Anda di halaman 1dari 190

PROCEEDING, SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-11

PERSPEKTIF ILMU KEBUMIAN DALAM KAJIAN BENCANA GEOLOGI DI INDONESIA


5 – 6 SEPTEMBER 2018, GRHA SABHA PRAMANA
MINERALOGI DAN TEKSTUR ENDAPAN EMAS EPITERMAL SULFIDASI
RENDAH-MENENGAH DAERAH CIBEBER, KOMPLEKS KUBAH BAYAH,
PROVINSI BANTEN

Cendi D. P. Dana1*
Arifudin Idrus2*
Feddy Yuniardi3
Ignas A. Meak4
Rohaya Langkoke5
1*
Departemen Teknik Geologi, Universitas Gadjah Mada, Jl. Grafika No. 2 Yogyakarta
1*
Departemen Teknik Geologi, Universitas Gadjah Mada, Jl. Grafika No. 2 Yogyakarta
3
PT Multi Utama Kreasindo Mining, Neglasari, Cibeber, Lebak, Banten
4
PT Multi Utama Kreasindo Mining, Neglasari, Cibeber, Lebak, Banten
5Departemen TeknikGeologi FT-UNHAS

*Corresponding author: cendi.diar@gmail.com; arifidrus@ugm.ac.id

ABSTRAK
Kompleks kubah Bayah merupakan daerah yang terbukti memiliki potensi endapan mineral yang
sangat tinggi terutama tipe epitermal. Lokasi penelitian berada di Desa Neglasari, Kecamatan Cibeber,
Kabupaten Lebak, Provinsi Banten. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui variasi mineralogi dan
tekstur dari mineral bijih dan gangue serta implikasinya terhadap paraganesa mineral. Identifikasi
jenis mineral dan tekstur dilakukan dengan mengintegrasikan hasil analisis laboratorium terhadap 15
sampel petrografi batuan samping, 20 sampel mikroskopi bijih urat dan 10 sampel XRD (bulk+clay)
yang mewakili tiap jenis batuan dengan alterasi hidrotermal berbeda. Hasil penelitian menunjukkan
bahwa terdapat 3 tipe alterasi yang berkembang yaitu silisifikasi (kuarsa + kristobalit ± illit), argilik
(illit + kuarsa ± klorit), dan propilitik (klorit + epidot + illit). Mineral bijih yang dijumpai terdiri dari 5
golongan yaitu native element (emas-perak), sulfida (pirit, kalkopirit, galena, sfalerit, dan kovelit),
sulfosalts (tennantit-tetrahedrit), oksida (hematit-goethite), dan karbonat (malachite). Mineral gangue
yang dijumpai terdiri dari kuarsa, kalsit, epidot, illit, dan klorit. Tekstur bijih yang dijumpai terdiri dari
diseminasi, penggantian, eksolusi-dekomposisi, dan kristalisasi simultan, sementara tekstur urat yang
berkembang terdiri dari masif, colloform-crustiform, breccia, lattice bladed, comb, saccaharoidal, dan
zonal serta beberapa veinlet yang membentuk sistem stockwork. Paragenesa mineral bijih secara
umum dapat dibagi menjadi 4 tahap yaitu early epithermal stage yang dicirikan oleh pembentukan
mineral-mineral sulfida pembawa logam dasar, middle epithermal stage yang dicirikan oleh
pembentukan emas-perak, late epithermal stage yang dicirikan oleh pembentukan urat kuarsa barren,
dan supergene stage yang dicirikan dengan proses penggantian oleh mineral kovelit, hematit, dan
goethite.
Kata Kunci : Cibeber, epitermal, sulfidasi rendah-menengah, tekstur

1. Pendahuluan
Indonesia yang berada di jalur busur magmatik memiliki keuntungan tersendiri dengan
melimpahnya potensi endapan epitermal. Sekitar 660 ton sumberdaya emas di kawasan Indonesia
dihasilkan dari endapan epitermal (Leeuwen, 1994). Pulau Jawa sendiri terutama kawasan Jawa bagian
barat merupakan daerah yang terbukti memiliki potensi cadangan mineral tipe epitermal lebih banyak
dibandingkan kawasan Jawa di bagian lainnya. Salah satu daerah yang memiliki potensi endapan
epitermal adalah daerah Cibeber, Lebak, Banten tepatnya di desa Neglasari yang menjadi lokasi pada
penelitian kali ini. Potensi endapan epitermal di daerah ini sudah diperkirakan sejak lama akan tetapi
eksplorasi baru dilakukan dalam beberapa tahun belakangan. Oleh karena itu karakterisasi mineralogi
dan tekstur endapan emas epitermal di daerah ini menjadi penting dan menarik untuk dilakukan dalam
rangka mengetahui genesa dan model genetik endapan tersebut dan sebagai acuan dalam kegiatan
eksplorasi di masa mendatang.

695
PROCEEDING, SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-11
PERSPEKTIF ILMU KEBUMIAN DALAM KAJIAN BENCANA GEOLOGI DI INDONESIA
5 – 6 SEPTEMBER 2018, GRHA SABHA PRAMANA
2. Metode Penelitian
Pengambilan sampel pada penelitian ini dilakukan dengan metode grab sampling baik secara
langsung dari singkapan, lubang tambang tradisional maupun float. Pemetaan permukaan juga
dilakukan untuk mengetahui persebaran zona alterasi dan mengidentifikasi berbagai tekstur urat yang
berkembang. Karakteristik mineral alterasi dan gangue diketahui berdasarkan analisis petrografi
dengan jumlah 15 sampel batuan samping dan 3 sampel urat serta analisis XRD dengan jumlah 6
sampel bulk dan 4 sampel clay. Sementara itu jenis mineral dan tekstur bijih diketahui dari analisis
mikroskopi bijih dengan jumlah 21 sampel urat.
3. Data
Pemaparan data dalam penelitian ini meliputi variasi jenis mineralogi dan tekstur yang
berkembang di daerah penelitian. Karaktersitik mineralogi dan tekstur diintegrasikan dari hasil
pengamatan secara langsung pada conto setangan maupun analisis laboratorium.
3.1. Mineralogi bijih dan gangue
Identifikasi jenis mineral hanya ditentukan berdasarkan sifat fisik dan sifat optis mineral
tersebut. Keterdapatan mineral bijih secara umum berada dalam tubuh urat meskipun beberapa
juga dapat ditemukan dalam batuan samping. Selain mineral gangue yang berada di tubuh urat,
juga dilakukan identifikasi mineral-mineral sekunder penciri alterasi hidrotermal yang berada di
batuan samping.
3.1.1. Mineral bijih
Mineral bijih yang terdapat pada urat hidrotermal di lokasi penelitian secara umum dapat
dikelompokkan menjadi 2 golongan yaitu mineral hipogen dan supergen. Mineral hipogen
terdiri dari kelompok native elements, sulfida dan sulfosalts sementara golongan supergen
terdiri dari kelompok sulfida, oksida, dan karbonat.
1. Mineral bijih hipogen
Geolongan mineral hipogen yang pertama adalah kelompok native elements.
Kelompok ini dapat ditemukan di lokasi penelitian terdiri dari emas dan perak. Emas
dapat dijumpai dalam bentuk visible gold dengan ukuran 0,5-1 mm. Pengamatan
mikroskopi bijih menunjukkan bahwa emas dapat dijumpai dalam bentuk free grain
dan inklusi di mineral pirit. Sementara perak hanya dapat teridentifikasi melalui
pengamatan mikroskopi bijih dalam bentuk free grain. Kelompok sulfida hipogen
yang dijumpai di daerah penelitian terdiri dari pirit, kalkopirit, kovelit, galena, dan
sfalerit. Kehadiran pirit dapat dijumpai di urat hidrotermal maupun batuan samping
dengan ukuran 1-5 mm. Kalkopirit akan banyak dijumpai pada urat hidrotermal
berasosiasi dengan mineral sulfida pembawa logam dasar lainnya. Galena hadir dalam
bentuk kristal kubik euhedral-subhedral berwarna metallic grey, ukuran 1-5 mm dan
umumnya terdiseminasi, sementara sfalerit memiliki warna yang lebih hitam dengan
kilap damar hingga sub-metalik, ukuran 1-200 mm, dan dapat dijumpai baik
terdiseminasi maupun terkonsentrasi membentuk lapisan-lapisan (banding). Golongan
sulfosalts terdiri dari tennantit-tetrahedrit yang hanya dapat diidentifikasi pada
pengamatan mikroskopis dengan ukuran 10-80 µm.

2. Mineral bijih supergen


Selain hadir dalam bentuk hipogen, kelompok sulfida juga dapat dijumpai sebagai
mineral supergen. Kelompok sulfida supergen yang dijumpai adalah kovelit dan
banyak dijumpai pada urat hidrotermal yang banyak mengandung kalkopirit.
Golongan oksida yang dijumpai di lokasi penelitian antara lain hematit dan goethite.
Kehadiran kelompok mineral ini dapat diidentiifikasi dengan mudah yang dicirikan
dengan warna merah kecokelat-cokelatan sebagai hasil dari proses oksidasi. Golongan
karbonat yang dijumpai di lokasi penelitian adalah malachite yang dijumpai pada
beberapa sampel float urat atau sampel yang berasal dari proses sisa penambangan
tradisional dan dapat diidentifikasi dengan mudah pada conto setangan dari warnanya
yang hijau dan kilap tanah.

696
PROCEEDING, SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-11
PERSPEKTIF ILMU KEBUMIAN DALAM KAJIAN BENCANA GEOLOGI DI INDONESIA
5 – 6 SEPTEMBER 2018, GRHA SABHA PRAMANA

3.1.2. Mineral gangue


Berdasarkan Corbett dan Leach (1996), kehadiran mineral gangue dan alterasi yang
dijumpai di lokasi penelitian dapat dikelompokkan menjadi 4 grup yang terdiri dari kelompok
silika, illit, klorit, kalk-silikat, dan fase lainnya. Kelompok silika yang dapat dijumpai pada
daerah penelitian terdiri dari kuarsa fanerokristalin, kristobalit dan kalsedon. Kuarsa
fanerokristalin dapat dijumpai di seluruh zona alterasi baik sebagai mineral pengganti maupun
pengisi urat hidrotermal. Kristobalit hanya dijumpai pada zona silisifikasi, sementara itu
kalsedon dapat dijumpai terutama di zona alterasi argilik dan silisifikasi sebagai pengisi
veinlet. Kelompok mineral illit yang dapat dijumpai terdiri dari illit, palygorskite, dan
halloysite yang secara umum merupakan mineral alumino-silikat. Mineral illit dapat dijumpai
pada semua zona alterasi dan paling melimpah berada di zona argilik. Mineral palygorskite
hanya dijumpai di zona alterasi propilitik sementara mineral halloysite hanya dijumpai pada
zona silisifikasi. Kelompok mineral klorit yang dijumpai adalah chamosite yang berada di
zona alterasi propilitik dan argilik. Mineral kalk-silikat yang dijumpai di daerah penelitian
adalah epidot yang hadir di zona propilitk menggantikan klinopiroksen dan sebagai pengisi
veinlet. Kelompok fase mineral lain yang dapat dijumpai adalah kalsit yang hadir dalam
jumlah minor dan dijumpai sebagai veinlet.

3.2. Variasi tekstur urat dan bijih


Karakterisasi tekstur urat secara umum mengacu pada klasifikasi Guoyi et al. (1995)
sementara untuk tekstur bijih mengacu pada klasifikasi tekstur mineral bijih menurut Craig &
Vaughan (1981). Secara umum identifikasi jenis tekstur urat dilakukan berdasarkan pengamatan
secara langsung di lapangan sementara untuk tekstur bijih dilakukan berdasarkan pengamatan
mikroskopi bijih.
3.2.1. Tekstur urat
Tekstur urat di daerah penelitian ini dapat dibedakan menjadi dua yaitu tekstur
pertumbuhan primer (primary growth) dan tekstur penggantian (replacement). Tekstur
pertumbuhan primer yang dapat ditemukan di lokasi penelitian ini terdiri dari masif, colloform,
crustiform, comb dan zonal. Tekstur masif dijumpai pada hampir sebagian besar urat terutama
yang memiliki dimensi relatif besar (~100 cm) meskipun beberapa urat berukuran kecil juga
dijumpai memiliki tekstur masif. Mineral pengisi urat ini didominasi oleh kuarsa dan mineral
sulfida. Tekstur colloform memiliki pola lapisan yang meliuk sementara crustiform relatif
lebih subparalel. Tekstur colloform lebih banyak dijumpai dengan mineralogi penyusun
didominasi oleh kuarsa dan sulfida pembawa logam dasar, sementara crustiform berupa kuarsa,
pirit, oksida besi dan illit-mika. Ketebalan urat yang memiliki tekstur ini mulai dari 25 cm
hingga 100 cm. Tekstur comb atau sisir dicirikan dengan pertumbuhan kristal-kristal kuarsa
prismatik yang relatif sejajar dan tegak lurus terhadap batuan samping dengan kondisi fluida
hidrotermal yang jenuh silika. Secara umum urat kuarsa dengan tekstur comb dijumpai dengan
ketebalan yang relatif kecil (15-20 cm) dan tersusun oleh mineral gangue secara keseluruhan
atau bersifat barren. Tekstur zonal dicirikan oleh adanya inklusi pada kristal kuarsa yang
membentuk zona-zona tertentu.
Terdapat 2 jenis tekstur penggantian yang dapat dijumpai di lokasi penelitian yaitu lattice
bladed dan saccharoidal. Tekstur lattice bladed dicirikan dengan kehadiran kristal-kristal
kuarsa dengan struktur membilah yang saling berpotongan yang menyisakan lubang-lubang
ataupun telah terisi oleh kuarsa secara keseluruhan dengan ketebalan antara 100-150 cm.
Terdapat dua jenis tipe tekstur ini yaitu yang menyisakan lubang dan tidak menyisakan lubang.
Komposisi mineralogi penyusun urat didominasi oleh kuarsa dan oksida besi sementara
mineral lain yang dapat dijumpai berupa pirit. Tekstur saccharoidal dicirikan oleh komponen
mineral penyusun urat yang berukuran halus menyerupai gula pasir dengan warna putih susu.
Tekstur ini memiliki komposisi mineralogi berupa kuarsa, hematit dan illit-mika banyak
dijumpai pada urat-urat dengan ketebalan antara 20-100 cm.

3.2.2. Tekstur bijih

697
PROCEEDING, SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-11
PERSPEKTIF ILMU KEBUMIAN DALAM KAJIAN BENCANA GEOLOGI DI INDONESIA
5 – 6 SEPTEMBER 2018, GRHA SABHA PRAMANA
Berdasarkan hasil analisis secara mikroskopik, dapat diketahui bahwa terdapat 6 jenis
tekstur bijih yaitu sebaran (disseminated), kristalisasi simultan (intergrowth), inklusi,
pengisian rongga (cavity filling), penggantian (replacement), dan eksolusi-dekomposisi.
Tekstur sebaran dapat dijumpai hampir di semua sampel urat pada berbagai jenis mineral bijih
seperti misalnya pirit, perak, kalkopirit, sfalerit, dan lain sebagainya akan tetapi paling banyak
dijumpai pada pirit. Tekstur kristalisasi simultan dapat dijumpai pada beberapa sampel urat
antara galena dan kalkopirit serta antara galena dan sfalerit. Tekstur pengisian rongga
merupakan tekstur yang terbentuk berkaitan dengan ketersediaan ruang untuk pengendapan
mineral bijih. Mineral bijih akan terendapkan pada rongga yang terbentuk pada tubuh urat
akibat proses pelarutan ataupun rongga yang terbentuk pada batas-batas antar kristal. Tekstur
penggantian dapat dijumpai pada mineral sulfida satu dengan mineral sulfida yang lain seperti
misalnya kalkopirit dan sfalerit yang tergantikan oleh kovelit atau antar mineral oksida seperti
hematit yang tergantikan oleh goethite. Pada tahap lanjut atau ketika proses penggantian
berlangsung secara intensif, maka akan terbentuk tekstur inklusi. Kehadiran tekstur inklusi
terutama dijumpai pada mineral emas yang terperangkap di mineral pirit. Tekstur eksolusi-
dekomposisi yang paling umum dijumpai adalah kenampakan chalcopyrite disease yang
menunjukkan kenampakan berupa bercak-bercak (blebs) atau inklui emulsi mineral kalkopirit
di dalam mineral sfalerit.

4. Hasil dan Pembahasan


Pembahasan dalam penelitian ini hanya difokuskan pada paragenesa mineral serta interpretasi
proses pembentukan atau genesa endapan bijih berdasarkan karaktersitik mineralogi dan tekstur yang
berkembang.
4.1. Paragenesa mineral
Berdasarkan tekstur bijih emas yang hadir dalam bentuk inklusi dalam mineral pirit, dapat
diketahui bahwa emas terbentuk terlebih dahulu daripada mineral pirit. Untuk emas yang dijumpai
dalam bentuk free grain, paragenesanya terhadap mineral bijih lain tidak dapat ditentukan
sehingga dalam hal ini dianggap bahwa proses pembentukannya bersamaan dengan emas dalam
bentuk inklusi. Perak umumnya dijumpai dalam bentuk free grain sehingga hubungan paragenesa
dengan bijih lain tidak dapat diketahui dan dianggap simultan dengan pembentukan emas.
Hubungan paragenesa pirit dengan mineral sulfida lain secara umum bersifat menggantikan.
Paragenesa pirit dengan kalkopirit secara keseluruhan menunjukkan bahwa pirit menggantikan
kalkopirit atau dapat dikatakan kalkopirit terbentuk lebih dulu daripada pirit. Hubungan
paragenesa tersebut juga dijumpai antara mineral pirit dengan galena, sehingga dapat diketahui
galena terbentuk lebih awal daripada pirit. Satu-satunya mineral sulfida yang dijumpai
menggantikan pirit adalah kovelit yang terbentuk pada tahap pengkayaan supergen. Sementara itu
hubungan paragenesa pirit dengan sfalerit dan tenantit-tetrahedrit tidak dapat ditentukan karena
tidak dijumpai kontak langsung antara mineral-mineral tersebut.
Kalkopirit dengan galena secara umum dijumpai memiliki tekstur kristalisasi simultan
sehingga dapat diketahui bahwa kedua mineral tersebut terbentuk pada periode yang sama.
Hubungan tersebut juga terjadi antara kalkopirit dengan tenantit-tetrahedrit. Kalkopirit dengan
sfalerit secara umum dijumpai dalam bentuk tekstur eksolusi atau dalam bentuk chalcopyrite
disease yang mengindikasikan proses pembentukannya terjadi dalam satu periode, akan tetapi
pada beberapa sampel juga dijumpai adanya sfalerit yang menggantikan kalkopirit. Paragenesa
antara galena dengan sfalerit pada dasarnya tidak jauh berbeda dengan paragenesa antara
kalkopirit dengan sfalerit. Terdapat dua jenis hubungan paragenesa antara galena dengan sfalerit
yaitu yang bersifat simultan dan yang bersifat tidak simultan berupa sfalerit menggantikan galena.
Proses pembentukan galena juga terjadi pada periode yang sama dengan pembentukan tennantit-
tetrahedrit yang diketahui dari tekstur kristalisasi simultan antara kedua mineral tesebut. Seperti
yang telah disebutkan sebelumnya, secara umum sfalerit terbentuk lebih akhir daripada mineral
sulfida pembawa logam dasar lain seperti kalkopirit dan galena. Hubungan ini juga terjadi antara
sfalerit dengan tennantit-tetrahedrit yang dapat diketahui berdasarkan tekstur sfalerit yang bersifat
menggantikan. Kovelit secara umum bersifat menggantikan karena merupakan produk supergen
yang terbentuk pada periode terakhir mineralisasi. Kehadiran kovelit ini terutama dijumpai
698
PROCEEDING, SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-11
PERSPEKTIF ILMU KEBUMIAN DALAM KAJIAN BENCANA GEOLOGI DI INDONESIA
5 – 6 SEPTEMBER 2018, GRHA SABHA PRAMANA
menggantikan mineral-mineral sulfida yang membawa unsur Cu seperti kalkopirit, tennantit-
tetrahedrit ataupun sfalerit yang menggandung chalcopyrite disease. Secara umum paragenesa
antara mineral sulfida dengan oksida dan karbonat sangat mudah ditentukan karena mineral oksida
dan karbonat yang hadir merupakan hasil dari proses pengkayaan sekunder atau proses supergen
sehingga dapat diketahui bahwa secara umum mineral sulfida terbentuk terlebih dahulu daripada
mineral oksida dan karbonat. Namun, hal tersebut tidak berlaku untuk mineral sulfida kovelit yang
juga merupakan produk supergen sehingga dapat diketahui bahwa kovelit terbentuk secara
simultan dengan mineral oksida yang terdiri dari hematit dan goethite serta mineral karbonat
berupa malachite. Meskipun secara umum terbentuk pada periode yang sama, akan tetapi hematit
dan goethite pada dasarnya memiliki hubungan saling menggantikan yaitu goethite menggantikan
hematit. Paragenesa mineral alterasi non logam ditentukan berdasarkan tahap pembentukan zona
aterasi di daerah penelitian. Zona alterasi yang terbentuk pada tahap awal mineralisasi adalah
silisifikasi kemudian zona argilik dan diakhiri dengan zona propilitik. Oleh karena itu paragenesa
mineral alterasi diawali oleh mineral-mineral penciri zona silisifikasi diikuti mineral penciri zona
argilik dan paling akhir adalah mineral penciri zona propilitik. Hal tersebut tidak berlaku untuk
kuarsa yang terbentuk sejak tahap awal hingga akhir.

4.2. Genesa endapan


Interpretasi karaktersitik fluida yang membentuk endapan dapat ditentukan berdasarkan
asosiasi mineral yang terbentuk oleh proses hidrotermal baik mineral bijih maupun mineral
gangue. Suhu pembentukan mineral bijih, gangue, dan alterasi ditentukan berdasarkan kisaran
suhu kestabilan menurut Henley, et al. (1984); Reyes dan Giggenbach (1992); Morisson (1995);
White (1995); Zhu, et al. (2011); dan Corbett dan Leach (1996). Berdasarkan tabel kisaran suhu
pembentukan tersebut dapat diketahui bahwa suhu pembentukan mineral-mineral bijih hipogen
230-270 sementara supergen 140-200. Secara umum fluida yang membentuk mineral-mineral
tersebut memiliki pH relatif netral, kecuali untuk halloysite yang memiliki sifat lebih asam.
Variasi tekstur urat juga merepresentasikan proses-proses hidrtermal tertentu selama
pembentukan endapan bijih. Kehadiran dari tekstur comb mengindikasikan bahwa kondisi fluida
hidrotermal yang membentuk urat tersebut bersifat jenuh silika. Tekstur masif mengindikasikan
proses pembentukan yang terjadi dalam satu kali periode secara simultan. Tekstur crustiform-
colloform mengindikasikan proses presipitasi fluida hidrotermal yang terjadi secara periodik dan
fluktuatif. Fluktuasi fluida juga diindikasikan oleh kehadiran tekstur zonal yang teramati dalam
kristal kuarsa dalam tubuh urat bertekstur crustiform. Jika ditinjau berdasarkan model endapan
epitermal menurut Buchanan (1981) kehadiran dari tekstur crustiform-colloform akan banyak
dijumpai umumnya di zona transisi antara high grade precious metal hingga main base metal
interval sementara tekstur lattice dan saccharoidal akan banyak dijumpai pada bagian yang dekat
dengan permukaan atau pada low grade precious metal interval.
Berdasarkan karakteristik endapan bijih yang meliputi paragenesa mineral bijih dan alterasi
serta data tekstur urat, tahap mineralisasi yang terjadi di daerah penelitian secara umum dapat
dibagi menjadi 4 tahap utama yaitu early epithermal stage, middle epithermal stage, late
epithermal stage, dan diakhiri oleh tahap supergen. Tahap early epithermal stage dicirikan dengan
pembentukan urat-urat kuarsa bertekstur masif. Pada tahap ini proses mineralisasi yang terjadi
didominasi oleh pembentukan mineral bijih pembawa logam dasar seperti kalkopirit, galena dan
sfalerit. Emas mulai terbentuk pada tahap ini tetapi dengan kelimpahan yang sedikit. Tahap middle
epithermal stage dicirikan dengan pembentukan urat-urat yang diawali dengan tekstur colloform
dan diakhiri dengan tekstur breccia. Mineralisasi emas dan perak terjadi secara efektif pada tahap
ini. Selain itu pembentukan mineral bijih pembawa logam dasar juga masih terjadi tetapi dengan
kelimpahan yang lebih rendah dari tahap pertama. Tahap late epithermal stage dicirikan dengan
pembentukan urat dengan kandungan logam sangat rendah bahkan tidak mengandung mineral
bijih (barren). Pada tahap ini urat yang terbentuk memiliki tekstur lattice bladed, comb dan
saccharoidal. Urat saccharoidal diinterpretasikan terbentuk paling akhir berdasarkan kehadiran
mineral kalsit yang mengindikasikan late carbonate stage sebagai proses akhir dari sistem
epitermal. Tahap supergen dicirikan dengan proses penggantian akibat oksidasi mineral yang
terbentuk pada tahap hipogen. Tahap ini diinterpretasikan sebagai tahap terakhir dari proses
mineralisasi di daerah penelitian.

699
PROCEEDING, SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-11
PERSPEKTIF ILMU KEBUMIAN DALAM KAJIAN BENCANA GEOLOGI DI INDONESIA
5 – 6 SEPTEMBER 2018, GRHA SABHA PRAMANA

5. Kesimpulan
Mineralogi endapan emas epitermal di daerah penelitian dapat dibedakan menjadi dua kelompok
yaitu mineral bijih yang terdiri dari native element (emas-perak), sulfida (pirit, kalkopirit, galena,
sfalerit, dan kovelit), sulfosalts (tennantit-tetrahedrit), oksida (hematit-goethite), dan karbonat
(malachite) serta mineral gangue yang terdiri dari silika (kuarsa-kristobalit-kalsedon), illit (illit-
palygorskite-halloysite), klorit (chamosite), kalk-silikat (epidot), dan fase lain (kalsit). Tekstur urat
yang dapat dijumpai berupa masif, colloform-crustiform, breccia, lattice bladed, comb, dan
sacharoidal sementara tekstur bijih yang dijumpai terdiri dari diseminasi, penggantian, eksolusi-
dekomposisi, dan kristalisasi simultan. Secara umum terdapat 4 tahap pembentukan endapan bijih di
daerah penelitian yaitu early epithermal stage yang dicirikan oleh pembentukan mineral-mineral
sulfida pembawa logam dasar, middle epithermal stage yang dicirikan oleh pembentukan emas-perak,
late epithermal stage yang dicirikan oleh pembentukan urat kuarsa barren, dan supergene stage yang
dicirikan dengan proses penggantian oleh mineral kovelit, malachite, hematit, dan goethite.

Acknowledgements
Penulis mengucapkan terima kasih kepada PT Multi Utama Kreasindo Mining yang telah
memberikan bantuan dana penelitian serta memberikan izin pengambilan dan publikasi data.
Penelitian ini juga didanai oleh Dana Hibah Penelitian S1 Departemen Teknik Geologi, Kageogama
Hardrockers, serta Beasiswa Dana Penelitian Yayasan 2003 dan Sahabat.

Daftar Pustaka
Corbett, G,J., T.M. Leach. (1996). Southwest Pacific Rim gold/copper systems: structure,
alteration, and mineralization. A workshop presented for the Society of Exploration
Geochemists at Townville.145pp.
Craig, J. R. dan Vaughan, D. J. (1994). Ore Microscopy and Ore Petrography 2nd Edition.
John Wiley and Sons. USA. 434 p.
Dana, C. D. P., Idrus, A., Yuniardi, F., Meak, I. A., Masti, S. D. (2018). Geology and
Hydrothermal Alteration of Cibeber Prospect, Lebak, Banten: a preliminary study of
Au-Ag-base metal sulfide deposit: Proceeding of EAGE-HAGI 1st Asia Pacific
Meeting on Near Surface Geoscience and Engineering 2018. Yogyakarta.
Gemmell, J. B.( 2004). Low- and intermediate-sulfidation epithermal deposits: ARC-
AMIRAP. Australia p. 57-63.
Guoyi, Dong, Morrison, Gregg, dan Subhash Jairet .(1995). Quartz Texture in Epithermal
Veins, Queensland-Classification Origin and Implication; Economic Geology. vol.90.
pp.1841-1856.
Henley, R. W., Truesdell, A. H., Barton, P. B., Whitney, J. A.(1984). Fluid-mineral equilibria
in hydrothermal systems. Society of Econonic Geologists. 267p.
Leeuwen, T.M., (1994). 25 years of mineral exploration and discovery in Indonesia: in van
Leeuwen, T.M., Hedenquist, J.W., James, L.P., and Dow, J.A.S., eds., Mineral
Deposits of Indonesia; Discoveries of the Past 25 Years: Journal of Geochemical
Exploration 50 p. 1390.
Marcoux, E., Milesi, J. P. (1994). Epithermal gold deposits in west Java, Indonesia: geology,
age and crustal source: Journal Geochemical Exploration v.50. p. 393-408.
Morrison, Kingston.( 1996). Magmatic-related hydrothermal system, short course manual,
Australia.
Pulungguno, A., Martodjojo, S. (1994). Perubahan Tektonik Paleogen-Neogen Merupakan
Peristiwa Tektonik Terpenting di Jawa. Prosiding Geologi dan Geodinamik Pulau

700
PROCEEDING, SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-11
PERSPEKTIF ILMU KEBUMIAN DALAM KAJIAN BENCANA GEOLOGI DI INDONESIA
5 – 6 SEPTEMBER 2018, GRHA SABHA PRAMANA

Jawa Sejak Akhir Mesozoik hingga Kuarter, Jurusan Teknik Geologi FT-UGM, pp.
37-55.
Thompson, A. J. B., dan Thompson J. F. H. (1996). Atlast of alteration “A field petrographic
guide to hydrothermal alteration minerals”. Geological Association of Canada
Mineral Deposit Divisions. Canada.
Simmons, S. F., White, N. C., John, D. A. (2005). Geological Characteristic of Epithermal
Precious and Base Metals Deposits: Economic Geology 100th Anniversary Volume p.
485-522.
Reyes, A. G., dan Giggenbach, W. F. (1992). Petrology and fluid chemistry of magmatic-
hydrothermal systems in the Phillipines. In Y.K. Kharaka dan A. S. Maest (Editors)
Water rock Interaction, Proceedings of the 7th International Sympossium on Water-
Rock Interaction, Park City, USA, Balkema, Rotterdam p. 1341-1344.
Rosana, M. F. (2009). Karakteristik Mineralisasi Logam di Kawasan Jawa Bagian Barat.
Seminar Bulanan Fakultas Teknik Geologi. Universitas Padjajaran. April 2009. 7p.
Setidjaji, L. D., Kajino, S., Imai, A., Watanabe, K.(2006). Cenozoic IslandArc Magmatism in
Java Island (Sunda Arc, Indonesia): clues on relationship between geodynamics of
volcanic center and ore mineralization. Resource Geology.v.56 No.3 p. 267-292.
Sujatmiko dan Santosa, S. (1992). Peta Geologi Lembar Leuwidamar, Jawa: Pusat Penelitian
dan Pengembangan Geologi, skala 1:100.000. 1 lembar.
White, N. C. dan Hedenquist, J. W. (1995). Epithermal Gold deposits: styles, characteristics
and exploration. SEG Newsletter No.23 p. 1,9-13.
Widi, B. N. (2007). Model Mineralisasi di Daerah Kubah Bayah: suatu pendekatan strategi
dalam eksplorasi mineral, in Proceedings, Pemaparan Hasil Kegiatan Lapangan dan
Non Lapangan. Bandung: Pusat Sumber Daya Geologi.10p.
Wilson, C. dan Tunningley, A. (2013). Undesrtanding Low Sulfidation Epithermal Deposits:
London. Association of Mining Analysts p.32
Zhu, Y.F., An, F., dan Tan, J. (2011). Geochemistry of hydrothermal gold deposits: A review:
Geoscience Frontiers. Vol. 2, Issue 3 p. 367–374.
Van Bemmelen, R. W. (1949). The Geology of Indonesia vol.1A: general geology of
Indonesia and adjacent Archipelagoes: The Hague. Government Printing Office p.766

701
PROCEEDING, SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-11
PERSPEKTIF ILMU KEBUMIAN DALAM KAJIAN BENCANA GEOLOGI DI INDONESIA
5 – 6 SEPTEMBER 2018, GRHA SABHA PRAMANA

Gambar 1. Peta geologi dan alterasi hidrotermal daerah penelitian. Kehadiran urat-urat hidrotermal
termineralisasi dapat dijumpai di seluruh zona alterasi dengan host rock berupa lava andesit dan breksi
tuf (Dana, et al., 2018).

702
PROCEEDING, SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-11
PERSPEKTIF ILMU KEBUMIAN DALAM KAJIAN BENCANA GEOLOGI DI INDONESIA
5 – 6 SEPTEMBER 2018, GRHA SABHA PRAMANA

Gambar 2. (A) Urat bertekstur colloform; (B) Urat bertekstur comb; (C) Urat bertekstur saccharoidal;
(D) Urat bertekstur crustiform; (E) Urat bertekstur masif; (F) Urat bertekstur lattice bladed.

703
PROCEEDING, SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-11
PERSPEKTIF ILMU KEBUMIAN DALAM KAJIAN BENCANA GEOLOGI DI INDONESIA
5 – 6 SEPTEMBER 2018, GRHA SABHA PRAMANA

Gambar 3. Beberapa contoh hasil analisis XRD terhadap sampel lava andesit teralterasi propilitik (atas) dan breksi tuf teralterasi argilik (bawah)
yang menunjukkan variasi mineral hasil alterasi hidrotermal.

704
PROCEEDING, SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-11
PERSPEKTIF ILMU KEBUMIAN DALAM KAJIAN BENCANA GEOLOGI DI INDONESIA
5 – 6 SEPTEMBER 2018, GRHA SABHA PRAMANA

Gambar 4. (A-B) Fotomikrograf sampel lava andesit teralterasi propilitik dengan mineral penciri
epidot dan klorit. (C-D) Fotomikrograf sampel breksi tuf tersilisifikasi yang dicirikan dengan
penggantian mineral primer oleh kuarsa secara pervasif.

E F

G H

Gambar 5. Kenampakan mineral-mineral bijih dalam tubuh urat. Kelompok native element umumnya
hadir dalam bentuk free grain (A;B;D) ataupun inklusi dalam mineral pirit (C), sementara kelompok
sulfida dapat hadir dengan berbagai variasi tekstur bijih (E-H).

A B C D

Gambar 6. Kenampakan mineral-mineral hasil proses supergen dalam conto setangan yang terdiri
dari kelompok oksida (A-B) dan karbonat (C-D).

705
PROCEEDING, SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-11
PERSPEKTIF ILMU KEBUMIAN DALAM KAJIAN BENCANA GEOLOGI DI INDONESIA
5 – 6 SEPTEMBER 2018, GRHA SABHA PRAMANA

Tabel 1. Temperatur stabilitas pembentukan mineral berdasarkan data yang dibuat oleh Henley, et al.
(1984); Reyes dan Giggenbach (1992); Morisson (1995); White (1995); Zhu, et al. (2011).

Tabel 2. Paragenesa mineral bijih, gangue, dan alterasi yang terbentuk pada tiap tahap
mineralisasi di daerah penelitian.

706
PROCEEDING, SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-11
PERSPEKTIF ILMU KEBUMIAN DALAM KAJIAN BENCANA GEOLOGI DI INDONESIA
5 – 6 SEPTEMBER 2018, GRHA SABHA PRAMANA

ANALISA UNSUR UTAMA DAN UNSUR JEJAK DALAM IDENTIFIKASI


PETROGENESIS PADA BATUAN BEKU GUNUNG GALUNGGUNG, JAWA
BARAT
Mendy Aisha Ramdhiani1*
Alwin Mugiyantoro2
Sutarto3
1*
Mahasiswa Jurusan Teknik Geologi, Fakultas Teknologi Mineral,Universitas Pembangunan Nasional
“Veteran” Yogyakarta
2
Mahasiswa Jurusan Teknik Geologi, Fakultas Teknologi Mineral,Universitas Pembangunan Nasional
“Veteran” Yogyakarta
3
Dosen Jurusan Teknik Geologi, Fakultas Teknologi Mineral,Universitas Pembangunan Nasional “Veteran”
Yogyakarta, Jalan SWK 104, Condongcatur, Depok, Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta 55283
*Corresponding author: mendyaramdhiani@gmail.com

ABSTRAK
Gunung Galunggung merupakan salah satu gunung api aktif yang terletak di daerah Jawa
Barat. Gunung Galunggung sangat menarik untuk diteliti baik dari segi geokimia batuan, petrografi,
dan mineralogi yang nantinya dapat dijadikan sebagai parameter proses geologi yang telah terjadi atau
paragenesis batuan. Metode yang digunakan adalah dengan analisa sampel batuan yang mengacu pada
parameter petrogenesa yaitu analisa petrografis, geokimia menggunakan XRF (X-Ray Fluoerescence),
mikro analisis menggunakan SEM/EDX (Scanning Electron Microscope/Energy Dispersive X-Ray),
dan mineralogi. Dari penilitian ini didapatkan hasil bahwa Gunung Galunggung tersusun atas batuan
beku vulkanik porfiri basalt. Berdasarkan kandungan unsur utama dan unsur jejak, diidentifikasi
bahwa asal magma berhubungan dengan tatanan tektonik within plate tholeiites and volcanic arc
basalt. Kemudian berdasarkan hasil analisa, sampel batuan Gunung Galunggung terbentuk pada suhu
±1078 oC - 1240 oC serta pada kedalaman ±132 km – 149 km dibawah permukaan bumi.
Kata kunci : petrogenesis, geokimia, Gunung Galunggung

1. Pendahuluan

Indonesia memiliki setidaknya 127 gunung api aktif yang tersebar di berbagai provinsi.
Pulau Jawa merupakan bagian dari Busur Sunda yang memiliki tatanan geologi dan tektonik
bertipe busur kepulauan yang berasal dari subduksi lempeng India-Australia ke arah utara dan
Lempeng Eurasia ke arah selatan. Gunung Galunggung merupakan salah satu gunung api aktif
yang terletak di daerah Tasikmalaya, Jawa Barat, merupakan gunungapi strato tipe A dengan
ketinggian 2168 meter diatas permukaan laut.
Menurut sejarah, letusan Gunung Galunggung telah mengalami empat kali letusan
pada tahun 1822, 1894, 1918, dan 1982-1983. Sudah tentu Gunung Galunggung memiliki
batuan hasil erupsi ke berbagai arah sehingga sangat menarik untuk diteliti baik dari segi
geokimia batuan, petrografi, dan mineralogi yang nantinya dapat dijadikan sebagai parameter
proses geologi yang telah terjadi atau paragenesis batuan. Tujuan dari analisis geokimia
batuan Gunung Galunggung ini untuk mengetahui kandungan unsur utama dan unsur jejak
menggunakan analisis geokimia XRF (X-Ray Fluoerescence), menafsirkan data geokimia
batuan dan hubungannya dengan petrogenesis batuan beku mencakup klasifikasi batuan,
menghitung mineral normatif, menentukan afinitas magma, dan menentukan lingkungan
tektonik dengan berbagai diagram dan model geokimia yang berkaitan.
2. Metode Penelitian

Metode yang digunakan pada penelitian ini adalah dengan analisa sampel batuan yang
berasal dari Gunung Galunggung. Metode analisis yang digunakan mengacu pada parameter
707
PROCEEDING, SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-11
PERSPEKTIF ILMU KEBUMIAN DALAM KAJIAN BENCANA GEOLOGI DI INDONESIA
5 – 6 SEPTEMBER 2018, GRHA SABHA PRAMANA

petrogenesa diantaranya petrografis, geokimia batuan menggunakan XRF (X-Ray


Fluoerescence), mikro analisis menggunakan SEM/EDX (Scanning Electron
Microscope/Energy Dispersive X-Ray), dan mineralogi. Senyawa yang dianalisis dengan
metode XRF adalah unsur utama berupa SiO2, TiO2, Al2O3, Fe2O3, FeO, MnO, MgO, CaO,
Na2O, K2O, P2O5 dan trace element (unsur jejak) berupa Ba, Ce, Cr, Cu, Dy, Ga, Hf, Mo, Nb,
Nd, Ni, Pb, Pr , Rb, Sr, Sc, Th, U, V, Y, Yb, Zn, Zr, Co. Kemudian nilai-nilai unsur tersebut
diolah dengan menggunakan software petrograph, winrock dan Ms. Excel. Berdasarkan data-
data kimia batuan tersebut, maka dapat ditentukan karakteristik jenis batuan, magma asal,
serta kedalaman magma.
3. Data

3.1 Petrogenesis
Petrogenesis berasal dari kata petra (batuan) dan genesis (kejadian), petrogenesis
adalah salah satu cabang dari ilmu petrologi yang mempelajari sejarah dan interpretasi genesa
batuan. Studi mengenai petrogenesis batuan beku melibatkan karakter dari sumber magma,
kondisi dari partial melting, dan sejauh mana modifikasi magma primer dari mantel selama
transportasi dan terakumulasinya di dalam kantong magma.

