Anda di halaman 1dari 27

"PENTINGNYA LEMBAGA

PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN


(LPSK) DI NEGARA Ber - Bhinneka Tunggal
Ika INI "

Pelayanan Terhadap Korban


Kejahatan Oleh Lembaga
Perlindungan Saksi dan Korban
(LPSK) Berdasarkan UndangUndang Nomor 13 Tahun 2006
Tentang Perlindungan Saksi Dan
Korban
By : Anneka Saldian Mardhiah

NB: Dierbolehkan CoPas Untuk keperluan Pendidikan..


Biasakanlah Minta izin kepada Penulis terlebih dahulu..
Tapi hanya dapat sebagai Landasan/Referensi sebuah Penulisan (tugas,
makalah,dll)
BUKAN untuk DITIRU secara keseluruhan
Hargai lah hasil karya orang lain >> STOP PLAGIAT!!

@hak cipta
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Seiring perkembangan zaman dan kemajuan teknologi berbagai bentuk kejahatanpun
semakin meningkat terjadi di lingkungan masyarakat. Korban dari kejahatan itu sendiri selain
selain orang dewasa tidak jarang anak kecilpun ikut menjadi korban kejahatan.
Korban kejahatan adalah mereka atau seseorang yang mengalami penderitaan fisik,
mental, dan/atau kerugian ekonomi yang diakibatkan oleh suatu tindak pidana/kejahatan.
Namun, yang sering menjadi permasalahannya adalah bahwa dimana masih banyak kasus
kejahatan yang mungkin tidak pernah tersentuh proses hukum untuk diproses di persidangan,
salah satu faktornya adalah tidak adanya satupun saksi, korban dan/atau pelapor yang berani

mengungkapkan kesaksiannya, sementara alat bukti yang didapat oleh penyidik sangat kurang
memadai, sehingga penyidikpun tidak bisa memproses lebih lanjut suatu perkara pidana.
Berbagai bentuk kekerasan, ancaman kekerasan atau intimidasi yang diterima korban
menjadi alasan utama yang membuat nyali korban maupun saksi kejahatan menciut untuk
terlibat dan memberikan kesaksiannya atas suatu tindak pidana, bahkan tidak jarang orang yang
melaporkan suatu tindak pidana justru dilaporkan kembali telah melakukan pencemaran nama
baik orang yang dilaporkan melakukan kejahatan.
Indonesia sebagai Negara hukum yang wajib berdasarkan Pancasila dan UUD Negara
Republik Indonesia Tahun 1945 wajib menjunjung tinggi hak asasi manusia dan menjamin hak
hak warga Negara dalam kesamaan kedudukan di dalam hukum dan pemerintahan. Begitu juga
dengan seseorang yang sedang berperan menjadi saksi dan/atau korban sangat perlu
mendapatkan perlindungan.
Pada perkembangannya setelah disahkannya Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006
tentang Perlindungan Saksi dan Korban pada tanggal 11 Agustus 2006 perlindungan terhadap
korban dan saksipun sudah mulai mendapatkan perhatian khusus, salah satu upaya yang
dilakukan berdasarkan ketentuan dalam Undang-undang tersebut adalah dengan dibentuknya
sebuah lembaga mandiri yang bernama Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK), yang
nantinya akan memberikan perlindungan bagi saksi dan korban selama proses peradilan
berlangsung dengan bentuk-bentuk perlindungan sebagaimana yang diatur di dalam undangundang tersebut.
Namun dalam kenyataannya Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban masih belum bisa
efektif dalam menjalankan tugasnya, yaitu terkendala masih minimnya pemahaman masyarakat
mengenai hak-hak saksi dan korban karena disebabkan oleh masih kurangnya akses informasi
yang bisa didapatkan oleh masyarakat mengenai tugas atau fungsi dari pada LPSK dalam
memberikan perlindungan, yang sangat merasakan hal tersebut adalah mayoritas masyarakat
yang berada di daerah-daerah di luar ibukota Jakarta atau pulau Jawa yang belum terjangkau
oleh LPSK. Selain itu juga dipengaruhi oleh masih minimnya sosialisasi terkait keberadaan LPSK
itu sendiri.
Berdasarkan hal tersebut di atas dan untuk mengkaji lebih dalam mengenai peran
penting keberadaan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban dalam memberikan pelayanan
perlindungan khususnya terhadap korban kejahatan, maka Penulis merasa tertarik untuk
mengangakat perihal pembahasan dalam disiplin ilmu viktimologi dalam sebuah makalah
dengan judul PELAYANAN TERHADAP KORBAN KEJAHATAN OLEH LEMBAGA
PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN (LPSK) BERDASARKAN UNDANGUNDANG NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN
KORBAN

B. Rumusan Masalah

Dilandasi latar belakang masalah tersebut di atas serta agar tidak terjadi kerancuan
dalam pembahasan makalah nantinya, maka penulis membatasi permasalahan dengan
rumusannya yaitu:
1.

Bagaimanakah Peranan Penting dan Tugas Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK)
Dalam Pelayanannya Terhadap Korban Kejahatan ?

2. Apakah Kendala-Kendala Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) Dalam Menjalankan
Tugas Pelayanan Terhadap Korban Kejahatan ?
C. Tujuan Penulisan
1.

Untuk mendeskripsikan peranan penting dan tugas Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban
(LPSK) dalam pelayanannya terhadap korban kejahatan.

2. Untuk mengetahui kendala-kendala Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) dalam
menjalankan tugas pelayanan terhadap korban kejahatan.
D. Manfaat Penulisan
1.

Secara teoritis berguna untuk menambah wawasan mengenai sejauh mana peranan penting dan
tugas dari Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) serta kendala-kendala yang dialami
dalam memberikan pelayanan terhadap korban kejahatan.

2. Secara praktis penulisan ini diharapkan akan dapat bermanfaat bagi para Pelajar, Mahasiswa,
Pengajar, Pemerintah pada khususnya serta bagi masyarakat pada umumnya untuk mengetahui
peran dan tugas serta kendala-kendala yang dialami Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban
(LPSK) dalam eksistensinya memberikan pelayanan terhadap korban kejahatan, sehingga
dengan pemahaman yang baik dari masyarakat diharapkan dapat memanfaatkan semaksimal
mungkin keberadaan dari LPSK itu sendiri.

BAB II
PEMBAHASAN

A. Peranan Penting dan Tugas Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK)
Dalam Pelayanannya Terhadap Korban Kejahatan
1.

Peranan Penting Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK)


Korban kejahatan merupakan orang yang mengalami berbagai bentuk penderitaan dan
kerugian akibat dari kejahatan yang dilakukan oleh Pelaku kejahatan itu sendiri.
Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) merupakan lembaga mandiri yaitu
lembaga yang independent tanpa adanya campur tangan dari pihak manapun, lembaga yang
berkedudukan di Ibukota Negara Republik Indonesia yang mempunyai perwakilan di daerah
sesuai dengan keperluan. LPSK sendiri bertugas dan berwenang memberikan perlindungan hakhak lain kepada saksi dan/atau korban sebagaiamana diatur dalam Undang-Undang

Perlindungan

Saksi

dan

Korban,

dimana

LPSK

ditujukan

untuk

memperjuangkan

diakomodasinya hak-hak saksi dan korban dalam proses peradilan pidana.


Pasal 1 angka 6 Undang-undang No 13 Tahun 2006 menyebutkan
bahwa Perlindungan adalah segala upaya pemenuhan hak dan pemberian bantuan untuk
memberikan rasa aman kepada saksi dan/atau korban yang wajib dilaksanakan oleh LPSK
atau lembaga lainnya sesuai dengan ketentuan Undang-undang ini .
Perlindungan yang diberikan oleh Negara terhadap korban kejahatan dalam konteks ini
adalah merupakan suatu bentuk pelayanan dalam memberikan rasa aman kepada setipa warga
masyarakat dalam semua tahap proses peradilan pidana yang dalam hal ini salah satunya
diselenggarakan oleh Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK), sebagaiamana yang telah
diamanatkan dalam Pasal 28 I ayat (4) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945 yang berbunyi Perlindungan, pemajuan, penegakkan, dan pemenuhan hak asasi
manusia adalah tanggung jawab Negara, terutama Pemerintah. Menurut Arief Gosita,
pelayanan terhadap korban kejahatan adalah :
suatu usaha pelayanan mental, fisik, sosial terhadap mereka yang telah menjadi korban dan
mengalami penderitaan, akibat tindakan seseorang yang dianggap sebagai suatu kejahatan.
Pelayanan terhadap korban kejahatan ini merupakan suatu usaha memperjuangkan pelaksanaan
kepentingan (hak dan kewajiban) para korban kejahatan oleh para korban kejahatan (menurut
kemampuan), keluarga pihak korban kejahatan, masyarakat dan pemerintah serta pihak-pihak
lain.[1]
Berdasarkan amanat UUD 1945 di atas, Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban
(LPSK) mengambil peranan penting dalam memberikan perlindungan sepenuhnya kepada
korban kejahatan beserta keluarganya. Perlindungan tersebut diberikan karena berasaskan pada
penghargaan atas harkat dan martabat manusia, rasa aman, keadilan, tidak diskriminatif dan
asas kepastian hukum.
Eksistensi Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban yang berperan dalam memberikan
pelayanan terhadap saksi dan/atau korban kejahatan pada khususnya, menurut Wenny
Almoravid Dunga sangat dipengaruhi oleh beberapa hal diantaranya :
a.

Peraturan Perundang-undangan

b. Sikap mental saksi dan korban


c.

