Anda di halaman 1dari 10

https://e-journal.trisakti.ac.id/index.

php/teras-Lrev/
Volume 4 Nomor 1 Mei 2022 : 59-68
Doi : http://dx.doi.org/10.25105/teraslrev.v4i1.15165
p-Issn : 2715-8950 | e-Issn : 2716-2060

ANALISIS PENGGUNAAN RUDAL X-22 DALAM PERANG RUSIA-


UKRAINA MENURUT HUKUM HUMANITER INTERNASIONAL

(THE USE OF X-22 MISSILE ANALYSIS IN RUSSIA-UKRAINE WARFARE UNDER


INTERNATIONAL HUMANITARIAN LAW)

Muhammad Michael Kahfi, ArlinaPermanasari


Fakultas Hukum Universitas Trisakti
Muhammadmichael213@gmail.com, arlina.p@trisakti.ac.id

Abstrak
Dalam konflik Rusia-Ukraina, dua peluru kendali jarak jauh X-22 yang ditembakkan oleh pasukan
Rusia dari pesawat pembom Tu-22M3 yang terbang dari lapangan terbang Shaykovka di wilayah
Rusia dari Kaluga dan menghancurkan pusat perbelanjaan di kota Kremenchuk, Ukraina Tengah
pada Senin, 27 Juni 2022. Insiden tersebut menewaskan sedikitnya 13 orang dan melukai 50
orang penduduk setempat. Tulisan ini membahas tenang legalitas penggunaan alat dan cara
berperang dalam koridor prinsip-prinsip dasar penggunaan alat dan cara berperang dalam hukum
humaniter internasional. Penelitian ini adalah penelitian normatif dengan pendekatan analisis isi
secara kualitatif. Analisis dilakukan berdasarkan beberapa instrumen hukum humaniter yakni
Pasal 22-23 Hague Regulations 1907, Pasal 35 dan Bagian II – IV dari Protokol Tambahan I 1977.
Disimpulkan bahwa rudal X-22 sendiri merupakan senjata yang konvensional dan dapat
digunakan dalam berperang karena tidak termasuk dalam klasifikasi senjata nubika, namun
penggunaannya tetap harus mematuhi prinsip dasar penggunaan alat dan cara berperang serta
prinsip pembedaan dan prinsip-prinsip hukum humaniter lainnya.

Kata kunci: Perang Rusia-Ukraina; Prinsip dasar alat dan cara berperang; Rudal X-22; Hukum
Humaniter.

Abstract
In the Russo-Ukrainian conflict, two X-22 long-range missiles fired by Russian troops from a
Tu-22M3 bomber from the Shaykovka airfield in the Russian territory of Kaluga and destroyed
shopping center in the city of Kremenchuck, Central Ukraine, 27 June 2022. The incident
killed at least 13 people and injured 50 local residents. This paper discusses the lagality of
using means and methods of warfare in the framework of the basic rules on the means and
methods of war under international humanitarian law. This research is normative research
with a qualitative content analysis approach. The analysis was carried out based on several
humanitarian law instruments, namely the basic rules stipulated in Article 22-23 of the Hague
Regulations 1907, Article 35 and Parti II – IV of Additional Protocol I of 1977. It was
concluded that the X-22 missile is a conventional weapon that can be used in an armed
conflict but the methods or use must still comply with the basic rules on the means and
methods of warfare, the principle of distinction and other humanitarian law principles.

Keywords: Russia-Ukraine Warfare; Basic principles on the use and means of warfare; X-22
Missile; Humanitarian Law

