Anda di halaman 1dari 12

Ketorolac

.: Kemasan & No Reg :.

Ketorolac 10 mg injeksi (1 box berisi 6 ampul @ 1 mL), No. Reg. :


GKL0808514843A1

Ketorolac 30 mg injeksi (1 box berisi 6 ampul @ 1 mL), No. Reg. :


GKL0808514843B1

.: Farmakologi :.
Farmakodinamik
Ketorolac tromethamine merupakan suatu analgesik non-narkotik. Obat ini merupakan obat
anti-inflamasi nonsteroid yang menunjukkan aktivitas antipiretik yang lemah dan antiinflamasi. Ketorolac tromethamine menghambat sintesis prostaglandin dan dapat dianggap
sebagai analgesik yang bekerja perifer karena tidak mempunyai efek terhadap reseptor
opiat.
Uji Klinis
Beberapa penelitian telah meneliti efektivitas analgesik Ketorolac tromethamine
intramuskular pada dua model nyeri pasca bedah akut; bedah umum (ortopedik, ginekologik
dan abdominal) dan bedah mulut (pencabutan M3 yang mengalami impaksi). Penelitian ini
merupakan uji yang dirancang paralel, dosis tunggal primer, yang membandingkan
Ketorolac tromethamine dengan Meperidine (Phetidine) atau Morfin yang diberikan secara
intramuskular. Pada tiap model, pasien mengalami nyeri sedang hingga berat pada awal
penelitian. Jika dibandingkan dengan Meperidine 50 dan 100 mg, atau Morfin 6 dan 12 mg
pada pasien yang mengalami nyeri pasca bedah, Ketorolac tromethamine 10, 30 dan 90 mg
menunjukkan pengurangan nyeri yang sama dengan Meperidine 100 mg dan Morfin 12 mg.
Onset aksi analgesiknya sebanding dengan Morfin. Durasi analgesia Ketorolac
tromethamine 30 mg dan 90 mg lebih lama daripada narkotik. Berdasarkan pertimbangan
efektivitas dan keamanan setelah dosis berulang, dosis 30 mg menunjukkan indeks terapetik
yang terbaik. Suatu penelitian multisenter, multi-dosis (20 dosis selama 5 hari), pasca bedah
(bedah umum) membandingkan Ketorolac tromethamine 30 mg dengan Morfin 6 dan 12
mg dimana tiap obat hanya diberikan bila perlu. Efek analgesik keseluruhan dari Ketorolac
tromethamine 30 mg berada di antara Morfin 6 mg dan 12 mg, walaupun perbedaan antara
Ketorolac tromethamine 30 mg dan Morfin 12 mg tidak bermakna secara statistik. Tidak

tampak adanya depresi napas setelah pemberian Ketorolac tromethamine pada uji klinis
kontrol. Ketorolac tromethamine tidak menyebabkan konstriksi. Pada pasien pasca bedah,
dibandingkan dengan plasebo : Ketorolac tromethamine tidak menyebabkan kantuk dan
dibandingkan dengan Morfin, Ketorolac lebih sedikit menyebabkan kantuk.
Farmakokinetik
Ketorolac tromethamine diserap dengan cepat dan lengkap setelah pemberian intramuskular
dengan konsentrasi puncak rata-rata dalam plasma sebesar 2,2 mcg/ml setelah 50 menit
pemberian dosis tunggal 30 mg. Waktu paruh terminal plasma 5,3 jam pada dewasa muda
dan 7 jam pada orang lanjut usia (usia rata-rata 72 tahun). Lebih dari 99% Ketorolac terikat
pada konsentrasi yang beragam. Farmakokinetik Ketorolac pada manusia setelah pemberian
secara intramuskular dosis tunggal atau multipel adalah linear. Kadar steady state plasma
dicapai setelah diberikan dosis tiap 6 jam dalam sehari. Pada dosis jangka panjang tidak
dijumpai perubahan bersihan. Setelah pemberian dosis tunggal intravena, volume
distribusinya rata-rata 0,25 L/kg. Ketorolac dan metabolitnya (konjugat dan metabolit parahidroksi) ditemukan dalam urin (rata-rata 91,4%) dan sisanya (rata-rata 6,1%) diekskresi
dalam feses. Pemberian Ketorolac secara parenteral tidak mengubah hemodinamik pasien.

.: Indikasi :.
Ketorolac diindikasikan untuk penatalaksanaan jangka pendek terhadap nyeri akut sedang
sampai berat setelah prosedur bedah. Durasi total Ketorolac tidak boleh lebih dari lima hari.
Ketorolac secara parenteral dianjurkan diberikan segera setelah operasi. Harus diganti ke
analgesik alternatif sesegera mungkin, asalkan terapi Ketorolac tidak melebihi 5 hari.
Ketorolac tidak dianjurkan untuk digunakan sebagai obat prabedah obstetri atau untuk
analgesia obstetri karena belum diadakan penelitian yang adekuat mengenai hal ini dan
karena diketahui mempunyai efek menghambat biosintesis prostaglandin atau kontraksi
rahim dan sirkulasi fetus.
.: Kontra Indikasi :.

