Anda di halaman 1dari 9

TUGAS

KODEIN










Oleh:
Ira Karlina
0708015021

Pembimbing:
dr. Sjarif Ismail, M.Kes

Dibawakan dalam Rangka Tugas Kepaniteraan Klinik pada
Lab/SMF Farmakologi Klinik RSUD A. Wahab Sjahrani

FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MULAWARMAN
SAMARINDA
2013
2

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ................................................................................................. 1
DAFTAR ISI ............................................................................................................. 2
BAB I. PENDAHULUAN ....................................................................................... 3
BAB II. ISI ............................................................................................................... 4
2.1. Penggolongan Obat dan Nama Lainnya .................................................... 4
2.2. Indikasi ...................................................................................................... 4
2.3. Farmakokinetik ......................................................................................... 4
2.4. Farmakodinamik ....................................................................................... 6
2.5. Frekuensi Pemberian ................................................................................. 6
2.6. Dosis .......................................................................................................... 6
2.7. Interaksi Obat ............................................................................................ 6
2.8. Kontraindikasi ........................................................................................... 6
2.9. Toksisitas .................................................................................................. 7
BAB III. PENUTUP ................................................................................................ 8
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................... 9













3

BAB I
PENDAHULUAN

Tubuh manusia mempunyai kemampuan untuk melawan hampir semua jenis
organisme atau toksin yang cendrung merusak jaringan dan organ tubuh. Kemampuan
ini disebut imunitas. Batuk merupakan suatu mekanisme fisiologi yang bermanfaat
untuk mengeluarkan dan membersihkan saluran pernapasan dari dahak, zat-zat
perangsang asing, dan unsur infeksi. Dengan demikian batuk merupakan suatu
mekanisme perlindungan (Guyton & Hall, 2008).
Kodein adalah obat antitusif opioid. Kodein mempunyai analgesik yang
kurang poten daripada morfin, tetapi mempunyai kemanjuran per-oral yang lebih
tinggi. Kodein memperlihatkan efek antitusif yang baik pada dosis yang tidak
menyebabkan analgesia. Obat ini mempunyai potensi penyalahgunaan yang lebih
rendah daripada morfin dan sangat jarang menimbulkan ketergantungan. Kodein
sering digunakan dalam kombinasi dengan aspirin atau asetaminofen (Mary J, 2001).
Kodein dipertimbangkan sebagai prodrug, karena dimetabolisme menjadi
morfin. Meskipun demikian, obat ini kurang potensial dibandingkan morfin itu
sendiri. Hal ini disebabkan karena hanya 10% codein yang dirubah menjadi morfin.
Oleh karena itu, obat ini juga menyebabkan ketergantungan yang lebih rendah dari
morfin (Mutchler, 1993).
Efek samping yang umum dijumpai pada penggunaan codein di antaranya,
mual, muntah, mulut kering, gatal-gatal, drowsiness, miosis, orthostatic hypotension,
retensi urin, dan konstipasi. Toleransi terhadap berbagai efek codein bisa terjadi pada
penggunaan jangka panjang, termasuk efek terapeutik (Mutchler, 1993).
Seperti yang telah dijelaskan bahwa codein termasuk dalam golongan morfin
dan alkaloid opium. Efek farmakologiknya sama secara kualitatif akan tetapi berbeda
secara kuantitatif dengan morfin. Gugus OH fenolik bebas mencerminkan adanya
efek analgesik, hipnotik, depresi nafas, dan obstipasi (Mutchler, 1993).


4

BAB 2
ISI

2.1 Penggolongan Obat
2.1.1 Penggolongan Obat.
Kodein atau methylmorphine merupakan suatu obat digunakan
sebagai analgesik, antitusif. Obat ini dipasarkan sebagai garam codein
sulfate dan codein phosphate. Codein adalah alkaloid yang ditemukan
dalam opium, sekitar 0,3 3,0 %. Meskipun codein bisa diekstrak dari
opium, sebagian besar codein yang ada saat ini disintesa dari morfin
melalui proses O-methylation. Kodein mempunyai struktur kimia 7,8
Didehidro- 4,5-epoksi-3metoksi-17-metilmorfinan 6 -ol monohidrat
[6059-47-8] CHNOHO Anhidrat.