Profesionalitas penegak hukum

d.

Kontrol masyarakat

e.

Media elektronik dan pers


Oleh

karena

itu

sangat

diperlukannya

pengakuan

atas

keberadaan

Lembaga

Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) itu sendiri didalam masyarakat untuk menyokong
eksistensi LPSK itu sendiri dalam memberikan pelayanan yang baik khususnya terhadap korban
kejahatana dan masyarakat pada umumnya. Sehingga korban atau masyarakat dapat merasakan
sepenuhnya pengayoman saat berada dalam suatu proses peradilan.
2. Tugas Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK)
Secara umum berdasarkan Pasal 12 UU No 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi
dan Korban merumuskan bahwa LPSK bertanggung jawab untuk menangani pemberian
perlindungan dan bantuan pada saksi dan/atau korban berdasarkan tugas dan kewenangan

sebagaimana diatur dalam undang-undang ini. Hal tersebut adalah sebagai bentuk penegakan
dari pada asas-asas yang melandasi perlindungan bagi korban kejahatan itu sendiri.
Secara garis besar Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban memiliki tugas-tugas yang
harus dilaksanakan dalam pelayanannya terhadap korban kejahatan sebagaiaman yang telah
diamanatkan dalam UU No 13 Tahun 2006, diantaranya adalah :
a.

Memberikan Perlindungan Terhadap Korban Kejahatan


Tugas perlindungan yang harus diberikan LPSK terhadap korban kejahatan ini adalah
didasarkan pada ketentuan Pasal 12 UU No 13 Tahun 2006. Perlindungan terhadap korban
kejahatan sangat erat kaitannya dengan perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia. Sehingga
dalam hal ini LPSK menjaga agar hak-hak dari korban tidak dilanggar selama proses peradilan
pidana berlangsung. Hal ini menunjukkan adanya penghargaan atas harkat dan martabat
manusia itu sendiri.
Bentuk perlindungan yang paling utama diperlukan oleh korban kejahatan dan yang
harus diberikan oleh LPSK sebagai bentuk pelayanan terhadap korban adalah sebagaimana yang
dirumuskan dalam Pasal 5 ayat (1) huruf a, yaitu perlindungan atas keamanan pribadi, keluarga
dan harta bendanya serta bebas dari ancaman yang berkenaan dengan kesaksian yang
akan,sedang,atau telah diberikan oleh korban. Bahkan dalam Undang-undang Perlindungan
Saksi dan Korban untuk menindaklanjuti perlindungan atas salah satu hak korban di atas
memerintahkan untuk memberi jaminan , dimana korban harus ditempatkan dalam suatu lokasi
yang dirahasiakan dari siapapun untuk menjamin keamanan korban.
Bentuk perlindungan di atas juga merupakan suatu bentuk nyata dari pelaksanaan asas
rasa aman dan asas keadilan yang menjadi landasan dalam pemberian perlindungan terhadap
korban, karena dengan diberikannya perlindungan yang maksimal maka hal tersebut
menunjukkan adanya keadilan, yaitu tidak hanya menjangkau pelaku akan tetapi juga pada
korban kejahatan.

b. Menerima Permohonan dan Melakukan Pemeriksaan terhadap Permohonan Korban Untuk


Perlindungan
Untuk menindaklanjuti tugas dari LPSK sebagai lembaga yang memberikan pelayanan
perlindungan

kepada

korban

dalam

semua

tahap

proses

peradilan

pidana

dalam

lingkungan peradilan, selanjutnya LPSK berkewajiban untuk menerima setiap permohonan


tertulis yang diajukan oleh korban, baik itu permohonan atas inisiatif langsung dari korban
maupun atas permintaan pejabat yang berwenang sebagaimana yang telah diatur dalam Pasal 29
UU Perlindungan Saksi dan Korban.
Hal di atas menunjukkan bahwa LPSK tidak boleh hanya menerima permohonan
perlindungan dari orang-orang tertentu saja, akan tetapi sebaliknya LPSK harus menerima setiap
permohonan tertulis yang masuk/diajukan. Hal tersebut merupakan bentuk penerapan dari pada
asas tidak diskriminatif, yaitu tidak adanya perbedaan perlakuan dalam hal setiap orang yang
ingin mendapatkan pelayanan perlindungan kepada LPSK. Selain itu asas tidak diskriminatif ini
merupakan tindak lanjut dari pada penegakan asas equality before the law ialah kesamaan
kedudukan dimata hukum.
Selain menerima permohonan tertulis dari korban, sebagai tindak lanjutnya LPSK
bertugas untuk segera melakukan pemeriksaan terhadap permohonan-permohanan yang telah

diajukan sebagaiamana yang diperintahkan dalam Pasal 29 huruf b UU Perlindungan Saksi dan
KorbanLPSK segera melakukan pemeriksaan terhadap permohonan sebagaiamana dimaksud
pada huruf a . Kata segera dalam pasal tersebut jelaslah bermakna bahwa LPSK harus secepat
mungkin melakukan pemeriksaan terhadap permohonan perlindungan yang diajukan oleh
korban kejahatan, tujuannya adalah agar berkas permohonan tersebut tidak terbengkalai begitu
saja, dan sebagai bentuk penunjukkan kualitas kinerja LPSK itu sendiri dalam menjalankan
tugasnya, serta yang tidak kalah pentingnya adalah agar korban dengan secepatnya dapat
mengetahui apakah permohonannya diterima atau tidak. Jika permohonannya diterima maka si
korbanpun dengan segera akan mendapatkan perlindungan hukum di bawah naungan Lembaga
Perlindungan Saksi dan Korban. Sehingga hal tersebut menunjukkan adanya suatu kepastian
hukum yang jelas bagi korban dalam upayanya mendapatkan pelayanan dari LPSK, yaitu sebagai
bentuk penjelmaan dari pada asas kepastian hukum.
c.

Memberikan keputusan Pemberian Perlindungan Korban Kejahatan


Dalam pasal yang sama (Pasal 29) dalam UU Perlindungan Saksi dan Korban mengatur
bahwa keputusan LPSK terkait permohonan yang telah diajukan korban harus diberikan secara
tertulis paling lambat 7 hari sejak permohonan perlindungan diajukan.
Dalam hal ini ada 2 kemungkinan keputusan LPSK atas dasar hasil pemeriksaan dari
permohonan korban yaitu diterima atau tidak. Keputusan tersebut adalah ditentukan
berdasarkan beberapa pertimbangan kelayakan dari pada apakah korban tersebut memenuhi
syarat-syarat sebagaimana dirumuskan dalam Pasal 28 UU No 13 Tahun 2006, ialah :

Perjanjian perlindungan LPSK terhadap saksi dan/atau korban tindak pidana sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 5 ayat (2) diberikan dengan mempertimbangkan syarat sebagai berikut :
a. Sifat pentingnya keterangan saksi dan/atau korban.
b. Tingkat ancaman yang membahayakan saksi dan/atau korban.
c. Hasil analisis tim medis / psikologi terhadap saksi dan/atau korban.
d. Rekam jejak kejahatan yang pernah dilakukan oleh saksi dan/atau korban.
d.

Mengajukan ke Pengadilan Berupa Hak Kompensasi dan Restitusi


Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) sebagai lembaga yang bertanggung
jawab untuk menangani pemberian perlindungan dan bantuan pada korban bertugas sebagai
perantara untuk mengajukan hak atas kompensasi dalam kasus pelanggaran hak asasi manusia
yang berat dan hak atas restitusi ke pengadilan sebagaimana yang diinginkan oleh korban
kejahatan. Terkait salah satu dari tugas LPSK ini diatur dalam Pasal 7 UU Perlindungan Saksi
dan Korban.
Restitusi

adalah

pemberian

ganti

kerugian

oleh

pelaku

sebagai

bentuk

pertanggungjawabannya atas apa yang telah dilakukannya terhadap korban. Sedangkan yang
dimaksud dengan hak atas kompensasi adalah hak atas pemberian ganti kerugian oleh pihak
pemerintah karena pihak pelaku tidak mampu memberikan restitusi. Pemberian ganti kerugian
oleh pemerintah ini bukan karena pemerintah bersalah akan tetapi adalah untuk pengembangan
kebenaran, keadilan dan kesejahteraan rakyat.
e.

Menghentikan Program Perlindungan Korban Kejahatan

Pemberian perlindungan sebagai bentuk pelayanan terhadap korban kejahatan dari


LPSK tidaklah serta merta begitu saja dapat berlaku selama-lamanya, akan tetapi hanya sampai
pada waktu atau keadaan tertentu saja.
Pasal 32 ayat (1) UU Perlindungan Saksi dan Korban menyebutkan bahwa perlindungan
atas keamanan saksi dan/atau korban hanya dapat dihentikan berdasarkan alasan :
a.

