@hak cipta
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Seiring perkembangan zaman dan kemajuan teknologi berbagai bentuk kejahatanpun
semakin meningkat terjadi di lingkungan masyarakat. Korban dari kejahatan itu sendiri selain
selain orang dewasa tidak jarang anak kecilpun ikut menjadi korban kejahatan.
Korban kejahatan adalah mereka atau seseorang yang mengalami penderitaan fisik,
mental, dan/atau kerugian ekonomi yang diakibatkan oleh suatu tindak pidana/kejahatan.
Namun, yang sering menjadi permasalahannya adalah bahwa dimana masih banyak kasus
kejahatan yang mungkin tidak pernah tersentuh proses hukum untuk diproses di persidangan,
salah satu faktornya adalah tidak adanya satupun saksi, korban dan/atau pelapor yang berani
mengungkapkan kesaksiannya, sementara alat bukti yang didapat oleh penyidik sangat kurang
memadai, sehingga penyidikpun tidak bisa memproses lebih lanjut suatu perkara pidana.
Berbagai bentuk kekerasan, ancaman kekerasan atau intimidasi yang diterima korban
menjadi alasan utama yang membuat nyali korban maupun saksi kejahatan menciut untuk
terlibat dan memberikan kesaksiannya atas suatu tindak pidana, bahkan tidak jarang orang yang
melaporkan suatu tindak pidana justru dilaporkan kembali telah melakukan pencemaran nama
baik orang yang dilaporkan melakukan kejahatan.
Indonesia sebagai Negara hukum yang wajib berdasarkan Pancasila dan UUD Negara
Republik Indonesia Tahun 1945 wajib menjunjung tinggi hak asasi manusia dan menjamin hak
hak warga Negara dalam kesamaan kedudukan di dalam hukum dan pemerintahan. Begitu juga
dengan seseorang yang sedang berperan menjadi saksi dan/atau korban sangat perlu
mendapatkan perlindungan.
Pada perkembangannya setelah disahkannya Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006
tentang Perlindungan Saksi dan Korban pada tanggal 11 Agustus 2006 perlindungan terhadap
korban dan saksipun sudah mulai mendapatkan perhatian khusus, salah satu upaya yang
dilakukan berdasarkan ketentuan dalam Undang-undang tersebut adalah dengan dibentuknya
sebuah lembaga mandiri yang bernama Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK), yang
nantinya akan memberikan perlindungan bagi saksi dan korban selama proses peradilan
berlangsung dengan bentuk-bentuk perlindungan sebagaimana yang diatur di dalam undangundang tersebut.
Namun dalam kenyataannya Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban masih belum bisa
efektif dalam menjalankan tugasnya, yaitu terkendala masih minimnya pemahaman masyarakat
mengenai hak-hak saksi dan korban karena disebabkan oleh masih kurangnya akses informasi
yang bisa didapatkan oleh masyarakat mengenai tugas atau fungsi dari pada LPSK dalam
memberikan perlindungan, yang sangat merasakan hal tersebut adalah mayoritas masyarakat
yang berada di daerah-daerah di luar ibukota Jakarta atau pulau Jawa yang belum terjangkau
oleh LPSK. Selain itu juga dipengaruhi oleh masih minimnya sosialisasi terkait keberadaan LPSK
itu sendiri.
Berdasarkan hal tersebut di atas dan untuk mengkaji lebih dalam mengenai peran
penting keberadaan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban dalam memberikan pelayanan
perlindungan khususnya terhadap korban kejahatan, maka Penulis merasa tertarik untuk
mengangakat perihal pembahasan dalam disiplin ilmu viktimologi dalam sebuah makalah
dengan judul PELAYANAN TERHADAP KORBAN KEJAHATAN OLEH LEMBAGA
PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN (LPSK) BERDASARKAN UNDANGUNDANG NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN
KORBAN
B. Rumusan Masalah
Dilandasi latar belakang masalah tersebut di atas serta agar tidak terjadi kerancuan
dalam pembahasan makalah nantinya, maka penulis membatasi permasalahan dengan
rumusannya yaitu:
1.
