tahapan awal endapan SEDEX dapat diselidiki dengan menggunakan metoda geokimia
endapan sungai aktif dan tanah. Untuk wilayah drainase yang alirannya bersumber dari
endapan SEDEX, hasil metoda geokimia endapan sungai biasanya akan menunjukkan
nilai anomali unsur-unsur Pb, Zn, Ag dan Ba yang cenderung berkorelasi positif. Pada
penyelidikan geokimia tanah, anomali keempat unsur ini akan cenderung mengarah
kepada lokasi yang diperkirakan sebagai zona endapan SEDEX
Jika mengacu kepada endapan SEDEX yang sudah ditemukan di Daerah Dairi Sumatera
Utara, karakteristik geologi yang dapat dikutip adalah sebagai berikut:
Zona SEDEX berada dalam batuan induk jenis silty carbonaceous shales (lanau
karbonan), zona ini mencapai permukaan. Posisi bijih dimulai dari permukaan hingga
sekitar 200 m. Satuan batuan lain yang juga bisa dijumpai di permukaan adalah:
dolomitic siltstones yang termineralisasi, shale-dolostones dan dolostones dimana
lode juga ditemukan dibatas kedua satuan ini. Semua satuan batuan serta bijih
menyebar hingga ke permukaan sehingga bisa dipetakan.
Zona SEDEX sendiri berada pada footwall patahan dalam batuan silty carbonaceous
shale dan sejajar perlapisan searah sayap antiklin. Secara regional satuan-satuan
batuan ini dikenal sebagai batuan black shale, siltstones dan batuan karbonat dari
Group Tapanuli berumur Karbon (300 juta tahun) yang sebelumnya tidak dikenal
sebagai batuan induk bagi mineralisasi.
Dengan melihat keadaan geologi regional maupun lokal, daerah penyelidikan merupakan
bagian dari batuan tua yang sudah terangkat, hal ini sesuai dengan penampakan di
lapangan dimana cukup luas tersingkap batuan metamorf (batusabak). Bila dikaitkan
dengan ciri-ciri umum endapan SEDEX maupun yang ada di Dairi Sumatera Utara,
beberapa pengamatan penting yang bisa disampaikan disini adalah:
Adanya singkapan batusabak yang memiliki umur kurang lebih sama dengan
formasi batuan di Dairi.
Dijumpainya batusabak yang memiliki urat-urat kuarsa yang umumnya sejajar
dengan foliasi dan sebagian kecil memotong bidang foliasi sembarang arah.
Di tempat tertentu terutama pada batas antara breksi termineralisasi dan
batuan metamorf, dijumpai ubahan dan sulfida (pirit) pada batusabak/serpih.
Memberi kesan adanya larutan pembawa mineralisasi menerobos batuan
serpih melalui zona lemah dan mengubah batuan (epigenetik).
Teramati struktur yang memotong batuan metamorf dan mengandung
stockwork kuarsa.
Hasil pengamatan lapangan tidak serta merta memastikan ada tidaknya tipe endapan
SEDEX di daerah penyelidikan karena ciri utama yaitu endapan sulfida Seng dan Timah
hitam yang mengikuti perlapisan batuan tidak teramati. Namun, dengan diperolehnya
sejumlah conto batuan serpih/sabak yang mengalami ubahan dan mineralisasi,
memastikan bahwa proses pembentukan mineralisasi logam telah berlangsung di daerah
penyelidikan ini.
Indikasi Emas Epitermal
Berdasarkan pengamatan geologi daerah penyelidikan, kehadiran batuan breksi
termineralisasi yang terlihat seolah memotong batusabak ataupun sedimen
termetakan/serpih cukup menarik untuk dikaji. Kehadiran breksi yang komponennya
batuan gunungapi ini diperkirakan sebagai breksi hidrotermal. Biasanya terjadi akibat
tekanan larutan hidrotermal yang cukup tinggi terkurung oleh lapisan batuan dan lalu
tiba-tiba menghancurkan batuan penutup diatasnya (batuan metamorf dan gunungapi)
pada zona lemah akibat struktur. Kehadiran breksi hidrotermal semacam ini
mengindikasikan adanya pembentukan mineralisasi yang lebih muda dari umur endapan
SEDEX yang dicari.
Dari data pengamatan megaskopis, breksi ini mengandung mineral sinabar dan pirit.