Saksi dan/atau korban meminta agar perlindungan terhadapnya dihentikan dalam hal
permohonan diajukan atas inisiatif sendiri
b. Atas permintaan pejabat yang berwenang dalam hal permintaan perlindungan terhadap saksi
dan/atau korban berdasarkan atas permintaan pejabat yang bersangkutan
c. Saksi dan/atau korban melanggar ketentuan sebagaimana tertulis dalam perjanjian
d. LPSK berpendapat bahwa saksi dan/atau korban tidak lagi memerlukan perlindungan
berdasarkan bukti-bukti yang meyakinkan.
B. Kendala-Kendala Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) Dalam
Menjalankan Tugas Pelayanan Terhadap Korban Kejahatan
Dari beberapa tugas yang diemban oleh Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban
sebagai lembaga yang mandiri dan bertanggung jawab dalam memberikan perlindungan dan
bantuan sebagai bentuk pelayanan korban kejahatan masih terdapat kendala-kendala yang
dialami oleh LPSK agar pemberian perlindungan tersebut dapat berlangsung dengan mulus dan
baik, diantara kendala-kendala tersebut adalah seperti :
1. LPSK mengalami kesulitan dalam mendapatkan kesediaan dari korban kejahatan/saksi korban
untuk masuk kedalam program perlindungan yang disediakan oleh LPSK, karena terkendala
dalam ketersediaan dari korban itu sendiri untuk memenuhi syarat-syarat standar yang telah
ditetapkan dalam UU Perlindungan Saksi dan Korban.
2. Terkendala karena kurangnya ketersediaan anggaran atau dana perlindungan korban yang
tersedia dan sumber daya manusia yang ada di LPSK itu sendiri, sehingga mempengaruhi
profesionalitas LPSK dalam menjalankan tugasnya sebagai suatu lembaga yang dapat dikatakan
masih baru terbentuk.
3.

Masalah kelembagaan
LPSK mengalami kendala dalam penempatan cabang/perwakilan LPSK itu sendiri di di luar
ibukota Negara Indonesia walaupun undang-undang sudah memberikan keleluasaan bagi LPSK
untuk membentuk perwakilannya di daerah lainnya jika hal tersebut sesuai dengan kebutuhan
dari LPSK, yaitu masih minimnya keberadaan cabang dari Lembaga Perlindungan Saksi dan
Korban di daerah-daerah wilayah Negara Indonesia .

4.

Kendala yang terdapat dalam Koordinasi antar lembaga Negara.


Pasal 36 ayat (1) UU Perlindungan Saksi dan Korban menyebutkan bahwa Dalam
melaksanakan pemberian perlindungan dan bantuan, LPSK dapat bekerja lama dengan
instansi terkait yang berwenang, namun pada kenyataannya yang terjadi adalah dimana LPSK
masih menemukan kesulitan dalam melakukan koordinasi dengan instansi-instansi terkait yang
dapat mendukung kinerja daripada LPSK.

BAB III
PENUTUP
A. Simpulan
Berdasarkan uraian-uraian pada bab pembahasan sebagai jawaban atas permasalahan yang
timbul dalam bab pendahuluan makalah ini, maka dapatlah ditarik kesimpulan-kesimpulan
sebagai berikut.
1. Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) memiliki peranan yang sangat penting dalam
memberikan perlindungan sepenuhnya kepada korban kejahatan beserta keluarganya selama
proses peradilan berlangsung sebagai suatu bentuk pelayanan yang diberikan kepada korban
kejahatan.
Kemudian yang menjadi tugas daripada LPSK dalam memberikan pelayanan terhadap korban
kejahatan diantaranya adalah :
a.

Memberikan Perlindungan Terhadap Korban Kejahatan

b. Menerima Permohonan dan Melakukan Pemeriksaan terhadap Permohonan Korban Untuk


Perlindungan
c.

Memberikan keputusan Pemberian Perlindungan Korban Kejahatan

d.

Mengajukan ke Pengadilan Berupa Hak Kompensasi dan Restitusi

e.

Menghentikan Program Perlindungan Korban Kejahatan

2. Beberapa kendala yang dialami oleh Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) dalam
menjalankan tugas pelayanan perlindungan terhadap korban kejahatan, diantaranya adalah :
a.

Kesulitan dalam mendapatkan kesediaan dari korban kejahatan untuk masuk kedalam program
perlindungan yang disediakan oleh LPSK

b. Kurangnya ketersediaan anggaran atau dana dalam upaya pelayanan perlindungan terhadap
korban kejahatan dan sumber daya manusia
c.

Kendala dalam penempatan cabang/perwakilan LPSK itu sendiri di di luar ibukota Negara
Indonesia

d.

Kendala yang terdapat dalam Koordinasi antar lembaga Negara.

B. Saran
Memperhatikan kesimpulan tersebut di atas serta dengan adanya kesempatan bagi penulis
dalam penulisan ini, maka penulis mencoba memberikan saran-saran yang kemungkinan ada
gunanya bagi penulis sendiri, para pembaca umumnya, maupun Instansi Pemerintah terkait
pada khususnya. Adapun saran-saran yang penulis sampaikan adalah sebagai berikut.
1.

Pemerintah Negara Indonesia diharapkan dapat memberikan perhatian yang lebih lagi terhadap
pentingnya keberadaan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK), yaitu dengan
memberikan dukungan moril maupun materil sepenuhnya agar tujuan dibentuknya LPSK itu
sendiri dapat terwujud sebagaimana mestinya, sehingga manfaat dari LPSK dapat dirasakan oleh
seluruh masyarakat Indonesia secara menyeluruh atau merata.

2. Menyarankan agar pembentuk undang-undang agar lebih memperhatikan tujuan pelayanan


perlindungan yang diberikan oleh LPSK, yaitu jangan hanya sebatas tertuju kepada korban
maupun saksi saja, akan tetapi juga harus memberikan perhatian perlindungan untuk Pelapor
3.

Dalam hal kendala-kendala yang dialami oleh LPSK dalam menjalankan tugasnya, terutama
terkait ketersediaan dana/anggaran, maka disarankan agar pemerintah memberikan anggaran
yang lebih untuk LPSK dalam memberikan perlindungan terhadap korban kejahatan secara
maksimal. Selain itu peran dari koordinasi antara Presiden dengan LPSK harus lebih
diintensifkan sebagai bentuk upaya pengawasan terhadap pelaksanaan tugas LPSK sebagaimana
mestinya.
DAFTAR PUSTAKA disembunyikan

Perlindungan Korban Kejahatan


BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Penegakan hukum di suatu negara hendaknya adanya penghargaan dan komitmen
menjunjung tinggi hak asasi manusia serta menjamin semua warga negara setara dalam
penegakkan hukum. Dalam penegakkan suatu hukum sering kali terjadi hal hal yang dapat
merusak penegakkan suatu hukum seperti halnya rasa terabaikan korban yang tidak
dilindungi hak haknya oleh negara.
Apabila dilihat dari sisi korban dalam hal ini korban tidak langsung mengambil haknya
untuk menuntut kerugian yang dialaminya, kerugian materiil maupun non materiil, tetapi ada
tata cara tertentu dan aturannya untuk mengambil hak tersebut. Di Indonesia sendiri terdapat
lembaga yang mengatur tentang hak hak saksi dan korban. LPSK (lembaga perlindungan
saksi dan korban) ini bertugas untuk membantu setiap hal hal yang dibutuhkan oleh korban
dalam makalah ini akan dijelaskan tentang wewenang dari lembaga perlindungan korban dan
saksi.
Dengan kelengkapan perangkat perundang undangan yang mengatur ruang lingkup
perlindungan hak korban dan saksi beserta komisi atau lembaga yang menjalankan fungsi
untuk itu diharapkan perlindungan korban dan saksi menjadi lebih baik. Mengingat pada
kenyataannya kejahatan tidak mungkin dapat dihilangkan dan hanya dapat
dikurangi.Kemungkinan kejahatan akan terus berlangsung dan meningkat. Apabila hal itu
terjadi korban dipastikan menjadi bertambah. Pihak korban bukan saja perseorangan, tetapi
kelompok, masyarakat, institusi dan bahkan negara. Menyadari fenomena tersebut partisipasi
aktif seluruh masyarakat tanpa kecuali sangat dibutuhkan. Untuk itu pemerintah dan DPR
sebagai pembentuk undang undang membuat beberapa undang undang untuk melindung
saksi dan korban.
B. Rumusan Masalah
1. Pengertian Korban Kejahatan?
2. Bagimana korban dilindungi dalam sistem peradilan pidana?
3. Landasan Yuridis perlindungan tentang korban?

BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian tentang korban kejahatan
Pengertian korban menurut Undang Undang No 13 tahun 2006 yaitu seseorang yang
mengalami penderitaan fisik, mental dan atau kerugian ekonomi yang diakibatkan oleh suatu
tindak pidana[1]. Menurut Arif Gosita korban adalah mereka yang menderita jasmaniah dan
rohaniah sebagai akibat tindakan orang lain yang mencari pemenuhan kepentingan diri
sendiri dan orang lain yang bertentangan dengan kepentingan hak asasi pihak yang dirugika.
Menurut pandangan Ilmu Pengetahuan Hukum Pidana pengertian korban
kejahatanadalah terminologi Ilmu Kriminologi dan Victimologi dan kemudian
dikembangkan dalam hukum pidana dan/atau sistem peradilan pidana. Konsekuensi logisnya
perlindungan korban dalam Kongres PBB VII/1985 di Milan (tentang The Prevention of
Crime and the Treatment of Offenders) dikemukakan, bahwa hak-hak korban seyogianya
terlihat sebagai bagian integral dari keseluruhan sistem peradilan pidana (victims rights
should be perceived as an integral aspect of the total criminal justice system) [2]
Berdasarkan Deklarasi Prinsip-Prinsip Dasar Keadilan Bagi Korban Kejahatan Dan
Penyalahgunaan Kekuasaan, yang dikeluarkan pada Tahun 1985 sebagai Resolusi PBB
Nomor 40/34 Tanggal 29 November 1985 yang telah disepakati oleh banyak negara, kita
dapat mengerti bahwa korban kejahatan ialah orang yang secara perseorangan maupun
kelompok telah mendapatkan kerugian baik luka fisik, luka mental, penderitaan emosional,
kehilangan harta benda atau perusakan yang besar terhadap hak dasar mereka melalui
tindakan maupun pembiaran yang telah diatur dalam hukum pidana yang dilakukan di dalam
negara anggota termasuk hukum yang melarang dalam penyalahgunaan kekuasaan[3]