Bagaimanakah Peranan Penting dan Tugas Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK)
Dalam Pelayanannya Terhadap Korban Kejahatan ?
2. Apakah Kendala-Kendala Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) Dalam Menjalankan
Tugas Pelayanan Terhadap Korban Kejahatan ?
C. Tujuan Penulisan
1.
Untuk mendeskripsikan peranan penting dan tugas Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban
(LPSK) dalam pelayanannya terhadap korban kejahatan.
2. Untuk mengetahui kendala-kendala Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) dalam
menjalankan tugas pelayanan terhadap korban kejahatan.
D. Manfaat Penulisan
1.
Secara teoritis berguna untuk menambah wawasan mengenai sejauh mana peranan penting dan
tugas dari Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) serta kendala-kendala yang dialami
dalam memberikan pelayanan terhadap korban kejahatan.
2. Secara praktis penulisan ini diharapkan akan dapat bermanfaat bagi para Pelajar, Mahasiswa,
Pengajar, Pemerintah pada khususnya serta bagi masyarakat pada umumnya untuk mengetahui
peran dan tugas serta kendala-kendala yang dialami Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban
(LPSK) dalam eksistensinya memberikan pelayanan terhadap korban kejahatan, sehingga
dengan pemahaman yang baik dari masyarakat diharapkan dapat memanfaatkan semaksimal
mungkin keberadaan dari LPSK itu sendiri.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Peranan Penting dan Tugas Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK)
Dalam Pelayanannya Terhadap Korban Kejahatan
1.
Perlindungan
Saksi
dan
Korban,
dimana
LPSK
ditujukan
untuk
memperjuangkan
Peraturan Perundang-undangan
d.
Kontrol masyarakat
e.
karena
itu
sangat
diperlukannya
pengakuan
atas
keberadaan
Lembaga
Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) itu sendiri didalam masyarakat untuk menyokong
eksistensi LPSK itu sendiri dalam memberikan pelayanan yang baik khususnya terhadap korban
kejahatana dan masyarakat pada umumnya. Sehingga korban atau masyarakat dapat merasakan
sepenuhnya pengayoman saat berada dalam suatu proses peradilan.
2. Tugas Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK)
Secara umum berdasarkan Pasal 12 UU No 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi
dan Korban merumuskan bahwa LPSK bertanggung jawab untuk menangani pemberian
perlindungan dan bantuan pada saksi dan/atau korban berdasarkan tugas dan kewenangan
sebagaimana diatur dalam undang-undang ini. Hal tersebut adalah sebagai bentuk penegakan
dari pada asas-asas yang melandasi perlindungan bagi korban kejahatan itu sendiri.
Secara garis besar Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban memiliki tugas-tugas yang
harus dilaksanakan dalam pelayanannya terhadap korban kejahatan sebagaiaman yang telah
diamanatkan dalam UU No 13 Tahun 2006, diantaranya adalah :
a.
kepada
korban
dalam
semua
tahap
proses
peradilan
pidana
dalam
diajukan sebagaiamana yang diperintahkan dalam Pasal 29 huruf b UU Perlindungan Saksi dan
KorbanLPSK segera melakukan pemeriksaan terhadap permohonan sebagaiamana dimaksud
pada huruf a . Kata segera dalam pasal tersebut jelaslah bermakna bahwa LPSK harus secepat
mungkin melakukan pemeriksaan terhadap permohonan perlindungan yang diajukan oleh
korban kejahatan, tujuannya adalah agar berkas permohonan tersebut tidak terbengkalai begitu
saja, dan sebagai bentuk penunjukkan kualitas kinerja LPSK itu sendiri dalam menjalankan
tugasnya, serta yang tidak kalah pentingnya adalah agar korban dengan secepatnya dapat
mengetahui apakah permohonannya diterima atau tidak. Jika permohonannya diterima maka si
korbanpun dengan segera akan mendapatkan perlindungan hukum di bawah naungan Lembaga
Perlindungan Saksi dan Korban. Sehingga hal tersebut menunjukkan adanya suatu kepastian
hukum yang jelas bagi korban dalam upayanya mendapatkan pelayanan dari LPSK, yaitu sebagai
bentuk penjelmaan dari pada asas kepastian hukum.
c.
