Anda di halaman 1dari 8

LOMBA ESAI MAHASISWA TINGKAT NASIONAL FESTIVAL ILMIAH

FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG


TAHUN 2018

MENGOPTIMALISASI KEADILAN DI PEDESAAN MELALUI RPH


(RUMAH PEDULI HUKUM) SEBAGAI UPAYA SUSTAINABLE
DEVELOPMENT

Diusulkan Oleh :
Yunita Miftahul Jannah / 160151600004 / Angkatan 2016

UNIVERSITAS NEGERI MALANG


MALANG
2018

0
MENGOPTIMALISASI KEADILAN DI PEDESAAN MELALUI RPH
(RUMAH EDULI HUKUM) SEBAGAI UPAYA SUSTAINABLE
DEVELOPMENT
Yunita Miftahul Jannah

Indonesia merupakan negara hukum, sesuai dengan bunyi pasal 1 ayat (3) UUD
1945 yang diamandemen dan disahkan pada 10 November 2001 yang menyatakan,
“Negara Indonesia adalah Negara Hukum.” Menurut Julius Stahl, konsep Negara
Hukum mencakup empat elemen penting, yaitu: (1) Perlindungan Hak Asasi Manusia,
(2) Pembagian Kekuasaan, (3) Pemerintahan berdasarkan Undang-undang, (4)
Peradilan Tata Usaha Negara. Keempat prinsip tersebut digabung menjadi ciri penting
Negara Hukum menurut “The International Commission of Jurists” yakni: (1) Negara
harus tunduk pada hukum, (2) Pemerintah menghormati hak-hak individu, (3)
Peradilan yang bebas dan tidak memihak.
Berbanding terbalik dengan fakta bahwa Indonesia merupakan Negara Hukum,
masih banyak ketidakadilan perlakuan di hadapan hukum. Kurangnya kesadaran dan
pengetahuan masyarakat mengenai hukum membuat masyarakat tidak menyadari
bahwa hak mereka sebagai warga negara sedang dilanggar. Salah satu contohnya
adalah kasus Didin, warga Kampung Rarahan, desa Cimacan, kecamatan Cipanas yang
mencari cacing sonari untuk pengobatan di kawasan Taman Nasional Gunung Gede
Pangrango terancam hukuman 10 tahun penjara berdasarkan pasal 78 ayat (5) dan atau
ayat (12) dan pasal 50 ayat (3) Undang Undang Nomor 41 tahun 1999 tentang
Kehutanan dengan tuduhan merusak lingkungan. Padahal cacing sonari bukan
merupakan satwa yang dilindungi dan keberadannya tidak di dalam tanah sehingga
tidak sulit untuk mencarinya (Kompas, 2017). Selanjutnya adalah kasus nenek lansia
berusia 92 tahun bernama Saulina Boru Sitoris atau Ompung Linda yang divonis
hukuman kurungan hanya karena menebang pohon durian milik kerabatnya. Ompung
Linda sudah mencoba meminta maaf namun ditolak dan pemilik baru mau berdamai
jika diberi uang kompensasi senilai ratusan juta. Dikarenakan tidak memiliki harta,
Ompung Linda terpaksa duduk di kursi terdakwa dan tak kuasa menahan air mata
mendengar pernyataan majelis hakim yang menyatakan dirinya bersalah (Times,
2018).