59
60 The Limitation Of Cyber Warfare Under Humanitarian Law___________________

Pendahuluan

Konflik bersenjata tampaknya tidak dapat dihindari dalam hubungan antar negara dari
dahulu hingga saat ini. Mochtar Kusumaatmadja dalam bukunya Konvensi-Konvensi Palang Merah
menuliskan bahwa hampir sebagian besar kehidupan umat manusia diwarnai dengan
peperangan1. Dengan perkataan lain, perdamaian hanya terjadi dalam waktu yang singkat,
sementara peperangan ternyata lebih mendominasi hubungan antara negara sebagai anggota
masyarakat internasional. Oleh karena itu, mengatakan bahwa konflik bersenjata itu sendiri
diterima sebagai sesuatu yang pragmatis, karena hampir selalu terjadi dalam masyarakat
internasional2.
Konflik bersenjata atau perang, dapat dibagi menjadi dua yaitu: konflik bersenjata
internasional dan konflik bersenjata non-internasional atau juga dikenal sebagai konflik internal.
Perbedaan utama antara konflik bersenjata non-internasional dan konflik bersenjata internasional
berasal dari status hukum para pihak yang berkonflik. Status hukum pihak-pihak yang berkonflik
dalam konflik bersenjata internasional adalah bahwa kedua pihak memiliki status hukum yang
sama, yakni negara yang bertindak sebagai subjek hukum internasional, sebagaimana tercantum
dalam Pasal 2 Common Article dari Konvensi Jenewa 1949. Sedangkan terdapat pula suatu satuan
lain bukan negara, namun dapat entitas yang setara dengan Negara menurut Pasal 1 juncto Pasal
96 Protokol Tambahan I tahun 1977. Konflik inilah yang akan dibahas dalam tulisan ini.
Dalam konflik bersenjata antara Rusia dan Ukraina, terdapat serangan militer yang
menarik untuk ditinjau dari hukum humaniter. Serangan yang dimaksud adalah ketika pihak Rusia
menembakkan dua buah peluru kendali (rudal) yang mengakibakan hancurnya pusat
perbelanjaan di kota Kremenchuk, Ukraina tengah pada Senin, 27 Juni 2022. Komando Angkatan
Udara Ukraina mengkonfirmasikan bahwa pusat komersial tersebut dihantam oleh dua rudal jarak
jauh X-22 yang ditembakkan dari pesawat pembom Tu-22M3 yang terbang dari lapangan terbang
Shaykovka di wilayah Rusia dari Kaluga. Serangan tersebut mengakibatnya sedikitnya 13 orang
sipil tewas dan melukai 50 lainnya serta Lebih dari 1.000 orang berada di pusat perbelanjaan
tersebut ketika terjadi serangan. Unit Layanan Darurat Ukraina memberikan konfirmasi atas
dampak yang diakibatkan oleh bom tersebut dalam sebuah pernyataan press bahwa pusat
perbelanjaan Retroville yang diserang pada Minggu malam menyebabkankebakaran di tempat
parkir dan di empat lantai Gedung pusat komersial serta beberapa ledakan yang mengguncang
di sekitar wilayah perbelanjaan tersebut3.
Dalam suatu konflik bersenjata, peralatan dan amunisi perang telah lazim digunakan oleh
negara-negara yang bersengketa. Senjata yang digunakan dalam masa perangpada dasarnya
dirancang untuk menghancurkan atau melumpuhkan kekuatan musuh. Perkembangan teknologi
peperangan saat ini telah mencapai puncak yang mengagumkan di mana telah dihasilkan suatu
jenis amunisi seperti peluru kendali dengan kemampuan teknologi tinggi yang dapat melemahkan
atau menghancurkan target serangan dengan presisi dan efisiensi. Teknologi ini menghasilkan
dan mengembangkan teknologi yang dikenal dengan nama “Precision Guided Munition” 4, yaitu
senjata dengan akurasi tinggi dalam mengenai sasaran. Hal ini tentu akan sangat berbeda jika
dibandingkan dengan generasi-generasi peralatan perang sebelumnya, di mana keakuratan atau

1
Mochtar Kusumaatmadja, Konvensi-Konvensi Palang Merah (Jakarta: Bina Cipta, 1989).
2
Jacques Meurant, “Inter-Arma Caritas: Evolution and Nature of International Humanitarian
Law,” Journal of Peace Research 24, no. 3 (1987).
3
Bellingcat Investigation Team, “Russia’s Kremenchuk Claims Versus the Evidence,”
Bellongcat.Com.
4
“Defense Primer: U.S. Precision-Guided Munitions” (IN FOCUS, 2021),
https://crsreports.congress.gov/product/pdf/IF/IF11353.
terAs LAW REVIEW: JURNAL HUKUM HUMANITER DAN HAM 61

presisi dalam mengenai target serangan selalu menjadi masalah.