Sinabar merupakan mineral yang terbentuk pada suhu rendah dan biasanya berasosiasi
dengan endapan emas epitermal dekat permukaan. Hal ini sesuai dengan kenyataan di
lapangan bahwa daerah pemunculan breksi hidrotermal ini merupakan bekas
penambangan emas tradisional. Dalam kaitannya dengan pencarian endapan SEDEX,
pemunculan tipe mineralisasi emas epitermal bisa mengaburkan pengamatan lapangan
apabila terdapat pada satu lokasi dengan endapan SEDEX. Andaikan endapan SEDEX
benar-benar telah terbentuk di daerah penyelidikan ini maka mineralisasi emas epitermal
yang jauh lebih muda telah menutupinya.
Untuk mengetahui adanya sulfida logam yang terbentuk pada umur yang jauh lebih tua
(jenis SEDEX) dibandingkan endapan emas epitermal memerlukan penelitian lebih lanjut
misalnya mengidentifikasi jenis sulfida logam yang benar-benar berasosiasi dengan
sedimen atau sedimen termetakan yang ada. Penelitian ini lebih memungkinkan
dilakukan/ditekankan di bagian selatan daerah penyelidikan sekarang, oleh karena secara
geologi bagian selatan lebih banyak ditempati batuan metamorf berumur tua dimana
mengandung urat kuarsa sehingga paling mungkin berasosiasi dengan endapan SEDEX.
Namun karena daerah ini sebagian besar merupakan kawasan hutan lindung maka tidak
seluruhnya dapat diselidiki.
Kesimpulan
* Berdasarkan hasil pengamatan di lapangan, tidak teramati singkapan endapan
sulfida logam tipe SEDEX. Namun, petunjuk sangat awal kemungkinan adanya
endapan SEDEX diperoleh berdasarkan hasil penafsiran dari data anomali geokimia
endapan sungai aktif khususnya adanya peningkatan nilai Pb, Zn dan Ba yang
mencolok.
* Tipe endapan emas yang ada diperkirakan berdasarkan kehadiran mineral sinabar
bersama emas dijumpai G. Talakik adalah epitermal. Sesuai dengan lingkungan
batuannya, endapan emas ini diduga berumur Tersier dan jauh lebih muda
dibandingkan dengan endapan tipe SEDEX yang dicari atau diduga tumpang tindih.
* Secara spasial keterdapatan mineralisasi emas epitermal dalam batuan breksi
hidrotermal yang menerobos lingkungan batuan tua (metamorf) atau serpih dan batuan
gunungapi andesitik terdapat bersamaan dengan anomali Pb, Zn dan Ba.
* Deduksi yang dapat disampaikan: larutan hidrotermal pembawa emas pada kondisi
yang berbeda namun pada lokasi yang sama secara teoritis bisa saja indikasi pembawa
endapan SEDEX (epigenetik) di daerah ini. Namun hal ini masih merupakan
pembuktian dengan metoda lain secara sistematis.
DIPOSKAN OLEH ARAMADZ_EARTH_SAKKA DI 09.20
mineral
tipe
Kuroko
merupakan
suatu
endapan
polimetalikstratabound tak
termalihkan sampai termalihkan lemah, yang secara genetik berhubungan dengan aktifitas
volkanik bawah laut selama periode Miosen, 13-13,5 juta tahun yang lalu. Istilah kuroko
(kata dalam Bahasa Jepang yang berarti bijih hitam) umumnya diaplikasikan untuk 6
(enam) katagori mineralogi bijih (Guilbert dan Park, Jr., 1986):
(1)
Bijih kuning (oko) terutama pirit dengan sedikit kalkopirit dan kuarsa.
(3)
Bijih hitam (kuroko) percampuran kuat antara sfalerit kaya besi berwarna gelap,
galena, barit, dan sejumlah kecil pirit dan kalkopirit; wurzit, enargit, tetrahedrit, markasit,
serta sejumlah mineral lainnya yang ditemukan setempat dalam jumlah kecil.
(4)
Urat (vein) dan massa-massa besar gipsum (sekkoko) yang saling berhubungan
bijih
sulfida
yang
dilapis-bawahi
oleh
rijangferruginous (lapisan
tetsusekiei).
Pirajno (1992), mengelompokkan mineralisasi hidrotermal tipe kuroko ke dalam katagori
umum
Endapan
Sulfida
Masif
Volkanogenik.