B. Perlindungan Korban dalam sistem peradilan pidana


Dalam terjadinya suatu tindak pidana di suatu negara hendaknya pelaku korban
kejahatan mendapatkan perlindungan hak - haknya untuk menyeimbangkan hal tersebut maka
perlunya suatu peraturan yang mengatur tentang perlindungan korban kejahatan. Di Indonesia
sendiri ada undang undang yang mengatur tentang hal tersebut seperti dalam Pasal 28 A
sampai dengan pasal 28 J. Bunyi pasal pasal 28 D, 28 G, 28 I dan 28J ayat (1) amandemen
(II), undang undang 1945.
Bunyi pasal pasal dimaksud sebagaimana tertuang dalam uraian berikut ini :
1. Pasal 28 D ayat (1), menyatakan :
Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang
adil serta perlakuan yang sama dihadapan hukum
2. Pasal 28 G ayat (1), berbunyi :
Setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, dan
harta benda yang dibawah kekuasaannya, serta berhak atas rasa aman dan perlindungan
dari ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang merupakan hak
asasi
3. Pasal 28 I ayat (2), menyebutkan :
Setiap orang berhak bebas atas perlakuan yang bersifat diskriminatif atas dasar apa pun
dan berhak mendapatkan perlindungan terhadap perlakuan yang bersifat diskriminatif itu.
4. Pasal 28 I ayat (1), menyebutkan:
Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak
beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi dihadapan hukum,
dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia
yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apa pun.
Korban dalam suatu tindak pidana, dalam Sistim Hukum Nasional, posisinya tidak
menguntungkan. Karena korban tersebut, dalam Sistim Peradilan (pidana), hanya sebagai
figuran, bukan sebagai pemeran utama atau hanya sebagai saksi (korban). Dalam
kenyataannya korban suatu tindak pidana sementara oleh masyarakat dianggap sebagaimana
korban bencana alam,terutama tindak pidana dengan kekerasan, sehingga korban mengalami
cidera pisik, bahkan sampai meninggal dunia.
Sistem Peradilan melalui produk peraturan perundang-undangan Indonesia, khususnya
KUHAP (Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana yang diundangkan dalam Undangundang Nomor 8 Tahun 1981) yang menjadi dasar dari penyelenggaraan Sistim Peradilan
Pidana, belum benar-benar mencantumkan, terhadap apa yang di isyaratkan dalam UUD 45
dan falsafah negara Pancasila tersebut.
Dalam persoalan ini memunculkan persoalan klasik, bahwa sistem Peradilan Pidana
sebagai basis penyelesaian perkara pidana tidak mengakui eksistensi korban tindak pidana
selaku pencari keadilan, seorang korban tindak pidana akan menderita kembali sebagai akibat
dari sistem hukum itu sendiri, karena korban tindak pidana tidak bisa dilibatkan secara aktif
seperti halnya dalam beracara perdata, tidak dapat langsung mengajukan sendiri perkara
pidana ke pengadilan melainkan harus melalui instansi yang di tunjuk (kepolisian dan
kejaksaan)[4]
Pada saat saksi (korban) akan memberikan keterangan,tentunya harus disertai jaminan
bahwa yang bersangkutan terbebas dari rasa takut sebelum,pada saat,dan setelah memberikan
kesaksian.Jaminan ini penting untuk diberikan guna memastikan bahwa keterangan yang
akan diberikan benar-benar murni bukan hasil rekayasa apalagi hasil dari tekanan pihak-pihak

tertentu.Hal ini sejalan dengan pengertian saksi itu sendiri,sebagaimana dinyatakan dalam
Pasal 1 butir 26 KUHAP.
Tentang KUHAP lebih mengutamakan hak hak tersangka atau terdakwa juga
menyatakan bahwa fungsi kitab undang undang Hukum Acara Pidana terutama menitik
beratkan perlindungan harkat dan martabat tersangka atau terdakwa. Hal ini dapat dilihat
dari kesepuluh asas yang tercantum dalam penjelasan resmi KUHAP , sebagai berikut :
1. Perlakuan yang sama atas diri setiap orang di muka hukum dengan tidak mengadakan
pembedaan perlakuan.
2. Penangkapan, penahanan, penggeledahan, dan penyitaan hanya dilakukan berdasarkan
perintah tertulis oleh pejabat yang diberi wewenang oleh undang undang dan hanya dalam
hal dan dengan cara yang diatur dengan undang undang .
3. Setiap orang yang disangka, ditangkap, ditahan, dan dituntut dan/atau dihadapkan di muka
sidang pengadilan yang menyatakan kesalahannya dan memperoleh kekuatan hukum tetap.
4. kepada seseorang yang ditangkap,ditahan dan dituntut ataupun diadili tanpa alasan yang
berdasarkan undang undang dan/atau karena kekeliruan mengenai orangnya atau hukum
yang ditetapkan, wajib diberi ganti kerugian dan rehabilitasi sejak pada tingkat penyidikan
dan para pejabat penegak hukum yang dengan sengaja atau karena kelalaiannya
menyebabkan asas hukum tersebut dilanggar, dituntut, dipidana dan/atau dikenakan hukuman
administrasi.
5. Peradilan yang harus dilakukan dengan cepat, sederhana, dan biaya ringan serta bebas, jujur,
dan tidak memihak harus diterapkan secara konsekuen dalam seluruh tingkat peradilan.
6. Setiap orang yang tersangka perkara,wajib diberi kesempatan untuk memperoleh bantuan
hukum yang semata mata diberikan untuk melaksanakan kepentingan pembelaan atas
dirinya.
7. Kepada seorang tersangka, sejak saat dilakukan pengkapan dan/atau penahan selain wajib
diberitahu dakwaan dan dasar hukum apa yang didakwakan kepadanya, juga wajib diberitahu
haknya itu termasuk hak untuk menghubungi minta bantuan penasehat hukum.
8. Pengadilan memeriksa perkara pidana dengan hadirnya terdakwa.
9. Sidang pemeriksaan pengadilan adalah terbuka untuk umum kecuali dalam hal diatur dalam
undang undang.
10. Pengawasan pelaksanaan putusan pengadilan dalam perkara pidana dilakuan oleh Ketua
Pengadilan bersangkutan.
Pasal 5 ayat 1 UU No.13 th 2006,mengatur beberapa hak yang diberikan kepada saksi
dan korban,yang meliputi:
1. Memperoleh perlindungan atas keamanan pribadi,keluarga,dan harta bendanya,serta bebas
dari ancaman yang berkenaan dengan kesaksian yang akan,sedang,atau telah diberikannya.
2. Ikut serta dalam proses memilih&menentukan bentuk perlindungan dan dukungan keamanan.
3. Memberikan keterangan tanpa tekanan
4. Mendapat penerjemah
5. Bebas dari pertanyaan yang menjerat
6. Mendapatkan informasi mengenai perkembangan kasus
7. Mendapatkan informasi mengenai putusan pengadilan
8. Mengetahui dalam hal terpidana dibebaskan
9. Mendapatkan identitas baru
10. Mendapatkan tempat kediaman baru
11. .Memperoleh penggantian biaya transportasi sesuai dengan kebutuhan
12. Mendapat nasihat hukum
13. Memperoleh bantuan biaya hidup sementara sampai batas waktu perlindungan berakhir.

