Anda di halaman 1dari 9

ANTIHISTAMIN

Setelah diketahui bahwa histamin mempengaruhi banyak proses faalan dan patologik,
maka dicarikan obat yang dapat mengantagonis efek histamin. Epinefrin merupakan
antagonis faalan pertama yang digunakan. Antara tahun 1937-1972, beratus-ratus
antihistamin ditemukan dan sebagian digunakan dalam terapi, tetapi efeknya tidak banyak
berbeda.Yang digolongkan Antihistamin penghambat reseptor H1 (AH1) adalah antergan,
neoantergan, difenhidramin dan tripelenamin dalam dosis terapi efektif mengobati udem,
eritem dan pruritus.
Sesudah tahun 1972, ditemukan kelompok antihistamin baru, yaitu burimamid,
metiamid, dan simetidin yang dapat menghambat sekresi asam lambung akibat histamin.
Kedua jenis ini bekerja secara kompetetif yaitu dengan menghambat interaksi histamin dan
reseptor histamin H1 atau H2.

Antihistamin Penghambat Reseptor H1 (AH1)


Tabel penggolongan antihistamin (AH1), dosis, masa kerja, aktivitas antikolinergiknya

Obat / efek sedatif Dosis reguler Masa kerja Aktivitas Keterangan


orangdewasa (jam) antikolinergik
(mg)
ANTIHISTAMIN GENERASI PERTAMA
Ethanolamin / + – +++
Carbinoxamin (listin) 4-8 3-4 +++ Sedasi ringan-
menengah
Dymenhydrinate (garam) 50 4-6 +++ Sedasi lanjut; aktivitas
Diphenydramine anti motion sickness
(dramamine)
Diphenhydramine 25-50 4-6 +++ Sedasi lanjut; aktivitas
(benadryl,dll) anti motion sickness
Doxylamine 1,25-25 Sedasi lanjut; tersedia
dalam bentuk obat
pembantu tidur
Ethylamineddiamine / + – ++
Pyrilamine (Neo-Antergen) 25-5- + Sedasi menengah;
komponen obat
pembantu tidur
Pyrilamine (PB2,dll) 25-50 + Sedasi menengah
Obat / efek sedatif Dosis reguler Masa kerja Aktivitas Keterangan
orangdewasa (jam) antikolinergik
(mg)
Derivat piperazine / + – +++
Hydroxyzine (Atarak,dll) 15-100 6-24 Sedasi lanjut
Cyclizine (marezine) 25-50 - Sedasi ringan; aktivitas
anti motion sickness
Meclizine (bonine,dll) 25-50 12-24 - Sedasi ringan; aktivitas
anti motion sickness
Alkylamine / + – ++
Bropheniramine 4-8 4-6 + Sedasi ringan
(dimetane,dll)
Chlorpheniramine 4-8 4-6 +++ Sedasi ringan; tersedia
(chlortrimeton,dll) dalam komponen
perawatan flu
Derivat phenothiazine / +++
Promethazine 10-25 4-6 +++ Sedasi lanjut;
(phenergen,dll) antiemetik
Lain-lain
Cyproheptadine 4 + Sedasi menengah; juga
(periactin,dll) mengandung aktivitas
antiserotonin
ANTIHISTAMIN GENERASI KEDUA
Piperidine
Fexofenadine (allegra) 60 - Resiko rendah dari
aritmia
Lain-lain
Loratadine (claritin) 10 12 - Aksi yang lebih lanjut
Catirizine (Zyrtec) 5-10 -

Farmakologi
Antagonis Terhadap Histamin
AH1 menghambat efek histamin pada pembuluh darah, bronkus dan bermacam-macam otot
polos. Selain itu AH1 bermanfaat untuk mengobati reaksi hipersensitivitas atau keadaan lain
yang disertai pengelepasan histamin endogen berlebihan.

Otot Polos
Secara umum AH1 efektif menghambat kerja histamin pada otot polos (usus, bronkus).
Bronkokonstriksi akibat histamin dapat dihambat oleh AH1 pada percoabaan dengan marmot.