Pasien yang sebelumnya pernah mengalami alergi dengan obat ini, karena ada
kemungkinan sensitivitas silang.

Pasien yang menunjukkan manifestasi alergi serius akibat pemberian Asetosal atau
obat anti-inflamasi nonsteroid lain.

Pasien yang menderita ulkus peptikum aktif.

Penyakit serebrovaskular yang dicurigai maupun yang sudah pasti.

Diatesis hemoragik termasuk gangguan koagulasi.

Sindrom polip nasal lengkap atau parsial, angioedema atau bronkospasme.

Terapi bersamaan dengan ASA dan NSAID lain.

Hipovolemia akibat dehidrasi atau sebab lain.

Gangguan ginjal derajat sedang sampai berat (kreatinin serum >160 mmol/L).

Riwayat asma.

Pasien pasca operasi dengan risiko tinggi terjadi perdarahan atau hemostasis
inkomplit, pasien dengan antikoagulan termasuk Heparin dosis rendah (2.5005.000
unit setiap 12 jam).

Terapi bersamaan dengan Ospentyfilline, Probenecid atau garam lithium.

Selama kehamilan, persalinan, melahirkan atau laktasi.

Anak < 16 tahun.

Pasien yang mempunyai riwayat sindrom Steven-Johnson atau ruam vesikulobulosa.

Pemberian neuraksial (epidural atau intratekal).

Pemberian profilaksis sebelum bedah mayor atau intra-operatif jika hemostasis


benar-benar dibutuhkan karena tingginya risiko perdarahan.

.: Dosis :.
Ketorolac ampul ditujukan untuk pemberian injeksi intramuskular atau bolus intravena.
Dosis untuk bolus intravena harus diberikan selama minimal 15 detik. Ketorolac ampul
tidak boleh diberikan secara epidural atau spinal. Mulai timbulnya efek analgesia setelah
pemberian IV maupun IM serupa, kira-kira 30 menit, dengan maksimum analgesia tercapai
dalam 1 hingga 2 jam. Durasi median analgesia umumnya 4 sampai 6 jam. Dosis sebaiknya
disesuaikan dengan keparahan nyeri dan respon pasien. Lamanya terapi : Pemberian dosis
harian multipel yang terus-menerus secara intramuskular dan intravena tidak boleh lebih
dari 2 hari karena efek samping dapat meningkat pada penggunaan jangka panjang.
Dewasa
Ampul : Dosis awal Ketorolac yang dianjurkan adalah 10 mg diikuti dengan 1030 mg tiap
4 sampai 6 jam bila diperlukan. Harus diberikan dosis efektif terendah. Dosis harian total
tidak boleh lebih dari 90 mg untuk orang dewasa dan 60 mg untuk orang lanjut usia, pasien
gangguan ginjal dan pasien yang berat badannya kurang dari 50 kg. Lamanya terapi tidak
boleh lebih dari 2 hari. Pada seluruh populasi, gunakan dosis efektif terendah dan sesingkat

mungkin. Untuk pasien yang diberi Ketorolac ampul, dosis harian total kombinasi tidak
boleh lebih dari 90 mg (60 mg untuk pasien lanjut usia, gangguan ginjal dan pasien yang
berat badannya kurang dari 50 kg).
Instruksi dosis khusus
Pasien lanjut usia
Ampul : Untuk pasien yang usianya lebih dari 65 tahun, dianjurkan memakai kisaran dosis
terendah: total dosis harian 60 mg tidak boleh dilampaui (lihat Perhatian).
Anak-anak : Keamanan dan efektivitasnya pada anak-anak belum ditetapkan. Oleh karena
itu, Ketorolac tidak boleh diberikan pada anak di bawah 16 tahun. Gangguan ginjal : Karena
Ketorolac tromethamine dan metabolitnya terutama diekskresi di ginjal, Ketorolac
dikontraindikasikan pada gangguan ginjal sedang sampai berat (kreatinin serum > 160
mmol/l); pasien dengan gangguan ginjal ringan dapat menerima dosis yang lebih rendah
(tidak lebih dari 60 mg/hari IV atau IM), dan harus dipantau ketat. Analgesik opioid (mis.
Morfin, Phetidine) dapat digunakan bersamaan, dan mungkin diperlukan untuk
mendapatkan efek analgesik optimal pada periode pasca bedah awal bilamana nyeri
bertambah berat. Ketorolac tromethamine tidak mengganggu ikatan opioid dan tidak
mencetuskan depresi napas atau sedasi yang berkaitan dengan opioid. Jika digunakan
bersama dengan Ketorolac ampul, dosis harian opioid biasanya kurang dari yang
dibutuhkan secara normal. Namun efek samping opioid masih harus dipertimbangkan,
terutama pada kasus bedah dalam sehari.

