Anda di halaman 1dari 9

BAB I

PENDAHULUAN
Rambut merupakan salah satu adneksa kulit yang terdapat pada seluruh tubuh kecuali
telapak tangan, telapak kaki, kuku dan bibir. Alopesia atau kebotakan mempunyai beberapa
tipe, salah satunya adalah alopesia areata. Alopesia areata merupakan kebotakan setempat dan
berbatas tegas, umumnya terdapat pada kulit kepala, tapi dapat juga mengenai daerah
berambut lainnya. Sampai sekarang penyebabnya belum diketahui sering dihubungkan
dengan adanya sistem kekebalan tubuh, infeksi lokal, dan stres emosional.
(Fitzpatrick TB,1999)
Gejala klinisnya biasanya ditandai dengan adanya bercak dengan kerontokan rambut pada
kulit kepala, alis, janggut dan bulu mata. Dan kadang kadang hampir mirip dengan penyakit
lainnya seperti tinea kapitis, lupus eritematosus, trikotilomania dan sebagainya. Beberapa
kasus dapat sembuh spontan. Penyuntikan intralesi dengan triamsinolon asetonid dapat
menolong, juga aplikasi topikal dengan kortikosteroid. Dapat juga dengan pemberian fenol
95% yang dinetralisasikan dengan alkohol setiap minggu. (Fitzpatrick TB,1999)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA
II. DEFINISI
Alopesia areata adalah peradangan yang bersifat kronis dan berulang, yang
melibatkan folikel rambut, yang di tandai oleh timbulnya satu atau lebih bercak kerontokan
rambut pada skalp dan atau kulit yang berambut terminal lainnya. Lesi pada umumnya bulat
atau lonjong dengan batas tegas, permukaannya licin tanpa adanya tanda tanda atropi,
skuamasi maupun sikatriks. (Dawber RPR, 1998)
Saat ini bukti menunjukkan bahwa peradangan folikel rambut di alopesia areata ini
disebabkan oleh sel T, antibodi yang di temukan pada struktur folikel rambut, yang
diperantarai mekanisme autoimun yang terjadi cenderung terjadi secara genetik pada
individu. Selain itu faktor lingkungan mungkin bertanggung jawab untuk memicu penyakit.
(Fitzpatrick TB,1999)
III. EPIDEMIOLOGI
Di Amerika Serikat prevalensi pada populasi umum adalah 0.1-0.2%. Insiden dan
prevalensi alopesia areata tidak diketahui.Diperkirakan bahwa 1,7% dari penduduk akan
mengalami episode alopesia areata selama hidupnya. Alopesia areata adalah suatu kondisi
jinak dan kebanyakan pasien tanpa gejala, namun dapat menyebabkan gangguan emosi dan
psikososial pada individu yang terkena. Kesadaran diri tentang penampilan pribadi
merupakan hal yang penting. Tidak ada peningkatan prevalensi alopesia areata pada
kelompok etnis tertentu. Data mengenai rasio jenis kelamin untuk alopesia areata sedikit
berbeda dalam literatur. Dalam satu studi, pada 736 pasien, rasio laki-laki : perempuan
dilaporkan 1 : 1. Umur Alopesia areata dapat terjadi pada semua usia mulai dari lahir sampai
akhir dekade kehidupan. Kasus kongenital telah dilaporkan. Puncak insiden tampaknya
terjadi dari usia 15-29 tahun. Sebanyak 44% orang dengan alopesia areata telah mulai terlihat
pada usia kurang dari 20 tahun dan kurang dari 30% orang dengan alopesia areata terlihat
pada usia lebih dari 40 tahun. (Fitzpatrick TB,1999)

IV. ETIOLOGI

Penyebab sebenarnya dari alopesia areata tidak diketahui. Faktor yang mungkin
berperan adalah faktor genetik, autoimun dan faktor lingkungan.
1.