3.2 Kimiawi Batuan


Kemajuan pesat yang dicapai oleh ilmu petrognesis ditunjang oleh kemajuan pada
bidang analisis kimia. Kimiawi batuan adalah parameter dan data dasar yang amat diperlukan
petrogenesis. Kimiawi batuan dibagi ke dalam kelompok unsur utama (termasuk unsur minor),
unsur jejak, dan isotop.

3.2.1 Unsur Utama


Unsur utama terdiri dari 10 oksida, yaitu SiO2, TiO2, Al2O3, Fe2O3, FeO, MnO, MgO, Na2O,
K2O, dan P2O5 ditambah LOI (loss on ignition) dari batuan yang dianalisa, dijadikan dalam %
berat dengan jumlah keseluruhan haris 100%. Semakin tinggi SiO2 dalam batuan
menunjukkan semakin asam batuan tersebut. LOI (Loss on Ignition) adalah total dari seluruh
zat volatil dalam batuan, yaitu: O2, CO2, C, H2O, F, S, Cl, B, dan lainnya. Batuan beku yang
mengandung banyak mineral ubahan seperti mineral lempung, sulfida, karbonat, mika, dll
akan memberikan nilai LOI yang tinggi.

3.2.2 Unsur Jejak


Unsur jejak yang sering dipakai untuk indikator dan parameter petrogenesis antara lain Cr, Co,
Ni, Pb, Ba, Rb, Sr, V, REE (rare earth element), Th, U, Nb, W, Ta, Zr, Hf, Sb, Li, Y.
Kelimpahannya yang kecil di dalam batuan dan magma, unsur jejak sangat baik sebagai
indikator petrogenesis. Suatu unsur ada yang dikatakan sebagai unsur kompatibel (compatible
element) dan unsur inkompatibel (incompatible element) dimana unsur yang inkompatibel
mempunyai karakter dapat tinggal lebih lama dalam cairan dibandingkan dalam mineral,
dapat cepat keluar dari mineral pada saat proses kristalisasi, dan terlarut dalam cairan pada
proses peleburan sebagian (partial melting). Unsur kompatibel mempunyai sifat kebalikan
dari unsur inkompatibel.

3.2.3 Isotop Radiogenik


Unsur jejak ada yang bisa digunakan untuk indikator petrogenesis dari isotop radiogeniknya.
Unsur-unsur tersebut diantaranya Rb-Sr, Sm-Nd, dan U-Th-Pb. K-Ar dan U-Pb juga sering
digunakan untuk melakukan analisis umur absolut. Kimiawi batuan ini dapat digunakan untuk

708
PROCEEDING, SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-11
PERSPEKTIF ILMU KEBUMIAN DALAM KAJIAN BENCANA GEOLOGI DI INDONESIA
5 – 6 SEPTEMBER 2018, GRHA SABHA PRAMANA

menentukan jenis batuan, seri magmatik, lingkungan tektonik, asal magma, perhitungan
kedalaman magma asal, dan perkiraan mineralogi batuan

3.3 Mikro Analisis SEM/EDX


SEM (Scanning Electron Microscope) adalah jenis mikroskop elektron yang
menciptakan berbagai gambaran dengan memusatkan suatu berkas cahaya energi elektron
tinggi ke permukaan suatu sampel dan sinyal pendeteksian dari interaksi elektron dengan
permukaan sampel yang digabungkan menjadi satu panel analitis sehingga mempermudah
proses analitis dan lebih efisien.
SEM/EDX (Scanning Electron Microscope/Energy Dispersive X-Ray Spectroscopy)
pada dasarnya merupakan pengembangan SEM. Analisa SEM EDX dilakukan untuk
memproleh gambaran permukaan atau fitur material dengan resolusi yang sangat tinggi
hingga memperoleh suatu tampilan dari permukaan sampel yang kemudian di komputasikan
dengan sofware untuk menganalisis komponen materialnya baik dari kuantitatif mau pun dari
kualitalitatifnya.

3.4 Gunung Galunggung


Bronto (1989) menyatakan bahwa lava Gunung Galunggung secara petrologi dan
geokimia terdiri dari Basalt (49-53% SiO2), basaltik andesit (53-57% SiO2) dengan tekstur
porfiritik dan fenokris berukuran sedang tertanam dalam kristal harus atau massa dasar gelas.
Hasil analisis mineral modal mengindikasikan 15-40% fenokris yang didominasi oleh
plagioklas (±18%) dan klinopiroksen (1,6%), namun beberapa sampel lava tidak memiliki
fenokris klinopiroksen. Olivine merupakan mineral yang selalu ditemukan (1-4%) kecuali
pada batuan cryptodome Galunggung Tua, dimana ortopiroksen lebih mendominasi
(mencapai 4%). Amfibol tidak terlihat pada beberapa sampel Galunggung Tua namun
ditemukan pada endapan aliran pirokastik. Semua mineral pada batuan Gunung Galunggung
diperkirakan mengalami kristalisasi pada suhu yang tinggi (1000 – 1300oC) namun dengan
tekanan yang rendah (< 10 Kb)
Berdasarkan kandungan Mg, batuan Galunggung dibagi menjadi,
1.High-Mg Basalt (12,5-10% MgO)
a. Low-K high-Mg Basalt (<0,4% K2O)
b. Medium-K high-Mg Basalt (0,6% K2O)
2.“Transitional” High-Mg Basalt (9-6,5% MgO)
3.Low-Mg Basalt (< 6% MgO)

Alkali dan unsur inkompatibel meningkat namun unsur kompatibel menurun seiring
dengan meningkatnya kandungan SiO2. High-Mg Basalt memperlihatkan batuan primitif
Gunung Galunggung mempunyai kandungan Mg yang paling tinggi (Mg# = 75-69), Ni
(mencapai 193 ppm), dan Cr (711 ppm) namun mempunyai kandungan unsur inkompatibel
yang paling rendah. High-Mg Primitive Basalt pada Gunungapi Galunggung memperlihatkan
komposisi yang dibawa dari peridotite pada mentel bagian atas. Low-K High-Mg Basalt
berasal dari spinel-peridotite akibat 15% peleburan dengan kedalaman 50 km sedangkan
medium-K high-Mg basalt berasal dari plagioklas-peridotite akibat 25-40% peleburan dengan
kedalaman 30 km.
Gerbe (1991) menyatakan bahwa kelimpahan unsur mayor dan jejak memperlihatkan
variasi dari high-Mg basalt hingga andesit: SiO2 dari 47-58 wt%, MgO dari 12-4 wt%, Th dari
0,75-2 ppm, Ni dari 200-6 ppm, dan Cr dari 680-16 ppm. Komposisi fenokris plagioklas,
piroksen, olivine pada dasarnya seimbang dengan hasil analisis dan menunjukkan variasi yang
sesuai dengan fractional crystallization.
709
PROCEEDING, SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-11
PERSPEKTIF ILMU KEBUMIAN DALAM KAJIAN BENCANA GEOLOGI DI INDONESIA
5 – 6 SEPTEMBER 2018, GRHA SABHA PRAMANA

Namun, dari analisis geokimia juga didapat sejumlah kecil dari volume magma
mungkin telah terpengaruh oleh proses magmatik seperti kristalisasi in situ dan magma
mixing. Data Nd, Sr, Th, dan O mendukung model fraksinasi, namun data O dan Sr
mengindikasikan adanya fluida meteorik yang sudah mempengaruhi magma Gunung
Galunggung. High-Mg Basalt yang dihasilkan pada letusan terakhir memperlihatkan
kandungan parental magma yang mungkin mempunyai komposisi mantel prime
4.Hasil dan Pembahasan

4.1 Geokimia
Analisis geokimia telah dilakukan pada 8 buah sampel batuan yang diantaranya 3
sampel berasal dari Cinder Cone, 2 sampel berasal dari Formasi Cibanjaran, dan 3 sampel
berasal dari Formasi Tasikmalaya atau sering juga disebut dengan Ten Thousand Hill (Bukit
10.000) yang meliputi oksida unsur utama dan unsur jejak.

4.1.1 Geokimia Unsur Utama


Pola kimia unsur utama dicirikan dengan kandungan senyawa oksida SiO2, TiO2,
Al2O3, Fe2O3, FeO, MnO, MgO, CaO, Na2O, K2O, P2O5 seperti pada (Tabel 1) dan (Tabel 2).
Bronto (1989) dalam penelitiannya melakukan analisis pada batuan Gunung Galunggung
dengan posisi stratigrafi yang sama yaitu Formasi Tasikmalaya (caldera forming event),
Formasi Cibanjaran (1982-1983 eruption) sehingga dapat dijadikan data pembanding.Bronto
(1989) juga membagi batuan Gunung Galunggung berdasarkan kandungan MgO. Berdasarkan
pembagian tersebut, sampel No. 254 dan No. 255 termasuk kedalam high-Mg basalt (12,5-
10% MgO) dengan jenis low-K high-Mg Basalt karena mempunyai % K2O < 0,4, sedangkan
sisanya termasuk kedalam low-Mg basalt dengan kandungan MgO < 6%. (Gambar 1)
menunjukkan diagram harker dengan menggunakan SiO2 sebagai faktor pembanding, maka
variasi unsur utamanya dapat diuraikan sebagai berikut: Al2O3, P2O5, MgO dan TiO2
menunjukkan adanya pola tidak teratur/trend acak; Na2O dan K2O menunjukkan adanya pola
korelasi positif; sedangkan Fe2O3 dan CaO menunjukkan adanya pola korelasi negatif.Hasil
plotting unsur utama yang dianalisis menujukkan ada beberapa ketidakteraturan khususnya
pada oksida MgO, dimana seharusnya menujukkan pola korelasi negatif terhadap SiO2
sehingga dapat diinterpretasikan ada beberapa sampel yang bukan berasal dari magma yang
sama. Namun adanya pola korelasi positif dari Na2O, K2O dan adanya korelasi negatif dari
Fe2O3 dan CaO memperlihatkan keteraturan sesuai dengan fractional crystallizati
4.1.1.1 Jenis Batuan Berdasarkan Unsur Utama
Berdasarkan plotting SiO2 dan Na2O + K2O, sampel batuan yang didapat dari tiga
formasi berbeda adalah Basalt, Basaltik Andesit, dan Andesit. Hasil plotting menunjukkan
sampel dari cinder cone termasuk ke dalam jenis batuan basalt, 2 sampel Formasi Cibanjaran
termasuk ke dalam batuan basaltic andesit-andesit, sedangkan 3 sampel Formasi Tasikmalaya
(Bukit 10000) termasuk ke dalam batuan jenis basaltic andesit-andesit.Tidak berbeda jauh
dengan diagram TAS LeBas et al., (1986), berdasarkan diagram TAS Cox et al., (1979) hasil
ploting sampel batuan yang didapat dari tiga formasi yang berbeda adalah Basalt, Basaltik
Andesit, dan Andesit. Hasil plotting 3 sampel dari cinder cone termasuk ke dalam jenis
batuan basalt, 2 sampel Formasi Cibanjaran termasuk ke dalam batuan basaltic andesit-andesit,
sedangkan Formasi Tasikmalaya (Bukit 10000) termasuk ke dalam batuan jenis andesit. Hasil
ploting dapat dilihat pada (Gambar 2).
4.1.1.2 Afinitas Magma
Peccerillo dan Taylor (1976) mengelompokkan jenis magma berdasrkan kandungan
K2O dan SiO2 ( Gambar 3) menjadi empat golongan yaitu tholeiite series, calc-alkaline series,
710
PROCEEDING, SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-11
PERSPEKTIF ILMU KEBUMIAN DALAM KAJIAN BENCANA GEOLOGI DI INDONESIA
5 – 6 SEPTEMBER 2018, GRHA SABHA PRAMANA

high-K Calc-alkaline series, dan shoshonite series.Berdasarkan ploting SiO2 dan K2O,
menunjukkan bahwa batuan Gunung Galunggung termasuk ke dalam golongan tholeiitic
series detailinya berjenis low K-tholeiite, low-K Basaltic andesite, dan Low-K andesite.
Afinitas magma ini dicirikan dengan K2O yang sangat rendah dengan kandungan SiO2 dari
rendah hingga tinggi.
4.1.1.3 Asal Magma Berdasarkan Unsur Utama
Analisis penentuan asal magma menggunakan diagram trilinier berdasarkan
perbandingan nilai persentase berat senyawa TiO2, 10XMnO, dan 10XP2O5 (Gambar 4).
Dalam diagram ini, Mullen (1983) membagi menjadi empat klasifikasi, yaitu mid oceanic
ridge basalt, island arc tholeiite, island arc calc-alkaline basalt, oceanic island tholeiite, dan
oceanic island alkaline basalt. Berdasarkan sampel yang di analisis, menujukkan bahwa
sampel yang berasal dari Formasi Cibanjaran dan Formasi Galunggung Tua (cinder cone)
berkaitan dengan pembentukan island arc tholeiite sedangkan sampel yang berasal dari
Formasi Tasikmalaya (Bukit 10000) berkaitan dengan pembentukan island arc calc-alkaline
basalt.
4.1.1.4 Kedalaman Magma Asal
Hutchinson (1977) menyusun rumus untuk mengetahui kedalaman magma
berdasarkan kandungan SiO2 dan K2O. Proses tunjaman akan menghasilkan panas jalur
penekukan sehingga aliran panas yang tinggi akan meinimbulkan aktifitas magma pada jalur
Benioff. Diferensiasi atau asimilasi magma dengan kerak bumi yang dilaluinya saat bergerak
ke atas sebagai pluton atau vulkanisme akan mengakibatkan perubahan komposisi magma.
Analisis kedalaman magma asal dari delapan sampel Gunung Galunggung menggunakan
rumus sebagai berikut,

h = [320 - (3,65 x %SiO2)] + (25,52 x %K2O)

Berdasarkan data hasil perhitungan, sumber magma intrusi Gunung Galunggung berasal dari
kedalaman antara ±132 km – 149 km di bawah permukaan bumi dengan tingkat diferensiasi
magma yang tinggi.

4.1.2 Geokimia Unsur Jejak


Analisis kimia unsur jejak pada delapan sampel batuan Gunung Galunggung
menggunakan parameter Ba, Ce, Cr, Cu, Dy, Ga, Hf, Mo, Nb, Nd, Ni, Pb, Pr , Rb, Sr, Sc, Th,
U, V, Y, Yb, Zn, Zr, dan Co menghasilkan hasil yang bervariasi dalam ppm seperti pada
(Tabel 3). Apabila dibandingkan dengan hasil analisis kimia unsur jejak Bronto (1989)
sebagai data pembanding, hasilnya sangat jauh berbeda.Gerbe (1991) menyatakan bahwa
erupsi 1982-1983 pada Gunungapi Galunggung menghasilkan High-Mg basalts dengan
kandungan primitif (10-12 wt% MgO, 180-200 ppm Ni, dan 550-700 ppm Cr), sedangkan
Tatsumi & Eggins (1995) dalam Smith et al (1997) menyatakan magma primer dengan
kandungan Mg sekitar 70 atau lebih, unsur kompatibel yang melimpah seperti Ni > 200 ppm
dan Cr > 400 ppm. Apabila dibandingkan dengan data analisis geokimia pada sampel No. 30,
254, 256, hasilnya tidak terlalu jauh dimana mempunyai unsur mayor MgO (8-10,6 wt%),
unsur jejak Ni (±165-174 ppm), dan Cr (±522-593 ppm).
Berdasarkan hal tersebut, sampel No. 30, 254, dan 256 itu dapat disimpulkan berasal
dari Formasi Cibanjaran dan merupakan hasil erupsi Gunungapi Galunggung 1982-1983. Hal
tersebut bisa jadi merupakan sesuatu yang aneh karena basalt primitif biasanya tidak
ditemukan pada batas lempeng konvergen (Nye dan Reid, 1986 dalam Bronto, 1989).Untuk
mempelajari gambaran evolusi magma dan diskriminasi geokimia dari batuannya, dapat
diinterpretasi dengan bantuan diagram variasi dengan memakai SiO2 sebagai parameter nya
711
PROCEEDING, SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-11
PERSPEKTIF ILMU KEBUMIAN DALAM KAJIAN BENCANA GEOLOGI DI INDONESIA
5 – 6 SEPTEMBER 2018, GRHA SABHA PRAMANA

(Gambar.5). Terlihat unsur kompatibel Ni dan Cr dalam diagram berkorelasi negatif seiring
dengan bertambahnya komposisi SiO2, sebagaimana kita ketahui Ni akan terkonsentrasi pada
olivine sedangkan Cr akan terkonsentrasi pada spinel/clinopyroxene seiring dengan
bertambahnya komposisi SiO2. Sedangkan untuk unsur inkompatibel Ba dan Rb menunjukkan
korelasi positif mungkin tersubtitusi untuk K pada K-feldspar, mineral mika, dan hornblende.
4.1.2.1 Asal Magma Berdasarkan Unsur Jejak
Analisis penentuan asal magma menggunakan diagram trilinier berdasarkan
perbandingan nilai persentase berat unsur jejak 2xNb’, Zr/4, dan Y (Gambar 6).. Berdasarkan
sampel yang di analisis, menujukkan bahwa sampel yang berasal dari Formasi Cibanjaran dan
Bukit 10000 berkaitan dengan pembentukan within plate tholeiites and volcanic arc basalt
sedangkan sampel yang berasal dari Cindercone berkaitan dengan pembentukan N-type
MORB and volcanic arc basalt.
Meskipun begitu, delapan sampel tersebut dapat digolongkan pada tatanan tektonik
volcanic arc basalt tidak berbeda jauh dengan hasil analisis asal magma menggunakan unsur
utama sehingga dapat disimpulkan bahwa sampel Gunungapi Galunggung terbentuk pada
tatanan tektonik volcanic arc yang merupakan deretan gunungapi dihasilkan oleh adanya
serangkaian proses subduksi berupa island arc.

712
PROCEEDING, SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-11
PERSPEKTIF ILMU KEBUMIAN DALAM KAJIAN BENCANA GEOLOGI DI INDONESIA
5 – 6 SEPTEMBER 2018, GRHA SABHA PRAMANA

4.1.2.2 Spider Diagram


Pengeplotan dengan diagram laba-laba atau spider diagram dilakukan dengan
normalisasi MORB (Pearce, 1983) dan primitive mantle (Sun dan McDonough 1989) bisa
dilihat pada (Gambar 7) dan (Gambar 8) dibawah ini. Berdasarkan kedua diagram tersebut
menunjukkan variasi konsentrasi yang kecil dengan pola tidak berbeda jauh. Terdapat
anomali negatif yang cukup besar pada unsur Nb, unsur Zr juga memperlihatkan sedikit
anomali negatif. Adanya anomali negatif pada unsur Nb mencirikan suatu batuan terbentuk
pada tatanan tektonik island arc sedangkan adanya anomali negatif pada unsur Zr
menandakan bahwa mineral sphene dan rutil mengalami fraksinasi. Anomali positif terlihat
pada Pb, Th, dan Ce.

4.2 Mikro Analisis SEM/EDX


Mikro analisis dilakukan pada 3 buah sampel batuan yang mewakili 8 sampel
keseluruhan yaitu sampel yang berasal dari cinder cone (No. 259), Formasi Tasikmalaya (No.
34), dan sampel columnar joint di daerah telitian (No. 98). Adapun hasil pengeplotan pada
beberapa titik spektrum menunjukkan beberapa mineral piroksen dengan kandungan yang
berbeda. Hasil analisa SEM/EDX dapat dilihat pada (Tabel 4).

4.3 Analisa Petrografi


Secara mikroskopis, hanya tiga sampel sayatan saja yang dianalisis, yaitu sampel
nomor 32 (Cinder Cone), 34 (Formasi Tasikmalaya), dan 35 (Formasi Cibanjaran) (Gambar
9). Sayatan batuan memiliki warna coklat hingga coklat keputih-putihan, bertekstur porfiro-
afanitik dengan massa dasar afanitik hingga fanerik halus, hubungan kristal inequigranular,
bentuk mineral subhedral-anhedral, derajat kristalisasi hipokristalin. Mineral penyusun utama
terdiri dari plagioklas sebanyak 30-55%, piroksen sebanyak 5-20%, olivine sebanyak 5-18%,
mineral opak berupa magnetit sebanyak 2-7%, sedikit alkali feldspar sebanyak 2-5%, tersebar
sebagai fenokris. Mineral mikrolit plagioklas sebanyak 5-35%, mikrolit piroksen sebanyak 2-
7%, mineral opak sebanyak 2-7%, dan gelas vulkanik sebanyak 3-51% tersebar sebagai massa
dasar. Struktur vesikuler hadir diseluruh sampel sayatan tipis batuan. Ditemukan sedikit
mineral opak magnetite yang tersebar, namun ada juga beberapa yang menjadi inklusi pada
mineral olivine atau pirooksen. Semua sampel yang dianalisis tidak menunjukkan adanya
ubahan atau alterasi, sehingga menunjukkan bahwa batuan belum terubah. Berdasarkan
deskripsi mikroskopis analisis petrografi, dapat disimpulkan bahwa batuan Gunung
Galunggung tersusun oleh batuan beku jenis Porfiri Basalt berdasarkan klasifikasi Travis
(1955).

4.3 Mineral Normatif


Unsur utama batuan dipakai secara luas untuk menghitung mineral normatif menurut
konsep CIPW Norm. Adapun beberapa mineral normatif yang terdapat pada sampel dapat
dilihat pada (Tabel 5) .Berdasarkan perhitungan berat jenis dan suhu pada software CIPW
Norm Calculation, didapat bahwa batuan Gunung Galunggung terbentuk pada suhu berkisar
1078oC - 1240 oC dan berat jenis batuan berkisar di 2,86 gram/cm3 – 3,02 gram/cm3.Semua
sampel yang di analisis bisa disebut tidak jenuh silika karena mengandung kuarsa berkisar di
10% bahkan pada sampel No. 254 dan 255 kuarsa tidak dijumpai, mineral plagioklas lebih
dari 50%, kandungan hyperstene dan diopside dijumpai pada semua sampel dengan jumlah
berkisar antara 5-14% meskipun pada sampel no. 33 tidak ditemukan hyperstene.
5.Kesimpulan
Berdasarkan hasil studi literatur, pengumpulan data, dan analisis terhadap delapan
sampel batuan Gunungapi Galunggung, didapat kesimpulan sebagai berikut,

713
PROCEEDING, SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-11
PERSPEKTIF ILMU KEBUMIAN DALAM KAJIAN BENCANA GEOLOGI DI INDONESIA
5 – 6 SEPTEMBER 2018, GRHA SABHA PRAMANA

1. Analisis petrografis batuan Gunungapi Galunggung tersusun atas batuan beku


vulkanik basalt dan andesit sedangkan analisis petrografi secara mikroskopis
batuan Gunungapi Galunggung tersusun atas batuan beku vulkanik porfiri basalt.
2. Berdasarkan analisis geokimia berdasarkan TAS (Total Alkali-Silika), batuan
Gunungapi Galunggung terdiri dari basalt, basaltis andesit, dan andesit yang
termasuk ke dalam seri magma tholeiitic detailnya berjenis low K-tholeiite, low-K
Basaltic andesite, dan Low-K andesite dengan perhitungan magma asal
berdasarkan perhitungan SiO2 dan H2O adalah ±132 km – 149 km dibawah
permukaan bumi.
3. Analisis asal magma yang didasarkan pada unsur utama diagram trilinear dari
TiO2, 10xMnO, dan 10xP2O5 menghasilkan kesimpulan berkaitan dengan
tektonik island arc tholeiitic dan island arc calc-alkali basalt. Hasil analisis asal
magma yang didasarkan pada unsur jejak diagram trilinear 2xNb’, Zr/4, dan Y
juga hasilnya tidak berbeda jauh, yaitu berhubungan dengan tatanan tektonik
within plate tholeiites and volcanic arc basalt dan N-type MORB and volcanic arc
basalt.
4. Hasil perhitungan mineral normatif, semua sampel tidak silika karena hanya
mengandung SiO2 ±10% saja bahkan pada beberapa sampel tidak dijumpai.
Mineral yang selalu muncul adalah plagioklas, hyperstene, dan diopside.
Berdasarkan perhitungan CIPW Norm juga batuan Gunung Galunggung terentuk
pada suhu ±1078oC - 1240 oC dan berat jenis batuan ±2,86 gram/cm3 – 3,02
gram/cm3.
5. Diagram laba-laba dari unsur jejak memperlihatkan adanya anomali negatif dari
unsur Nb, Sr, dan Zr dimana Nb mencirikan bahwa batuannya berhubungan
dengan tatanan tektonik volcanic arc sedangkan anomali positif diperlihatkan oleh
unsur Pb, Th, dan Ce.

Acknowledgements
Kami mengucapkan terimakasih kepada Bapak Sutarto selaku dosen pembimbing yang telah
memberi banyak masukan dan bimbingan, dan Balai Penyelidikan dan Pengembangan
Teknologi Kebencanaan Geologi (BPPTKG) Yogyakarta, keluarga serta teman-teman kami
yang selalu memberi dukungan untuk kami.
Daftar pustaka

Anshori, Chusni. (2007). Petrogenesa Basalt Sungai Medana Karangsambung, Berdasarkan


Analisis Geokimia. Kebumen.Jurnal Geologi dan Pertambangan Jilid 17 No. 1 p 37-
50.
Bronto, Sutikno. (1989). Volcanic Geology of Galunggung, West Java, Indonesia (Thesis).
Christchurch (New Zealand).University of Canterbury.
Chen, Z.W., Walter, M.G., dan Huapeng H. (2008). High Definition X-Ray Fluorescence:
Principle and Techniques. New York. X-Ray Optics and Instrumentation Volume 2008.
p.1-10.
Frisch, W., Meschede, M., Ronald, B. (2011). Plate Tectonic: Continental Drift and
Mountain Building. London.Springer.
Gerbe, Marie-Christine., et al. (1992). Mineralogical and Geochemical Evolution of The
1982-1983 Galunggung Eruption (Indonesia). Berlin. Bull Vulcanol by Springer-
Verlag 1992 Vol. 54 p. 284-298.

714
PROCEEDING, SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-11
PERSPEKTIF ILMU KEBUMIAN DALAM KAJIAN BENCANA GEOLOGI DI INDONESIA
5 – 6 SEPTEMBER 2018, GRHA SABHA PRAMANA

Hutabarat, Johanes. (2006). Interpretasi Geokimia Unsur Utama dan Jejak Kompleks
Volkanik Gunung Pongkor Kabupaten Bogor, Jawa Barat. Jatinangor. Lab Geokimia
dan Geothermal, Jurusan Geologi, Universitas Padjajaran.
Oba, Noboru., et al. (1983). Geochemical Study of Some Volcanic Products From
Galunggung Volcano, West Java, Indonesia. Kagoshima. Rep. Fac. SCI., Kagoshima
Univ. (Earth Sci. & Biol.) No.16 p.1-20.
Peccerillo, A. dan S.R Taylor. (1976). Geochemistry of Eocene Calc-Alkaline Volcanic Rocks
from The Kastamonu Area, Northen Turkey. Canberra. Contributions Mineralogy and
Petrology by Springer-Verlag 1976 Vol. 58 p.63-81.
Pratama, M. A dan Giri Y.P. ( 2015). X-Ray Fluorescence. Depok. Universitas Indonesia.
Rollinson, Hugh. R. (1993). Using Geochemical Data: Evaluation, Presentation,
Interpretation. Edinburgh. Pearson Education Limited.
Rosana, M.F., Beta K., dan Heryadi R. (2015). Petrogenesa Lava Gunung Rinjani Sebelum
Pembentukan Kaldera. Yogyakarta. Proceeding Seminar Nasional Kebumian Ke-8 p.
281 – 280.
Rosana, M.F., Heryadi R., dan Sahala M. (2015). Petrogenesa Batuan Lava Gunung Barujari
dan Gunung Rombongan, Kompleks Gunung Rinjani. Yogyakarta. Proceeding
Seminar Nasional Kebumian Ke-8 p. 499 – 506.
Smith, Ian E.M., Tim J. Worthington., dan John A. Gamble. (1997). Primitive Magmas in
Arc-Type Volcanic Associations: Examples From The Southwest Pacific. Ottawa.The
Canadian Mineralogist Vol. 35 p. 257-273.
Warmada, I Wayan dan Titi Hapsari. (2015). Petrogenesis dan Proses Pelapukan Batuan
Penyusun Candi Prambanan Berdasarkan Analisis Petrografi dan Geokimia.
Yogyakarta. Proceeding Seminar Nasional Kebumian Ke-8 p. 754-767.
Wilson, M. (1989). Igneous Petrogenesis: A Global Tectonic Approach. Dordrecht. Springer.
Yuwono, Y.S. (2004). Pengantar Petrogenesis. Bandung. Institut Teknologi Bandung.

715
PROCEEDING, SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-11
PERSPEKTIF ILMU KEBUMIAN DALAM KAJIAN BENCANA GEOLOGI DI INDONESIA
5 – 6 SEPTEMBER 2018, GRHA SABHA PRAMANA

Tabel 1 Hasil analisis unsur utama sampel dengan XRF

Tabel 2 Hasil analisis unsur utama sampel dengan data pembanding Bronto (1989)

716
PROCEEDING, SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-11
PERSPEKTIF ILMU KEBUMIAN DALAM KAJIAN BENCANA GEOLOGI DI INDONESIA
5 – 6 SEPTEMBER 2018, GRHA SABHA PRAMANA

Tabel 3 Hasil analisis unsur jejak sampel dengan data pembanding Bronto (1989)

Tabel 4 Hasil analisa EDX

717
PROCEEDING, SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-11
PERSPEKTIF ILMU KEBUMIAN DALAM KAJIAN BENCANA GEOLOGI DI INDONESIA
5 – 6 SEPTEMBER 2018, GRHA SABHA PRAMANA

Tabel 5 Hasil analisis mineral


normatif

718
PROCEEDING, SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-11
PERSPEKTIF ILMU KEBUMIAN DALAM KAJIAN BENCANA GEOLOGI DI INDONESIA
5 – 6 SEPTEMBER 2018, GRHA SABHA PRAMANA

719
PROCEEDING, SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-11
PERSPEKTIF ILMU KEBUMIAN DALAM KAJIAN BENCANA GEOLOGI DI INDONESIA
5 – 6 SEPTEMBER 2018, GRHA SABHA PRAMANA

Gambar 1 Diagram harker sampel batuan Gunung Galunggung

720
PROCEEDING, SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-11
PERSPEKTIF ILMU KEBUMIAN DALAM KAJIAN BENCANA GEOLOGI DI INDONESIA
5 – 6 SEPTEMBER 2018, GRHA SABHA PRAMANA

Gambar 2 Jenis Batuan Berdasarkan Unsur Utama

Gambar 3 Hasil plotting penentuan afinitas magma (Peccerillo dan Taylor, 1976)

721
PROCEEDING, SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-11
PERSPEKTIF ILMU KEBUMIAN DALAM KAJIAN BENCANA GEOLOGI DI INDONESIA
5 – 6 SEPTEMBER 2018, GRHA SABHA PRAMANA

Gambar 4 Hasil plotting penentuan asal magma berdasarkan Mullen, 1983

Gambar 5 Variasi diagram SiO2 dengan unsur jejak

722
PROCEEDING, SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-11
PERSPEKTIF ILMU KEBUMIAN DALAM KAJIAN BENCANA GEOLOGI DI INDONESIA
5 – 6 SEPTEMBER 2018, GRHA SABHA PRAMANA

Gambar 6 Hasil plotting asal magma berdasarkan Meschede, 1986

Gambar 7 Hasil plotting spider diagram Primitive Mantle (Sun & McDonough, 1989)

Gambar 8 Hasil plotting spider diagram normalisasi MORB (Pearce, 1983)

723
PROCEEDING, SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-11
PERSPEKTIF ILMU KEBUMIAN DALAM KAJIAN BENCANA GEOLOGI DI INDONESIA
5 – 6 SEPTEMBER 2018, GRHA SABHA PRAMANA

Gambar 9 Hasil Sayatan Tipis

724
PROCEEDING, SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-11
PERSPEKTIF ILMU KEBUMIAN DALAM KAJIAN BENCANA GEOLOGI DI INDONESIA
5 – 6 SEPTEMBER 2018, GRHA SABHA PRAMANA

GEOLOGI, ALTERASI DAN MINERALISASI EMAS PADA TIPE ENDAPAN


EPITERMAL SULFIDASI RENDAH DI PROSPEK X, GUNUNG PANI,
KABUPATEN POHUWATO, PROVINSI GORONTALO

Cahyo Sedewo1*
Dr. Lucas Donny Setijadji, S.T., M.Sc2
1*
Departemen Teknik Geologi, Fakultas Teknik, Universitas Gadjah Mada
2
Departemen Teknik Geologi, Fakultas Teknik, Universitas Gadjah Mada
*corresponding author: cahyo.sedewo@gmail.com

ABSTRAK
Emas merupakan salah satu unsur logam dengan nilai ekonomis tinggi, sehingga proses eksplorasi
menjadi tahap penting untuk menemukan sumberdaya dan cadangan baru agar produksi emas tetap
optimal. Daerah penelitian berlokasi di Prospek X, Kecamatan Buntulia, Gunung Pani, Kabupaten
Pohuwato, Provinsi Gorontalo, yang merupakan lokasi Kontrak Karya milik PT. J Resources
Nusantara. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui aspek geologi, karakteristik alterasi dan
mineralisasi serta genesa endapan epitermal di daerah penelitian. Penelitian ini mengintegrasikan
pekerjaan lapangan, pengujian dan analisis laboratorium berupa uji petrografi, XRD dan mineragrafi.
Seluruh data dan berbagai analisis menghasilkan kesimpulan bahwa daerah penelitian tersusun atas
litologi berupa dasit 1 , dasit 2 dan breksi diatrem berumur Pliosen yang berperan sebagai batuan
induk mineralisasi. Sesar geser dekstral berarah NW-SE dan WNW-ESE diinterpretasikan sebagai
struktur pre-mineralisasi. Sesar geser sinistral dan sesar turun berarah NE-SW dan NNE-SSW
diinterpretasikan sebagai sesar yang mengontrol alterasi dan mineralisasi. Alterasi di daerah penelitian
dapat dibagi menjadi tiga zona yaitu zona silisifikasi (kuarsa+ilit±adularia+klorit±pirit±kristobalit),
alterasi filik (serisit+kuarsa±pirit) dan alterasi argilik (ilit±smektit). Zona silisifikasi dan filik
terbentuk secara umum pada litologi dasit 2 dan breksi diatrem, sedangkan zona argilik secara umum
terbentuk luas di litologi dasit 1. Tipe endapan di daerah penelitian adalah epitermal sulfidasi rendah
yang dikontrol oleh struktur geologi dan vulkanik.. Mineralisasi emas dijumpai pada kombinasi urat
kuarsa-oksida dan breksia. Secara umum pembentukan urat kuarsa-sulfida/oksida dan breksia
merupakan hasil dilational jog. Berdasarkan karakteristik alterasi dan mineralisasinya endapan
epitermal daerah penelitian merupakan tipe endapan sulfidasi rendah pada level yang dalam dengan
model open vein dan breksia.
Kata Kunci : emas, alterasi, epitermal sulfidasi rendah, Gunung Pani

1. Pendahuluan
Lokasi Gunung Pani berada sekitar 132 km di sebelah barat dari kota Gorontalo.
Secara geografis terletak pada koordinat 0° 32' 46.9412" - 0° 34' 18.1238"LU dan 121° 57'
24.108" - 121° 59' 33.4963" BT. Daerah penelitian secara administratif berada di Desa
Huwala, Kecamatan Buntulia, Kabupaten Pohuwato, Provinsi Gorontalo. Lokasi penelitian
berada di Prospek X yang merupakan salah satu daerah prospek dalam Kontrak Karya PT J
Resources Nusantara (Gambar 1). Gunung Pani memiliki tipe endapan epitermal sulfidasi
rendah yang secara dominan dikontrol oleh vulkanik. Mineralisasi emas terdapat pada
kombinasi urat kuarsa, breksi dan stockwork (Carlile et al, 1990). Pendekatan studi
karakteristik alterasi menjadi penting untuk mengetahui hubungannya terhadap mineralisasi
emas yang terjadi. Hal tersebut di atas menarik keinginan penulis untuk melakukan penelitian
mengenai studi geologi, alterasi dan mineralisasi emas secara lebih mendalam pada daerah
penelitian yang nantinya akan berpengaruh pada proses eksplorasi lebih lanjut .

2. Metode Penelitian
Penelitian dibagi menjadi beberapa tahap dan memiliki alur penelitian yaitu tahap
studi pustaka, tahap pekerjaan lapangan, tahap analisis, tahap pembahasan dan interpretasi
dan tahap penarikan kesimpulan. Pada tahap studi pustaka dilakukan studi literatur mengenai
725
PROCEEDING, SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-11
PERSPEKTIF ILMU KEBUMIAN DALAM KAJIAN BENCANA GEOLOGI DI INDONESIA
5 – 6 SEPTEMBER 2018, GRHA SABHA PRAMANA

tema peneltian sebelum melakukan pekerjaan lapangan. Pada tahap pekerjaan lapangan,
dilakukan pemetaan geologi dan alterasi pada daerah penelitian dengan skala 1:5000. Pada
tahap ini juga dilakukan pengambilan sampel batuan, urat dan data struktur geologi seperti
sesar dan kekar. Pada tahap analisis, dilakukan data lapangan yang diperoleh dan analisa
laboratorium. Analisa laboratorium yang dilakukan adalah petrografi, mikroskopi bijih, dan X
Ray Diffraction. Pada tahap pembahasan dan intepretasi, data yang diperoleh yaitu data
primer, data sekunder, dan data hasil analisa laboratorium. Hasil dari pekerjaan tersebut
kemudian dikorelasikan dengan dasar teori mengenai tema penelitian. Pada tahap terakhir,
dilakukan penarikan intepretasi dan kesimpulan dari tahap sebelumnya. Berikut metode
analisis yang dilakukan:
2.1. Analisis petrografi
Analisis petrografi ini dilakukan untuk mengetahui tekstur batuan, serta
kelimpahan mineral yang nantinya digunakan dalam penentuannama batuan.
Pengamatan petrografi dilakukan di laboratorium geologi optic departemen Teknik
geologi UGM menggunakan mikroskop bertipe Nikon Optiphot-Pol yang dilengkapi
kamera Canon Eos-7000.
2.2. Analisis XRD (X-Ray Diffraction)
Analisis XRD dilakukan untuk mengidentifikasi mineral berupa kristal
maupun nonkristal. Analisis ini dilakukan dengan jenis bulk, clay AD dan clay EG
untuk menganalisis mineral penyusun batuan, terutama jenis mineral lempung.
Pengamatan dilakukan di laboratorium geologi pusat departemen Teknik Geologi
UGM.
2.3. Analisis mineragrafi
Analisis mineragrafi dilakukan untuk mengetahui jenis mineral bijih pada
batuan yang tidak terlihat oleh mikroskop polarisasi. Tujuan analisis ini untuk
mengetahui tekstur, jenis dan kelimpahan mineral bijih sehingga mendukung dalam
penentuan paragenesis mineralisasi.Pengamatan dilakukan menggunakan mikroskop
euromax microscopes-holland di laboratorium riset mineral optic di departemen
Teknik Geologi UGM.

3. Data
3.1. Alterasi hidrotermal
Terdapat 3 tipe alterasi di daerah penelitian berdasarkan analisisi petrografi dan XRD
yaitu zona silisifikasi (kuarsa+ilit±adularia+klorit±pirit±kristobalit), zona filik
(serisit±ilit+kuarsa±pirit), zona argilisasi (ilit±smektit) (Gambar 3). Alterasi silisifikasi berada
di pusat dari zonasi alterasi hidrotermal pada daerah penelitian. Zona ini memiliki pelamparan
sekitar 20%. Secara umum alterasi ini banyak ditemui pada Satuan Dasit 2 dan sedikit ditemui
pada Satuan Dasit 1 dan Satuan Breksi Diatrem. Zona alterasi filik memiliki pelamparan 35%,
zona ini terjadi karena adanya penggantian secara sebagian feldspar dan mika oleh serisit
serta mineral mafik oleh kuarsa sekunder. Zona alterasi serisitisasi merupakan zona alterasi
hidrotermal yang melingkupi bagian luar zona alterasi silisifikasi pada daerah penelitian.
Alterasi argilik merupakan alterasi terluar dari zonasi alterasi hidrotermal pada daerah
penelitian. Zona ini memiliki pelamparan paling luas yaitu sekitar 45%. Secara umum alterasi
ini banyak ditemui pada Satuan Dasit 1 dan Satuan Breksi Diatrem serta sedikit ditemui pada
Satuan Dasit 2 (Gambar 6).