1
Bandingkan kasus tersebut dengan kasus para koruptor beserta vonis yang
diberikan. Yang pertama adalah kasus Tubagus Chaeri Wardhana alias Wawan.
Terbukti merugikan negara lebih dari Rp 9 milyar, Wawan hanya divonis satu tahun
penjara oleh Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Serang, Banten pada Oktober 2016
(Okezone, 2016). Kemudian kasus Jero Wacik yang hanya divonis 4 tahun penjara,
denda Rp 150 juta serta uang pengganti Rp 5,07 miliar. Padahal Jero didakwa
merugikan negara sebesar Rp10.597.611.831, melakukan pemerasan di lingkungan
Kementerian ESDM untuk menunjang kepentingan pribadi sebesar Rp10.381.943.075
dan menerima gratifikasi pembayaran biaya pesta ulang tahun dirinya sebesar
Rp349.065.174 (Beritagar, 2016).
Data terbaru dari Indonesia Corruption Watch (ICW) menunjukkan vonis
pengadilan bagi para koruptor secara umum memang masih sangat rendah.
Riset yang dilakukan ICW selama 2017 menyebutkan rata-rata vonis dari pengadilan
terkait kasus korupsi hanya 2 tahun 2 bulan. Meskipun rendah, namun vonis ini masih
lebih baik dari data tahun 2016 yang menyebutkan bahwa 76% kasus korupsi atau
sebanyak 354 putusan perkara korupsi divonis ringan dengan rata-rata hanya 1 tahun
11 bulan penjara.
Fakta ini tentu sangat ironis mengingat Indonesia merupakan negara hukum
dimana setiap orang harus diperlakukan sama dibawah hukum tanpa memandang ras,
gender, kebangsaan, warna kulit, etnis, agama difabel, atau karakteristik lain, tanpa
hak istimewa, diskriminasi berdasarkan UUD 1945 pasal 27 ayat (1) “Segala warga
negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib
menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya”. Meskipun
seluruh penegak hukum pastinya mengetahui bahkan mungkin memaknai kandungan
dari UUD 1945 pasal 27 ayat (1) namun kenyataan menunjukkan bahwa orang kaya
yang memiliki jabatan dan kekuasaan tinggi seolah menjadi adikuasa sistem hukum di
negeri ini. Orang miskin yang tidak memiliki apapun pantang menyenggol hukum
walau hanya setitik karena sistem hukum akan akan memperlakukannya secara tegas
tanpa ampun dan rasa kemanusiaan.
Pemerintah sudah berusaha untuk mengentaskan permasalahan ini melalui
didirikannya LBH (Lembaga Bantuan Hukum) pada tahun 1969 yang memiliki 15
kantor cabang dan 7 pos yang tersebar dari Banda Aceh hingga Papua. Menurut

2
Roberto Conception bantuan hukum adalah pengungkapan yang umum yang
digunakan untuk menunjuk kepada setiap pelayanan hukum yang ditawarkan atau
diberikan. Ini terdiri dari pemberian informasi atau pendapat mengenai hak-hak,
tanggung jawab dalam situasi tertentu, sengketa, litigasi atau proses hukum yang dapat
berupa peradilan, semi peradilan atau yang lainnya. Adnan Buyung Nasution
mengemukakan bahwa, “Bantuan hukum dalam pengertiannya yang luas dapat
diartikan sebagai upaya untuk membantu golongan yang tidak mampu dalam bidang
hukum”. Sebelumnya, Adnan Buyung Nasution juga telah menegaskan bahwa,
bantuan hukum yang dimaksud adalah khusus bantuan hukum bagi golongan
masyarakat yang berpenghasilan rendah atau “miskin”. Menurut Undang-Undang
Nomor 16 Tahun 2011 tentang Bantuan Hukum pasal 1 ayat 3 disebutkan bahwa,
“Pemberi Bantuan Hukum adalah lembaga bantuan hukum atau organisasi
kemasyarakatan yang memberi layanan Bantuan Hukum berdasarkan Undang-Undang
ini”.
Namun, hadirnya LBH (Lembaga Bantuan Hukum) ternyata masih belum
mampu menjangkau masyarakat pedesaan. Apalagi yang bertempat tinggal jauh dari
keramaian dengan kondisi jalan sulit diakses. Padahal setiap masyarakat berhak
memperoleh bantuan hukum tanpa kecuali, termasuk akibat kendala tempat tinggal.
Ketimpangan hukum akan terus terjadi sebelum muncul inovasi yang
memberikan pemberdayaan masyarakat dan diharapkan mampu menjadi solusi.
Sehingga ketika suatu saat terjadi perlakuan ketidakadilan di hadapan hukum, maka
masyarakat dapat mengetahui dan menindaklanjuti bahwa tindakan tersebut
merupakan pelanggaran HAM.
RPH (Rumah Peduli Hukum) merupakan sarana yang bergerak di bidang
hukum untuk masyarakat pedesaan yang memiliki 2 fungsi yakni mencegah dan
mengobati. Untuk fungsi mencegah, RPH akan bekerja sama dengan Komnas HAM,
LSM dan LBH untuk memberikan penyuluhan kepada masyarakat mengenai hukum
yang bertujuan untuk memberikan wawasan dan menanamkan sikap sadar hukum.
Selain penyuluhan juga dilaksanakan sharing mengenai permasalahan yang sedang
dialami masyarakat untuk membantu dan menentukan apakah masalah tersebut perlu
ditindaklanjuti ke ranah hukum atau tidak. Inilah fungsi kedua yang berupa mengobati,
yakni membantu masyarakat yang membawa permasalahannya ke ranah hukum.