Endapan
tipe
ini
berhubungan
dengan
volkanisme bawah laut, yang terbentuk dalam berbagai tatanan tektonik. Endapan sulfida
masif polimetalik tipe Kuroko terbentuk pada discharge site sistem hidrotermal bawah laut
yang berasosiasi dengan struktur kaldera. Umumnya berumur Fanerozoikum, dan berasosiasi
dengan busur-busur volkanik yang berhubungan dengan subduksi. Endapan tipe kuroko
berhubungan dengan sekuens volkanik bimodal yang umumnya terdiri atas basal toleiitik di
bagian bawah dan ke arah atas diikuti oleh dasit, rio-dasit, dan batuan-batuan piroklastik
yang sejenis. Sekuens bimodal ini sering ter-superimposed pada volkanik kalk-alkalin yang
mencirikan busur magmatik yang terbentuk di atas zona subduksi. Sillitoe (1982)
mengusulkan tatanan (settings) busur-dalam dan busur-belakang sebagai lokasi endapan
tipe-kuroko, yang dicirikan oleh rifting (peretakan/pencelahan) dan volkanisme bimodalyang
dominan. Menurut Sillitoe (1982), rifting dari suatu busur kepulauan bisa terjadi sebagai
akibat dari subduksi yang miring (oblique), dan juga memungkinkan untuk berkembang ke
arah cekungan pinggiran (marginal basin). Lingkungan intra-kontinental yang meluas, juga
dipertimbangkan oleh Sillitoe (1982) untuk endapan sulfida masif yang umumnya berasosiasi
dengan sekuensbimodal.
Endapan
tipe
kuroko
merupakan
lensa-lensa
polimetalik
bijih
sulfida
masif
selaras
(conformable) yang menampakkan hubungan stratigrafi yang kuat dengan volkanisme felsik,
yang terbentuk pada sabuk Tufa Hijau Miosen di daerah Honshu dan Hokkaido di Jepang, dan
juga memperlihatkan hubungan ruang-waktu yang kuat dengan volkanik bawah laut
fragmental berkomposisi dasitik-riolitik. Di Jepang, semua endapan kuroko terbentuk selama
periode yang relatif terbatas yang menandai berakhirnya tahapan major pulse dari suatu
aktifitas volkanik yang dimulai pada Oligosen Akhir (Sawkins, 1984 & 1990).
Tubuh-tubuh bijih endapan kuroko, terutama yang tersebar di timurlaut Jepang, umumnya
menempati horizon-horizon stratigrafi yang dicirikan oleh akumulasi sedimen pasiran dan
lumpuran (sandy and muddy) yang mengandung limpahan fosil moluska dari spesies-spesies
air-hangat. Pengendapannya diduga terjadi pada cekungan-cekungan danau kaldera yang
terisolasi, dangkal, dan relatif tenang, yang kemungkinan dekat dengan permukaan laut dan
laut terbuka. Aktifitas volkanik tersebut dimulai dengan akumulasi debris piroklastik di lantai
samudera yang merupakan Formasi Dasit Motoyama berumur Miosen. Unit-unit Formasi
Motoyama
ini
sebagian
kemudian
ter-reworked oleh
arus
turbid
selama
terjadinya
pembentukan kubah-kubah (domes) dan aliran lava. Material-material volkanik ini, di mana
bijih sering ditemukan berasosiasi, adalah riolit dan dasit silisik yang mengintrusi Dasit
Motoyama. Intrusi-intrusi lebur ini kemudian memicu terjadinya volkanisme eksplosif ketika
bertemu dengan air laut di sekitar puluhan meter di bawah permukaan Formasi Motoyama, di
dasar laut, atau di atas kubah-kubah ekstrusi yang sedang memijar. Ketika kubah-kubah
tersebut meledak akibat volkanisme eksplosif tersebut, maka lembar-lembar breksiaglomerat akan terbentuk. Larutan-larutan yang membawa sulfur dan logam-logam dasar
(basemetals) bergerak ke atas menembus dan mengitari (di sekeliling) kubah-kubah riolit,
membentuk jaringan urat kalkopirit dan zona-zona klorit pada footwall batuan volkanik yang
relatif rapuh (brittle). Ketika larutan-larutan tersebut bertemu dengan breksi dan tufa jenuh
air garam yang unconsolidated di atas dan sekitar kubah, tanpa menyentuh lantai samudera,
maka akan bereaksi dengan cepat. Sulfida-sulfida masif, bersama-sama dengan silika,
gipsum, dan barit, akan me-replace secara besar-besaran material terbreksikan dekat
permukaan dan kemudian terendapkan di permukaan air bagian footwall (Sato, 1977).
