Anda di halaman 1dari 18

LAPORAN PENDAHULUAN

ASUHAN KEPERAWATAN PADA KLIEN DENGAN GANGGUAN


SISTEM ENDOKRIN PADA KASUS
LIMFOMA
1. Konsep Penyakit
a. Pengertian
Limfoma adalah kanker yang berasal dari jaringan limfoid mencakup sistem
limfatik dan imunitas tubuh. Tumor ini bersifat heterogen, ditandai dengan kelainan
umum yaitu pembesaran kelenjar limfe diikuti splenomegali, hepatomegali, dan
kelainan sumsum tulang. Tumor ini dapat juga dijumpai ekstra nodal yaitu di luar
sistem limfatik dan imunitas antara lain pada traktus digestivus, paru, kulit, dan organ
lain. Dalam garis besar, limfoma dibagi dalam 4 bagian, diantaranya limfoma Hodgkin
(LH), limfoma non-hodgkin (LNH), histiositosis X, Mycosis Fungoides. Dalam
praktek, yang dimaksud limfoma adalah LH dan LNH, sedangkan histiositosis X dan
mycosis fungoides sangat jarang ditemukan.
LNH adalah suatu kelompok penyakit heterogen yang dapat didefinisikan sebagai
keganasan jaringan limfoid selain penyakit hodgkin. Penyebabnya tidak diketahui:
kemungkinan virus. Terdapat hubungan dengan keadaan imunosupresi ( mis, AIDS dan
terapi imunosupresi untuk tranplatasi organ). Pada penderita AIDS ; semakin lama
hidup semakin besar resikonya menderita limpoma.
Penyakit lymfoma non hodgkin adalah salah satu penyakit yang tergolong dalam
kasus intern. Kasus penyakit dalam pada penyakit ini terjadi proliferasi abnormal
sistem lymfoid dan struktur yang membentuknya terutama menyerang kelenjar getah
bening. LNH belum diketahui secara pasti penyebabnya oleh karena itu penelitian terus
dilakukan untuk mengembangkan kasus ini (Brunner & Suddart: 2002).
Limfoma maligna (kanker kelenjar getah bening) merupakan bentuk keganasan
dari sistem limfatik yaitu sel-sel limforetikular seperti sel B, sel T dan histiosit sehingga
muncul istilah limfoma maligna (maligna = ganas). Ironisnya, pada orang sehat sistem
limfatik tersebut justru merupakan komponen sistem kekebalan tubuh. Ada dua jenis
limfoma maligna yaitu Limfoma Hodgkin (HD) dan Limfoma non-Hodgkin (LNH)
(Mansjoer, A. 2001).
b. Etiologi
1) Abnormalitas genetic
2) Genetik

3) Faktor lingkungan
4) Infeksi Virus
Virus Eipstein Barr yang berhubungan dengan limfoma Burkitt, (sebuah

penyakit yang bisa ditemukan di Afrika).


Infeksi HTLV 1 (Human T Lymphotropic Virus tipe 1)

Faktor Predisposisi
1. Gaya hidup yang tidak sehat: Risiko Limfoma Maligna meningkat pada orang yang
mengkonsumsi makanan tinggi lemak hewani, merokok, dan yang terkena paparan
UV
2. Pekerjaan: Beberapa pekerjaan yang sering dihubugkan dengan resiko tinggi
terkena limfoma maligna adalah peternak serta pekerja hutan dan pertanian. Hal ini
disebabkan adanya paparan herbisida dan pelarut organik.
(Mansjoer, A. 2001).
c. Klasifikasi
Klasifikasi patologi limfoma telah mengalami perubahan selama bertahuntahun. Pada tahun 1956 klasifikasi Rappaport mulai diperkenalkan. Rappaport
membagi limfoma menjadi tipe nodular dan difus kemudian subtipe berdasarkan
pemeriksaan sitologi. Modifikasi klasifikasi ini terus berlanjut hingga pada tahun 1982
muncul klasifikasi Working Formulation yang membagi limfoma menjadi keganasan
rendah, menengah dan tinggi berdasarkan klinis dan patologis. Seiring dengan
kemajuan imunologi dan genetika maka muncul klasifikasi terbaru pada tahun 1982
yang dikenal dengan Revised European-American classification of Lymphoid
Neoplasms (REAL classification). Meskipun demikian, klasifikasi Working
Formulation masih menjadi pedoman dasar untuk menentukan diagnosis, pengobatan,
dan prognosis.
Ada dua jenis penyakit yang termasuk limfoma malignum yaitu penyakit
Hodgkin (PH) dan limfoma non Hodgkin (LNH). Keduanya memiliki gejala yang
mirip. Perbedaannya dibedakan berdasarkan pemeriksaan patologi anatomi dimana
pada PH ditemukan sel Reed Sternberg, dan sifat LNH lebih agresif.
1. Limfoma Non-Hodgkin
Dapat bersifat indolen(low grade), hingga progresif(high grade). Pada LNH
indolen, gejalanya dapat berupa: pembesaran KGB (Kelemjar Getah Bening), tidak
nyeri, dapat terlokalisir atau meluas, dan bisa melibatkan sum-sum tulang. Pada
LNH progresif, terdapat pembesaran KGB baik intra maupun extranodal,
menimbulkan gejala "konstitusional" berupa : penurunan berat badan, febris, dan

