Anda di halaman 1dari 15

PENEMBAKAN PESAWAT MALAYSIA AIRLINES PENERBANGAN MH 17

DIKAITKAN DENGAN PASAL 3 BIS CHICAGO CONVENTION 1944: SUATU


ANALISIS

Aisyah Shaumasari Maulana


Hukum Udara dan Ruang Angkasa
Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran

1. Pendahuluan
Pada 17 Juli 2014, Malaysia Airlines MH 17 jatuh di wilayah desa Hrabove, timur Ukraina,
menewaskan 298 orang didalamnya. Jatuhnya pesawat ini menimbulkan kegemparan di
seluruh dunia setelah diketahui bahwa penyebabnya adalah hantaman rudal anti pesawat yang
diluncurkan dari wilayah tersebut. Hrabove adalah wilayah yang berada di Donetsk Oblast,
Donbass, 40 KM dari perbatasan Rusia-Ukraina, dimana di wilayah tersebut sedang terjadi
konflik bersenjata antara Ukraina dan pemberontak Pro-Rusia.
Insiden ini terjadi 31 tahun setelah insiden penembakan pesawat Korean Airlines
penerbangan 007 oleh Uni Soviet, yang menjadi pencetus diadopsinya pasal 3 bis dalam
Chicago Convention 1944 oleh International Civil Aviation Organization (ICAO) pada tahun
1984, serta dibentuknya Manual Concerning Safety Measures Relating to Military Activities
Potentially Hazardous to Civil Aircraft Operations oleh ICAO pada tahun 1990 (yang
disusun menyusul terjadinya penembakan pesawat Iran Air penerbangan 655 oleh kapal
perang Vincennes milik Amerika Serikat di selat Hormuz tahun 1988).
Pasal 3 bis memuat prinsip larangan penggunaan kekuatan bersenjata terhadap pesawat sipil,
serta menekankan bahwa dalam hal pencegatan pesawat, keamanan orang-orang di pesawat
tersebut harus diutamakan. Yang akan dibahas dalam tulisan ini adalah penembakan pesawat
MH 17 dilihat dari sudut pandang Chicago Convention 1944 khususnya aspek-aspek hukum
dalam pasal 3 bis. bertanggungjawab atas penembakan MH 17 karena hal tersebut hanya
dapat dijawab melalui investigasi yang sedang berjalan. Tulisan ini bermaksud menjawab
pertanyaan-pertanyaan: Apakah terdapat suatu keadaan dimana pasal 3 bis tidak berlaku dan
1

negara dapat menggunakan kekuatan bersenjata terhadap pesawat sipil? Apakah entitas
bukan negara seperti separatis pro-Rusia terikat dengan ketentuan pasal 3 bis?

2. Insiden Penembakan
2.1.

Kronologi

Penerbangan MH 17 dioperasikan dengan pesawat jenis Boeing 777-2H6ER, nomor seri


28411, serta nomor registrasi 9M-MRD. Pada Kamis, 17 Juli 2014, pesawat Malaysia
Airlines penerbangan 17 terbang dari bandara internasional Schiphol Amsterdam, Belanda,
melalui Gate G03 pada pukul 10.13 UTC. Pesawat tersebut dijadwalkan tiba di Kuala
Lumpur International Airport pada 18 Juli 2014 waktu Malaysia (pukul 22.00, 17 Juli 2014
UTC).
Berdasarkan rencana penerbangan, MH 17 akan terbang melewati teritori Ukraina pada flight
level 330 (33.000 kaki) dan kemudian berubah menjadi

FL 350 saat di wilayah

Dnipropetrovsk. Ketika tiba di Dnipropetrovsk, pada pukul 12.35 UTC, Dnipropetrovsk Air
Control (Dnipro Control) menanyakan kepada kru MH 17 apakah pesawat tersebut bisa naik
ke FL 350 sesuai rencana, serta untuk menghindari pesawat lain yang saat itu sedang terbang
di FL 330 yaitu Singapore Airlines Flight 351 yang sedang en route dari Copenhagen menuju
Singapura. Kru MH 17 meminta untuk tetap berada di FL 330, dan Dnipro Control
menyetujuinya. Kemudian pesawat Singapore Airlines flight 351 diminta untuk naik ke FL
350.
Pada pukul 13.00 UTC, kru MH 17 meminta penyimpangan jalur sejauh 20 nautical miles (37
KM) menuju ke utara karena kondisi cuaca. Permintaan ini pun disetujui oleh Dnipro
Control. Kru kemudian meminta untuk naik ke FL 340, yang kemudian ditolak, sehingga MH
17 tetap berada di level 330. Pada 13.10 UTC, Dnipro Control menyadari bahwa pesawat MH
17 berada di 3.6 nautical miles (6,7 KM) utara dari jalur seharusnya, lalu meminta kru untuk
kembali ke jalur. Pada 13.19, Dnipro Control mengontak Russian Air Control (Rostov-onDon/RND) melalui telepon dan meminta konfirmasi untuk mentransfer komunikasi MH 17
kepada Russian Air Control. Setelah mendapatkan izin, Dnipro Control mencoba untuk
mengontak kru MH 17, dan memberikan detail tentang jalur Rostov-on-Don pada 13.20
UTC. Setelah MH 17 tidak merespon beberapa panggilan, Dnipro Control mengontak lagi
2

RND untuk menanyakan apakah RND bisa melihat pesawat MH17 di radar. RND
mengkonfirmasi bahwa pesawat tersebut hilang dari radar.
Dalam laporan dari Dutch Safety Board, diketahui bahwa rekaman data penerbangan terakhir
ada pada 13.20 UTC. Pesawat jatuh di sekitar Hrabove, dekat Torez di Donetsk Oblast, timur
Ukraina, dengan serpihan yang menyebar sejauh 50 kilometer persegi.
2.2.

