium, sekret akan lebih kental tetapi drenasenya lebih cepat untuk mencegah
tekanan negatif dan berkembangnya infeksi. Kerusakan mukosa ringan tidak akan
menghentikan/ mengubah transport tetapi jika sekret lebih kental, sekret akan terhenti pada
mukosa yang mengalami defek.
Gerakan sistem transpor pada sinus frontal mengikuti gerakan spiral menuju resesus
frontal. Gerakan spiral menuju ke ostiumnya terjadi pada sinus sfenoid, sedangkan
sinusetmoid terjadi gerakan rektilinear jika ostiumnya terletak di dasar sinus atau gerakan
spiral jika ostiumnya terdapat pada salah satu dindingnya.
Pada dinding lateral terdapat 2 rute besar transpor mukosilier. Rute pertama merupakan
gabungan sinus frontal, maksila dan etmoid anterior. Sekret biasanya bergabung di dekat
infundibulum etmoid selanjutnya menuju tepi bebas prosesus unsinatus, dan sepanjang
dinding medial konka inferior menuju nasofaring melewati bagian anteroinferior orifisium
tuba eustachius. Transpor aktif berlanjut ke batas epitel bersilia dan epitel skuamosa pada
nasofaring yang selanjutnya jatuh ke bawah dibantu gaya gravitasi dan proses menelan.
Rute kedua merupakan gabungan sekresi sinus etmoid posterior dan sfenoid yang
bertemu di resesus sfenoetmoid dan menuju nasofaring pada bagian postero-superior
orifisium tuba eustachius. Sekret yang berasal dari meatus superior dari septum akan
bergabung dengan sekret rute pertama, yaitu di inferior tuba eustachius. Sekret pada septum
akan berjalan vertikal ke arah bawah kemudian ke belakang dan menyatu di bagian inferior
tuba eustachius.
Fisiologi hidung
Hidung memiliki berbagai fungsi di antaranya :

Fungsi respirasi (mengatur kondisi udara, humidifikasi, penyaring udara, penyeimbang


dalam pertukaran tekanan dan imunologik lokal)

Fungsi penghidu

Fungsi fonetik ( berguna untuk resonansi suara, membantu proses bicara, dan mencegah
hantaran suara sendiri melalui hantaran tulang)

Fungsi statik dan mekanik (untuk meringankan beban kepala, proteksi terhadap trauma
dan pelindung panas)

Refleks nasal (berhubungan dengan saluran cerna, kardiovaskuler, dan pernapasan)

ANATOMI DAN FISIOLOGI SINUS PARANASAL


Ada empat pasang sinus paranasal pada manusia, yaitu sinus maksila (terbesar), sinus
frontal, sinus etmoid, dan sinus sfenoid kanan dan kiri. Sinus paranasal merupakan hasil
pneumatisasi tulang-tulang kepala, sehingga terbentuk rongga di dalam tulang. Semua sinus
memiliki muara (ostium) ke dalam rongga hidung.
Secara embriologik, sinus paranasal berasal dari invaginasi mukosa rongga hidunga dan
perkembangannya dimulai pada fetus usia 3-4 bulan, kecuali sinus sfenoid dan sinus frontal.
Sinus maksila dan sinus etmoid telah ada saat bayi lahir, sedangkan sinus frontal berkembang
dari sinus etmoid anterior pada anak yang berusia kurang dari 8 tahun. Pneumatisasi sinus
sfenoid dimulai pada usia 8-10 tahun dan berasal dari bagian posterosuperior rongga hidung.
Sinus-sinus ini umumnya mencapai besar maksimal pada usia antara 15-18 tahun.

Sinus Maksila
Sinus maksila merupakan sinus terbesar. Saat lahir memiliki volume 6-8ml, kemudian
berkembang cepat dan akhirnya mencapai ukuran maksimal, yaitu 15ml saat dewasa. Sinus
maksila berbentuk piramid. Ostium sinus maksila berada di sebelah superior dinding medial
sinus dan bermuara ke hiatus semilunaris melalui infundibulum etmoid.