Permeabilitas kapiler
Peninggian permeabilitas kapiler dan udem akibat histamin, dapat dihambat dengan efektif
oleh AH1.
Reaksi anafilaksis dan alergi
Reaksi anafilaksis dan beberapa reaksi alergi refrakter terhadap pemberian AH 1. Efektivitas
AH1 melawan reaksi hipersensitivitas berbeda-beda, tergantung beratnya gejala akibat
histamin.

Histamin eksokrin
Efek perangsangan histamin terhadap sekresi cairan lambung tidak dapat dihambat oleh AH 1.
AH1 dapat mencegah asfiksi pada marmot akibat histamin, tetapi hewan ini mungkin mati
karena AH1 tidak mencegah perforasi lambung akibat hipersekresi cairan lambung. AH 1
dapat menghambat sekresi saliva dan sekresi kelenjar eksokrin lain akibat histamin.

Susunan Saraf Pusat


AH1 dapat merangsang maupun menghambat SSP. Efek Perangsangan yang kadang-kadang
terlihat dengan dosis AH1 biasanya ialah insomnia, gelisa, dan eksitasi. Efek perangsangan ini
juga dapat terjadi pada keracunan AH1. Dosis terapi AH1 umunya menyebabkan
penghambatan SSP dengan gejala misalnya kantuk, berkurangnya kewaspadaan dan waktu
reaksi yang lambat. Golongan etanolamin misalnya difenhidramin paling jelas menimbulkan
kantuk, akan tetapi kepekaan pasien berbeda-beda untuk masing-masing obat.
Antihistamin yang relatif baru misalnya terfenadin, astemizol, tidak atau sedikit menembus
sawar darah otak sehingga pada kebanyakan pasien biasanya tidak menyebabkan kantuk,
gangguan koordinasi atau efek lain pada SSP. Obat-obat tersebut digolongkan sebagai
antihistamin nonsedatif. Dalam golongan ini termasuk juga loratadin, akrivastin, mequitazin,
setirizin, yang data klinisnya masih terbatas. AH 1 juga efektif untuk mengobati mual dan
muntah akibat peradangan labirin atau sebab lain.

Anastesi Lokal
Beberapa AH1 bersifat anestik lokal dengan intensitas berbeda. AH1 yang baik sebagai
anastesi lokal ialah prometazin dan pirilamin. Akan tetapi untuk menimbulkan efek tersebut
dibutuhkan kadar yang beberapa kali lebih tinggi dari pada sebagai antihistamin.

Antikolinergenik
Banyak AH1 bersifat mirip atropin. Efek ini tidak memadai untuk terapi, tetapi efek
antikolinergik ini dapat timbul pada beberapa pasien berupa mulut kering, kesukaran miksi
dan impotensi. Terfenadin dan astemizol tidak berpengaruh terhadap reseptor muskarinik.

Sistem Kardiovaskular
Dalam dosis terapi, AH1 tidak memperlihatkan efek yang berarti pada sistem kardiovaskular.
Beberapa AH1 memperlihatkan sifat seperti kuinidin pada konduksi miokard berdasarkan
sifat anastetik lokalnya.