Genetik
Pentingnya faktor genetik pada alopesia areata ditandai oleh tingginya frekuensi pada
individu dengan keluarga yang mempunyai riwayat alopesia areata. Dilaporkan, kasus ini
berkisar dari 10 sampai 20% kasus, tetapi kasus-kasus ringan sering diabaikan atau
tersembunyi dari jumlah yang sebenarnya lebih besar. Sekitar 6% dari anak dengan riwayat
keluarga alopesia areata akan beresiko terkena alopesia areata selama masa hidupnya.
(Velden EM , 1998)

2. Autoimun
Banyak bukti yang mendukung hipotesis bahwa alopesia areata adalah kondisi
autoimun. Proses ini diperantarai sel T, antibodi yang ditemukan pada struktur folikel rambut
dimana frekuensinya meningkat pada pasien alopesia areata dibandingkan dengan subyek
kontrol. Dengan menggunakan immunofluorescence, antibodi pada akar rambut pada fase
anagen ditemukan sebanyak 90% dari pasien dengan alopesia areata dibandingkan dengan
subyek kontrol sebanyak 37%. Respon autoantibodi adalah target beberapa struktur folikel
rambut pada fase anagen. Selubung akar luar adalah struktur yang paling sering, diikuti oleh
selubung akar dalam, matriks, dan batang rambut.(4)Apakah antibodi ini memainkan peran
langsung dalam patogenesis tidak diketahui dengan pasti. Temuan biopsi dari lesi alopesia
areata menunjukkan limfositik perifollicular di sekitar folikel rambut pada fase anagen.
Infiltrat ini terdiri dari sel T-helper dan pada tingkat lebih rendah, sel T-supresor. CD4 + dan
CD8 + limfosit mungkin memainkan peran penting karena menipisnya hasil subtipe T-sel
dalam pertumbuhan kembali yang lengkap atau sebagian rambut. (Velden EM , 1998)
Pada alopesia areata kelainan pada respon imunitas humoral tidak terlalu menonjol.
Nilai immunoglobulin (Ig) pada umumnya normal walaupun ada yang menjumpai sedikit di
bawah normal. Pemeriksaan imunoflueoresensi langsung pada lesi-lesi skalp yang dilakukan
oleh Bystrin dkk (1979) menunjukkan endapan C3 dan kadang-kadang IgG dan IgM
sepanjang zona membran basalis folikel rambut pada 92% kasus alopesia areata. Peneliti lain
menjumpai endapan-endapan IgC, IgM dan C3 baik di zona membran basalis maupun di
ruang interselular sarung akar dalam.(7) Data-data di atas menunjang peranan faktor imun di
dalam patogenesis alopesia areata. Autoantibodi terhadap organ spesifik di dalam sirkulasi,

dijumpai meningkat frekuensinya pada 5 25% penderita alopesia areata. Antibodi-antibodi