.: Efek Samping :.
Efek samping di bawah ini terjadi pada uji klinis dengan Ketorolac IM 20 dosis dalam 5
hari.
Insiden antara 1 hingga 9% :
Saluran cerna : diare, dispepsia, nyeri gastrointestinal, nausea.
Susunan Saraf Pusat : sakit kepala, pusing, mengantuk, berkeringat.

.: Peringatan dan Perhatian :.


Seperti obat analgesik anti-inflamasi nonsteroid lainnya, Ketorolac dapat menyebabkan
iritasi, ulkus, perforasi atau perdarahan gastrointestinal dengan atau tanpa gejala
sebelumnya dan harus diberikan dengan pengawasan ketat pada pasien yang mempunyai
riwayat penyakit saluran gastrointestinal. Ketorolac tidak dianjurkan untuk digunakan
selama kehamilan, persalinan, kelahiran, dan pada ibu menyusui.
Peringatan khusus mengenai inkompatibilitas:
Ketorolac ampul tidak boleh dicampur dalam volume kecil (mis. dalam spuit) dengan
Morfin sulfat, Phetidine hydrochloride, Promethazine hydrochloride atau Hydroxyzine

hydrochloride karena akan terjadi pengendapan Ketorolac tromethamine. Ketorolac ampul


kompatibel dengan larutan normal saline, 5% dekstrosa, Ringer, Ringer-laktat, atau larutan
Plasmalyte. Kompatibilitas dengan obat lain tidak diketahui.
Perhatian
Efek Renal : Sama seperti obat lainnya yang menghambat biosintesis prostaglandin, telah
dilaporkan adanya peningkatan urea nitrogen serum dan kreatinin serum pada uji klinis
dengan Ketorolac tromethamine.
Efek Hematologis : Ketorolac menghambat agregasi trombosit dan dapat memperpanjang
waktu perdarahan. Ketorolac tidak mempengaruhi hitung trombosit , waktu protrombin
(PT) atau waktu tromboplastin parsial (PTT). Pasien dengan gangguan koagulasi atau yang
sedang diberi terapi obat yang mengganggu hemostasis harus diawasi benar-benar saat
diberikan Ketorolac.
Efek Hepar : Bisa terjadi peningkatan borderline satu atau lebih tes fungsi hati. Pasien
dengan gangguan fungsi hati akibat sirosis tidak mengalami perubahan bersihan Ketorolac
yang bermakna secara klinis. Ketorolac tromethamine tidak dianjurkan untuk digunakan
sebagai medikasi prabedah, untuk mendukung anestesi atau analgesia obstetri. Belum ada
data klinis mengenai keamanan dan efektivitas pemberian bersama Ketorolac tromethamine
dengan obat anti-inflamasi nonsteroid lainnya. Ketorolac tidak dianjurkan digunakan secara
rutin bersama dengan obat anti-inflamasi nonsteroid lain, karena adanya kemungkinan efek
samping tambahan.
Untuk pasien gangguan ginjal ringan : Fungsi ginjal harus dipantau pada pasien yang diberi
lebih dari dosis tunggal IM, terutama pada pasien tua.
Retensi cairan dan edema: Pernah dilaporkan terjadinya retensi cairan dan edema pada
penggunaan Ketorolac. Oleh karena itu, Ketorolac harus hati-hati diberikan pada pasien
gagal jantung, hipertensi atau kondisi serupa.

.: Interaksi Obat :.

Pemberian Ketorolac bersama dengan Methotrexate harus hati-hati karena beberapa


obat yang menghambat sintesis prostaglandin dilaporkan mengurangi bersihan
Methotrexate, sehingga memungkinkan peningkatan toksisitas Methotrexate.

Penggunaan bersama NSAID dengan Warfarin dihubungkan dengan perdarahan


berat yang kadang-kadang fatal. Mekanisme interaksi pastinya belum diketahui,
namun mungkin meliputi peningkatan perdarahan dari ulserasi gastrointestinal yang
diinduksi NSAID, atau efek tambahan antikoagulan oleh Warfarin dan
penghambatan fungsi trombosit oleh NSAID. Ketorolac harus digunakan secara
kombinasi hanya jika benar-benar perlu dan pasien tersebut harus dimonitor secara
ketat.