3.2. Mineralisasi
Mineralisasi di daerah penelitian dijumpai pada urat kuarsa, breksi hidrotermal dan
beberapa ditemui secara diseminasi. Sistem urat yang berkembang di daerah penelitian
merupakan pengisian rekahan ekstensi dan dilational jog yang berasosiasi dengan patahan
726
PROCEEDING, SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-11
PERSPEKTIF ILMU KEBUMIAN DALAM KAJIAN BENCANA GEOLOGI DI INDONESIA
5 – 6 SEPTEMBER 2018, GRHA SABHA PRAMANA

(Gambar 5). Urat yang terbentuk di daerah penelitian di antaranya urat kuarsa dengan
komposisi kuarsa-oksida (mineral hematit, limonit dan goetit hasil oksidasi dari mineral
sulfida) dengan berbagai tekstur urat seperti massif, sisir, drussy dan sakaroidal.
Paragenesis urat dilakukan berdasarkan pengamatan lapangan yaitu urat breksia
terbentuk terlebih dahulu yang kemudian terpotong oleh urat kuarsa-oksida masif, urat
kuarsa-oksida sisir dan drusy, serta urat kuarsa-oksida sakaroidal terbentuk paling akhir.
Kemudian paragenesis urat tersebut dihubungkan dengan paragenesis mineral bijih yang
diamati melalui analisis mineragrafi dengan memperhatikan kelimpahan dari setiap mineral
bijih dan mineral pengotor serta zonasi alterasi hidrotermal (Gambar 8).
Berdasarkan pengamatan mikroskopi bijih yang dilakukan di temukan beberapa
mineral bijih yaitu: emas, elektrum, kalkopirit, kalkosit, digenit, tennantite, spalerit, galena,
azurit, pirhotit dan pirit. Mineral bijih tersebut memiliki beberapa tekstur mineral bijih yaitu
tekstur primer, tekstur disseminated, tekstur penggantian, tekstur intergrowth dan tekstur
eksolusi.

4. Hasil dan Pembahasan


4.1.Kontrol geologi terhadap alterasi dan mineralisasi
Mineralisasi emas pada daerah penelitian dikontrol oleh dua faktor yaitu faktor litologi
dan struktur geologi. Satuan dasit 2 memiliki tekstur faneroporfiritik, tekstur ini memiliki
potensi permeabilitas yang lebih baik dibandingkan dengan tekstur porfiroafanitik pada satuan
Dasit 1. Ini disebabkan karena pada tekstur faneroporfiritik memiliki ukuran fenokris yang
secara umum lebih besar dibandingkan tekstur porfiroafanitik. Satuan breksi diatrem memiliki
kemampuan permeabilitas yang paling besar karena perbedaan ukuran fragmen dan matriks
yang signifikan. Sehingga kehadiran breksi menjadi penting untuk diperhatikan karena
biasanya mineralisasi akan hadir pada matriks batuan. Kontak antara Satuan Dasit 2 dan
Breksi diatreme menjadi cap bagi mineralisasi.
Kehadiran struktur geologi tersebut menambah nilai permeabilitas batuan karena dapat
menjadi jalur permeabilitas yang baik sehingga fluida hidrotermal dapat masuk melalui celah
batuan. Kontrol litologi terlihat dari penyebaran alterasi silisifikasi dan filik yang lebih
banyak pada satuan dasit 2 dan breksi diatrem karena breksi mempunyai permeabilitas yang
lebih besar. Mineralisasi pada daerah penelitian juga terlihat dikontrol oleh vulkanik. Indikasi
tersebut didasarkan pada persebaran mineralisasi dalam bentuk urat yang secara dominan
menyusun Satuan Dasit 2, sementara pada Satuan Dasit 1 jarang ditemui urat mineralisasi.
Kontrol vulkanik kemungkinan tidak hanya sebagai host rock mineralisasi saja, tetapi lebih
kearah sistem endapan secara umum yang berasosasi dengan struktur sub-sirkular
vulkanik/kaldera.
Struktur geologi yang berkembang di daerah penelitian adalah sesar geser dekstral
diperkirakan, sesar geser sinistral diperkirakan, sesar turun dan sesar anjak. Struktur geologi
berperan penting dalam pembentukan rekahan-rekahan sebagai jalan keluar fluida hidrotermal
sehingga dapat membentuk urat. Sesar geser dekstaral berarah NW-SE dan WNW-ESE
diinterpretasikan sebagai struktur premineralisasi. Sementara struktur sesar geser sinistral
berarah NE-SW dan sesar turun berarah NE-SW diinterpretasikan sebagai struktur sin-
mineralisasi atau struktur yang mengontrol selama alterasi dan mineralisasi. Sedangkan
struktur sesar anjak minor berarah NW-SE diperkirakan merupakan struktur pasca-
mineralisasi.
Secara umum pada daerah penelitian arah urat memiliki tren arah NE-SW, NW-SE dan
WNW-ESE. Arah urat tersebut secara umum dikontrol oleh struktur geologi. Urat ini
terbentuk akibat dilational jog yaitu hasil pergerakan dua segmen patahan yang berbeda
terutama dibentuk oleh dua sesar geser sinistral berarah NE-SW. Kedua struktur patahan
tersebut bersifat en-enchelon kearah kiri. Sesar tersebut berfungsi sebagai struktur dilatasional
727
PROCEEDING, SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-11
PERSPEKTIF ILMU KEBUMIAN DALAM KAJIAN BENCANA GEOLOGI DI INDONESIA
5 – 6 SEPTEMBER 2018, GRHA SABHA PRAMANA

jogs akibat adanya gaya oblique. Sesar geser merupakan jenis struktur yang sangat baik dalam
kaitannya terhadap alterasi dan mineralisasi karena bersifat transpression atau jenis struktur
yang mengerut sampai ke bawah permukaan dan membuat ore shot yang bersifat vertikal
untuk jalur fluida hidrotermal naik membentuk alterasi dan mineralisasi. Kompleksitas
struktur tersebut menambah nilai permeabilitas batuan. Hasil pengisian fluida hidrotermal
tersebut pada kondisi saat ini dijumpai sebagai urat kuarsa-oksida (hasil oksidasi dari mineral
sulfida) dan urat breksia (Gambar 9).
Daerah penelitian berasosiasi dengan struktur subsirkular vulkanik berupa kaldera.
Struktur ini diinterpretasikan terbentuk oleh kompleksitas struktur Gorontalo shear system
(GSS) yang merupakan strain dari subduksi berarah WNW-ESE yang berada memanjang di
utara dari lengan utara Sulawesi yang meghasilkan fase ekstensional dan mengakibatkan
proses release ke arah selatan. Strain subduksi berarah WNW-ESE menghasilkan fase
kompresi pada bagian utara dan semakin ke arah selatan akan mengalami fase ekstensional.
Kaldera menjadi bukti terdapat vulkanisme besar yang dulunya pernah terjadi di lengan utara
Sulawesi. Kompeksitas struktur yang ada sekarang akan membentuk suatu sistem hidrotermal
membentuk tipe endapan berupa epitermal sulfidasi rendah yang berasosiasi dengan
kehadiran kaldera.

4.2. Karakteristik dan tipe endapan


Daerah penelitian telah mengalami alterasi yang intensif yaitu alterasi silisifikasi, filik
dan argilik. Sistem hidrotermal yang berkembang berupa fase yang kompleks yang
kemungkinan terjadi proses overprinting antar zona alterasi. Proses tersebut terlihat dari hasil
analisis mineral hidrotermal yang menunjukkan komposisi yang dapat dikelompokkan
berdasarkan zona pH tertentu namun memiliki temperatur pembentukan yang berbeda.
Berdasarkan klasifikasi Hedenquist, et al, 2000 dalam penentuan tipe endapan
epitermal menggunakan dasar beberapa karakteristik. Karakteristik endapan daerah penelitian
dilihat dari host rock, tekstur mineral bijih, alterasi batuan dan mineral sulfida yang dominan
dijumpai. Daerah penelitian memiliki batuan induk berupa batuan dasit dan breksi, dengan
tekstur bijih yang dijumpai berupa tekstur primer, intergrowth, diseminasi, penggantian dan
tekstur eksolusi. Alterasi yang dijumpai di daerah penelitian berupa alterasi silisifikasi yang
dicirikan dengan kehadiran kuarsa ± adularia ± klorit ± kristobalit ± pirit yang
diinterpretasikan merupakan zona pusat mineralisasi hidrotermal pada daerah penelitian, yang
diikuti semakin ke arah luar berupa alterasi filik dicirikan kehadiran serisit ± ilit ± kuarsa, dan
kemudian dijumpai alterasi argilik dicirikan kehadiran dominansi mineral lempung berupa ilit
± smektit ± monmorilonit ± kuarsa sebagai bagian terluar dari zonasi hidrotermal daerah
penelitian.
Mineral bijih yang ditemukan di daerah penelitian berdasarkan pegamatan lapangan
dan analisis mineragrafi berupa emas, elektrum, kalkopirit, kalkosit, bornit, digenit, kovelit,
tenantit, spalerit, galena, azurit, pirotit, anatase, pirit, hematit, goetit dan limonit. Mineral
tersebut mencirikan kehadiran bijih berupa Au, Cu, Pb dan Zn. Pembentukan mineralisasi
secara umum dijumpai pada sepanjang urat, breksia, stockwork dan diseminasi minor.
Tekstur urat yang ditemukan pada daerah penelitian berupa sisir, drussy, sakaroidal, massif
dan bladed. Atas dasar tersebut daerah penelitian termasuk ke dalam tipe endapan epitermal
sulfidasi rendah (Tabel 1). Tipe endapan epitermal ini juga didukung oleh penelitian terdahulu
yang menyebutkan bahwa Pani merupakan tipe endapan epitermal sulfidasi rendah dengan
kadar emas yang rendah (Kavalieris, 1981).
Mengacu pada tabel karakterisik endapan epitermal sulfidasi rendah yang dibuat
Hedenquist et al. (2000) dan Sillitoe and Hedenquist (2003), maka dapat diketahui bahwa
endapan epitermal sulfidasi rendah pada daerah penelitian merupakan endapan epitermal
sulfidasi rendah pada kedalaman yang dalam (Tabel 2). Hal tersebut ditentukan berdasarkan
728
PROCEEDING, SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-11
PERSPEKTIF ILMU KEBUMIAN DALAM KAJIAN BENCANA GEOLOGI DI INDONESIA
5 – 6 SEPTEMBER 2018, GRHA SABHA PRAMANA

adanya kesesuaian terhadap beberapa karakteristik endapan epitermal sulfidasi rendah di


daerah penelitian zona alterasi hidrotermal pada daerah penelitian seluruhnya berada pada
batuan asal atau induk berupa dasit dengan afinitas kalk-alkalin, Mineral bijih terutama emas
dan elektrum yang terendapkan di dalam urat, terdiseminasi pada batuan teralterasi
hidrotermal dan terdapat pada urat breksia, keterdapatan tekstur kuarsa kristalin pada urat di
daerah penelitian, serta keterdapatan mineral lempung sebagai penciri tiga zona alterasi pada
daerah penelitian, Mineral sulfida pada daerah penelitian umumnya berupa mineral yang
berasosiasi dengan jenis logam dasar berupa pirit, sfalerit, galena, tennantit, kalkopirit, kovelit,
bornit, azurit meskipun juga terdapat kalkosit dan digenit yang bersifat jarang dijumpai.
Sementara itu untuk karakteristik yang lain seperti kadar logam dan karakteristik fluida tidak
dapat ditentukan pada penelitian ini karena keterbatasan metode analisis yang dilakukan.

4.3. Model tipe endapan


Permodelan endapan epitermal sulfidasi rendah pada daerah penelitian adalah
mengacu pada model epiterml sulfidasi rendah oleh Berger and Eimon, (1982, dalam Pirajno,
2009). Berdasarkan himpunan beberapa mineral bijih pada daerah penelitian, yang berupa
sfalerit, galena, kalkopirit, digenit, bornit, tenantit, kovelit, kalkosit, azurit beserta
keterdapatan mineral pengotor berupa pirit, dan kuarsa, serta kehadiran urat kuarsa dengan
kandungan adularia, dan urat bertekstur kristalin kuarsa-kalsit, maka dapat diketahui bahwa
endapan epitermal sulfidasi rendah pada daerah penelitian berada pada zona interval logam
dasar. Kesesuaian juga terdapat pada keterdapatan zona alterasi di sekitar urat, dimana tidak
selamanya ditemukan transisi zona alterasi yang ideal. Proses boiling dan mixing yang
berperan terhadap presipitasi mineral bijih pada daerah penelitian, selain dibuktikan oleh
asosiasi urat kuarsa terhadap zona alterasi silisifikasi, filik dan argilik baik secara langsung
maupun tidak langsung. Selain kedua proses tersebut, keterdapatan mineral bijih yang
terdiseminasi pada seluruh batuan teralterasi, menjadi bukti keterdapatan proses presipitasi
mineral bijih akibat adanya sulfidasi batuan samping. Berdasarkan pemaparan data tersebut
daerah penelitian masuk ke dalam model epitermal sulfidasi rendah pada tipe open-vein dan
breksia (Berger dan Eimon 1982, dalam Pirajno, 2009).
Tipe ini sangat dikontrol oleh struktur/rekahan yang akan membentuk urat/vein, kadar
rendah dari urat breksi hidrotermal, stockwork, diseminasi pada bagian atas dari sistem ini.
Berdasarkan karakteristik alterasi dan mineralisasi terutama dijumpainya jenis mineral bijih
berupa emas dan electrum dan mineral bijih sulfida yang berasosiasi dengan jenis logam dasar
maka daerah penelitian berada di tipe epitermal sulfidasi rendah pada kedalaman yang dalam
yaitu sesuai model tipe open vein dan breksia yang menunjukkan posisi batas pada zona
bonanza dan zona logam dasar (Gambar 10).

5. Kesimpulan
1. Daerah penelitian tersusun atas litologi dasit 1 , dasit 2 dan breksi diatrem. Litologi
tersebut berperan sebagai batuan induk bagi mineralisasi bijih. Struktur geologi
mengontrol pembentukan jalur urat-urat tersebut. Struktur geologi berupa sesar geser
dekstral berarah NW-SE dan WNW-ESE diinterpretasikan sebagai struktur pre-
mineralisasi. Struktur sesar geser sinistral dan sesar turun berarah NE-SW dan NNE-SSW
diinterpretasikan sebagai sin-mineralisasi atau struktur yang mengontrol selama alterasi
dan mineralisasi. Sesar anjak minor berarah NW-SE diinterpretasikan merupakan struktur
pasca-mineralisasi. Litologi juga mengontrol alterasi dan mineralisasi. Breksi diatrem
memiliki permeabilitas yang lebih besar dibandingkan dasit 1 dan dasit 2 sehingga
teralterasi lebih kuat. Struktur geologi akan menambah nilai permeabilitas batuan dan
mengontrol alterasi dan mineralisasi pada daerah penelitian.
2. Alterasi yang berkembang di daerah penelitian yaitu silisifikasi
(kuarsa+ilit±adularia+klorit±pirit±kristobalit),filik(serisit±ilit+kuarsa) dan argilik
729
PROCEEDING, SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-11
PERSPEKTIF ILMU KEBUMIAN DALAM KAJIAN BENCANA GEOLOGI DI INDONESIA
5 – 6 SEPTEMBER 2018, GRHA SABHA PRAMANA

(ilit±smektit). Secara umum alterasi silisifikasi berkembang pada satuan dasit 2 dan
sebagian breksi diatrem. Alterasi filik berkembang pada sebagian satuan dasit 2 dan dasit
1. Alterasi argilik secara umum dominan berkembang pada satuan dasit 1 dan sebagian
breksi diatrem.
3. Mineralisasi di daerah penelitian dicirikan oleh mineralisasi urat kuarsa-oksida (hasil
oksidasi mineral sulfida) dan urat breksia. Paragenesis urat diawali dengan terbentuknya
urat breksia kemudian urat kuarsa-oksida massif, urat kuarsa-oksida sisir-drusy dan
terakhir urat kuarsa-oksida sakaroidal dengan pengendapan mineral bijih diawali dari fase
hipogen awal yaitu pengendapan mineral logam pada fase terbentuknya urat dan alterasi
silisifikasi pada batuan samping, hipogen tengah adalah pengendapan mineral bijih pada
alterasi filik batuan samping, sedangkan hipogen akhir adalah pengendapan bijih pada
mineralisasi di zona alterasi argilik serta pada fase akhir berupa pengkayaan supergen.
Secara umum pembentukan urat kuarsa-sulfida/oksida dan urat breksia merupakan hasil
dilational jog. Mineral bijih emas hadir pada urat kuarsa oksida, urat breksia dan
stockwork.
4. Tipe endapan daerah penelitian berupa endapan epitermal sulfidasi rendah. Mineralisasi
emas dikontrol oleh proses tektonik yang terbentuk masa lampau berupa patahan-patahan
yang menyediakan ruang mineralisasi dan jalur fluida hidrotermal. Mineralisasi juga
diindikasikan dikontrol oleh proses vulkanik. Berdasarkan karakteristik alterasi dan
mineralisasinya endapan epitermal daerah penelitian merupakan tipe endapan epitermal
sulfidasi rendah pada level yang dalam dengan model endapan tipe open vein dan breksia.

Acknowledgements
Penelitian ini terlaksana atas dukungan dari PT. J Resources Nusantara. Peneliti
mengucapkan terima kasih kepada Dr. Lucas Donny Setijadji, S.T., M.Sc selaku dosen
pembimbing, Bapak Agus Irfan dan Bapak Iryanto Rompo selaku pembimbing lapangan dan
semua geologis PT. J Resources Nusantara site Pani atas ilmu dan bimbingannya.

Daftar Pustaka
Baatista, C.C., Quitoirano, R.H., Hardjana, I and Aquino, R.S.( 1997). Gunung Pani Project :
Report for The First Phase of Exploration. Unpub company report for PT Parapani
Kencana Khatulistiwa.
Bachri, S., Sukido., dan Ratman, N. (1983) . Peta Geologi Lembar Tilamuti Sulawesi.
Bandung. Pusat Penelitian dan Pengembangan Geologi.
Caira, N., dan Pearson, D. ( 1999). The Geology and Metallogeny of Central North Sulawesi,
Indonesia. Unpub. manuscript for PACRIM 1999
Carlile J. C., Digdowirogo, S., dan Darius, K. (1990). Geological Setting, Characteristics and
Regional Exploration for Gold in the Volcanic Arcs of North Sulawesi, Indonesia. Journal of
Geochemical Exploration, 35 (1990) p. 105-140, Elsevier Science Publishers B. V.,
Amsterdam – Printed in the Netherlands.
Chen, P. (1977). Table of Key Lines in X-ray Powder Diffraction Patterns of Minerals in
Clays and Associated Rocks. Department of Natural Resources Geological Survey
Occasional Paper 21. Indiana.
Corbett, G.J., dan Leach, T.M. (1997). Southwest Pacific Rim Gold-Copper Systems: Structure,
Alteration and Mineralisation. short Course Manual.
Corbett, G. J. (2007). Controls to Low Sulphidation Epithermal Au-Ag Mineralisation. PO
Box 282 Willoughby NSW Australia.
730
PROCEEDING, SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-11
PERSPEKTIF ILMU KEBUMIAN DALAM KAJIAN BENCANA GEOLOGI DI INDONESIA
5 – 6 SEPTEMBER 2018, GRHA SABHA PRAMANA

Craig, J.R. dan Vaughan, D.J. (1981) . Ore Microscopy and Ore Petrography. J. Wiley and
Sons.
Davies, B. (2017). Pani Project : Trap Site Structure & Exploration Implication. Unpub
company report for PT J Resources Nusantara.
Evans, A. M. (1993). Ore Geology and Industrial Minerals. 3rd Edition. Blackwell Scientific
Publications. Oxford.
Hamilton, W. (1979). Tectonic of The Indonesia Region. Washington. US Geological
Professional Paper 1078.
Hedenquist, J. W., Arribas, A. R., dan Urien E. G. (2000). Exploration for Epithermal Gold
Deposits. Economic Geology. vol. 13 p. 245-277.
Kavalieris, I. (1984). The Geology and Geochemistry of the Gunung Pani Gold Prospect,
North Sulawesi, Indonesia. Unpub. MSc thesis, Australian National University, 225pp.
Kavalieris, I., Walshe, J.L., Halley, S., dan Harrold B.P. (1990). Dome Related Gold
Mineralization in Pani Volcanic Complex, North Sulawesi, Indonesia : A Study of
Geologic Relations, Fluid Inclusion, and Chlorite Compositions.
Lindgren, W.(1933). Mineral Deposits. McGraw-Hill Book Company, Inc. New York.
MacKenzie W.S., dan Guilford, C. (1980). Atlas of Rock-Forming Minerals in Thin Section,
Longman. London p98.
Marjoribanks, R. (1998). Geology and Mineralisation of the Pani Volcanic Complex, North
Sulawesi. Unpub company report for PT Newcrest Nusa Sulawesi. 15pp plus figures
and map.
Marshall, D., Anglin, C.D., dan Mumin, H. (2004). Ore Mineral Atlas. Geological
Association of Canada – Mineral Deposits Division p. 112.
McLellan,G.A, Bird, M.C, dan Pertsel, B.A. (1975) . Progress Report Gunung Pani Gold
Prospect and Associated Regional Exploration. Unpub company report for PT
Endeavour Indonesia.
Pirajno, F. (2009). Hydrothermal Processes and Mineral System. Springer-Verlag, Perth.
Heidelberg.
Stoffregen, R.E. (1987). Genesis of acid-sulfate alteration and Au-Cu-Ag mineralization at
Summitville, Colorado. Economic Geology 82(6):157515919.
Van Leeuwen, T., dan Pieters, P.E. (2011). Mineral Deposits of Sulawesi. Manado :
Proceedings of Sulawesi Mineral Resources Seminar MGEI-IAGI.
White, N. C. dan Hedenquist, J. W. (1995). Epithermal Gold Deposits: Styles, Charecteristics and
Exploration. Society of Economic Geology 25 p. 1, 9-13.
Williams, H., Turner, F.J., dan Gilbert, C.M. (1954). Petrography, An Introduction to Study
of Rocks in Thin Section, W.H. Freeman and Company, Inc. San Francisco p.406.

731
PROCEEDING, SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-11
PERSPEKTIF ILMU KEBUMIAN DALAM KAJIAN BENCANA GEOLOGI DI INDONESIA
5 – 6 SEPTEMBER 2018, GRHA SABHA PRAMANA

Gambar 1. Peta lokasi daerah penelitian yang merupakan bagian dari wilayah kontrak karya
PT J Resources Nusantara Site Pani. Kotak kecil berwarna biru di bagian atas
merupakan kompeks Gunung Pani secara keseluruhan dan kotak bagian bawah
merupakan daerah penelitian.

732
PROCEEDING, SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-11
PERSPEKTIF ILMU KEBUMIAN DALAM KAJIAN BENCANA GEOLOGI DI INDONESIA
5 – 6 SEPTEMBER 2018, GRHA SABHA PRAMANA

Gambar 2. Peta dan profil geologi daerah penelitian

733
PROCEEDING, SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-11
PERSPEKTIF ILMU KEBUMIAN DALAM KAJIAN BENCANA GEOLOGI DI INDONESIA
5 – 6 SEPTEMBER 2018, GRHA SABHA PRAMANA

Gambar 3. Peta alterasi daerah penelitian

A B

C D

E F

Gambar 4. Foto sampel setangan dan kenampakan pada sayatan tipis. (A) sampel dasit 1, (B)
kenampakan petrografi XPL dasit 1, (C) sampel dasit 2, (D) kenampakan petrograf
XPL dasit 2, (E) kenampakan breksi diatrem, (F) kenampakan petrografi XPL
breksi diatrem.

734
PROCEEDING, SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-11
PERSPEKTIF ILMU KEBUMIAN DALAM KAJIAN BENCANA GEOLOGI DI INDONESIA
5 – 6 SEPTEMBER 2018, GRHA SABHA PRAMANA

A B

C D

E F

G H

Gambar 5. Foto dokumentasi data lapangan. (A) Singkapan dasit 1, (B) singkapan dasit 2, (C)
singkapan breksi diatrem, (D) dilational jog vein pada host rock dasit 2, (E) kontak
antara satuan dasit 1 dan breksi diatrem, (F) kontak antara satuan dasit 2 dan breksi
diatreme, (G) singkapan hydrothermal crackle breccia, (H) singkapan struktur sesar
naik.

735
PROCEEDING, SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-11
PERSPEKTIF ILMU KEBUMIAN DALAM KAJIAN BENCANA GEOLOGI DI INDONESIA
5 – 6 SEPTEMBER 2018, GRHA SABHA PRAMANA

A B

C D

E F

Gambar 6. Kenampakan petrografi XPL dan hasil XRD clay AD. (A) Kenampakan
petrografi XPL pada sampel alterasi silisifikasi, (B) kenampakan XRD clay AD
pada sampel alterasi silisifikasi, (C) kenampakan petrografi XPL pada sampel
alterasi filik, (D) kenampakan XRD clay AD pada sampel alterasi filik, (E)
Kenampakan petrografi XPL pada sampel alterasi argilik, (F) kenampakan XRD
clay AD pada sampel alterasi argilik.

736
PROCEEDING, SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-11
PERSPEKTIF ILMU KEBUMIAN DALAM KAJIAN BENCANA GEOLOGI DI INDONESIA
5 – 6 SEPTEMBER 2018, GRHA SABHA PRAMANA

A B C

D E F

G H I

Gambar 7. Kenampakan mineragrafi dari mineral bijih di daerah penelitian. (A) Kenampakan
trekstur primer emas, (B) kenampakan tekstur primer kalkopirit, (C) kenampakan
tekstur diseminasi pirit, (D) kenampakan tekstur intergrowth antara pirit, spalerit
dan tennantit, (E) kenampakan kovelit dan digenit, (F) kenampakan galena dan
spalerit, (G) kenampakan tesktur penggantian pirit oleh hematit, (H) kenampakan
kovelit, bornit dan kalkosit, (I) kenampakan tesktur eksolusi dari kovelit dan digenit.

Gambar 8. Tahap paragenesis mineralisasi urat di daerah penelitian

737
PROCEEDING, SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-11
PERSPEKTIF ILMU KEBUMIAN DALAM KAJIAN BENCANA GEOLOGI DI INDONESIA
5 – 6 SEPTEMBER 2018, GRHA SABHA PRAMANA

Gambar 9. Kontrol struktur geologi terhadap mineralisasi di daerah penelitian dihubungkan


dengan model struktural Corbett dan Leach, (1997).

Tabel 1. Perbandingan karakteristik endapan epitermal sulfidasi rendah menurut Hedenquist


et.al., 2000 dengan daerah penelitian.

738
PROCEEDING, SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-11
PERSPEKTIF ILMU KEBUMIAN DALAM KAJIAN BENCANA GEOLOGI DI INDONESIA
5 – 6 SEPTEMBER 2018, GRHA SABHA PRAMANA

Tabel 2. Tipe endapan epitermal sulfidasi rendah pada daerah penelitian (kotak merah), pada
tabel karakteristik endapan epitermal sulfidasi rendah (Hedenquist et al., 2000 dengan
modifikasi).

Gambar 10. Tipe open-vein dan breksia (Berger and Eimon, 1982 dalam Pirajno, 2009).
Daerah penelitian ditandai dengan kotak berwarna merah yang didasarkan atas
karakteristik alterasi dan mineralisasi bijih.

739
PROCEEDING, SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-11
PERSPEKTIF ILMU KEBUMIAN DALAM KAJIAN BENCANA GEOLOGI DI INDONESIA
5 – 6 SEPTEMBER 2018, GRHA SABHA PRAMANA

GENESA MARMER DAERAH BESOLE, KECAMATAN BESUKI, KABUPATEN


TULUNGAGUNG, PROVINSI JAWA TIMUR BERDASARKAN
KARAKTERISTIKNYA
Anastasia Dewi Titisari1*
Selma Kurniawati2
1*
Departemen Teknik Geologi, Fakultas Teknik, Universitas Gadjah Mada
2
Departemen Teknik Geologi, Fakultas Teknik, Universitas Gadjah Mada
*corresponding author: adtitisari@gmail.com

ABSTRAK
Kabupaten Tulungagung, Provinsi Jawa Timur merupakan daerah dengan potensi marmer yang
melimpah. Namun di daerah Besole yang terletak di Kabupaten Tulungagung tersebut belum ada
kajian geologi mengenai karakteristik marmer. Oleh karena itu, penelitian ini bertujuan mengetahui
karakteristiknya untuk dipergunakan dalam menginterpretasi genesa marmer. Studi ini diharapkan
dapat menambah data geologi di daerah penelitian dan selanjutnya dapat membantu untuk keperluan
kegiatan eksplorasi sumberdaya mineral industri di daerah tersebut. Secara regional, di sebelah barat
laut dari daerah penelitian tersingkap terobosan batuan beku. Satuan marmer di daerah penelitian
termasuk dalam Formasi Campurdarat yang tersusun oleh batugamping, dan berasosiasi dengan
Satuan Packstone dan Satuan Wackstone. Struktur geologi kurang berkembang di daerah penelitian.
Marmer memperlihatkan warna putih kecoklatan dengan struktur nonfoliasi. Hasil pengamatan
petrografi, memperlihatkan marmer memiliki ukuran kristal ≤ 0,5 – 2 mm dengan tekstur berupa
tekstur kristaloblastik dan relict (tekstur berdasarkan ketahanan proses metamorfisme), tekstur
granoblastik (tekstur berdasarkan bentuk mineralnya), dan tekstur khusus yaitu decussate dan
saccharoidal. Mineral penyusun marmer didominasi oleh kalsit, dengan mineral-mineral lain berupa
dolomit dan hematit. Secara geokimia, marmer mengandung CaO sebesar 54,6 – 56 wt.%, dan secara
keteknikan marmer memiliki rata-rata kuat tekan sebesar 781.713 kg/cm². Berdasarkan karakteristik
marmer tersebut serta mempertimbangkan kondisi geologi dimana satuan marmer berada di dekat
intrusi batuan beku dan tidak dijumpainya batuan metamorf berstuktur foliasi yang berasosiasi dengan
satuan marmer, serta kurang berkembangnya struktur geologi di daerah penelitian maka diinterpretasi
bahwa proses metamorfisme kontak lebih berperan dalam mengubah protolith packstone dan
wackstone menjadi marmer Besole.
Kata kunci:besole, genesa, karakteristik marmer, metamorfisme kontak

1. Pendahuluan
Kabupaten Tulungagung, Provinsi Jawa Timur merupakan daerah dengan potensi marmer
yang melimpah dan memiliki jumlah sumberdaya terukur sebesar 15.731.738 ton (Tushadi,
1990). Namun di daerah Besole yang terletak di kabupaten tersebut belum ada kajian geologi
mengenai karakteristik marmer. Studi karakteristik marmer diperlukan untuk dapat
menginterpretasi genesa marmer. Oleh karena itu, penelitian ini bertujuan mengetahui
karakteristiknya yang digunakan dalam melakukan interpretasi genesa marmer. Studi ini
diharapkan dapat bermanfaat dalam membantu kegiatan eksplorasi sumberdaya mineral
industri di daerah tersebut.
Beberapa penelitian geologi regional yang telah dilakukan dan menyangkut daerah
Besole dan sekitarnya diantaranya adalah penelitian fisiografi regional Jawa bagian timur
(Van Bemmelen, 1949), geologi mengenai tektonik dengan struktur geologi, pola tinggian dan
rendahan Pegunungan selatan Jawa Timur dari Pacitan hingga Semenanjung Blambangan
(Nahrowi, dkk., 1978), dan pemetaan geologi regional Lembar Tulungagung (Samodra, dkk.,
1992) dengan skala 1:100.000. Penelitian-penelitian tersebut masih membahas geologi secara

740
PROCEEDING, SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-11
PERSPEKTIF ILMU KEBUMIAN DALAM KAJIAN BENCANA GEOLOGI DI INDONESIA
5 – 6 SEPTEMBER 2018, GRHA SABHA PRAMANA

regional dan belum membahas lebih detil tentang geologi daerah penelitian maupun
karakteristik marmer yang terletak di Daerah Besole, Kabupaten Tulungagung, Jawa Timur
(Gambar 1). Penelitian-penelitian lebih detil di daerah Besole yang pernah dilakukan adalah
penelitian yang lebih memfokuskan pada pemanfaatan limbah marmer (Utami, 2010) dan
penelitian mengenai pemanfaatan marmer berdasarkan analisa kuat tekan dan serapan air
(Haty, 2011), tetapi penelitian-penelitian detil tersebut belum pernah membahas mengenai
karakteristik dan genesa marmernya. Formasi Campurdarat dan Formasi Nampol merupakan
formasi-formasi yang dapat dijumpai di daerah Tulungagung (Gambar 2). Menurut Samodra
dan Gafoer (1990), Formasi Campurdarat tersusun oleh batugamping hablur, bersisipan
batulempung karbonatan, berumur Miosen Awal sampai Miosen Tengah, dengan lingkungan
pengendapan berupa laut dangkal yang berhubungan dengan lingkungan terumbu. Formasi ini
dipengaruhi oleh batuan terobosan yang diperkirakan berumur Miosen Tengah dan diperkirakan
mengubah batugamping menjadi marmer. Formasi Nampol tersusun oleh perulangan
batulempung, batupasir dan tuf sisipan konglomerat dan breksi; berumur Miosen Tengah dan
berhubungan secara menjari dengan Formasi Campurdarat (Samodra dan Gafoer, 1990).
Pikatan dan Kartono (2013) menyebutkan bahwa marmer daerah Besole pada umumnya
berwarna putih kekuningan hingga abu-abu. Penelitian tentang Formasi Campurdarat
sebelumnya pernah dilakukan, tetapi berlokasi di daerah Teras (Haty, 2011) yang berjarak
kurang lebih 19 km dari daerah Besole.
2. Metode Penelitian
Lokasi penelitian berada di daerah Besole, Kecamatan Besuki, Kabupaten Tulungagung
dengan luas daerah penelitian 5 x 5 km2 (Gambar 1). Penelitian ini disusun berdasarkan data
primer yang dihasilkan dari pekerjaan lapangan dan analisis laboratorium. Pekerjaan lapangan
dilakukan untuk memetakan kondisi geologi, memetakan persebaran marmer, melakukan
perhitungan lebar fracture density (densitas rekahan) marmer serta pengambilan conto batuan
yang digunakan untuk analisis laboratorium.
Analisis laboratorium yang dilakukan dalam penelitian ini meliputi analisis petrografi,
analisis geokimia Inductively Coupled Plasma - Atomic Emission Spectrometry (ICP-AES)
dan analisis sifat keteknikan. Analisis petrografi bertujuan untuk mengetahui tekstur dan jenis
mineral penyusun batuan. Analisis ini dilakukan di Laboratorium Geologi Optik, Departemen
Teknik Geologi, Universitas Gadjah Mada. Analisis geokimia menggunakan ICP-AES yang
dilakukan di Laboratorium ALS-Geochemistry, Ontario, Canada, bertujuan untuk mengetahui
kandungan oksida utama pada 4 sampel marmer (M01, M12, M13 dan M19). Sedangkan
analisis sifat keteknikan pada 5 sampel marmer (M01, M12, M13, M18 dan M19) untuk
mengetahui nilai kuat tekan, ketahanan aus, dan serapan air, dilakukan di Laboratorium Bahan
Bangunan, Departemen Teknik Sipil dan Lingkungan, Universitas Gadjah Mada. Penelitian
ini juga menggunakan data sekunder berupa citra digital elevation model (DEM) yang
diperlukan untuk analisis pola kelurusan dan relief.

3. Data
Berdasarkan modifikasi klasifikasi van Zuidam (1985), daerah penelitian dapat
dikelompokkan menjadi 4 satuan geomorfologi, yaitu satuan dataran, satuan perbukitan
berlereng landai, satuan perbukitan berlereng agak curam, dan satuan perbukitan berlereng
curam (Gambar 3). Secara litostratigrafi daerah penelitian tersusun oleh 3 satuan batuan yang
terdiri dari satuan wackestone, satuan packstone, dan satuan marmer (Gambar 4). Satuan
wackestone diendapkan secara menjari dengan satuan packstone. Satuan wackestone
menempati satuan perbukitan berlereng agak curam, satuan packstone menempati satuan
741
PROCEEDING, SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-11
PERSPEKTIF ILMU KEBUMIAN DALAM KAJIAN BENCANA GEOLOGI DI INDONESIA
5 – 6 SEPTEMBER 2018, GRHA SABHA PRAMANA

perbukitan berlereng curam, sedangkan satuan marmer menempati satuan perbukitan


berlereng landai dan satuan dataran. Dengan mengacu pada Samodra dan Gafoer (1990) dan
Samodra dkk. (1992), dan berdasarkan pada ciri litologi daerah penelitian yang berasosiasi
dengan batugamping maka satuan wackestone, satuan packstone maupun satuan marmer dapat
disebandingkan dengan Formasi Campurdarat. Struktur geologi yang terdapat di daerah
penelitian yaitu sesar geser sinistral diperkirakan yang terletak di bagian tenggara daerah
penelitian (Gambar 4) ditentukan berdasarkan pada analisis peta topografi dan citra DEM.
Hal tersebut karena data lapangan untuk penarikan struktur sulit didapatkan.
Marmer yang menjadi objek penelitian berada pada satuan marmer dengan persebarannya
berada di sebelah timur laut daerah penelitian. Singkapan marmer dapat terlihat jelas pada
lokasi bekas tambang yang pernah dikelola oleh masyarakat (Gambar 5a). Secara
megaskopis, marmer memperlihatkan karakter menyerupai batugamping namun dengan
kondisi lebih pejal (Gambar 5b), berwarna putih kekuningan, ukuran butir < 1 – 25 mm, non
foliasi dan kristalin serta tersusun kalsit, dolomit dan hematit.