Batas-batas sinus maksila :


Anterior

: permukaan fasial os maksila (fosa kanina)

Posterior

: permukaan infra-temporal maksila

Medial

: dinding lateral rongga hidung

Superior

: dasar orbita

Inferior

: prosesus alveolaris dan palatum

Sinus frontal
Sinus frontal terletak di os frontal dan mulai terbentuk sejak bulan ke-4 fetus, berasak
dari sel-sel resesus frontal atau dari sel-sel infudibulum etmoid. Sesudah lahir, sinus frontal
mulai berkembang pada usia 8-10 tahun dan akan mencapai ukuran maksimal sebelum usia
20 tahun. Sinus frontal kanan dan kiri biasanya tidak simetris, satu lebih besar dairpada yang
lain dan dipisahkan oleh sekat yang terletak di garis tengah.
Sinus frontal biasanya bersekat-sekat dan tepi sinus berlekuk-lekuk. Tidak adanya
gambaran septum atau lekuk dinding sinus pada foto Rontgen menunjukkan adanya infeksi
sinus. Sinus frontal berdrenasi melalui ostiumnya yang terletak di resesus frontal yang
berhubungan dengan infudibulum etmoid.
Sinus etmoid
Pada orang dewasa sinus etmoid berbentuk piramid dengan dasarnya di bagian
posterior. Sinus etmoid berongga-rongga, terdiri dari sel-sel yang menyerupai sarang tawon,
yang terdapat di dalam massa bagian lateral os etmoid, yang terletak di antara konka media
dan dinding medial orbita. Berdasar letaknya sinus etmoid dibagi menjadi sinus etmoid
anterior yang bermuara di meatus medius dan sinus etmoid posterior yang bermuara di
meatus superior. Sel-sel sinus etmoid anterior biasanya kecil dan banyak, letaknya di depan
lempeng yang menghubungkan bagian posterior konka media dengan dinding lateral (lamina
basalis), sedangkan sel-sel sinus etmoid posterior biasanya lebih besar dan sedikit dan
terletak di posterior dari lamina basalis.
Di bagian depan sinus etmoid anterior ada bagian yang sempit disebut dengan resesus
frontal (menghubungkan dengan sinus frontal). Di daerah etmoid anterior terdapat suatu
penyempitan, yang disebut infundibulum, tempat bermuaranya ostium sinus maksila. Atap
sinus etmoid disebut fovea etmoidalis berbatasan dengan lamina kribrosa. Dinding lateral
sinus adalah lamina papirasea dan membatasi sinus etmoid dan rongga orbita. Di bagian
belakang sinus etmoid posterior berbatasan dengan sinus sfenoid.

Sinus sfenoid
Sinus sfenoid terletak di belakang os sfenoid di belakang sinus etmoid posterior. Sinus
sfenoid dibagi 2 oleh sekat yang disebut septum intersfenoid. Saat sinus berkembang,
pembuluh darah dan nervus di bagian lateral os sfenoid akan menjadi sangat berdekatan
dengan rongga sius dan tampak sebagai indentasi pada dinding sfenoid.
Batas-batas sinus sfenoid :
Superior

: fosa serebri media dan kelenjar hipofise

Inferior

: atap nasofaring

Lateral : sinus kavernosus dan a. karotis interna


Posterior

: fosa serebri posterior di daerah pons

Fisiologi sinus paranasal


Sinus paranasal memiliki berbagai fungsi diantaranya :

sebagai pengatur kondisi udara

penahan suhu

keseimbangan kepala

resonansi suara

peredam perubahan tekanan udara

produksi mukus.

RHINOSINUSITIS
Definisi
Istilah sinusitis mengarah kepada suatu proses inflamasi yang terletak pada mukosa di
sinus paranasal. Karena proses inflamasi tersebut hampir selalu mencakup proses inflamasi
pada hidung maka dewasa ini, istilah sinusitis ataupun rhinitis digantikan dengan istilah
rhinosinusitis yang menandakan suatu proses inflamasi yang terjadi di hidung dan sinus
paranasal.2
Epidemiologi
Dari data yang didapat oleh National Ambulatory Medical Care Survey (NAMCS),
sekitar 14% orang dewasa dilaporkan memiliki episode rhinosinusitis setiap tahunnya, dan ini
merupakan diagnosis tersering dengan peresepan antibiotik nomor 5. Wanita cenderung lebih
sering terkena infeksi rhinosinusitis dibanding pria karena memiliki kecenderungan kontak
lebih dekat dengan anak-anak.3
Klasifikasi
Berbagai klasifikasi atau definisi telah ditemukan oleh Rhinosinusitis Task Force of the
American Academy of Otolaryngology Head and Neck Surgery tetapi konsensus menetapkan
pengklasifikasian rhinosinusitis berdasar durasi dari timbulnya manifestasi yang dibagi
menjadi:

Rhinosinusitis Akut
Rhinosinusitis yang berdurasi 7 hari - 4 minggu

Rhinosinusitis Subakut
Rhinosinusitis yang berdurasi 4 12 minggu

Rhinosinusitis akut rekuren


Timbulnya akut rhinosinusitis 4 kali dalam 1 tahun

Rhinosinusitis kronik
Rhinosinusitis yang berdurasi 12 minggu

Rhinosinusitis akut eksaserbasi kronik2

KRONISITAS PADA ETHMOIDITIS


Kronisitas pada ethmoiditis ditandai terjadinya inflamasi pada sel labirin ethmoidal
yang berlangsung selama 12 minggu atau lebih.
Biasanya timbul setelah penyakit akut, sering inflamasi akut maupun kronik pada sinus
maksila, frontal dan sphenoid yang menyebabkan lesi sekunder sel labirin ethmoidal, karena
sinus ethmoid terletak di pusat daripada sinus-sinus ini.
Pada kebanyakan kasus, terdapat beberapa jenis yaitu : bentuk kataral, serosa, kataralsupuratif dan hiperplasia, yang dikarakterisasi penebalan signifikan dari membran mukosa,
pembentukan vegetasi polip.
Polip yang berbentuk multipel lebih sering daripada polip soliter. Setiap polip
mempunyai batang tipis, dan bentuk yang tergantung dari kontur sekeliling hidung. Polip
multipel dapat menyebabkan penekanan pada hidung dan bahkan deformitas pada bagian
luar.
Patofisiologi
Terhambatnya sekresi di dalam sinus dapat dipicu (1) obstruksi mekanik pada kompleks
ostiomeatal karena faktor anatomik atau (2) oedem mukosa yang disebabkan berbagai
etiologi (contohnya virus atau rinitis alergi)
Stagnasi mukus di sinus membentuk media yang kaya untuk pertumbuhan berbagai jenis
patogen. Tahap awal sering disebabkan infeksi viral yang bertahan sampai 10 hari dan akan
sembuh pada 99% kasus. Tetapi, sejumlah kecil pasien mungkin mendapat infeksi bakteri
sekunder yang umumnya disebabkan bakteri aerob (misalnya Streptococcus pneumoniae,
Haemophilus influenza, Moraxella catarrhalis). Mulanya,

proses yang terjadi hanya

melibatkan satu jenis bakteri aerob. Dengan adanya persistensi infeksi, flora yang bercampur,
organisme anaerob, dan mungkin, jamur berperan terhadap patogenesis, dengan dominasi
bakteri anaerob yang tadinya adalah flora normal mulut. Ethmoiditis kronis dapat berasal dari
ethmoiditis akut yang tidak ditangani atau tidak merespon terhadap terapi.
Infeksi sinus berulang dan persisten dapat terjadi pada orang-orang dengan keadaan
imunodefisiensi kongenital maupun didapat atau fibrosis kistik.
Para ahli berpendapat proses kronis dapat didominasi penyakit inflamasi multifaktorial :

Infeksi persisten (termasuk biofilm dan osteitis)

Alergi dan gangguan imunologik lain

Faktor intrinsik saluran napas atas

Superantigen

Kolonisasi fungi yang memicu dan mendukung inflamasi eosinofilik

Abnormalitas metabolik seperti sensitifitas terhadap aspirin


Semua faktor ini dapat berperan dalam gangguan sistem transpor mukosiliari intrinsik.