ACE inhibitor karena Ketorolac dapat meningkatkan risiko gangguan ginjal yang
dihubungkan dengan penggunaan ACE inhibitor, terutama pada pasien yang telah
mengalami deplesi volume.

Ketorolac mengurangi respon diuretik terhadap Furosemide kira-kira 20% pada


orang sehat normovolemik.

Penggunaan obat dengan aktivitas nefrotoksik harus dihindari bila sedang memakai
Ketorolac misalnya antibiotik aminoglikosida.

Pernah dilaporkan adanya kasus kejang sporadik selama penggunaan Ketorolac


bersama dengan obat-obat anti-epilepsi.

Pernah dilaporkan adanya halusinasi bila Ketorolac diberikan pada pasien yang
sedang menggunakan obat psikoaktif.

Anak-anak
Keamanan dan efektivitas pada anak belum ditetapkan.
Lanjut usia
Pasien di atas 65 tahun dapat mengalami efek samping yang lebih besar daripada pasien
muda. Risiko yang berkaitan dengan usia ini umum terdapat pada obat yang menghambat
sintesis prostaglandin. Seperti halnya dengan semua obat, pada pasien lanjut usia harus
dipakai dosis efektif yang terendah.
Penyalahgunaan dan ketergantungan fisik
Ketorolac tromethamine bukan merupakan agonis atau antagonis narkotik. Subjek tidak
memperlihatkan adanya gejala subjektif atau tanda objektif putus obat bila dosis intravena
atau intramuskular dihentikan tiba-tiba.
Xxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxx
xxxxxxxxxxxxxxxx

Nama Generik: Ketorolac


Nama Merek: Dolac, Ketopain, Ketorolac OGB Dexa, Lantipain, Remopain, Remopain,
Rolac, Scetto, Toradol, Toramine, Torasic, Torpain, Trolac, Xevolac

Definisi
Ketorolac masuk dalam kelompok nonsteroidal anti-inflammatory drug (NSAIDs). Ketorolac
bekerja dengan mengurangi hormon yang menyebabkan peradangan dan nyeri di dalam
tubuh.
Ketorolac digunakan dalam jangka waktu pendek (5 hari atau kurang) untuk mengobati nyeri
ringan sampai parah.
Ketorolac juga digunakan untuk kebutuhan lain yang belum tercantum di sini.

Informasi Penting

Obat ini dapat meningkatkan risiko gangguan jantung atau sirkulasi darah yang mengancam
jiwa, antara lain serangan jantung atau stroke. Jangan menggunakan obat ini sesaat sebelum
atau setelah menjalani operasi coronary artery bypass graft atau CABG.
Cari pertolongan medis darurat jika anda memiliki gejala masalah jantung atau sirkulasi
darah, seperti nyeri pada dada, rasa lemah, napas terasa pendek, bicara tidak jelas atau
masalah dengan penglihatan atau keseimbangan.
Ketorolac dapat juga meningkatkan risiko efek serius pada lambung atau pencernaan,
termasuk pendarahan atau berlubang. Kondisi ini dapat menjadi fatal dan efek gastrointestinal
dapat terjadi tanpa peringatan kapanpun ketika anda menggunakan ketorolac. Mereka yang
berusia lanjut dapat memiliki risiko yang lebih besar dari efek samping gastrointestinal yang
serius ini.
Hubungi dokter anda jika anda mengalami gejala pendarahan pada lambung atau pencernaan.
Antara lain kotoran menghitam atau berdarah, atau batuk darah ataupun muntah yang terlihat
seperti ampas kopi.
Jangan minum alkohol ketika menggunakan ketorolac. Alkohol dapat meningkatkan risiko
pendarahan perut yang disebabkan ketorolac.

Efek Samping
Panggil pertolongan medis darurat jika anda memiliki tanda apapun dari reaksi alergi ini:
Gatal dengan kulit kemerahan
Sulit bernapas
Pembengkakan pada wajah, bibir, lidah atau tenggorokan
Hentikan penggunaan ketorolac dan hubungi dokter anda jika anda memiliki efek samping
serius berikut:
Nyeri pada dada, rasa lemah, napas terasa pendek, bicara tidak jelas, masalah dengan
penglihatan atau keseimbangan
Kotoran menghitam atau berdarah
Batuk darah atau muntah yang seperti ampas kopi
Bengkak atau berat badan meningkat dengan cepat
Urin lebih sedikit dari biasanya
Mual, sakit perut, demam ringan, hilang nafsu makan, urin berwarna gelap, kotoran
seperti tanah liat, jaundice (kulit atau mata menguning)
Demam, radang tenggorokan, dan sakit kepala dengan lepuhan, pengelupasan dan ruam
kemerahan pada kulit
Tanda awal luka radang apapun pada mulut atau ruam kulit, tidak peduli seringan apapun
Kulit pucat, mudah memar, kesemutan parah, mati rasa, nyeri, lemah otot
Demam, sakit kepala, kaku leher, menggigil, meningkatnya sensitifitas terhadap cahaya,
noda ungu pada kulit, dan/atau kejang
Efek samping lain adalah:
Mual ringan atau muntah, diare, konstipasi
Perut mulas ringan, nyeri pada perut, perut kembung