4. Hasil dan Pembahasan


4.1. Karakteristik Tekstur dan Mineral Penyusun Marmer
Analisis petrografi pada 4 sampel (M01, M12, M13 dan M19) digunakan untuk
mengetahui tekstur batuan dan kelimpahan mineral penyusun marmer daerah penelitian. Hasil
analisis petrografi menunjukkan bahwa marmer tersusun oleh butiran mineral berukuran
0.05 – 2 mm yang didominasi oleh mineral kalsit dan memiliki tekstur granoblastik (tekstur
berdasarkan bentuk mineral), tekstur kristaloblastik dan relict (tekstur berdasarkan ketahanan
proses metamorfisme),) dan tekstur khusus batuan metamorf yaitu decussate dan saccharoidal.
Rangkuman hasil analisis petrografi marmer berdasarkan ukuran butir mineral penyusun
marmer dan tekturnya dapat dilihat pada Tabel 1.
Dari hasil pengamatan petrografi, keempat sampel marmer tersebut memiliki tekstur
granoblastik. Kenampakan tekstur granoblastik dapat dilihat pada Gambar 6 yang
direpresentasikan oleh sampel M01. Tekstur granoblastik dicirikan dengan bentuk mineral
yang granular (berbentuk butiran), dimana ukuran butiran mineralnya hampir sama dan
hubungan antar mineral-mineral penyusun batuan saling mengunci (interlocking) serta tidak
memperlihatkan pada orientasi tertentu. Tekstur tersebut menjadi penciri tekstur batuan yang
berasosiasi dengan proses metamorfosa kontak (Winter 2001). Dengan demikian, berdasarkan
tekstur granoblastik yang dimiliki oleh sampel-sampel batuan dari daerah penelitian, maka
marmer di daerah Besole dapat dikategorikan sebagai batuan metamorf yang berhubungan
dengan proses metamorfisme kontak.
Sampel M01, M12 dan M19 dari hasil pengamatan petrografi juga memperlihatkan
tekstur kristaloblastik. Tekstur kristaloblastik memberi kenampakan sebagai tekstur kristalin
pada batuan yang dihasilkan dari rekristalisasi karena proses metamorfosa (Winter, 2001).
Tekstur ini dapat dilihat secara jelas pada sampel M12 yang memperlihatkan hasil
rekristalisasi pada mineral kalsit (Gambar 7). Berdasarkan kenampakan tekstur
kristaloblastik yang ditunjukkan oleh sampel-sampel tersebut maka batuan yang
direpresentasikan oleh sampel M01, M12 dan M19 merupakan batuan metamorf. Selain itu,
conto marmer M12 dan M13 menunjukkan tekstur sisa (relict) yang dapat dilihat pada
Gambar 7. Tekstur tersebut memperlihatkan sisa batuan asal atau sisa protolith berupa
batugamping yang mengalami metamorfosa dan menyisakan kenampakan seperti algae.
Tekstur ini mengindikasikan bahwa batuan asal belum terubah sepenuhnya oleh proses
metamorfisme. Hal ini disebabkan oleh tingkat atau intensitas metamorfismenya yang
742
PROCEEDING, SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-11
PERSPEKTIF ILMU KEBUMIAN DALAM KAJIAN BENCANA GEOLOGI DI INDONESIA
5 – 6 SEPTEMBER 2018, GRHA SABHA PRAMANA

semakin menurun seiring dengan semakin jauh dari sumber penyebab proses
metamorfismenya yaitu intrusi batuan beku.
Tekstur decussate juga dijumpai pada conto batuan marmer M01, M12 dan M19
(Gambar 6). Tekstur ini dicirikan oleh hubungan antar mineral penyusun batuan yang
equigranular, interlocking, randomly orientated platy ataupun tabular. Tekstur decussate
merupakan tekstur batuan yang umumnya berasosiasi dengan proses metamorfosa kontak
(David, 1983; Winter, 2001). Oleh karena itu, batuan marmer Besole yang direpresentasikan
oleh sampel M01, M12 dan M19 dapat dikategorikan sebagai batuan metamorf yang
berasosiasi dengan metamorfisme kontak. Sedangkan tekstur saccharoidal ditunjukkan oleh
sampel M12 dan M13 yang memberikan kenampakan seperti butiran-butiran gula pasir
(Gambar 7). Tekstur ini sangat umum dijumpai pada marmer yang terbentuk karena
pengaruh proses metamorfosa kontak. Oleh karena itu, kehadiran tekstur saccharoidal
semakin mendukung indikasi bahwa marmer Besole merupakan batuan metamorf yang
berasosiasi dengan metamorfisme kontak.
Mineral kalsit yang merupakan mineral yang paling melimpah kehadirannya dalam
marmer di daerah penelitian (Tabel 2) mengindikasikan bahwa batuan asalnya atau protolith
marmer adalah batugamping, dalam hal ini berupa satuan wackstone dan satuan packstone.
Mineral-mineral lain yang hadir dalam marmer dan berjumlah yang sangat sedikit adalah
dolomit dan hematit. Marmer di daerah penelitian umumnya dicirikan dengan warna putih
kecoklatan. Walaupun hematit hadir dalam kuantitas yang sangat sedikit, mineral tersebut
diduga berperan sebagai mineral pengotor dalam marmer Besole dikarenakan hematit
merupakan mineral yang mempunyai ciri warna merah kecoklatan sehingga kehadirannya
mempengaruhi warna batuan yang mengandungnya.
4.2. Karakteristik Geokimia Marmer
Analisis kandungan senyawa oksida utama menggunakan metode ICP-AES pada sampel
M01, M12, M13, M19 meliputi SiO₂, Al₂O₃, Fe₂O₃, CaO, MgO, Na₂O, K₂O, Cr₂O₃, TiO₂,
MnO, P₂O₅, SrO, BaO, dan LoI (Tabel 3). Hasil analisis tersebut menunjukkan persentase
senyawa oksida utama yang bervariasi, dimana kandungan SiO₂ berkisar antara 0,48 % -
0,65%, Al₂O₃ 0,01% - 0,12%, Fe₂O₃ 0,12% - 0,27%, CaO 54,6% - 56%, MgO 0,21% - 0,39%,
Na₂O 0,02% - 0,03%, K₂O <0,01%, Cr₂O₃ <0,01%, TiO₂ <0,01 % – 0,01%, MnO 0,01%, P₂O₅
0,02% - 0,04%, SrO 0,01% - 0,15%, BaO <0,01%, dan LOl 42,8% - 43,2%, dimana
komponen senyawa oksida yang jumlahnya paling dominan adalah CaO. Dengan
mengintegrasikan hasil pengamatan petrografi dan hasil uji geokimia tersebut maka dapat
dilakukan perhitungan mineralogi normatif yang hasilnya menunjukkan bahwa mineral kalsit
(CaCO₃) merupakan mineral yang mendominasi hadir dalam marmer sebesar 97.4 – 99.2
wt.%, sedangkan kelimpahan mineral dolomit ( CaOMgO.2CO₂ ) relatif sangat sedikit yaitu
0,04 – 2,4 wt.%, dan hematit 0.01 – 0.03 wt.% (Tabel 4).
4.3.Karakteristik Keteknikan Marmer
Hasil uji keteknikan pada 5 buah sampel marmer daerah penelitian memiliki rata-rata
nilai uji kuat tekan sebesar 781.713 kg/cm², rata-rata nilai ketahanan aus sebesar 0.0399
(mm/menit) dan rata-rata nilai serapan air sebesar 0.704% (Tabel 5). Nilai kuat tekan yang
paling tinggi dimiliki oleh sampel M12 dengan nilai sebesar 1112.082 kg/cm² dan nilai kuat
tekan yang paling rendah dimiliki oleh sampel M13 dengan nilai sebesar 371.234 kg/cm².
Nilai kuat tekan terkecil yang ditunjukkan oleh sampel M13 yang sangat berbeda jauh dengan
nilai kuat tekan sampel-sampel yang lain kemungkinan dihasilkan dari uji keteknikan pada
sampel yang tidak mempunyai bentuk sisi-sisi yang ideal karena kesalahan dalam melakukan
preparasi sampel.
743
PROCEEDING, SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-11
PERSPEKTIF ILMU KEBUMIAN DALAM KAJIAN BENCANA GEOLOGI DI INDONESIA
5 – 6 SEPTEMBER 2018, GRHA SABHA PRAMANA

4.4.Karakteristik fracture density (densitas rekahan) marmer


Pengukuran kekar pada satuan marmer dilakukan pada 10 titik amat yang meliputi STA 1,
STA 1 LP 1, STA 12, STA 12 LP 1, STA 12 LP 2, STA 13, STA 13 LP 1, STA 18, STA 19,
dan STA 19 LP 1. Pengukuran kekar dilakukan pada singkapan marmer seluas 1 meter x 1
meter (Gambar 7). Hasil pengukuran kekar ditabulasi pada Tabel 6 yang menunjukkan hasil
akumulasi dari pengukuran panjang kekar pada singkapan marmer yaitu sebesar 915 cm,
sehingga nilai densitas kekarnya sebesar 0.915 m/m². Hasil pengukuran lebar rekahan kekar
pada 3 titik amat yang merepresentasikan kondisi marmer daerah penelitian menghasilkan
variasi lebar sebesar 1 – 5.6 cm (Tabel 7). Dengan mengacu pada klasifikasi Average Joint
Spacing menurut Bieniawski (1989), kekar pada marmer Besole dapat dikategorikan pada
kelas closely jointed yang dicirikan dengan lebar jarak rekahan berkisar 2.5 – 15.3 cm.
4.5. Karakteristik dan Genesa Marmer
Interpretasi genesa marmer di daerah penelitian berdasarkan pada karakteristik
marmer berupa karakteristik tekstur dan mineral penyusun marmer, karakteristik geokimia
marmer, karakteristik keteknikan marmer dan karakteristik fracture density marmer serta pada
data geologi daerah penelitian meliputi:
• Secara megaskopis, marmer daerah penelitian mencirikan struktur non-foliasi.
Struktur non-foliasi merupakan penciri batuan metamorf yang memperlihatkan
orientasi mineral penyusun batuannya acak (random) dan tidak memperlihatkan
perlapisan (Gillen, 1982). Struktur ini mengindikasikan bahwa suhu (temperature)
bekerja lebih dominan untuk merekristalisasi mineral penyusun marmer yang
menghasilkan tekstur kristaloblastik dan granoblastik, dibandingkan dengan
bekerjanya tekanan atau pressure pada batuan (David, 1983; Winter, 2001). Perubahan
batuan tersebut yang disebabkan oleh lebih dominannya suhu yang bekerja maka dapat
dikatakan bahwa marmer di daerah penelitian terbentuk karena proses metamorfisme
kontak.
• Keterdapatan tekstur decussate dan saccharoidal maupun tekstur kristaloblasik dan
granoblastik pada marmer daerah penelitian, dengan mengacu pada David (1983) dan
Winter (2001) menunjukkan bahwa tekstur tersebut merupakan penciri batuan yang
terbentuknya berasosiasi dengan metamorfisme kontak.
• Mineral penyusun marmer daerah penelitian yang didominasi oleh kalsit (CaCO₃) dan
didukung dengan hadirnya tekstur relict yang menunjukkan hadirnya algae
mengindikasikan bahwa marmer merupakan batuan hasil ubahan dari batugamping
(wackstone dan packstone) yang mineral penyusunnya adalah kalsit ( > 97 wt.%).
• Hasil uji keteknikan batuan berupa kuat tekan pada marmer daerah penelitian
menunjukkan nilai rata-rata sebesar 781.713 kg/cm². Nilai kuat tekan tersebut jauh
lebih besar dibandingkan dengan marmer di Konawe Selatan yang berasosiasi dengan
metamorfisme regional (Azzaman, 2017) yang memiliki nilai uji kuat tekan sebesar
295.371 kg/cm².
• Fracture density (densitas rekahan) marmer daerah penelitian menunjukkan intensitas
rekahan sebesar 0.915 m/m². Nilai densitas rekahan tersebut jauh lebih rendah
dibandingkan dengan marmer di Konawe Selatan yang berasosiasi dengan
metamorfisme regional (Azzaman, 2017) yang memiliki nilai densitas rekahan sebesar
2.46 m/m². Struktur geologi yang kurang berkembang di daerah Besole mendukung
data densitas rekahan marmer tersebut yang bernilai rendah. Hal tersebut

744
PROCEEDING, SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-11
PERSPEKTIF ILMU KEBUMIAN DALAM KAJIAN BENCANA GEOLOGI DI INDONESIA
5 – 6 SEPTEMBER 2018, GRHA SABHA PRAMANA

mengindikasikan bahwa marmer daerah penelitian lebih berasosiasi dengan


metamorfisme kontak dibandingkan dengan metamorfisme regional.
• Samodra dan Gafoer (1990) dan Samodra dkk. (1992) mengatakan bahwa Formasi
Campurdarat tersusun oleh batugamping hablur, bersisipan batulempung karbonatan
dengan lingkungan pengendapan berupa laut dangkal yang berhubungan dengan
lingkungan terumbu serta dipengaruhi oleh batuan terobosan yang mengubah
batugamping menjadi marmer. Mengacu pada pendapat tersebut maka satuan
wackstone, satuan packstone, dan satuan marmer di daerah Besole yang sebanding
dengan Formasi Campurdarat diindikasikan dipengaruhi oleh batuan terobosan yang
tidak tersingkap di daerah penelitian tetapi dapat dijumpai di luar daerah penelitian
yaitu yang tersingkap di G. Tanggul dan G. Peles di sebelah barat laut dari daerah
penelitian (Gambar 2).
Berdasarkan penjelasan mengenai karakteristik marmer tersebut serta data geologi daerah
penelitian, maka dapat disimpulkan bahwa marmer Besole berasal dari protolith batugamping
berupa wackstone dan packstone yang diterobos oleh batuan beku yang tersingkap di G.
Tanggul dan G. Peles (yang terletak di sebelah barat laut dari daerah Besole) dan
mengubahnya menjadi marmer. Dengan demikian, proses metamorfisme kontak merupakan
proses yang mempengaruhi terbentuknya marmer daerah Besole. Penjelasan genesa marmer
dapat diilustrasikan pada Gambar 8a-d.
• Gambar 8a. Batugamping sebagai protolith marmer diendapkan pada lingkungan laut
dangkal yang dimungkinkan berhubungan dengan lingkungan terumbu sehingga
menghasilkan satuan packestone dan satuan wackestone yang saling menjari.
• Gambar 8b. Satuan packstone dan satuan wackstone mulai mengalami pengangkatan
dan diterobos oleh batuan beku yang mengubah sebagian dari satuan-satuan tersebut
menjadi marmer.
• Gambar 8c. Proses pengangkatan tetap berlangsung dan menyebabkan satuan
packstone dan satuan wackstone sebagai litologi penyusun daerah penelitian
tersingkap di atas permukaan laut.
• Gambar 8d. Proses pengangkatan yang tetap berlangsung menyebabkan sebagian dari
satuan packstone dan satuan wackstone mengalami erosi sehingga menyingkapkan
satuan marmer yang membentuk morfologi seperti saat ini.
5. Kesimpulan
Satuan wackstone dan satuan packstone di daerah Besole dapat disebandingkan dengan
Formasi Campurdarat. Satuan batuan tersebut mengindikasikan telah diterobos oleh batuan
beku yang mengubahnya menjadi marmer. Indikasi tersebut didukung oleh tekstur marmer
yang dimiliki oleh marmer Besole yaitu mengkarakteristikkan tekstur metamorfisme kontak
berupa tekstur granoblastik, tekstur kristaloblastik dan relict serta tekstur decussate dan
saccharoidal. Kuat tekan marmer daerah penelitian yang menunjukkan nilai rata-rata yang
relatif tinggi sebesar 781.713 kg/cm² sedangkan densitas rekahannya yang menunjukkan nilai
rata-rata yang relatif rendah sebesar 0.915 m/m² mengindikasikan bahwa marmer tersebut
cenderung berasosiasi dengan metamorfisme kontak dibandingkan dengan metamorfisme
regional. Oleh karena itu, marmer di daerah Besole terbentuk karena proses metamorfisme
kontak, berasal dari protolith batugamping berupa wackstone dan packstone yang diterobos
oleh batuan beku yang tersingkap di G. Tanggul dan G. Peles yang berada di luar daerah
penelitian (di sebelah barat laut dari daerah Besole).

745
PROCEEDING, SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-11
PERSPEKTIF ILMU KEBUMIAN DALAM KAJIAN BENCANA GEOLOGI DI INDONESIA
5 – 6 SEPTEMBER 2018, GRHA SABHA PRAMANA

Acknowledgements
Penulis mengucapkan terimakasih kepada Departemen Teknik Geologi, Fakultas Teknik,
Universitas Gadjah Mada yang telah memberikan dana hibah untuk membiayai
pelaksanaan penelitian ini dan dukungan dalam penulisan artikel ini.
Daftar Pustaka
Allaby, M. (2009). Earth Science: A Scientific History of the Solid Earth. New York. Facts
on File Inc.
Bieniawski, Z.T. (1989) . Engineering rock mass classifications: a complete manual for
engineers and geologists in mining, civil, and petroleum engineering: New
York, Wiley, xii p.251.
Bucher, K. dan Frey, M. (1994) . Petrogenesis of Metamorphic Rocks 6th Edition. Springler-
Verlag Berlin Heidelberg. New York.

Dale, T.N. (1912). The Commercial Marbles of Western Vermont. Washington. Government
Printing Office.
David, S. (1983). Igneous and metamorphic rocks under the microscope.New York.
Campman & Hall.
Davis, George H. (1984). Structural Geology of Rocks and Regions. New York.John wiley
and Sons Inc.
Dosen dan Staf Asisten Kristalografi dan Mineralogi. (2013). Buku Panduan Praktikum
Kristalografi dan Mineralogi. Yogyakarta. Laboratorium Sumber Daya
Mineral Jurusan Teknik Geologi, Universitas Gadjah Mada (Tidak
Dipublikasikan).
Fatoye, F.B. dan Gideon, Y.B.( 2013). Geology and Occurences of Limestone and Marble in
Nigeria, Nigeria. Journal of Natural Sciences Research Vol. 3, No. 11 p. 60-65.
Gillen, C. (1982). Metamorphic Geology: An Introduction to Tectonic and Metamorphic
Processes. George Allen & Unwin.
Haty, I.P. (2011). Pemanfaatan Batu Marmer Berdasarkan Analisa Kuat Tekan dan Serapan
Air Daerah Teras Kecamatan Campurdarat Kabupaten Tulungagung Propinsi
Jawa Timur. Jurnal Ilmiah MTG, Vol.4, No.2.
Hoek, E., and Brown, E.T. (1997). Practical estimates of rock mass strength: International
Journal of Rock Mechanics & Mining Sciences, v. 34 p. 1165-1186.
Husein, S., Sriyono., Budiadi, Evanstus. ( 2011). Buku Ajar Gemorfologi. Departemen Teknik
Geologi, Fakultas Teknik, Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta
Jackson, K.C. (1970). Textbook of Lithology. Mc Graw Hill Book Company. New York.

Mottana, A., Crespi, R., dan Liborio, G. (1978). Rocks and Minerals. New York. Simon &
Schuster Inc.
Nawy, Edward, G. (1990). Beton Bertulang, PT. Eresco.Bandung.
Nahrowi, T.Y., Suratman, S., Naida dan Hidayat, S. (1978). Geologi Pegunungan Selatan
Jawa Timur. Bagian Eksplorasi PPTMGB Lemigas. Cepu.
746
PROCEEDING, SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-11
PERSPEKTIF ILMU KEBUMIAN DALAM KAJIAN BENCANA GEOLOGI DI INDONESIA
5 – 6 SEPTEMBER 2018, GRHA SABHA PRAMANA

O’Dunn, S., & Sill, W.D. (1986). Exploring Geology: Introductory Laboratory Activities. A
Peek Publication
Pikatan, G.M, dan Kartono, L. (2013). Grha Kerajinan Batu Marmer di Tulungagung. Jurnal
e Demensi Arsitektur. Vol 1, No.2 p.98-104.
Samodra, H., dan Gafoer. (1990). Laporan Geologi Lembar Pacitan, Jawa. Pusat Penelitian
dan Pengembangan Geologi.Indonesia.
Samodra, H., Suharwono, S., Gafoer & Suwartu, T. (1992). Geologi Lembar Bagian
Tulungagung, Jawa. Pusat Penelitian dan Pengembangan Geologi, Indonesia.
Suhala, S, dan Arifin, M. (1997). Bahan Galian Industri. Pusat Penelitian dan Pengembangan
Teknologi Mineral. Bandung.
Sukandarrumidi. (2004). Bahan Galian Industri. Fakultas Teknik Universitas Gadjah Mada,
Gadjah Mada University Press.
Spry, A. (1969). Metamorphic Textures. Pergamon Press Ltd. Great Britain.
Tushadi. (1990). Bahan Galian Industri Indonesia. Direktorat Sumberdaya Mineral.
Direktorat Jenderal Geologi dan Sumberdaya Mineral. Bandung.
Utami, S. (2010). Pemanfaatan Limbah Marmer Untuk Pembuatan Paving Stone. Jurnal
Neutron, Vol.10, No.2 p.55-56.
Wilson, J. L. (1975). Carbonate Facies in Geologic History. Springer-Verlag.New York
Heidelberg Berlin p.25-27.
Winter, J. D. (2001). An Introduction to Igneous and Metamorphic Petrology. New Jersey:
Prentice Hall.
Winkler, H.G.F. (1979) . Petrogenesis of Metamorphic Rocks. Springer. Berlin-Heidelberg-
New York p 348 .
Van Bemmelen, R. W. (1949) . General Geology of Indonesia and Adjacent
Archipelagoes.The Geology of Indonesia. Vol. IA. Netherlands. The Hague
Martinus Nijhoff.
Van Zuidam, R. A. (1985) . Aerial Photo – Interpretation in Terrain Analysis and
Geomorphologic Mapping. Smith Publisher, The Hague, ITC.

747
PROCEEDING, SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-11
PERSPEKTIF ILMU KEBUMIAN DALAM KAJIAN BENCANA GEOLOGI DI INDONESIA
5 – 6 SEPTEMBER 2018, GRHA SABHA PRAMANA

Gambar

Gambar 1. Lokasi dan peta topografi daerah penelitian

Gambar 2. Peta geologi regional bagian selatan dari Lembar Tulungagung (Samodra dkk,
1992) dan lokasi penelitian.

748
PROCEEDING, SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-11
PERSPEKTIF ILMU KEBUMIAN DALAM KAJIAN BENCANA GEOLOGI DI INDONESIA
5 – 6 SEPTEMBER 2018, GRHA SABHA PRAMANA

Gambar 3. Peta geomorfologi daerah Besole.

Gambar 4. Peta geologi daerah Besole.

749
PROCEEDING, SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-11
PERSPEKTIF ILMU KEBUMIAN DALAM KAJIAN BENCANA GEOLOGI DI INDONESIA
5 – 6 SEPTEMBER 2018, GRHA SABHA PRAMANA

a b

Gambar 5. (a) Singkapan marmer dengan struktur non foliasi pada STA 01 (kamera
menghadap ke arah barat laut), (b) Kenampakan conto setangan batuan marmer
yang disampling dari STA13.

Tekstur granoblastik

Tekstur decussate

Gambar 6. Sayatan tipis (marmer M01) dalam kenampakan XPL (crossed polars)
memperlihatkan tekstur granoblastik berdasarkan bentuk mineral dan tekstur
decussate yang merupakan tekstur khusus batuan metamorf.

750
PROCEEDING, SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-11
PERSPEKTIF ILMU KEBUMIAN DALAM KAJIAN BENCANA GEOLOGI DI INDONESIA
5 – 6 SEPTEMBER 2018, GRHA SABHA PRAMANA

Tekstur kristaloblastik

Tekstur khusus
saccharoidal

Gambar 7. Sayatan tipis dari sampel marmer M12 pada kenampakan XPL (crossed polars)
yang menunjukan tekstur kristaloblastik dan relict (tekstur sisa) berdasarkan
ketahanan proses metamorfisme, serta tekstur saccharoidal yang merupakan
tekstur khusus batuan metamorf.

Gambar 8. Ilustrasi genesa marmer


751
PROCEEDING, SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-11
PERSPEKTIF ILMU KEBUMIAN DALAM KAJIAN BENCANA GEOLOGI DI INDONESIA
5 – 6 SEPTEMBER 2018, GRHA SABHA PRAMANA

Tabel 1. Ringkasan deskripsi marmer Besole, Tulungagung

Tabel 2. Ringkasan kelimpahan mineralogi pada marmer berdasarkan hasil pengamatan


petrografi

Keterangan: ooo = melimpah, oo = cukup melimpah, o= jarang, x = tidak ada

Tabel 3. Hasil pengujian geokimia pada marmer Besole (dalam wt.%)

752
PROCEEDING, SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-11
PERSPEKTIF ILMU KEBUMIAN DALAM KAJIAN BENCANA GEOLOGI DI INDONESIA
5 – 6 SEPTEMBER 2018, GRHA SABHA PRAMANA

Tabel 4. Hasil perhitungan mineralogi normatif pada marmer Besole (dalam wt.%)

Tabel 5. Hasil pengujian sifat keteknikan pada marmer Besole

Tabel 6. Tabulasi hasil perhitungan densitas kekar pada marmer Besole

Tabel 7. Tabulasi hasil perhitungan joint spacing pada kekar terbuka marmer Besole dan
Klasifikasi Average Joint Spacing (Bieniawski, 1989)

Klasifikasi Average Joint Spacing


(Bieniawski, 1989)

753
PROCEEDING, SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-11
PERSPEKTIF ILMU KEBUMIAN DALAM KAJIAN BENCANA GEOLOGI DI INDONESIA
5 – 6 SEPTEMBER 2018, GRHA SABHA PRAMANA

ANALISIS PETROGRAFI DAN XRD BATUAN ALTERASI GUNUNGAPI


UNGARAN, PRINGAPUS, KABUPATEN SEMARANG: KELIMPAHAN MINERAL
ALTERASI SEBAGAI POTENSI MINERAL INDUSTRI

Joshua Aditya Simanjuntak1*


Irvan Sumantri Pakpahan2
Jihan Almira Fauzia3
Era Rio Sinuraya4
Sekar Indah Tri Kusuma5
1*
Departemen Teknik Geologi, Fakultas Teknik,Universitas Diponegoro, Jl. Prof. Soedarto, SH, Kampus
Tembalang, Semarang, Indonesia 50275
2Departemen Teknik Geologi, Fakultas Teknik,Universitas Diponegoro, Jl. Prof. Soedarto, SH, Kampus

Tembalang, Semarang, Indonesia 50275


3
Departemen Teknik Geologi, Fakultas Teknik,Universitas Diponegoro, Jl. Prof. Soedarto, SH, Kampus
Tembalang, Semarang, Indonesia 50275
4
Departemen Teknik Geologi, Fakultas Teknik,Universitas Diponegoro, Jl. Prof. Soedarto, SH, Kampus
Tembalang, Semarang, Indonesia 50275
5Departemen Teknik Geologi, Fakultas Teknik,Universitas Diponegoro, Jl. Prof. Soedarto, SH, Kampus

Tembalang, Semarang, Indonesia 50275


*corresponding author: joshuadityas@gmail.com

ABSTRAK
Dewasa ini kebutuhan akan bahan galian industri sangatlah tinggi. Hal ini menyebabkan
penemuann sumberdaya baru di bidang mineral industri sangatlah diperlukan. Daerah Pringapus,
Kabupaten Semarang memiliki potensi bahan galian industri yang tinggi, mengingat lokasinya yang
terletak pada daerah alterasi hasil Vulkanik Gunung Ungaran. Gunung Ungaran memiliki potensi
panas bumi sebesar 11,25 MWe (Wahyudi, 2005). Sistem panas bumi ini menghasilkan proses
samping berupa alterasi pada batuan disekitarnya yaitu batupasir dan breksi andesit. Penelitian ini
dilakukan melalui pemetaan permukaan seluas 3 x 3 km. Dari sampel batuan teralterasi pada daerah
vulkanik Ungaran ini, dilakukan pengujian sampel melalui analisis petrografi untuk mengetahui
kelimpahan mineral penyusun dan analisis XRD untuk mendeterminasi jenis mineral secara lebih
spesifik yang tidak dapat dilihat pada sayatan petrografi. Berdasarkan hasil analisis petrografi
didapatkan kehadiran mineral penciri alterasi berupa aktinolit, serisit, kalsit, kuarsa sekunder, dan
mineral lempung yang cukup mendominasi pada litologi batupasir dan breksi andesit. Berdasarkan
hasil analisis laboratorium XRD didapatkan kehadiran mineral dominan berupa smektit. Dengan
ditemukannya mineral-mineral lempung yang melimpah maka dapat dinterpretasikan bahwa mineral
tersebut sebagai mineral penciri zona argilik. Melimpahnya mineral lempung yang mencapai 75%
pada batuan teralterasi ini sangatlah menarik untuk diteliti dan memiliki potensi yang besar sebagai
bahan baku dibidang industri yaitu kosmetik, kertas, farmasi, keramik dan gerabah.
Kata Kunci : vulkanik Gunung Ungaran, batuan alterasi, mineral lempung, bahan galian mineral
Industri.

1. Pendahuluan
Dewasa ini, bidang teknologi dan industri berkembang sangat pesat dan membutuhkan
pasokan mineral industri dalam jumlah yang tinggi. Hal ini menyebabkan penelitian dan
penemuan-penemuan terhadap sumberdaya mineral industri sangatlah penting. Daerah
Pringapus, Semarang menrupakan daerah yang potensial terhadap pemanfaatan mineral
industri, hal ini karena lokasinya yang berada di daerah Vulkanik Gunung Ungaran. Gunung
Ungaran memiliki sistem panas bumi dengan total potensi geotermal sekitar 1,25 MWe

754
PROCEEDING, SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-11
PERSPEKTIF ILMU KEBUMIAN DALAM KAJIAN BENCANA GEOLOGI DI INDONESIA
5 – 6 SEPTEMBER 2018, GRHA SABHA PRAMANA

(Wahyudi, 2005). Adanya proses geotermal ini memiliki proses samping berupa alterasi
hidrotermal yang mempengaruhi litologi di sekitar Lokasi penelitian. (Gambar 1)
Daerah penelitian terletak pada 3 formasi meliputi Formasi kerek (Tmk), Formasi
Kaligetas (Qpkg) dan Formasi Kalibeng (Tmpk). Alterasi umumnya terjadi pada litologi
berupa breksi andesit dan batupasir yang berada pada bagian tengah dari lokasi penelitian.
Breksi andesit ini termasuk pada formasi Kaligetas, sedangkan batupasir ini diinterpretasikan
berasal dari formasi Kalibeng. Daerah penelitian memiliki struktur geologi yang cukup
intensif, dimana berdasarkan peta geologi regional ditemukan adanya sesar naik yang
melintang pada bagian tengah lokasi penelitian. Sesar ini diindikasikan menjadi penyebab
munculnya jalur yang menyebabkan terjadinya alterasi yang intensif pada bagian tengah
daerah penelitian.

2. Metode Penelitian
Penelitian ini dilakukan dengan metode pengamatan lapangan secara langsung dan
analisis laboratorium. Pengamatan lapangan dilakukan melalui Pemetaan Geologi seluas 3 x 3
km pada 440028 mT – 442938 dan 9208245 -9205399 mU. Analisis laboratorium dilakukan
melalui analisis petrografi dan XRD. Analisis petrografi dilakukan untuk mengetahui
komposisi mineral penyusun beserta persentasenya. Analisis ini dilakukan pada 6 sampel di
lokasi penelitian. Analisis XRD (X-Ray Diffraction) dilakukan guna mengetahui mineral yang
tidak bisa di determinasi oleh petrografi, contohnya pada mineral lempung. Analisis ini
dilakukan pada 2 litologi yang terkena alterasi pada lokasi penelitian. Hal ini dilakukan untuk
mengetahui dominansi jenis mineral alterasi yang terbentuk beserta persentasenya, sehingga
dapat dijadikan gambaran apakah mineral alterasi di lokasi penelitian cukup potensial untuk
diekploitasi sebagai sumber mineral industri atau tidak.

3. Data
Berdasarkan hasil pemetaan secara langsung dilapangan, ditemukan jenis batuan yang
telah mengalami alterasi. Dimana sampel batuan yang telah teralterasi kemudian dilakukan
analisis lebih lanjut melalui analisis petrografi dan analisis XRD. Terdapat dua buah sampel
yang dianalisis lebih lanjut secara petrografi dan XRD sebagai hasil representasi daerah
penelitian. Sampel pertama memiliki kode JS yang merupakan sampel pada satuan litologi
Batupasir teralterasi yang terletak pada stasiun pengamatan pertama. Sampel kedua memiliki
kode MJA yang merupakan sampel pada satuan litologi Batulempung yang terletak pada
stasiun pengamatan pertama.

3.1 Data Mineral Berdasarkan Analisis Petrografi


Pada kode sampel JS terdapat dua jenis mineral, yakni mineral primer yang berupa
plagioklas (20%) dan mineral opaq (25%), sedangkan mineral sekunder yang terdapat pada
sampel penelitian ini (Tabel 1 dan 2) adalah kuarsa sekunder (5%), aktinolit (5%), serisit (5%),
kalsit (15%) dan mineral lempung (15%) (Foto 2). Berdasarkan keterdapatan mineral
sekunder, maka dapat dideterminasi intensitas alterasi pada sampel JS ialah seperti pada
perhitungan dibawah ini.
755
PROCEEDING, SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-11
PERSPEKTIF ILMU KEBUMIAN DALAM KAJIAN BENCANA GEOLOGI DI INDONESIA
5 – 6 SEPTEMBER 2018, GRHA SABHA PRAMANA

婀्핐婀뀸१뀸१ १्핐Ӏ뀸१ 핐्핐्뀸핐Ӏ 㤠


Intensitas Alterasi Sampel Batuan JS = 婀्핐婀뀸१뀸१ १्핐Ӏ뀸१ 婀h뀸१
= tt
=o,45 (Intensitas Alterasi
Menengah).
Pada sampel penelitian selanjutnya yakni sampel MJA terdapat dua jenis mineral, yakni
mineral primer yang berupa mineral opaq (25%), sedangkan mineral sekunder yang terdapat
pada sampel penelitian ini (Tabel 3 dan 4) adalah mineral lempung (40%), kalsit (15%) dan
serisit (20%) (Foto 3). Berdasarkan keterdapatan mineral sekunder, maka dapat dideterminasi
intensitas alterasi pada sampel MJA ialah seperti pada perhitungan dibawah ini.
婀्핐婀뀸१뀸१ १्핐Ӏ뀸१ 핐्핐्뀸핐Ӏ 㤠
Intensitas Alterasi Sampel Batuan JS = 婀्핐婀뀸१뀸१ १्핐Ӏ뀸१ 婀h뀸१
= tt
=o,75 (Intensitas Alterasi
Tinggi)

3.2 Data Mineral Lempung Berdasarkan Analisis XRD


Berdasarkan Hasil XRD pada sayatan batulempung kode sampel (MJA) dan
batupasir (JS) yang didapat berdasarkan penamaan mineral oleh Pei-Yuan Chen. Pada sampel
MJA (Tabel 6) terdapat 15 peak dengan mineral dari peak 1-15 secara berurutan yaitu
boemmite, sulfur ortorombic, silimanite, smektit, wollastonite, halite, rutile, alunite, boemmite,
chlorite, maghemite, dan siderite. Pada Sampel JS (Tabel 7) terdapat 22 peak dengan mineral
dari peak 1-22 secara berurutan yaitu halloysite, chlorite, dicktite, stillbite, sulfur, halloysite,
mordenite, stilbite, smektit, chlorite, amesite, manganite, vaterite, marganite, margarite, talc,
diaspor, corundum, quartz, lime, siderite, dan siderite.
4. Hasil dan Pembahasan
Berdasarkan hasil pemetaan, secara petrologi diperoleh beberapa satuan litologi yang
dibahas lebih lanjut pada Subbab karakteristik litologi daerah penelitian dibawah ini.
4.1 Karakteristik Litologi Daerah Penelitian
Karakteristik litologi daerah penelitian melalui pemetaan geologi terdiri atas 4 satuan
litologi yang dapat dianalisis secara petrologi, yakni satuan batulempung, satuan breksi
andesit, satuan batupasir teralterasi dan satuan alluvium (Gambar 2 dan 3).
4.1.1 Satuan Batulempung
Satuan batulempung pada daerah penelitian (Foto 1) merupakan bagian dari
susunan formasi kerek yang menunjukkan suatu struktur sedimen khas yaitu
perlapisan bersusun yang juga mencirikan suatu gejala flysch yaitu suatu perlapisan
batuan sedimen yang berkembang di lingkungan laut dalam sebagai hasil dari
proses turbidity flow, formasi kerek secara waktu geologi terendapkan pada Miosen
Tengah (N10) hingga Miosen Akhir (N17). Berdasarkan pendeskripsian secara
megaskopis terhadap sampel yang didapatkan di lapangan, pada satuan
batulempung ditemukan 2 jenis karakteristik. Karakteristik pertama memiliki warna
abu-abu kehijauan, struktur batuan yang masif, memiliki tekstur berupa ukuran
butir <1/256 mm, kemudian matriks berupa material berukuran lempung dan
kandungan semen yang bersifat karbonatan. Tingkat pelapukan pada satuan litologi
tersebut relatif tinggi. Batulempung jenis ini dapat ditemukan pada STA 2 hingga
STA 7 disepanjang sungai daerah Wonorejo – Gondoriyo. Pada lokasi pengamatan
lain, ditemukan pula batulempung namun lebih kompak, seperti yang ditemukan di

756
PROCEEDING, SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-11
PERSPEKTIF ILMU KEBUMIAN DALAM KAJIAN BENCANA GEOLOGI DI INDONESIA
5 – 6 SEPTEMBER 2018, GRHA SABHA PRAMANA

STA 8 hingga STA 13 di sepanjang sungai di daerah Gondoriyo. Selain litologi


batulempung juga ditemukan batupasir yang posisinya berselingan dengan
batulempung. Batupasir tersebut memiliki warna abu-abu kekuningan dengan
struktur sedimen wavy lamination. Kemudian secara kenampakan tekstur litologi
ini memiliki ukuran butir 1/4 - 1/8 mm. Memiliki tekstur berupa kemas yang
terbuka dan sortasi yang tergolong Well Sorted. Litologi tersebut memiliki fragmen
berukuran pasir halus, matriks berukuran lempung dan semen yang bersifat
karbonatan. Ditemukan beberapa perbedaan karakteristik pada litologi batupasir di
beberapa STA, seperti pada batupasir STA 2 yang memiliki warna putih terang
dengan komposisi semen yang non karbonat. Kemudian ditemukan adanya
perubahan ukuran butir pada STA 10 hingga STA 13 yang mana batupasir pada
STA ini cenderung berukuran 1/2 – 1 mm atau tergolong pasir kasar. Pada satuan
perselingan Batulempung – Batupasir ini ditemukan dominasi batulempung yang
lebih tebal dibandingkan batupasir disepanjang lintasan yang dilalui dari STA 2
hingga STA 13.
4.1.2 Satuan Breksi Andesit
Satuan Breksi Andesit pada daerah penelitian merupakan bagian dari susunan
formasi Kaligetas yang secara waktu geologi terendapkan pada kala Pleistosen.
Berdasarkan pendeskripsian secara megaskopis didapatkan bahwa Satuan ini
menunjukkan warna abu-abu tua dengan struktur batuan tergolong masif. Secara
kenampakan tekstur memiliki ukuran butir 4 – 64 mm atau tergolong ukuran
Pebble (Wentworth, 1922) dengan antar kontak antar butirnya sangat renggang
dengan komposisi matriks yang dominan atau dapat disebut memiliki kontak butir
Floating. Kemudian secara keseluruhan ukuran butir pada litologi ini tidak seragam.
Dapat disimpulkan bahwa litologi ini memiliki kemas yang tergolong terbuka dan
sortasi yang Poorly Sorted. Secara sudut pandang komposisi, batuan ini memiliki
fragmen litik berupa andesit berukuran kerakal - berangkal dengan komposisi
matriks tergolong tuff, namun berbeda pada STA 14 pada matriksnya disusun oleh
material pasir. Pada kandungan semennya tergolong Non karbonatan, hal ini
disimpulkan dari respond batuan saat uji HCl tidak mengeluarkan buih/busa.
Litologi breksi ini ditemukan di sungai STA 14 pada daerah Wringin Putih dan
sungai STA 18 hingga STA 20 pada daerah Wonoyoso.
4.1.3 Satuan Batupasir Teralterasi
Satuan batuan alterasi (Foto 1) pada daerah penelitian terdapat pada STA 1
yang mana merupakan kawasan mata air Kaliulo Desa Wonorejo yang
diinterpretasikan merupakan bagian dari susunan formasi kaligetas. Pada satuan ini
terdapat hostrock berupa batupasir masif berwarna putih pucat dengan ukuran butir
1/8 – ¼ mm. Pada litologi teralterasi tersebut didapatkan sejumlah urat yang
disusun oleh mineral Kalsit yang mana urat kalsit ini tergolong jenis urat crustiform
dan juga terdapat cavity filling yang mana diinterpretasikan merupakan hasil
endapan epitermal sulfida rendah. Selain itu juga didapatkan litologi andesit
teralterasi disingkapan yang sama dengan batupasir tersebut. Disekitar lokasi

757
PROCEEDING, SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-11
PERSPEKTIF ILMU KEBUMIAN DALAM KAJIAN BENCANA GEOLOGI DI INDONESIA
5 – 6 SEPTEMBER 2018, GRHA SABHA PRAMANA

singkapan juga dapat ditemukan suatu manifestasi berupa mata air panas yang
dikenal dengan mata air Kaliulo Desa Wonorejo.
4.1.4 Satuan Aluvium
Satuan Aluvium pada daerah penelitian tersebar ditunjukkan oleh STA 15 –
STA 17 dan STA 21 – STA 23 yang tersebar didaerah Pringapus, Pringsari, dan
Wonoyoso yang hampir keseluruhan merupakan daerah pemukiman, jalan lalu
lintas, dan lahan persawahan warga setempat. Satuan aluvium ini diinterpretasikan
merupakan hasil endapan erosional dari produk erupsi ungaran. Hal ini didukung
dengan ditemukan lepasan bongkah andesit yang mana diinterpretasinya
merupakan hasil erosional dari produk Ungaran Muda.

4.2 Analisis Petrografi


Hasil Deskripsi petrografi preparat dengan kode MJA yang berasal dari formasi
kalibeng ditunjukkan pada tabel 5. Berdasarkan hasil pengamatan batuan tersebut
memiliki kenampakan berupa ukuran butir yang berkisar dari <1/256 mm. Karena ukuran
butirnya yang terlalu kecil maka tekstur umum dari batuan tersebut tidak dapat terlihat
dengan pengamatan secara petrografis. Batuan tersebut tersusun atas matriks 75%,
Plagioklas 15 %, dan semen 10%. Plagioklas yang terdapat pada batuan tersebut telah
mengalami ubahan menjadi mineral Serisit. Semen pada preparat tersebut memiliki
kenampakan berupa belahan 3 arah sehingga dapat diinterpretasikan bahwa semen yang
mengisi batuan tersebut adalah mineral kalsit. Berdasarkan komposisi penyusunnya
batuan tersebut digolongkan sebagai Mudrock (pettijohn, 1975).
Pengamatan yang dilakukan secara petrografis pada preparat selanjutnya ialah pada
kode JS yang berasal dari formasi kalibeng (Tabel 5) memiliki kenampakan berupa
ukuran butir yang berkisar dari 1/8 - 1/4 mm. Memiliki bentuk butir yang cenderung
membulat atau subrounded, namun memiliki kebundaran yang cenderung rendah atau
low sphericity. Dimana antar butir penyusunnya memiliki ukuran yang relatif berbeda
atau memiliki sortasi yang cenderung poorly sorted. Kontak antar butirnya cenderung
bersinggungan diujung atau dikenal dengan kontak butir yang point. Batuan tersebut
tersusun atas 65% Fragmen, 20% matriks dan 15% semen. Fragmen tersusun atas 30%
mineral plagioklas, 15% mineral kuarsa dan 20% mineral opaq. Mineral plagioklas yang
terdapat pada preparat sudah mengalami ubahan menjadi mineral serisit sebesar 15%.
Mineral kuarsa yang terdapat pada preparat tersebut memiliki kenampakan polikristalin.
Semen pada preparat tersebut memiliki kenampakan berupa belahan 3 arah sehingga
dapat diinterpretasikan bahwa semen yang mengisi batuan tersebut adalah mineral kalsit.
Berdasarkan komposisi penyusunnya batuan tersebut digolongkan sebagai Feldspatic
Wacke (Pettijohn, 1975).