Sebagaimana yang telah diketahui, Hukum Humaniter Internasional mengatur tentang
dua hal utama, yakni pengaturan tentang alat dan cara berperang (means and methods of
warfare); serta pengaturan tentang perlindungan para korban perang (protection of war victims).
Tulisan ini hanya akan membahas hal yang pertama, yakni pengaturan tentang alat dan cara
berperang. Hukum Humaniter mengatur tentang alat dan cara berperang dalam berbagai
perjanjian internasional. Hukum Humaniter juga telah merumuskan prinsip-prinsip dasar tentang
alat dan cara berperang (basic principles on the means and methods of warfare). Frits Kalshoven
dan Liesbeth Zegveld menyatakan bahwa prinsip-prinsip dasar penggunaan alat dan cara
berperang ini tunduk pada aturan-aturan kebiasaan yang telah tercantum di dalam Konvensi Den
Haag IV tahun 1907, khususnya pada Pasal 21-22 Lampiran Konvensi Den Haag IV yang terkenal
dengan sebutan “Hague Regulations” dan juga Pasal 35 Protokol Tambahan I tahun 19775.
Prinsip-prinsip dasar tentang penggunaan alat dan cara berperang yang terdapat dalam
Lampiran Konvensi Den Haag IV tahun 1907, terdapat dalam dua pasal penting yaitu Pasal 22
dan Pasal 23. Pasal 22 menyatakan bahwa penggunaan alat dan cara berperang yang dapat
digunakan oleh pihak yang bersengketa bersifat tidak tak terbatas (is not unlimited); atau dengan
perkataan lain penggunaannya bersifat terbatas (limited)6. Ini berarti bahwa tidak semua
persenjataan perang dapat digunakan oleh pihak-pihak yang bersengketa. Dengan meihat
berbagai macam perjanjian internasional yang mengatur tentang alat dan cara berperang, maka
dapat diketahui bahwa ada persenjataan yang masih tetap dapat digunakan hingga saat ini
karena tergolong ke dalam senjata-senjata konvensional; namun ada pula persenjataan yang
tidak dapat digunakan karena termasuk ke dalam klasifikasi senjata-senjata non-konvensional.
Contoh yang paling sering digunakan untuk menyebutkan senjata-senjata non-konvensional
adalah senjata nuklir, senjata biologi dan senjata kimia atau sering disingkat dengan senjata
nubika. Sementara senjata yang sifatnya konvensional adalah senjata yang umum atau lazim
digunakan dalam peperangan konvensional seperti berbagai jenis amunisi termasuk peluru
kendali, dan berbagai peralatan perang yang umum digunakan dalam suatu kesatuan seperti
tank, meriam, pesawat tempur atau kapal tempur.
Prinsip dasar tentang penggunaan alat dan cara berperang selanjutnya kemudian
terdapat dalam Pasal 23 Hague Regulations, dimana dinyatakan bahwa dilarang untuk
menggunakan alat dan cara berperang yang dapat mengakibatkan penderitaan yang tidak perlu
(unnecessary sufferings) ataupun luka-luka yang berlebihan (superfluous injury)7. Prinsip ini
dapat berarti bahwa persenjataan yang digunakan dapat saja tergolong ke dalam klasifikasi
persenjataan yang bersifat konvensional, namun jika serangan dilakukan dengan cara-cara yang
bertentangan dengan hukum dan kebiasaan berperang, maka akan mengakibatkan dampak yang
sangat luar biasa ataupun luka-luka yang berlebihan. Contoh dari cara atau metoda berperang
yang dapat mengakibatkan penderitaan yang tidak perlu atau luka-luka yang berlebihan, adalah
penggunaan peluru dum-dum, atau penggunaan peluru tandan.
Adapun prinsip dasar ketiga terdapat pada Pasal 35 Protokol Tambahan I di mana
terdapat larangan untuk menggunakan alat dan cara berperang yang dapat mengakibatkan
kerusakan yang bersifat meluas (widespread), berjangka waktu lama (long-term) atau luar biasa

5
Liesbeth Zegveld Frits Kalshoven, Constraints on the Waging of War: An Introduction to
International Humanitarian Law, 4th ed. (Cambridge University Press, 2011).
6
ICRC, “Convention (IV) Respecting the Laws and Customs of War on Land and Its Annex:
Regulations Concerning the Laws and Customs of War on Land. The Hague, 18 October 1907.,”
Treaties, States Parties and Commentaries, https://ihl-
databases.icrc.org/applic/ihl/ihl.nsf/ART/195-200032?OpenDocument.
7
Ibid.
terAs LAW REVIEW: JURNAL HUKUM HUMANITER DAN HAM 62