Reaksi Masyarakat Internasional dan Investigasi

Jatuhnya pesawat MH 17 menuai kecaman internasional. Kepala negara-negara bergantian


mengungkapkan belasungkawa secara resmi kepada pemerintah Belanda dan Malaysia, dua
negara yang warganegaranya paling banyak menjadi korban. Ungkapan belasungkawa
tersebut disampaikan beserta kecaman, dimana banyak kepala negara-negara Eropa
mengungkapkan perlunya ada investigasi terkait insiden tersebut, menyebut penembakan
tersebut sebagai tindakan dari gangster internasional 1, serta mendesak Rusia yang diduga
kuat sebagai dalang dari kelompok separatis di Donetsk untuk mengakhiri peperangan. 2
Pada 27 Juli 2014, ketika jenazah korban pertama tiba di bandara Eindhoven, Belanda,
perdana menteri Belanda Mark Rutte beserta raja Willem-Alexander menetapkan hari
berkabung nasional dan memerintahkan pengibaran bendera setengah tiang di seluruh
Belanda.3
Sementara itu, ICAO mengirim tim ahli untuk membantu National Bureau of Incidents and
Accidents Investigation of Civil Aircraft (NBAAII) Ukraina, yang mana menurut ICAO
merupakan negara yang harus menyelenggarakan investigasi berdasarkan pasal 26 Chicago
Convention

1944.4

Dewan

Keamanan

PBB

melangsungkan

rapat

darurat

untuk

membicarakan krisis di Ukraina. Sebuah pernyataan yang dirilis oleh Inggris mendesak
dibentuknya investigasi internasional yang independen dan teliti terhadap insiden ini, serta
menekankan perlunya semua pihak yang terkait untuk memberikan akses langsung terhadap
investigator ke wilayah jatuhnya pesawat untuk menentukan penyebab utama insiden

<http://www.swedishwire.com/politics/19485-a-first-class-international-gangster-crime-swedensforeign-minister-carl-bildt-> [diakses pada 22 Oktober 2015]


2
<http://www.nytimes.com/2014/07/19/world/europe/malaysia-airlines-plane-ukraine.html?_r=0>
[diakses pada 22 Oktober 2015]
3
<http://news.yahoo.com/dutch-mourn-first-mh17-bodies-flown-netherlands-113521569-finance.html> [diakses pada 22 Oktober 2015]
4
<http://www.icao.int/Newsroom/Pages/Ukraine-requests-ICAO-assistance-in-MH17-accidentinvestigation.aspx > [diakses pada 22 Oktober 2015]
3
1

tersebut.5 Pada 21 Juli, Dewan Keamanan mengeluarkan Resolusi 2166 untuk


menginvestigasi aspek-aspek kriminal dari insiden jatuhnya MH 17.
Tim investigasi internasional gabungan yang terdiri dari investigator dari Belgia, Australia,
Ukraina, Malaysia dan Belanda dibentuk untuk mencari siapa yang bertanggungjawab atas
jatuhnya pesawat MH 17, serta mengupayakan keadilan bagi keluarga korban. 6 Beberapa
laporan dan analisis independen dirilis menyusul terjadinya penembakan MH 17 ini. Salah
satunya adalah policy brief yang dirilis oleh Clingendael Belanda, yang mengungkapkan
bahwa insiden ini disebabkan oleh setidaknya empat faktor, yaitu: (1) lemahnya
pemerintahan Ukraina yang berakibat pada konflik internal, (2) ikut campurnya Rusia, (3)
adanya misil anti pesawat jarak jauh di tangan separatis, serta (4) adanya pesawat sipil yang
melewati wilayah konflik.7 Pada Oktober 2015, investigator Belanda (Dutch Safety Board)
dalam laporannya menyatakan bahwa penyebab jatuhnya pesawat MH 17 adalah misil buatan
Rusia, meskipun laporan tersebut tidak menentukan siapa yang bertanggungjawab
menembakkan misil tersebut, karena memerlukan investigasi lebih lanjut.8
2.3.

