Anda di halaman 1dari 7

OCU

Adat Meminang Dalam Masyarakat Kampar Di wilayah Kabupaten Kampar


terdapat kebiasaan sebelum melakukan peminangan suatu istilah ambai-ambai artinya
pihak laki-laki atau keluarga karib kerabat datang ke rumah pihak perempuan sebagai
jembatan asok setelah didahului dengan kata-kata berbasa Peminangan adalah : kedua
belah pihak memberitahukan niat dan maksud mereka kepada orang tua. basi dengan
petatah petitih yang dapat dimengerti oleh kedua belah pihak, yang wujudnya
menanyakan tentang keberadaan sang gadis yang akan dipinang, apakah sudah
bertunangan, atau belum, biasanya dikala usia yang dipinang sudah 15 tahun keatas
(umur ini dalam masyarakat Kampar sudah layak untuk dilamar atau dipinang). Artinya
penjajakan yang dilakukan oleh pihak lakilaki kepada pihak perempuan, biasanya
utusan itu datang menemui keluarga pihak perempuan apakah melalui ayah atau ibu
atau mamak atau siapa saja yang ada hubungan keluarga dengan sang gadis yang
hendak dipinang; Menanyakan apakah anak atau cucunya telah ada ikatan pertunangan
dengan orang lain jika nyatakan tidak, maka barulah utusan ini menyampaikan bahwa
ada orang berkehendak untuk ke rumahnya.
Biasanya jika ada tanggapan dari pihak keluarga perempuan, ia akan
menjanjikan untuk diberi waktu untuk mengumpulkan orang-orang yang berpatut
(dalam hal ini keluarga besar) dengan istilah mengumpulkan orang ibarat serai
berumpun, ayam berinduk, pihak keluarga perempuan, mengundang keluarga berpatut
tadi dalam membicarakan tentang ambai-ambai tadi.
Setelah undangan datang sang ayah menyampaikan maksud undangan, yang
wujudnya menyampaikan bahwa kita punya sekuntum mawar dan sesuai dengan ambaiambai tadi, dijelaskan ada pula kembang yang berkehendak mau hinggap. Para orang
berpatut menanyakan siapa gerangan yang hendak hinggap tersebut. Setelah dijelaskan
oleh ayah keluarga perempuan maka hadirin yang berpatut, menanyakan dan saling
akan mengenalkan siapa yang akan datang, keturunan siapa dia, apa sukunya, apakah
muslim yang taat atau tidak, dapatkah dapatkah calon laki-laki yang meminang itu bisa
membawa keluarga jadi imam dalam shalat.
Ada beberapa kriteria yang secara adat dijadikan standar dalam menerima
pinangan tersebut yakni:

1. Apakah calon pelamar shalat


2. Siapa-siapa silsilah keturunannya
3. Apa sukunya, termasuk hubungan darah.
Tiga hal ini sangat diperhatikan dan dijadikan bahan pertimbangan untuk
langkah-langkah selanjutnya, apakah akan dapat menerima kedatangan pihak yang
melamar atau tidak. Pada point 1 bagi masyarakat adat di Air Tiris menjadi ukuran yang
utama, dalam adat berpantang menerima menantu bagi calon yang tidak shalat, sebab
terdapat suatu prinsip yang dipertahankan dalam adat yakni; adat bersendi syara,
syara bersendi kitabullah, syara mengata, adat memakai artinya adat selalu dikaitkan
dengan agama atau syara. Jadi bagi yang tidak beragama Islam, sudah barang tentu
akan ditolak pinangannya oleh orang-orang yang berpatut dalam keluarga tadi.
Tetapi sebaliknya hadirin akan sangat senang, kalau calon yang akan melamar
itu seorang yang shalat apatah lagi kalau dapat menjadi imam shalat, berarti pada
tingkat penyaringan pertama (I) sudah dapat dilewati. Pembicaraan dilanjutkan pada
kriteria kedua (II) yakni silsilah keturunan yakni siapa ayah ibunya calon yang akan
meminang, siapa datuknya bahkan sampai silsilah teratas yang masih dikenal.
Seandainya terdapat diantara silsilah keluarga itu cacat menurut adat, atau
pernah melanggar aturan agama terutama kalau terdapat salah seorang dari silsilah itu
yang pernah berzina, maka hal itu menjadi aib kotor dan dapat dipastikan untuk
tidak menerimanya, sebab dalam masyarakat adat masih tertanam dengan kuat,
warisan kejahatan artinya sifat yang sama akan terulang dalam keluarganya kelak
sebagai warisan ATAVISME. Kepercayaan seperti ini dalam masyarakat masih terlalu
kental, sehingga setiap ada kejadian yang buruk dan secara kebetulan ada
persamaannya, maka akan selalu dikatakan Kemana lagi cucuran atap akan pergi,
tetap ke pelimbahannya juga. Artinya apa yang pernah dilakukan oleh leluhurnya
dahulu, akan terulang kembali pada tingkat anak cucunya.
Oleh karena itu apabila terdapat pada leluhur suatu kecacatan dalam perilaku,
tetap dijadikan alasan untuk tidak dapat menerima kedatangan pihak lelaki dalam
proses peminangan selanjutnya. Akhirnya yang sangat diperhatikan dalam kriteria
ketiga yakni sesuku. Sebagaimana telah disinggung di atas (dalam pengertian adat)
bahwa sesuku dianggap seperti hubungan darah, orang-orang yang sesuku dalam adat,
sudah merupakan hubungan kerabat yang sangat dekat sekali, bahkan dalam