parah (severe) pada lingkungan alam8. Sebenarnya terdapat pula suatu perjanjian internasional
lainnya yang mirip dengan klausula yang terdapat dalam Protokol Tambahan I, yaitu perjanjian
yang disebut “Environmental Modification” Convention tahun 1976. Konvensi ini dihasilkan
sebagai bentuk upaya perlindungan lingkungan alam akibat dilakukannya modifikasi lingkungan
yang digunakan sebagai alat dan cara berperang, sebagaimana terjadi dalam Perang Vietnam.
Namun terdapat perbedaan cukup besar antara kedua perjanjian ini, di mana Protokol Tambahan
I tahun 1977 lebih dimaksudkan sebagai instrumen yang melindungi populasi penduduk sipil dari
dampak peperangan yang dilakukan dengan menggunakan teknik modifikasi lingkungan sebagai
alat dan cara berperang9.
Seiring pendahuluan ini maka dapat kita pertanyakan terkait masalah yang terdapat
didalam kasus ini yang pertama adalah apakah bom yang digunakan merupakan senjata yang
diperbolehkan oleh hukum humaniter internasional? lalu pertanyaan yang kedua adalah apakah
metode berperang yang digunakan telah sesuai dengan apa yang tertuang didalam hukum
humaniter internasional?
Maka daripada itu penulis tertarik melakukan penelitian ini dikarenakan dimana terdapat
kasus terlukanya warga sipil akibat daripada konflik bersenjata atau peperangan itu sendiri yang
tidak dapat dihindari akan tetapi perang juga memiliki Batasan atau aturan yang dapat melindungi
segenap jiwa dan raga warga sipil dari kejahatan perang itu sendiri. Setiap konflik bersenjata
atau perang memiliki alat dan cara berperang itu sendiri yang dimana alat dan metode tersebut
memiliki Batasan yang dimana agar tidak menyebabkan penderitaan yangtidak perlu, merusak
lingkungan manusia dan penggunaan yang tidak sesuai dengan hukum humaniter internasional.

Pembahasan

Prinsip Dasar Penggunaan Alat dan Cara Berperang

Konflik bersenjata adalah sengketa bersenjata antara dua negara atau lebih, konflik
antara pemerintah negara dan pemberontak, dan bentuk lain dari konflik internasional dan non-
internasional yang diatur oleh hukum humaniter internasional. Dalam konflik bersenjata terjadi
kekerasan dan permusuhan antara pihak-pihak yang bertikai. Dimana kekejaman dan kekerasan
sering terjadi dalam konflik bersenjata. Konflik bersenjata yang terjadi tidak hanya berdampak
bagi keamanan negara tapi juga secara langsung memberikan dampak yang sangat terasa bagi
masyarakat disekitar wilayah dimana terjadi konflik bersenjata.
Sebagaimana yang telah kita ketahui bersama bahwa kata konflik dan perang tidaklah
asing lagi di telinga kita, suatu kata yang identik dengan kekerasan.Konflik tidak bisa dihindari
dalam hubungan antar negara. Konflik dapat dibedakan menjadi konflik bersenjata dan konflik
tidak bersenjata. Konflik bersenjata itu sendiri juga dapat dibagi menjadi dua domain: konflik
bersenjata internasional dan konflik bersenjata non-internasional yang juga dikenal sebagai
konflik internal. Perbedaan utama antara konflik bersenjata non-internasional dan konflik
bersenjata internasional berasal dari status hukum para pihak yang berkonflik. Status hukum

8
ICRC, “Protocol Additional to the Geneva Conventions of 12 August 1949, and Relating to the
Protection of Victims of International Armed Conflicts (Protocol I), 8 June 1977.,” Treaties, States
Parties and Commentaries, accessed May 4, 2022, https://ihl-
databases.icrc.org/applic/ihl/ihl.nsf/INTRO/470?OpenDocument.
9
International Committee of the Red Cros, Commentary on the Additional Protocols of 1977 to
the Geneva Conventions of 12 August 1949, ed. Yves Sandoz· Christophe Swinarski . Bruno
Zimmermann (Geneva: Martinus Nijhoff Publishers, 1987).
terAs LAW REVIEW: JURNAL HUKUM HUMANITER DAN HAM 63