Sikap Ukraina dan Rusia

Presiden Ukraina Petro Poroshenko menyatakan bahwa insiden tersebut merupakan sebuah
aksi terorisme, serta menekankan perlunya ada investigasi internasional terkait hal tersebut. 9
Setahun kemudian, menanggapi laporan Dutch Safety Board yang mengungkapkan bahwa
misil yang menembak MH 17 adalah buatan Rusia, perdana menteri Ukraina Arseny
Yatseniuk menyatakan bahwa ia tidak ragu bahwa misil tersebut ditembak oleh tentara Rusia,
karena drunken separatists atau separatis mabuk10 tidak mungkin bisa mengoperasikan
misil tersebut.11
<http://www.un.org/News/Press/docs//2014/sc11481.doc.htm> [diakses pada 23 Oktober 2015]
<http://www.forbes.com/sites/paulroderickgregory/2015/04/02/is-the-mh17-joint-investigationteam-avoiding-the-question-of-kremlin-guilt/> [diakses pada 23 Oktober 2015]
7
Barend ter Haar. Lessons of the MH17 Disaster. 2014.
<http://www.clingendael.nl/sites/default/files/Lessons-of-the-MH17-disaster.pdf>
8
Tuesdays report was not designed to assign blame to who specifically was responsible for the
missile strike, which will be the subject of a subsequent international investigation.
<http://www.usnews.com/news/articles/2015/10/13/dutch-investigators-russian-missile-shot-downmalaysian-airlines-flight-mh-17> [diakses pada 23 Oktober 2015]
9
<http://www.telegraph.co.uk/news/worldnews/europe/ukraine/10974784/Malaysia-Airlines-crashPresident-Poroshenko-calls-shooting-down-of-Malaysian-plane-an-act-of-terrorism.html> [diakses
pada 23 Oktober 2015]
10
Maksudnya adalah pasukan separatis pro-Rusia
11
<http://www.euractiv.com/sections/global-europe/ukrainian-pm-accuses-russia-shooting-downflight-mh17-318462> [diakses pada 23 Oktober 2015]
4
5
6

Rusia menyangkal tuduhan dari Ukraina dan negara-negara barat bahwa Rusia mengirim
senjata dan pasukan untuk membantu kaum separatis di Ukraina. Kementerian Pertahanan
Rusia bersikeras bahwa tuduhan Amerika Serikat dan negara-negara barat lainnya terkait
dengan keterlibatannya dalam gerakan separatis tidak terbukti karena intelijen Amerika
Serikat tidak merilis dokumen apapun yang membuktikan demikian.12 Sebaliknya, Rusia
menuduh Ukraina yang menembakkan misil dan mengakibatkan jatuhnya pesawat MH 17.
Surat kabar Rusia, Novaya Gazeta, pada Mei 2015 mempublikasikan suatu laporan yang
dirilis oleh sekelompok insinyur militer Rusia yang isinya menyimpulkan bahwa pesawat
MH 17 ditembak menggunakan peluncur BUK-M1 dan misil 9M38M1. Laporan tersebut
juga menyebutkan bahwa dilihat dari sebaran serpihan pesawat, misil tersebut tidak mungkin
diluncurkan dari Snizhne (wilayah Ukraina yang dikuasai separatis Pro-Rusia), melainkan
dari Zaroschschenskoe, suatu wilayah Ukraina dimana terdapat peluncur misil anti pesawat
milik Ukraina.13
Pada Juli 2015, Malaysia mengajukan sebuah resolusi PBB untuk membentuk pengadilan
internasional untuk mengadili tersangka pelaku penembakan pesawat MH 17. Meskipun
pengajuan ini mendapatkan suara mayoritas di Dewan Keamanan (11 negara setuju, 3
abstain), proposal ini diveto oleh Rusia.14

3. Pasal 3 bis Chicago Convention 1944 dan peristiwa penembakan MH 17


3.1.

Pasal 3 Bis Sebagai Customary International Law

Menyusul adanya beberapa insiden penembakan pesawat sipil, pada awal tahun 1955, Majelis
Umum PBB mengadopsi Resolusi 92715 yang menghimbau negara-negara anggota PBB
untuk melakukan langkah yang diperlukan untuk menghindari insiden tersebut dan juga
menekankan peran organisasi-organisasi internasional terkait hal ini. Berdasarkan working
paper yang dipresentasikan Majelis Umum pada 1956, hukum nasional dari beberapa negara
masih mengandung ketentuan yang cukup brutal, yaitu menghendaki pesawat sipil untuk
dicegat dan ditembak jatuh tanpa peringatan, apabila pesawat-pesawat tersebut tidak
<http://sputniknews.com/russia/20140724/191186319/US-Claims-of-Flight-MH17-Downing-byMilitia-Remain-Unfounded-.html> [diakses pada 23 Oktober 2015]
13
Novaya Gazeta, Mei 2015
14
<http://www.cbc.ca/news/world/malaysia-airlines-mh17-russia-rebukes-push-for-un-tribunal1.3146029> [diakses pada 23 Oktober 2015]
15
UNGA Resolution 927, Question Of The Safety Of Commercial Aircraft Flying In The Vicinity Of,
Or Inadvertently Crossing, International Frontiers
5
12