Perjanjian perlindungan LPSK terhadap saksi dan/atau korban tindak pidana sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 5 ayat (2) diberikan dengan mempertimbangkan syarat sebagai berikut :
a. Sifat pentingnya keterangan saksi dan/atau korban.
b. Tingkat ancaman yang membahayakan saksi dan/atau korban.
c. Hasil analisis tim medis / psikologi terhadap saksi dan/atau korban.
d. Rekam jejak kejahatan yang pernah dilakukan oleh saksi dan/atau korban.
d.
adalah
pemberian
ganti
kerugian
oleh
pelaku
sebagai
bentuk
pertanggungjawabannya atas apa yang telah dilakukannya terhadap korban. Sedangkan yang
dimaksud dengan hak atas kompensasi adalah hak atas pemberian ganti kerugian oleh pihak
pemerintah karena pihak pelaku tidak mampu memberikan restitusi. Pemberian ganti kerugian
oleh pemerintah ini bukan karena pemerintah bersalah akan tetapi adalah untuk pengembangan
kebenaran, keadilan dan kesejahteraan rakyat.
e.
Saksi dan/atau korban meminta agar perlindungan terhadapnya dihentikan dalam hal
permohonan diajukan atas inisiatif sendiri
b. Atas permintaan pejabat yang berwenang dalam hal permintaan perlindungan terhadap saksi
dan/atau korban berdasarkan atas permintaan pejabat yang bersangkutan
c. Saksi dan/atau korban melanggar ketentuan sebagaimana tertulis dalam perjanjian
d. LPSK berpendapat bahwa saksi dan/atau korban tidak lagi memerlukan perlindungan
berdasarkan bukti-bukti yang meyakinkan.
B. Kendala-Kendala Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) Dalam
Menjalankan Tugas Pelayanan Terhadap Korban Kejahatan
Dari beberapa tugas yang diemban oleh Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban
sebagai lembaga yang mandiri dan bertanggung jawab dalam memberikan perlindungan dan
bantuan sebagai bentuk pelayanan korban kejahatan masih terdapat kendala-kendala yang
dialami oleh LPSK agar pemberian perlindungan tersebut dapat berlangsung dengan mulus dan
baik, diantara kendala-kendala tersebut adalah seperti :
1. LPSK mengalami kesulitan dalam mendapatkan kesediaan dari korban kejahatan/saksi korban
untuk masuk kedalam program perlindungan yang disediakan oleh LPSK, karena terkendala
dalam ketersediaan dari korban itu sendiri untuk memenuhi syarat-syarat standar yang telah
ditetapkan dalam UU Perlindungan Saksi dan Korban.
2. Terkendala karena kurangnya ketersediaan anggaran atau dana perlindungan korban yang
tersedia dan sumber daya manusia yang ada di LPSK itu sendiri, sehingga mempengaruhi
profesionalitas LPSK dalam menjalankan tugasnya sebagai suatu lembaga yang dapat dikatakan
masih baru terbentuk.
3.
Masalah kelembagaan
LPSK mengalami kendala dalam penempatan cabang/perwakilan LPSK itu sendiri di di luar
ibukota Negara Indonesia walaupun undang-undang sudah memberikan keleluasaan bagi LPSK
untuk membentuk perwakilannya di daerah lainnya jika hal tersebut sesuai dengan kebutuhan
dari LPSK, yaitu masih minimnya keberadaan cabang dari Lembaga Perlindungan Saksi dan
Korban di daerah-daerah wilayah Negara Indonesia .
4.
BAB III
PENUTUP
A. Simpulan
Berdasarkan uraian-uraian pada bab pembahasan sebagai jawaban atas permasalahan yang
timbul dalam bab pendahuluan makalah ini, maka dapatlah ditarik kesimpulan-kesimpulan
sebagai berikut.
1. Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) memiliki peranan yang sangat penting dalam
memberikan perlindungan sepenuhnya kepada korban kejahatan beserta keluarganya selama
proses peradilan berlangsung sebagai suatu bentuk pelayanan yang diberikan kepada korban
kejahatan.