Farmakokinetik
Setelah pemberian oral atau parenteral, AH1 diabsorpsi secara baik. Efeknya timbul 15-30
menit dan minimal 1-2 jam. Lama kerja AH1 setelah pemberian dosis tunggal kira-kira 4-
6jam. Untuk gol. klorsiklizir 8-12 jam, Difenhidramin yang diberikan secara oral akan
mencapai kadar maksimal dalam darah setelah kira-kira 2jam berikutnya. Kadar tertinggi
terdapat pada paru-paru. Tempat utama biotransformasi AH1 adalah hati, tetapi dapat juga
pada paru-paru dan ginjal. AH1 diekskresi melalui urin setelah 24jam, terutama dalam bentuk
metabolitnya.
Efek samping
Pada dosis terapi, semua AH1 menimbulkan efek samping walaupun jarang bersifat serius
dan kadang-kadang hilang bila pengobatan diteruskan. Efek samping yang paling sering
adalah sedasi, yang justru menguntungkan bagi pasin yang dirawat di RS atau pasien yang
perlu banyak tidur.
Efek samping yang berhubungan dengan efek sentral AH 1 ialah vertigo, tinitus, lelah,
penat, inkoordinasi, penglihatan kabur, diplopia, euforia, gelisah, insimnia dan tremor. Efek
samping yang termasuk sering juga ditemukan ialah nafsu makan berkurang, mual, muntah,
keluhan pada epigastrium, konstipasi atau diare. Efek samping ini akan berkurang bila AH 1
diberikan sewaktu makan.
Efek samping yang mungkin timbul oleh AH1 ialah mulut kering, disuria, palpitasi,
hipotensi, sakit kepala, rasa berat dan lemah pada tangan. Insidens efek samping karena efek
antikolinergenik tersebut kurang pada pasien yang mendapat antihistamin nonsedatif.
AH1 bisa menimbulkan alergi pada pemberian oral, tetapi lebih sering terjadi akibat
penggunaan lokal berupa dermatitis alergik.Demam dan fotosentivitas juga pernah dilaporkan
terjadi. AH1 sangat jarang menimbulkan komplikasi berupa leukopenia dan agranulositosis.

Intoksikasi akut AH1


Keracunan akut AH1 terjadi karena obat golongan ini sering terdapat sebagai obat
persediaan rumah tangga. Pada anak, keracunan terjadi karena kecelakaan, sedangkan pada
orang dewasa akibat usaha bunuh diri. Dosis 20-30 tablet AH1 sudah bersifat letal bagi anak.
Efek sentral AH1 merupakan efek yang berbahaya. Pada anak kecil efek yang dominan
ialah perangsangan dengan manifestasi halusinasi, eksitasi, ataksia, inkoordinasi, atetosis dan
kejang. Kejang ini kadang-kadang disertai tremor dan pergerakan atetoid yang bersifat tonik-
klonik yang sukar dikontrol. Gejala lain mirip gejala keracunan atropin misalnya midriasis,
kemerahan dimuka dan sering timbul demam. Akhirnya terjadi koma dalam dengan kolaps
kardiorespiratoar yang disusul kematian dalam 2-18 jam. Pada orang dewasa, manifestasi
keracunan biasanya berupa depresi pada pemulaan, kemudian eksitasi dan akhirnya depresi
SSP lebih lanjut.

Pengobatan
Pengobatan diberikan secara simtomatik dan suportif karena tidak ada antidotum spesifik.
Depresi SSP oleh AH1 tidak sedalam yang ditimbulkan oleh barbiturat. Pernafasan biasanya
tidak mengalami gangguan yang berat dan tekanan darah dapat dipertahankan secara baik.
Bila terjadi gagal nafas, maka dilakukan nafas buatan, tindakan ini lebih baik daripada
memberikan analeptik yang justru akan mempermudah timbulnya konvulsi. Bila terjadi
konvulsi, maka diberikan tiopental atau diazepam.

Perhatian
Sopir atau pekerja yang memerlukan kewaspadaan yang menggunakan AH 1 harus
diperingatkan tentang kemungkinan timbulnya kantuk. Juga AH1 sebagai campuran pada
resep, harus digunakan dengan hati-hati karena efek AH 1 bersifat aditif dengan alkohol, obat
penenang atau hipnotik sedatif.