Perubahan-perubahan
volume
dan
densitas
akibat
alterasi
batuan
lantai
samudera
menyebabkan terjadinya slumping dan percampuran berbagai macam blok material yang
telah ter-replace sebagian ke dalam bijih. Berbagai macam larutan bercampur. Tubuh-tubuh
masif gipsum, barit, sulfida-sulfida, atau material campuran dari berbagai tipe kemudian
terbentuk ketika yang terdiri atas berbagai spesies logam dasar dan sulfur yang berbedabeda tertuang ke atas permukaan bawah laut. Setelah periode utama mineralisasi tersebut,
endapan ini kemudian ter-covered oleh piroklastik dan aliran lava yang berkomposisi dasitik.
Pergerakan
larutan
kemudian
menyusut/berkurang
dari
sumber
sub-volkaniknya
menyebabkan terjadinya alterasi lemah pada lapisan-lapisan volkanik yang lebih muda dan
pada lokasi yang lebih tinggi (Jenks, 1966, 1971) (Guilbert dan Park, Jr., 1986).
Ukuran
tubuh-tubuh
bijih
endapan
berkisar
dari
nodul-nodul
kecil
hingga
massa-
massa irregular dengan panjang mencapai 800 meter, lebar 300 meter, dan tebal 100 meter.
Sebagian berbentuk lensa-lensa yang flat. Bijih endapan tipe kuroko umumnya berbutir
halus. Umumnya memperlihatkan tekstur framboidal, mengelompok secara konsentris
(concentric banding), nodul-nodul, dan struktur colloform(Guilbert dan Park, Jr., 1986).
Sawkins (1984 & 1990) melaporkan bahwa umumnya bijih tipe ini kompak dan masif, tetapi
berlapis, terbreksikan, tekstur colloformdominan secara setempat, dan struktur graded
bedding dalam bijih hitam (black ore) dijumpai di beberapa lokasi. Tenor rata-rata yang
ditambang di Distrik Hokuroku, Jepang, adalah 2% Cu, 5% Zn, 1.5% Pb, 21% Fe, 12% Ba,
1.5 g/ton Au, dan 95 g/ton Ag (Lambert and Sato, 1974). Setiap tambang besar di distrik ini
terpusat pada kelompok lensa-lensa bijih yang terpisah dengan kisaran ukuran dari < 0,1
hingga sekitar 10 juta ton; total tonase bijih di distrik ini diperkirakan 90 juta ton (Sangster,
1980). Lensa-lensa strataboundendapan ini umumnya memanjang, dengan batas-batas atas
yang runcing dan batas bawah yang lebih menghambur (diffuse) dan bergradasi ke bawah
melewati zona stockworks yang berkadar lebih rendah menuju ke footwall volkanik dan tufa
yang tak termineralisasi.
Menurut Pirajno (1992), ukuran tubuh bijih endapan kuroko, walaupun bervariasi, umumnya
kecil. Tubuh bijih berbentuk lonceng yang bernilai ekonomis hanya mencapai ukuran 300 x
100 x 50 m3. Tonage individu tubuh bijih bervariasi dari beberapa ribu ton hingga lebih dari 1
x 106 ton. Kadarnya juga bervariasi, tetapi kisarannya umumnya sebagai berikut: Cu 0.5-2%;
Pb 0.5-2%; Zn 2-10%; Au 0.5-6 g/t; Ag 20-1000 g/t; BaSO4 20-50%.
Empat zona alterasi dikenali di sekitar bijih-bijih tipe kuroko di Jepang (Guilbert and Park, Jr.,
1986):
(1)
(3)
(4)
Monmorillonit dan mineralisasi zeolit yang bergradasi keluar dan ke atas menuju ke
batuan yang tak teralterasi (Matsukuma and Horikoshi, 1970). Sudo (1954) melaporkan
monmorillonit, besi-monmorillonit, serisit, dan klorit sebagai produk-produk alterasi. Alterasi
skala distrik berkisar dari alterasi zeolit jenis mordenit di bagian tepi, dan ke arah dalam
serisit lalu klorit.