keringat malam, serta pada limfoma burkitt, dapat menyebabkan rasa penuh di
perut.
Stadium Limfoma Maligna
Penyebaran Limfoma dapat dikelompokkan dalam 4 stadium. Stadium I
dan II sering dikelompokkan bersama sebagai stadium awal penyakit, sementara
stadium III dan IV dikelompokkan bersama sebagai stadium lanjut.
a. Stadium I : Penyebaran Limfoma hanya terdapat pada satu kelompok yaitu
kelenjar getah bening.
b. Stadium II : Penyebaran Limfoma menyerang dua atau lebih kelompok
kelenjar getah bening, tetapi hanya pada satu sisi diafragma, serta pada seluruh
dada atau perut.
c. Stadium III : Penyebaran Limfoma menyerang dua atau lebih kelompok
kelenjar getah bening, serta pada dada dan perut.
d. Stadium IV : Penyebaran Limfoma selain pada kelenjar getah bening
setidaknya pada satu organ lain juga seperti sumsum tulang, hati, paru-paru,
atau otak. Stadium ini dapat di bagi A atau B berdasarkan ada tidaknya gejala
konstitusionalerupa penurunan berat badan, febris, dan keringat malam.
A = tanpa gejala konstitusional
B = dengan gejala konstitsional
Staging ini penting untuk penatalaksanaan, dimana untuk stadium Ia,
Ib, maupun IIa, diberikan radioterapi, sementara untuk stadium IIb hingga
stadium IV, diberikan kemoterapi.
Untuk kemoterapi, regimen yg biasa digunakan adalah:
1. Untuk Low grade NHL
a) regimen CVP (cyclophospamide, vincristin, dan prednison)
b) Fludarabin
c) Rituximab
2. Untuk High grade NHL
a) Regimen CHOP (cyclophospamide, Doxorubicyn, vincristin, dan
prednison)
b) Regimen CHOP + Rituximab
c) transplantasi sum-sum tulang.
2. Limfoma Hodgkin
Terbagi atas 4 jenis, yaitu:
a) Nodular Sclerosing limfosit
b) mixed cellularity
c) rich lymphocyte
d) limphocyte depletio
Jenis
Limfosit

Gambaran Mikroskopik
Sel Reed-Stenberg sangat sedikit tapi ada

Kejadian

Perjalanan

3% dari

Penyakit
Lambat

Predominan
Sklerosis

banyak limfosit
Sejumlah kecil sel Reed-Stenberg &

kasus
67% dari

Noduler

campuran sel darah putih lainnya;