masyarakat adat dalam sesuku itu tidak akan segan-segan apabila meminta makan,
minum, karena dianggap seperti meminta kepada adik atau kakak kandung sendiri.
Penjagaan sepesukuan ini sangat ketat dalam adat bahkan apabila terjadi perkawinan
diantara sesuku ini, harus dipisah, atau dibuang dalam kampung atau dikenakan
denda adat yakni seekor kerbau. Kerbau tersebut disembelih dan
dimasak oleh pasangan suami isteri yang melangsungkan perkawinan sesuku, kemudian
diundanglah masyarakat untuk makan bersama. Dalam acara itu tokoh adat
menyampaikan kepada masyarakat bahwa si Polan membayar denda adat yang
disebabkan kawin sesuku tersebut.
Barulah pasangan itu dapat diterima berkorong kampung sesama masyarakat
lain. Setelah pertimbangan tersebut dilakukan, dan apabila ternyata ada hal-hal yang
mengganjal pada salah satu dari ketiga kriteria yang disebut terdapat pada calon
peminang, maka pertemuan itu tidak dapat menyetujui. Tetapi sebaliknya manakala
tidak ada hal yang melintangi syaratsyarat tersebut, maka proses peminangan
dilanjutkan dengan memberitahukan pada utusan untuk dipersilahkan datang pada hari
tertentu yang sudah disepakati kedua belah pihak.
PROSES MEMINANG
Setelah diadakan pertemuan awal menyimpulkan ibarat pepatah Ibarat ayam
berinduk dan ibarat serai berumpun. Maka dilanjutkan proses peminangan
yang biasanya dilakukan oleh ibu-ibu orang tua kampung (yang ditokohkan, dituakan)
dalam keluarga untuk pergi bersamasama ke rumah calon yang akan dipinang dengan
membawa tepak sirih yang berisikan sirih, gambir, kapur, pinang, tembakau, sebagai
pengantar pembuka kata. Setelah mendapat informasi dari sang gadis dan keluarga
maka dilakukan peminangan yang dilakukan oleh tokoh-tokoh dari ibu-ibu pihak lakilaki yang datang ke rumah pihak perempuan dengan membawa seperangkat tepak yang
sudah dilengkapi isinya tadi.
Pihak perempuan (yang akan dipinang) mempersilahkan tamunya untuk naik ke
rumah dan sudah disengaja untuk menunggunya sesuai dengan jam kedatangan yang
sudah ditentukan sebelumnya dan mempersilahkan duduk di tempat yang telah
disediakan secara adat dengan ketentuan, yang meminang di bendul sebelah tepi bagian
sebelah halaman, sedangkan pihak yang menanti (dipinang), di bendul sebelah tengah.