4.3 Analisis Geokimia


Berdasarkan hasil grafik XRD dengan tabel XRD Lines oleh Yuen Chen pada sampel
MJA (Gambar 4), diperoleh 15 peak data yang dapat diketahui penaaman mineralnya
berdasarkan nilai 2Theta dan nilai dValues. Penamaan mineral pada ke 15 peak dari P1-
P15 yang secara berurutan ialah Boemmite, Sulfur Ortorombic, Silimanite, Smektit,

758
PROCEEDING, SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-11
PERSPEKTIF ILMU KEBUMIAN DALAM KAJIAN BENCANA GEOLOGI DI INDONESIA
5 – 6 SEPTEMBER 2018, GRHA SABHA PRAMANA

Wollastonite, Halite, Rutile, Alunite, Chamosite, Margasite, Alunite, Boemmite, Chlorite,


Maghemite, Siderite. Dari nilai intensitas pada Tabel 5. dapat dideterminasikan mineral
yang dominan pada sampel MJA ialah mineral Smektit dengan nilai persen berdasarkan
hasil normalisasi adalah 55, 16%.
Pada sampel JS diperoleh 22 peak data yang dapat diketahui penaaman mineralnya
berdasarkan nilai 2Theta dan nilai d-spacing Values berdasarkan hasil grafik XRD
dengan tabel XRD Lines oleh Pei Yuan Chen (1977) (Gambar 5). Penamaan mineral
pada ke 22 peak dari P1-P22 yang secara berurutan ialah halloysite, chlorite, dicktite,
stillbite, sulfur, halloysite, mordenite, stilbite, smektit, chlorite, amesite, manganite,
vaterite, marganite, argarite, talc, diaspor, corundum, quartz, lime, siderite, dan siderite.
Dari nilai intensitas pada Tabel 5. dapat dideterminasikan mineral yang dominan pada
sampel JS ialah mineral Smektit dengan nilai persen berdasarkan hasil normalisasi adalah
48,14%.
Dapat dideterminasikan berdasarkan hasil uji XRD dari kedua sampel batuan pada
sampel MJA dan JS terdapat mineral lempung yang relatif dominan berupa smektit.
Mineral Smektit adalah sekelompok mineral silikat berlapis berukuran lempung yang
terbentuk secara alami. Mineral ini termasuk dalam mineral sekunder dimana dapat
terbentuk dari proses alterasi hidrotermal. Golongan mineral ini merupakan golongan
yang sangat khas, yaitu akan mengembang pada keadaan basah dan mengerut pada saat
kehilangan air. Hal ini disebabkan sifat kisi kristal yang dapat mengembang karena kation
dan molekul air mudah masuk pada rongga antar unit kristal mineral. Anggota kelompok
smektit antara lain monmorilonit, saponit, berdelit, nontronit, hektorit, sankonit, farasikit,
lembugit, volkhomskoit, pirelit, dan kardenit. Anggota penting dari kelompok smektit
adalah mineral montmorilonite dan hektorit dengan komposisinya terdiri dari mineral
monmorilonit, debu kuarsa dan kalsit.

4.4 Zona Alterasi


Berdasarkan hasil pengamatan mikroskopis dimana dilakukan pendeskripsian secara
petrografi pada jenis batuan sedimen teralterasi yaitu batupasir dengan kode sayataan JS
dan batulempung dengan kode sayatan MJA. Sayatan JS dan MJA diambil dari daerah
penelitian yang berlokasi dekat dengan gunung genting dengan stasiun pengamatannya
ialah STA 1. Pengamatan mikroskopis pada sampel batuan teralterasi dilakukan untuk
mengetahui kelimpahan mineral sekunder yang merupakan produk alterasi, tingkat alterasi,
intensitas alterasi, dan karakteristik fluida. Dari hasil pengamatan pada sayatan JS,
ditemukan mineral-mineral sekunder yaitu, kuarsa 5% (vuggy), aktinolit 5%
(replacement), serisit 5% (replacement), clay mineral 15% (replacement), dan kalsit 15%
(vein). Sedangkan pengamatan pada sayatan MJA, ditemukan mineral-mineral sekunder
berupa clay mineral 40%, serisit 20% dan kalsit 15%. Pada pengamatan ini mineral yang
mendominasi pada batuan ini ialah clay mineral. Berdasarkan adanya kelimpahan kuarsa
sekunder, klorit, dan clay mineral, maka diinterpretasikan pada lokasi daerah penelitian
termasuk ke dalam jenis zona alterasi argillic (Lowell and Guilbert 1970). Fluida
hidrotermal yang berada pada lokasi penelitian diinterpretasikan melewati celah-celah
batuan baik melalui porositas primer maupun porositas sekundernya seperti fracture pada

759
PROCEEDING, SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-11
PERSPEKTIF ILMU KEBUMIAN DALAM KAJIAN BENCANA GEOLOGI DI INDONESIA
5 – 6 SEPTEMBER 2018, GRHA SABHA PRAMANA

tubuh batuan yang kemungkinan diakibatkan oleh tektonik ataupun tekananan yang tinggi
di bawah permukaan. Fluida hidrotermal ini yang kemudian akan menggantikan mineral
primer yang sudah ada dan juga mengisi fracture-fracture pada tubuh batuan membentuk
veints. Diinterpretasikan batupasir ini memiliki kandungan plagioklas primer yang
kemudian akibat pengaruh alterasi hidrotermal terubahkan menjadi serisit dan terbentuk
pula mineral kuarsa sekunder, kalsit, serta clay mineral. Berdasarkan kelimpahan
mineralnya diinterpretasikan dulunya batuan ini mengalami kontak dengan fluida
hidrotermal pada suhu 50 hingga 2700C dimana menyebabkan terjadinya perubahan
mineral pada tubuh batuan sekitar 45% dari tubuh batuan total (sayatan JS) dan 75% dari
tubuh batuan total (MJA) dimana termasuk ke dalam kategori intensitas sedang.
Kemudian berdasarkan komposisi mineral juga dapat diinterpretasikan fluida hidrotermal
yang mengubah mineral primer pada tubuh batuan memiliki sifat salinitas rendah hingga
menengah, pH netral, dan terbentuk pada lingkungan mesotermal (Morrison, 1997).
Berdasarkan karakteristik fluida nya diinterpretasikan tipe fluida hidrotermal pada daerah
penelitian tergolong pada tipe fluida Cl-netral (Morrison, 1997). Berdasarkan himpunan
mineral sekunder yang teridentifikasi, diinterpretasikan fluida tersebut terbentuk pada pH
netral dan Temperatur yang cukup tinggi (Corbett and Leach, 1996).

4.5 Potensi Mineral Industri


Analisis XRD dilakukan dengan tahapan yang dimulai dari pemisahan fraksi lempung
yang diperoleh dari agregat tanah lempung. Pemisahan dilakukan dengan metode
sentrifugasi dengan meletakkan fraksi lempung pada kaca preparat dan
menganginanginkannya di udara terbuka (air-dried) sebelum ditembak dengan XRD.
Sampel ditembak kembali setelah diperlakukan dengan etilen glikol (ethylene
glycolated). Terakhir, sampel ditembak kembali setelah dipanaskan hingga suhu 550°C.
Perlakuan tambahan tersebut bertujuan untuk mengidentifikasi spesies mineral
lempung tertentu yang tidak muncul pada perlakuan air-dried. Dimana dua sampel yang
diteliti menggunakan metode XRD ialah sampel MJA dan sampel JS. Provenance atau
batuan asal pada sampel yang diteliti telah dideterminasi pada subbab karakteristik litologi
sebelumnya.
Hasil analisis XRD didapatkan bahwa sampel MJA yang merupakan batulempung
didominasi oleh kandungan mineral Smektit sebesar 55.16 % (Tabel 5). Sedangkan untuk
mineral lainnya yang didapatkan dari hasil analisis XRD menunjukkan persentase sekitar
0 – 7 %. Untuk sampel JS yang merupakan batupasir didominasi oleh kandungan mineral
smektite sebesar 48.14% (Tabel 5) berdasarkan hasil analisis XRD. Hasil analisis
petrografi menunjukan didominasi oleh mineral serisit sebesar 15%. Pada sampel JS juga
ditemukan beberapa mineral lainnya seperti kuarsa, klorit dll yang hanya terdapat sekitar
0-6%. Sehingga didapatkan kedua sampel menunjukkan keterdapatan mineral smektite
dan serisite yang melimpah. Hal tersebut juga berkorelasi dimana kedua sampel
didapatkan di STA yang sama yaitu STA 1. Walaupun memiliki sumber yang berbeda
namun hanya mengalami satu proses ubahan, sehingga di dapatkan mineral ubahan yang
sama pula di kedua sampel.

760
PROCEEDING, SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-11
PERSPEKTIF ILMU KEBUMIAN DALAM KAJIAN BENCANA GEOLOGI DI INDONESIA
5 – 6 SEPTEMBER 2018, GRHA SABHA PRAMANA

4.6 Implikasi Mineral Alterasi Sebagai Pemanfaatan Mineral Industri


 Pada bidang industri yang terus berkembang dan membutuhkan pasokan mineral
industri dalam jumlah yang tinggi. Mineral industri yang berpotensi tinggi sehingga
menjadikan penelitian pada Daerah Pringapus, Semarang dapat memberikan suatu
informasi terkait potensi berdasarkan ketersediaan, dan kualitasnya yang dapat
diketahui oleh karakteristik mineral-mineral melalui analisis Petrografi dan XRD.
Pada analisis data petrografi terdapat mineral sekunder yaitu kuarsa sekunder, aktinolit,
serisit, dan mineral lempung yang sangat dominan. Pada analisis XRD terdapat
mineral halloysite, smektit, dan serisit.
 Sebagai bahan industri kertas. Mineral lempung yang dapat digunakan dalam industri
kertas adalah Smektit. Smektit bisa digunakan sebagai bahan pelapis dan pengisi, bila
memiliki tingkat kecerahan yang tinggi dan tingkat abrasi yang rendah (Ciulli, 1996).
 Sebagai bahan industri keramik dan grabah. Smektit berdasarkan bahan baku utama
dalam industri keramik, berdasarkan analisis kimia, analisis besar butirnya, dan sifat
fisiknya syarat umum mutu smektit untuk semua kelas adalah harus mengandung
mineral smektit. Sebagai bahan baku gerabah Jenis mineral lempung yang paling
umum digunakan sebagai bahan baku gerabah adalah Smektit. Lempung tersebut
harus cukup plastis dan mudah dibentuk, mudah dibengkokkan serta tidak mudah
patah (Smoot, 1961).
 Sebagai bahan industri kosmetik, Smektit digunakan sebagai bahan krim kosmetik,
pelindung kulit, bedak dan emulsi. Serisit digunakan sebagai bahan krim kosmetik,
bedak dan emulsi (Carretero, Pozo, 2009). Pemanfaatan lempung dalam industri
farmasi kosmetik harus memenuhi spesifikasi kandungan kimia tertentu.
 Sebagai bahan industri farmasi membutuhkan banyak bahan yang berasal dari mineral
lempung, diantaranya Kaolinit, Smektit, Smektit digunakan sebagai bahan antasida
pelindung lambung, dan anti diare (Carretero, Pozo, 2009).

5. Kesimpulan
Hasil analisis petrografi yang didapatkan litologi daerah penelitian adalah Mudrock dan
Feldspatic wacke (Pettijohn, 1975). Hasil analisis laboratorium XRD pada sampel MJA
terdapat 15 peak yang didominasi oleh mineral Smektite sebesar 55.14%. Pada sampel JS
terdapat 22 peak yang didominasi oleh mineral Smektite sebesar 44.16%. Hasil pemetaan
geologi dilapangan menunjukkan keterdapatan mineral lempung yang dominan sehingga
dapat disimpulkan bahwa daerah penelitian digolongkan ke dalam zona Argilik. Berdasarkan
kandungan mineral yang didapat, mineral tersebut berpotensi sebagai bahan baku di bidang
industri yaitu kosmetik, kertas, farmasi, keramik dan gerabah.

761
PROCEEDING, SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-11
PERSPEKTIF ILMU KEBUMIAN DALAM KAJIAN BENCANA GEOLOGI DI INDONESIA
5 – 6 SEPTEMBER 2018, GRHA SABHA PRAMANA

Acknowledgements
Seluruh penulis mengucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada Departemen Teknik
Geologi, Universitas Diponegoro yang telah mewadahi dan menyalurkan seluruh ilmu
sehingga penelitian ini dapat dilakukan, terutama kepada Bapak Najib., S.T., M.Eng.,
Ph.D. selaku ketua Departeman dan pak Tri Winarno., S.T., M.Eng. yang telah berkenan
menjadi mentor dalam penelitian. Penulis juga berterimakasih pada Laboratorium
Tekmira, Bandung sebagai penyedia jasa analisis XRD dalam penelitian ini.
Daftar Pustaka
Carretero, M.I., Pozo, M. (2009). Clay and non-clay minerals in the pharmaceutical and
cosmetic industry part II active ingredients. Applied Clay Science, 47, p 171-181.
Chen, Yuan Pei. (1977). Table of key lines in x-ray powder diffraction patterns of minerals in
clays and associated rocks. Dept. of natural resources, Geological Survey Occasional,
Paper 21. Bloomington. Indiana.
Ciulli, P.A. (1996). Industrial Minerals and Their Uses, A Handbook & Formulary. New
Jersey. Noyes Publications.
Hastuti, I. (2009). Perkembangan Usaha Industri Kerajinan Gerabah, Faktor yang
Mempengaruhi dan Strategi Pemberdayaan pada Masyarakat di Desa Melikan
Kecamatan Wedi Kabupaten Klaten. Thesis. Program Pascasarjana Universitas
Sebelas Maret.Surakarta.
JD Lowell, JM Guilbert. (1970). Lateral and vertical alteration-mineralization zoning in
porphyry ore deposits.
Lopez-Galindo, A., Viseras, C., Cerezo, P. (2006). Compositional, technical and safety
specifications of clays to be used as pharmaceutical and cosmetic products. Applied
Science, 36 p. 51-6.
Pettijohn. (1975). Geochemical classification of terrigenous sands and shales. Sedimentary
Rocks, 3rd Edn. 628pp.
Smoot, Thomas W. (1961). Clay Minerals in the ceramic industries. Publication. Clays and
Clay Minerals, vol. 10, issue 1 309-317pp.
Wahyudi. (2005). Geothermal investigation and its application recommendation in the
ungaran geothermal prospect area, central java. FMIPA-UGM. Yogyakarta.

762
PROCEEDING, SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-11
PERSPEKTIF ILMU KEBUMIAN DALAM KAJIAN BENCANA GEOLOGI DI INDONESIA
5 – 6 SEPTEMBER 2018, GRHA SABHA PRAMANA

Tabel 1. Komposisi dan Sifat Optik Mineral Primer pada Kode Sampel JS
Sifat Optik Opaq (25%) Plagioklas (20%)
Warna Hitam Colorless
Relief Rendah Sedang
Gelapan - -
Kembaran - Carlsbad
Transparansi Opaque translucent

Tabel 2. Komposisi dan Sifat Optik Mineral Sekunder pada Kode Sampel JS
Mineral Kuarsa Aktinolit Serisit (5%) Mineral Kalsit
Sekunder Sekunder (5%) Lempung (15%) (15%)
(5%)
Fitur Sebagai Vein Sebagai Sebagai Sebagai Sebagai
Alterasi Replacement Replacement Replacement Vein
Warna Colourless Colourless Abu-abu Abu-abu Putih
kecoklatan kehitaman
Belahan - Ada - - 3 Arah
Gelapan Bergelombang - - - Ada
Kembaran - - - - -
Transparansi Transparant Translucens Translucens Translucens Translucens
Relief Rendah Rendah Rendah Rendah Rendah
Pleokroisme - Ada Ada Lemah Ada

Tabel 3. Komposisi dan Sifat Optik Mineral Primer pada Kode Sampel MJA
Mineral Opaq (25%)
Primer
Warna Hitam
Relief Rendah
Gelapan -
Kembaran -
Transparansi Opaque

Tabel 4. Komposisi dan Sifat Optik Mineral Sekunder pada Kode Sampel JS
Mineral Sekunder Mineral Lempung (40%) Kalsit (15%%) Serisit (20%)
Fitur Alterasi Sebagai Replacement Sebagai Vein Sebagai Replacement
Warna Abu-abu kehitaman Putih Abu-abu Kecoklatan
Belahan - 3 Arah -
Gelapan - Ada -
Kembaran - - -
Transparansi Translucens Translucens Translucens
Relief Rendah Rendah Rendah
Pleokroisme Lemah Ada Ada

763
PROCEEDING, SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-11
PERSPEKTIF ILMU KEBUMIAN DALAM KAJIAN BENCANA GEOLOGI DI INDONESIA
5 – 6 SEPTEMBER 2018, GRHA SABHA PRAMANA

Tabel 5. Tabel Analisis Petrografi


Kode Sampel MJA JS
Sortasi Poorly Sorted -
Kemas Tertutup -
Ukuran Butir (mm) 1/8 – 1/4 < 1/256
Bentuk Butir Subrounded, Low Sphericity -
Kontak Antar Butir Point -
Kuarsa Sekunder (%) 15 -
Plagioklas (%) 30 15
Mineral Opaq (%) 20 -
Matriks (%) 20 75
Semen (%) 15 10
Nama Batuan Feldsphatic Wacke (Pettijohn,1975) Mudrock (Pettijohn,1975)

Gambar 1 Blok diagram struktur volkano-tektonik Ungaran Tua (akhir Pleistosen). (Bemmelen,1943
vide Bemmelen, 1970 dengan perubahan)

PETA GEOLOGI

764
PROCEEDING, SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-11
PERSPEKTIF ILMU KEBUMIAN DALAM KAJIAN BENCANA GEOLOGI DI INDONESIA
5 – 6 SEPTEMBER 2018, GRHA SABHA PRAMANA

Gambar 2 Peta geologi daerah penelitian

PETA LINTASAN

Gambar 3 Peta lintasan daerah penelitian

a. b.

c. d.

765
PROCEEDING, SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-11
PERSPEKTIF ILMU KEBUMIAN DALAM KAJIAN BENCANA GEOLOGI DI INDONESIA
5 – 6 SEPTEMBER 2018, GRHA SABHA PRAMANA

Foto 1. Singkapan di lokasi Penelitian (a. STA batupasir teralteasi (JS); b. Tampak dekat STA
batupasir teralterasi (JS); c. STA batulempung teralterasi (MJA); d. Tampak dekat STA
batulempung teralterasi (MJA)

Gambar 4 Hasil grafik XRD dan interpretasinya dengan tabel XRD Lines oleh Pei Yuan Chen (1977)
Pada Sampel MJA

Tabel 6. Nilai 2(θ)Theta dan D-spacing Values Hasil XRD pada Sampel MJA
Peak 2(θ)Theta D-spacing Mineral Intensitas Intensitas
Number (deg) Values (A) dalam %
1 14.5600 6.07883 Boemmite 6 0.32
2 23.1235 3.84335 Sulfur
69 3.64
Orthorombic
3 26.5400 3.35584 Silimanite 17 0.90
4 29.4849 3.02702 Smektit 1047 55.16
5 29.8036 2.99537 Wollastonite 32 1.69
6 31.5033 2.83753 Halite 22 1.16
7 36.0476 2.48956 Rutile 75 3.95
8 39.5007 2.27952 Alunite 120 6.32
9 43.2616 2.08966 Chamosite 115 6.06
10 47.2096 1.92370 Margasite 34 1.79
11 47.6203 1.90807 Alunite 135 7.11
12 48.6121 1.87143 Boemmite 116 6.11
13 57.5118 1.60119 Chlorite 43 2.27
14 64.7996 1.43760 Maghemite 36 1.90
15 65.8000 1.41814 Siderite 31 1.63
TOTAL 1898 100

766
PROCEEDING, SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-11
PERSPEKTIF ILMU KEBUMIAN DALAM KAJIAN BENCANA GEOLOGI DI INDONESIA
5 – 6 SEPTEMBER 2018, GRHA SABHA PRAMANA

Gambar 5. Hasil Grafik XRD dan Interpretasinya dengan Tabel XRD Lines oleh Pei Yuan Chen
(1977) Pada Sampel JS

Tabel 7. Nilai 2(θ)Theta dan D-spacing Values Hasil XRD pada Sampel JS
Peak 2(θ)Theta D-spacing Mineral Intensitas Intensitas dalam
Number (deg) values (A) Persen (%)
1 8.7800 10.06336 Halloysite 6 0.31
2 14.3980 6.14686 Klorite 6 0.31
3 20.8833 4.25036 Dicktite 13 0.68
4 21.900 4.05523 Stilbite 12 0.63
5 23.1808 3.83398 Sulfur 62 3.24
6 26.7093 3.33495 Halloyaste 47 2.46
7 27.7749 3.20938 Mordenite 29 1.52
8 29.2843 3.04730 Stilbite 52 2.72
9 29.5452 3.02098 Smektit 920 48.14
10 31.4400 2.84310 Klorite 12 0.63
11 36.1159 2.48501 Amesite 86 4.50
12 39.5539 2.27657 Manganite 129 6.75
13 43.3159 2.08717 Vaterite 100 5.23
14 47.3035 1.92010 Marganite 43 2.25
15 47.6810 1.90578 Marganite 124 6.49
16 48.6774 1.86907 Talc 121 6.33
17 56.6697 1.62297 Diaspor 11 0.58
18 57.5773 1.59953 Corundum 50 2.62
767
PROCEEDING, SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-11
PERSPEKTIF ILMU KEBUMIAN DALAM KAJIAN BENCANA GEOLOGI DI INDONESIA
5 – 6 SEPTEMBER 2018, GRHA SABHA PRAMANA

19 60.8406 1.52131 Kuarsa 36 1.88


20 64.7800 1.43799 Lime 20 1.05
21 65.8449 1.41729 Siderite 20 1.05
22 73.0448 1.29432 Siderite 12 0.63
TOTAL 1911 100

XPL (MP1) PPL (MP1) Keterangan


Keterangan

Aktinolit (Sebagai Opaq


Replacement)
Kalsit (Sebagai
Vein)
Plagioklas

Kuarsa Sekunder
(Sebagai Vuggy)

Opaq

Serisit (Sebagai Serisit (Sebagai


Replacement) Replacement)

XPL (MP2) Keterangan PPL (MP2)


Aktinolit (Sebagai
Replacement) Serisit (Sebagai
Kuarsa Sekunder Replacement)
(Sebagai Vuggy) Kalsit (Sebagai
Vein)

Plagioklas Opaq

Serisit (Sebagai
Replacement)

Foto 2. Sayatan Petrografi Sampel JS.

768
PROCEEDING, SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-11
PERSPEKTIF ILMU KEBUMIAN DALAM KAJIAN BENCANA GEOLOGI DI INDONESIA
5 – 6 SEPTEMBER 2018, GRHA SABHA PRAMANA

XPL (MP1) PPL (MP1) Keterangan


Keterangan

Mineral
Opaq Kalsit (Sebagai Vein)

Mineral
Opaq

Mineral Lempung
Mineral Lempung (Sebagai Replacement)
(Sebagai Replacement)

XPL (MP2) Keterangan


PPL (MP2) Keterangan

Mineral Lempung
Mineral Lempung (Sebagai Replacement)
(Sebagai Replacement)

Mineral
Opaq

Kalsit (Sebagai Vein)


Serisit (Sebagai Mineral
Replacement) Serisit (Sebagai Opaq
Replacement)

Foto 3. Sayatan Petrografi Sampel MJA.

769
PROCEEDING, SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-11
PERSPEKTIF ILMU KEBUMIAN DALAM KAJIAN BENCANA GEOLOGI DI INDONESIA
5 – 6 SEPTEMBER 2018, GRHA SABHA PRAMANA

KARAKTERISTIK GRANIT PEMBAWA TIMAH DI PULAU BANGKA, STUDI KASUS:


TAMBANG TERBUKA PEMALI, KECAMATAN PEMALI, KABUPATEN BANGKA,
PROVINSI BANGKA BELITUNG
Kukuh Gema Bramastya1*
Lucas Donny Setijadji2
Angga Widya Yogatama3
Reza Aviandono4
1*
Departemen Teknik Geologi, Fakultas Teknik, Universitas Gadjah Mada, Jln. Grafika No. 2 Bulaksumur
Yogyakarta
2
Departemen Teknik Geologi, Fakultas Teknik, Universitas Gadjah Mada, Jln. Grafika No. 2 Bulaksumur
Yogyakarta
3
PT Timah Tbk, Jln. Jenderal Sudirman 51 Pangkal Pinang, Bangka
4
PT Timah Tbk, Jln. Jenderal Sudirman 51 Pangkal Pinang, Bangka
*Corresponding author: kukuh.bramastya@gmail.com

ABSTRAK
Indonesia merupakan negara penghasil timah terbesar nomor 2 di dunia pada tahun 2017 (ITRI, 2018).
Endapan timah di Indonesia dijumpai pada sabuk timah Asia Tenggara, dimana endapan timah di
Indonesia berasosiasi dengan endapan timah primer dan sekunder. Salah satu endapan timah primer yang
ada di Indonesia adalah endapan timah Pemali di Pulau Bangka. Secara geologi, litologi yang dijumpai di
tambang Pemali berupa satuan metabatulempung, granit bertekstur kasar, granit bertekstur sedang, granit
bertekstur halus, dan fault gouge. Mineralisasi timah di tambang Pemali dijumpai pada satuan granit
bertekstur sedang. Granit bertekstur sedang memiliki karakteristik ukuran kristal 1-4 mm, bertekstur
porfiritik dan intergrowth, dan mengalami penjajaran mineral dengan arah NNW-SSE. Dari hasil analisis
petrografi, granit bertekstur sedang tersusun oleh mineral primer berupa kuarsa sekitar 30%, ortoklas 13%,
dan biotit <5%, sedangkan komposisi sekundernya tersusun oleh serisit 12%, kuarsa sekunder 11%,
mineral lempung 10%, mineral oksida 8%, muskovit 2%, kasiterit 2%, topas 1%, serta tersusun oleh albit,
turmalin, dan epidot masing-masing <1%. Granit bertekstur sedang yang termineralisasi timah dijumpai
dalam bentuk dike yang terkontrol oleh sesar geser dekstral NNW-SSE dan mengalami alterasi
hidrotermal greisen (kuarsa + mika ± kasiterit ± topas ± turmalin), albitisasi post-greisen (albit + kuarsa +
mika ± kasiterit), argilik post-greisen (kaolinit + kuarsa + mika ± kasiterit). Dari hasil analisis XRF
Portabel, granit bertekstur sedang yang termineralisasi timah memiliki kadar Sn terendah 13 ppm dan
tertinggi 7418 ppm. Kasiterit dijumpai terdiseminasi pada granit bertekstur sedang dan pada urat kasiterit
serta urat turmalin + mika.
Kata Kunci: tambang pemali, granit, kasiterit, petrografi, XRD, mineragrafi, XRF portabel

1. Pendahuluan
Indonesia merupakan salah satu negara penyumbang timah dunia, dimana dari hasil
laporan yang dikeluarkan oleh ITRI (International Tin Association) di awal tahun 2018
menempatkan Indonesia yang diwakili oleh PT Timah Tbk sebagai perusahaan terbesar ke dua
di dunia sebagai penyumbang timah dunia dengan produksi total mencapai 30.300 ton di tahun
2017. Timah di Indonesia lebih banyak tersebar di kepulauan Sumatra dan sebagian di
Kalimantan dan berasosiasi dengan batuan granitoid dan terkait dengan keberadaan zona kolisi
Indonesia yang termasuk ke dalam kawasan Sabuk Timah Asia Tenggara (Crow dan van
Leeuwen, 2005). Endapan timah di Indonesia berasosiasi dengan endapan timah primer dan
sekunder. Salah satu endapan timah primer yang sudah beroperasi dan diekspoitasi sampai
sekarang adalah tambang timah Pemali (Taylor, 1979). Tambang Pemali sendiri merupakan

770
PROCEEDING, SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-11
PERSPEKTIF ILMU KEBUMIAN DALAM KAJIAN BENCANA GEOLOGI DI INDONESIA
5 – 6 SEPTEMBER 2018, GRHA SABHA PRAMANA

salah satu tambang timah darat (primer) terbesar di Pulau Bangka dengan deposit yang cukup
besar dan sudah digarap oleh PT Timah sejak tahun 1980 an.

2. Metode Penelitian
Metode penelitian meliputi pemetaan geologi dan alterasi detail skala 1:1000 di tambang
terbuka Pemali. Selain itu dilakukan analisis laboratorum yang meliputi analisis petrografi,
XRD, mineragrafi, dan XRF Portabel.
2.1. Analisis Petrografi
Analisis petrografi dilakukan untuk mengetahui tekstur batuan, serta kelimpahan
mineral yang nantinya bermanfaat dalam penentuan nama batuan. Selain itu juga dapat
mengetahui tekstur urat / veinlet.
2.2. Analisis XRD (X-Ray Diffraction)
Analisis XRD dilakukan mengetahui suatu mineral/material yang berupa kristal
maupun nonkristal. Analisis XRD yang dilakukan berupa analisis XRD bulk yang
digunakan untuk menganalisis mineral penyusun batuan.
2.3. Analisis Mineragrafi
Analisis ini dilakukan untuk mengetahui jenis mineral bijih pada batuan yang tidak
terlihat dari mikroskop polarisasi dengan membuat sayatan poles. Tujuan dari metode ini
untuk mengetahui tekstur, jenis, dan kelimpahan mineral bijih pada batuan. Geologi
UGM.
2.4. Analisis XRF (X-Ray Fluorescence Spectroscopy) Portabel
Analisis ini digunaka untuk mengetahui kadar base metal dan unsur lainnya yang
terkandung pada batuan. Pada paper ini analisis XRF Portabel lebih diutamakan untuk
mengetahui kadar Sn pada batuan.

3. Data
Di tambang terbuka Pemali, terdapat 3 jenis granit yang memiliki kenampakan lapangan,
karakteristik (ukuran kristal, tekstur, dan komposisi batuan), dan teralterasi hidrotermal yang
berbeda satu dengan yang lain. 3 jenis granit tersebut adalah granit bertekstur kasar, granit
bertekstur sedang, dan granit bertekstur halus. Perbandingan karaktristik dan komposisi hasil
analisis petrografi dan XRD 3 jenis granit di tambang terbuka Pemali dapat dilihat pada Tabel
1.
3.1. Granit bertekstur kasar
Granit bertekstur kasar memiliki kenampakan yang khas, yaitu hadirnya megakristal
K-feldspar berukuran 0,1-3 cm dan kuarsa berukuran 1-5,5 mm (Gambar 3.A-B), tingkat
kristalinitas holokristalin, bentuk dan hubungan antar kristal subhedral, tekstur umum
inekuigranular, tekstur khusur fanero porfiritik, dijumpai tekstur perthit pada mineral K-
feldspar. Komposisi fenokris kuarsa primer 36%, Feldspar (perthit) 31%, ortoklas 5%,
mineral opak 3%, dan plagioklas (oligoklas) 1%. Massa dasar terdiri dari serisit 15%,
mineral lempung 4%, kuarsa sekunder 4%, serta muskovit 1%.
Granit bertekstur kasar teralterasi albitisasi pre-greisen dengan mineral penciri
alterasinya berupa perthit + serisit + kuarsa ± topas (Gambar 4.A). Dari hasil analisis
mineragrafi, hanya mineral pirit dan hematit yang hadir pada alterasi albitisasi pre-
greisen. Veinlet kaolin dijumpai pada alterasi ini. Hasil analisis XRF portabel

771
PROCEEDING, SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-11
PERSPEKTIF ILMU KEBUMIAN DALAM KAJIAN BENCANA GEOLOGI DI INDONESIA
5 – 6 SEPTEMBER 2018, GRHA SABHA PRAMANA

menunjukkan granit teralterasi albitisasi pre-greisen memiliki kadar Sn berkisar 0-68


ppm.
3.2. Granit bertekstur sedang
Granit bertekstur sedang dijumpai dalam bentuk dike dengan diameter sekitar 100
meter, berorientasi utara-selatan, dan terkontrol sesar geser dekstral NNW-SSE. Granit
bertekstur sedang memiliki warna abu-abu kehijau-hijauan (teralterasi) kristal fenokris 1-
4 mm dan massa dasar <1 mm, tingkat kristalinitas holokristalin, bentuk dan hubungan
antar kristal subhedral, tekstur umum inekuigranular, tekstur khusus porfiritik dan
intergrowth. Komposisi mineral primernya berupa kuarsa sekitar 30%, ortoklas 13%, dan
biotit <5%, sedangkan komposisi sekundernya tersusun oleh serisit 12%, kuarsa
sekunder 11%, mineral lempung 10%, mineral oksida 8%, muskovit 2%, kasiterit 2%,
topas 1%, dan tersusun oleh albit, turmalin, dan epidot masing-masing <1% (Gambar
3.C-D). Granit bertekstur sedang mengalami alterasi 3 jenis alterasi yang berbeda, yaitu
teralterasi greisen, albitisasi post-greisen, dan argilik post-greisen.
3.2.1. Alterasi greisen
Alterasi greisen dicirikan dengan kehadiran mineral penciri alterasi berupa kuarsa
+ mika + kasiterit ± turmalin ± topas (Gambar 4.B). Kasiterit, galena, sfalerit,
kalkopirit, pirit, goethit, hematit, dan kovelit merupakan mineral bijih yang hadir pada
alterasi greisen. Granit bertekstur sedang teralterasi greisen memiliki kadar Sn terendah
25 ppm dan kadar Sn tertinggi 699 ppm. Urat kasiterit, turmalin + mika, kuarsa, dan
urat mineral oksida hadir pada zona alterasi greisen.
3.2.2. Alterasi albitisasi post-greisen
Alterasi albitisasi post-greisen sedang dicirikan dengan kehadiran mineral penciri
alterasi berupa albit + kuarsa + mika ± kasiterit (Gambar 4.C). Mineral bijih pada
alterasi albitisasi post-greisen cenderung tidak terlalu banyak jika dibandingkan dengan
alterasi greisen. Dari hasil analisis mineragrafi, mineral bijih yang hadir berupa sfalerit,
galena, pirit, dan kasiterit. Granit bertekstur sedang teralterasi albitisasi post-greisen
memiliki kadar Sn sekitar 920 ppm.
3.2.3. Alterasi argilik post-greisen
Alterasi argilik post-greisen dicirikan dengan kehadiran mineral penciri alterasi
berupa kaolinit + kuarsa + mika ± kasiterit (Gambar 4.D) Alterasi ini dijumpai pada
area yang sempit di sekitar granit bertekstur sedang teralterasi greisen. Granit
bertekstur sedang teralterasi argilik post-greisen memiliki kadar Sn terendah 102 ppm
dan kadar tertinggi 7416 ppm. Mineral logam yang hadir berupa galena, kasiterit,
sfalerit, pirit, kalkopirit, hematit, bismuthinit, dan kovelit.
3.3. Granit bertekstur halus
Granit bertekstur halus dijumpai dalam bentuk dike yang mengintrusi
metabatulempung dengan diameter sekitar 50-100 sentimeter (Gambar 3.E), memiliki
ukuran kristal fenokris <1 mm dan massa dasar <0,2 mm, tingkat kristalinitas
holokristalin, bentuk dan hubungan antar kristal subhedral, tekstur umum inekuigranular,
tekstur khusus porfiritik. Komposisi primer batuan tersusun atas mineral kuarsa primer
sekitar 23%, biotit 4%, dan K-feldspar (ortoklas) 3%, sedangkan komposisi sekunder
batuan tersusun atas mineral berukuran lempung sekitar 49%, serisit 10%, mineral oksida
5%, kuarsa sekunder 4%, dan topas 2% (Gambar 3.F)
Granit bertekstur halus teralterasi serisitisasi dengan mineral penciri alterasi berupa
serisit + kuarsa ± topas (Gambar 4.E). Dari hasil analisis petrografi, mineral serisit
772
PROCEEDING, SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-11
PERSPEKTIF ILMU KEBUMIAN DALAM KAJIAN BENCANA GEOLOGI DI INDONESIA
5 – 6 SEPTEMBER 2018, GRHA SABHA PRAMANA

sebagai mineral penciri alterasi hadir cukup melimpah bersama dengan kuarsa
mikrokristalin yang hadir sebagai masa dasar. Granit bertekstur halus terserisitisasi
memiliki kadar Sn 0-86 ppm dengan mineral bijih berupa bismuthinit dan mineral oksida
hematit.

4. Hasil dan Pembahasan


Dari 3 jenis granit yang dijumpai di tambang terbuka Pemali, hanya granit bertekstur
sedang yang mengalami pengkayaan timah di tambang terbuka Pemali. Granit bertekstur
sedang dijumpai dalam bentuk dike dengan diameter sekitar 100 meter berarah utara-selatan
dan terkontrol oleh sesar geser dekstral NNW-SSE. Pergerakan sesar geser dekstral
menyebabkan terbentuknya rekahan/jog yang digunakan sebagai tempat emplacement granit
bertekstur sedang. Selain mengalami emplacement dan membentuk granit bertekstur sedang,
magma juga akan menghasilkan fluida sisa magma akibat proses kristalisasi fraksinasi.
Sejumlah besar fluida H2O bersama volatile serta unsur incompatible akan keluar dari masa
magma yang mulai mengkristal dan bergerak ke kupola granit bertekstur sedang akibat
perbedaan densitas. Sehingga, bagian kupola granit bertekstur sedang akan mengalami reaksi
alterasi hidrotermal.
Alterasi hidrotermal yang menyebabkan pengkayaan timah di Pemali adalah alterasi
greisen, albitisasi post-greisen, dan argilik post-greisen. Alterasi greisen terjadi akibat proses
Na-metasomatik sebelumnya, ion H+ serta senyawa HF dapat masuk ke dalam fluida
hidrotermal. Peningkatan H+ serta HF kemudian akan memicu terjadinya peningkatan reaksi
penghancuran / destablisiasi K - feldspar, plagioklas, dan mika untuk membentuk asosiasi
mineral greisen seperti kuarsa dan muskovit (Pirajno, 2009). Baik selama maupun setelah
alterasi greisen, ion Na dan K dapat dilepaskan kembali akibat adanya reaksi pembentukan
mineral-mineral penciri alterasi greisen. Kehadiran ion Na menyebabkan terjadinya proses
albitisasi pada fase post-magmatic (Pirajno, 2009). Karena adanya kontrol air meteorik yang
masuk ke dalam sistem greisen, maka fluida sisa greisen makin terkayakan ion H+. Fluida sisa
kaya H+ menyebabkan terbentuknya mineral lempung yang menjadi penciri alterasi argilik
pada zona greisen atau membentuk alterasi argilik post-greisen di Pemali.
Selama proses greisenisasi, terjadi pencucian biotit bersamaan dengan proses
muskovitisasi dan kloritisasi pada batuan dinding. Selama proses pencucian biotit, Sn yang
hadir di alam dalam bentuk unsur akan dilepaskan dan terkonsentrasi dalam fluida hidrotermal
(Barsukov, 1957 dalam Lehmann, 1990). Presipitasi Sn pada granit bertekstur sedang
tergreisenisasi terjadi karena adanya percampuran fluida hidrotermal dengan H2O yang
dihasilkan dari proses kristalisasi fraksinasi dan interaksi fluida dengan batuan dinding. Sn
akan terdeposisi dalam bentuk mineral kasiterit, dimana kasiterit yang dijumpai pada granit
bertekstur sedang tergreisenisasi di Pemali cenderung hadir terdiseminasi pada batuan. Selain
itu, kasiterit juga hadir dalam bentuk urat kasiterit dan urat turmalin + mika yang terbentuk
selama greisenisasi. Dari hasil analisis XRF Portabel, kadar Sn yang hadir pada granit
bertekstur sedang tergreisenisasi berkisar antara 13 ppm hingga 7416 ppm.