Kemudian yang menjadi tugas daripada LPSK dalam memberikan pelayanan terhadap korban
kejahatan diantaranya adalah :
a.
d.
e.
2. Beberapa kendala yang dialami oleh Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) dalam
menjalankan tugas pelayanan perlindungan terhadap korban kejahatan, diantaranya adalah :
a.
Kesulitan dalam mendapatkan kesediaan dari korban kejahatan untuk masuk kedalam program
perlindungan yang disediakan oleh LPSK
b. Kurangnya ketersediaan anggaran atau dana dalam upaya pelayanan perlindungan terhadap
korban kejahatan dan sumber daya manusia
c.
Kendala dalam penempatan cabang/perwakilan LPSK itu sendiri di di luar ibukota Negara
Indonesia
d.
B. Saran
Memperhatikan kesimpulan tersebut di atas serta dengan adanya kesempatan bagi penulis
dalam penulisan ini, maka penulis mencoba memberikan saran-saran yang kemungkinan ada
gunanya bagi penulis sendiri, para pembaca umumnya, maupun Instansi Pemerintah terkait
pada khususnya. Adapun saran-saran yang penulis sampaikan adalah sebagai berikut.
1.
Pemerintah Negara Indonesia diharapkan dapat memberikan perhatian yang lebih lagi terhadap
pentingnya keberadaan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK), yaitu dengan
memberikan dukungan moril maupun materil sepenuhnya agar tujuan dibentuknya LPSK itu
sendiri dapat terwujud sebagaimana mestinya, sehingga manfaat dari LPSK dapat dirasakan oleh
seluruh masyarakat Indonesia secara menyeluruh atau merata.
Dalam hal kendala-kendala yang dialami oleh LPSK dalam menjalankan tugasnya, terutama
terkait ketersediaan dana/anggaran, maka disarankan agar pemerintah memberikan anggaran
yang lebih untuk LPSK dalam memberikan perlindungan terhadap korban kejahatan secara
maksimal. Selain itu peran dari koordinasi antara Presiden dengan LPSK harus lebih
diintensifkan sebagai bentuk upaya pengawasan terhadap pelaksanaan tugas LPSK sebagaimana
mestinya.
DAFTAR PUSTAKA disembunyikan
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian tentang korban kejahatan
Pengertian korban menurut Undang Undang No 13 tahun 2006 yaitu seseorang yang
mengalami penderitaan fisik, mental dan atau kerugian ekonomi yang diakibatkan oleh suatu
tindak pidana[1]. Menurut Arif Gosita korban adalah mereka yang menderita jasmaniah dan
rohaniah sebagai akibat tindakan orang lain yang mencari pemenuhan kepentingan diri
sendiri dan orang lain yang bertentangan dengan kepentingan hak asasi pihak yang dirugika.
Menurut pandangan Ilmu Pengetahuan Hukum Pidana pengertian korban
kejahatanadalah terminologi Ilmu Kriminologi dan Victimologi dan kemudian
dikembangkan dalam hukum pidana dan/atau sistem peradilan pidana. Konsekuensi logisnya
perlindungan korban dalam Kongres PBB VII/1985 di Milan (tentang The Prevention of
Crime and the Treatment of Offenders) dikemukakan, bahwa hak-hak korban seyogianya
terlihat sebagai bagian integral dari keseluruhan sistem peradilan pidana (victims rights
should be perceived as an integral aspect of the total criminal justice system) [2]
Berdasarkan Deklarasi Prinsip-Prinsip Dasar Keadilan Bagi Korban Kejahatan Dan
Penyalahgunaan Kekuasaan, yang dikeluarkan pada Tahun 1985 sebagai Resolusi PBB
Nomor 40/34 Tanggal 29 November 1985 yang telah disepakati oleh banyak negara, kita
dapat mengerti bahwa korban kejahatan ialah orang yang secara perseorangan maupun
kelompok telah mendapatkan kerugian baik luka fisik, luka mental, penderitaan emosional,
kehilangan harta benda atau perusakan yang besar terhadap hak dasar mereka melalui
tindakan maupun pembiaran yang telah diatur dalam hukum pidana yang dilakukan di dalam
negara anggota termasuk hukum yang melarang dalam penyalahgunaan kekuasaan[3]
tertentu.Hal ini sejalan dengan pengertian saksi itu sendiri,sebagaimana dinyatakan dalam
Pasal 1 butir 26 KUHAP.