mendapatkan izin dari otoritas pengatur lalulintas udara (ATC), menyimpang dari jalur, atau
memasuki daerah larangan/prohibited area.16 Beberapa negara sepakat bahwa penggunaan
kekuatan senjata terhadap pesawat sipil melanggar hukum internasional, namun beberapa
negara lainnya sepakat sebaliknya.
Setelah diskusi yang panjang tentang prinsip larangan penggunaan kekuatan bersenjata, pasal
3 bis akhirnya diadopsi oleh ICAO setelah jatuhnya pesawat Korean Airlines penerbangan
007 pada 1983. Pasal 3 bis diadopsi melalui konsensus pada 10 Mei 1984, dan mulai enter
into force pada 1 Oktober 1998, dengan 143 negara peserta.
Pasal 3 bis memuat ketentuan sebagai berikut:
a) The contracting States recognize that every State must refrain from resorting to the use
of weapons against civil aircraft in flight and that, in case of interception, the lives of
persons on board and the safety of aircraft must not be endangered. This provision shall
not be interpreted as modifying in any way the rights and obligations of States set forth in
the Charter of the United Nations.
b) The contracting States recognize that every State, in the exercise of its sovereignty, is
entitled to require the landing at some designated airport of a civil aircraft flying above its
territory without authority or if there are reasonable grounds to conclude that it is being
used for any purpose inconsistent with the aims of this Convention; it may also give such
aircraft any other instructions to put an end to such violations. For this purpose, the
contracting States may resort to any appropriate means consistent with relevant rules of
international law, including the relevant provisions of this Convention, specifically
paragraph a) of this Article. Each contracting State agrees to publish its regulations in
force regarding the interception of civil aircraft.
c) Every civil aircraft shall comply with an order given in conformity with paragraph b) of
this Article. To this end each contracting State shall establish all ecessary provisions in its
national laws or regulations to make such compliance mandatory for any civil aircraft
registered in that State or operated by an operator who has his principal place of business
or permanent residence in that State. Each contracting State shall make any violation of
such applicable laws or regulations punishable by severe penalties and shall submit the
case to its competent authorities in accordance with its laws or regulations.
d) Each contracting State shall take appropriate measures to prohibit the deliberate use of
any civil aircraft registered in that State or operated by an operator who has his principal
place of business or permanent residence in that State for any purpose inconsistent with
the aims of this Convention. This provision shall not affect paragraph a) or derogate from
paragraph b) and c) of this Article.

Dua kata yang bersifat operative, yaitu recognize dan refrain digunakan oleh ICAO
dalam ketentuan ini:
16

Huang Jiefang, Aviation Safety and ICAO, Kluwer International Law, 2009, hlm 86
6

Contracting States recognize that every State must a) refrain from resorting to the use
of weapons against civil aircraft in flight. . .
Namun terdapat pula beberapa negara yang sebetulnya lebih menghendaki penggunaan kata
yang bersifat lebih tegas, misalnya dengan mengubahnya menjadi:17
Contracting States shall ensure that every State must a) not resort to the use of weapons
against civil aircraft in flight. . .
Penggunaan kata-kata yang bersifat operative oleh ICAO ialah karena terjadi diskusi yang
sengit antara negara-negara. Sehingga yang digunakan adalah kata-kata yang kurang lebih
dapat diterima oleh kebanyakan negara anggota.18
Apakah pasal 3 bis merupakan prinsip hukum kebiasaan internasional? Suatu pernyataan
yang muncul dalam diskusi di Majelis Luar Biasa ICAO tahun 1984 menyatakan bahwa no
delegation challenged the fact that the prohibition of the use of force against civil aircraft is
already part of general international law19 menggambarkan bahwa negara-negara telah
sepakat larangan penggunaan kekuatan bersenjata terhadap pesawat sipil merupakan suatu
prinsip hukum kebiasaan internasional.
Pada saat dirumuskannya pasal 3 bis tahun 1984, beberapa komentator yang ikut dalam
perumusan menyatakan bahwa ketentuan yang terkandung dalam pasal ini bukanlah suatu
hukum baru, melainkan pengakuan atas adanya aturan yang mengikat semua pihak dan
pelarangan penggunaan kekuatan senjata terhadap pesawat sipil saat terbang20. Terminologi
recognize dan every state pun sengaja digunakan agar efek dari ketentuan ini tidak
terbatas hanya pada negara-negara peserta Chicago Convention 1944.21 Abeyratne juga
menyatakan bahwa perumusan pasal 3 bis bertujuan untuk mengkodifikasikan suatu hukum
kebiasaan internasional yang sudah ada22
3.2.

Apakah terdapat keadaan yang mengecualikan ketentuan pasal 3 bis?

Pasal 3 bis huruf a memuat ketentuan sebagai berikut:


Jiefang, Ibid, hlm 86
Ruwantissa Abeyratne, Convention on International Civil Aviation A Commentary, Montreal:
Springer, 2014, hlm 68
19
Abeyratne, Ibid, hlm 68
20
Guillaume, G., The Destruction on 1 September 1983 of the Korean Airlines Boeing (Flight KE
007), ITA Magazine No. 0-18, September 1984 dalam Jiefang, Op.Cit., hlm 88
21
Jiefang, Loc.Cit., hlm 89
22
Lihat Abeyratne, Op.Cit., hlm 68: The Protocol, which entered into force on 1 October 1998, and
currently has 143 parties, is commonly regarded as codifying existing rules of customary international
law.
7
17
18