5. Kesimpulan
Di Pemali, mineralisasi timah dijumpai pada granit bertekstur sedang yang memiliki ukuran
kristal 1-4 mm, bertekstur porfiritik dan intergrowth, mengalami penjajaran mineral dengan arah
NNW-SSE, berbentuk dike yang terkontrol sesar geser dekstral NNW-SSE, dan teralterasi
greisen (kuarsa + mika ± kasiterit ± topas ± turmalin), albitisasi post-greisen (albit + kuarsa +
773
PROCEEDING, SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-11
PERSPEKTIF ILMU KEBUMIAN DALAM KAJIAN BENCANA GEOLOGI DI INDONESIA
5 – 6 SEPTEMBER 2018, GRHA SABHA PRAMANA

mika ± kasiterit), argilik post-greisen (kaolinit + kuarsa + mika ± kasiterit). Kadar Sn granit
bertekstur sedang tergreisenisasi berkisar 13 ppm hingga 7416 ppm. Timah dijumpai dalam
bentuk kasiterit dan terdiseminasi pada granit bertekstur sedang. Selain itu kasiterit dijumpai
pada urat kasiterit dan urat turmalin + mika.

Acknowledgement
Ucapan terima kasih kami sampaikan kepada semua pihak yang telah membantu dalam
proses pembuatan paper ini. Ucapan terima kasih secara khusus kami sampaikan kepada PT
Timah Tbk yang telah memberikan kesempatan dan izin untuk melakukan pemetaan di tambang
terbuka Pemali.

Daftar Pustaka
Crow, M. J. dan Van L. T. M. (2005). Metallic Mineral Deposits, dalam: Geological Society
Memoir No. 31-Sumatera. Geology, Resources, and Tectonic Evolution. Geological Society.
UK p. 147-174.
ITRI. (2018). The top 10 refined tin producers of 2017. https://www.internationaltin.org/the-top-
10-refined-tin-producers-of-2017/.
Lehmann, B. (1990). Metallogeny of Tin. Springer-Verlay Berlin Heidelberg. Berlin.
Pirajno, F. (2009). Hydrothermal Processes and Mineral Systems: Springer Science. Australia p.
1243.
Schwartz, M. O. dan Surjono. (1991). The Pemali Tin Deposit, Bangka, Indonesia. Springer-
Verlag Mineral Deposita 26. p 18-2.
Taylor, R. G. (1979). Geology of Tin Deposits. New York. Elsevier Scientific Publishing
Company p. 540.

774
PROCEEDING, SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-11
PERSPEKTIF ILMU KEBUMIAN DALAM KAJIAN BENCANA GEOLOGI DI INDONESIA
5 – 6 SEPTEMBER 2018, GRHA SABHA PRAMANA

Gambar 1. Peta geologi daerah tambang terbuka Pemali

775
PROCEEDING, SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-11
PERSPEKTIF ILMU KEBUMIAN DALAM KAJIAN BENCANA GEOLOGI DI INDONESIA
5 – 6 SEPTEMBER 2018, GRHA SABHA PRAMANA

Gambar 2. Profil sayatan geologi daerah tambang terbuka Pemali

776
PROCEEDING, SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-11
PERSPEKTIF ILMU KEBUMIAN DALAM KAJIAN BENCANA GEOLOGI DI INDONESIA
5 – 6 SEPTEMBER 2018, GRHA SABHA PRAMANA

A B

C D

E F
Gambar 3. (A) Kenampakan singkapan satuan granit bertekstur kasar (B) Kenampakan
megakristal K-Feldspar pada granit bertekstur kasar. (C) Kenampakan singkapan satuan granit
bertekstur sedang di tengah pit Pemali. (D) Kenampakan penjajaran kuarsa berarah NNW-SSE
pada granit bertekstur sedang. (E) Kenampakan satuan granit bertekstur halus berbentuk dike
mengintrusi satuan metabatulempung (F) Kenampakan singkapan satuan granit bertekstur halus
lebih dekat, hadir pula veinlet kaolin pada granit bertekstur halus

777
PROCEEDING, SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-11
PERSPEKTIF ILMU KEBUMIAN DALAM KAJIAN BENCANA GEOLOGI DI INDONESIA
5 – 6 SEPTEMBER 2018, GRHA SABHA PRAMANA

A B

C D

E
Gambar 4. (A) Hasil analisis petrografi XPL granit bertekstur kasar teralbitisasi pre-greisen. (B)
Hasil analisis petrografi XPL granit bertekstur sedang teralterasi greisen. (C) Hasil analisis
petrografi XPL granit bertekstur sedang teralterasi albitisasi post-greisen. (D) Hasil analisis
petrografi XPL granit bertekstur sedang teralterasi argilik post-greisen. (E) Hasil analisis
petrografi XPL granit bertekstur halus terserisitisasi. (Ket: Ab= albit; Bt= biotit; Cst= kasiterit;
Clay= mineral berukuran lempung; Feox= mineral oksida besi; Ms= muskovit; Opq= mineral
opak; Or= ortoklas; Qz (P)= kuarsa primer; Qz (S)= kuarsa sekunder; Ser= serisit; Tpz= Topas)

778
PROCEEDING, SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-11
PERSPEKTIF ILMU KEBUMIAN DALAM KAJIAN BENCANA GEOLOGI DI INDONESIA
5 – 6 SEPTEMBER 2018, GRHA SABHA PRAMANA

Tabel 1. Tabulasi data petrografi dan XRD 3 jenis granit di tambang terbuka Pemali

Hasil Analisis XRD Hasil Analisis Petrografi


Mineral Penciri
STA Litologi Karakteristis Alterasi
Alterasi
Mineral
Mineral Kristal Primer Sekunder
lempung
Memiliki ukuran kristal
fenokris (1 - 4 mm) dan
massa dasar (< 1 mm),
Granit tingkat kristalinitas
Clay, Ms, Ser,
bertekstur holokristalin, bentuk dan Plg, Hall, Kao, Ser, Qz, Ms, Qz P, Or, Clay, Ser, Qz S, Argilik post-
77 Qz S, Opq, Cst,
sedang hubungan antar kristal Sme Hem Bt Ms, Cst greisen
Feox
subhedral, tekstur umum
inekuigranular, tekstur
khusus porfiritik dan
intergrowth.
Memiliki ukuran kristal
fenokris (1 - 4 mm) dan
massa dasar (< 1 mm),
Granit tingkat kristalinitas
Ab, Qz S, Ser,
bertekstur holokristalin, bentuk dan Di, Hall, Sme, Ab, Ser, Py, Qz, Qz P, Or, Ab, Qz s, Ser, Albitisasi post-
108 Ms, Feox, Cst,
sedang hubungan antar kristal Plg, Chl Ill/mica, Bt Bt, Pl Cst greisen
Opq
subhedral, tekstur umum
inekuigranular, tekstur
khusus porfiritik dan
intergrowth.
Memiliki ukuran kristal
fenokris <1 mm dan massa
dasar <0,2 mm, tingkat
Granit kristalinitas holokristalin, Hall, Ill-Mont, Feox, Clay, Qz
123 Qz, Ser, Hem Qz P, Or Qz S, Ser
bertekstur bentuk dan hubungan antar Kao, Plg S, Ser Serisitisasi
halus kristal subhedral, tekstur
umum inekuigranular,
tekstur khusus porfiritik
Ukuran kristal fenokris (>
Granit 5mm) dan massa dasar (< Perthit, Ser, Qz
Kao, Hall, Ser, Chl, Qz, Bt, Qz P, Or, Perthit, Ser, Qz, Albitisasi pre-
362 bertekstur tingkat kristalinitas S, Clay, Opq,
Sme Ab Pl, Ms Tpz greisen
kasar holokristalin, bentuk dan Tpz
hubungan antar kristal
779
PROCEEDING, SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-11
PERSPEKTIF ILMU KEBUMIAN DALAM KAJIAN BENCANA GEOLOGI DI INDONESIA
5 – 6 SEPTEMBER 2018, GRHA SABHA PRAMANA

subhedral, tekstur umum


inekuigranular, tekstur
khusur fanero porfiritik.
Ukuran kristal fenokris (1 -
4 mm) dan massa dasar (< 1
mm), tingkat kristalinitas
Qz S, Ser,
Granit holokristalin, bentuk dan Bt, Tpz,Tur, Ms,
Opq, Tpz, Qz S, Ser, Tpz, Qz, Ser, Ms,
447 bertekstur hubungan antar kristal Sme, Kao, Chl Ser, Qz, Ill/mica, Greisen
Ms, Tur, Ms, Tur, Cst Tpz, Tur, Cst
sedang subhedral, tekstur umum Hem
Ep
inekuigranular, tekstur
khusus porfiritik dan
intergrowth.
Ukuran kristal fenokris (1 -
4 mm) dan massa dasar (< 1
mm), tingkat kristalinitas
Granit holokristalin, bentuk dan Feox, Qz S, Ser,
Bt, Tpz, Goe, Qz P, Or, Qz S, Ser, Tpz,
448 bertekstur hubungan antar kristal Kao, Hall Clay, Tpz, Ms, Greisen
Ser, Hem Bt Ms, Cst
sedang subhedral, tekstur umum Cst
inekuigranular, tekstur
khusus porfiritik dan
intergrowth.
Ket: Ab= Albit; Bt=Biotit; Chl= Klorit; Clay= Mineral berukuran lempung; Cst= Kasiterit; Dck= Dickite; Feox= Mineral oksida; Gbs= Gibsit; Goe= Goethit; Hall= Haloisit; Hem= Hematit; Ill= Ilit; K-Fld= K-
Feldspar; Kao WX= Kaolinit well crystalline; Kao Px= Kaolinit poor crystalline; Mont= Montmorilonit; Mrg= Margarit; Ms= Muskovit; MS= Material sedimen; Opq= Mineral opak; Or= Ortoklas;
Phe=Phengit; Pl= Plagiklas; Plg= Paligorskit; Prl= Pirofilit; Py= Pirit; Qz P= Kuarsa primer; Qz S= Kuarsa sekunder; Ser= Serisit; Sme= Smektit; Tpz= Topas; Tur= Turmalin;

780
PROCEEDING, SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-11
PERSPEKTIF ILMU KEBUMIAN DALAM KAJIAN BENCANA GEOLOGI DI INDONESIA
5 – 6 SEPTEMBER 2018, GRHA SABHA PRAMANA

GEOLOGI DAN PERSEBARAN MINERALISASI TIMAH, UNSUR RADIOAKTIF


DAN UNSUR TANAH JARANG DI BLOK LEMBAH JAMBU,
KECAMATAN TEMPILANG, KABUPATEN BANGKA BARAT,
PROVINSI KEPULAUAN BANGKA BELITUNG
Jalu Bias Firdausi1*
Miftah Mukifin Ali2
Sutanto3
Suprapto4
1*
Jurusan Teknik Geologi, Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Yogyakarta
2
Jurusan Teknik Geologi, Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Yogyakarta
3
Jurusan Teknik Geologi, Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Yogyakarta
4
Jurusan Teknik Geologi, Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Yogyakarta
*corresponding author : jalubias76@gmail.com

ABSTRAK
Pulau Bangka termasuk kedalam jalur Granit yang membentang sepanjang asia tenggara mulai dari
Thailand sampai Kepulauan Bangka-Belitung. Kondisi tersebut menyebabkan Pulau Bangka kaya
akan sumber daya timah, unsur radioaktif dan unsur tanah jarang. Penelitian ini terletak di daerah IUP
PT. Timah Tbk yaitu Blok Lembah Jambu, Kecamatan Tempilang, Kabupaten Bangka Barat.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kondisi geologi, pola persebaran alterasi dan mineralisasi
timah, persebaran unsur radioaktif (Uranium dan Thorium) dan persebaran unsur tanah jarang (Y, La,
Ce). Metode yang digunakan adalah pemetaan geologi permukaan dan soil sampling dengan
menggunakan bor auger. Analisa yang dilakukan adalah analisa petrografi, analisa mineragrafi, analisa
ASD (Analytical Spectral Devices), dan Analisa XRF (X-Ray Fluorosence). Berdasarkan hasil
pengamatan lapangan dan analisa petrografi didapatkan 4 satuan batuan diantaranya Satuan Batupasir
Tanjunggenting, Satuan Fine Grain Granit Klabat, Satuan Coarse Grain Granit Klabat dan Satuan
Endapan Alluvial. Berdasarkan himpunan mineral yang ditemukan di lapangan dan analisa ASD,
terdapat 5 zona alterasi yaitu Turmalin + Klorit, Turmalin + Kaolinit ± Phengit, Kaolinit + Kuarsa ±
Illit ± Muskovit, Kaolinit ± Phengit ± Kuarsa dan Kuarsa + Kaolinit ± Palygorskit. Nikai kadar rata-
rata berdasarkan data XRF didapatkan nilai kadar rata- rata unsur Timah (Sn) adalah 569.3 ppm,
Torium (Th) 56.5 ppm, Uranium (U) 17.8 ppm, Yttrium (Y) 31.2 ppm, Lantanum (La) 110.5 ppm,
dan Serium (Ce) 139.5 ppm. Kontrol litologi dan struktur geologi menjadi faktor yang penting dalam
proses terbentuknya alterasi, mineralisasi timah, dan keterdapatan unsur radioaktif dan unsur tanah
jarang.
Kata Kunci : granit klabat, timah, unsur radioaktif, unsur tanah jarang

1. Pendahuluan
1.1.Latar Belakang
Indonesia merupakan negara yang mempunyai banyak sumber daya alam salah satunya
berjenis mineral dan batubara. Sumber daya alam mineral umumnya masih ada keterdapatan
di daerah-daerah yang belum dieksploitasi, keterdapatannya sangat erat dengan proses
magmatisme dan hidrotermal oleh karena itu pemetaan geologi berstudi khusus membahas
endapan mineral harus dilakukan agar mengetahui potensi-potensi daerah yang belum
ditambang.
Pulau Bangka terutama Blok Lembah Jambu, Tempilang merupakan salah satu daerah
yang membentuk tipe endapan greisen yang kaya akan mineralisasi timah. Produksi timah
merupakan komoditas utama dalam eksplorasi endapan mineral logam di Pulau Bangka yang
membuat Indonesia merupakan salah satu negara penghasil timah terbesar di dunia.
781
PROCEEDING, SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-11
PERSPEKTIF ILMU KEBUMIAN DALAM KAJIAN BENCANA GEOLOGI DI INDONESIA
5 – 6 SEPTEMBER 2018, GRHA SABHA PRAMANA
Pembentukan endapan timah yang tersebar di sepanjang Pulau Bangka secara umum berasal
dari pembentukan magma asam akibat proses peleburan kerak benua pada proses kolisi.
Persebaran dan konsentrasi dari suatu zona mineralisasi dapat diketahui dengan
melakukan pemetaan geologi, mengenali daerah ubahan hidrothermal, dan juga pembuatan
zonasi alterasi-mineralisasi pada endapan hidrothermal. Penelitian zonasi dan genesa alterasi-
mineralisasi tersebut dapat memberikan informasi mengenai prospektifitas endapan
hidrothermal sebagai bahan pertimbangan untuk pengembangan kegiatan pertambangan
berikutnya.
1.2. Maksud dan Tujuan
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui genetis serta karakteristik alterasi dan
mineralisasi yang terdapat di wilayah eksplorasi PT. Timah Tbk dengan mengacu pada
rumusan masalah yaitu kondisi geologi, kontrol struktur geologi terhadap alterasi dan
mineralisasi, tipe alterasi dan mineralisasi timah dan asosiasi mineralnya, serta letak
mineralisasi timah primer yang potensial di lokasi penelitian.

2. Metode Penelitian
Metodologi yang digunakan pada penelitian ini merupakan metode analisa Petrografi,
Mineragrafi, ASD (Analitycal Spectral Devices) dan XRF (X-Ray Fluorosence). Metode ini
dilakukan dengan analisa berbagai sampel yang terdapat pada lokasi penelitian Blok Lembah
Jambu, Kecamatan Tempilang, Kabupaten Bangka Barat, Provinsi Kepulauan Bangka dan
Belitung (Gambar 1).

3. Data
3.1. Stratigrafi Daerah Penelitian
Berdasarkan pengambilan data lapangan yang selanjutnya dilakukan analisa laboratorium
pada lokasi penelitian, didapatkan 4 satuan batuan yang menyusun lokasi penelitian. Satuan
batuan yang didapatkan pada lokasi penelitian dari yang berumur tua-muda, yaitu Satuan
Batupasir Tanjunggenting (Trias Awal-Tengah), Satuan Fine Grain Granit Klabat (Trias
Akhir-Jura Awal), Satuan Coarse Grain Granit Klabat (Trias Akhir-Jura Awal) dan Satuan
Endapan Alluvial (Kuater) (Tabel 1). Persebaran litologi penyusun daerah penelitian di
tampilkan dalam peta geologi (Gambar 2).
3.1.1. Batupasir Tanjunggenting
Satuan batuan ini didominasi oleh batupasir yang berukuran pasir halus hingga pasir
kasar yang memiliki warna segar cream dan warna lapuk coklat tua. Satuan ini disusun oleh
litologi yang terdiri dari batupasir perselingan dengan lempung dan hornfels. Satuan ini
didominasi oleh batupasir (Gambar 3).
Pemerian lapangan : warna segar: cream, warna lapuk : abu-abu, ukuran butir : pasir
halus (1/8-1/4 mm)- pasir kasar (1-2 mm), derajat pembundaran : membundar, derajat
pemilahan : terpilah baik, kemas : tertutup, komposisi mineral; fragmen ; kuarsa, feldspar,
matrik ; mineral berukuran lempung, semen ; oksida, struktur sedimen : perlapisan. (Gambar
4).
Berdasarkan analisis petrografi (Gambar 5) dari sampel pada lokasi pengamatan 4
(Gambar 6) didapatkan presentasi komponen mineral terdiri dar mineral primer : horblend
(10%), kuarsa primer (10%), kalium feldspar (10%), litik (5%), mineral sekunder : mineral

782
PROCEEDING, SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-11
PERSPEKTIF ILMU KEBUMIAN DALAM KAJIAN BENCANA GEOLOGI DI INDONESIA
5 – 6 SEPTEMBER 2018, GRHA SABHA PRAMANA
oksida (25%), mineral lempung (20%), kuarsa sekunder (15%), mineral opak (5%). dalam
analisis petrografi bernama Feldspathic Wacke (Berdasarkan Klasifikasi Gilbert, 1954).
3.1.2. Fine Grain Granit Klabat
Satuan batuan ini terdiri oleh intrusi batuan beku plutonik berupa granit dengan ukuran
yang halus (< 1 mm) hingga fanerik sedang (1 - 5 mm). Berdasarkan data dilapangan
singkapan dari Satuan Fine Grain Granit Klabat berada pada lokasi bukaan tambang rakyat
(pit) yang terletak secara setempat (Gambar 7).
Pemerian lapangan : warna segar : merah muda, warna lapuk : merah kecoklatan, tekstur :
masif, derajat kristalisasi : hipokristalin, derajat granularitas : fanerik sedang (1 - 5 mm),
bentuk kristal : subhedral, relasi : inequigranular porfiritik, komposisi mineral : kuarsa
( 15 % ), feldspar ( 35 % ), mineral lempung ( 10% ), mineral oksida ( 40% ) (Gambar 8).
3.1.3. Coarse Grain Granit Klabat
Satuan batuan ini terdiri oleh intrusi batuan beku plutonik berupa granit dengan ukuran
kristal yang sedang hingga kasar yaitu fanerik sedang (1 - 5 mm) – fanerik kasar (5 - 30 mm).
Berdasarkan data dilapangan singkapan dari Satuan Coarse Grain Granit Klabat berada pada
lokasi bukaan tambang rakyat (pit) yang terletak secara luas pada daerah Lembah Jambu
(Gambar 9).
Pemerian lapangan : warna segar : merah muda, warna lapuk : merah kecoklatan, tekstur :
masif, derajat kristalisasi : hipokristalin, derajat granularitas : fanerik sedang (1 - 5 mm) –
fanerik kasar (5 - 30 mm), bentuk kristal : subhedral, relasi : inequigranular porfiritik,
komposisi mineral : kuarsa ( 15 % ), feldspar ( 30 % ), mineral lempung ( 20% ), mineral
oksida ( 35 % ). (Gambar 10).
Berdasarkan analisis petrografi dari sampel pada lokasi pengamatan 42 (Gambar 11)
didapatkan presentasi komponen mineral terdiri dari mineral primer : plagioklas feldspar
(35%), kuarsa primer (5%), mineral sekunder : mineral oksida (35%), mineral lempung (20%),
mineral opaque (5%), dalam analisis petrografi bernama Granit (Berdasarkan Klasifikasi Clan
Williams, 1954).
3.1.4. Endapan Aluvial
Satuan batuan ini terdiri oleh material lepas dengan ukuran lempung (1/256 mm) hingga
bongkah (256 mm). Berdasarkan data di lapangan singkapan dari Endapan Aluvial berada
pada tepian sungai (Gambar 12).
Pemerian lapangan: warna segar : coklat, warna lapuk : coklat tua, tekstur : masif, terdiri
dari endapan sungai hasil dati tailing tambang tersusun atas bongkah, brangkal, krakal, krikil,
pasir, lanau, lempung, batuan beku dan batuan sedimen (Gambar 13).
3.2. Struktur Geologi Daerah Penelitian
Struktur geologi yang berkembang pada lokasi penelitian berupa kedudukan perlapisan
batuan, kekar dalam bentuk sheeted vein (kekar berlembar) dan sesar. Mengacu kepada Katili,
(1967) di Pulau Bangka terdapat tiga kali deformasi tektonik. Berdasarkan data lapangan sesar
yang ada di lokasi penelitian terdiri dari 4 sesar yaitu sesar LP 1, sesar LP 13, sesar LP 14 dan
sesar LP 41. Data-data sesar yang digunakan untuk melakukan analisa stereografis terdiri dari
data shear fracture, gash fracture dan arah breksiasi.
3.2.1. Kedudukan Perlapisan Batuan
Berdasarkan data lapangan ditemukan kedudukan perlapisan batuan yang berada di
Satuan Batupasir Tanjunggenting yaitu pada litologi batupasir dan batulempung. Kedudukan

783
PROCEEDING, SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-11
PERSPEKTIF ILMU KEBUMIAN DALAM KAJIAN BENCANA GEOLOGI DI INDONESIA
5 – 6 SEPTEMBER 2018, GRHA SABHA PRAMANA
perlapisan batuan memiliki kedudukan umum N 029ᴼ E/20ᴼ dengan kemiringan lapisan
kearah tenggara (Gambar 14).
3.2.2. Kekar
Berdasarkan data di lapangan ditemukan kekar yang berupa sheeted vein (kekar
berlembar). Kekar-kekar tersebut tersebut dijumpai pada Satuan Batupasir Tanjunggenting,
Satuan Fine Grain Granit Klabat dan Satuan Coarse Grain Granit Klabat. Setelah dilakukan
analisa streografis, kekar pada lokasi penelitian memiliki tegasan utama N 028ᴼ E (Gambar
15). Kekar-kekar berlembar di lapangan terisi mineral oksida, kuarsa dan mineral lempung.
Kekar-kekar tersebut berperan sebagai celah untuk fluida hidrotermal masuk dan
mengendapkan mineral kasiterit.
3.2.3. Sesar
Berdasarkan data lapangan ditemukan dua jenis sesar yaitu sesar mendatar kiri dan sesar
mendatar kanan. Sesar mendatar kiri di lapangan ditemukan pada sesar LP 1 (Gambar 16) dan
sesar LP 14 (Gambar 17) dengan arah relatif Tenggara – Baratlaut. Sesar mendatar kanan di
lapangan ditemukan pada sesar LP 13 (Gambar 18) dan sesar LP 41 (gambar 19) dengan arah
relatif Baratdaya – Timurlaut. Bidang sesar tidak ditemukan di lokasi penelitian karena
kondisi batuan yang lapuk kuat. Data-data sesar yang digunakan untuk melakukan analisa
streografis terdiri dari data shear fracture, gash fracture dan arah breksiasi.
3.3. Alterasi Daerah Penelitian
Himpunan mineral di lokasi penelitian dibagi menjadi lima zonasi himpunan mineral
(Lampiran MM 05). Berdasarkan temperatur pembentukan dari temperatur tinggi ke rendah,
yaitu Zona Turmalin + Klorit, Zona Turmalin + Kaolinit ± Phengit, Zona Kaolinit + Kuarsa ±
Illit ± Muskovit, Zona Kaolinit ± Phengit ± Kuarsa dan Zona Kuarsa + Kaolinit ± Palygorskit.
Dijumpai pula alterasi oksida yang merupakan hasil dari proses permukaan pada semua
zonasi. Persebaran alterasi daerah penelitian di tampilkan dalam peta alterasi (Gambar 20).
Diperkirakan sumber panas yang membawa fluida hdrotermal berasal dari Bukit Sengiri
yang berada dibagian Baratlaut lokasi penelitian. Hal ini dibuktikan dengan adanya alterasi
yang kuat pada LP 13, LP 14, LP 42 dan LP 43. Fluida hidrotermal ini keluar melewati zona
lemah berupa sesar LP 14 (Sesar Mendatar Kiri), dimana sesar mendatar kiri diperkirakan
memiliki umur yang lebih tua karena terbentuk zona alterasi yang kuat.
3.3.1. Zona Himpunan Turmalin + Klorit
Tahap pembentukan dari himpunan mineral alterasi pada zona ini memiliki kisaran
temperatur fluida 200˚-300˚C. Berdasarkan hasil pengamatan di lapangan, sample dari hasil
soil sampling pada lokasi ini secara keseluruhan bewarna kemerahan pada host rock batupasir
dengan terdapat mineral Turmalin dan Klorit. Mineral Oksida seperti Hematit hadir secara
melimpah disertai hadirnya Geothit dan Gibbsit yang terjadi akibat proses supergen. Setelah
dilakukan perhitungan harga Kx dari analisa ASD fluida yang berperan pada proses ini adalah
fluida hidrotermal. Berdasarkan Corbett dan Leach (1998), zona alterasi Turmalin + Klorit
memiliki kisaran pH 3-6 atau asam netral pada saat pembentukanya.
3.3.2. Zona Himpunan Turmalin + Kaolinit ± Phengit
Tahap pembentukan dari himpunan mineral alterasi pada zona ini sudah mengalami
penurunan temperatur dengan hadirnya mineral kaolinit, dimana kisaran temperatur fluida
160˚-300˚C. Berdasarkan hasil pengamatan sample dari hasil soil sampling di lapangan secara
keseluruhan berwarna orange hingga kemerahan pada host rock batupasir dan sebagian granit.
Mineral Oksida seperti Hematit hadir melimpah pada zonasi ini. Setelah dilakukan
perhitungan harga Kx dari analisa ASD fluida yang berperan pada proses ini adalah fluida
784
PROCEEDING, SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-11
PERSPEKTIF ILMU KEBUMIAN DALAM KAJIAN BENCANA GEOLOGI DI INDONESIA
5 – 6 SEPTEMBER 2018, GRHA SABHA PRAMANA
hidrotermal. Berdasarkan Corbett dan Leach (1998), zona alterasi Tourmalin + Kaolinit ±
Phengit memiliki kisaran pH 3-4 atau asam - neur netral pada saat pembentukanya.
3.3.3. Zona Himpunan Kaolinit + Kuarsa ± Illit ± Muskovit
Tahap pembentukan dari himpunan mineral alterasi pada zona ini kembali mengalami
penurunan temperatur, dimana kisaran temperatur fluida 140˚-300˚C. Berdasarkan hasil
pengamatan di lapangan secara keseluruhan berwarna orange hingga kemerahan pada host
rock batupasir dan sebagian granit (Gambar 21). Mineral Oksida seperti Hematit hadir
melimpah pada zonasi ini. Setelah dilakukan perhitungan harga Kx dari analisa ASD fluida
yang berperan pada proses ini adalah fluida hidrotermal. Berdasarkan Corbett dan Leach
(1998), zona alterasi Kaolinit + Kuarsa ± Illit ± Muskovit memiliki kisaran pH 3-4 atau
asam- neur netral pada saat pembentukanya.
3.3.4. Zona Himpunan Kaolinit ± Phengit ± Kuarsa
Tahap pembentukan dari himpunan mineral alterasi pada zona ini sudah mengalami
penurunan temperatur, dimana kisaran temperatur fluida 140˚-300˚C. Berdasarkan hasil
pengamatan di lapangan secara keseluruhan berwarna orange hingga kemerahan pada host
rock batupasir. Mineral Oksida seperti Hematit hadir melimpah pada zonasi ini. Setelah
dilakukan perhitungan harga Kx dari analisa ASD fluida yang berperan pada proses ini adalah
fluida hidrotermal. Berdasarkan Corbett dan Leach (1998), zona alterasi Kaolinit ± Phengit ±
Kuarsa memiliki kisaran pH 2-4 atau asam- neur netral pada saat pembentukanya.
3.3.5. Zona Himpunan Kuarsa + Kaolinit ± Palygorskit
Tahap pembentukan dari himpunan mineral alterasi pada zona ini semakain mengalami
penurunan temperatur, dimana kisaran temperatur fluida 40˚-180˚C. Berdasarkan hasil
pengamatan di lapangan secara keseluruhan berwarna orange hingga kemerahan pada host
rock batupasir (Gambar 22). Mineral Oksida seperti Ferrihydrit dan Hematit hadir melimpah
serta terdapat sedikit Goethit dan Gibbsit pada zonasi ini. Setelah dilakukan perhitungan
harga Kx dari analisa ASD fluida yang berperan pada proses ini adalah fluida hidrotermal.
Berdasarkan Corbett dan Leach (1998), zona alterasi Kuarsa + Kaolinit ± Palygorskit
memiliki kisaran pH 2-3 atau asam- neur netral pada saat pembentukanya.
3.3.6. Zona Himpunan Mineral Oksida
Tahap pembentukan dari himpunan mineral alterasi oksida hadir pada setiap zona
himpunan mineral kisaran temperatur fluida 0˚-360˚C (Gambar 23). Mineralisasi oksida ini
terbentuk pada permukaan dimana proses yang berperan adalah proses pengkayaan supergen.
Proses ini terjadi pada saat mineral yang memiliki unsur logam, karena proses pelapukan dan
pelindian kemudian mineral yang memiliki unsur logam tersebut terlarut menjadi senyawa
sulfat. Senyawa sulfat yang mengandung unsur logam tersebut kemudian masuk bersamaan
dengan air meteorik melalui rekahan sampai menembus muka air tanah hingga proses
oksidasi sudah tidak terjadi dan kemudian terendapkan kembali.

4. Hasil dan Pembahasan


4.1. Kontrol Struktur terhadap Alterasi
Berdasrkan hasil dari analisa struktur geologi berupa sesar, didapatkan sesar mendatar
kiri terdiri dari sesar LP 1 dan sesar LP 14. Kemudian sesar mendatar kanan terdiri dari sesar
LP 13 dan sesar LP 41. Berdasarkan Katili, (1967) sesar mendatar kiri terbentuk terlebih
dahulu dari pada sesar mendatar kanan. Hal ini di lapangan dapat dibuktikan dengan adanya
785
PROCEEDING, SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-11
PERSPEKTIF ILMU KEBUMIAN DALAM KAJIAN BENCANA GEOLOGI DI INDONESIA
5 – 6 SEPTEMBER 2018, GRHA SABHA PRAMANA
alterasi yang kuat dan keterdapatan retas-retas di sepanjang sesar serta pola dari alterasi yang
cenderung mengikuti pola sesar. Sesar mendatar kanan yang terbentuk setelah sesar mendatar
kiri kemudian membuat sesar mendatar kiri menjadi lebih terbuka dan membuat alterasi lebih
yang intens. Dari beberapa hal tersebut dapat disimpulkan bahwa sesar mendatar kiri dipotong
oleh sesar mendatar kanan.
Hasil data yang ditemukan di lapangan menunjukan bahwa penyebaran alterasi mengikuti
jalur dari zona sesar. Hal ini terjadi dikarenakan dalam bagian zona sesar terdapat bagian yang
mengalami extension dan compression (Gambar 24). Pada bagian extension alterasi terjadi
secara kuat sedangkan pada bagian compression alterasi tetap terjadi tetapi terjadi secara lebih
lemah.
Jadi dapat disimpulkan bahwa daerah zona sesar khusunya perpotongan dua sesar
merupakan jalur tempat fluida mengalir kemudian mengubah batuan samping yang dilewati
oleh fluida tersebut (Gambar 25). Untuk alterasi yang terjadi bisa bervariasi tergantung pada
kondisi dari pH dan temperaturnya.
4.2. Mineralisasi Daerah Penelitian
Lokasi peneltian merupakan daerah dimana struktur geologi khusunya kekar berkembang
secara kompleks. Kekar-kekar yang kemudian berkembang menjadi urat dengan pengisi
berupa kuarsa, mineral lempung dan mineral oksida. Urat-urat ini memiliki tebal antara 2 mm
– 2 cm dengan jarak rata-rata 8 cm antar urat yang memiliki orientasi yang sama. Melalui
analisa Mineragrafi, terlihat bahwa kasiterit sebagai mineral pembawa timah selalu ditemukan
didalam urat mineral oksida, kuarsa dan mineral lempung (Gambar 26). Berdasarkan hal
tersebut kasiterit di lokasi penelitian dibawa oleh fluida hidrotermal yang juga mengendapkan
mineral oksida, kuarsa dan mineral lempung dalam urat. Dapat dikatakan bahwa di lokasi
penelitian berkembang suatu sistem mineralisasi timah primer yang melibatkan proses
hidrotermal ditandai dengan adanya alterasi-alterasi yang kuat.
Keberadaan kasiterit pada urat mineral oksida, kuarsa dan mineral lempung juga
diperkuat oleh hasil analisis XRF pada urat-urat di lokasi penelitian. Secara megaskopis urat-
urat yang terisi oleh mineral kasiterit berada pada kekar-kekar berlembar (sheeted vein) pada
litologi batupasir Satuan Batupasir Tanjunggenting dan Granit Satuan Coarse Grain Granit
Klabat (Gambar 27B) dan (Gambar 27C). Selain terdapat pada kekar-kekar berlembar
mineralisasi kasiterit selaku pembawa Timah juga terdapat pada lode vein (Gambar 27A).
Berdasarkan sampel lapangan yang kemudian dilakukan analisa XRF (X-Ray
Fluorescence) didapatkan kadar dari Sn yang berbeda-beda pada setiap sampelnya. Satuan
yang digunakan dalam satuan kadar Sn adalah ppm (part per million). Berdasarkan kadar
yang berbeda dibuat Peta Anomali Sn di darah penelitian. Kadar Mineralisasi Sn terdiri dari
kadar paling rendah yaitu 0 ppm dan kadar paling tinggi yaitu 28900 ppm. Kadar dengan nilai
Sn tertinggi terdapat pada urat didaerah zona sesar mendatar kiri LP 14. Persebaran kadar Sn
daerah penelitian ditampilkan dalam peta mineralisasi (Gambar 28).
4.3. Kontrol Litologi Terhadap Mineralisasi
Berdasarkan pengamatan di lapangan, litologi pada daerah penelitian terdiri dari granit,
batupasir, batulempung dan hornfels. Berdasarkan beberapa litologi tersebut, dijumpai
perbedaan antara litologi dengan berkembangnya kekar dilapangan, Dimana dalam kasus ini
kekar yang nantinya berkembang menjadi urat adalah sebagai media pembawa mineral
kasiterit. Kekar-kekar tersebut berperan sebagai celah untuk fluida hidrotermal masuk dan
mengendapkan timah. Batupasir dari Satuan Batupasir Tanjunggenting di lapangan cenderung
memiliki kekar-kekar berlembar (sheeted veins) yang lebih kompleks dibandingkan litologi
786
PROCEEDING, SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-11
PERSPEKTIF ILMU KEBUMIAN DALAM KAJIAN BENCANA GEOLOGI DI INDONESIA
5 – 6 SEPTEMBER 2018, GRHA SABHA PRAMANA
lainya (Gambar 29). Hal ini desebabkan karena batupasir memiliki sifat getas yang lebih
tinggi dibandingkan dengan litologi lainya apabila mengalami deformasi.
4.4. Karakteristik Tipe EndapanBerdasarkan karakteristik tipe endapan
pada (Tabel 2), dapat disimpulkan bahwa tipe endapan pada lokasi penelitian mengacu
kepada modifikasi Scherba, (1970); dalam Pirajno, (2009) adalah Tipe Endapan
Greisen dalam Fase Pengendapan Urat (Gambar 30).
4.5. Unsur Radioaktif Daerah Penelitian
Keberadaan unsur radioaktif berupa unsur U (Uranium) dipengaruhi oleh kontrol litologi
dan struktur geologi, sedangkan keberadaan unsur Th (Torium) lebih dipengaruhi oleh
struktur geologi. Pada daerah penelitian berdasarkan grafik (Gambar 31) dibagi beberapa
kelas penggolongan kadar unsur U dengan kelas tertinggi yaitu 25-50 ppm dan unsur Th
dengan kelas tertinggi yaitu 106-232 ppm (Gambar 32). Perebaran unsur U ditampilkan dalam
peta (Gambar 33) dan persebaran unsur Th ditampilkan dalam peta (Gambar 34).
4.6. Unsur Tanah Jarang Daerah Penelitian
Keberadaan unsur tanah jarang berupa unsur Y (Yttrium) dipengaruhi oleh kontrol
litologi dan struktur geologi, sedangkan keberadaan unsur Ce (Serium) dan unsur La
(Lantanum) lebih dipengaruhi oleh struktur geologi. Pada daerah penelitian berdasarkan
grafik (Gambar 35) dibagi beberapa kelas penggolongan kadar unsur Y dengan kelas tertinggi
yaitu 50-92 ppm dan unsur Ce dengan kelas tertinggi yaitu 135-221 ppm (Gambar 36) serta
unsur La dengan kelas tertinggi 125-151 ppm (Gambar 37). Persebaran unsur Y ditampilkan
dalam peta (Gambar 38) dan persebaran unsur Ce ditampilkan dalam peta (Gambar 39) serta
persebaran unsur La ditampilkan dalam peta (Gambar 40).
5. Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan geologi hasil dari interpretasi, kemudian dibuktikan dengan
data lapangan dan didukung dengan data laboratorium pada Blok Lembah Jambu, Kecamatan
Tempilang, Kabupaten Bangka Barat, Provinsi Kepulauan Bangka Belitung, dapat
disimpulkan bahwa :
1. Berdasarkan pengamatan bentuklahan dan didukung oleh data di lapangan, stratigrafi
pada lokasi penelitian terdiri dari 4 satuan batuan, dari tua – muda yaitu Satuan
Batupasir Tanjunggenting (Trias Awal-Tengah), Satuan Fine Grain Granit Klabat
(Trias Akhir-Jura Awal), Satuan Coarse Grain Granit Klabat (Trias AkhirJura Awal),
dan Endapan Alluvial (Kuater).
2. Berdasarkan data di lapnagan, struktur geologi yang berkembang pada lokasi
penelitian terdiri dari kedudukan batuan, kekar dan sesar. Kedudukan perlapisan
batuan memiliki kedudukan umum N 029ᴼ E/20ᴼ SE. Kekar pada lokasi penelitian
memiliki tegasan utama N 028ᴼ E. Kekar-kekar berlembar yang terisi mineral oksida,
kuarsa dan mineral lempung. Kekar-kekar tersebut berperan sebagai celah untuk
fluida hidrotermal masuk dan mengendapkan timah. Sesar pada lokasi penelitian yaitu
sesar mendatar kiri sesar LP 1 dan sesar LP 14 dengan arah baratlaut – tenggara dan
sesar mendatar kanan sesar LP 13 dan sesar LP 41 dengan arah timurlaut – baratdaya.
Sesar mendatar kiri dengan arah baratlaut – tenggara berperan dalam mengontrol
mineralisasi, dimana pada sesar ini dijumpai timah dengan kadar tinggi.
3. Berdasarkan data di lapngan dan didukung dengan analisa ASD, alterasi yang
berkembang diindikasikan sebagai alterasi hidrotermal kemudian dibagi menjadi 5
himpunan mineral, yaitu Turmalin + Klorit ± Smektit, Turmalin + Kaolinit ± Phengit,
Kaolinit + Kuarsa ± Illit ± Muskovit, Kaolinit ± Phengit ± Kuarsa dan Kuarsa +

787
PROCEEDING, SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-11
PERSPEKTIF ILMU KEBUMIAN DALAM KAJIAN BENCANA GEOLOGI DI INDONESIA
5 – 6 SEPTEMBER 2018, GRHA SABHA PRAMANA
Kaolinit ± Palygorskit ± Muskovit. Dijumpai pula alterasi oksida yang merupakan
hasil proses permukaan.
4. Tipe mineralisasi timah primer adalah berupa pengisiian pada urat-urat berlembar dan
lode vein. Mineral pembawa timah primer yaitu kasiterit yang terdapat pada urat-urat
berlembar berasosiasi dengan urat kuarsa, urat mineral lempung dan urat mineral
oksida.
5. Berdasarkan karakteristik tipe endapan pada, dapat disimpulkan bahwa Tipe Endapan
pada lokasi penelitian adalah Tipe Endapan Greisen dalam Fase Pengendapan Urat.
6. Keberadaan unsur U (Uranium) dan Y (Yttrium) dipengaruhi oleh kontrol litologi dan
struktur geologi, sedangkan keberadaan unsur Th (Torium),Ce (Serium) dan La
(Lantanum) lebih dipengaruhi oleh struktur geologi.