Penyakit Alergi
AH1 berguna untuk mengobati alergi tipe eksudatif akut mislnya pada polinosis dan
urtikaria.Sifatnya bersifat paliatif membatasi dan menghambat efek histamin yang dilepaskan
sewaktu reaksi antigen-antibodi terjadi. AH1 tidak berpengaruh terhadap itensitas reaksi
antigen-antibodi yang merupakan penyebab berbagai gangguan alergik. Keadaan ini dapat
diatasi hanya dengan menghindari alergen, desentitasi atau menekan reaksi tersebut dengan
kortikosteroid. AH1 tidak dapat melawan reaksi alergi akibat peranan autakoid lain. Asma
bronkial terutama disebabkan oleh SRS-A atau leukotrien sehingga AH 1 saja tidak efektif.
AH1 dapat mengatasi asma bronkial ringan bila diberikan sebagai profilaksis. Untuk asma
bronkial berat, aminofilin epinefrin, dan isoproterenol merupakan pilihan utama.Epinefrin
merupakan obat terpilih untuk mengatasi krisis alergi karena epinefrin : lebih efektoh
daripada AH1, efeknya lebih cepat, merupakan antagonis fisiologik dari histamin dan
autakoid lainnya.
AH1 dapat menghilangkan bersin, rinore dan gagal pada mata, hidung dan tenggorokan
pada pasien seasonal hay fever. AH1 efektif terhadap alergi yang disebabkan debu, tapi
kurang efektif bila jumlah debu banyak dan kontraknya lama, AH1 tidak efektif pada rinitis
vasomotor. Manfaat AH1 untuk mengobati batuk pada anak dengan asma diragukan karena
AH1 mengentalkan sekresi bronkus sehingga dapat menyulitkan ekspektorasi. Kadang-
kadang AH1 dapat mengatasi dermatitis kontak, dan gigitan serangga.

Antihistamin Penghambat Reseptor H2 (AH2)


Reseptor histamin H2 berperan dalam efek histamin terhadap sekresi cairan lambung,
perangsangan jantung serta relaksasi uterus tikus dan bronkus domba. Beberapa jaringan
seperti otot polos, pembuluh darah mempuntai kedua reseptor yaitu H1 dan H2.

Simetidin Dan Ranitidin


Farmakodinamik
Simetidin dan ranitidin menghambat reseptor H2 secara selektif dan reversibel. Perangsangan
H2 akan merangsang sekresi cairan lambung, sehingga pada pemberian simetidin atau
ranitidin sekresi cairan lambung dihambat. Pengaruh fisiologi simetidin dan ranitidin
terhadap reseptor H2 lainnya, tidak begitu penting. Walau tidak lengkap simetidin dan
renitidin dapat menghambat sekresi cairan lambung akibat perangsangan obat muskarinik
atau gastrin. Semitisin dan ranitidin mengurangi volume dan kadar ion hidrogen cairan
lambung. Penurunan sekresi asam lambung mengakibatkan perubahan pepsinogen menjadi
pepsin juga menurun.

Farmakokinetik
Biovailabilitas oral simetidin sekitar 70%. Ikatan protein plasmanya hanya 20%. Absorpsi
simetidin diberikan bersama atau segera setelah makan dengan maksud untuk
memperpanjang efek pada periode pasca makan. Absorpsi simetidin terutama terjadi pada
menit ke 60-90. Simetidin masuk kedalam SSP dan kadarnya dalam cairan spinal 10-20%
dari kadar serum. Sekitar 50-80% dari dosis IV dan 40% dari dosis oral simetidin diekskresi
dalam bentuk asal dalam urin. Masa paruh eliminasi sekitar 2jam.
Biovailabilitas ranitidin yang diberikan secara oral sekitar 50% dan meningkat pada
pasien penyakit hati.Masa paruhnya kira-kira 1,7-3 jam pada orang dewasa dan memanjang
pada orang tua dan pada pasien gagal ginjal. Pada pasien penyakit hati masa paruh ranitidin
juga memanjang meskipun tidak sebesar pada gagal ginjal. Kadar puncak plasma dicapai
dalam 1-3 jam setelah penggunaan 150 mg ranitidin secara oral dan yang terikat protein
plasma hanya 15%. Ranitidin dan metabolitnya diekskresi terutama melalui ginjal sisanya
melalui tinja. Sekitar 70% dari ranitidin yang diberikan IV dan 30% dari yang diberikan
secara oral diekskresi dalam urin dalam bentuk asal.