...This provision shall not be interpreted as modifying in any way the rights and
obligations of States set forth in the Charter of the United Nations.
Hak dan kewajiban yang tertera dalam Piagam PBB sebagaimana yang dimaksud di
ketentuan tersebut adalah hak dan kewajiban yang tertera dalam pasal 51 Piagam PBB
tentang Self-defense.23 Hal ini memunculkan pertanyaan: apakah dengan memasukkan
ketentuan demikian, ICAO bermaksud memberikan hak bagi negara untuk menggunakan
kekuatan bersenjata terhadap pesawat sipil berdasarkan prinsip self-defense?
Selain itu, terdapat pula pasal 89 Chicago Convention 1944 yang memberikan negara-negara
peserta kebebasan untuk melakukan tindakan di ruang udaranya terlepas dari segala
ketentuan yang ada dalam Chicago Convention 1944, dalam hal terjadinya perang dan darurat
nasional (khusus untuk kasus darurat nasional, dengan memberitahu ICAO terkait status
tersebut).24 Dengan kata lain, setiap tindakan negara peserta di ruang udaranya terikat dengan
ketentuan Chicago Convention 1944, kecuali dalam hal perang dan darurat nasional.25
Apakah ketentuan-ketentuan dalam pasal 3 bis huruf a serta pasal 89 tersebut berarti hukum
internasional memperbolehkan negara untuk melakukan tindakan yang membahayakan
pesawat sipil dalam keadaan-keadaan tertentu, yaitu dalam hal self-defense, perang, dan
darurat nasional?
Pertama-tama terkait dengan prinsip self-defense yang telah menjadi customary international
law, Mahkamah Internasional menyatakan bahwa:
a use of force that is proportionate under the law of self-defense, must, in order to be lawful,
also meet the requirements of the laws applicable in armed conflict which comprise in
particular the principles and rules of humanitarian law.26
Mahkamah menegaskan bahwa penggunaan use of force dengan tujuan pertahanan diri atau
self-defense, harus memperhatikan prinsip dan peraturan hukum yang berlaku dalam konflik
bersenjata, yaitu prinsip dan peraturan hukum humaniter. Prinsip dan pengaturan dalam
hukum humaniter internasional terkait use of force, seperti yang dimaksud oleh Mahkamah,
terdiri dari tiga aspek:27
Brian E Foont, Shooting Down Civillian Aircraft: Is There an International Law?, 72:4 Journal of
Airlaw and Commerce Southern Methodist University School of Law, hlm 711 (2007)
24
Abeyratne, Op.Cit., hlm 148
25
Abeyratne, Ibid
26
Legality of the Threat or Use of Nuclear Weapons Case, Advisory Opinion, [1996] I.C.J. Rep. 226,
dalam Par Rory Stephen Brown, Shooting Down Civillian Aircraft: Illegal, Immoral and Just Plane
Stupid, Revue Quebecoise de Droit International, 2007, hlm 82 (2007)
27
Brown, Ibid.
8
23

1. Necessity/Keperluan
Prinsip ini mengharuskan suatu tindakan use of force atau penyerangan ditujukan
kepada target yang merupakan military objective atau objek yang berkontribusi secara
efektif dalam aktivitas militer musuh, dan dilakukan dengan tujuan untuk memberikan
keuntungan tertentu terhadap penyerang dalam perang.28 Suatu pesawat sipil yang
digunakan untuk tujuan militer oleh teroris dengan bom bunuh diri, misalnya, dapat
memenuhi syarat ini. Namun demikian, apabila terdapat keraguan apakah pesawat
tersebut merupakan termasuk ke dalam kategori military object atau bukan, maka
seharusnya pesawat tersebut tidak boleh diserang.29
2. Distinction/Pembedaan
Prinsip kedua mengharuskan penyerang untuk melakukan pembedaan antara orang
sipil dan kombatan, serta antara military objective dan civilian objects.30 Additional
Protocol I mendefinisikan military objectives sebagai suatu objek yang berdasarkan
sifat, lokasi, tujuan atau kegunaannya memberikan kontribusi yang efektif terhadap
suatu aksi militer dan penghancuran, pengambilalihan secara total atau sebagian
terhadapnya dapat memberikan keuntungan militer tertentu. Dalam sekilas, apabila
norma hukum perang ini diterapkan di masa damai, dapat dikatakan bahwa suatu
pesawat sipil yang dibajak untuk tujuan militer termasuk kedalam kategori military
objective. Meskipun demikian, setiap serangan secara sembarang terhadap suatu objek
yang melibatkan orang-orang sipil merupakan tindakan yang melanggar hukum
internasional, dimana hal ini telah dijadikan sebagai prinsip hukum kebiasaan
internasional berdasarkan pendapat Mahkamah dalam Legality of the Threat or Use of
Nuclear Weapons Case (1996).31
3. Proportionality/Proporsionalitas
Prinsip ini mengharuskan kombatan untuk:
Refrain from deciding to launch any attack which may be expected to cause incidental
loss of civilian life, injury to civilians, damage to civilian objects or a combination
thereof, which would be excessive in relation to the concrete and direct military
advantage anticipated.
Pada intinya prinsip ini menekankan keharusan bagi penyerang untuk melakukan
serangkaian antisipasi dan pertimbangan terkait resiko serangan tersebut terhadap
Geneva Convention Relative to the Protection of Civilian Persons in Time of War, 12 August 1949
Major Darren C Huskisson, The Air Bridge Denial Program and The Shootdown of Civil Aircraft
Under International Law, 2005, dalam Brown, Op.Cit., hlm 84
30
Protocol Additional to the Geneva Conventions of 12 August 1949, and Relating to the Protection
of Victims of International Armed Conflicts, June 8, 1977,
31
Brown, Op.Cit., hlm 85
9
28
29