3
Fungsi kedua juga digunakan untuk membantu masyarakat yang terjerat kasus hukum.
Bantuan yang diberikan berupa pendampingan selama penyelidikan dan juga bantuan
untuk mencari bukti-bukti guna menyelamatkan korban yang tidak bersalah atau untuk
meringankan hukuman sesuai kesalahan yang dituduhkan.
Pendirian RPH di daerah memiliki beberapa syarat yang harus dipenuhi untuk
benar-benar memaksimalkan tujuan awal. Persyaratan tersebut akan dianggap
terpenuhi setelah adanya analisis yang dilakukan oleh tim untuk memperoleh data
konkrit dari lapangan. Syarat-syarat tersebut antara lain: (1) Banyak kasus pelanggaran
HAM yang dibiarkan, (2) Rendahnya pendidikan masyarakat, (3) Minimnya
penghasilan masyarakat, (4) Jarak tempuh jauh menuju lembaga hukum terdekat, (5)
Sulitnya medan tempuh menuju lapangan, (6) Belum atau jarang dijangkau oleh LBH
dan Komnas HAM dalam acara penyuluhan atau acara lainnya yang serupa.
Di dalam RPH sendiri memperkejakan lulusan hukum yang dipilih melalui
sistem ketat agar advokat yang bekerja untuk RPH mampu menghadapi masyarakat
pedesaan yang cenderung sulit diarahkan akibat pendidikan rendah dan kurangnya
perhatian dari pemerintah. Namun, mungkin pekerjaan yang berlokasi di pedesaan dan
masyarakat yang terbelakang justru akan mengurangi minat para lulusan hukum untuk
mendaftar, karenanya kerjasama dari berbagai pihak untuk mensosialisasikan program
RPH dalam membangkitkan kesadaran terhadap sesama sangat penting perannya
dalam tahap ini.
Untuk dapat mengimplementasikan RPH secara optimal maka dibutuhkan
peran serta dari pemerintah dan berbagai komponen masyarakat. Berikut adalah pihak-
pihak yang terlibat beserta tugas dan wewenang dalam mengimplementasikan RPH
yang tertera pada Tabel 1.
No. Pihak yang terlibat Tugas/wewenang
1. Kementerian Hukum 1. Mengkaji secara komprehensif RPH terlebih
dan Hak Asasi dahulu serta menyusun pendukung unsur–unsur
Manusia Republik yang menunjang keberjalanan RPH.
Indonesia 2. Membangun kerja sama dengan berbagai pihak
untuk bersama-sama mewujudkan RPH.
3. Mengawasi kerjasama antara pihak-pihak yang
terlibat dalam RPH.

4
2. Kementerian Hukum 1. Menjadi penghubung antara Kemenkumham RI
dan Hak Asasi dengan lembaga yang berada di daerah.
Manusia Republik 2. Membantu perekrutan lulusan hukum yang akan
Indonesia Wilayah bekerja untuk RPH.
Provinsi
3. Komnas HAM Bekerjasama dengan LBH dan LSM untuk
melaksanakan penyuluhan dan mengedukasi
masyarakat.
4. Lembaga Bantuan Bekerjasama dengan Komnas HAM dan LSM untuk
Hukum melaksanakan penyuluhan dan mengedukasi
masyarakat.
5. Lembaga Swadaya Bekerjasama dengan LBH dan Komnas HAM untuk
Masyarakat melaksanakan penyuluhan dan mengedukasi
masyarakat.
6. Kepala Daerah 1. Mengawasi pelaksanaan RPH di daerah yang
dipimpin.
2. Membimbing dan mengarahkan masyarakat untuk
aktif dalam kegiatan RPH
3 Mendorong masyarakat untuk terbuka terhadap
masalah yang dialami kepada RPH
7. Masyarakat Membantu berjalannya RPH dengan mengikuti
berbagai program yang diselenggarakan dengan
baik.
Tabel 1. Pihak yang berwenang dalam mengimplementasikan RPH