kasus

Selularitas

daerah jaringan ikat fibrosa


Sel Reed-Stenberg dalam jumlah yang

25% dari

Campuran

sedang & campuran sel darah putih

kasus

lainnya
Deplesi Limfosit Banyak sel Reed-Stenberg & sedikit
limfosit

5% dari

Sedang

Agak cepat

Cepat

kasus

jaringan ikat fibrosa yang berlebihan


LH lebih bersifat lokal, berekspansi dekat, cenderung intra nodal, hanya di
mediastinum, dan jarang metastasis ke sumsum tulang. ia juga dapat terjadi metastasis
melalui darah. Jika dibandingkan dengan NHL, NHL lebih bersifat tidak lokal, expansi
jauh, cenderung extranodal, berada di abdomen, dan sering metastasis ke sum-sum
tulang. Secara staging, dan pengobatan, sama saja dengan NHL
d. Manifestasi klinik
Gejala klinis dari penyakit limfoma maligna adalah sebagai berikut :
1. Limfodenopati superficial. Sebagian besar pasien datang dengan pembesaran
kelenjar getah bening asimetris yang tidak nyeri dan mudah digerakkan (pada
2.
3.
4.
5.
6.
7.

leher, ketiak atau pangkal paha)


Demam
Sering keringat malam
Penurunan nafsu makan
Kehilangan berat badan lebih dari 10 % selama 6 bulan (anorexia)
Kelemahan, keletihan
Anemia, infeksi, dan pendarahan dapat dijumpai pada kasus yang mengenai
sumsum tulang secara difus

e. Patofisiologi
Proliferasi abmormal tumor dapat memberi kerusakan penekanan atau
penyumbatan organ tubuh yang diserang. Tumor dapat mulai di kelenjar getah bening
(nodal) atau diluar kelenjar getah bening (ekstra nodal).
Gejala pada Limfoma secara fisik dapat timbul benjolan yang kenyal, mudah
digerakkan (pada leher, ketiak atau pangkal paha). Pembesaran kelenjar tadi dapat
dimulai dengan gejala penurunan berat badan, demam, keringat malam. Hal ini dapat
segera dicurigai sebagai Limfoma. Namun tidak semua benjolan yang terjadi di sistem

limfatik merupakan Limfoma. Bisa saja benjolan tersebut hasil perlawanan kelenjar
limfa dengan sejenis virus atau mungkin tuberkulosis limfa.
Biasanya berawal sebagai :
pembesaran nodus limfe tanpa ada nyeri pada salah satu sisi leher yang menjadi

sangat besar.
Nodus limfe mediastinal dan retroperitonial kadang membesar menyebabkan gejala
penekanan berat pada tekanan terhadap trakea menyebabkan sulit bernafas,
penekanan terhadap esofagus menyebabkan sulit menelan, pada syaraf
menyebabkan paralisis faringeal dan nuralgia brakeal lumbal atau sakral, pada vena
mengakibatkan oedem pada salah salah satu atau kedua ekstremitas dan efusi

pleura, pada kandung empedu menyebabkan ikterik obstruktif.


Akhirnya limpa menjadi teraba dan hati membesar. Terkadang penyakit bermula di
nodus mediastinum atau peritonial dan tetep terbatas disana. Pada pasien lain

pembesaran limpa merupakan satu-satunya lesi


Kemudian terjadi anemia progresif. Jumlah leukosit biasanya tinggi dengan jumlah

polimorfomoklear ( PMN ) meningkat secra abnormal dan peningkatan eosinofil.


Sekitar separuh pasien mengalami demam ringan, dengan suhu melebih 38,30C

( 1010F ).
Namun pasien yang mengalami keterlibatan mediastinal dan abdominal dapat
mengalami demam tinggi intermiten. Suhunya dapat naik sampai 400C ( 1040F )
selama periode waktu 3-14 hari, kemudian kembali normal dalam beberapa

minggu.
Apabila penyakit ini tidak ditangani pasien akan kehilangan berat badan dan
menjadi kakeksia ( kelemahan secara fisik ), terjadi infeksi, anemia, timbul edema
anasarka ( oedem umum yang berat ), tekanan darah turun dan kematian pasti
terjadi dalam 1-3 tahun tanpa keganasan.
Namun biasanya penyakit ini sudah menyebar keseluruh sistem limfatik

sebelum pertama kali terdianogsa. Apabila penyakit masih terlokalisasi, radiasi


merupakan penanganan pilihan. Jika terdapat keterlibatan umum, dipakai kombinasi
kemoterapi. Pemberian dosis rendah pada penderita HIV positif dianjurkan untuk
mencegah terjadinya infeksi berat yang potensial mematikan. Seperti pada penyakit
Hogkin, infeksi merupakan masalah utama. Keterlibatan sistem saraf pusat juga sering
terjadi.
Beberapa penderita mengalami demam Pel-Ebstein, dimana suhu tubuh
meninggi selama beberapa hari yang diselingi dengan suhu normal atau di bawah
normal selama beberapa hari atau beberapa minggu. Gejala lainnya timbul berdasarkan