Tentang KUHAP lebih mengutamakan hak hak tersangka atau terdakwa juga
menyatakan bahwa fungsi kitab undang undang Hukum Acara Pidana terutama menitik
beratkan perlindungan harkat dan martabat tersangka atau terdakwa. Hal ini dapat dilihat
dari kesepuluh asas yang tercantum dalam penjelasan resmi KUHAP , sebagai berikut :
1. Perlakuan yang sama atas diri setiap orang di muka hukum dengan tidak mengadakan
pembedaan perlakuan.
2. Penangkapan, penahanan, penggeledahan, dan penyitaan hanya dilakukan berdasarkan
perintah tertulis oleh pejabat yang diberi wewenang oleh undang undang dan hanya dalam
hal dan dengan cara yang diatur dengan undang undang .
3. Setiap orang yang disangka, ditangkap, ditahan, dan dituntut dan/atau dihadapkan di muka
sidang pengadilan yang menyatakan kesalahannya dan memperoleh kekuatan hukum tetap.
4. kepada seseorang yang ditangkap,ditahan dan dituntut ataupun diadili tanpa alasan yang
berdasarkan undang undang dan/atau karena kekeliruan mengenai orangnya atau hukum
yang ditetapkan, wajib diberi ganti kerugian dan rehabilitasi sejak pada tingkat penyidikan
dan para pejabat penegak hukum yang dengan sengaja atau karena kelalaiannya
menyebabkan asas hukum tersebut dilanggar, dituntut, dipidana dan/atau dikenakan hukuman
administrasi.
5. Peradilan yang harus dilakukan dengan cepat, sederhana, dan biaya ringan serta bebas, jujur,
dan tidak memihak harus diterapkan secara konsekuen dalam seluruh tingkat peradilan.
6. Setiap orang yang tersangka perkara,wajib diberi kesempatan untuk memperoleh bantuan
hukum yang semata mata diberikan untuk melaksanakan kepentingan pembelaan atas
dirinya.
7. Kepada seorang tersangka, sejak saat dilakukan pengkapan dan/atau penahan selain wajib
diberitahu dakwaan dan dasar hukum apa yang didakwakan kepadanya, juga wajib diberitahu
haknya itu termasuk hak untuk menghubungi minta bantuan penasehat hukum.
8. Pengadilan memeriksa perkara pidana dengan hadirnya terdakwa.
9. Sidang pemeriksaan pengadilan adalah terbuka untuk umum kecuali dalam hal diatur dalam
undang undang.
10. Pengawasan pelaksanaan putusan pengadilan dalam perkara pidana dilakuan oleh Ketua
Pengadilan bersangkutan.
Pasal 5 ayat 1 UU No.13 th 2006,mengatur beberapa hak yang diberikan kepada saksi
dan korban,yang meliputi:
1. Memperoleh perlindungan atas keamanan pribadi,keluarga,dan harta bendanya,serta bebas
dari ancaman yang berkenaan dengan kesaksian yang akan,sedang,atau telah diberikannya.
2. Ikut serta dalam proses memilih&menentukan bentuk perlindungan dan dukungan keamanan.
3. Memberikan keterangan tanpa tekanan
4. Mendapat penerjemah
5. Bebas dari pertanyaan yang menjerat
6. Mendapatkan informasi mengenai perkembangan kasus
7. Mendapatkan informasi mengenai putusan pengadilan
8. Mengetahui dalam hal terpidana dibebaskan
9. Mendapatkan identitas baru
10. Mendapatkan tempat kediaman baru
11. .Memperoleh penggantian biaya transportasi sesuai dengan kebutuhan
12. Mendapat nasihat hukum
13. Memperoleh bantuan biaya hidup sementara sampai batas waktu perlindungan berakhir.
Dalam Pasal 5 ayat (2) disebutkan bahwa hak sebagaimana dimaksud pada ayat 1
diberikan kepada saksi dan/atau korban tindak pidana dalam kasus-kasus tertentu sesuai
dengan keputusan Lembaga Perlindungan Saksi&Korban (LPSK).