tersebut adalah terhadap tiroid, sel parietal gaster dan otot polos serta antinuklear. Tetapi
beberapa penulis tidak dapat membuktikan hubungan antara alopesia areata dengan
autoantibodi organ spesifik. Alopesia areata kadang-kadang dikaitkan dengan kondisi
autoimun lain seperti gangguan alergi, penyakit tiroid, vitiligo, lupus, rheumatoid arthritis,
dan kolitis ulseratif. ( Velden EM ,1998)
3. Faktor Lingkungan
Pemikiran bahwa alopesia areata disebabkan oleh infeksi, baik langsung atau sebagai
akibat dari fokus infeksi, memiliki sejarah yang panjang dan masih tidak dapat disingkirkan.
Laporan sporadis menghubungkan alopesia areata dengan agen infektif masih terus muncul.
Skinner et al. melaporkan menemukan mRNA untuk sitomegalovirus pada lesi alopesia, tapi
ini tidak dikonfirmasi dalam penelitian selanjutnya. Faktor yang paling sering terlibat dalam
memicu alopesia areata adalah stres psikologis, tetapi pada penelitian masih sulit untuk
menentukan hubungan antara stres dan alopesia areata. (Fitzpatrick TB,1999)
V. PATOGENESIS
Kelainan yang terjadi pada alopesia areata dimulai oleh adanya rangsangan yang
menyebabkan folikel rambut setempat memasuki fase telogen lebih awal sehingga terjadi
pemendekan siklus rambut. Proses ini meluas, sedangkan sebagian rambut menetap di dalam
fase telogen. Rambut yang melanjutkan siklus akan membentuk rambut anagen baru yang
lebih pendek, lebih kurus, terletak lebih superfisial pada middermis dan berkembang hanya
sampai fase anagen IV. Beberapa ciri khas alopesia areata dapat dijumpai, misalnya berupa
batang rambut tidak berpigmen dengan diameter bervariasi, dan kadang-kadang tumbuh lebih
menonjol ke atas (rambut-rambut pendek yang bagian proksimalnya lebih tipis di banding
bagian distal sehingga mudah dicabut), disebut exclamation mark hairs atau exclamation
point. Hal ini merupakan patognomosis pada alopesia areata. Bentuk lain berupa rambut
kurus, pendek dan berpigmen yang disebut black dots. (Fitzpatrick TB,1999)
Lesi yang telah lama tidak mengakibatkan pengurangan jumlah folikel. Folikel
anagen terdapat di semua tempat walaupun terjadi perubahan rasio anagen : telogen. Folikel
anagen akan mengecil dengan sarung akar yang meruncing tetapi tetap terjadi diferensiasi
korteks, walaupun tanpa tanda keratinisasi. Rambut yang tumbuh lagi pada lesi biasanya di
dahului oleh rambut velus yang kurang berpigmen. (Fitzpatrick TB,1999)

1.

VI. GEJALA KLINIK

2.
Lesi alopesia areata stadium awal, paling sering ditandai oleh bercak kebotakan yang
bulat atau lonjong, berbatas tegas. Permukaan lesi tampak halus, licin, tanpa tanda-tanda
sikatriks, atrofi maupun skuamasi. Pada tepi lesi kadang-kadang tampak exclamation-mark
hairs yang mudah dicabut. (Dawber RPR, 1998)
Pada awalnya gambaran klinis alopesia areata berupa bercak atipikal, kemudian
menjadi bercak berbentuk bulat atau lonjong yang terbentuk karena rontoknya rambut. Kulit
kepala tampak berwarna merah muda mengkilat, licin dan halus, tanpa tanda-tanda sikatriks,
atrofi maupun skuamasi. Kadang-kadang dapat disertai dengan eritem ringan dan edema. Bila
lesi telah mengenai seluruh atau hampir seluruh scalp disebut alopesia totalis. Apabila
alopesia totalis ditambah pula dengan alopesia di bagian badan lain yang dalam keadaan
normal berambut terminal disebut alopesia universalis. Gambaran klinis spesifik lainnya
adalah bentuk ophiasis yang biasanya terjadi pada anak, berupa kerontokan rambut pada
daerah occipital yang dapat meluas ke anterior dan bilateral 1-2 inci diatas telinga, dan
prognosisnya buruk. Gejala subjektif biasanya pasien mengeluh gatal, nyeri, rasa terbakar
atau parastesi seiring timbulnya lesi. (Dawber RPR, 1998)
Ikeda (1965), setelah meneliti 1989 kasus, mengemukakan klasifikasi alopesia areata sebagai
berikut :
1.

Tipe umum
Meliputi 83% kasus terjadi diantara umur 20 40 tahun, dengan gambaran lesi berupa bercak
bercak bulat selama masa perjalanan penyakit. Penderita yang tidak mempunyai riwayat
stigmata atopi ataupun penyakit endokrin autonomic, lama sakitnya biasanya kurang dari 3
tahun. Sebanyak 6% dari penderita alopesia areata tipe umum akan berkembang menjadi
alopesia totalis. (Dawber RPR, 1998)

2.

Tipe atopik
Meliputi 10% kasus, yang umumnya mempunyai stigmata atopi atau penyakitnya telah
berlangsung lebih dari 10 tahun. Tipe ini dapat menetap atau mengalami rekurensi pada

musim-musim tertentu (perubahan musim). Biasanya dimulai pada masa kanak-kanak dan 75
% akan berkembang menjadi alopesia totalis. (Dawber RPR, 1998)
3.