Simpulan
RPH (Rumah Peduli Hukum) diharapkan mampu menjadi salah satu alternatif
solusi untuk mengurangi ketidakadilan yang diterima masyarakat terkait
permasalahan hukum. Fungsi mencegah berupa penyuluhan dan fungsi mengobati
berupa menemani masyarat yang terjerat hukum atau sedang melaporkan kasusnya
ke ranah hukum diharapkan mampu membuktikan ke masyarakat bahwa keadilan
hukum bagi setiap warga negara bukan hanya angan semata. Pemilihan penempatan

5
RPH di daerah secara selektif dengan berbagai syarat yang harus dilakukan analisa
terlebih dahulu merupakan cara untuk mencegah bahwa bantuan hukum yang
diberikan tepat sasaran. Dibutuhkan kerja sama yang terintegrasi secara fungsional
antara pemerintah dan berbagai komponen masyarakat dalam mensukseskan
implementasi RPH untuk mewujudkan keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia.

6
DAFTAR PUSTAKA
Abdurrahman. 1983. Aspek-Aspek Bantuan Hukum di Indonesia. Jakarta: Cendana
Press
Djumena, Erlangga. 2017. Gara-gara Mencari Cacing, Didin Ditahan dan Terancam
10 Tahun Penjara, (Online),
(https://regional.kompas.com/read/2017/05/09/13262391/gara-
gara.mencari.cacing.didin.ditahan.dan.terancam.10.tahun.penjara), diakses 11 Juli
2018
Mamahit, Ricko. 2013. KEDUDUKAN DAN FUNGSI LEMBAGA BANTUAN
HUKUM DALAM MEMBERIKAN BANTUAN HUKUM KEPADA MASYARAKAT
YANG KURANG MAMPU, Vol 2 (4), 67-69
Mohammad, Yandi. 2016. Jero Wacik dihukum penjara 4 tahun, kategori vonis
ringan. (Online), https://beritagar.id/artikel/berita/jero-wacik-dihukum-penjara-4-
tahun-kategori-vonis-ringan
Multatuli, Iqbal. 2016. Korupsi Rp9,6 Miliar, Wawan Dihukum Satu Tahun
Penjara, (Online),
(https://news.okezone.com/read/2016/10/19/337/1519219/korupsi-rp9-6-miliar-
wawan-dihukum-satu-tahun-penjara), diakses 11 Juli 2018
Purwanto, Didit. 2016. UNDANG-UNDANG NOMOR 16 TAHUN 2011 TENTANG
BANTUAN HUKUM. Skripsi tidak diterbitkan. Surabaya : Fakultas Hukum
Universitas Narotama Surabaya
Santi, Dewi. 2018. Miris! Nenek 92 Tahun Divonis Penjara Hanya karena
Menebang Pohon Durian, (Online),
(https://www.idntimes.com/news/indonesia/santi-dewi/miris-nenek-92-tahun-
divonis-penjara-hanya-karena-menebang-pohon-durian-1), diakses 11 Juli 2018
Soekanto, Soerjono. 2007. Pengantar Penelitian Hukum. 2007. Jakarta: UI Press
Undang-Undang Dasar 1945 pasal 1 ayat (3)
Undang-Undang Dasar 1945 pasal 78 ayat (5) dan atau ayat (12)
Undang-Undang Dasar 1945 pasal 50 ayat (3)
Undang Undang Nomor 41 tahun 1999 tentang Kehutanan
Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2011 tentang Bantuan Hukum pasal 1 ayat 3
YLBHI dan AusAID. 2014. Panduan Bantuan Hukum Di Indonesia. Jakarta: YLBHI

Anda mungkin juga menyukai