Pusing, sakit kepala, mengantuk


Berkeringat
Telinga berdengung

Gejala efek samping di atas belum lengkap dan dapat muncul gejala lain.
Xxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxx

Gangguan Asam Basa pada Pasien Bedah Saraf


Gangguan asam basa pada pasien bedah saraf
Pengenalan asam basa sangat penting untuk pengelolaan pasien bedah saraf, terutama pasien
bedah saraf yang menjalani perawatan intensif. Sebagai contoh pasien cedera kepala sedang,
pada pasien ini dapat terjadi asidosis jaringan otak yang dapat menyebabkan terjadinya
edema cerebri karena terhalangnya tranpor Na dan H serta Cl dan HCO3. Faktor yang
mempengaruhi regulasi asam basa jaringan otak adalah kadar CO2, sistem buffer, serta
penambahan asam metabolit oleh metabolisme tubuh.
Kenaikan kadar CO2 dapat terjadi akibat peningkatan kadar CO2 karena kenaikan kadar CO2
arteri, peningkatan produski CO2 otak, gangguan pembuangan CO2 jaringan, asidosis
jaringan akibat melalui reaksi yang dikatabolisis karbonik anhidrase. Peningkatan CO2 ini
akan menurunkan pH sehingga terjadi asidosis. Selain itu pada pasien cedere kepala dapat
terjadi asidosis akibat produksi laktat karena terjadi glikolisis. Asidosis pada pasien cedera
kepala berhubungan dengan mortalitas yang tinggi. Adanya asidosis pada jam pertama
berkaitan erat dengan kematian.
Konsep dasar
Konsentrasi ion hidrogen pada cairan ekstraseluler dipengaruhi oleh perbandingan
konsentrasi pCO2 dan HCO3 pada cairan ekstraseluler. Hubungan tersebut dapat
digambarkan sebagai berikut :
[H+] (nEq/L) = 24 x (pCO2/HCO3)
Jika menggunakan nilai normal pCO2 40 mmHg dan HCO3 24 mEq/l 24 mEq/l maka kadar
H+ pada arteri dapat dihitung 24 x (40/24) = 40 nEq/l.
CO2 dimetabolisme di paru-paru atau disebut juga komponen respiratorik. Jika terdapat
gangguan asam basa dari CO2 disebut sebagai respiratorik. HCO3 dimetabolisme di ginjal,
disebut komponen metabolik. Jika terdapat gangguan asam basa dari HCO3 disebut gangguan
metabolik. Setiap hari manusia mendapat asupan H+ dari makanan, H+ tersebut akan diikat
oleh HCO3
Jenis gangguan asam basa
Jenis gangguan asam basa dapat dibedakan berdasarkan kadar pH, PCO2, dan HCO3 di
cairan ekstraseluler. Rentang nilai normal ketiga parameter tersebut sebagai berikut :
pH = 7,36-7,44
PCO2= 36-44 mmHg
HCO3 = 22-26 mEq/L
Perubahan pada CO2 dan HCO3 akan mempengaruhi nilai pH. Perubahan kadar CO2 terjadi
di paru-peru sehingga jika terdapat ganggaun CO2 dinamakan gangguan respiratorik,
edangkan gangguan pada HCO3 disebut ganggaun metabolik. Perubahan tersebut dapat
dilihat dengan persamaan sebagai berikut :
CO2 + O2 H2CO3 HCO3- + H+