Dalam Pasal 5 ayat (2) disebutkan bahwa hak sebagaimana dimaksud pada ayat 1
diberikan kepada saksi dan/atau korban tindak pidana dalam kasus-kasus tertentu sesuai
dengan keputusan Lembaga Perlindungan Saksi&Korban (LPSK).
Jelaslah berdasarkan ketentuan Pasal 5 ayat (2) UU No.13 th 2006,tidak setiap saksi
atau korban yang memberikan keterangan (kesaksian) dalam suatu proses peradilan
pidana,secara otomatis memperoleh perlindungan seperti yang dinyatakan dalam UU ini.
Keberadaan ketentuan perundang-undangan yang mengatur mengenai saksi dan
korban tindak pidana,tetapi yang menjadi persoalan adalah dalam UU No.13 th 2006 yang
memberikan tugas dan kewenangan mengenai perlindungan hak-hak saksi dan korban adalah
kepala lembaga perlindungan saksi dan korban,padahal yang melakukan penyidikan dan
pemeriksaan di depan sidang pengadilan bukan lembaga perlindungan saksi,di mana lembaga
perlindungan saksi ini berada di luar lembaga penegak hukum,seperti
kepolisian,kejaksaan,dan pengadilan.
Sehingga dalam memberikan perlindungan hak-hak dan kepentingan saksi dan korban
akan mengalami kendala dan hambatan. Selama ini dalam proses peradilan pidana
keberadaan saksi dan korban hanya diposisikan sebagai pihak yang dapat memberikan
keterangan,di mana keterangannya dapat dijadikan alat bukti dalam mengungkap sebuah
tindak pidana,sehingga dalam hal ini yang menjadi dasar bagi aparat penegak hukum yang
menempatkan saksi dan korban hanya sebagai pelengkap dalam mengungkap suatu tindak
pidana dan memiliki hak-hak yang tidak banyak diatur dalam KUHAP,padahal untuk menjadi
seorang saksi dalam sebuah tindak pidana,tentunya keterangan yang disampaikan tersebut
dapat memberatkan atau meringankan seorang terdakwa,yang tentunya bagi terdakwa apabila
keterangan seorang saksi dan korban tersebut memberatkan tersangka/terdakwa,maka ada
kecenderungan terdakwa menjadikan saksi dan korban tersebut sebagai musuh yang telah
memberatkannya dalam proses penanganan perkara,hal ini tentunya dapat mengancam
keberadaan saksi dan korban.Berdasarkan hal tersebut,maka tentunya seorang saksi dan
korban perlu mendapatkan perlakuan dan hak-hak khusus,karena mengingat keterangan yang
disampaikan dapat mengancam keselamatan dirinya sebagai seorang saksi.Tanpa adanya
pengaturan yang tegas dan jaminan keamanan bagi seorang saksi,maka seseorang akan
merasa takut untuk menjadi seorang saksi.
Kedepannya diharapkan supaya diberikan jaminan keamanan dan keselamatan bagi
seorang saksi,agar masyarakat dapat berperan penting dalam mengungkap sebuah tindak
pidana,seperti menjadi seorang saksi,karena tanpa adanya jaminan keamanan dan
keselamatan yang diberikan kepada seorang saksi,maka masyarakat enggan atau bahkan tidak
mau menjadi seorang saksi,padahal keberadaan seorang saksi dalam mengungkap suatu
tindak pidana sangat penting.
Perlindungan terhadap saksi dan korban dalam proses peradilan khususnya kasus-kasus
pelanggaran HAM yang berat juga diakui dalam dunia internasional.Hal ini tercermin dalam
Mahkamah Internasional ad hoc bekas Yugoslavia (International Criminal Tribunal For
Former Yugoslavia) dan International Criminal Tribunal For Rwanda yang secara eksplisit
menyebutkan hal tersebut pada statute dan aturan teknis prosedur pengadilan.
Belajar dari pengalaman Mahkamah Pidana Internasional ad hoc tersebut,maka
perlindungan terhadap saksi dan korban dimuat dalam Statuta Roma Mahkamah Pidana
Internasional yang permanen atau Rome Statute of International Criminal Court
(International Crime Court)yang diratifikasi oleh lebih dari 60 negara.
Untuk lebih memberikan pengakuan dan memberikan jaminan yang lebih baik kepada
saksi dan korban atas hak-haknya dalam proses peradilan,maka dalam Statuta Roma diatur 3
hal penting,yaitu:
1. Victim participation in the proceedings; The statue mengakui bahwa korban dapat
memberikan kontribusi dalam proses persidangan dan yang terpenting bahwa saksi bukan

ditempatkan pada posisi yang pasif,akan tetapi bisa aktif terlibat dan memberikan keterangan
sebanyak mungkin yang bisa dijadikan bukti di dalam persidangan.
2. Protection of victim and witnesses; Statuta Roma International Crime Court ini mengakui
adanya jaminan perlindungan keamanan terhadap saksi amupun korban baik perlindungan
secara fisik dan mental juga perlindungan terhadap martabat dan privasi para saksi dan
korban.Adanya jaminan perlindungan saksi dan korban ini dimaksudkan juga untuk
memberikan kredibilitas dan dasar hukum pada International Crime Court,sehingga
mendapatkan dukungan yang baik dari semua pihak termasuk saksi dan korban
3. And the right to reparations. Keinginan agar mendapatkan reparations ini didasari pada rasa
penderitaan baik fisik maupun mental yang diderita oleh korban,sehingga sudah selayaknya
mereka mendapatkan reparations guna memperbaiki nasibnya di kemudian hari.

C. Landasan Yuridis Terhadap Perlindungan Korban


Tentang korban ini sudah mengalami banyak kemajuan seperti yang telah dituangkan
dalam Undang Undang No 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban. Tentang
kepentingan korban ini di Indonesia terdapat suatu lembaga yang menanguinya yaitu Lebaga
Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK). Serta ditindak lanjuti dengan Peraturan Pemerintah
Nomor 44 Tahun 2008 tentang pemberian Kompensasi, Restitusi, dan Bantuan Kepada saksi
dan korban.
Landasan Yuridis terhadap Perlindungan Korban dihubungkan dengan Lembaga
Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK)
Pasal 1 butir 3 Undang Undang No 13 Tahun 2006 dan Pasal 1 butir 6 Peraturan
Pemerintahan Nomor 44 Tahun 2008 dinyatakan LPSK adalah Lembaga yang bertugas dan
berwenang untuk memberikan perlindungan dan hak hak lain kepada saksi dan/atau korban
sebagaimana dimaksud Undang Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi
dan Korban[5]. Penjelasannya sabagai berikut :
a. LPSK merupakan lembaga mandiri, berkedudukan di ibu kota negara RI dan dapat
mempunyai perwakilan perwakilan di dearah sesuai keperluan[6].
b. LPSK bertanggung jawab untuk menangani pemberian perlindungan dan bantuan pada Saksi
dan Korban berdasarkan tugas dan kewenangan sebagaimana diatur dalam Undang Undang
ini[7].
c. LPSK bertanggunga jwab kepada presiden dan LPSK membuat laporan secara berkala
tentang pelaksaan tugas LPSK kepada Dewan Perwakilan Rakyat Paling sedikit sekali dalam
1(satu) tahun[8].
d. Anggota LPSK terdiri dari 7 (tujuh) orang yang berasal dari unsur profesional yang
mempunyai pengalaman di bidang hukum, HAM, akademisi dan sebagainya. Masa jabatan
LPSK 5 tahun, anggota LPSK diangkat oleh presiden dengan persetujuan DPR dan dapat
diajukan kembali hanya 1 (satu) kali masa jabatan berikutya. LPSK terdiri dari Pimpinan
(Ketua dan Wakil Ketua merangkap anggota) dan anggota.
e. Sekertariat yang membantu LPSK dalam pelaksanaan tugasnya.
1. Perlindungan dan Bantuan tehadap Korban Oleh LPSK (Lembaga Perlindungan Saksi dan
Korban).
Pasal 1 butir 6 Undang Unndang Nomor 13 Tahun 2006 yang dimaksud perlindungan
adalah segala upaya pemenuhan hak dan pemberian bantuan untuk memberikan rasa aman
kepada saksi dan/atau korban yang wajib dilaksanakan oleh LPSK atau lembaga lainnya
sesuai ketentuan Undang Undang.
Sedangkan yang dimaksud bantuan Pasal 1 butir 7 Peraturan Pemerintah Nomor 44
Tahun 2008 adalah layanan yang diberikan kepada korban dan/atau saksi oleh LPSK dalam
bentuk bantuan medis dan bantuan rehabilitasi psikososial.
a) Tata cara Pemberian Prelindungan
Hal yang perlu diketahui oleh korban atau saksi dan juga LPSK, antara lain :
1) Perjanjian perlindungan LPSK mempertimbangkan syarat syarat :
Sifat pentingnya keterangan saksi dan/atau korban.
Tingkat ancaman yang membahayakan saksi dan/atau korban.
Hasil tim medis atau psikolog terhadap saksi dan/atau korban.
Rekam jejak kejahatan yang pernah dilakukan oleh saksi dan/atau korban.
2) Tata cara memperoleh perlindungan:
Mengajukan permohonan secara tertulis kepada LPSK
LPSK memeriksa permohonan dan paling lambta 7 (tujuh) hari harus ada keputusan tertulis.