Ini disebabkan karena adanya perubahan patensi sinus ostia, fungsi silia, atau kualitas sekresi
yang menyebabkan stagnasi, penurunan pH, dan penurunan tekanan oksigen di dalam sinus.
Perubahan ini membuat lingkungan yang memungkinkan pertumbuhan bakteri, yang
menyebabkan meningkatkan inflamasi mukosa.
Etiologi
Saat ini, penelitian etiologi difokuskan pada obstruksi ostiomeatal, alergi, polip,
keadaan imunodefisiensi yang jelas maupun tersembunyi, dan penyakit gigi. Mikroorganisme
lebih sering dikenali sebagai penyusup sekunder.
Keterlibatan bakteri
Berikut bakteri yang didapat di dalam sampel yang diperoleh melalui endoskopi sinus
pada pasien dengan sinusitis kronik

Staphylococcus aureus (jenis MSSA [methicilin-susceptible S aureus] dan MRSA


[methicilin-resistant S aureus])

Staphylococci koagulosa-negatif

Haemophilus Influenza

Streptococcus pneumoniae

Streptococcus intermedius

Pseudomonas aeruginosa

Nocardia species

Bakteri

anaerob

Fusobacterium)

(Peptostreptococcus,

Prevotella,

Porphyromonas,

Bacteroides,

Keterlibatan jamur
Berikut jenis jamur yang ditemukan pada pasien dengan sinusitis kronik

Spesies aspergillus

Cryptococcus neoformans

Spesies candida

Sporothrix schenckii

Spesies alternaria

Faktor resiko

Abnormalitas anatomi kompleks ostiomeatal (misalnya deviasi septum, konka bullosa,


deviasi prosesus unsinatus, sel Haller)

Rinitis alergi

Sensitifitas aspirin

Asma

Polip nasal

Rinitis nonalergi (misalnya rinitis vasomotor, rinitis medikamentosa, penyalahgunaan


kokain)

Defek pada klirens mukosiliaris

Intubasi nasotrakeal

Intubasi nasogastrik

Hormonal (misalnya pubertas, kehamilan, kontrasepsi oral)

Obstruksi oleh tumor

Kelainan imunologi (misalnya defisiensi IgA, defisiensi subkelas IgG, AIDS)

Fibrosis kistik

Diskinesia siliari primer, Kartagener syndrome

Granulomatosis wegener

Infeksi saluran napas atas viral berulang

Merokok

Polusi lingkungan

GERD

Periodontitis/penyakit gigi signifikan

Manifestasi klinis

Obstruksi nasal, blokade, kongesti, rasa penuh

Adanya discharge/sekret

Post nasal drip

Rasa penuh yang tidak nyaman di wajat, nyeri dan sakit kepala (lebih hebat pada polip
nasal)

Batuk kronik tidak berdahak (terutama pada anak-anak)

Hiposmia atau anosmia (terutama pada polip nasal)

Nyeri tenggorok

Malaise

Anoreksi

Mudah lelah

Eksaserbasi asma

Nyeri pada gigi (bagian atas)

Gangguan penglihatan

Telinga terasa penuh

Mulut terasa pahit

Demam, yang tidak diketahui penyebabnya, biasanya subfebris


Pada anak-anak, halitosis lebih sering terjadi. Obstruksi nasal menyebabkan pasien

berusaha bernapas dengan mulut dan nyeri tenggorok mungkin terjadi. Pada beberapa
individu, orangtua mendapati adanya pembengkakkan mata di pagi hari tanpa rasa nyeri.
Anak-anak yang lebih besar dapat mengeluhkan hilangnya kemampuan pengecap yang
berhubungan dengan obstruksi nasal dan anosmia. Gejala nokturnal dapat termasuk
mengorok dan batuk karena adanya post nasal drip.
Manifestasi sinusitis fungal