lokasi pertumbuhan sel-sel limfoma. Terdapat 3 gejala spesifik pada Limfoma antar
lain:
1. Demam berkepanjangan dengan suhu lebih dari 38oC
2. Sering keringat malam
3. Kehilangan berat badan lebih dari 10% dalam 6 bulan

f. Pathway
Abnormalitas genetic, factor
lingkungan, infeksi virus

Nyeri

Pembesaran kelenjar
getah bening

Gangguan termoregulasi

Hipertermi

Resiko terjadinya

Resiko terjadinya
infeksi

Mendesak jaringan sekitar

Sistem pernapasan

Mendesak pembuluh darah

Sistem saraf

Sistem pencernaan

Mendesak sel saraf

Sistem

Respons psikososial

muskuluskletal
Pa O2 menurun

Paralisis faringeal

Efek hiperventilasi
Penurunan suplai

PCO2 meningkat
Sesak napas

Kesulitan menelan

Penurunan
imunitas

Pola napas tidak

efektif
Jalan nafas tidak

Produksi asam

Penurunan nafsu
makan

meningkat
Peristaltik
menurun

Tindakan invasif

oksigen kejaringan

lambung

Peningkatan
produksi sekret

Sesak napas

Koping tidak
Peningkatan

efektif

metabolisme
anaerob

Mual, nyeri

Peningkatan

lambung konstipasi

produksi asam
laktat

efektif
Kelemahan fisik
umum,odem

Kecemasan

Perubahan nutrisi kurang dari


kebutuhan tubuh
Intoleransi aktivitas

Sumber : (Mansjoer, A. 2001) Kapita Selecta Kedokteran. Edisi 3, Jilid 1.

g. Pemeriksaan Penunjang
Untuk mendeteksi limfoma harus dilakukan biopsi dari kelenjar getah bening
yang terkena dan juga untuk menemukan adanya sel Reed-Sternberg. Untuk
mendeteksi Limfoma memerlukan pemeriksaan seperti sinar-X, CT scan, PET scan,
biopsi sumsum tulang dan pemeriksaan darah. Biopsi atau penentuan stadium adalah
cara mendapatkan contoh jaringan untuk membantu dokter mendiagnosis Limfoma.
Ada beberapa jenis biopsy untuk mendeteksi limfoma maligna yaitu :
1.
Biopsi kelenjar getah bening, jaringan diambil dari kelenjar getah bening yang
membesar.
Biopsi aspirasi jarum-halus, jaringan diambil dari kelenjar getah bening

2.

dengan jarum suntik. Ini kadang-kadang dilakukan untuk memantau respon


terhadap pengobatan.
Biopsi sumsum tulang di mana sumsum tulang diambil dari tulang panggul

3.

untuk melihat apakah Limfoma telah melibatkan sumsum tulang.


h. Penatalaksanaan & Therapy
Cara pengobatan bervariasi dengan jenis penyakit. Beberapa pasien dengan
tumor keganasan tingkat rendah, khususnya golongan limfositik, tidak membutuhkan
pengobatan awal jika mereka tidak mempunyai gejala dan ukuran lokasi limfadenopati
yang bukan merupakan ancaman.
1. Radioterapi
Walaupun beberapa pasien dengan stadium I yang benar-benar terlokalisasi dapat
disembuhkan dengan radioterapi, terdapat angka yang relapse dini yang tinggi pada
pasien yang dklasifikasikan sebagai stadium II dan III. Radiasi local untuk tempat
utama yang besar harus dipertimbangkan pada pasien yang menerima khemoterapi
dan ini dapat bermanfaat khusus jika penyakit mengakibatkan sumbatan/ obstruksi