Tipe prehipertensif
Meliputi 4% kasus dengan riwayat hipertensi pada penderita maupun keluarganya. Bentuk
lesi biasanya reticular. Biasanya dimulai pada usia dewasa muda dan 39% akan menjadi
alopesia totalis. (Dawber RPR, 1998)

4.

Tipe kombinasi
Meliputi 5% kasus, pada umur > 40 tahun dengan gambaran lesi-lesi bulat atau retikular.
Penyakit endokrin autonomik yang terdapat pada penderita antara lain berupa diabetes
mellitus dan kelainan tiroid. Sekitar 10 % akan menjadi alopesia totalis. (Dawber RPR, 1998)
Pada beberapa penderita terjadi perubahan pigmentasi pada rambut di daerah yang akan
berkembang menjadi lesi, atau terjadi pertumbuhan rambut baru pada lesi atau pada rambut
terminal disekitar lesi. Hal ini disebabkan oleh kerusakan keratinosit pada korteks yang
menimbulkan perubahan pada rambut fase anagen III / IV dengan akibat kerusakan
mekanisme pigmentasi pada bulbus rambut. (Tang L, 2003)
VII. DIAGNOSIS
Diagnosis alopesia areata berdasarkan gambaran inspeksi klinis atas pola mosaik
alopesia atau alopesia yang secara klinis berkembang progresif dan di dukung adanya
trikodistrofi, anagen effluvium, atau telogen yang luas, dan perubahan pada gambaran
histopatologi. Pada stadium akut ditemukan distrofi rambut anagen yang disertai rambut tanda
seru (exclamation-mark hairs) pada bagian proksimal, sedangkan pada stadium kronik akan
didapatkan peningkatan jumlah rambut telogen. Perubahan lain meliputi berkurangnya
diameter serabut rambut, miniaturisasi, pigmentasi yang tidak teratur. Tes menarik rambut
pada bagian tepi lesi yang positif menunjukkan keaktifan penyakit. (Tang L, 2003)
Biopsi pada tempat yang terserang menunjukkan peradangan limfositik peribulbar
pada sekitar folikel anagen atau katagen disertai meningkatnya eosinofil atau sel mast.
Pada pemeriksaan histopatologi diperoleh gambaran spesifik pada alopesia areata
berupa miniaturisasi struktur rambut, baik pada fase awal rambut anagen maupun pada

rambut telogen yang distrofik. Struktur fase awal rambut anagen biasanya dominan pada lesi
baru, sedangkan struktur rambut telogen yang distrofik di jumpai pada stadium lanjut.
Struktur fase awal rambut anagen tampak mengecil, bulbusnya terletak hanya sekitar 2 mm di
bawah permukaan kulit. Proses keratiniasi rambut tersebut di dalam folikel berlangsung tidak
sempurna. Sarung akar dalam rambut biasanya tetap ada. Struktur rambut telogen distropik
tidak mengandung batang rambut atau hanya berupa rambut distropik yang kecil. Folikel
rambut akan berpindah ke dermis bagian atas. Kelenjar sebasea dapat tetap normal atau
mengalami atrofi. Terjadi infiltrasi limfosit pada dermis di sekeliling struktur rambut
miniature.(3)Pada kasus kronik jumlah infiltrate peradagan berkurang, dapat terjadi invasi sel
radang ke matriks bulbus dan sarung akar luar fase awal rambut anagen. Infiltrat peradangan
tampak tersusun longgar menyerupai gambaran sarang lebah. (Tang L, 2003)
VIII. DIAGNOSIS BANDING
Gambaran klinis alopesia areata yang terbentuk khas, bulat berbatas tegas, biasanya
tidak memberikan kesulitan untuk menegakkan diagnosisnya. Secara mikroskopis, hal
tersebut diperkuat oleh adanya rambut distropik dan exclamation-mark hairs. Pada keadaan
tertentu gambaran seperti alopesia areata dapat dijumpai pada alopesia androgenik, sifilis
stadium II, lupus eritematous discoid, tinea kapitis, telogen effluvium atau trikotilomania,
sehingga perlu dilakukan pemeriksaan penunjang lebih lanjut. Masa awitan alopesia areata
yang cepat dan difus sulit dibedakan secara klinis dari alopesia pasca febris dan gangguan
siklus rambut lainnya, kecuali bila dijumpai rambut distropik. Sikatriks pada lesi alopesia
areata yang kronik dapat pula terjadi oleh karena berbagai manipulasi sehingga perlu
dilakukan pemeriksaan biopsi kulit. (Fiedler VC, 2000)

1.