Apabila LPSK menerima permohonan, maka saksi dan/atau korban menandatangani


pernyataan kesediaan untuk mengikuti syarat dan ketentuan perlindungann saksi dan/atau
korban yang memuat:
- Kesediaan saksi dan/atau korban untuk memberikan kesaksian dalam proses peradilan.
- Kesediaan saksi dan/atau korban untuk menaati aturan yang berkenaan dengan
keselamatannya.
- Kesediaan saksi dan/atau korban untuk tidak berhubungan dengan cara apapun dengan orang
lain selain atas persetujuan LPSK,salama ia dalam perlindungan LPSK.
- Kewajiban saksi dan/atau korban untuk tidak memberitahukan kepada siapapun mengenai
keberadaannya dibawah perlindungan LPSK.
- hal hal lain yang dianggap perlu oleh LPSK.
LPSK wajib memberikan perlindungan sepenuhnya kepada saksi dan/atau korban
termasukkeluarga, sejak ditandatangani pernyataan kesediaan tersebut.
3) Penghentian Perlindungan
Atas permohonan saksi dan/atau korban jika permohonan diajukan atas inisiatif sendiri.
Atas permintaan pejabat yang berwenang, bila permohonan perlindungan diajukan pejabat
yang bersangkutan.
Saksi dan/atau korban melanggar ketentuan tertulis dalam perjanjian.
LPSK berpendapat bahwa saksi dan/atau korban tidak lagi memerlukan perlindungan
berdasarkan bukti bukti yang meyakinkan.
Penghentian perlindungan harus dilakukan secara tertulis.
b) Tata cara Pemberian Bantuan
1) Bantuan diberikan atas permintaan tertulis dari yang bersangkutan ataupun orang yang
mewakili kepada LPSK.
2) LPSK menentukan kelayakan diberikannya bantuan kepada saksi dan/atau korban serta
jangka waktu dan besaran biaya yang diperlukan.
3) Keputusan LPSK mengenai pemberian bantuan harus diberitahukan secara tertulis kepada
yang bersangkutan paling lama 7 (tujuh) hari kerja sejak diterimanya permintaan.
LPSK sebagai suatu lembaga yang melindungi kepentingan korban dan saksi selain
memberikan perlindungan dan pemberian bantuan, LPSK juga mempunyai tugas lain yaitu
pemberian Kompensasi, Restitusi dan Rehabilitasi. Mengenai kompensasi, restitusi dan
rehabilitasi, diatur dalam Pasal 35 yang pada pokoknya:
a. setiap korban pelanggaran HAM yang berat dan atau ahli waris dapat memperoleh
kompensasi, restitusi dan rehabilitasi.
b. kompensasi, restitusi dan rehabilitasi tersebut, harus dicantumkan dalam amar putusan
Pengadilan HAM.
Penjelasan Pasal 35 Undang undang Nomor 26 Tahun 2000 dan Peraturan
Pemerintahan Nomor 3 Tahun 2002 menjabarkan pengertian maksud dari kompensasi,
restitusi dan rehabilitasi.
a. Kompensasi adalah ganti kerugian yang diberikan negara, karena pelaku tidak mampu
memberikan ganti kerugian sepenuhnya yang menjadi tanggung jawabnya.
b. Restitusi adalah ganti kerugian yang diberikan kepada korban atau keluarganya oleh pelaku
atau pihak ketiga, dapat berupa pengembalian harta milik, pembayaran ganti kerugian untuk
kehilangan atau penderitaan dan penggantian biaya untuk tindakan tertentu.
c. Rehabilitasi adalah pemulihan pada kedudukan semula, misalnya kehormatan, nama baik,
jabatan, atau hak hak lainnya[9].
UU Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah
Tangga Dalam undang-undang ini korban mendapat jaminan perlindungan sesuai dengan
pasal 1 angka 4: 42 Perlindungan adalah segala upaya yang ditujukan untuk memberikan

rasa aman kepada korban yang dilakukan oleh pihak keluarga, advokat, lembaga sosial,
kepolisian, kejaksaan, pengadilan atau pihak lainnya baik secara sementara maupun
berdasarkan penetapan pengadilan.

[1] Undang Undang (UU) No. 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi dan Korban Pasal
1 (2).
[2] upaya hukum yang dilakukan korban dikaji dari perspektif sistemperadilan
pidana.http://pnkepanjen.go.id, Akses 13 November 2013.
[3] http://hukumpositif.com/node/18 , Keberadaan Korban ditinjau Dalam Pandangan Teori dan
Praktik.

[4] Mudzakir, Posisi Hukum Korban Tindak Pidana Dalam Sistem Peradilan Pidana, Disertasi
Pengukuhan
Guru Besar di Universitas Indonesia, tanggal 6 April 2001, Hal. 1
[5] Bambang Waluyo,Viktimologi (Perlindungan Korban dan Saksi), (Jakarta: Sinar
Grafika,2012), hlm 99
[6] Undang Undang Nomor 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi dan Korban, Bab III
Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban, Ketentuan Umum Pasal 11 ayat (1), (2), (3).
[7] Ibid, Pasal 12 ayat (1)
[8] Ibid, Pasal 13 ayat (1), (2)
[9] Bambang Waluyo,Viktimologi (Perlindungan Korban dan Saksi), (Jakarta: Sinar
Grafika,2012), hlm 67-68

Perlindungan Saksi&Korban dalam sistem Peradilan Pidana

KATA PENGANTAR
Assalamualaikum wr.wbwr,wb,.
Alhamdulillah berkat pertolongan Allah SWT saya penulis dapat menyajikan
makalah yang berjudul Perlindungan Hukum terhadap Saksi dan Korban dalam sistem Peradilan
Pidana.
Makalah ini disusun untuk melengkapi tugas prodi ilmu hukum dalam materi Pengantar
Ilmu Hukum di UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, disamping itu juga sebagai pembelajaran
bagi saya penulis untuk mengetahui Perlindungan Hukum terhadap Saksi dan Korban dalam
sistem Peradilan Pidana.
Penulis menyadari sepenuhnya, bahwa makalah ini masih sangat masih
sangat jauh dari sempurna,baik isi,susunan kalimat,maupun sistematika urna, baik
isi,susunan kalimat maupun sistematika pembahasannya.Untuk itu
teguran,saran,dan nasihat para pembaca serta dosen annya. Untuk itu teguran,
saran dan nasihat para pembaca serta dosen pengampu senantiasa saya harapkan
demi kesempurnaan makalah saya ini.Tiada kesempurnaan makalah saya
ini.Tiadakesempurnaan makalah saya ini.Tiadaa saya harapkan demi kesempurnaan makalah
saya ini.Tiada gading yang tak retak,kata pepatah.Namun upaya mencari gading yang tidak
retak setidaknya telah saya usahakan.Akhirnya segala kesalahan dan kekurangan adalah tanggung jawab
saya sebagai penulis,namun apabila terdapat kebenaran dalam makalah ini semata n,apabila
terdapat kebenaran dalam Makalah inisematakarena hanya ridho,tuntunan,dan petunjuk dari
Allah sang maha pencipta.
Wassalamualaikum wr.wb
Yogyakarta,Desember 2012
Penulis
DAFTAR ISI
Kata
Pengantar.............................................................................................................. 1
Daftar
Isi....................................................................................................................... 2
Bab I Pendahuluan
1.1 Latar Belakang............................................................................................ 3
1.2 Maksud dan tujuan.......................................................................................3
1.3 Rumusan Masalah.........................................................................................3
Bab II Pembahasan
A.Saksi yang dilindungi dalam UU Perlindungan
Saksi&Korban...................................... 4
B.Perlindungan Saksi&Korban dalam sistem Peradilan
Pidana......................................... 6

C.Penerapan Asas Aquality Before The Law dalam UU No.13 Th


2006......................... 10
Bab III Penutup
Kesimpulan....................................................................................................................
14
Saran.............................................................................................................................
.14
Daftar
Pustaka............................................................................................................... 15
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Peranan saksi dalam setiap persidangan perkara pidana sangat penting karena
kerap keterangan saksi dapat mempengaruhi dan menentukan kecenderungan
keputusan hakim.Seorang saksi dianggap memiliki kemampuan yang dapat
menentukan kemana arah keputusan hakim.Hal ini memberikan efek kepada setiap
keterangan saksi selalu mendapat perhatian yang sangat besar baik oleh pelaku
hukum yang terlibat di dalam persidangan maupun oleh masyarakat pemerhati
hukum.Oleh karena itu saksi sudah sepatutnya diberikan perlindungan hukum
karena dalam mengungkap suatu tindak pidana saksi secara sadar mengambil
resiko dalam mengungkap kebenaran materiil.
1.2 Maksud dan tujuan
Mengetahui Saksi yang dilindungi dalam UU Perlindungan Saksi&Korban
Mengetahui Perlindungan Saksi&Korban dalam sistem peradilan pidana
Mengetahui Penerapan Asas Aquality Before The Law dalam UU No.13 th 2006
1.3 Rumusan Masalah
Bagaiman Saksi yang dilindungi dalam UU Perlindungan Saksi&Korban?
Bagaimana Perlindungan Saksi&Korban dalam sistem peradilan pidana?
Bagaiman Penerapan Asas Aquality Before The Law dalam UU No.13 th 2006?
BAB II
PEMBAHASAN
A.Saksi yang dilindungi dalam UU Perlindungan Saksi&Korban
Dalam UU No.13 th 2006 tentang perlindungan saksi&korban dalam ketentuan
umumnya pasal 1,saksi adalah orang yang dapat memberikan keterangan guna
kepentingan penyelidikan,penyidikan,penuntutan,dan pemeriksaan di sidang
pengadilan tentang suatu perkara pidana yang ia dengar sendiri,ia lihat
sendiri,dan/atau ia alami sendiri.UU perlindungan saksi dan korban ini masih tetap
menggunakan konsep tentang pengertian saksi seperti yang diatur oleh
KUHAP.Perbedaan dengan rumusan KUHAP adalah bahwa status saksi dalam UU
ini sudah dimulai di tahap penyelidikan,sedangkan dalam KUHAP status saksi
dimulai dari tahap penyidikan.Pengertian saksi dalam UU ini memang lebih
maju,krena berupaya mencoba memasukkan atau (memperluas) perlindungan
terhadap orang-orang yang membantu dalam upaya penyelidikan pidana yang
berstatus pelapor atau pengadu.

Namun perlindungan terhadap status saksi dalam konteks penyelidikan inipun


masih terbatas dan kurang memadai karena terbentur pada doktrin yang diintrodusir
KUHAP,dimana saksinya haruslah orang yang keterangan perkara pidana yang ia
lihat sendiri,ia dengar sendiri,dan ia alami sendiri[1].Penggunaan doktrin inilah yang
kemudian akan membatasi perlindungan terhadap saksi yang berstatus pelapor atau
pengadu.Karena dalam banyak kasus ada orang yang berstatus pelapor ini
kadangkala bukanlah orang yang mendengar,melihat,atau mengalami sendiri
perkara tersebut.Oleh karena itu pula maka UU perlindungan saksi dan korban ini
sulit diterapkan untuk bisa melindungi orang-orang berstatuswhistlebower[2].Selain
itu dalam konteks definisi saksi yang terbatas tersebut,UU ini juga (tidak ada
ditemukan/diatur) melupakan orang-orang yang memberikan bantuan kepada aparat
penegak hukum untuk keterangan dan membantu proses pemeriksaan pidana yang
berstatus ahli (orang yang memiliki keahlian khusus).[3]
Perlu ditambahkan,UU ini tidak jelas mengatur status saksi berkaitan dengan
saksi dari pihak manakah yang bisa dilindungi.Apakah saksi yang membantu pihak
tersangka atau terdakwa (a charge) ataukah saksi dari pihak yang membantu aparat
penegak hukum (a de charge).Tidak dicantumkannya secara tegas hal ini nantinya
akan menimbulkan masalah dan membebani lembaga perlindungan saksi dan
korban dalam pelaksanaannya.Seharusnya UU ini menegaskan bahwa saksi yang
dilindungi dalam UU ini adalah saksi yang berstatus aparat penegak hukum.