2.1.2 Nama lainnya (Mims, 2010)
Nama dagang : Codipront, codipront cum expectorant, coditam.
2.2 Indikasi
Kodein diberikan untuk penyakit batuk tidak produktif.
2.3 Farmakokinetik
Absorpsi : Diabsorspsi dengan baik dan cepat setelah pemberian oral
(50%). Onset kerja oral 30-60 menit, melalui intramuskular
10-30 menit. Untuk kadar puncak oral mencapai 60-90 menit,
dan kadar puncak obat kodein melalui intramuskular selama
30-60 menit. Untuk durasi obat kodein ini mencapai 4-6 jam.
Memanjang pada geriatri.
Distribusi : Di dalam darah kodein berikatan dengan protein
plasma sebesar 7%.
Metabolisme : kodein di metabolisme di hepar
5

Ekskresi : sekitar 3-18% melalui urin dengan bentuk tidak diubah,
norkodein dan bentuk bebas serta morfin terkonjugasi. T1/2
2,5-3,5 jam (Allan et at, 1999)

2.4 Farmakodinamik
Susunan saraf pusat. Efek codein atau morfin terhadap SSP berupa analgesia dan
narkosis. Analgesia oleh morfin dan oploid lain sudah timbul sejak sebelum
penderita tidur dan seringkali analgesia terjadi tanpa disertai tidur (Mutchler,
1993).
Analgesik
Efek analgesik morfin dan opioid lain sangat selektif dan tidak disertai oleh
hilangnya fungsi sensorik lain seperti rasa raba, rasa getar, (vibrasi), penglihatan,
dan pendengaran. Pengaruh morfin dan opioid terhadap modalitas nyeri yang
tidak tajam (dull pain) dan berkesinambungan lebih nyata dibandingkan dengan
pengaruh morfin terhadap nyeri tajam dan intermiten.
Efek analgesik morfin timbul berdasarkan 3 faktor : morfin meninggikan ambang
rangsang nyeri, morfin dapat mempengaruhi emosi artinya morfin dapat
mengubah reaksi yang timbul dikorteks serebri dari talamus, morfin memudahkan
tidur dan pada waktu tidur ambang rangsang nyeri meningkat.
Antara nyeri dan efek analgesik morfin dan opioid lain terdapat antagonism
artinya nyeri merupakan antagonis bagi efek analgesic dan efek depresi napas
morfin. Bila nyeri sudah dialami beberapa waktu sebelum pemberian
morfin,maka efek analgesiknya tidak begitu besar. Tetapi bila stimulus nyeri
ditimbulkan setelah efek analgesic morfin mencapai maksimum.
Eksitasi
Morfin dan opoid lain sering menimbulkan mual dan muntah, sedangkan delirium
dan konvulsi lebih jarang timbul. Faktor yang dapat mengubah efek eksitasi
morfin ialah idiosinkrasi dan tingkat eksitasi reflex (reflex excitatory level) SSP.
Pada beberapa spesies efek eksitasi morfin jauh lebih jelas. Misalnya pada kucing
morfin menimbulkan mania dan hipertermia, konvulsi tonik dan klonik yang
6