Perubahan nilai pH < 7,36 disebut asidosis, sedangkan nilai pH >7,44 disebut alkalosis.
Pengontrolan asam basa
Konsentrasi ion hidrogen pada cairan ekstraseluler secara normal kurang dari 10 nEq/L.
Perbedaan pH dipengaruhi oleh perbandingan CO2 dan HCO3. Pada kenyataanya nilai pH
cenderung konstan, kondisi ini terjadi karena terdapat kontrol terhadap pH tubuh, salah
satunya dengan perbandingan CO2 dan HCO3. Jika terdapat penurunan kadar CO2 maka
secara normal akan terjadi penurunan kadar HCO3 demikian pula sebaliknya. Kondisi ini
bertujuan untuk menjagai nilai pH berada dalam rentang normal. Gangguan respirasi
(perubahan kadar Co2) akan dikompensasi dengan perubahan HCO3. Perubahan awal kadar
PCO2 atau HCO3 disebut gangguan asam-basa primer, sedangkan kompensasinyadisebut
sebagai gangguan asam basa sekunder atau kompensasi. Lebih lengkap kadar CO2 dan
HCO3 dapat dilihat pada tabel berikut :
Jenis gangguan Perubahan primer kompensasi
Asidosis respiratorik Kenaikan PCO2 Kenaikan HCO3
Alkalosis respiratorik Penurunan PCO2 Penurunan HCO3
Asidosis metabolik Penurunan HCO3 Penurunan PCO2
Alkalosis metabolik Kenaikan HCO3 Kenaikan PCO2
Yang perlu diperhatikan adalah kompensasi tidak cukup kuat untuk menjaga pH konstan,
kompensasi hanya membatasi perubahan nilai pH karena perubahan primer.
Kompensasi respiratorik
Gangguan asam basa metabolik akan merangsang respon pernapasan yang diperantarai oleh
kemoreseptor yang berlokasi di bifurcasio carotis di leher. Asidosis metabolik akan
merangsang kemoreseptor ini dan akan meningkatkan frekuensi napas sehingga kadar CO2
akan menurun. Alkalosis metabolik akan menurunkan rangsang terhadap kemoreseptor
sehingga pernapasan akan menurun dan kadar CO2 akan meningkat.
Kompensasi untuk asidosis metabolik
Respon pernapasan untuk mengkompenasi asidosis metabolik akan mengurangi PaCO2 pada
konsentrasi sebagai berikut :
PaCO2 yang diharapkan = (1,5 x HCO3)+(82) mEq/L.
Jika kadar PaCO2 yang terukur berada diantara nilai PaCO2 yang diharapkan dan
kompensasi respiratorik adekuat maka kondisi ini disebut sebagai asidosis metabolik
terkompensasi. Jika kadar PaCO2 yang terukur lebih tinggi dibanding nilai PaCO2 yang
diharapkan dan respon pernapasan tidak mencukupi dengan teraapatnya asidosis respiratorik
maka kondisi ini disebut asidosis metabolik primer dengan superimos asidosis respiratorik.
Sebaliknya jika nilai PaCO2 yang terukur lebih rendah dibanding nilai PaCO2 yang
diharapkan maka kondisi ini disebut sebagai asidosi metabolik primer superimpos alkalosis
respiratorik.
Kompensasi untuk alkalosis metabolik
Kompensasi respiratorik terhadap alkalosis metabolik dapat dilihat berdasarkan perubahan
kadar PCO2 dengan perkiraan sebagai berikut :
PCO2 yang diharapkan = (0,7 x HCO3)+(212)
Jika kadar PCO2 yang terukur berada pada rentang nilai PCO2 yang diharapkan maka
kondisi ini disebut alkalosis metabolik terkompensasi. Sedangkan jika nilai PCO2 yang
terukur lebih tinggi dibanding nilai PCO2 yang diharapkan, maka kompensasi tidak adekuat
dan disebut alkalosis metabolik primer dengan superimpos asidosis respiratorik. Jika nilai
PCO2 terukur lebih tinggi dibanding nilai PCO2 yang diharapkan maka disebut sebagai