Jelaslah berdasarkan ketentuan Pasal 5 ayat (2) UU No.13 th 2006,tidak setiap saksi
atau korban yang memberikan keterangan (kesaksian) dalam suatu proses peradilan
pidana,secara otomatis memperoleh perlindungan seperti yang dinyatakan dalam UU ini.
Keberadaan ketentuan perundang-undangan yang mengatur mengenai saksi dan
korban tindak pidana,tetapi yang menjadi persoalan adalah dalam UU No.13 th 2006 yang
memberikan tugas dan kewenangan mengenai perlindungan hak-hak saksi dan korban adalah
kepala lembaga perlindungan saksi dan korban,padahal yang melakukan penyidikan dan
pemeriksaan di depan sidang pengadilan bukan lembaga perlindungan saksi,di mana lembaga
perlindungan saksi ini berada di luar lembaga penegak hukum,seperti
kepolisian,kejaksaan,dan pengadilan.
Sehingga dalam memberikan perlindungan hak-hak dan kepentingan saksi dan korban
akan mengalami kendala dan hambatan. Selama ini dalam proses peradilan pidana
keberadaan saksi dan korban hanya diposisikan sebagai pihak yang dapat memberikan
keterangan,di mana keterangannya dapat dijadikan alat bukti dalam mengungkap sebuah
tindak pidana,sehingga dalam hal ini yang menjadi dasar bagi aparat penegak hukum yang
menempatkan saksi dan korban hanya sebagai pelengkap dalam mengungkap suatu tindak
pidana dan memiliki hak-hak yang tidak banyak diatur dalam KUHAP,padahal untuk menjadi
seorang saksi dalam sebuah tindak pidana,tentunya keterangan yang disampaikan tersebut
dapat memberatkan atau meringankan seorang terdakwa,yang tentunya bagi terdakwa apabila
keterangan seorang saksi dan korban tersebut memberatkan tersangka/terdakwa,maka ada
kecenderungan terdakwa menjadikan saksi dan korban tersebut sebagai musuh yang telah
memberatkannya dalam proses penanganan perkara,hal ini tentunya dapat mengancam
keberadaan saksi dan korban.Berdasarkan hal tersebut,maka tentunya seorang saksi dan
korban perlu mendapatkan perlakuan dan hak-hak khusus,karena mengingat keterangan yang
disampaikan dapat mengancam keselamatan dirinya sebagai seorang saksi.Tanpa adanya
pengaturan yang tegas dan jaminan keamanan bagi seorang saksi,maka seseorang akan
merasa takut untuk menjadi seorang saksi.
Kedepannya diharapkan supaya diberikan jaminan keamanan dan keselamatan bagi
seorang saksi,agar masyarakat dapat berperan penting dalam mengungkap sebuah tindak
pidana,seperti menjadi seorang saksi,karena tanpa adanya jaminan keamanan dan
keselamatan yang diberikan kepada seorang saksi,maka masyarakat enggan atau bahkan tidak
mau menjadi seorang saksi,padahal keberadaan seorang saksi dalam mengungkap suatu
tindak pidana sangat penting.
Perlindungan terhadap saksi dan korban dalam proses peradilan khususnya kasus-kasus
pelanggaran HAM yang berat juga diakui dalam dunia internasional.Hal ini tercermin dalam
Mahkamah Internasional ad hoc bekas Yugoslavia (International Criminal Tribunal For
Former Yugoslavia) dan International Criminal Tribunal For Rwanda yang secara eksplisit
menyebutkan hal tersebut pada statute dan aturan teknis prosedur pengadilan.
Belajar dari pengalaman Mahkamah Pidana Internasional ad hoc tersebut,maka
perlindungan terhadap saksi dan korban dimuat dalam Statuta Roma Mahkamah Pidana
Internasional yang permanen atau Rome Statute of International Criminal Court
(International Crime Court)yang diratifikasi oleh lebih dari 60 negara.