Shirozu (1974) dalam Pirajno (1992) membedakan empat zona alterasi utama, di mana dari
tepi ke arah inti mineralisasi, terdiri atas:
zone II, terdiri atas serisit + serisit-monmorillonit + klorit Fe-Mg + albit + K-felspar +
kuarsa;
zone III, dicirikan oleh alterasi lempung di dalam dan di sekeliling mineralisasi, dan
mengandung serisit + inter-stratifikasi monmorillonit-serisit + klorit Mg dan kuarsa;
zone IV, mengelilingi bagian inti tubuh mineralisasi dan memperlihatkan silisifikasi kuat,
dengan kuarsa + serisit + klorit kaya Mg.
Suatu model ruang-waktu alterasi hidrotermal diusulkan oleh Pisutha-Arnond dan Ohmoto,
1983 (dalam Pirajno, 1992). Dari tepi ke arah inti mineralisasi, zona-zona alterasi dan
kumpulan mineralnya sebagai berikut:
a)
kristobalit;
b)
zona zeolit dengan kenampakan pertama kali analsim, kalsit, illit, dan kuarsa;
c)
d)
e)
Sangster (1972) dalam Guilbert and Park, Jr. (1986) menyusun daftar karakteristik bijih
Kuroko Miocene di Jepang, sebagai berikut:
(1)
(2)
Memperlihatkan korelasi spasial yang kuat dengan volkanisme fasa eksplosif yang
asam;
(4)
Terdiri atas dua tipe bijih utama, sulfida masif dan stringer. Bijih masif secara esensi
selaras dengan batuan di sekitarnya, sedangkan bijih stringer sangat jelas memotong
stratigrafi. Bijih masif mengelompok secara banded;
(5)
(6)
Memperlihatkan
zonasi
komposisi
yang
selaras
dengan
stratigrafi,
dengan
bijih stringers;
(8)
Mengandung anhidrit-gipsum;
Memperlihatkan kehadiran bornit dan tetrahedrit-tennantit, dan limpahan galena.
Distrik Hanoaka-Matsumine di Honshu bagian utara merupakan lokasi tipe endapan Kuroko.
Menurut Ogura (1972), bijih tersebut di distrik ini terzonasi dengan batuan silisius di bagian
bawah dan gipsum di atas, diikuti oleh bijih sulfida besi silisius (keiko) kemudian oleh bijih
kuning
(oko);
material
hitam
(kuroko)
berada
pada
bagian
paling
atas.
Tekstur-
tekstur colloform dan spherulitic berkembang melimpah, terutama pada bijih-bijih masif.
Tubuh-tubuh
bijih
Hanoaka-Matsumine
dipertimbangkan
terbentuk
sebagai
sedimen
hidrotermal bawah laut di dalam suatu kaldera pada bagian atas dari suatu sekuens batuan
piroklastik
yang
di-interlayer dan
di-overlain oleh
batulumpur
(mudstones).
Struktur
sedimen, seperti stratifikasi dan laminasi, banyak ditemukan. Proses introduksi bijih terjadi
setelah intrusi kubah riolit, di mana larutan kemudian mengalir di dalam dan di sekeliling
kubah. Bijih kemudian terendapkan di sedimen-sedimen yang mengitarinya, di mana mataair
panas mencapai laut, yang kemudian tersebar di atas lantai samudera. Ogura (1972)
mendeterminasi temperatur pembentukan bijih ini yaitu sekitar 200 oC. Hasil-studi-studi
terakhir (Sato, 1977) mengindikasikan bahwa bijih sulfida Kuroko terpresipitasi di atas lantai
samudera Miosen bersifat asam lemah, mereduksi air laut pada temperatur 200 250 oC dan
sebagai hasil dari penurunan temperatur yang cepat. Oxygen-hydrogen and sulphur isotope
ratios demand a magmatic component(Guilbert and Park, Jr., 1986).
Temperatur homogenisasi inklusi fluida mengindikasikan besarnya kisaran temperatur larutan
bijih ini, dari sekitar 100 330 oC, dengan salinitas 3.5 6 wt.% NaCl equivalent. Lebih
spesifik pada mineral-mineral bijih kuning yang terpresipitasi pada temperatur yang paling
tinggi (330oC), sementara mineral-mineral bijih hitam terpresipitasi hanya pada kisaran
temperatur 200 330oC (Pisutha-Arnond dan Ohmoto, 1983 dalam Pirajno, 1992).