alkalosis metabolik dengan superimpos asidosis respiratorik. Jika nilai PCO2 yang terukur
lebih rendah dibanding nilai PCO2 yang diharapkan, kompensasi tidak adekuat, kondisi ini
disebut sebagai alkalosis metabolik dengan superimpos alkalosis respiratorik.
Kompensasi metabolik
Kompensasi terhadap perubahan PaCO2 terjadi di ginjal dengan pengaturan penyerepan
HCO3 ditubulus proksimal ginjal. Jika kadar PaCO2 turun (alkalosis respiratorik) akan
menyebabkan penurunan rabsorpsi HCO3 di tubulus renalis sehingga kadar HCO3 di plasma
akan menurun. Respon ini berkembang lambat , kompensasi ini mulai kelihatan 6 sampai 12
jam setelah terjadi alkalosis respiratorik dan terjadi kompensasi penuh setelah beberapa hari.
Karena keterlambatan kompensasi renal ini, gangguan asam basa respiratorik ini
dikelompokkan sebagai akut (sebelum kompensasi renal berlangsung) dan kronik (setelah
kompensasi renal berlangsung).
Gangguan asam basa respiratorik akut
Sebelum terjadi kompensasi ginjal, perubahan kadar PCO2 akan menghasilkan perubahan pH
sebesar 0,008 unit.
pH=0,008 x PCO2
Sehingga perubahan akhir pH dapat diprediksi dengan penghitungan
pH yang diharapkan = 7,4 (0,008 x PCO2)
dengan ketentuan x PCO2 didapat dari nilai PCO2 terakhir 40 (nilai rata-rata PCO2).
Gangguan asam basa respiratorik kronik
Jika kompensasi ginjal sudah berlangsung, perubahan kadar 1 mmHg PCO2 hanya akan
memberikan perubahan pH 3 unit. Sehingga perubahan kadar pH yang diharapkan pada
gangguan asam basa respiratorik kronis dapat diperkirakan sebagai berikut :
pH yang diharapkan = 7,4 (0,003 x PCO2)
jika dibandingkan tanpa ada kompensasi ginjal maka nilai pH akan berbeda sebanyak 0,1
unit.
Langkah-langkah interpretasi asam basa
Langkah-langkah untuk interpretasi asam basa pada tulisan ini dilakukan dengan 3 tahap.
Tahap pertama dan kedua mengetahui gangguan asam basa berdasarkan nilai pH, PCO2, dan
HCO3. Tahap ketiga mencari tahu lebih lanjut mengenai asidosis metabolik dengan
menggunakan interpretasi elektrolit.
Tahap I: identifikasi gangguan asam basa primer
Pada tahap pertama gangguan asam basa primer dilakukan dengan mengetahui pH dan PCO2
yang terukur.
Aturan 1: Abnormalitas asam basa terjadi jika pH dan PCO2 berada diluar rentang normal.
(nilai pH dan PCO2 yang normal bukan berarti tidak terdapat gangguan asam basa,
sebagaimana diterangkan pada aturan 3).
Aturan 2: Jika pH dan PCO2 keduanya abnormal, bandingkan arah perubahan. Jika keduanya
berubah dengan arah yang sama (keduanya meningkat atau menurun), gangguan asam basa
primer adalah metabolik. Jika perubahannya berlawanan arah, gangguan asam basa primer
adalah respiratorik.
Aturan 3: jika pH dan PCO2 normal, dapat saja terjadi gangguan asam basa campuran antara
metabolik dan respiratorik ( satu asidosis dan satu alkalosis). Jika pH normal, arah perubahan
pCO2 mengenali jenis gangguan respiratorik, dan jika PCO2 normal, arah perubahan pH
mengidentifikasi gangguan metabolik.
Contoh : pasien dengan pH 7,37 dan PCO2 55mmHg. pH normal, jadi terdapat gangguan
asam basa campuran antara metabolik dan respiratorik. PCO2 meningkat, jadi gangguan
respiratoriknya adalah asidosis sehingga gangguan metaboliknya adalah alkalosis. Dengan