warga sipil dengan keuntungan militer yang akan didapat. Sehingga disimpulkan
bahwa penyerangan terhadap pesawat sipil dapat dilegitimasi ketika keuntungan
militer yang akan didapatkan cukup substansial.32 Namun dalam hal pesawat sipil,
pada prakteknya persyaratan yang dimandatkan prinsip ini cukup sulit dipenuhi,
kecuali untuk hal-hal yang sangat jarang seperti apabila teroris menggunakan pesawat
sipil dan mengubahnya menjadi lethal projectile yang dapat membunuh jauh lebih
banyak warga sipil di daratan. Dalam hal pembajakan pesawat sipil oleh teroris pun,
persyaratan ini seringkali tidak terpenuhi. International Commission of the Red Cross
dalam Commentary nya menyatakan bahwa it is not legitimate to launch an attack
which only offers potential or indiscriminate advantages.33
Sehingga apabila dikembalikan kepada pertanyaan: Apakah ICAO bermaksud memberikan
hak bagi negara untuk menggunakan kekuatan bersenjata terhadap pesawat sipil berdasarkan
prinsip self-defense? Jawabannya adalah ya. Namun dengan persyaratan ketat yang diberikan
oleh Mahkamah Internasional seperti yang telah dipaparkan diatas, rasanya cukup sulit untuk
menemukan kondisi-kondisi dimana suatu penembakan pesawat sipil sah menurut hukum
internasional. Lagipula, pertimbangan dari sisi kemanusiaan juga perlu dikedepankan,
mengingat penembakan terhadap pesawat sipil berarti membunuh orang-orang tidak bersalah
yang berada di dalam pesawat.34
Dalam kasus MH 17, apabila dibuat suatu asumsi bahwa pelaku penembakan menggunakan
kekuatan bersenjata terhadap pesawat MH 17 dengan dasar self-defense, maka jelas
penggunaan kekuatan bersenjata tersebut tidak dapat dibenarkan berdasarkan hukum
internasional. Sebab pelaku penembakan telah gagal memenuhi ketiga prinsip diatas. Sebagai
sebuah pesawat yang sedang digunakan untuk kegiatan penerbangan sipil normal, tidak ada
military advantage yang akan didapatkan oleh pelaku dengan menembak jatuh MH 17.
Pelaku penembakan juga jelas mengabaikan prinsip distinction dan proportionality, dengan
tidak melakukan tindakan apapun untuk memastikan apakah pesawat tersebut merupakan
military objective atau civilian object, dan melakukan penembakan dengan sembarang begitu
saja.
Selanjutnya terkait dengan pasal 89 Chicago Convention 1944 yang berbunyi:
Huskisson, Op.Cit., hlm 150
International Committee of the Red Cross, Commentary, Protocol Additional to the Geneva
Conventions of 12 August 1949, and relating to the Protection of Victims of International Armed
Conflicts (Protocol I), 8 June 1977
34
Jiefang, Op.Cit., hlm 100
10
32
33

In case of war, the provisions of this Convention shall not affect the freedom of action of any
of the contracting States affected, whether as belligerents or as neutrals. The same principle
shall apply in the case of any contracting State which declares a state of national emergency
and notifies the fact to the Council.
Sesungguhnya belum ada pembedaan secara pasti antara situasi perang dan darurat nasional.35
Beberapa ahli hukum menganggap perbedaannya ialah bahwa dalam situasi perang terdapat
karakteristik internasional, lebih tepatnya konflik bersenjata antar negara, sedangkan situasi
darurat nasional mencakup permasalahan internal suatu negara saja.36 Dilihat dari kalimat
terakhir pasal 89, ketika suatu negara menetapkan status darurat nasional maka harus
memberitahukan ICAO terkait penetapan tersebut, sementara dalam hal perang,
pemberitahuan tidak diperlukan.
Abeyratne menyebut pasal ini memiliki ominous nuance atau nuansa membahayakan
karena perlindungan yang disediakan Konvensi terhadap pesawat sipil seolah-olah benarbenar dihilangkan dalam pasal ini, sehingga seolah-olah memperbolehkan negara untuk
melakukan intervensi atau penyerangan terhadap pesawat sipil pada saat perang.37
Apakah freedom of action yang dimaksud dalam pasal 89 dapat diinterpretasikan sampai ke
taraf dimana negara dapat melakukan hal demikian (menyerang dan mengintervensi pesawat
sipil)? Pada nyatanya, tidak. Pasal 89 dapat mengecualikan segala ketentuan yang ditetapkan
oleh Chicago Convention 1944 kecuali yang bersifat customary, salah satunya adalah
ketentuan dalam pasal 3 bis.38 Pasal 89 mengizinkan dan tidak mewajibkan negara untuk
melaksanakan freedom of action yang dimaksud, misalnya negara dapat menjalankan
beberapa ketentuan Chicago Convention 1944 saja dengan menutup ruang udaranya bagi
seluruh penerbangan dalam periode tertentu saat terjadinya darurat nasional.39
Lagipula, penyerangan warga sipil dan objek sipil secara sembarang dalam perang tidak
hanya melanggar pasal 3 bis saja, namun juga melanggar jus cogens40. Sehingga dapat
disimpulkan bahwa, ketentuan pasal 89 sama sekali tidak melegitimasi penyerangan terhadap
pesawat sipil meskipun terlihat seolah-olah demikian.