anatomis.
Pada pasien dengan limfoma keganasan tingkat rendah stadium III dan IV,
penyinaran seluruh tubuh dosis rendah dapat membuat hasil yang sebanding
dengan khemoterapi.
2. Khemoterapi
a. Terapi obat tunggal Khlorambusil atau siklofosfamid kontinu atau intermiten
yang dapat memberikan hasil baik pada pasien dengan limfoma maligna
keganasan tingkat rendah yang membutuhkan terapi karena penyakit tingkat
lanjut.Terapi kombinasi. (misalnya COP (cyclophosphamide, oncovin, dan
prednisolon)) juga dapat digunakan pada pasien dengan tingkat rendah atau
sedang berdasakan stadiumnya. Paling baik selalu diberikan kemoterapi
kombinasi MOPP:
M = Mustard nitrogen 6mg / sqm iv hari ke 1 dan 8.
O = Oncovin = vincristine 1,0 1,mg / sqm iv hari ke 1 dan 8.
P = Procarbazine 100mg / sqm per os tiap hari ke 1-14.
P = Prednison 40mg / sqm per os tiap hari ke 1-14.
Satu seri adalah 14 hari kemudian istirahat 14 hari.
i. Komplikasi
Komplikasi yang dialami pasien dengan limfoma maligna dihubungkan dengan
penanganan dan berulangnya penyakit. Efek-efek umum yang merugikan berkaitan
dengan kemoterapi meliputi : alopesia, mual, muntah, supresi sumsum tulang,
stomatitis dan gangguan gastrointestinal. Infeksi adalah komplikasi potensial yang
paling serius yang mungkin dapat menyebabkan syok sepsis. Efek jangka panjang dari
kemoterapi meliputi kemandulan, kardiotoksik, dan fibrosis pulmonal.
Efek samping terapi radiasi dihubungkan dengan area yang diobati. Bila
pengobatan pada nodus limfa servikal atau tenggorok maka akan terjadi hal-hal
sebagai berikut : mulut kering, disfagia, mual, muntah, rambut rontok, dan penurunan
produksi saliva.
Bila dilakukan pengobatan pada nodus limfa abdomen, efek yang mungkin
terjadi adalah muntah, diare, keletihan, dan anoreksia.
2. Konsep Askep
a. Pengkajian
1) Identitas klien
Meliputi nama, umur, jenis kelamin, agama, bahan yang dipakai sehari-hari, status
perkawinan, kebangsaan, pekerjaan, alamat, pendidikan, tanggal atau jam MRS, dan
diagnosa medis.
2) Keluhan Utama
Pada umumnya pasien mengeluh tindak nyamanan kerena adanya benjolan.

3) Riwayat Penyakit Sekarang


Pada umumnya pasien dengan limfoma didapat keluhan benjolan terasa nyeri bila
ditelan kadang-kadang disertai dengan kesulitan bernafas, gangguan penelanan,
berkeringat di malam hari. Pasien biasanya megnalami dendam dan disertai dengan
penurunan BB.
4) Riwayat Penyakit Dahulu
Pada pasien dengan limfoma biasanya diperoleh riwayat penyakit seperti
pembesaran pada area seperti : leher, ketiak, dll. Pasien dengan transplantasi ginjal
atau jantung.
5) Riwayat kesehatan keluarga
Meliputi susunan anggota keluarga yang mempunyaio penyakit yang sama dengan
pasien, ada atau tidaknya riwayat penyakit menular, penyakit turunan seperti DM,
Hipertensi, dan lain-lain.
b. Data dasar pengkajian pasien
1) Pemeriksaan Fisik
a. Keadaan umum
Pasien lemah, cemas, nyeri pada benjolan, demam, berkeringat pada malam hari,
dan menurunnya BB.
b. Kulit, rambut, kuku
( tidak ada perubahan )
c. Kepala dan leher
Terdapat benjolan pada leher, yang terasa nyeri bila ditekan.
d.
e.

Mata dan mulut


Tidak ada masalah/perubahan.
Thorak dan abdomen
Pada pemeriksa yang dilakukan tidak didapatkan perubahan pada thorak

f.

maupun abdomen.
Sistem respirasi
Biasanya pasien mengeluh dirinya mengeluh sulit untuk bernafas karena ada

g.

benjolan.
Sistem gastrointestinal
Biasanya pasien mengalami anorexia karena rasa sakit yang dirasakan saat

h.
i.
j.

menelan makanan, sehingga pasien sering mengalami penurunan BB.