Acknowledgements
Paper ini merupakan hasil diskusi dengan Bapak Sutanto dan Bapak Suprapto
(Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Yogyakarta). Terimakasih kami ucapkan
kepada PT. Timah Tbk. Dan kepada Jurusan Teknik Geologi, Fakultas Teknologi Mineral,
Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Yogyakarta atas terselesaikanya penelitian ini.

Daftar Pustaka
Asikin, Suparka S. (1981). Pemikiran Perkembangan Tektonik Pra Tersier di Sumatera
Bagian Tengah, Riset Geologi dan Pertambangan. Jilid 4 No. 1 1981.
Bateman, A. M. (1981). Deposit Mineral 3rd edition. John Wiley and Sons. New York.
Barber, A.J., Crow, M.J. dan De Smet, M.E.M. (2005). Tectonic Evolution In: Barber, A.J.,
Crow, M.J., Milsom, J.S. (Eds.), Sumatra: Geology, Resources and Tectonic Evolution.
Geological Society Memoar, 31 pp.54-62.
Bemmelen, R. W. (1949). The Geology of Indonesia. Martinus Nyhof. The Haque.
Bemmelen, R.W. Van. (1949). The Geology of Indonesia. Vol. 1 A. Government Printing
Office, The Hauge. Amsterdam.
Chappel, B. W. And White, A.J.R. (1974). “Two Contrasting Granite Types”.Pacific Geology.
8 p. 173-174, 1974.
Chappel, B.W., White, A.J.R. (2001). ”Two Contrasting Granite Types: 25 years
later”.Australian Journal of Earth Sciences p. 48, 489–499, 2001.
Cobbing, E.J., Mallick, D.I.J., Pitfield, P.E.J., Dan Teoh, L.H. (1986). ”The Granites of the
Southeast Asian Tin Belt“. Journal of the Geological Society p.143, 537-550, 1986.
Corbett, G.J. (2002). Structural controls to Porphyry Cu-Au and Epithermal Au-Ag deposits
in Applied Structural Geology for Mineral Exploration. Australian Institute of
Geoscientists Bulletin 36 p. 32-35.
Daranin, E. A. (1994). Genesa dan Pengenalan Bijih. Departemen Pertambangan dan Energi,
Direktorat Jenderal Pertambangan Umum, Pusat Penelitian dan Pengembangan
Teknologi Mineral.
Darman, H. dan Sidi, F. H. (2000). An outline of the geology of Indonesia coal. Indonesian
association of geologists. Jakarta p. 254.

788
PROCEEDING, SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-11
PERSPEKTIF ILMU KEBUMIAN DALAM KAJIAN BENCANA GEOLOGI DI INDONESIA
5 – 6 SEPTEMBER 2018, GRHA SABHA PRAMANA

John M. Guilbert., Charles F. Park Jr.(1986). Ore Deposit.


Katili, J.A. (1967). Structure And Age of The Indonesian Tin Belt With Special Reference to
Bangka. Tectonophysics Elsevier Publishing Company. Amsterdam.
Katili, J.A. (1980). Geotectonics of Indonesia p. 10.
Lawless, J. V., White, P. J., Bogie, L., Paterson, L. A., Cartwright, A. J. (1998).
Hydrothermal Mineral Deposit in the Arc Setting Exploration Based on
Mineralization Models. Kingston Morrison Ltd.
Lingrend, W. (1933). Mineral Deposit. McGraw-Hill Book Company. Inc. USA.
Mangga, S., Djamal, B. (1994). “Peta Geologi Lembar Bangka Utara dan Bangka Selatan”.
Pusat Penelitian Pengembangan Geologi. 1994. Bandung.
Matthews III,William H. (1967). Geolgy Made Simple, Made Simple Book. Doubleday &
Company. Inc. Garden City. New York.
Metcalfe, I. (2000). The Bentong-Raub Suture Zone, Jurnal Asian Earth Science, vol. 18 p.
691 – 712. 73.
Metcalfe, I. (2011). Tectonic Framework and Phanerozoic Evolution of Sundaland. Jurnal
Gondwana Research, vol. 19 p. 3-21.
Pirajno. (2009). Hydrothermal Processes and Mineral Systems. Springer Science + Bussines
Media B.V.
Pettijohn, F. J. (1957). Sedimentary Rocks. Harper and Brothers.New York.
Schwartz, M.O., Rajah, S.S., Askury, A.K., Putthapiban, P., And Djaswadi, S. (1995). “The
Southeast Asian Tin Belt”. Earth-Science Reviews p.38, 295-293, 1995.
Sosromihardjo, S. P. C. (1988). Structural analysis of the North Sumatra Basin-with emphasis
on Synthetic Aperture Radar data. Indonesian Petroleum Association. Proceedings of
the 17th Annual Convention.Jakarta.
Sutarto. (2001). Buku Petunjuk Praktikum Endapan Mineral Edisi 2. Laboratorium Endapan
Mineral. Jurusan Teknik Geologi, Fakultas Teknologi Mineral, Universitas
Pembangunan Nasional ”Veteran” Yogyakarta.
Tania Dina. (2009). Sebaran Endapan Plaser Timah Daerah Laut Cupat Dan Sekitarnya,
Perairan Bangka Utara, Kabupaten Bangka Barat, Propinsi Kepulauan Bangka
Belitung. Jurnal Ilmiah MTG, Vol. 2, No. 2.
U. Margono, RJB. Supandjono& E. Partoyo. (1995). Peta Geologi Lembar Bangka Selatan.
Pusat Penelitian Pengembangan Geologi. Bandung.
Van Zuidam, R.A. & Van Zuidam-Cancelado, F.I. (1979). Terrain analysis and classification
using aerial photographs. A geomorphological approach. ITC Textbook of Photo-
interpretation. ITC. Enschede.
Verstappen, H.Th. (1983). Applied Geomorphology. Geomorphological Surveys for
Enviromental Development. El sevier. New York
Wikarno, U., Suyama, D.A.D. dan Sukardi. (1988). Granitoids of Sumatera and The Tin
Islands. In: C.S. Hutchison (Editor), Geology of Tin Deposits in Asia and the Pacific;

789
PROCEEDING, SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-11
PERSPEKTIF ILMU KEBUMIAN DALAM KAJIAN BENCANA GEOLOGI DI INDONESIA
5 – 6 SEPTEMBER 2018, GRHA SABHA PRAMANA

Mineral Concentrations and Hydrocarbon Accumulations in the ESCAP Region.


Springer. New York, NY 3, 571-589, 1988.

Gambar 1. Diagram Alir Penelitian

790
PROCEEDING, SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-11
PERSPEKTIF ILMU KEBUMIAN DALAM KAJIAN BENCANA GEOLOGI DI INDONESIA
5 – 6 SEPTEMBER 2018, GRHA SABHA PRAMANA

Gambar 2. Peta Geologi Daerah Penelitian

Gambar 3 Foto Singkapan Kontak antara Batupasir dengan Hornfels dan Intrusi Granit
dengan Arah Kamera N 260O E pada LP 20 (Gambar 3A). Singkapan Perselingan Antara
Batupasir dengan Batulempung dengan Arah Kamera N 040O E pada LP 2 (Gambar 3B) (foto
oleh Syarif).

Gambar 4. Foto Megaskopis Batupasir Satuan Batupasir Tanjunggenting.

Gambar 5. Foto Sayatan Tipis Petrografi LP 4A Daerah Tambang 8.

791
PROCEEDING, SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-11
PERSPEKTIF ILMU KEBUMIAN DALAM KAJIAN BENCANA GEOLOGI DI INDONESIA
5 – 6 SEPTEMBER 2018, GRHA SABHA PRAMANA

Gambar 6. Foto Singkapan Hornfels dari Batupasir dengan arah kamera N 240O E pada LP
20.

Gambar 7. Foto Intrusi Granit dari Satuan Fine Grain Granit Klabat dimana Terdapat
Xenolith Berupa Batulempung dengan Arah Kamera N 300O E pada LP 57 (Gambar 7A). Foto
Close Up Xenolith Berupa Batulempung dengan Arah Kamera N 338O E pada LP 57 (Gambar
7B) (foto oleh Syarif).

Gambar 8. Foto Megaskopis Granit dari Satuan Fine Grain Granit Klabat pada LP 59.

792
PROCEEDING, SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-11
PERSPEKTIF ILMU KEBUMIAN DALAM KAJIAN BENCANA GEOLOGI DI INDONESIA
5 – 6 SEPTEMBER 2018, GRHA SABHA PRAMANA

Gambar 9. Foto Singkapan Granit dari Satuan Coarse Grain Granit Klabat dengan Kondisi
Lapuk, Arah Kamera N 019O E pada LP 13 (Gambar 9A). Foto Close Up Singkapan Granit
dengan Arah Kamera N 032O E pada LP 13 (Gambar 9B), Foto Litologi yang Menunjukan
Mineral Kuarsa dalam Bentuk Menyudut serta Terdapat Urat Oksida dan Kasiterit dengan
Arah Kamera N 351O E pada LP 13 (Gambar 9C) (foto oleh Syarif).

Gambar 10. Foto Megaskopis Granit dari Satuan Coarse Grain Granit Klabat pada LP 33
(Gambar 4.23A) dan LP 42 (Gambar 4.23B).

Gambar 11. Foto Sayatan Tipis Petrografi LP 42 Daerah Lembah Jambu.

793
PROCEEDING, SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-11
PERSPEKTIF ILMU KEBUMIAN DALAM KAJIAN BENCANA GEOLOGI DI INDONESIA
5 – 6 SEPTEMBER 2018, GRHA SABHA PRAMANA

Gambar 12. Foto Kenampakan Material Lepas dari Endapan Aluvial, Arah Kamera N 270O E
pada LP 23 (Gambar 12A). Foto Close Up Endapan Aluvial Yang Terdiri Oleh Bongkah,
Krakal, Krikil dan Pasir dengan Arah Kamera N 310O E pada LP 23 (Gambar 12B) (foto oleh
Syarif).

Gambar 13. Foto Kenampakan Material Lepas yaitu Krakal, Krikil dan Pasir dari Endapan
Alluvial dengan Arah Kamera N 265O E pada LP 22

Gambar 14. Kedudukan Perlapisan Batuan Memiliki Kedudukan Umum N 029ᴼ E/20ᴼ
dengan Kemiringan Lapisan Kearah Tenggara.

794
PROCEEDING, SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-11
PERSPEKTIF ILMU KEBUMIAN DALAM KAJIAN BENCANA GEOLOGI DI INDONESIA
5 – 6 SEPTEMBER 2018, GRHA SABHA PRAMANA

Gambar 15. Analisa Streografis Kekar dengan Arah Tegasan Utama N 028ᴼ E.

Gambar 16. Analisa Stereografis Sesar LP 1.

795
PROCEEDING, SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-11
PERSPEKTIF ILMU KEBUMIAN DALAM KAJIAN BENCANA GEOLOGI DI INDONESIA
5 – 6 SEPTEMBER 2018, GRHA SABHA PRAMANA

Gambar 17. Analisa Stereografis Sesar LP 14.

Gambar 18. Analisa Stereografis Sesar LP 13.

796
PROCEEDING, SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-11
PERSPEKTIF ILMU KEBUMIAN DALAM KAJIAN BENCANA GEOLOGI DI INDONESIA
5 – 6 SEPTEMBER 2018, GRHA SABHA PRAMANA

Gambar 19. Analisa Stereografis Sesar LP 41.

Gambar 20. Peta Alterasi Daerah Penelitian.

797
PROCEEDING, SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-11
PERSPEKTIF ILMU KEBUMIAN DALAM KAJIAN BENCANA GEOLOGI DI INDONESIA
5 – 6 SEPTEMBER 2018, GRHA SABHA PRAMANA

Gambar 21. Foto Singkapan Teralterasi Kuat Kaolinit + Kuarsa ± Illit ± Muskovit Pada
Litologi Batupasir Satuan Batupasir Tanjunggenting dengan arah kamera N 210O E LP 1

Gambar 22. Foto Singkapan Teralterasi Kuarsa + Kaolinit ± Palygorskit pada Litologi
Batupasir Satuan Batupasir Tanjunggenting dengan arah kamera N 007O E LP 117

798
PROCEEDING, SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-11
PERSPEKTIF ILMU KEBUMIAN DALAM KAJIAN BENCANA GEOLOGI DI INDONESIA
5 – 6 SEPTEMBER 2018, GRHA SABHA PRAMANA

Gambar 23. Foto Singkapan Teralterasi Mineral Oksida pada Litologi Granit Satuan Coarse
Grain Granit Klabat dengan arah kamera N 135O E LP 34

Gambar 24. Dilational Fracture dalam Orthogonal Convergence (Corbett dan Leach 1998).

Gambar 25. Kontrol Struktur Geologi Berupa Sesar Mendatar Kiri pada LP 1 dengan Arah
Kamera N 210O E dan dengan Arah Kamera N 290O E LP 14.

799
PROCEEDING, SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-11
PERSPEKTIF ILMU KEBUMIAN DALAM KAJIAN BENCANA GEOLOGI DI INDONESIA
5 – 6 SEPTEMBER 2018, GRHA SABHA PRAMANA

Gambar 26. Foto Sayatan Mineragrafi yang Menunjukan Mineral Kaisterit dalam Urat pada
Sampel Core DC 66 (Gambar 25A), Foto Sayatan Mineragrafi yang Menunjukan Mineral
Kaisterit dalam Urat pada Sampel Core DC 69 (Gambar 525B), Foto Sayatan Mineragrafi
yang Menunjukan Mineral Kaisterit, Geotite dan Hematit dalam Urat pada Litologi Granit
Satuan Coarse Grain Granit Klabat Sampel LP 20A (Gambar 25C), Foto Sayatan Mineragrafi
yang Menunjukan Mineral Kaisterit dan Mangan dalam Urat pada Litologi Granit Satuan
Coarse Grain Granit Klabat Sampel LP 11 (Gambar 25D).

Gambar 27. Foto Lode Vein Sebagai Pembawa Kasiterit dengan Arah Kamera N 290O E
(Gambar 27A), Foto Kekar Berlembar (sheeted vein) pada Litologi Granit Satuan Coarse
Grain Granit Klabat dengan Arah Kamera N 032O E (Gambar 27B), Foto Kekar Berlembar
(sheeted vein) pada Litologi Batupasir Satuan Batupasir Tanjunggenting dengan Arah Kamera
N 020O E (Gambar 27C) (foto oleh Syarif).

800
PROCEEDING, SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-11
PERSPEKTIF ILMU KEBUMIAN DALAM KAJIAN BENCANA GEOLOGI DI INDONESIA
5 – 6 SEPTEMBER 2018, GRHA SABHA PRAMANA

Gambar 28. Peta Mineralisasi Daerah Penelitian

Gambar 29. Foto Litologi Batupasir Satuan Batupasir Tanjunggenting dengan Kekar
Berlembar (Sheeted Vein) yang lebih berkembang dengan Arah Kamera N 125O E pada LP 1

801
PROCEEDING, SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-11
PERSPEKTIF ILMU KEBUMIAN DALAM KAJIAN BENCANA GEOLOGI DI INDONESIA
5 – 6 SEPTEMBER 2018, GRHA SABHA PRAMANA

Gambar 30. Penampang Skematik dari Sistem Endapan Greisen (Modifikasi Scherba, 1970;
dalam Pirajno, 2009).

Gambar 31. Grafik Penggolongan Unsur U

Gambar 32. Grafik Penggolongan Unsur Th

802
PROCEEDING, SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-11
PERSPEKTIF ILMU KEBUMIAN DALAM KAJIAN BENCANA GEOLOGI DI INDONESIA
5 – 6 SEPTEMBER 2018, GRHA SABHA PRAMANA

Gambar 33. Peta Persebaran Unsur U

Gambar 34. Peta Persebaran Unsur Th

803
PROCEEDING, SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-11
PERSPEKTIF ILMU KEBUMIAN DALAM KAJIAN BENCANA GEOLOGI DI INDONESIA
5 – 6 SEPTEMBER 2018, GRHA SABHA PRAMANA

Gambar 35. Grafik Penggolongan Unsur Y

Gambar 36. Grafik Penggolongan Unsur Ce

Gambar 37. Grafik Penggolongan Unsur La

804
PROCEEDING, SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-11
PERSPEKTIF ILMU KEBUMIAN DALAM KAJIAN BENCANA GEOLOGI DI INDONESIA
5 – 6 SEPTEMBER 2018, GRHA SABHA PRAMANA

Gambar 38. Peta Persebaran Unsur Y

Gambar 39. Peta Persebaran Unsur Ce

805
PROCEEDING, SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-11
PERSPEKTIF ILMU KEBUMIAN DALAM KAJIAN BENCANA GEOLOGI DI INDONESIA
5 – 6 SEPTEMBER 2018, GRHA SABHA PRAMANA

Gambar 40. Peta Persebaran Unsur La

806
PROCEEDING, SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-11
PERSPEKTIF ILMU KEBUMIAN DALAM KAJIAN BENCANA GEOLOGI DI INDONESIA
5 – 6 SEPTEMBER 2018, GRHA SABHA PRAMANA

Tabel 1. Kolom Stratigrafi Lokasi Penelitian Mengacu kepada Berdasarkan Mangga dan
Djamal, 1994; Margono dkk., 1995.

Tabel 2. Tabel Karekteristik Tipe Endapan Lokasi Penelitian.

807
PROCEEDING, SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-11
PERSPEKTIF ILMU KEBUMIAN DALAM KAJIAN BENCANA GEOLOGI DI INDONESIA
5 – 6 SEPTEMBER 2018, GRHA SABHA PRAMANA

STUDI PENDAHULUAN BATUAN GRANITOID DI DAERAH SIBOLGA DAN


SEKITARNYA, PROVINSI SUMATERA UTARA

Kardo Polarman Rajoki Silitonga1*


Nugroho Imam Setiawan2
1*
Program Studi S1 Departemen Teknik Geologi, Fakultas Teknik, Universitas Gadjah Mada
2Program Studi S1 Departemen Teknik Geologi, Fakultas Teknik, Universitas Gadjah Mada

*corresponding author: kardopolarman16@gmail.com

ABSTRAK
Kehadiran granitoid di Daerah Sibolga, Sumatera Utara memiliki peranan penting untuk
mengetahui sejarah magmatisme, proses-proses geologi masa lampau, dan implikasinya
terhadap kondisi geologi saat ini. Batolit granitoid di Daerah Sibolga ini merupakan bagian
dari provinsi granitoid Sabuk Barat Pulau Sumatera. Daerah penelitian terletak di sekitar Kota
Sibolga dan Kabupaten Tapanuli Tengah, Sumatera Utara yang memiliki luas 2 x 2 km2.
Pengamatan geologi dan pengambilan sampel batuan dilakukan dengan metode spot sampling
dari penyebaran granitoid yang tersingkap di daerah penelitian. Sebanyak 13 sampel batuan
diperoleh dari lokasi penelitian yang kemudian dianalisis petrografi. Batuan granitoid di
daerah penelitian dibagi menjadi 4 tipe yaitu alkali-feldspar granite, syeno-granite, alkali
feldspar quartz syenite dan gabbro. Alkali-feldspar granite, syeno-granite, alkali feldspar
quartz syenite umumnya berwarna kemerah-merahan dengan ukuran kristal > 1–9 mm dengan
tekstur holokristalin, faneritik dan hipidiomorfik granular. Mineral utama yang dijumpai pada
batuan ini adalah ortoklas, kuarsa, plagioklas dan biotit dengan mineral aksesori berupa
muskovit, serta mineral sekunder yaitu mineral sulfida dan klorit. Gabbro berwarna abu-abu
gelap dengan ukuran kristal < 1 - 2 mm memiliki tekstur holokristalin, porfiritik dan
hipidiomorfik granular. Pengamatan lapangan memperlihatkan bahwa gabro dijumpai sebagai
tubuh intrusi dan menjadi xenoliths pada batuan granitoid yang lain. Berbagai jenis batuan
granitoid yang dijumpai di lapangan menandakan adanya proses magmatisme yang berbeda-
beda dan/atau diferensiasi magma lanjut. Intrusi dan struktur geologi yang berkembang juga
menyebabkan terjadinya alterasi batuan pada tubuh batuan granitoid.
Kata kunci: granitoid, petrografi, magmatisme, Sibolga

1. Pendahuluan
Granitoid di Pulau Sumatera dibedakan menjadi 2 provinsi yaitu sabuk granitoid barat
(western belt) dan sabuk granitoid tengah (main range granite) (Cobbing,2005) (Gambar 1).
Batuan granitoid pada sabuk barat terdiri dari granitoid tipe-I dan dibatasi Bukit Barisan.
Sabuk granitoid tengah (main range granite) tersusun atas granitoid tipe-S dengan sedikit
granitoid tipe-I dan memiliki karakteristik mineralisasi timah (Cobbing,2005). Batuan tertua
di Sumatera adalah formasi Kluet dan Alas (Aspden, dkk.,1982). Pulau Sumatera terbentuk
oleh kolisi dan suturing dari mikrokontinen selama Paleozoik dan Mesozoik (Barber dan
Crow, 2005). Granitoid Sumatera terbentuk dalam dua siklus geologi. Siklus pertama adalah
pada saat siklus subduksi Carboniferous-Permian oleh lantai samudera Paleo-Thetys dan
kolisi lempeng benua Sibumasu dengan amalgamasi blok East Malay-Indocina. Siklus
pembentukan granitoid kedua adalah berasosiasi dengan busur vulkanik pada akhir Triassic -
awal Jurassic sepanjang batas Sundaland, yang mana ini merupakan sabuk tengah (main
range belt) (Hutchison, 1994, 2014; Schwartz et dkk., 1995; Cobbing, 2005 dalam Setiawan,
dkk., 2017). Daerah Sibolga, Sumatera Utara memiliki batuan granitoid yang memiliki
peranan penting untuk mengetahui sejarah magmatisme, proses-proses geologi masa lampau,
dan implikasinya terhadap kondisi geologi saat ini. Batolit granitoid di Daerah Sibolga ini
merupakan bagian dari provinsi granitoid Sabuk Barat Pulau Sumatera. Lokasi penelitian
terletak di Kelurahan Angin Nauli, Kecamatan Sibolga Utara, Kota Sibolga dan Desa Bonan
808
PROCEEDING, SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-11
PERSPEKTIF ILMU KEBUMIAN DALAM KAJIAN BENCANA GEOLOGI DI INDONESIA
5 – 6 SEPTEMBER 2018, GRHA SABHA PRAMANA

Dolok, Kecamatan Sitahuis, Kabupaten Tapanuli Tengah, Sumatera Utara yang memiliki luas
2 x 2 km2 dan dengan koordinat antara 477065- 476976; 194939-193895 (UTM-49).

1.1 Geologi Regional


Geologi daerah Sibolga terdiri dari batolit yang disebut sebagai Komplek Granit Sibolga
dan memiliki beberapa fase intrusif dari Permian hingga Trias (Aspen, dkk.,1982). Batuan
dasar di Sibolga merupakan batuan metasedimen yang terdiri dari metagreywacke Karbon dan
batuan turbidit Formasi Kluet (Aspen, dkk., 1982; Barber & Crow, 2005). Formasi Kluet
merupakan formasi yang sebanding dengan Formasi Bohorok dan diperkirakan mengalami
pengendapan hasil aliran massa atau arus yang keruh pada sekitar lereng benua selama
Karbon akhir hingga Permian Awal (Aspen, dkk., 1982).
Batuan granitoid tersebar luas di wilayah sekitar Sibolga, tetapi sebagian besar sudah
mengalami pelapukan dan tertutup oleh lapisan tanah yang sangat tebal. Umur batuan
granitoid di Sibolga ditentukan dengan penanggalan Sr-Rb dan K-Ar. Batuan Granitoid
nmenghasilkan rentang umur 264-75 Ma (Cobbing, 2005). Sedangkan Aspend, dkk. (1982)
menunjukkan bahwa umur biotit K-Ar berkisar dari 264-211 Ma.

2. Metode Penelitian
Penelitian dilakukan dengan studi literatur dari peneliti-peneliti terdahulu dan
pengambilan sampel dari singkapan batuan yang ditemukan di lapangan. Pengamatan geologi
dan pengambilan sampel batuan dilakukan dengan metode spot sampling dari penyebaran
granitoid yang tersingkap di daerah Sibolga dan sekitarnya (Gambar 2). Sebanyak 13 sampel
batuan diperoleh dari lokasi penelitian. Sampel yang dikoleksi merupakan sampel dengan
kondisi terbaik yang tidak mengalami pelapukan. Terdapat 13 sampel yang diambil dari 2
lokasi yang berbeda yaitu 8 sampel dari Desa Bonan Dolok dan 5 sampel dari Sibolga Julu.
Sampel yang telah diperoleh kemudian dilakukan pengamatan petrografi dengan
mikroskop polarisasi untuk mengetahui komposisi, tekstur dan struktur batuan. Preperasi
sayatan batuan dilakukan di Laboratorium Pusat Geologi Departemen Teknik Geologi
Fakultas Teknik UGM. Sedangkan pengamatan petrografi dilakukan di Laboratorium
Geologi Optik Departemen Teknik Geologi UGM. Pengamatan tersebut berguna untuk
memahami petrogenesa batuan yaitu sumber magmatik, tingkat diferensiasi, kristalisasi
fraksional dan tipe batuan beku. Tipe batuan beku dibedakan berdasarkan komposisi mineral
dengan menggunakan standar IUGS.

3. Data
3.1 Observasi Lapangan
Singkapan batuan yang dijumpai umumnya berada pada tebing-tebing sungai dan bukit
(Gambar 3). Batuan yang dijumpai di lapangan dapat dibedakan menjadi syeno-granite
(Gambar 3a), alkali-feldspar granite (Gambar 3b dan d), dan alkali feldspar quartz syenite
(Gambar 3e) yang umumnya berwarna kemerah-merahan dengan ukuran kristal >1 – 9 mm
dengan, struktur massif, tekstur holokristalin, faneritik dan hipidiomorfik granular. Mineral
utama yang dijumpai pada batuan ini adalah ortoklas, kuarsa, plagioklas dan biotit dengan
mineral aksesori berupa muskovit, serta mineral sekunder yaitu mineral sulfida dan klorit.
Gabbro (Gambar 3c) berwarna abu-abu gelap dengan ukuran kristal < 1 - 2 mm memiliki
tekstur holokristalin, faneritik dan hipidiomorfik granular. Pengamatan lapangan
memperlihatkan bahwa gabro dijumpai sebagai tubuh intrusi dan menjadi xenoliths pada
batuan granitoid yang lain.

3.2 Analisis Sayatan Tipis

809
PROCEEDING, SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-11
PERSPEKTIF ILMU KEBUMIAN DALAM KAJIAN BENCANA GEOLOGI DI INDONESIA
5 – 6 SEPTEMBER 2018, GRHA SABHA PRAMANA

Analisis dilakukan dengan mikroskop polarisasi dan hasil pengamatan disajikan pada
Tabel 1. Secara mikroskopis sayatan tipis batuan syeno-granite mempunyai tekstur faneritik,
ukuran kristal 1–8 mm, holokristalin, bentuk dan hubungan antar kristal subhedral,
hipidiomorfik granular, komposisi mineral primer terdiri dari alkali feldspar (35–51%), kuarsa
(27–53%), plagioklas (6–9%), biotit (6–11%), hornblende (2%), muskovit (3%), dan mineral
sekunder klorit (1–2%) dan mineral opak (2–3%). Sampel batuan diklasifikasikan menjadi
syeno-granite yang terdiri dari 6 sampel yaitu BD0101, BD06, SJ08, SJ9, SJ10, dan SJ12
(Gambar 4a).
Alkali-feldspar granite memiliki tekstur faneritik, dengan ukuran kristal 1–5 mm,
holokristalin, bentuk dan hubungan antar kristal subhedral-euhedral, hipidiomorfik granular,
komposisi mineral primer terdiri dari alkali feldspar (54-68%), kuarsa (20-27%), plagioklas
(1-5%), biotit (3-16%), dan mineral sekunder berupa klorit (1-2%) dan mineral opak (2-8%).
Sampel batuan diklasifikasikan menjadi alkali-feldspar granite yang terdiri dari 5 sampel
yaitu BD0102, BD02, BD03, BD04 dan BD07 (Gambar 4b).
Alkali feldspar quartz syenite memiliki tekstur faneritik, ukuran kristal 1–9 mm,
holokristalin, bentuk dan hubungan antar kristal subhedral-anhedral, hipidiomorfik granular,
komposisi mineral primer terdiri dari alkali feldspar (72%), kuarsa (14%), biotit (12%), dan
mineral opak (2%). Sampel batuan diklasifikasikan menjadi syeno-granite yang terdiri dari 1
sampel yaitu SJ11 (Gambar 4d).
Gabro mempunyai tekstur porfiritik, tersusun oleh fenokris dengan ukuran kristal 1–2
mm, holokristalin, bentuk dan hubungan antar kristal subhedral, dengan tekstur secara umum
hipidiomorfik granular, komposisi mineral primer terdiri dari kuarsa (5%), plagioklas (49%),
piroksen (26%), biotit (4%), hornblende (5%), dan mineral sekunder berupa klorit (3%) dan
mineral opak (8%). Sampel batuan diklasifikasikan menjadi Gabro yang terdiri dari 1 sampel
yaitu BD05 (Gambar 4c).

4. Hasil dan Pembahasan


Berdasarkan observasi lapangan secara megaskopis terdapat empat jenis batuan beku
plutonik yang berbeda di lokasi penelitian, kemudian dari analisis petrografi komposisi
mineral penyusun batuan dapat diketahui dengan lebih detail sehingga dapat ditentukan
penamaan petrografis batuan dan untuk interpretasi petrogenesa batuan. Seperti batuan beku
lainnya, komposisi kimia batuan granitoid dipengaruhi oleh komposisi kimia magma asal,
tekanan, temperatur, derajat pelelehan sebagian, serta proses alamiah dan proses lanjutan
yaitu asimilasi dan diferensiasi.
Alkali-feldspar granite tersebar pada bagian timur laut daerah penelitian, syenogranite
tersebar pada bagian tenggara lokasi penelitian sedangkan alkali feldspar quartz syenite hadir
di bagian barat daya daerah penelitian (Gambar 2). Pengamatan sayatan tipis menunjukkan
bahwa ketiga batuan tersebut memiliki tekstur faneritik dengan kandungan alkali feldspar dan
kuarsa yang melimpah. Ukuran mineral yang relatif besar (1-9 mm) menandakan bahwa
batuan-batuan tersebut merupakan hasil pembekuan magma yang sangat lambat. Selain itu
tekstur hipidiomorfik granular dapat menunjukkan hubungan antara kristal yaitu mineral yang
baru terbentuk akan mempengaruhi mineral yang sudah terbentuk sebelumnya. Komposisi
mineral yang terkandung di dalam batuan menunjukkan bahwa magma induk memiliki sifat
asam. Magma sumber batuan granitoid umumnya mengandung plagioklas, alkali feldspar dan
kuarsa, kemudian mengalami evolusi pada saat terjadi proses pendinginan. Kuarsa dan alkali
feldspar yang menunjukkan batas butir tidak teratur, mengindikasikan bahwa mineral tersebut
sudah mengalami kristalisasi bersamaan setelah fase sebelumnya untuk menuju tahap akhir.
Gabro menunjukkan tekstur porfiritik dengan ukuran fenokris berkisar 1–2 mm. Batuan
ini memiliki komposisi plagioklas dan piroksen yang berlimpah dengan tekstur hipidiomorfik
granular yang diinterpretasikan terbentuk sebagai intrusi yang lebih dangkal. Magma dapat
810
PROCEEDING, SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-11
PERSPEKTIF ILMU KEBUMIAN DALAM KAJIAN BENCANA GEOLOGI DI INDONESIA
5 – 6 SEPTEMBER 2018, GRHA SABHA PRAMANA

memiliki afinitas yang sama seperti batuan plutonik asam lainnya apabila telah mengalami
evolusi menjadi lebih basa atau dapat juga berasal dari magma yang berbeda. Hal ini harus
dibuktikan dengan analisis geokimia. Selain ditemukan sebagai suatu tubuh intrusi, batuan ini
juga dijumpai sebagai xenolith yang sering diamati pada batuan intrusif lainnya. Xenolith ini
umumnya diasumsikan sebagai bagian dari fragmen batuan dinding yang masuk ke dalam
magma saat mengintrusi. Kehadiran xenolith mengindikasikan bahwa lokasi penelitian
memiliki fase magmatik yang berbeda dan/atau diferensiasi magma lanjut. Selain itu, batuan
yang ada di daerah penelitian juga telah banyak mengalami pelapukan dan alterasi yang
diperkirakan akibat keberadaan struktur geologi dan proses hidrothermal.

5. Kesimpulan
Dari hasil penelitian yang telah dilakukan dapat diambil kesimpulan bahwa di lokasi
penelitian dijumpai empat jenis batuan beku plutonik yaitu alkali-feldspar granite, syeno-
granite, alkali feldspar quartz syenite dan gabbro. Karakteristik magma asal yang dijumpai di
daerah penelitian diperkirakan memiliki fase magmatik yang berbeda dan/atau terjadinya
proses diferensiasi magma, hal ini ditunjukkan oleh komposisi mineral yang berbeda pula
pada sampel batuan yang dianalisis. Penelitian ini merupakan studi awal dari batuan granitoid
yang berada di Sibolga dan sekitarnya sehingga masih diperlukan penelitian lebih lanjut dan
analisis yang lebih detail meliputi geokimia dan penentuan umur batuan.

Acknowledgement
Penulis mengucapkan terima kasih kepada Nugroho Imam Setiawan, S.T., M.T., Ph.D.
selaku pembimbing penelitian ini. Penulis juga berterimakasih kepada Departemen Teknik
Geologi UGM atas batuan dalam preparasi dan analisis sampel yang telah dilakukan.
Penelitian ini didanai melalui Hibah Penelitian Dosen Tahun 2018.

Daftar Pustaka
Aspden, J. A., Kartawa, W., Aldiss, D. T., Djunuddin, A., Whandoyo, R., Diatma, D., Clarke,
M. C. G. and Harahap, H. (1982). Peta Geologi Lembar Padang Sidempuan dan
Sibolga. Pusat Penelitian dan Pengembangan Geologi.Bandung.
Barber, A. J., Crow, M. J. and De Smet, M. E. M. (2005). Tectonic Evolution in Sumatra:
Geology, Resources and Tectonic Evolution in Barber, A. J., Crow, M. J., Milsom, J.
S. (eds.) Sumatra- Geology, Resources and Tectonic Evolution. Geol. Soc. London p.
24-259.
Best, M.G. (2003). Igneous and Metamorphic Petrology, 2nd Edition. Blackwell Publishing.
Oxford.
Cobbing, E. J. (2005). Granites in Barber, A. J., Crow, M. J., Milsom, J. S. (eds.) Sumatra-
Geology, Resources and Tectonic Evolution Geol. Soc. London p.54–62.
Frost, B. R. dkk.( 2001), A Geochemical Classification for Granitic Rocks. Journal of
Petrology vol. 42. No. 11 p.2033-2048.
Frost, B. R., & Frost, C.D. ( 2014). Essentials of Igneous and Metamorphic Petrology.
Cambridge University Press.New York.
Wilson, M. (2007). Igneous Petrogenesis A Global Tectonic Approach. Dordrecht. Springer.
Winter, J.D. (2001). An Introduction to Igneous and Metamorphic Petrology. Prentice Hall.
New Jersey.

811
PROCEEDING, SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-11
PERSPEKTIF ILMU KEBUMIAN DALAM KAJIAN BENCANA GEOLOGI DI INDONESIA
5 – 6 SEPTEMBER 2018, GRHA SABHA PRAMANA

Raymond, L.A. (2007). Petrology 2nd Edition: The Study of Igneous, Sedimentary and
Metamorphic Rocks. Waveland Press, Inc. Long Grove.
Setiawan, Iwan., Takahashi, Ryohei., & Imai, Akira. (2017). Petrochemistry of Granitoids in
Sibolga and its Surrounding Areas, North Sumatra, Indonesia. Resource Geology
vol.67. No. 3 p.254-278.

812
PROCEEDING, SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-11
PERSPEKTIF ILMU KEBUMIAN DALAM KAJIAN BENCANA GEOLOGI DI INDONESIA
5 – 6 SEPTEMBER 2018, GRHA SABHA PRAMANA

: Lokasi penelitian

Gambar 1. Distribusi batuan granitoid dan umurnya pada Sumatera, Malay Peninsula, dan
Kepulauan Timah (Tin Islands) (Cobbing, 2005).

: Lokasi penelitian

Gambar 2. Peta Lokasi Daerah Penelitian di Sibolga dan Sekitarnya (Aspen, dkk., 1982).

813
PROCEEDING, SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-11
PERSPEKTIF ILMU KEBUMIAN DALAM KAJIAN BENCANA GEOLOGI DI INDONESIA
5 – 6 SEPTEMBER 2018, GRHA SABHA PRAMANA

a.
. b.
.

c. d. e.

Gambar 3. Kenampakan singkapan di daerah penelitian, a) STA 1 : singkapan syenogranite


di Desa Bonan Dolok, b) STA 4 : singkapan alkali feldspar granite di Desa Bonan Dolok, c)
STA 5 : singkapan Gabro di Desa Bonan Dolok, d) STA 8 : singkapan alkali feldspar granite
di Sibolga Julu, e) STA 11 : singkapan alkali feldspar quartz syenite di Sibolga Julu.

a. b.
Qtz Opq
Kfs Kfs Opq
Bt
Bt
Qtz
Kfs

Bt Kfs Qtz
1 mm 1 mm

814
PROCEEDING, SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-11
PERSPEKTIF ILMU KEBUMIAN DALAM KAJIAN BENCANA GEOLOGI DI INDONESIA
5 – 6 SEPTEMBER 2018, GRHA SABHA PRAMANA

c. d.
Kfs
Plg
Kfs
Opq
Px Bt Px Bt
Plg
Bt Plg
Qtz
1 mm Qtz 1 mm

e. f. Qtz Qtz

Kfs

Plg Bt
Kfs

Kfs
1 mm Qtz
1 mm

Gambar 4. Foto sayatan petrografi (polarisasi silang), a) STA 1 : Syenogranite dengan


mineral alkali feldspar (kfs), kuarsa (qtz), biotit (bt) dan mineral opaq (opq), b) STA 4 : alkali
feldspar granite dengan mineral alkali feldspar (kfs), kuarsa (qtz), biotit (bt) dan mineral opaq
(opq), c) STA 5 : Gabro dengan mineral piroksen (px), plagioklas (plg), kuarsa (qtz), biotit (bt)
dan mineral opaq (opq) , d) STA 7 : syenogranite dengan mineral alkali feldspar (kfs), kuarsa
(qtz), plagioklas (plg) dan biotit (bt), e) STA 8 alkali feldspar granite dengan mineral
feldspar (kfs), kuarsa (qtz), plagioklas (plg), f) STA 11 : singkapan alkali feldspar quartz
syenite dengan mineral alkali feldspar (kfs), plagioklas (plg), kuarsa (qtz), biotit (bt).

815
PROCEEDING, SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-11
PERSPEKTIF ILMU KEBUMIAN DALAM KAJIAN BENCANA GEOLOGI DI INDONESIA
5 – 6 SEPTEMBER 2018, GRHA SABHA PRAMANA

Tabel 1. Komposisi mineral dari setiap lokasi dan nama batuan berdasarkan kandungan
mineral.

Keterangan :
alkali feldspar (kfs), kuarsa (qtz), plagioklas (plg), biotit (bt), horblande (hbl), piroksen (px), muskovit (mv),
klorit (chl), dan mineral opaq (opq).