Untuk lebih memberikan pengakuan dan memberikan jaminan yang lebih baik kepada
saksi dan korban atas hak-haknya dalam proses peradilan,maka dalam Statuta Roma diatur 3
hal penting,yaitu:
1. Victim participation in the proceedings; The statue mengakui bahwa korban dapat
memberikan kontribusi dalam proses persidangan dan yang terpenting bahwa saksi bukan
ditempatkan pada posisi yang pasif,akan tetapi bisa aktif terlibat dan memberikan keterangan
sebanyak mungkin yang bisa dijadikan bukti di dalam persidangan.
2. Protection of victim and witnesses; Statuta Roma International Crime Court ini mengakui
adanya jaminan perlindungan keamanan terhadap saksi amupun korban baik perlindungan
secara fisik dan mental juga perlindungan terhadap martabat dan privasi para saksi dan
korban.Adanya jaminan perlindungan saksi dan korban ini dimaksudkan juga untuk
memberikan kredibilitas dan dasar hukum pada International Crime Court,sehingga
mendapatkan dukungan yang baik dari semua pihak termasuk saksi dan korban
3. And the right to reparations. Keinginan agar mendapatkan reparations ini didasari pada rasa
penderitaan baik fisik maupun mental yang diderita oleh korban,sehingga sudah selayaknya
mereka mendapatkan reparations guna memperbaiki nasibnya di kemudian hari.
rasa aman kepada korban yang dilakukan oleh pihak keluarga, advokat, lembaga sosial,
kepolisian, kejaksaan, pengadilan atau pihak lainnya baik secara sementara maupun
berdasarkan penetapan pengadilan.
[1] Undang Undang (UU) No. 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi dan Korban Pasal
1 (2).
[2] upaya hukum yang dilakukan korban dikaji dari perspektif sistemperadilan
pidana.http://pnkepanjen.go.id, Akses 13 November 2013.
[3] http://hukumpositif.com/node/18 , Keberadaan Korban ditinjau Dalam Pandangan Teori dan
Praktik.
[4] Mudzakir, Posisi Hukum Korban Tindak Pidana Dalam Sistem Peradilan Pidana, Disertasi
Pengukuhan
Guru Besar di Universitas Indonesia, tanggal 6 April 2001, Hal. 1
[5] Bambang Waluyo,Viktimologi (Perlindungan Korban dan Saksi), (Jakarta: Sinar
Grafika,2012), hlm 99
[6] Undang Undang Nomor 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi dan Korban, Bab III
Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban, Ketentuan Umum Pasal 11 ayat (1), (2), (3).
[7] Ibid, Pasal 12 ayat (1)
[8] Ibid, Pasal 13 ayat (1), (2)
[9] Bambang Waluyo,Viktimologi (Perlindungan Korban dan Saksi), (Jakarta: Sinar
Grafika,2012), hlm 67-68
KATA PENGANTAR
Assalamualaikum wr.wbwr,wb,.
Alhamdulillah berkat pertolongan Allah SWT saya penulis dapat menyajikan
makalah yang berjudul Perlindungan Hukum terhadap Saksi dan Korban dalam sistem Peradilan
Pidana.
Makalah ini disusun untuk melengkapi tugas prodi ilmu hukum dalam materi Pengantar
Ilmu Hukum di UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, disamping itu juga sebagai pembelajaran
bagi saya penulis untuk mengetahui Perlindungan Hukum terhadap Saksi dan Korban dalam
sistem Peradilan Pidana.
Penulis menyadari sepenuhnya, bahwa makalah ini masih sangat masih
sangat jauh dari sempurna,baik isi,susunan kalimat,maupun sistematika urna, baik
isi,susunan kalimat maupun sistematika pembahasannya.Untuk itu
teguran,saran,dan nasihat para pembaca serta dosen annya. Untuk itu teguran,
saran dan nasihat para pembaca serta dosen pengampu senantiasa saya harapkan
demi kesempurnaan makalah saya ini.Tiada kesempurnaan makalah saya
ini.Tiadakesempurnaan makalah saya ini.Tiadaa saya harapkan demi kesempurnaan makalah
saya ini.Tiada gading yang tak retak,kata pepatah.Namun upaya mencari gading yang tidak
retak setidaknya telah saya usahakan.Akhirnya segala kesalahan dan kekurangan adalah tanggung jawab
saya sebagai penulis,namun apabila terdapat kebenaran dalam makalah ini semata n,apabila
terdapat kebenaran dalam Makalah inisematakarena hanya ridho,tuntunan,dan petunjuk dari
Allah sang maha pencipta.