Jiefang, Loc.Cit., hlm 95


Natalino Ronziti, Gabriella Venturini, The Law of Air Warfare: Contemporary Issue, Utrecht:
Eleven International Publishing, 2006, hlm 132
37
Abeyratne, Op.Cit., hlm 677
38
Jiefang, Op.Cit., hlm 96
39
Jiefang, Ibid.
40
Larangan untuk menyerang warga sipil tertera dalam berbagai instrumen hukum internasional yang
saat ini telah menjadi jus cogens, diantaranya Geneva Convention dan UN Charter
11
35
36

Dengan demikian, apabila pelaku penembakan MH 17 menggunakan pasal 89 sebagai dasar


penggunaan kekuatan bersenjata terhadap pesawat MH 17, tindakan tersebut tetap tidak dapat
dibenarkan. Memang benar di wilayah Donetsk sedang terjadi serangkaian konflik bersenjata
antara separatis dengan pemerintah, yang berdasarkan hukum humaniter internasional
termasuk ke dalam perang seperti yang dimaksud dalam pasal 89. Namun bukan berarti
siapapun dapat menembaki pesawat di langit Donetsk dengan sesuka hati tanpa
memperhatikan apakah pesawat tersebut merupakan pesawat sipil atau bukan, karena pelaku
penembakan pun terikat dengan ketentuan pasal 3 bis dan jus cogens yang melarang tindakan
demikian.
3.3.

Apakah pasal 3 bis berlaku bagi aktor non-negara?

Mengingat bahwa konflik di Ukraina terjadi antara kelompok separatis (atau dapat dikatakan
kelompok pemberontak) yang diduga kuat didalangi oleh Rusia, melawan tentara Ukraina,
maka kemungkinan pelaku penembakan dapat dipersempit menjadi: separatis pro-Rusia,
tentara Ukraina, atau barangkali tentara Rusia. Tentara Ukraina maupun tentara Rusia,
sebagai pasukan bersenjata yang bertindak atas nama suatu negara, tentu statusnya jelas di
bawah hukum internasional. Ukraina dan Rusia adalah pihak dalam Chicago Convention
1944, sehingga dengan logika yang sederhana pun dapat disimpulkan bahwa Ukraina dan
Rusia terikat ketentuan pasal 3 bis. Namun bagaimana dengan kelompok separatis yang
notabene bukan merupakan suatu entitas negara?
Sebagai hukum kebiasaan internasional, ketentuan pasal 3 bis tentu mengikat seluruh negara.
Ketika membicarakan kelompok pemberontak dalam ruang lingkup hukum internasional,
dikenal dua terminologi yaitu insurgent dan belligerent. Insurgency mencakup
pemberontakan terbatas baik dalam intensitas, struktur keorganisasian maupun dalam jangka
waktu konflik. Misalnya, suatu kumpulan massa yang tidak terstruktur dan sporadis yang
melakukan perlawanan terhadap suatu pemerintahan tertentu. Sedangkan belligerency
mencakup pemberontakan yang lebih terstruktur dan serius, yang menimbulkan suatu konflik
bersenjata intens seperti halnya perang. Hukum internasional mengakui belligerent sebagai
subjek hukum internasional, sehingga memikul kewajiban internasional/international
obligations seperti halnya negara, tetapi tidak mengakui insurgent/kelompok pemberontak
sebagai subjek hukum internasional.

12

Namun suatu kelompok pemberontak/insurgent dapat disebut sebagai belligerent dan


memperoleh statusnya sebagai subjek hukum internasional. Antonio Cassese menyatakan
bahwa:41
International law only establishes certain loose requirements for eligibility to become an
international subject. In short, (1) rebels should prove that they have effective control over
some part of the territory, and (2) civil commotion should reach a certain degree of
intensity and duration (it may not simply consist of riots or sporadic and short-lived acts of
violence). It is for states (both that against which the civil strife breaks out and other parties)
to appraise by granting or withholding, if only implicitly, recognition of insurgency
whether these requirements have been fulfilled.