Sistem muskuluskeletal
Pada pasien ini tidak ada masalah.
Sistem endokrin
Terjadi pembesaran kelenjar limfe.
Sistem persyarafan

Pasien ini sering merasa cemas akan kondisinya, penyakit yang sedang
dideritanya.
c. Pemeriksaan Penunjang
1. USG
Banyak digunakan untuk melihat pembesaran kelenjar getah bening.
2. Foto thorak
Digunakan untuk menentukan keterlibatan kelenjar getah bening mediastina.
3. CT- Scan
Digunakan untuk diagnosa dan evaluasi pertumbuhan limpoma
4. Pemeriksaan laboratorium (pemeriksaan Hb, DL, pemeriksaan uji fungsi hati /
ginjal secara rutin).
5. Laparatomi
Laparatomi rongga abdomen sering dilakukan untuk melihat kondisi kelenjar getah
bening pada illiaka, para aortal dan mesentrium dengan tujuan menentukan
stadiumnya.
d. Diagnosa Keperawatan
1. Nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan intake yang tidak
adekuat ( mual, muntah)
2. Resiko terjadinya infeksi berhubungan dengan proses inflamasi.
3. Cemas berhubungan dengan kurangnya pengetahuan tentang penyakitnya.
4. Hipertermi berhubungan dengan tak efektifnya termoregulasi sekunder terhadap
inflamasi
5. Intoleransi aktivitas yang berhubungan dengan tidak seimbangnya persediaan dan
kebutuhan oksigen kelemahan umum serta kelelahan karena gangguan pola tidur
6. Nyeri berhubungan dengan interupsi sel saraf

e. Perencanaan
7.

8.

Keperawatan

o
12. 13.
1.

Diagnosa

9.

Tujuan / Kriteria

10.

Intervensi

11.

Rasional

Hasil

Nutrisi

14. Setelah

kurang dari
kebutuhan tubuh
berhubungan
dengan intake yang
tidak adekuat
( mual, muntah)

1. Lakukan pendekatan pada pasien


dan keluarganya.
dilakukan
2. Jelaskan pada pasien dan keluarga
tindakan
penyebabnya dari rasa sakit dan
cara mengurangi rasa sakit.
keperawa
3. Jelaskan pada pasien tentang
tan
penyakitnya dan akibatnya jika ia
selama 3
tidak makan.
4. Anjurkan pada kelurga untuk
x24 jam
memberikan makanan tambahan
Kebutuha
yang ringan untuk dicerna
n nutrisi
5. Obervasi TTV
6. Kolaborasi dengan tim kesehatan
klien
dan ahli gizi
dapat
16.
terpenuhi

1. pasien dan keluarga lebih kooperatif.

dengan

5. untuk mengetahui perkembangan pasien

15.

Kriteria
Hasil :

BB meningakat

Nafsu makan
pasien meningkat

17.
2. pasien mendapat informasi yang tepat.
18.
19.
20.
3. pasien mendapat informasi yang tepat.
21.
22.
4. untuk memudahkan pasien menelan.
23.
24.
25.
6. untuk menetukan diet yang diperoleh
oleh px

Gangguan
penelanan
berkurang

Rasa sakit pada


waktu menelan

26. 27.
2.

berkurang
28. Setelah

Resiko

1. beri penjelasan tentang terjadinya


infeksi
dilakukan
2. beritahu pasien tentang tanda-tanda
tindakan
inflamasi
keperawa 3. beri kompres basah
4. Anjurkan pasien untuk memakai
tan
baju yang menyerap keringat.
selama
5. Kolaborasi dengan tim dokter
2x24
dalam pemberian obat
29.
Tidak

terjadinya infeksi
berhubungan
dengan proses
inflamasi.

terjadi
infeksi,
dengan
Kriteria
Hasil :

Suhu tubuh dalam

batas normal
Tidak ada tanda

1. pasien mengetahui proses terjadinya


infeksi
2. pasien mengetahui tanda-tanda
inflamasi dan pencegahannya
3. menurunkan suhu tubuh pasien
4. agar keringat mudah diserap dan suhu
tubuh tidak meningkat
5. diharapkan dapat mempercepat proses
kesembuahn pasien
30.