B.Perlindungan saksi dan korban dalam sistem peradilan pidana


Pada saat saksi (korban) akan memberikan keterangan[4],tentunya harus
disertai jaminan bahwa yang bersangkutan terbebas dari rasa takut sebelum,pada
saat,dan setelah memberikan kesaksian.Jaminan ini penting untuk diberikan guna
memastikan bahwa keterangan yang akan diberikan benar-benar murni bukan hasil
rekayasa apalagi hasil dari tekanan pihak-pihak tertentu.Hal ini sejalan dengan
pengertian saksi itu sendiri,sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 1 butir 26 KUHAP.
Pasal 5 ayat 1 UU No.13 th 2006,mengatur beberapa hak yang diberikan kepada
saksi dan korban,yang meliputi:
a.Memperoleh perlindungan atas keamanan pribadi,keluarga,dan harta
bendanya,serta bebas dari ancaman yang berkenaan dengan kesaksian yang
akan,sedang,atau telah diberikannya.
b.Ikut serta dalam proses memilih&menentukan bentuk perlindungan dan dukungan
keamanan.
c.Memberikan keterangan tanpa tekanan
d.Mendapat penerjemah
e.Bebas dari pertanyaan yang menjerat
f.Mendapatkan informasi mengenai perkembangan kasus
g.Mendapatkan informasi mengenai putusan pengadilan
h.Mengetahui dalam hal terpidana dibebaskan
i.Mendapatkan identitas baru
j.Mendapatkan tempat kediaman baru
k.Memperoleh penggantian biaya transportasi sesuai dengan kebutuhan
l.Mendapat nasihat hukum

m.Memperoleh bantuan biaya hidup sementara sampai batas waktu perlindungan


berakhir.
Dalam Pasal 5 ayat (2)[5] disebutkan bahwa hak sebagaimana dimaksud pada
ayat 1 diberikan kepada saksi dan/atau korban tindak pidana dalam kasus-kasus
tertentu sesuai dengan keputusan Lembaga Perlindungan Saksi&Korban (LPSK).
Jelaslah berdasarkan ketentuan Pasal 5 ayat (2) UU No.13 th 2006,tidak setiap
saksi atau korban yang memberikan keterangan (kesaksian) dalam suatu proses
peradilan pidana,secara otomatis memperoleh perlindungan seperti yang dinyatakan
dalam UU ini.
Keberadaan ketentuan perundang-undangan yang mengatur mengenai saksi
dan korban tindak pidana,tetapi yang menjadi persoalan adalah dalam UU No.13 th
2006 yang memberikan tugas dan kewenangan mengenai perlindungan hak-hak
saksi dan korban adalah kepala lembaga perlindungan saksi dan korban,padahal
yang melakukan penyidikan dan pemeriksaan di depan sidang pengadilan bukan
lembaga perlindungan saksi,di mana lembaga perlindungan saksi ini berada di luar
lembaga penegak hukum,seperti kepolisian,kejaksaan,dan pengadilan.
Sehingga dalam memberikan perlindungan hak-hak dan kepentingan saksi dan
korban akan mengalami kendala dan hambatan.[6]
Selama ini dalam proses peradilan pidana keberadaan saksi dan korban hanya
diposisikan sebagai pihak yang dapat memberikan keterangan,di mana
keterangannya dapat dijadikan alat bukti dalam mengungkap sebuah tindak
pidana,sehingga dalam hal ini yang menjadi dasar bagi aparat penegak hukum yang
menempatkan saksi dan korban hanya sebagai pelengkap dalam mengungkap
suatu tindak pidana dan memiliki hak-hak yang tidak banyak diatur dalam
KUHAP,padahal untuk menjadi seorang saksi dalam sebuah tindak pidana,tentunya
keterangan yang disampaikan tersebut dapat memberatkan atau meringankan
seorang terdakwa,yang tentunya bagi terdakwa apabila keterangan seorang saksi
dan korban tersebut memberatkan tersangka/terdakwa,maka ada kecenderungan
terdakwa menjadikan saksi dan korban tersebut sebagai musuh yang telah
memberatkannya dalam proses penanganan perkara,hal ini tentunya dapat
mengancam keberadaan saksi dan korban.Berdasarkan hal tersebut,maka tentunya
seorang saksi dan korban perlu mendapatkan perlakuan dan hak-hak khusus,karena
mengingat keterangan yang disampaikan dapat mengancam keselamatan dirinya
sebagai seorang saksi[7].Tanpa adanya pengaturan yang tegas dan jaminan
keamanan bagi seorang saksi,maka seseorang akan merasa takut untuk menjadi
seorang saksi.Kedepannya diharapkan supaya diberikan jaminan keamanan dan
keselamatan bagi seorang saksi,agar masyarakat dapat berperan penting dalam
mengungkap sebuah tindak pidana,seperti menjadi seorang saksi,karena tanpa
adanya jaminan keamanan dan keselamatan yang diberikan kepada seorang
saksi,maka masyarakat enggan atau bahkan tidak mau menjadi seorang
saksi,padahal keberadaan seorang saksi dalam mengungkap suatu tindak pidana
sangat penting.
Perlindungan terhadap saksi dan korban dalam proses peradilan khususnya
kasus-kasus pelanggaran HAM yang berat juga diakui dalam dunia internasional.Hal
ini tercermin dalam Mahkamah Internasional ad hoc bekas Yugoslavia (International
Criminal Tribunal For Former Yugoslavia) danInternational Criminal Tribunal For
Rwanda yang secara eksplisit menyebutkan hal tersebut pada statute dan aturan
teknis prosedur pengadilan.
Belajar dari pengalaman Mahkamah Pidana Internasional ad hoc tersebut,maka
perlindungan terhadap saksi dan korban dimuat dalam Statuta Roma Mahkamah

Pidana Internasional yang permanen atau Rome Statute of International Criminal


Court (International Crime Court) yang diratifikasi oleh lebih dari 60 negara.
Untuk lebih memberikan pengakuan dan memberikan jaminan yang lebih baik
kepada saksi dan korban atas hak-haknya dalam proses peradilan,maka dalam
Statuta Roma diatur 3 hal penting,yaitu:
1.Victim participation in the proceedings;
The statue mengakui bahwa korban dapat memberikan kontribusi dalam proses
persidangan dan yang terpenting bahwa saksi bukan ditempatkan pada posisi yang
pasif,akan tetapi bisa aktif terlibat dan memberikan keterangan sebanyak mungkin
yang bisa dijadikan bukti di dalam persidangan.
2.Protection of victim and witnesses;
Statuta Roma International Crime Court ini mengakui adanya jaminan perlindungan
keamanan terhadap saksi amupun korban baik perlindungan secara fisik dan mental
juga perlindungan terhadap martabat dan privasi para saksi dan korban.Adanya
jaminan perlindungan saksi dan korban ini dimaksudkan juga untuk memberikan
kredibilitas dan dasar hukum pada International Crime Court,sehingga mendapatkan
dukungan yang baik dari semua pihak termasuk saksi dan korban.
3.And the right to reparations.[8]
Keinginan agar mendapatkan reparations ini didasari pada rasa penderitaan baik
fisik maupun mental yang diderita oleh korban,sehingga sudah selayaknya mereka
mendapatkan reparations guna memperbaiki nasibnya di kemudian hari.
C.Penerapan Asas Aquality Before The Law dalam UU No.13 th 2006
tentang Perlindungan Saksi&Korban.
Sistem perlindungan saksi dilaksanakan berdasarkan atas[9]:
Asas Perlindungan
Maksud asas ini mengacu pada kewajiban Negara untuk melindungi warga
negaranya terutama mereka yang dapat terancam keselamatannya baik fisik
maupun mental.
Asas hak atas rasa aman
Dalam hak ini termasuk pula hak untuk tidak disiksa atau diperlakukan secara kejam
dan tidak manusiawi sesuai dengan konvensi menentang penyiksaan yang telah
diratifikasi
Asas hak atas keadilan
Tersangka dan terdakwa telah diberikan seperangkat hak dalam KUHAP dan
seyogyanya seorang saksi harus mendapat pula keadilan.
Asas hak penghormatan atas harkat dan martabat manusia
Peran seorang saksi selama ini tidak pernah mendapat perhatian yang memadai
dari penegak hukum,walaupun ia berperan dalam mengungkapkan suatu tindak
pidana.
Seorang saksi dan korban berhak memperoleh perlindungan atas keamanan
pribadinya dari ancaman fisik maupun psikologis dari orang lain,berkenaan dengan
kesaksian yang akan,tengah,atau lebih diberikannya atas suatu tindak
pidana.Disamping itu sejumlah hak diberikan kepada saksi dan korban,antara lain
berupa hak untuk memilih,dan menentukan bentuk perlindungan dan dukungan
keamanan,hak untuk mendapatkan nasihat hukum,hak untuk memberikan
keterangan tanpa tekanan,hak untuk mendapatkan identitas dan tempat kediaman
baru,serta hak untuk memperoleh penggantian biaya transportasi sesuai dengan
kebutuhan.