Alopesia androgenik
Sebagian besar kasus rambut rontok adalah karena androgenetic alopecia (AGA). (8)50% lakilaki pada usia 50 tahun dan 40% dari perempuan dengan menopause memiliki beberapa
derajat AGA. Rambut rontok secara bertahap, dengan miniaturisasi folikel rambut secara
genetik

diprogram.

Penyerapan,

metabolisme,

dan

konversi

testosteron

untuk

dihidrotestosteron oleh 5 alpha-reductase-meningkat pada folikel rambut botak. AGA muncul


berbeda pada pria dibandingkan dengan wanita. Pada pria dengan AGA, rambut rontok terjadi
di daerah-temporal fronto dan pada titik kulit kepala, tergantung pada keparahan. Pada pasien

AGA perempuan, itu lebih menyebar dan berada centroparietally. Frontal garis rambut
biasanya utuh pada wanita. (Fiedler VC, 2000)
IX. PENATALAKSANAAN
Terapi yang paling umum termasuk suntikan kortikosteroid, krim kortikosteroid,
minoxidil, Anthralin, imunoterapi topikal, dan fototerapi. Pilihan satu agen di atas yang lain
tergantung pada usia pasien (anak-anak tidak selalu mentolerir efek samping), tingkat kondisi
(lokal atau luas), dan preferensi pribadi pasien. Untuk pasien yang lebih muda dari 10 tahun,
obat yang di pilih termasuk krim kortikosteroid, minoxidil, dan Anthralin. Untuk orang
dewasa dengan keterlibatan kulit kepala kurang dari 50%, Pilihan pertama biasanya adalah
corticosteroid intralesi, diikuti dengan krim kortikosteroid, minoxidil, dan Anthralin. Untuk
orang dewasa dengan keterlibatan kulit kepala lebih dari 50%, imunoterapi topikal dan
fototerapi merupakan pilihan tambahan. (Fiedler VC, 2000)
X. PROGNOSIS
Pertumbuhan kembali rambut secara spontan terjadi dalam 6 bulan pada 33% kasus
alopesia areata, dan dalam 1 tahun pada 50% kasus. Pada awalnya rambut yang tumbuh
kembali akan berupa rambut velus yang halus, kamudian akan digantikan dengan rambut
yang kuat dan berpigman. Namun, pada 33 % kasus akan mengalami episode alopesia
seumur hidupnya. (12)Prognosis buruk dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain usia awal
terkena alopesia yang < 10 tahun, luasnya alopesia, cepat atau lambatnya pengobatan serta
adanya kelainan organ tubuh lain misalnya distrofi kuku. (Fiedler VC, 2000)

DAFTAR PUSTAKA
1. Dawber RPR, Berker, Disorders of Hair, In Champion RH et al eds.Ebling Textbook
of Dermatology. 1998, 2869-931
2. Sawaya ME, Biochemistry and Control of Hair Growth, 1996, 1245-67

3. Fitzpatrick TB, Dermatology in General Medicine, 1999 : 792-46


4. Velden EM et als :Dermatography as new treatment for alopecia areata of the
eyebrows. In International Journal of Dermatology, vol 37, 1998 ; 617-21
5. Fiedler VC, Alopecia areata and others on scarrinagl opeciasi, 2000 ; 1269-79
6. Tang L, et als ; Restoration of hair with topical diphencyprottine mouse and reat
model of alopecia areata, Journal America Academy of Dermatology. 2003, 1013

Anda mungkin juga menyukai