pihak-pihak yang berkonflik dalam konflik bersenjata internasional adalah bahwa kedua pihak
memiliki status hukum yang sama.
Selama periode antara dua perang dunia (Perang Dunia I dan Perang Dunia II), berbagai
batasan perang diperdebatkan oleh para politisi di tingkat internasional. Larangan terhadap
berbagai jenis senjata tersebar luas. Semua pembatasan ini telah dicabut, dengan satu atau dua
pengecualian, seperti penggunaan gas. Pembatasan penggunaan senjata di medan perang
pertama kali diatur oleh Deklarasi Den Haag tahun 1907.
Dalam penyusunan Konferensi Den Haag ke-IV di dalam Pasal 23, yang menyatakan,
Selain larangan-larangan yang diberikan oleh Konvensi-konvensi khusus, khususnya dilarang:
1. Menggunakan racun atau senjata beracun;
2. Membunuh atau melukai orang-orang yang termasuk dalam bangsa atau tentara
musuh;
3. Untuk membunuh atau melukai seorang musuh yang, setelah meletakkan
senjatanya, atau tidak lagi memiliki alat pertahanan, telah menyerah atas
kebijaksanaannya;
4. Menyatakan bahwa tidak ada seperempat yang akan diberikan;
5. Menggunakan senjata, proyektil, atau bahan yang dianggap menyebabkan
penderitaan yang tidak perlu;
6. Untuk menyalahgunakan bendera gencatan senjata, bendera nasional atau lencana
militer dan seragam musuh, serta lencana khusus Konvensi Jenewa
7. Menghancurkan atau merampas harta benda musuh, kecuali penghancuran atau
perampasan itu sangat diperlukan untuk keperluan perang;
8. Untuk menyatakan dihapuskan, ditangguhkan, atau tidak dapat diterima di
pengadilan hak dan tindakan warga negara dari pihak yang bermusuhan.
Pihak yang berperang juga dilarang untuk memaksa warga negara pihak yang
bermusuhan untuk mengambil bagian dalam operasi perang yang ditujukan terhadap negara
mereka sendiri, jika mereka berada dalam dinas pihak yang berperang sebelum dimulainya
perang.
Di bawah ini tercantum beberapa Konvensi Jenewa utama yang mengatur penggunaan
atau larangan penggunaan peralatan atau alat perang tertentu dalam konflik:
1. Deklarasi Den Haag (IV,2) tentang Gas Asphyxiating, 1899.
2. Deklarasi Den Haag (IV,3) tentang Perluasan Peluru, 1899.
3. Konvensi Den Haag (IX) tentang Pengeboman oleh Angkatan Laut, 1907.
4. Deklarasi Den Haag (XIV) tentang Bahan Peledak dari Balon, 1907.
5. Protokol Jenewa tentang Gas Asfiksia atau Beracun, dan Metode Bakteriologis, 1925.
6. Konvensi Pelarangan Senjata Biologis, 1972.
7. Resolusi tentang Sistem Senjata Kaliber Kecil, 1979.
8. Protokol CCW (I) tentang Fragmen yang Tidak Dapat Dideteksi, 1980.
9. Protokol CCW (II) yang melarang Ranjau, Perangkap Booby, dan Perangkat Lainnya,
1980.
10. Protokol CCW (III) yang melarang Senjata Pembakar, 1980.
11. 11.Konvensi yang melarang Senjata Kimia, 1993.
12. Protokol CCW (IV) tentang Senjata Laser yang Membutakan, 1995.
13. Protokol CCW (II) yang melarang Ranjau, Perangkap Booby, dan Perangkat Lainnya,
diubah, 1996.
14. Konvensi Munisi Tandan, 2008.
15. Perjanjian Pelarangan Senjata Nuklir, 2017.
terAs LAW REVIEW: JURNAL HUKUM HUMANITER DAN HAM 64

Daftar di atas memperjelas bahwa sejumlah konflik bersenjata telah berdampak langsung pada
perkembangan hukum humaniter. Misalnya, Perang Dunia I (1914-1918) melihat penggunaan
alat dan metode perang, jika tidak semuanya baru, maka setidaknya belum pernah terjadi
sebelumnya meluas seperti ini sebelumnya. Oleh karena itu, bagian dari undang-undang ini
memerlukan perubahan untuk segera ditangani, karena pada kenyataannya konflik bersenjata,
meskipun tidak secara resmi disebut perang, masih sering terjadi, dan akan selalu terjadi di masa
depan.
Senjata yang digunakan oleh Rusia untuk menghancurkan mall tersebut ialah rudal jarak
jauh x-22, yang dimana rudal tersebut mempunyai daya ledak yang tinggi dan mempunyai
jangkauan 600 kilometer sehingga penggunaan rudal tersebut tertuju kepada anti- satelit, anti-
kapal dan juga tertuju dari langit ke darat. Jika dilihat daripada konvensi-konvensi yang mengatur
tentang alat perang apa saja yang diperbolehkan maka dapat disimpulkan senjata yang
digunakan yaitu rudal x22 adalah senjata yang diperbolehkan dalam konflik peperangan.