Pembahasan mengenai penerapan asas Aquality Before The Law dalam UU


No.13 th 2006 tentang perlindungan saksi dan korban dalam sistem peradilan
pidana di Indonesia merupakan hal yang sangat penting mengingat asas tersebut
merupakan asas fundamental dalam sistem peradilan pidana,sehingga setiap
peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai hukum acara pidana
harus mewujudkan asas Aquality Before The Law.
Dalam UU No.13 th 2006 tentang perlindungan saksi dan korban memberikan
perlindungan dan bantuan terhadap saksi maupun korban.Perlindungan yang
dimaksud adalah dalam bentuk perbuatan yang memberikan tempat bernaung atau
perlindungan bagi seseorang yang membutuhkan,sehingga merasa aman terhadap
ancaman di sekitarnya.
Selanjutnya di kepolisian,penerapan perlindungan saksi terhadap merupakan
suatu kewajiban bagi pihak kepolisian dalam kedudukan sebagai aparatur pelindung
masyarakat,hal ini diatur dalam Pasal 13 huruf c UU kepolisian[10].Dalam proses
penyidikan karena polisi jadi penyidik,maka perlindungan tersebut dilakukan hanya
sebatas alamat rumah,kemudian memonitor rumah dan menempatkan petugas
untuk berjaga di luar rumah dalam batas tertentu.Hal inilah yang dianggap kepolisian
sebagai bentuk perlindungan.
Di Kejaksaan,perlindungan terhadap saksi bentuknya sangat sederhana seperti
mengantar saksi dari dan kepengadilan,meminta kepolisian menempatkan
anggotanya di rumah saksi,melindungi saksi dengan cara perlindungan
hukum[11].Seperti kompensasi tidak dijadikan tersangka.
Dalam KUHAP telah terdapat beberapa Pasal yang mengakomodir sedikitnya
perlindungan terhadap saksi antara lain:Pasal 108 ayat (1) yang menentukan bahwa
setiap orang mengalami,melihat,dan menyaksikan dan atau menjadi korban
peristiwa yang merupakan tindak pidana berkak untuk mengajukan laporan atau
pengaduan kepada penyidik baik lisan maupun tulisan.Selanjutnya Pasal 117 ayat
(1),selain itu dalam proses peradilan seorang saksi memiliki hak untuk memberikan
keterangan kepada penyidik tanpa tekanan dari siapapun dan atau dalam bentuk
apapun,serta pada pembuktian dimuka siding pengadilan kepada seorang saksi
tidak boleh diajukan pertanyaan-pertanyaan yang bersifat menjerat yang terdapat
pada pasal 166 KUHAP.
Pemaparan mengenai konsep perlindungan saksi merupakan suatu hal yang
dapat dikatakan baru.Namun apabila membicarakan mengenai saksi mungkin bukan
merupakan kata yang baru lagi dikarenakan setiap membicarakan perbuatan hukum
baik perdata maupun pidana maka dihadapkan pada situasi yang member
kemungkinan kata saksi dipergunakan.Dalam teori tentang pemakaian alat
bukti,maka saksi merupakan salah satu bentuk alat bukti dalam bentuk pemberian
keterangan di dalam proses peradilan.Pemakaian keterangan saksi sebagai alat
bukti merupakan suatu pemberian kedudukan saksi dalam hal kerangka proses
peradilan.Kehadiran seorang saksi sangat berarti dalam penyelesaian kasus.
Perlindungan lain juga diberikan kepada saksi atau korban dalam suatu proses
peradilan pidana,meliputi:
a.memberikan kesaksian tanpa hadir langsung di pengadilan tempat perkara
tersebut diperiksa,tentunya setelah ada izin dari hakim (Pasal 9 ayat 1);[12]
b.saksi,korban,dan pelapor tidak dapat dituntut secara hukum baik pidana maupun
perdata atas laporan,kesaksian yang akan,sedang,atau telah diberikannya.
BAB III
PENUTUP

Kesimpulan
Peranan saksi dalam setiap persidangan perkara pidana sangat penting karena
kerap keterangan saksi dapat mempengaruhi dan menentukan kecenderungan
keputusan hakim. Oleh karena itu saksi sudah sepatutnya diberikan perlindungan
hukum karena dalam mengungkap suatu tindak pidana saksi secara sadar
mengambil resiko dalam mengungkap kebenaran materiil.
Seorang saksi dan korban berhak memperoleh perlindungan atas keamanan
pribadinya dari ancaman fisik maupun psikologis dari orang lain,berkenaan dengan
kesaksian yang akan,tengah,atau lebih diberikannya atas suatu tindak pidana.
Saran
Penulis sadar bahwa isi dari makalah ini belum sempurna seperti apa yang diharapkan,
maka dari itu penulis mengharapkan kritik dan saran dari dosen pembimbing atas
ketidaksempurnaan penulisan makalah ini agar kedepannya bisa lebih baik.

DAFTAR PUSTAKA

Supriyadi Widodo Eddyono.2006.Saksi sosok yang Terlupakan Dalam Sistem


Peradilan Pidana.Koalisi perlindungan Saksi dan Elsam.
Prof.DR.Muhadar,SH,M.Si.,Edi Abdullah,SH,M.H.,dan Husni
Thamrin,SH,M.M,M.H.2009.Perlindungan Saksi dan Korban dalam Sistem
Peradilan Pidana.Surabaya.ITS Press
DR.H.Soeharto,SH.,M.H.,2007.Perlindungan Hak Tersangka,Terdakwa,dan Korban
Tindak Pidana Terorisme dalam Sistem Peradilan Pidana Indonesia.Bandung.PT.Refika
Aditama
Drs.Dikdik M.Arief Mansur,SH.,M.H.dan Elisatris Gultom SH.,M.H.2008.Urgensi
Perlindungan Korban Kejahatan.Jakarta.PT.Raja Grafindo Persada
Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana

[1] KUHAP,BAB 1 Ketentuan umum,pasal 1 butir 26


[2]
Supriyadi widodo eddyono saksi,sosok yang terlupakan dari sistem peradilan pidana,koalisis
perlindungan saksi dan Elsam.2006,hal 9
Whistleblower adalah orang-orang yang mengungkap fakta secara terjemahan bahasa Indonesia peniup peluit
yang memberikan peringatan kepada publik mengenai suatu skandal,bahaya,alpraktik mal administrasi maupun
korupsi.Di Indonesia sebetulnya banyak orang-orang yang bisa dikatakan sebagai whistle blower.

[3]
KUHAP,BAB 1 Ketentuan umum,Pasal 1 butir 28
Keterangan ahli adalah keterangan yang diberikan oleh seorang yang memiliki keahlian khusus tentang hal yang
diperlukan untuk membuat terang suatu perkara pidana guna kepentingan pemeriksaan.
[4]
KUHAP,BAB 1 Ketentuan umum,Pasal 1 butir 27
Keterangan saksi adalah salah satu alat bukti dalam perkara pidana yang berupa keterangan dari saksi
mengenai suatu peristiwa pidana yang ia dengar sendiri,ia lihat sendiri,dan ia alami sendiri dengan menyebut
alasan dari pengetahuannya itu.
[5]
Pasal 5 ayat (2) UU No.13 th 2006,menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan Kasus-kasus
tertentu,antara lain,tindak pidana korupsi,tindak pidana narkotika/psikotropika,tindak pidana terorisme,dan
tindak pidana lain yang mengakibatkan posisi saksi dan korban dihadapkan pada situasi yang sangat
membahayakan jiwanya.
[6]
Prof.DR.Muhadar,SH,M.Si,,Edi Abdullah,SH,M.H dan Husni Thamrin SH,M.M,M.H.,Perlindungan Saksi
dan Korban Dalam Sistem Peradilan Pidana,hal.180
[7]

Prof.DR.Muhadar,SH,M.Si,,Edi Abdullah,SH,M.H dan Husni Thamrin SH,M.M,M.H.,Perlindungan Saksi


dan Korban Dalam Sistem Peradilan Pidana,hal.182
[8]
Sriyana,Kendala Perlindungan Saksi dan Korban Dalam Penyelidikan Perkara HAM,hlm.6.
[9]

UU No.13 th 2006,Pasal 3
Pasal 13 huruf c UU kepolisian menyatakan bahwa tugas pokok kepolisian adalah memberikan
perlindungan,pengayoman,dan pelayanan kepada masyarakat.

[10]

[11] Prof.DR.Muhadar,SH,M.Si,,Edi Abdullah,SH,M.H.,dan Husni Thamrin,SH,M.M,M.H.,


Hasil wawancara dengan Jaksa Raimel Jesaja di Kantor Kejaksaan Negeri Makassar pada Hari Selasa 22 April
2008.Pukul 13.00 Wita.

[12]

Kesaksian tanpa kehadiran seorang saksi atau korban secara fisik di pengadilan dapat diberikan baik
secara tertulis yang disampaikan di hadapan pejabatyang berwenang dengan membubuhkan tanda tangannya
pada berita acara yang memuat tentang kesaksiannya maupun secara langsung melalui sarana elektronik
dengan didampingi oleh pejabat yang berwenang.

Diposkan oleh dina oktaviani di 20.24

Anda mungkin juga menyukai