Tidak diperbolehkan salah tempat duduk. Setelah duduk maka pihak yang datang
menjelaskan maksud kedatangan diiringi dengan kata inilah sirih kami lihatlah isinya
dan makanlah, kata awal ini dapat dimulai oleh pihak yang menanti (pihak calon yang
akan dilamar) tentu saja menanyakan maksud kedatangan yakni untuk melamar /
meminang anak gadis yang ada di rumah itu dengan menjelaskan identitas seperti nama,
sekolah, umur, dan lain-lain yang pada wujudnya gadis mana yang akan dipinang. Hal
ini dimaksudkan untuk membedakan saudarasaudaranya perempuan yang lain. Agar
tidak salah pinang, manakala pihak perempuan sudah setuju biasanya tetap keluar katakata Bagi pihak kami yang menanti kurang lebar telapak tangan, niru kami tadahkan,
jawaban seperti itu sudah sangat dimengerti oleh pihak yang datang atau pihak laki-laki,
bahwa lamarannya sudah diterima. Menurut kebiasaan yang sudah membudaya dalam
adat dan berurat berakar bahkan sudah menjadi kepercayaan masyarakat dalam
pertunangan biasanya dilakukan pada bulan purnama, karena selagi terang bulan itu
dianggap memiliki langkah-langkah yang akan membawa banyak berkah atau rezeki
bagi calon suami isteri.10 Pertunangan biasanya memakan waktu yang bervariasi lama,
mulai dari 6 bulan sampai 2 tahun.
Semasa pertunangan berlaku beberapa ketentuan bagi kedua belah pihak yang
amat mengikat, antara lain keduanya sudah tidak dibolehkan melirik pria atau wanita
lainnya, bepergian dengan pria atau wanita lain kecuali kalau ada muhrimnya. Pihak
wanita pada masa-masa tertentu (akan memasuki bulan Ramadhan atau di Hari Raya)
datang menjelang (berkunjung) ke rumah calon mertua sambil membawa makanan adat
untuk calon mertua, sekalipun calon suaminya tidak ada di kampung. Selanjutnya
sebagai suatu bukti adanya tali
pertunangan dibuatlah suatu ikatan atau tanda-tanda Ibarat tampuk dapat dijinjing dan
ibarat tali dapat dipegang. Secara adat tanda itu berupa gelang kesat, tanda memiliki
arti yang sangat kuat dalam masyarakat adat, apabila terdapat pelanggaran atau
pembatalan baik dari pihak meminang atau pihak yang dipinang, maka tanda gelang
kesat ini imbalan atau tebusannya adalah seekor kerbau. Namun apabila didapati kata
sepakat disebabkan terlalu beratnya denda itu dan dirasa tidak terbayar, atas
perundingan ninik mamak kedua belah pihak dapat mengambil kebijakan lain. Jika
tidak penuh keatas, penuh kebawah, artinya apabila tidak dapat memenuhi seekor
kerbau dapat diganti dengan seekor

kambing.
Pertunangan adalah : berupa perjanjian adat pria dan wanita dengan maksud
melanjutkan ke tingkat perkawinan, setelah lamaran disampaikan oleh pihak pria.
Di Kabupaten Kampar dari zaman ninik mamak terdahulu, apa bila ada saudara
sekampung yang hendak menikah, maka keluarga dari mempelai yang hendak menikah
harus memanggil para tetangga kampung untuk membantu kegiatan memasak yang
dilakukan 3 hari ataupun sehari sebelum acara resepsi pernikahan berlangsung (hitungan
ini tergantung dari keluarga mempelai), karena masyarakat kampar sejak dulu dikenal
dengan cara bergotong royong ini pula, maka di kampar jarang sekali yang melakukan
"catering" untuk acara pernikahan
Berikut beberapa ritual dalam acara adat (budaya) resepsi pernikahan di
Kabupaten kampar (ocu)

Para ibu-ibu dan tetangga dekat sedang memasak untuk acara Resepsi
Pernikahan,

biasanya

diadakan

di

rumah

mempelai

perempuan.

Di Kabupaten Kampar dari zaman ninik mamak terdahulu, apa bila ada saudara
sekampung yang hendak menikah, maka keluarga dari mempelai yang hendak menikah
harus memanggil para tetangga kampung untuk membantu kegiatan memasak yang
dilakukan 3 hari ataupun sehari sebelum acara resepsi pernikahan berlangsung (hitungan
ini tergantung dari keluarga mempelai), karena masyarakat kampar sejak dulu dikenal
dengan cara bergotong royong ini pula, maka di kampar jarang sekali yang melakukan
"catering" untuk acara pernikahan.

Acara Shalawatan(Badiqiu)

Badiqiu merupakan suatu acara Budaya sakral yang dilakukan oleh para tokoh-tokoh
dan sesepuh adat pada malam hari sebelum acara resepsi pernikahan dilakukan, agar
acara pernikahan ini berlangsung dengan hikmat dan keluarga yang baru menjadi
keluarga yang utuh hingga akhir hayat.

Acara Pengantaran Pihak Lelaki ke rumah Pihak Perempuan (Ba'aghak)

Dengan dentuman Rebana dari para tokoh adat ini, menambah kehikmatan nilai budaya
yang sakral pada acara pengantaran Pihak Lelaki ke rumah Pihak Perempuan, biasanya
shalawatan selalu di kumandang kan hingga akhirnya Pihak Lelaki sampai kerumah
Pihak Perempuan

Akhirnya Mempelai Lelaki sampai juga ke rumah Mempelai Perempuan, dan mereka
langsung dipertemukan kemudian di persandingkan.

Acara Pengantaran Pihak Lelaki dengan membawa Hantaran (Jambau)

Seperti adat di daerah lainnya, hantaran juga berlaku di kabupaten kampar, tetapi tidak
terlalu mengikat, "jika mempelai lelaki tidak mampu untuk memberikanhantaran, maka
ini tidak di wajibkan untuk membawa hantaran (Jambau), ini bisa kita temui di beberapa
daerah saja di kabupaten kampar.

Anda mungkin juga menyukai