Wassalamualaikum wr.wb
Yogyakarta,Desember 2012
Penulis
DAFTAR ISI
Kata
Pengantar.............................................................................................................. 1
Daftar
Isi....................................................................................................................... 2
Bab I Pendahuluan
1.1 Latar Belakang............................................................................................ 3
1.2 Maksud dan tujuan.......................................................................................3
1.3 Rumusan Masalah.........................................................................................3
Bab II Pembahasan
A.Saksi yang dilindungi dalam UU Perlindungan
Saksi&Korban...................................... 4
B.Perlindungan Saksi&Korban dalam sistem Peradilan
Pidana......................................... 6
Kesimpulan
Peranan saksi dalam setiap persidangan perkara pidana sangat penting karena
kerap keterangan saksi dapat mempengaruhi dan menentukan kecenderungan
keputusan hakim. Oleh karena itu saksi sudah sepatutnya diberikan perlindungan
hukum karena dalam mengungkap suatu tindak pidana saksi secara sadar
mengambil resiko dalam mengungkap kebenaran materiil.
Seorang saksi dan korban berhak memperoleh perlindungan atas keamanan
pribadinya dari ancaman fisik maupun psikologis dari orang lain,berkenaan dengan
kesaksian yang akan,tengah,atau lebih diberikannya atas suatu tindak pidana.
Saran
Penulis sadar bahwa isi dari makalah ini belum sempurna seperti apa yang diharapkan,
maka dari itu penulis mengharapkan kritik dan saran dari dosen pembimbing atas
ketidaksempurnaan penulisan makalah ini agar kedepannya bisa lebih baik.
DAFTAR PUSTAKA
[3]
KUHAP,BAB 1 Ketentuan umum,Pasal 1 butir 28
Keterangan ahli adalah keterangan yang diberikan oleh seorang yang memiliki keahlian khusus tentang hal yang
diperlukan untuk membuat terang suatu perkara pidana guna kepentingan pemeriksaan.
[4]
KUHAP,BAB 1 Ketentuan umum,Pasal 1 butir 27
Keterangan saksi adalah salah satu alat bukti dalam perkara pidana yang berupa keterangan dari saksi
mengenai suatu peristiwa pidana yang ia dengar sendiri,ia lihat sendiri,dan ia alami sendiri dengan menyebut
alasan dari pengetahuannya itu.
[5]
Pasal 5 ayat (2) UU No.13 th 2006,menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan Kasus-kasus
tertentu,antara lain,tindak pidana korupsi,tindak pidana narkotika/psikotropika,tindak pidana terorisme,dan
tindak pidana lain yang mengakibatkan posisi saksi dan korban dihadapkan pada situasi yang sangat
membahayakan jiwanya.
[6]
Prof.DR.Muhadar,SH,M.Si,,Edi Abdullah,SH,M.H dan Husni Thamrin SH,M.M,M.H.,Perlindungan Saksi
dan Korban Dalam Sistem Peradilan Pidana,hal.180
[7]
UU No.13 th 2006,Pasal 3
Pasal 13 huruf c UU kepolisian menyatakan bahwa tugas pokok kepolisian adalah memberikan
perlindungan,pengayoman,dan pelayanan kepada masyarakat.
[10]
[12]
Kesaksian tanpa kehadiran seorang saksi atau korban secara fisik di pengadilan dapat diberikan baik
secara tertulis yang disampaikan di hadapan pejabatyang berwenang dengan membubuhkan tanda tangannya
pada berita acara yang memuat tentang kesaksiannya maupun secara langsung melalui sarana elektronik
dengan didampingi oleh pejabat yang berwenang.