31. 32.
3

Cemas

inflamasi
Keringat

34.

berkurang
Setelah

berhubungan

dilakukan tindakan

35.

dengan kurangnya

keperawatan selama

36.

pengetahuan

2x24 jam tidak terjadi

tentang

nutrisi kurang dari

penyakitnya.

kebutuhan tubuh

33.

dengan kriteria hasil :


Nafsu makan

38. 39.
4

1. Observasi nafsu makan klien

Hipertermi

berhubungan
dengan tak
efektifnya
termoregulasi
sekunder terhadap
inflamasi
40.

1. Porsi makan yang tidak habis


menunjukkan nafsu makan belum

membaik
2. Meningkatkan masukan secara perlahan
2. Beri makan klien sedikit tapi sering
3. Klien dapat memahami dan mau
3. Beritahu klien pentingnya nutrisi
meningkatkan masukan nutrisi
37.
4. Peningkatan energi dan protein pada
4. Pemberian diet TKTP
tubuh sebagai pembangun

meningkat,
porsi habis,
BB tidak turun
drastis
41. Setelah

1. Observasi suhu tubuh pasien


43.
dilakukan
44.
tindakan 2. Anjurkan dan berikan banyak
minum (sesuai kebutuhan cairan
keperawa
anak menurut umur)
tan
3. Berikan kompres hangat pada dahi,
aksila, perut dan lipatan paha.
selama
4. Anjurkan untuk memakaikan
1x24 jam
pasien pakaian tipis, longgar dan
diharapka
mudah menyerap keringat.

1. Dengan memantau suhu diharapkan


diketahui keadaan sehingga dapat
mengambil tindakan yang tepat.
2. Dengan banyak minum diharapkan
dapat membantu menjaga
keseimbangan cairan dalam tubuh
3. Kompres dapat membantu menurunkan
suhu tubuh pasien secara konduksi
4. Dengan pakaian tersebut diharapkan
dapat mencegah evaporasi sehingga
cairan tubuh menjadi seimbang.

n suhu
tubuh
klien
menurun
dengan

5. Kolaborasi dalam pemberian


antipiretik.
45.
46.
47.
48.

5. antipiretik akan menghambat pelepasan


panas oleh hipotalamus.

Kriteria
Hasil :

TTV dalam batas


normal

42.
49. 50.
5

Intoleransi

51. Setelah

1. Mengevaluasi

respon

aktivitas yang

dilakukan

terhadap aktivitas,

berhubungan

tindakan

melaporkan

adanya

dengan tidak

keperawa

peningkatan

kelelahan,

seimbangnya

tan

perubahan

persediaan dan

selama

kebutuhan oksigen

2x24 jam

kelemahan umum

Aktivitas

serta kelelahan

dapat

karena gangguan

terpenuhi

pola tidur

selama
perawata

dalam

pasien 1. Memberikan

mencatat dan

atau

kebutuhan pasien dan memfasilitasi

dispnea,

tanda

kemampuan

dalam pemilihan intervensi

serta

53.

vital

54.
selama dan setelah aktivitas.
2. Memberikan lingkungan yang 2. Mengurangi stress dan stimulasi yang
nyaman
dan
membatasi
berlebihan,
serta
meningkatkan
pengunjung selama fese akut atas
istirahat.
indikasi.

Menganjurkan

untuk

55.

menggunakan memejen stress dan


aktivitas yang beragam.

56.

n dengan

3. Menjelaskan

pentingnya 3. Bedrest akan memelihara tubuh selama

kriteria

beristirahat pada rencana tindakan

fase akut untuk menurunkan kebutuhan

hasil :

dan perlunya keseimbangan antara

metabolisme dan memelihara energy

aktivitas dengan istirahat.


untuk penyembuhan
Laporan
secara
4.
Membantu
pasien
untuk
berada
verbal, kekuatan
4. Pasien mungkin merasa nyaman dengan
otot
meningkat
pada posisi yang nyaman untuk
dan tidak ada
kepala dalam keadaan elevasi, tidur di
beristirahat dan atau tidur.
perasaan
kursi atau istirahat pada meja dengan
52.
kelelahan.
5. Membantu pasien untuk memenuhi
Tidak ada sesak
bantuan bantal
Denyut nadi dalam
kebutuhan self-care. Memberikan
5. Meminimalkan kelelahan dan menolong
batas normal
aktivitas yang meningkat selama
Tidak
muncul
menyeimbangkan suplai oksigen dan
fase penyembuhan.
sianosis
kebutuhan.