Efek Samping
Insidens efek samping kedua obat ini rendah dan umumnya berhubungan dengan
penghambatan terhadap reseptor H2. Beberapa efek samping lain tidak berhubungan dengan
penghambatan reseptor. Efek samping ini antara lain : nyeri kepala, pusing, malaise, mialgia,
mula, diare, konstipasi, ruam kulit, pruritus, kehilangan libido dan impoten.
Simetidin mengikat reseptor androgen dengan akibat disfungsi seksual dan ginekomastia.
Ranitidin tidak berefek antiandrogenik sehingga penggantian terapi dengan ranitidin mungkin
akan menghilangkan impotensi dan ginekomastia akibat simetidin. Simetidin IV akan
merangsang sekresi prolaktin, tetapi hal ini pernah pula dilaporkan setelah pemberian
simetidin kronik secara oral. Pengaruh ranitidin terhadap peninggian prolaktin ini kecil.

Interaksi Obat
Antasid dan metoklopramid mengurangi biovailabilitas oral simetidin sebanyak 20-30%.
Ketakonazol harus diberikan 2jam sebelum pemberian simetidin karena absorpsi ketakonazol
berkurang sekitar 50% bila diberikan bersama simetidin. Selain itu ketakonazol
membutuhkan pH lebih tinggi yang terjadi pada pasien yang juga mendapat AH 2
Simetidin terikat sitokrom P-450 sehingga menurunkan aktivitas enzim mikrosom hati,
jadi obat lain akan terakumulasi bila diberikan bersama simetidin. Obat yang metabolismenya
dipengaruhi simetidin adalah arfarin, karbamazepin, diazepam, propranolol, metaprolol dan
imipramin.
Ranitidin jarang berinteraksi dengan obat lain dibandingkan dengan simetidin akan tetapi
makin banyak obat dilaporkan berinteaksi dengan ranitidin yaitu nifedifin warfarin, teofilin,
dan metaprolol. Ranitidin dapat menghambat absorbsi diazepam dan dapat mengurangi kadar
plasmanya sejumlah 25%. Obat-obat ini diberikan dengan selang waktu minimal 1 jam sam a
dengan penggunaan ranitidin bersama abtasid atau antikolinergik.
Simetidin dan ranitidin cenderung menurunkan aliran darah hati sehingga akan
memperlambat bersihan obat lain. Simetidin dapata menghambat alkohol dehidrigenase
dalam mukosa lambung dan menyebabkan peningkatan kadar alkohol serum. Simetidin juga
mengganggu disposisi dan meningkatkan kadar lidokoin serta meningkatkan antagonis
kalsium dalam serum. Simetidin dapat menyebabkan berbagai gangguan SSP terutama pada
pasien usia lanjut atau dengan penyakit hati atau ginjal. Gejala ganggua slurredspeech,
somnolen, letargi, gelisah, bingung, disorentasi, agitasi, halusinasi, dan kejang. Gejala seperti
demensia dapat timbul pada penggunaan simetidin bersama obat psikotropik atau sebagai
efek samping simetidin. Ranitidin menyebabkan gangguan SSP ringan karena sukarnya
melewati sawar darah otak.
Efek samping simetidin yang jarang terjadi adalah trombositopenia, granulositopenia,
toksisitas terhadap ginajal atau hati. Pemberian simetidin dan ranitidin IV sesekali
menyebabkan bradikardi dan efek kardiotoksik lain.