dapat berakhir dengan kematian. Kodein tidak menyebabkan depresi progresif
bila dosisnya dibesarkan, tetapi justru menyebabkan eksitasi.
2.5 Dosis (Mims, 2010)
a. Dosis sedian tablet codipront : codein anhydrate 30 mg, phenyltoloxamin 10
mg. Codein sirup per 5 ml 11,11 mg, phenyltoloxamine 3,76 mg.
Dosis sediaan tablet codipront cum expectorant : codein 30 mg,
phenyltoloxamin 10 mg, guaiphenesin 100 mg. Codein sirup per 5 ml 11,11
mg, phenyltoloxamin 3,67 mg, guaiphenesin 55,55 mg, thyme fluid extr 55,55
mg.
Dosis sediaan tablet coditam : codein phosphate (setara dengan codein base 30
mg) 38,41 mg, paracetamol 500 mg.
b. Dosis sediaan dewasa dan anak (Henry, 1986).
Sediaan oral : 0,8 1,5 mg/kgBB/dosis tiap 4-6 jam
Intramuskular : 0,8 mg/kgBB/dosis
Sediaan untuk anak : 0,2 mg/kgBB/dosis tiap 4-6 jam
2.6 Kontra indikasi
Tidak diberikan pada pasien yang menderita hipotensi, hipotiroidisme, asma dan
depresi pernapasan, ibu hamil serta ibu menyusui (Allan et at, 1999).
2.7 Interakasi obat
Efek depresi SSP beberapa opioid dapat diperhebat dan diperpanjang oleh
fenotiazin, penghambat monoamine oksidase dan antidepresi trisiklik. Mekanisme
supraaditif ini tidak diketahui dengan tepat, mungkin menyangkut perubahan
dalam kecepatan biotransformasi opioid atau perubahan pada neurotransmitor
yang berperan dalam kerja opioid. Beberapa derivat fenotiazin meningkatkan efek
sedasi, tetapi dalam saat yang sama bersifat antianalgesik dan meningkatkan
jumlah opioid yang diperlukan untuk menghilangkan nyeri. Pemberian dosis kecil
amfetamin dan hidroksizin IM akan meningkatkan efek morfin dengan nyata
(Mutchler, 1993).

7

2.8 Toksisitas (Toksisitas pada manusia dan hewan, teratogenik dan mutagenik,
dan adverse reaction).
Kodein adalah salah satu alkaloid psikoaktif diperoleh dari opium poppy
(Papaver Somniferum). Obat jenis ini sering digunakan dalam terapi yang
bersifat analgesik dan antitusif. Namun sering juga disalah gunakan sebagai
zat psikoaktif, pengganti heroin. Dalam penelitian ini digunakan papain
sebagai model protease. Protease berperan penting dalam memperbaiki sel-sel
yang rusak serta membangun sel tubuh.
Papain adalah protease sistein endolitik yang diperoleh dari lateks Carica
papaya.
Kodein menunjukkan adanya penghambatan terhadap aktivitas papain dalam
menghidrolisis protein (kasein).
















8

BAB III
PENUTUP

Kodein adalah obat antitusif opioid. Kodein mempunyai analgesik yang
kurang poten daripada morfin, tetapi mempunyai kemanjuran per-oral yang lebih
tinggi. Kodein memperlihatkan efek antitusif yang baik pada dosis yang tidak
menyebabkan analgesia. Obat ini mempunyai potensi penyalahgunaan yang lebih
rendah daripada morfin dan sangat jarang menimbulkan ketergantungan. Kodein
sering digunakan dalam kombinasi dengan aspirin atau asetaminofen.
Kodein dipertimbangkan sebagai prodrug, karena dimetabolisme menjadi
morfin. Meskipun demikian, obat ini kurang potensial dibandingkan morfin itu
sendiri. Hal ini disebabkan karena hanya 10% codein yang dirubah menjadi morfin.
Oleh karena itu, obat ini juga menyebabkan ketergantungan yang lebih rendah dari
morfin.














9

DAFTAR PUSTAKA

Departemen Farmakologi dan Terapeutik UI. 2007. Farmakologi dan Terapi.
Edisi 5. Jakarta: Fakultas Kedokteran UI.
Depkes RI. 1979. Farmakope Indonesia. Edisi Kelima. Jakarta: Departemen
Kesehatan RI.
Mutchler, Ernst. 1993. Dinamika Obat. Edisi Kelima. Bandung: Penerbit ITB
Mary J. 2001. Farmako ulasan bergambar. Jakarta : Widya medika
Silver, Henry. 1986. Handbook of pediactric. Prentice hall international, inc
Guyton & Hall, 2008. Textbook of Medical Physiology. 11 ed. Singapore:
Elsevier.
Allan et al, 1999. Mosbys medical drug reference. Mosby inc

Anda mungkin juga menyukai