58. 59.
6

Nyeri

60. Setelah

berhubungan

dilakukan

dengan interupsi sel

tindakan

saraf

keperawa
tan
selama

1. Tentukan karakteristik dan lokasi


nyeri, perhatikan isyarat verbal
dan non verbal setiap 6 jam
2. Pantau tekanan darah, nadi dan
pernafasan tiap 6 jam
3. Terapkan tehnik distraksi

57.
1. menentukan tindak lanjut intervensi.
62.
2. nyeri dapat menyebabkan gelisah serta
tekanan darah meningkat, nadi,
pernafasan meningkat
3. mengalihkan perhatian dari rasa nyeri

2x24 jam

(berbincang-bincang)
4. Ajarkan tehnik relaksasi (nafas

diharapka

dalam) dan sarankan untuk

otot sehingga mengurangi penekanan

mengulangi bila merasa nyeri

dan nyeri.

4. relaksasi mengurangi ketegangan otot-

intensitas

5. Beri dan biarkan pasien memilih

5. mengurangi keteganagan area nyeri.

nyeri

posisi yang nyaman


6. Kolaborasi dalam pemberian

6. analgetika akan mencapai pusat rasa

berkurang
dengan
kriteria

hasil :
Klien merasa

nyaman
Skala nyeri

menurun
GCS E4V5M6
Tanda-tanda vital
normal(nadi : 60100 kali permenit,
suhu: 36-36,7 C,
pernafasan 16-20
kali permenit)
61.

analgetika.

nyeri dan menimbulkan penghilangan


nyeri.

63. DAFTAR PUSTAKA


64.
65. Brunner & Suddarth. 2002. Keperawatan Medikal Bedah. Jakarta:EGC
66.
67. Black, Joyce M & John Hokanson Hawks. 2005. Medical Surgical Nursing
Clinical
68. Carpenito, Lynda Juall. Diagnosa Keperawatan. Jakarta: EGC.
69.
70. Lewis, Sharon L. 2007. Medical Surgical Nursing : Assessment and Management of
Clinical Problems Volume 2. Seventh Edition. St.Louis : Mosby.
71.
72. Mansjoer, A. 2001. Kapita Selecta Kedokteran. Edisi 3, Jilid 1. Jakarta:
Aesculapius
73.
74.
Mehta, Atul. & Hoffbrand, Victor. 2006. At a Glance Hematologi. Edisi
kedua. Jakartaa: Erlangga
75.
76. Melia. Penatalaksanaan Penyakit Kanker Limfoma Non Hodgin.
http://terapimelia.blogspot.com diakses 14 desember 2013 pukul 09.00
Management for Positive Outcome. 7th edition. St. Louis : Elsevier Saunders.
77.
78.
Price, Sylvia A dan Lorraine M. Wilson. Alih bahasa : Brahm U. Pendit. 2005.
Patofisiologi : Konsep Klinis Proses-proses Penyakit Volume 1.Edisi 6. Jakarta
: EGC.
79.
80. Sarwono. 1996. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid Pertama, Edisi Ketiga.
Jakrta: EGC
81.
82. Siregar, R. S. 1996. Atlas Berwarna Saripati Penyakit Kulit. Jakarta: EGC
83.
84.
Sherwood, Lauralee. Alih bahasa : Brahm U. Pendit. 2001. Fisiologi Manusia
Dari Sel ke Sistem. Edisi 2. Jakarta : EGC.
85.
86.
Tiener, Lawrence M, Steohen J, McPhee dan Maxine A. Papadakis. Alih
bahasa : Abdul Gofir. 2003. Diagnosis & Terapi Kedokteran Penyakit Dalam
Buku 2. Jakarta : Salemba Medika.
87.
88.
89.
90.
91.
92.
93.
94.
95.

96.
97.
98.
99.
100.
101.
102.
103.
104.
105.
106.
107.
108.
109.
110.
111.
112.

Anda mungkin juga menyukai