Sinusitis kronik fungal biasanya terjadi pada pasien imunokompeten. Sinusitis alergi
fungal biasanya bermanifestasi sebagai polip nasal dan sinusitis alergi.
Gejala ethmoiditis kronis tergantung pada proses aktif yang sedang berlangsung. Pada
masa remisi pasien sering mengeluhkan sakit kepala, biasanya di bagian dasar hidung, hidung
dan kadang menyebar ke daerah wajah lainnya. Pada bentuk kataral-serosa terdapat sekret
jernih yang cukup banyak. Bentuk purulen sering diikuti dengan sedikit sekret, yang akan
mengering dan membentuk krusta. Seringkali sekret tersebut berbau. Keterlibatan sel labirin
ethmoidal posterior menyebabkan akumulasi pada nasofaring, terutama di pagi hari, yang
dikeluarkan dengan susah payah. Kemampuan untuk membau juga terganggu. Pada rinoskopi
terlihat perubahan kataral terutama di bagian tengah hidung, terdapat lokalisasi polip. Polip
dapat berwarna abu-abu atau merah muda pucat. Bila terjadi deformasi luar pada hidung atau
rongga mata, maka dapat dicurigai terjadi empiema ethmoditis.
Riwayat pasien harus difokuskan pada faktor kunci, dimulai dengan ada atau tidaknya kriteria
diagnostik mayor dan minor :

Gejala mayor : drainase purulen anterior nasal, drainase purulen posterior nasal, obstruksi
nasal atau blokade; kongesti wajah atau rasa penuh, nyeri pada wajah atau rasa tertekan,
dan hiposmia atau anosmia

Gejala minor : sakit kepala, nyeri telinga atau rasa penuh, halitosis, sakit gigi, batuk,
demam, fatique

Durasi gejala

Faktor yang memperberat dan memperingan

Obat yang sedang dikonsumsi

Operasi nasal atau sinus paranasal sebelumnya

Durasi terapi sebelumnya

Pemeriksaan penunjang sebelumnya

Masalah kesehatan lain (termasuk asma, alergi dan kelainan imunokompromis)

Merokok aktif maupun pasif

Paparan terhadap alergen


Palpasi sinus dilakukan untuk menilai ada atau tidaknya nyeri serta pembengkakan

Pemeriksaan kavitas oral dan orofaring digunakan untuk mengevaluasi integritas palatum dan
kondisi gigi geligi dan mencari bukti post nasal drip. Eritema orofaringeal dan sekresi
purulen dapat terlihat, begitu juga dengan karies gigi.
Rinoskopi anterior, menggunakan spekulum hidung, digunakan utnuk mengevaluasi
kondisi mukosa nasal dan untuk melihat drainase purulen atau bukti adanya massa polip atau
massa lainnya. Faktor lain yang berkontribusi adalah penilaian deviasi septum nasal dan
hipertrofi konka. Pemeriksaan nasal sebaiknya dilakukan sebelum dan setelah penggunaan
dekongestan topikal.
Pada pemeriksaan endoskopik dapat ditemukan :

Eritema mukosa nasal, edema

Sekresi purulen

Obstruksi nasal karena adanya deviasi septum nasal atau hipertrofi konka

Pemeriksaan telinga : bila ada cairan pada telinga tengah dapat mengindikasikan adanya
massa nasofaring
Pemeriksaan okular untuk menilai ada atau tidaknya manifestasi oftalmik :

Kongetsi konjungtiva

Lakrimasi

Proptosis, palsi otot ekstraokular, dan gangguan visus

Penatalaksanaan
Tujuan terapi yang dilakukan adalah :
Mengurangi oedema mukosa
Meningkatkan drainase sinus
Menghapus infeksi yang ada
Farmakologi
Pada sinusitis kronik diberikan antibiotik yang sesuai untuk kuman negatif gram dan
anaerob. Selain dekongestan oral dan topikal, terapi lain dapat diberikan jika diperlukan
seperti analgetik, mukolitik, steroid topikal/ oral, pencucian rongga hidung dengan NaCl atau
pemanasan (diatermi).
Tindakan operasi

Bedah sinus endoskopi fungsional (BSEF/FESS) merupakan operasi terkini untuk


sinusitis kronik yang memerlukan operasi tindakan ini telah menggantikan hampir semua
jenis bedah sinus terdahulu karena memberikan hasil yang lebih memuaskan dan tindakan
lebih ringan dan tidak radikal.
Indikasinya berupa :