Indikasi
Simetidin dan ranitidin diindikasikan untuk tukak peptik. Penghambatan 50% sekresi
asam lambung dicapai bila kadar simetidin plasma 800ng/ml atau kadar renitidin plasma 100
ng/ml. Tetapi yang lebih penting adalah efek penghambatannya selama 24jam. Simetidin
ranitidin atau antagonis reseptor H2 mempercepat penyembuhan tungkak duodenum. Pada
sebagian besar pasien pemberian obat-obatan tersebut sebelum tidur dapat mencegah
kekambuhan tukak duodeni bila obat diberikan sebagai terapi pemeliharaan.
AH2 sama efektif dengan pengobatan intensif dengan antasid untuk penyembuhan awal
tukak lambung dan duodenum. Untuk refluks esofagitis seperti halnya dengan antasid
antagonis reseptor H2 menghilangkan gejalanya tetapi tidak menyembuhkan lesi.
Terhadap tukak peptikem yang diinduksi oleh obat AINS, AH2 dapat mempercepat
penyembuhan tetapi tidak dapat mencegah terbentuknya tukak. Pada pasien yang sedang
mendapat AINS antagonis reseptor H2 dapat mencegah kekambuhan tukak duodenum tetapi
tidak bermanfaat untuk tukak lambung.
Simetidin dan ranitidin talah digunakan dalam penelitian untuk stress ulcer dan
perdarahan, dan ternyata obat-obat tersebut lebih bermanfaat untuk profilaksis daripada untuk
pengobatan. AH2 juga bermanfaat untuk hipersekresi asam lambung pada sindrom Zollinger-
Ellison . Dalam hal in i mungkin lebih baik digunakan ranitidin untuk mengurangi
kemungkinan timbulnya efek samping obat akibat besarnya dosis simetidin yang diperlukan.
Ranitidin juga lebih baik dari simetidin untuk pasien yang mendapat banyak obat, pasien
yang refrakter terhadap simetidin, pasien yang tidak tahan efek samping simetidin dan pada
pasien usia lanjut.

Famotidin
Farmakodinamik
Famotidin merupakan AH2 sehingga dapat menghambat sekresi asam lambungpada keadaan
basal, malam dan akiabt distimulasi oleh pentagastrin. Famotidin tiga kali lebih poten
daripada ranitidin dan 20 kali lebih poten daripada simetidin.

Indikasi
Efektivitas obat ini untuk tukak duodenum dan tukak lambung setelah 8 minggu pengobatan
sebanding dengan ranitidin dan simetidin. Pada penelitian selama 6 bula famotidin juga
mengurangi kekambuhan tukak duodenum yang secara klinis bermakna. Famotidin kira-kira
sama efektif dengan AH2 lainnya pada pasien sindrom Zollinger-Ellison meskipun untuk
keadaan ini omeprazol merupakan obat terpilih. Efektivitas famotidin untuk profilaksis tukak
lambung, refluks esofagitis dan pencegahan tukak stres pada saat ini sedang diteliti.

Efek Samping
Efek samping biasanya ringan dan jarng terjadi misalnya sakit kepala, pusing, konstipasi, dan
diare. Seperti halnya dengan ranitidin, famotidin nampaknya lebih baik daripada simetidin
karena belum pernah dilaporkan terjadinya efek antiandrogenik. Famotidin harus digunakan
hati-hati pada ibu menyusui karena obat ini belum diketahui apakah obat ini diekskresi
kedalam air susu ibu.

Interaksi Obat
Sampai saat ini interaksi yang bermakna dengan obat lain belum belum dilaporkan meskipun
baru diteliti terhadap sejumlah kecil obat. Famotidin tidak mengganggu oksidasi diazepam
feofilin, warfarin atau fenitoin di hati. Ketokonazol membutuhkan pH asam untuk bekerja
sehingga kurang efektif bial diberikan bersama AH2.

Farmakokinetik
Famotidin mencapai kadar puncak diplasma kira-kira dalam 2jam setelah penggunaan secara
oral. masa paruh eliminasi 3-8jam dan biovaibilitas 40-50%, Metabolit utama adalah
famotidin-S-oksida. Setelah dosis oral tunggal sekitar 25% dari dosis ditemukan dalam
bentuk asal di urin. Pada pasien gagal ginjal berat masa paruh eliminasi dapat melebihi 20
jam.