Prinsip Pembedaan

Prinsip pembedaan merupakan prinsip pokok hukum humaniter yang sangat


fundamental. Prinsip ini berkembang dalam perkembangan hukum humaniter dan hampir
terdapat pada setiap instrumennya. Prinsip pembeda ini merupakan suatu prinsip yang membagi
penduduk ke dalam dua golongan yaitu Kombatan (combatant) dan Penduduk Sipil (civlian).
Pembedaan ini perlu untuk menentukan siapa yang boleh diserang dan siapa yang harus
dilindungi. Aspek hukum dari aturan ini adalah bahwa warga sipil tidak boleh dijadikan sasaran
kekerasan dan harus dilindungi dari segala sesuatu yang berhubungan dengan perang. Selama
penduduk sipil tetap dapat mempertahankan atau menjaga statusnya sebagai penduduk sipil,
maka mereka harus dilindungi berdasarkan hukum humaniter.
Kewajiban mendasar ini diamanatkan kepada negara yang terlibat dalam konflik
bersenjata berdasarkan ketentuan Pasal 48 Protokol Tambahan I tahun 1977. Selanjutnya
berdasarkan Protokol Tambahan I tahun 1977, prinsip pokok tersebut dijabarkan lebih lanjut
dengan mendefinisikan siapa yang dimaksud dengan orang sipil dan penduduk sipil (Pasal 50),
dan bagaimana perlindungan yang harus diberikan kepada mereka (Pasal 51). Di samping
pembedaan yang ditujukan kepada manusia, hukum humaniter juga membedakan antara
sasaran-sasaran militer yang memiliki kontribusi efektif dengan obyek-obyek sipil yang
seharusnya tidak boleh dijadikan sasaran dalam serangan militer (Pasal 52).
Tempat-tempat umum yang sangat penting bagi penduduk sipil, seperti sumber air minum,
pasokan listrik, sekolah, pasar, rumah sakit, dan tempat ibadah, adalah tempat-tempatyang perlu
dilindungi. Karena itu, wanita dan anak-anak pasti akan paling menderita jika serangan terjadi di
sini. Warga sipil selalu rentan dalam permusuhan dan perang dan selalu menanggung
konsekuensi langsung dari perang dan permusuhan. Menurut Hans-Peter Gasser, posisi lemah
ini terbentuk dari dua aktivitas dalam setiap permusuhan atau peperangan. Ini adalah bahaya
yang ditimbulkan oleh permusuhan atau operasi militer langsung selama perang, dan ancaman
yang dapat membahayakan orang (sipil) jika mereka melibatkan pasukan musuh.
Pengaturan prinsip pembedaan penduduk dalam perang (distinction principle) untuk
pertama kali secara konvensional diatur dalam Konvensi Den Haag (Hague Regulations) tahun
1907 yang kemudian disempurnakan dalam Konvensi-konvensi Jenewa 1949. Perubahan terakhir
yang terdapat dalam Protocol I 1977 melengkapi secara fundamental ketentuan yang berlaku
sebelumnya.
terAs LAW REVIEW: JURNAL HUKUM HUMANITER DAN HAM 65