Sinusitis kronik yang tidak membaik setelah terapi adekuat

Sinusitis kronik disertai kista/ kelainan yang ireversibel

Polip ekstensif

Adanya komplikasi sinusitis serta sinusitis jamur

Komplikasi1
Kelainan orbita
Disebabkan oleh sinus paranasal yang berdekatan dengan mata. Yang paling sering adalah
sinusitis etmoid, kemudian sinus frontal dan maksila. Penyebaran infeksi terjadi melalui
tromboflebitis dan perkontinuitatum. Kelainan yang dapat timbul ialah edema palpebra,
selulitis orbita, abses subperiostal, abses orbita dan selanjutnya dapat terjadi trombosis sinus
kavernosus.
Kelainan intrakranial
Dapat berupa meningitis, abses ekstradural atau subdural, abses otak dan trombosis sinus
kavernosus.
Osteomielitis dan abses subperiostal
Paling sering timbul akibat sinusitis frontal dan biasanya ditemukan pada anak-anak. Sinusitis
maksila dapat timbul fistula oroantral atau fistula pada pipi.
Kelainan paru
Dapat timbul bronkitis kronik dan bronkiektasis. Adanya kelainan sinus paranasal disertai
dengan kelainan paru ini disebut sinobronkitis. Selain itu dapat juga menyebabkan
kambuhnya asma bronkial yang sukar dihilangkan sebelum sinusitisnya disembuhkan.

BAB III
PENUTUP
Kronisitas pada ethmoiditis ditandai terjadinya inflamasi pada sel labirin ethmoidal yang
berlangsung selama 12 minggu atau lebih. Biasanya timbul setelah penyakit akut, sering
inflamasi akut maupun kronik pada sinus maksila, frontal dan sphenoid yang menyebabkan
lesi sekunder sel labirin ethmoidal, karena sinus ethmoid terletak di pusat daripada sinussinus ini. Terhambatnya sekresi di dalam sinus dapat dipicu (1) obstruksi mekanik pada
kompleks ostiomeatal karena faktor anatomik atau (2) oedem mukosa yang disebabkan
berbagai etiologi (contohnya virus atau rinitis alergi) Stagnasi mukus di sinus membentuk
media yang kaya untuk pertumbuhan berbagai jenis patogen. Ethmoiditis kronis dapat berasal
dari ethmoiditis akut yang tidak ditangani atau tidak merespon terhadap terapi. Tujuan terapi
yang dilakukan adalah mengurangi oedema mukosa, meningkatkan drainase sinus,
menghapus infeksi yang ada. Komplikasi dari ethmoiditis kronis dapat menyebabkan
kelainan orbita, kelainan intrakranial maupun kelainan paru. Maka dari itu diperlukan
tindakan operatif FESS terutama pada kasus-kasus di mana penatalaksanaan konservatif
gagal untuk meringankan gejala kronisitas pada ethmoiditis.

DAFTAR PUSTAKA
1. Soepardi EA, Iskandar N, Bashiruddin J, Restuti RD. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga
Hidung Tenggorok Kepala & Leher edisi ketujuh. Jakarta: Balai Penerbit FK UI: 2014
2.

Rhinosinusitis. In: Michael G, George GB, Martin JB, et al. Scott-browns


Othorinolaringology, Head and Neck Surgery volume 2 7th edition. Hodder Arnold: 1997.

3. Paranasal sinus diseases and infections. In: Harold L, Patrick JB. ABC of Ear, Nose and
Throat 5th edition. Blackwell Publishing: 2007.
4. Infections of the nose and paranasal sinuses. In: Vinidh P, John Hill. An Atlas of
Investigation and Management ENT Infections. Oxford: 2010.
5. Diseases of the Nose, Paranasal Sinuses and Face. In: Rudolf P, Gerhard G, Heinrich I.
Basic Otorhino-laringology, A Step-by-Step Learning Guide. Thieme: 2006.
6. Manes RP, Batra PS. Etiology, diagnosis and management of chronic rhinosinusitis. Expert
Rev Anti Infect Ther. Jan 2013;11(1):25-35.
7. Ferguson BJ. Definitions of fungal rhinosinusitis. Otolaryngol Clin North Am. Apr
2000;33(2):227-35.
8. Brook I. Acute and chronic bacterial sinusitis. Infect Dis Clin North Am. Jun
2007;21(2):427-48, vii.

Anda mungkin juga menyukai