Konflik Ukraina dimulai sejak November 2013 ketika presiden Ukraina yang didukung
Rusia, Viktor Yanukovych, melonggarkan hubungan ekonominya dengan Uni Eropa
kemudian mempererat hubungan ekonomi dengan Rusia. Keputusannya ini membangkitkan
protes di Kiev yang berubah menjadi kerusuhan yang berakibat kematian beberapa orang.
Beberapa minggu kemudian, yaitu pada Februari 2014, Yanukovych diturunkan dari
jabatannya sebagai presiden. Menyusul diturunkannya Yanukovych, sekelompok warga
Ukraina pro-Rusia yang bersenjata menguasai bandara dan instalasi penting lainnya di
Ukraina. Konflik di Ukraina terus berlangsung hingga presiden Rusia Vladimir Putin
menandatangani suatu perjanjian yang menyatakan bahwa Crimea (suatu wilayah di Ukraina)
adalah bagian dari Rusia. Ini terjadi setelah separatis mengklaim bahwa melalui suatu
referendum, 97% warga Crimea ingin bergabung dengan Rusia. Terpicu oleh kemenangan di
Crimea, separatis pun menguasai banyak wilayah di timur Ukraina yang berbatasan dengan
Rusia, diantaranya Kharkiv, Donetsk dan Luhansk. Konflik bersenjata di wilayah-wilayah
tersebut terus terjadi hingga saat ini.
Dengan demikian, separatis pro-Rusia sebagai kelompok pemberontak yang melawan
pemerintahan Ukraina yang sah telah memenuhi unsur-unsur yang diperlukan agar menjadi
belligerent karena telah memenuhi unsur-unsur yang diutarakan oleh Cassese diatas. Unsurunsur tersebut yaitu: (1) separatis pro-Rusia telah memiliki kontrol yang efektif terhadap
beberapa wilayah di Ukraina, diantaranya Kharkiv, Donetsk dan Luhansk; (2) intensitas
konflik bersenjata antara separatis pro-Rusia dengan Ukraina telah mencapai tingkat yang
cukup untuk mengklasifikasikan pemberontak sebagai administrasi beligerensi. Sehingga
Andrew Clapham, Human Rights Obligations of Non-State Actors in Conflict Situations 88:863,
International Review of the Red Cross, hlm 492 (2006)
13
41

separatis pro-Rusia juga merupakan subjek hukum internasional, yang terikat dengan
kewajiban internasional yang tertera dalam pasal 3 bis dan hukum kebiasaan internasional
lainnya mengenai larangan penggunaan kekuatan senjata terhadap pesawat sipil.
4. Kesimpulan

Penggunaan kekuatan bersenjata terhadap pesawat sipil dengan dasar self-defense


sebenarnya diperbolehkan karena hal tersebut merupakan hak setiap negara yang
dijamin dalam pasal 51 piagam PBB, asal dengan memenuhi prinsip-prinsip use of
force dalam hukum humaniter yang ketat. Prinsip tersebut yaitu prinsip
necessity/keperluan, distinction/pembedaan, dan proportionality/proporsionalitas.
Dengan persyaratan yang ketat tersebut, cukup sulit untuk menemukan keadaan yang
memperbolehkan penggunaan kekuatan bersenjata terhadap pesawat sipil, kecuali
dalam kasus yang ekstrim. Dalam kasus MH 17, apabila pelaku penembakan
menggunakan self-defense sebagai dasar penggunaan kekuatan bersenjata terhadap
pesawat MH 17, hal tersebut tetap tidak dapat dibenarkan karena pelaku penembakan
telah abai memenuhi prinsip-prinsip penggunaan use of force tersebut.

Apabila penembak pesawat MH 17 menggunakan pasal 89 Chicago Convention yang


menghendaki freedom of actions negara di wilayah udaranya pada saat perang dan
darurat nasional, hal tersebut juga tidak dapat dibenarkan. Karena freedom of actions
yang dimaksud dalam pasal 89 tidak dapat ditafsirkan hingga ke taraf dimana negara
dapat dengan bebas menggunakan kekuatan bersenjata terhadap pesawat sipil di
wilayah udaranya, meskipun pada saat perang atau darurat nasional. Pengecualian
dari ketentuan Chicago Convention seperti yang tertera dalam pasal 89 juga bukan
berarti negara tidak terikat dengan seluruh ketentuan Chicago Convention, melainkan
masih terikat dengan ketentuan Chicago Convention yang merupakan hukum
kebiasaan internasional, misalnya pasal 3 bis.

Separatis pro-Rusia sebagai kelompok pemberontak, termasuk ke dalam kategori


belligerent sehingga merupakan subjek hukum internasional. Hal ini berarti separatis
pro-Rusia pun memiliki kewajiban internasional seperti halnya negara. Dengan
demikian, separatis pro-Rusia pun terikat dengan ketentuan pasal 3 bis terkait dengan
larangan penggunaan kekuatan bersenjata terhadap pesawat sipil.

14

DAFTAR PUSTAKA

Abeyratne, Ruwantissa. Convention on International Civil Aviation A Commentary, Montreal:


Springer, 2014
Brown, Par Rory Stephen. Shooting Down Civillian Aircraft: Illegal, Immoral and Just Plane
Stupid, Quebec: Revue Quebecoise de Droit International, 2007
Clapham, Andrew. Human Rights Obligations of Non-State Actors in Conflict Situations Vol. 88
Number 863. Geneva: International Review of the Red Cross, 2006.
Foont, Brian E. Shooting Down Civillian Aircraft: Is There an International Law?, Vol. 72 Number
4. Dallas: Journal of Airlaw and Commerce Southern Methodist University School of Law,
2007.
Huskisson, Major Darren C. The Air Bridge Denial Program and The Shootdown of Civil Aircraft
Under International Law, 2005
Jiefang, Huang. Aviation Safety And ICAO. Alphen aan den Rijn: Kluwer International Law, 2009.
Natalino Ronziti, Gabriella Venturini. The Law of Air Warfare: Contemporary Issue, Utrecht: Eleven
International Publishing, 2006

15

Anda mungkin juga menyukai