Jika kita melihat atau mengacu dengan apa yang terjadi sekarang bahwa jika kita apakah
diperbolehkannya penggunaan senjata yang digunakan Rusia untuk menyerang Ukraina tentu
saja boleh karena memang pada dasarnya senjata itu merupakan senjata rudal berhulu ledak
tinggi yang tidak melanggar perjanjian dari kovensi manapun akan tetapi yang perlu ditanyakan
apakah penggunaan dan sasaranya sudah sesuai dengan apa yang diatur oleh hukum humaniter
internasional. Senjata yang digunakan ini merupakan jenis senjata konvensional dan tidak
termasuk pada klasifikasi senjata-senjata nubika (nuklir, biologi dan kimia), yang memang telah
dilarang secara resmi berdasarkan perjanjian-perjanjian di bidang hukum humaniter seperti
Geneva Protocol on Asphyxiating or Poisonous Gases, and of Bacteriological Methods 1925,
Convention on the Prohibition of Bio;ogical Weapons 1972, Convention on Prohibiting Chemical
Weapons 1993, dan Treaty on the Prohibition of Nuclear Weapons 2017.
Namun, walaupun demikian, penggunaan senjata-senjata konvensional juga tetap harus
tunduk pada prinsip-prinsip hukum humaniter serta hukum dan kebiasaan perang yang telah
diakui dalam masyarakat internasional sehingga cara penggunaannya tidak boleh melanggar
prinsip-prinsip pokok yang telah ditentukan dalam Pasal 22 dan 23 Hague Regulations 1907
maupun dalam Pasal 35 Protokol Tambahan I tahun 1977.
Salah satu aspek yang harus diperhatikan para pihak yang bersengketa adalah penerapan
prinsip pembedaan dalam waktu peperangan. Sudah dijelaskan bahwasanya ketika terjadi
peperangan terdapat prinsip pembeda yang dimana sasaran dalam suatu konflik bersenjata
sudah jelas. Telah disebutkan bahwa saasarn militer bukanlah warga sipil namun dalam kasus di
atas, yang menjadi sasaran adalah pusat komersial yang merupakan suatu objek sipil, di mana
dalam serangan tersebut terdapat dampak ikutan atau collateral damage sehingga
mengakibatkan kematian dan kerugian pada warga sipil.
Dengan demikian, implementasi prinsip-prinsip dasar penggunaan alat dan cara
berperang, dapat dilihat lebih jauh dalam Bagian II dan Bagian IV dari Protokol Tambahan I
tahun 1977 yang mengatur tentang alat dan cara berperang dapat digunakan sebagai
serangkaian dasar hukum sehingga setiap operasi militer harus selalu dilakukan upaya-upaya.
untuk melindungi warga sipil, yaitu:
1. Penerapan aturan-aturan dasar tentang penggunaan alat dan cara berperang
sebagaimana terdapat dalam Pasal 22-23 Hague Regulations tahun 1907 dan pasal-
pasal lain yang berkaitan; demikian pula Pasal 35 Protokol Tambahan I tahun 1977;
2. Melakukan investigasi dan menetapkan siapa sesungguhnya sasaran dan objek-objek
militer; dan menandai bahwa orang sipil dan penduduk sipil bukanlah sasaran serangan
berdasarkan ketentuan Pasal 50, 51 dan 52 Protokol Tambahan I tahun 1977;
3. Menandai objek-objek sipil yang dapat diklasifikasikan sebagai sasaran militer dengan
syarat tunduk pada ketentuan Pasal 52 ayat 2 Protokol Tambahan I tahun 1977; serta
menandai objek-objek sipil lainnya yang tidak dapat diserang karena sifatnya, seperti
benda-benda budaya (Pasal 53), objek-objek yang sangat dibutuhkan bagi
kelangsungan hidup masyarakat (Pasal 54), lingkungan alam (Pasal 55), objek-objek
yang dapat diklasifikasikan sebagai objek yang mengandung tenaga yang dapat
membahayakan penduduk di sekitarnya jika diserang (Pasal 58);
4. Melakukan tindakan kehati-hatian dalam melancarkan suatu serangan (Pasal 57);
termasuk menilai apakah suatu serangan dapat mengakibatkan dampak yang dapat
merugikan bagi masyarakat atau penduduk sipil (Pasal 58);
5. Mengambil tindakan yang perlu dalam memilih alat dan metode menyerang (Pasal 22
Hague Regulations), dengan maksud untuk meminimalisir atau memperkecil adanya
korban tak disengaja di kalangan penduduk sipil atau kerusakan pada objek sipil;
6. Menangguhkan penentuan serangan yang dapat diperkirakan/diharapkan akan
terAs LAW REVIEW: JURNAL HUKUM HUMANITER DAN HAM 66