demikian pasien ini memiliki ganggaun asidosis respiratorik dan alkalosis metabolik. Pada
kasus ini tidak terdapat gangguan asam basa primer, keduanya merupakan gangguan yang
berat tatapi saling mengompensasi yang menyebabkan pH berada pada rentang normal.
Ingat bahwa kompensasi gangguan asam basa tidak cukup kuat untuk mengoreksi pH, tetapi
beraksi untuk mengurangi beratnya perubahan asam basa. Dengan demikian adanya pH yang
normal pada gangguan asam basa mengindikasikan terdapatnya gangguan asam basa
campuran metabolik dan respiratorik.
Tahap 2 : Evaluasi respon kompensasi
Tahap 2 dilakukan jika sudah diketahui tipe gangguan asam basa. Tujuan tahap 2 ini adalah
untuk mengetahui apakan respon kompensasi memadai atau tidak dan apakah terdapat
gangguan asam basa yang lain.
Aturan 4: Jika terdapat asidosis atau alkalosis metabolik primer hitung nilai PCO2 yang
diharapkan. Jika nilai PCO2 yang terukur berada pada rentang nilai PCO2 yang diharapkan
maka terdapat kompensasi penuh. Jika PCO2 yang terukur lebih tinggi dibanding PCO2 yang
diharapkan maka terdapat superimpos asidosis respiratorik. Jika PCO2 yang terukur kurang
dari PCO2 yang diharapkan maka terdapat superimpos alkalosis respiratorik.
Aturan 5 : Jika terdapat asidosis atau alkalosis respiratorik, hitung pH yang diharapkan
dengan menggunakan PCO2. Bandingkan pH yang terukur dengan pH yang diharapkan untuk
mengetahui apakah gangguan yang terjadi bersifat akut, kompensasi sebagian atau
kompensasi penuh. Jika pH yang terukur lebih rendah dari pH yang diharapkan pada kondisi
akut, terdapat kondisi tidak terkompensasi, dengan superimpos asidosis metabolik.
Untuk gangguan alkalosis respiratorik, jika pH yang terukur lebih tinggi dibanding pH yang
diharapkan pada kondisi kronis, terdapat kompensasi, maka terjadi superimpos alkalosis
metabolik. Serta jika pH yang terukur lebih rendah dibanding pH yang diharapkan maka,
terjadi kompensasi, maka terdapat superimpos alkalosis metabolik.
Contoh : pasien dengan pH 7,54 dan PCO2 23. Perubahan yang terjadi berlawanan arah
sehingga permasalahan primernya adalah respiratorik dengan gangguan berupa alkalosis
respiratorik. pH yang diharakan pada kondisi akut dapat dihitung sebagai berikut : 7,4 +
(0,008x ( 40-23))= 7,54. Sesuai dengan nilai pH yang terukur, maka kondisi ini akut berupa
alkalosis respiratorik tidak terkompensasi. Jika pH yang terukur >7,55 maka terdapat
superimpos alkalosis metabolik.
Tahap 3 : gunakan gap untuk evaluasi asidosis metabolik
Tahap terakhir pendekatan ini adalah untuk pasien dengan asidosi metabolik. Terdapat 2 gap,
yang pertama anion gap untuk memperkirakan anion yang tidak terukur untuk mengetahui
penyebab asidosis metabolik. Yang kedua adalah perbandingan antara perubahan anion gap
dan perubahaan kadar HCO3.
Anion gap
Anion gap adalah perkiraan mengenai jumlah anion yang tidak terukur dan digunakan untuk
membedakan apakah asidosis metabolik yang terjadi akibat akumulasi asam tidak terlarut
(seperti asam laktat) atau kehilangan bicarbonat jaringan (seperti pada diare).
Agar terjadi keseimbangan elektrokimia, konsentrasi negaitf anion harus sama dengan
konsentrasi positif kation. Semua ion berperan dalam keseimbangan ini, seperti NA, Cl,
HCO3 dan ion lain yang tidak terukur. Kation tidak terukur (UC) serta anion tidak terukur
(UA) terlibat dalam keseimbangan sebagai berikut :
Na+UC= (Cl + HCO3) + UA atau Na-(Cl + HCO3) = UA-UC
Perbedaan antara UA-UC disebut sebagai anion gap. Perbedaan antara keduanya dapat terjadi
sampai sekitar 12 mEq/l yang terjadi sebagian besar akibat konsentrasi albumin. Nilai normal
anion gap adalah 124 mEq/l (berkisar 8-16 mEq/l). Penghitungannya sebagai berikut :
Anion gap yang diharapkan = AG terukur + 2,5 (4,5- kadar albumin) mEq/l
Dari hasil tersebut dibandingkan AG terukur dan AG yang diharapkan. Hasilnya berupa high

anion gap dan normal anion gap. High anion gap terjadi karena penambahan asam pada
ekstreluler yang akan diikat oleh bikarbonat sehingga akan meningkatkan anion gap. Kondisi
ini dapat terjadi pada asiodosis laktasis, ketoasidosis, gagal ginjal terminal.
Jika terjadi kehilangan bikarbonat seperti pada asidosis metabolik, maka tubuh
mengompensasinya dengan meningkatkan kadar Cl. Dengan demikian anion gap dapat saja
menjadi normal (normal anion gap). Kondisi ini dapat terjadi pada diare, gagal ginjal awal,
infus NaCl.
Pada kondisi dimana terdapat asidosis metabolik dapat saja terjadi gangguan asam basa
metabolik lainnya dengan cara membandingkan anion gap dengan selisih HCO3.
Anion gap / selisih HCO3 = (AG terukur -12) / (24-HCO3 terukur)
Perbandingan tersebut seringkali disebut delta gap.
Jika terdapat akumulasi asam pada cairan ekstraseluler, penurunan kadar HCO3 sebanding
dengan peningkatan anion gap, sehingga delta gap nya adalah 1. Jika terdapat asidosis
hiperkloremi, penurunan kada HCO3 lebih besar daripada kenaikan anion gap sehingga delta
gapnya < 1. Kondisi ini dapat terjadi pada asidosis metabolik dengan normal anion gap.
Contohnya adalah diabetik ketoasidosis. Jika terdapat penambahan alkali pada asidosis high
anion gap, penurunan HCO3 kurang dari kenaikan anion sehingga delta gap > 1. Oleh karena
itu pada kasus asidosis metabolik dengan high anion gap dan delta gap > 1 mengindikasikan
terdapat pula alkalosisa metabolik. Ini merupakan peringatan yang penting karena pada
perawatan intensif alkalosis metabolik sering terjadi seperti pada penggunaan suction NGT
dan penggunaan diuretik.
Referensi
1. Stone, C.K., Humphries RL. Current Emergency Diagnosis and Treatment, Lange, 2004
2. Marino PL, The ICU Handbook, Lipincolt, 2007
3. Clausen T, et all. Cerebral acidbase homeostasis after severe traumatic brain injury.
Neurosurgery online .com. 2005

Anda mungkin juga menyukai