Intravena
Pada pasien hipersekresi asam lambung tertentu atau pada pasien yang tidak dapat diberikan
sediaan oral, faotidin diberikan intravena 20 mg tiap 12 jam. Dosis obat untuk pasien harus
ditritasi berdasarkan jumlah asam lambung yang disekresi.

Nizatidin
Farmakodinamik
Potensi nitazidin dalam menghambat sekresi asam lambung kurang lebih sama dengan
ranitidin.

Indikasi
Efektvitas untuk pengobatan gangguan asam lambung sebanding dengan ranitidin dan
simetidin. Dengan pemberian satu atau dua kali sehari biasanya dapat menyembuhkan tukak
duodeni dalam 8 minggu dan dengan pemberian satu kali sehari nizatidin mencegah
kekambuhan. Pada refluks esofagitis, sindrom Zollinger-Ellison dan gangguan asam lambung
lainnyan nizatidin siperkirakan sama efektif dengan ranitidin meskipun masih diperlukan
pembuktian lanjut.

Efek Samping
Nizatidin umumnya jarang menimbulkan efek smaping. Efek samping ringan saluran cerna
dapat terjadi. Peningkatan kadar asam urat dan transaminase serum ditemukan pada beberapa
pasien dan nampaknya tidak menimbulkan gejala klinik yang bermakna. Pada tikus nizatidin
dosis besar berefek antiandrogrnik, tetapi efek tersebut belum terlihat pada uji klinik.
Nizatidin dapat menghambat alkohol dehidrogenase pada mukosa lambung dan menyebabkan
kadar alkohol yang lebih tinggi dalam serum. Dalam dosis ekuivalen simetidin, nizatidin
tidak menghambat enzim mikrosom hati yang metabolisme obat. Pada sukarelawan sehat
tidak dilaporkan terjadinya interaksi obat bila nitazidin diberikan bersama feofilin, lidokain,
warfarin, klordiazepoksid, diazepam atau lorezepam. Ketakonazol yang membetuhkan pH
asam menjadi kurang efektiftif bila pH lambung lebih tinggi pada pasien yang mendapat AH2.

Farmakokinetik
Biovailabilitas oral nizatidin lebih dari 90% dan tidak dipengaruhi oleh makanan atau
antikolinergik. Bersihan menurun pada pasien uremik dan usia lanjut. Kadar puncak dalam
serum setelah pemberian oral dicapai dalam 1jam, masa paruh plasma sekitar 2 1/2 jam dan
lama kerja sampai dengan 10 jam. Nizatidin diekskresi terutama melalui ginjal 90% dari
dosisi yang digunakann ditemukan di urin dalam 16 jam.

PEMILIHAN SEDIAAN
Banyak golongan AH1 yang digunakan dalam terapi tetapi efektivitasnya tidak banyak
berbeda, perbedaan antara jenis obat hanya dalam hal potensi, dosis, efek samping dan jenis
sediaan yang ada. Sebaiknya dipilih AH1 yang efek terapinya lebih besar dengan efek
samping seminimal mungkin, tetapi belum ada AH1 yang ideal seperti ini. Selain ditentukan
berdasarkan potensi terapeutik dan beratnya efek samping pemilihan sediaan perlu
dipertimbangkan berdasarkan adanya variasi antar individu. Karena itu perlu dicoba dan
diperhatikan efek yang menguntungkan dan efek samping apa yang timbul akibat pemberian
AH1.
Untuk pegangan dalam terapi, disajikan penggolongan AH1 dengan lama kerja. Walaupun
antagonis reseptor H2 lebih kuat menghambat sekresi asam lambung daripada terapi intensif
dengan antasida pada pasien esofagitis refluks, tukak lambung, tukak duodeni atau
pencegahan tukak lambung akibat stress. Antagonis reseptor H 2 disediakan sebagai obat
alternatif untuk pasien yang tidak memberikan respons baik terhadap pengobatan antasida
jangka panjang.

Anda mungkin juga menyukai