menimbulkan korban di kalangan penduduk sipil dan kerusakan pada objek sipil yang
lebih besar, dibandingkan dengan keuntungan militer yang diperoleh dari serangan itu.
Tindakan-tindakan lain yang harus diperhatikan untuk mencegah atau mengurangi
efek-efek serangan terhadap penduduk sipil dan objek sipil. Pihak bersengketa
harus berusaha memindahkan penduduk sipil, objek sipil yang berada di bawah
pengawasan mereka, dari sekitar objek militer. Dalam hal ini harus diperhatikan Pasal
49 dari Konvensi IV tentang deportasi, Mencegah ditempatkannya objek militer di dalam
kota atau wilayah yang padat penduduknya, Mengambil tindakan pengamanan lain
untuk melindungi penduduk sipil dan objek sipil yang berada di bawah pengawasannya
terhadap bahaya yang berasal dari operasi militer.
Sehingga berdasarkan ketentuan-ketentuan tersebut, maka hukum humaniter internasional
mewajibkan negara-negara yang bersengketa untuk melakukan tindakan untuk mencegah
konsekuensi dari serangan. Salah satunya mengamanatkan agar negara berusaha untuk
merelokasi warga sipil dan melindungi properti sipil dari daerah dekat sasaran militer. Juga,
hindari menempatkan barang-barang militer di atau di dekat daerah padat penduduk. Hal ini
dilakukan sebagai upaya kehati-hatian/kehati-hatian apabila terjadi perang atau konflik
bersenjata di kemudian hari, warga sipil dan harta benda sipil tidak terkena serangan akibat
perang atau konflik bersenjata.

Kesimpulan

Dari pembahasan di atas, maka disimpulkan bahwa dalam peperangan terdapat alat dan
metode yang digunakan. Dalam hal ini peluru kendali / rudal yang digunakan pada kasus diatas
merupakan senjata yang diperbolehkan dengan tetap memperhatikan prinsip-prinsip dasar
penggunaan alat dan cara berperang serta berbagai prinsip hukum humaniter lainnya.
Selain pengaturan terkait alat peperangan terdapat pula pengaturan tentang metode
berperang itu sendiri yang mengatur tujuan penggunaan dan sasaran militer. Ketika terdapat
collateral damage yang disebabkan serangan suatu rudal tersebut maka seharusnya dilakukan
upaya kehati-hatian akan dampak yang mungkin ditimbulkan yang dapat merugikan penduduk
sipil, namun sebaliknya, terdapat pula kewajiban negara yang bersengketa untuk menjaga
keamanan daripada warga sipil itu sendiri yang mengharuskan negara yang berperang tidak boleh
menempatkan dan membahayakan warga sipil dengan menempatkan markas-markas militer
dalam wilayah pemukiman padat penduduk sipil yang yang dapat menimbulkan dampak pada
mereka.

DAFTAR PUSTAKA

Frits Kalshoven, Liesbeth Zegveld. Constraints on the Waging of War: An Introduction to International
Humanitarian Law. 4th ed. Cambridge University Press, 2011.
ICRC. “Convention (IV) Respecting the Laws and Customs of War on Land and Its Annex: Regulations
Concerning the Laws and Customs of War on Land. The Hague, 18 October 1907.” Treaties, States
Parties and Commentaries. https://ihl-databases.icrc.org/applic/ihl/ihl.nsf/ART/195-
200032?OpenDocument.
———. “Protocol Additional to the Geneva Conventions of 12 August 1949, and Relating to the Protection
of Victims of International Armed Conflicts (Protocol I), 8 June 1977.” Treaties, States Parties and
Commentaries. Accessed May 4, 2022. https://ihl-
databases.icrc.org/applic/ihl/ihl.nsf/INTRO/470?OpenDocument.
International Committee of the Red Cros. Commentary on the Additional Protocols of 1977 to the Geneva
terAs LAW REVIEW: JURNAL HUKUM HUMANITER DAN HAM 67

Conventions of 12 August 1949. Edited by Yves Sandoz· Christophe Swinarski . Bruno Zimmermann.
Geneva: Martinus Nijhoff Publishers, 1987.
Kusumaatmadja, Mochtar. Konvensi-Konvensi Palang Merah. Jakarta: Bina Cipta, 1989.
Meurant, Jacques. “Inter-Arma Caritas: Evolution and Nature of International Humanitarian Law.” Journal
of Peace Research 24, no. 3 (1987).
Team, Bellingcat Investigation. “Russia’s Kremenchuk Claims Versus the Evidence.” Bellongcat.Com.
“Defense Primer: U.S. Precision-Guided Munitions.” IN FOCUS, 2021.
https://crsreports.congress.gov/product/pdf/IF/IF11353.
terAs LAW REVIEW: JURNAL HUKUM HUMANITER DAN HAM 68

Anda mungkin juga menyukai