816
PROCEEDING, SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-11
PERSPEKTIF ILMU KEBUMIAN DALAM KAJIAN BENCANA GEOLOGI DI INDONESIA
5 – 6 SEPTEMBER 2018, GRHA SABHA PRAMANA
VOLCANIC ROCKS DIAGENESIS AND CHARACTERISTICS ANALYSIS OF
RESERVOIR SPACE, SEMILIR FORMATION, PATUK, GUNUNG KIDUL,
DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA

Aulia Agus Patria1*


Arsha Maulan2
Diannovi Islamiyati3
Bagus Dwi Cahya4
Moch. Indra Novian5

1*
Undergraduate Program, Geological Engineering Department, Universitas Gadjah Mada, Jalan Grafika No. 2
2Undergraduate Program, Geological Engineering Department, Universitas Gadjah Mada, Jalan Grafika No. 2
3
Undergraduate Program, Geological Engineering Department, Universitas Gadjah Mada, Jalan Grafika No. 2
4
Undergraduate Program, Geological Engineering Department, Universitas Gadjah Mada, Jalan Grafika No. 2
5
Lecture, Geological Engineering Department, Universitas Gadjah Mada, Jalan Grafika No.2
*corresponding author: aulia.agus.patria@mail.ugm.ac.id

ABSTRAK
Arc-related volcanism activity in Java subduction system has been started since Eocene. This activity
produces thick sequences ofvolcaniclastic rocks. Volcanic activity during Miocene in Southern
Mountain marked by ancient volcanic that produced volcanic deposits that compose Semilir Formation.
Outcrop in Ngoro-oro, Patuk, Gunung Kidul, Special Region of Yogyakarta, has an ideal dimension
and various lithology to identify petrophysical properties such as reservoir space. This paper uses
detailed stratigraphic measurement with 1:10 scale which determines the facies distribution and
analytical petrography to determine the reservoir characteristics based on mineralogy, texture and
diagenesis process. The results shows that the study area consist of lapilli-vitric stone, greywacke and
vitric-crystal tuff. Volcanic rocks in Semilir Formation, Gunung Kidul area develop into three
reservoir space types : primary pores, secondary pores and fractures pores. This formation of reservoir
space went through diagenetic process consist of cooling and solidification stage and epidiagenesis
stage. Cooling and solidification stage include fragmentation, crystallization, differentiation and
solidification, epidiagenesis (Re-Construction) stage include weathering, leaching, fluid dissolution
and tectonism. Primary pores were formed during volcanic active period and solidification period,
marked by volcanic rocks with various composition, grain size and contraction fractures. Secondary
pores and fractures pores formed at epidiagenesis (Re-Construction) stage, with distinct features as
weathering-leaching period and burial period, marked by micro-structure, solution pores fracture along
cleavage face and devitrification pores. Volcanic rocks diagenesis compelixity are the major factors
that control of complexity and diversity in reservoir space types.
Kaa kunci : diagenesis, volcanic rocks, porosity, semilir formation

1. Pendahuluan
Since Eocene, Java subduction system has started and produces arc-related with
volcanism activity. This volcanism activity produces thick sequences of volcaniclastic rocks
which not only has potential as reservoir but also proven to have a good accumulation of
hydrocarbon in Miocene volcaniclastic sequence in Well Jati-1, West Java. Outcrop analogue
studies within volcaniclastic rocks and its sequence are enable to identify the architectural
elements and geometric features of different rock units and also their petrophysical properties
such as porosity, which are essential information as reservoir characterization.
An outcrop in Ngoro-oro, Patuk, Gunung Kidul, has an ideal dimension to identify the
change of facies and rock units, both vertically and laterally. Geologically, the study area is in
Semilir Formation, Southern Mountain Zone. The study area is located in a-newly-cut road at
817
PROCEEDING, SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-11
PERSPEKTIF ILMU KEBUMIAN DALAM KAJIAN BENCANA GEOLOGI DI INDONESIA
5 – 6 SEPTEMBER 2018, GRHA SABHA PRAMANA
Nglanggeran, Gunung Kidul, Yogyakarta. Geological data are taken from a ±1000 m-long and
±20 meter-high outcrop along the Nglanggeran – Kalasan Road. Stratigraphically, Semilir
Formation is one of the formation in Southern Mountain Zone, it composed by volcanic rocks
as a product of Oligo-Miocene volcanic activity. Semilir Formation started since Late
Oligocene – Early Miocene and interfingering with Kebo-Butak formation below and
Nglanggran-Sambipitu above (van Bemmelen, 1949).

2. Metode Penelitian
The methods used in this research started with fieldwork to get measured section data
from ±1000 meters-outcrop and produced a 125 meters measured section data. The objective
from doing stratigraphic measurement is to divide the outcrop into some facieses. Detailed
petrographic analysis in order to named the rock samples that representing some points in the
outcrop. To get further interpretation about reservoir potential, point counting method used to
determine porosity quantitatively in order to explain qualitative porosity. In point counting
method, we use 10 fields of view for each sample and counting 100 points in each fields of
view. We count the ratio of pores, minerals, lithic and other fragments to get to know how
effective it is to be a reservoir. The deformation process might be interpreted by identifying
the pore type in the thin sections.
3. Data
3.1. Qualitative and Quantitative Porosity
Point counting method usefull to determine the ratio between pores, minerals,
lithic and other fragments to get effective porosity based on thin section.
Petrographycally, volcanic rocks in Patuk Area can be classified into Greywacke
(figure 2), Lapilli-vitric stone (figure 1) and Vitric-crystal tuff (figure 3), the highest
porosity in Lapilli-vitric stone (20,8%-30,1%) in sample AAP06 as a very good
porosity, followed by Greywacke (8-10%) in sample AAP15 as a poor porosity and
negligible for Vitric-crystal tuff (2-3%) in sample AAP09. Detailed calculation of each
samples and comparison between volcanic facies type, lithofacies and their porosity
explain in (Table 1) below.
3.2. Types of Porosity
Analytical petrographic also can be used to determine the type of porosity.
Based on it, type porosity of volcanic rocks in Patuk area consist of three major types,
Primary pores, Secondary pores and Fracture. Primary porosity can be break down
into three types Primary air pores, Intercrystalline pores and Intergranular pores.
Secondary porosity can be break down into Devitrivication pores, Phenocryst
dissolution pores, Dissolution pores in matrix and Dissolution pores among breccia.
Therefore, Fracture pores can be classified into two types, Structural fractures and
weathering fractures. Further explanation about classification types of porosity and its
features explain in (Table 2) below.
3.3. Diagenetic Stages and Processes
Diagenetic stages and process that affect porosity of volcanic rocks in Patuk
area can be determine from petrography analysis by distinct diagenesis markers. Two
stages of diagenesis determine in volcanic rocks in Patuk Area, Cooling and
Solidifaction stages within Volcanic active period and Solidification period, next stage
is Re-construction stage with two periods, Weathering-leaching period and Burial
period. Detailed relation between diagenetic stage, mechanism and markers explain in
(Table 3) below.

818
PROCEEDING, SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-11
PERSPEKTIF ILMU KEBUMIAN DALAM KAJIAN BENCANA GEOLOGI DI INDONESIA
5 – 6 SEPTEMBER 2018, GRHA SABHA PRAMANA

4. Hasil dan Pembahasan


Based on data shown above, Lapilli-vitric stone has highest porosity with 20,8%-
30,1% with qualitative porosity very good. This porosity consist of primary porosity,
secondary porosity and fracture. This primary porosity can be classified into three types,
primary air pores that formed due to expansion of gas during explosion and diagenetic
process, intergranular pores that formed after diagenetic process compaction between clastic
particles and intercrystalline pores that framework of rock-forming minerals crystallization.
Secondary pores that affect the porosity can be break down into devitrivication pores that
formed by glass/vitric matter after devitrification, Phenocryst dissolution pores that generate
due to dissolution fluids, Dissolution pores in matrix as devitrification of vitric matter in
matrix, Dissolution pores among breccia that formed due to weathering, leaching and
dissolution among fragmen. Fracture pores that shown in thin section caused by Structural
fractures as response under tectonics stress and burial event and Weathering fractures as
dissolution by fluid. Based on type of porosity and distinct characteristics Lapilli-vitric stone
has passed Cooling and solidification stage, with diagenesis process explosion & cracking,
crystallization differentiation and solidification, and after that Re-construction stage with
diagenesis process weathering, leaching, compaction, tectonization and devitrification.
Very good porosity classed into Greywacke with 8%-10% of porosity. This porosity
consist of primary pores, secondary pores and fracture. Primary porosity composed by
intergranular pores that formed by residual pores after diagenetic compaction, secondary
pores generate by devitrification pores with distinct micropores with favorable connectivity
and the most porosity that boost greywacke is fractures pores, consist of structural fractures
with micro-structure as a response tectonic stress and burial event, weathering fractures
formed due to dissolution and extension of original fractures caused y dissolution of fluids.
Based on distinct features and composition association, diagenesis of greywacke only in Re-
construction stage with weathering-leaching and burial period that most boost it porosity.
Weathering-leaching period caused by thermal expansion of rocks and burial period by
compaction, tectonic stress and increasing temperature and pressure from formation.
Vitric-crystal tuff has lowest porosity with 2%-3% porosity or can be negligible as
effective porosity. This porosity consist of primary pores and secondary pores. Primary pores
composed by primary air pores that formed due to expansion of gas during explosion
volcanic activity in this case tuff as pyroclastic fall deposit. Secondary pores generate by
devitrification pores that formed by glass/vitric matter after devitrification, can be determine
as micropores with favorable connectivity. Vitric-crystal tuff pass cooling and solidifation
stage with volcanic active period with diagenesis mechanism as eruption activity and cracking
from explosion of volcano and Re-construction stage within burial period as response of
increasing temperature and pressure of formation.

5. Kesimpulan
1. Volcanic rocks in Semilir Formation, Patuk Area consist of Lapilli-vitric stone,
Greywacke and vitric-crystal tuff
2. The highest porosity in Lapilli-vitric stone with Very Good (20.,8%-30,1%),
Greywacke with Poor porosity (8%-10%) and Vitric-crystal tuff with Negligible
porosity (2%-3%)
3. The effective porosity types in this area consist of Primary pores, Secondary pores and
Fracture pores.

819
PROCEEDING, SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-11
PERSPEKTIF ILMU KEBUMIAN DALAM KAJIAN BENCANA GEOLOGI DI INDONESIA
5 – 6 SEPTEMBER 2018, GRHA SABHA PRAMANA
4. Diagenesis process also boost the effective porosity within Two stages of diagenesis,
Cooling and Solidifaction Stage and Re-construction Stage.

Acknowledgements
The Authors gratefully acknowlede the support and encouragement of Moch. Indra
Novian as lecture that giving advice and as a mentor. Mr. Sriyanto as Labirant of Optical
Geology Laborant as permission to us Trinocular and Polarization microscope for this
research.

Daftar Pustaka
Jin, Chunshuang, Wenli Pan, Dewu Qiao. (2013). Volcanic Facies and Their Reservoirs
Characteristics in Eastern China Basins. Journal of Earth Science Vol. 24, No. 6
p.935-946
Lenhardt, Nils, Annette E. Gotz. (2011). Volcanic Setting and Their Reservoir Potential : an
Outcrop Analogue Study on the Miocene Tepoztlan Formation, Central Mexico.
University of Pretoria. Pretoria .
McPhie, J, M. Doyle, R. Allen. (1993). Volcanic Texture. Tasmania. Tasmanian Government
Printing Office.
Mao, Zhi-Guo, Ru-Kai Zhu, Jing-Lan Luo, Jing-Hong Wang, Zhan-Hai Du, Ling Su, Shao-
Min Zhang. (2015). Reseerrvoir Characteristics, Formation Mechanisms and
Petroleum Exploration Potential of Volcanic Rocks in China. Springerlink p.54-66.
Pujun, Wang, Chen Chongyang, Zhang Ying, Gao Youfeng, Qu Xuejiao, Yi Jian. (2015).
Characteristics of Volcanic Reservoirs and Distribution Rules of Effective Reservoirs
in the Changling Fault Depression, Songliao Basin, Natural Gas Industry B2 p.440-
448.
Seubert, W. Bernhard.( 2015). Volcaniclastic petroleum Systems – Concept and Examples
from Indonesia p.1-12.
Song, Sheng-Rong Huann-Jih Lo. (2002). Lithofacies of Volcanic Rocks in the Central
Coastal Range, Eastern Taiwan : Implications for Island Arc Evolution, Journal of
Asian Earth Scientist 21 p.23-38.

820
PROCEEDING, SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-11
PERSPEKTIF ILMU KEBUMIAN DALAM KAJIAN BENCANA GEOLOGI DI INDONESIA
5 – 6 SEPTEMBER 2018, GRHA SABHA PRAMANA

Figure 1. Types and microscope photos of reservoir space in volcanic rocks. (a) primary
pores, vesicle; (b) primary pores, intergranular pores; (c) primary pores, intercrystalline pores;
(d) secondary pores, devitrivied pore; (e) secondary pores, dissolved plagioclase; (f)
secondary pores, dissolved volcanic ash (matrix); (g) secondary pores, dissolution pores
among grain; (h) fractures pores, micro-structure; (i) fracture pores, weathering fractures.

Figure 2. Photomicrograph of Lapilli-vitric stone

821
PROCEEDING, SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-11
PERSPEKTIF ILMU KEBUMIAN DALAM KAJIAN BENCANA GEOLOGI DI INDONESIA
5 – 6 SEPTEMBER 2018, GRHA SABHA PRAMANA

Figure 3. Photomicrograph of Greywacke

Figure 4. Photomicrograph of Vitric-crystal tuff

Table 1. Comparison of facies, facies type, volcanic rocks and their porosity.

822
PROCEEDING, SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-11
PERSPEKTIF ILMU KEBUMIAN DALAM KAJIAN BENCANA GEOLOGI DI INDONESIA
5 – 6 SEPTEMBER 2018, GRHA SABHA PRAMANA

Table 2. Classification types of porosity and its features of reservoir space of volcanic rocks
in Patuk, Semilir Formation.

Table 3. Diagenetic stage of volcanic rocks in Patuk, Semilir Formation

823
PROCEEDING, SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-11
PERSPEKTIF ILMU KEBUMIAN DALAM KAJIAN BENCANA GEOLOGI DI INDONESIA
5 – 6 SEPTEMBER 2018, GRHA SABHA PRAMANA
STUDI PROVENANCE BATUPASIR FORMASI MENGKARANG, DESA AIR BATU,
KABUPATEN SAROLANGUN PROVINSI JAMBI
Zarah Septiliana1*
Elisabet Dwi Mayasari2
1*
Mahasiswa Program Studi Teknik Geologi, Fakultas Teknik Universitas Sriwijaya, Palembang
2
Pengajar Program Studi Teknik Geologi, Fakultas Teknik Universitas Sriwijaya, Palembang
*corresponding author: septilianazarah@gmail.com

ABSTRAK
Daerah yang menjadi lokasi penelitian secara administratif berada di Kabupaten Sarolangun Provinsi
Jambi. Formasi Mengkarang merupakan satuan batuan tertua yang sebagian besar disusun oleh
sedimen klastik berupa batupasir berumur Pra-Tersier. Berdasarkan hasil analisis petrografi, material
penyusun batupasir berasal dari batuan sebelumnya. Maka dari itu diperlukan studi provenance untuk
mengetahui sumber material yang menyusun batupasir di lokasi penelitian. Metode yang digunakan
berupa pengamatan petrografi dan analisis komposisi batuan melalui diagram segitiga Q-F-L milik
Dickinson dan Suzcek (1979) untuk menentukan tatanan tektoniknya. Berdasarkan presentase
komposisi mineral Feldspar, Kuarsa, dan Fragmen yang diplot kedalam diagram segitiga Q-F-L maka
pembentukan batupasir Formasi Mengkarang secara umum termasuk kedalam tipe recycled orogen
yang terjadi pada lingkungan tektonik yang mengalami pengangkatan dan erosi meliputi zona
penujaman serta zona cekungan busur belakang.
Kata Kunci : provenance, batupasir, mengkarang , petrografi, recycled orogen

1. Pendahuluan
Lokasi penelitian berada di Desa Air batu Kecamatan Renah Pembarap Kabupaten
Sarolangun Provinsi Jambi. Desa Air batu merupakan desa yang terletak di kawasan Geopark
Merangin yaitu kawasan konservasi dan edukasi geologi yang menghasilkan keanekaragaman
flora maupun fauna. Daerah telitian berada pada Sub Cekungan Jambi yang merupakan
bagian dari Cekungan Sumatera Selatan. Secara stratigrafi, lokasi penelitian masuk kedalam
Formasi Mengkarang yang berumur pra-Tersier. Formasi Mengkarang tersusun atas beberapa
litologi yaitu batupasir, batulanau, batulempung, serpih, tuf, dan konglomerat serta ditemukan
juga beberapa jenis fosil flora dan fauna. Kondisi geologi yang terdapat pada daerah telitian
menghasilkan karakteristik batuan yang menarik untuk diteliti. Dalam hal ini litologi yang
dijadikan sebagai objek yang diteliti adalah litologi batupasir. Batupasir dijadikan sebagai
objek telitian dikarenakan kelimpahannya yang cukup banyak ditemukan dan tingkat resisten
nya yang tinggi dan sangat kompak secara fisik. Sebagian besar mineral penyusun batupasir
Formasi mengkarang terdiri dari mineral kuarsa, felspar dan fragmen lainnya dengan jenis
batupasir sub-arkose dan feldspartic greywacke (Pettijohn, 1975). Sebagai batuan yang
berasal dari batuan sebelumnya diperlukan studi provenance untuk mengetahui sumber
material sedimen penyusun nya menggunakan analisis petrografi.

2. Metode Penelitian

Metode yang digunakan dalam penelitian ini meliputi pengambilan data yang terbagi
menjadi data primer dan sekunder sekunder serta analisis petrografi.

2.1 Pengambilan Data

Pengambilan data terbagi menjadi dua yaitu data primer berupa data sayatan tipis sampel
batupasir serta deskripsinya dan data sekunder yaitu referensi peneliti terdahulu. Pengambilan
data dilakukan di lokasi penelitian menggunakan metode sampling. Pengambilan sampel
824
PROCEEDING, SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-11
PERSPEKTIF ILMU KEBUMIAN DALAM KAJIAN BENCANA GEOLOGI DI INDONESIA
5 – 6 SEPTEMBER 2018, GRHA SABHA PRAMANA
batuan dilakukan di permukaan menggunakan palu sedimen. Sampel diambil dibeberapa titik
untuk mewakili data keseluruhan pada lokasi penelitian. Setelah sampel didapatkan
selanjutnya dilakukan deskripsi singkapan batuan yang di sampling, deskripsi singkapan
diperlukan sebagai data yang mendukung penelitian. Sampel diambil disepanjang singkapan
yang berada pada lokasi penelitian, tetapi didapatkan 7 sampel yang mewakili secara
keseluruhan lokasi penelitian, selain aspek penyebarannya sampel dipilih dengan kondisi yang
memungkinkan untuk selanjutnya dijadikan thin section untuk dianalisis petrografi.

2.2 Analisis Petrografi

Analisis petrografi menggunakan sayatan tipis yang di analisa melalui mikroskop


polarisasi. Bertujuan untuk menentukan komposisi dan deskripsi mineral penyusun
menggunakan klasifikasi Pettijjohn (1975). Dasar penamaan pada klasifikasi Pettijohn
didasari pada tiga komponen mineral penyusun yaitu Kuarsa (Q), Felspar (F), dan Litik
Fragmen (L) (Gambar 1). Setelah didapatkan komposisi mineral penyusun maka dilakukan
analisis provenance dengan menghitung presentase kandungan mineral pada batuan untuk
diplot kedalam segitiga / diagram Q-F-L milik Dickinson dan Suczeck (1979) sehingga hasil yang
didapat berupa tipe tektonik batupasir pada daerah telitian.

3. Data
Pengambilan sampel batupasir untuk analisis provenance berada di Formasi Mengkarang.
Formasi Mengkarang merupakan formasi tertua yang tersusun oleh batuan sedimen klastika
halus – kasar bersisipan dengan batuan klastika gunungapi dan batuan karbonat. Terdiri dari
litologi batupasir, batulanau, batulempung, serpih , tuf dan konglomerat sisipan batugamping
dan batubara (Suwarna dkk, 1992). Satuan batupasir pada Formasi Mengkarang di interpretasi
berumur permian awal.
Pada lokasi penelitian didapatkan litologi batupasir (Gambar 2), secara umum komponen
penyusun litologi batupasir daerah penelitian terdiri dari fragmen batuan, mineral kuarsa,
feldspar, biotit, mineral opak dan semen. Sampel batupasir yang dianalisis berjumlah 7
sampel batupasir, yang sebagian besar merupakan batupasir berjenis sub – arkose dan
feldspartic greywacke. Untuk batupasir sub – arkose ciri utama yang ditemukan pada lokasi
penelitian adalah ukuran nya halus dan sebagian besar sampel didominasi mineral kuarsa.
Memiliki warna segar abu – abu dan warna lapuk coklat, memiliki kekompakan keras sampai
dapat diremas, butiran menyudut sampai membundar, terpilah sedang-baik, berukuran butir
pasir sangat halus – sedang, namun juga terdapat beberapa yang berukuran butir pasir kasar.
Sedangkan batupasir feldspartic greywacke memiliki ciri utama ukuran nya yang halus dan
sampel didominasi oleh mineral kuarsa. Warna segar abu-abu , warna lapuk abu-abu gelap
(kusam). Memiliki kekompakan keras, derajat kebundaran membundar, terpilah sedang-baik,
berukuran butir pasir sangat halus – sedang.

4. Hasil dan Pembahasan


Berdasarkan analisis petrografi terhadap 7 sampel batupasir pada daerah telitian
menunjukkan sampel tersebut domininan mengandung mineral kuarsa pada presentase
tertinggi dibandingkan dengan mineral penyusun lainnya (Tabel 1). Didapatkan dua jenis
batupasir menurut klasifikasi (Pettijohn, 1975) yakni feldspartic greywacke dan sub – arkose,
dimana Dalam studi ini aspek provenance yang akan diinterpretasikan adalah batuan sumber
yang berkaitan dengan tatanan tektonik

825
PROCEEDING, SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-11
PERSPEKTIF ILMU KEBUMIAN DALAM KAJIAN BENCANA GEOLOGI DI INDONESIA
5 – 6 SEPTEMBER 2018, GRHA SABHA PRAMANA
4.1 Provenance batupasir
Secara mikroskopis batupasir sub – arkose tersusun atas matrix supported fabric yang
didominasi mineral kuarsa sebesar (51%), plagioklas (6%), opak (7%), biotite (5%), dan semen
berupa silikaan (31%) (Tabel 2). Memiliki warna abu – abu sampai hitam berukuran 0.05 mm – 0.1
mm bertekstur klastik. Ciri tersebut dapat ditemui pada data sampel Z7 yang menunjukkan tipe
tektonik recycled orogen setelah diplot kedalam segitiga Q-F-L milik Dickinson dan Suzcek (1979)
(Gambar 3). Untuk batupasir feldspartic greywacke ditemui pada sampel data Z1 yang secara
mikroskopis memiliki ciri berwarna coklat muda sampai abu – abu pada kenampakan nikol
sejajar dan berwarna putih biru sampai hitam pada kenampakan nikol silang, berukuran 0.02
mm – sangat halus, batas antar kristal menunjukkan bentuk subhedral – anhedral, memiliki
tekstur klastik. Tersusun atas matrix supported fabric berupa fragmen lithik (8%), matriks yang
tersusun dari kuarsa (41%), felspar (9%), opak (6%), lempung (18%), semen yang terdiri atas silikaan
(12%), dan porositas sebesar 4%. Pada diagram Q-F-L data sampel Z1 menunjukkan tipe tektonik
recycled orogen (Gambar 4). Dari 7 data sampel yang dianalisis melalui diagram segitiga Q-F-L
menunjukkan komposisi batupasir daerah telitian cenderung dihasilkan oleh tipe tektonik recycled
orogen, hal tersebut didukung dari data petrografi dan data hasil analisis provenance.
Kenampakan petrografis pada batupasir sub – arkose menunjukkan mineral kuarsa yang
hadir merata pada sayatan dan dicirikan dengan memiliki warna abu-abu dan warna
interferensi putih sampai hitam, berukuran 1 mm, dengan bentuk anhedral, relief rendah, tidak
memiliki kembaran, pada cross nikol memiliki pemadaman yang bergelombang, terdiri dari
monokuarsa yang halus dijumpai memiliki butiran tunggal dengan gelapan lurus dan butiran
komposit dengan gelapan lurus hingga bergelombang miring. Berdasarkan tipe kuarsa pada
pengamatan petrografis dapat diketahui jenis kuarsa berasal dari batuan beku vulkanik dan
batuan metamorf (Krynine, 1963 dalam Folk, 1974).
Hasil pengamatan petrografis pada batupasir feldspartic greywacke menunjukkan mineral
kuarsa yang terdapat pada thin section merupakan polikuarsa, tidak berwarna pada
kenampakan nikol sejajar dengan warna interferensi putih sampai hitam , berukuran 0.1 – 0.4
mm, pemadaman bergelombang dan persebaran merata dalam sayatan. interlocking.
Berdasarkan Klasifikasi Krynine (1963) dalam Folk (1974) mineral kuarsa tersebut berupa
butiran komposit dengan gelapan bergelombang kuat. Dapat diketahui bahwa jenis kuarsa
pada sayatan tipis tersebut merupakan kuarsa yang berasal dari batuan beku vulkanik dan
batuan metamorf.
Berdasarkan komposisi mineral kuarsa yang hadir cukup dominan pada sayatan,
memungkinkan batuan asal berupa batuan beku dan memungkinkan pengaruh pengaruh
dengan basement yang terendap terlebih dahulu, melihat hasil tatanan tektonik masuk
kedalam tipe recycled orogen.
4.2 Tektonik Batuan Asal
Penentuan tatanan tektonik batuan dilakukan berdasarkan komposisi kandungan mineral
yang terdapat pada sayatan tipis batupasir. Komposisi material yang dimaksudkan adalah
kuarsa, feldspar dan fragmen batuan. Presentase komposisi tersebut kemudian di plot kedalam
segitiga /diagram Q-F-L menurut Dickinson dan Suczeck (1983) dan didapatkan hasil berupa
tipe tektoniknya (Gambar 5).
Karakteristik petrografis batupasir pada Formasi Mengkarang menunjukkan batupasir
terdiri dari sub – arkose dan feldspartic greywacke yang berkomposisi mineral kuarsa yang
dominan. Interpretasi tatanan tektonik berdasarkan thin section pada sub – arkose dan
feldspartic greywacke yang mengacu pada klasifikasi Dickinson dan Suczeck, (1983)
menghasilkan tipe recycled orogen, dimana batupasir yang merupakan batuan sumber berupa

826
PROCEEDING, SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-11
PERSPEKTIF ILMU KEBUMIAN DALAM KAJIAN BENCANA GEOLOGI DI INDONESIA
5 – 6 SEPTEMBER 2018, GRHA SABHA PRAMANA
batuan beku vulkanik dilihat dari ciri ciri mineral kuarsa yang dominan polikristalin dengan
sudut pemdaman bergelombang merupakan ciri batuan metamorf berderajat tinggi hingga
sedang dan batuan beku. Dengan menghasilkan jenis batuan tersebut, maka kedua batuan
tersebut yang berkembang di daerah sumatera memungkinkan berasal dari keterdapatan
basement yang terangkat kembali melihat hasil menunjukkan tektonik yang berasal dari
recycled orogen
Batuan sumber dalam hal ini batupasir yang merupakan tipe tektonik recycled orogen
terangkat akibat adanya perlipatan sedimen atau metasedimen yang telah mengalami siklus
ulang. Daerah yang termasuk kedalam tipe tektonik tersebut berasosiasi dengan zona lempeng
konvergen yang menghasilkan tektonik aktif berupa tumbukan dan subduksi. Batupasir yang
terbentuk dicirikan dengan perbandingan mineral kuarsa yang hadir dan feldspar yang cukup
tinggi berasal dari batuan beku yang mengalami pengangkatan.

5. Kesimpulan
Berdasarkan analisis petrografi didapatkan komponen penyusun litologi batupasir daerah
penelitian terdiri dari fragmen batuan, mineral kuarsa, feldspar, biotit, mineral opak dan
semen. Didapatkan dua jenis penamaan batuan sedimen berdasarkan klasifikasi (Pettijohn,
1975) yaitu batupasir sub – arkose dan feldspartic greywacke dan dapat disimpulkan
provenance berasal dari batuan metamorfik dan batuan beku dilihat melalui jenis mineral
kuarsa yang terdapat pada sayatan tipis batupasir. Provenace batupasir pada lokasi penelitian
berasal dari tatanan tektonik recycled orogen, yang dalam hal ini batuan sumber berupa
batuan beku dan batuan metamorf berderajat tinggi hingga menengah mengalami
pengangkatan dan tersedimentasi kemabali. Pada daerah penelitian dipengaruhi oleh aktivitas
vulkanisme Bukit Barisan sehingga terbentuknya bagian-bagian yang terangkat pada tinggian
sepanjang Bukit Barisan, akhirnya daerah tersebut berubah menjadi aktifitas collision dan
menjadi suatu recycled.

Acknowledgements
Pada kesempatan ini saya ingin menyampaikan ucapan syukur kepada Allah SWT atas
limpahan nikmat dan rahmat Nya, dan ucapan terimakasih kepada ibu Elisabet Dwi Mayasari,
S.T, M.T selaku dosen pembimbing yang banyak memberikan saran dan masukan. Serta
PSTG Unsri dan pihak – pihak yang membantu atas pemberian izin, sarana dan fasilitas
sampai terselesaikan nya paper ini.

Daftar Pustaka
Barber, A.J, Crow, M.J, Milsom, J.S. (2005). Sumatra,Geology: Resources and Tectonic
Evolution. Geological Society Memoir No.31. The Geological Society. London
Dickinson, W. R. and Suczek, C.A. (1979). Plate Tectonics and Sandstone Composition .The
American Association of Petroleum Geologist Bulletin V.63, no 12 p.2164-2182.
Folk, R. L. (1974). Petrology of Sedimentary Rocks .The University of Texas.
Gafoer, S., Suharsono, Suwarna, N. (1992). Peta Geologi Lembar Sarolangu Skala 1 :
250.000. Pusat Penelitian dan Pengembangan Geologi.
Pettijohn, F.J. (1975). Sedimentary Rock . second edition Oxpord and IBH pub.
.

827
PROCEEDING, SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-11
PERSPEKTIF ILMU KEBUMIAN DALAM KAJIAN BENCANA GEOLOGI DI INDONESIA
5 – 6 SEPTEMBER 2018, GRHA SABHA PRAMANA

Gambar 1. Dasar penamaan batuan sedimen klasifikasi menurut Pettijohn (1975)

Gambar 2. Litologi batupasir Formasi Mengkarang pada daerah telitian

828
PROCEEDING, SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-11
PERSPEKTIF ILMU KEBUMIAN DALAM KAJIAN BENCANA GEOLOGI DI INDONESIA
5 – 6 SEPTEMBER 2018, GRHA SABHA PRAMANA

Gambar 3. Komposisi mineral pada batupasir jenis sub – arkose pada kenampakan
petrografis dan tipe provenance nya

Gambar 4. Komposisi mineral pada batupasir jenis feldspartic greywacke pada kenampakan
petrografis dan tipe provenance nya

Gambar 5. Tipe tektonik recycled orogen (Dickinson dan Suzcek, 1979)

829
PROCEEDING, SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-11
PERSPEKTIF ILMU KEBUMIAN DALAM KAJIAN BENCANA GEOLOGI DI INDONESIA
5 – 6 SEPTEMBER 2018, GRHA SABHA PRAMANA
Tabel 1. Presentase komposisi mineral kuarsa, feldspar dan litik fragmen pada sayatan tipis
batupasir
Diagram % Qt-F-L
Kode Sampel Qt F L
Z1 70.6 15.5 13.7
Z2 62.7 37.2 <1
Z6 91 9 <1
Z7 89 11 <1
Z10 76 24 <1
Z11 88 12 <1
Z13 76 24 <1

Tabel 2. Presentase petrografi sampel batupasir (Pettijohn, 1975)


Sample Z1 Z2 Z6 Z7 Z10 Z11 Z13
code
Sorting Moderate Moderate Moder Moderat Moderat Moderat Moderat
ate e e e e
Quartz % 41 37 39 51 36 68 41
Feldspar 9 22 11 6 11 9 13
%
Lithic 8 <1 <1 <1 <1 <1 <1
Fragment
%
Organic 0 0 0 0 0 0 0
Material
%
Other 0 2 0 0 0 0 0
Mineral %
Matrix 15 25 18 12 7 19 9
Cement 12 12 29 31 43 3 36
Porosity 4 1 3 0 3 1 1
Sandstone Feldspartic Feldspartic Sub - Sub - Sub - Sub - Sub -
Classificat greywacke greywacke Arkose Arkose Arkose Arkose Arkose
ion

830
PROCEEDING, SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-11
PERSPEKTIF ILMU KEBUMIAN DALAM KAJIAN BENCANA GEOLOGI DI INDONESIA
5 – 6 SEPTEMBER 2018, GRHA SABHA PRAMANA

STUDI ALTERASI HIDROTERMAL ENDAPAN TIMAH PRIMER PROSPEK


BURUNGMANDI, DAMAR, BELITUNG TIMUR, BANGKA BELITUNG
BERDASARKAN ANALISIS ANALYTICAL SPECTRAL DEVICES (ASD), X-RAY
DIFFRACTION (XRD) DAN PETROGRAFI
Rifqi Abbas1*
Lucas Donny Setijadji2
Nur Rochman Nabawi3
1*
Departemen Teknik Geologi, Fakultas Teknik, Universitas Gadjah Mada, Jl. Grafika No. 2, Yogyakarta, 55281
2
Departemen Teknik Geologi, Fakultas Teknik, Universitas Gadjah Mada, Jl. Grafika No. 2, Yogyakarta, 55281
3
PT. TIMAH Tbk., Jl.Jendral Sudirman, No. 51, Pangkal Pinang, 33121
*corresponding author :rifqiabbas@gmail.com

ABSTRAK
Belitung merupakan “pulau timah” di Indonesia yang terletak pada bagian ujung selatan Sabuk Timah
Asia Tenggara. Secara tektonik, Pulau Belitung berada pada zona kolisi yang mengakibatkan
terbentuknya kompleks granit Tipe S dan mineralisasi timah. Mineralisasi timah memiliki
kompleksitas zona alterasi hidrotermal, dimana integrasi dari berbagai macam metode penelitian
sangat diperlukan untuk membuat zona alterasi. Daerah penelitian berada pada Prospek Burungmandi,
Kecamatan Damar, Kabupaten Belitung Timur, Provinsi Bangka Belitung. Studi alterasi hidrotermal
daerah penelitian dilakukan dengan pemetaan alterasi di lapangan serta didukung dengan analisis
Analytical Spectral Devices (ASD), X-Ray Diffraction (XRD) dan petrografi. Analisis ASD dilakukan
menggunakan alat portable ASD TerraSpec Halo Mineral Identifier dan dianalisis langsung melalui
software, sedangkan XRD menggunakan analisis spektral secara manual. Hasil mineralogi alterasi
hidrotermal pada ketiga metode tersebut menunjukkan keterkaitan, terutama pada mineral lempung
jenis kaolinit, K-illit dan halloysitee. Kelompok mineral mika seperti muskovit, pirofilit dan phengite
pada ASD dapat disejajarkan dengan mineral illit-mika pada XRD. Namun, ketidakakuratan muncul
pada kumpulan mineral penciri greisen maupun silisifikasi seperti topaz, turmalin dan kuarsa sekunder.
Mineral tersebut tidak hadir pada ASD dan hanya dijumpai pada pengamatan petrografi maupun XRD.
Mineral hasil proses supergen seperti hematit, dan gutit dapat dijumpai pada semua analisis, kecuali
ferrihydrite yang hanya muncul pada analisis ASD. Analisis ASD memiliki hasil yang cukup akurat
pada kelompok mineral lempung, mika dan oksida, akan tetapi kurang efektif untuk mengidentifikasi
kelompok mineral silika dan greisen. Integrasi ketiga metode tersebut dapat menentukan mineralogi
dan zona alterasi daerah penelitain: Albitisasi (ortoklas+albit), greisen
(kuarsa+muskovit+turmalin+topaz+flogopit+ serisit+pirofilit), silisifikasi (kuarsa+ illit+serisit) dan
argilik (illit+kaolinit+halloysite+montmorilonit).
Kata Kunci : mineralisasi timah, alterasi hidrotermal, prospek Burungmandi, petrografi, Analytical
Spectral Devices (ASD), X-Ray Diffraction (XRD)

1. Pendahuluan
Endapan bijih timah merupakan salah satu jenis endapan bijih yang tersebar di
berbagai negara (tin province) khususnya di wilayah Asia Tenggara. Sabuk timah Asia
Tenggara merupakan wilayah paling dominan yang memproduksi bijih timah sekitar 54% dari
produksi dunia sejak tahun 1800 (Schwartz et al., 1995). Indonesia saat ini merupakan negara
di kawasan Asia Tenggara dengan produksi timah terbesar kedua di dunia dengan produksi
timah mencapai 84.000 metrik ton pada tahun 2014 atau setara dengan 30% total produksi
timah dunia (US Geological Survey., 2014 dalam Salim dan Munadi, 2016). Timah Indonesia
tersebar di Pulau Karimun, Kundur, Singkep, Sumatra, Bangka Belitung, hingga bagian barat
Pulau Kalimantan. Mineralisasi di wilayah ini terbentuk akibat kontrol tatanan tektonik
berupa zona kolisi (Schwartz et al., 1995). Menurut US Geological Survey (2014 dalam Salim
831
PROCEEDING, SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-11
PERSPEKTIF ILMU KEBUMIAN DALAM KAJIAN BENCANA GEOLOGI DI INDONESIA
5 – 6 SEPTEMBER 2018, GRHA SABHA PRAMANA
dan Munadi, 2016) produksi timah di Indonesia menurun rata-rata sekitar 7,6% per tahun dari
tahun 2002 sebesar 88.142 ton ke tahun 2012 sebesar 41.000 ton. Tingkat produksi kembali
naik di tahun 2013 sebesar 95.200 ton, akan tetapi kembali turun sebesar 11,6% menjadi
82.062 ton pada tahun 2015. Meninjau produksi timah Indonesia yang semakin menurun,
pencarian sumber daya baru endapan timah primer merupakan solusi terbaik untuk menambah
pasokan timah di Indonesia. Oleh sebab itu, endapan timah primer menjadi target ekplorasi
saat ini oleh beberapa praktisi perusahaan. Dalam upaya eksplorasi endapan timah primer,
penentuan zona alterasi hidrotermal harus tepat dan akurat. Ketepatan identifiksi zona alterasi
dapat menenentukan titik target potensi mineralisasi endapan timer primer di suatu daerah
dengan baik. Teori mengenai tipe dan zona alterasi hidrotermal pada endapan timah primer
masih belum pasti jika dibandingkan dengan tipe endapan lainnya. Publikasi terkait hal
tersebut masih sangat jarang dijumpai di Indonesia, sehingga perlu adanya studi lanjutan yang
membahas tentang tipe alterasi hidrotermal di endapan timah primer, khususnya dengan
menggunakan kombinasi berbagai macam metode penelitian.
Secara konvensional, karakterisasi mineral alterasi dilakukan oleh teknik analtik
berbasis laboratorium seperti petrografi, XRD, SEM dan EMP (Bishop et al., 2004;
Cathelineau et al., 1985; Ducart et al., 2006 dalam Zadeh, et al., 2014). Di sisi lain terdapat
inovasi ASD (Analytical Spectral Devices) yang dapat diterapkan di laboratorium maupun di
lapangan. ASD dapat menentukan informasi tentang komposisi mineral batuan yang
terubahkan dengan biaya yang lebih murah dan waktu singkat, sehingga dengan mudah dan
cepat mengidentifikasi jenis mineralogi alterasi. Integrasi dari berbagai macam metode
penelitian tersebut sangat diperlukan untuk membuat zona alterasi hidrotermal dan titik lokasi
prospek timah secara tepat.

2. Metode Penelitian
Metode penelitian ini dapat terbagi menjadi dua yaitu pekerjaan lapangan dan analisis
laboratorium. Berikut penjelasan masing-masing metode:
2.1. Pekerjaan lapangan
Metode pekerjaan lapangan yang dilakukan berupa pemetaan geologi permukaan
(surface mapping) yaitu observasi dan penelitian fenomena geologi yang ada di
permukaan bumi. Proses surface mapping dilakukan dengan skala 1:10.000 dan
menggunakan metode smart mapping yaitu pemetaan geologi dimana stasiun titik
amat yang dituju hanya lokasi yang diperkirakan memiliki fenomena geologi penting
baik dari segi geomorfologi, litologi, alterasi, mineralisasi maupun struktur geologinya.
Selain itu, dilakukan pengambilan sampel batuan dengan metode grab sampling
(teknik pengambilan sampel secara acak). Sampel batuan yang diambil selama
penelitian dapat berupa batuan segar, serta batuan yang telah mengalami alterasi
hidrotermal. Sampel yang diambil dapat berasal dari singkapan secara langsung atau
berupa float. Pengambilan sampel float dilakukan ketika tidak dijumpai singkapan di
sekitar lokasi (dapat berupa sungai, tailling maupun kolong bekas tambang).

2.2. Pekerjaan Laboratorium


2.2.1. Analisis Petrografi
Analisis petrografi dilakukan dengan membuat sayatan tipis dari 27
sampel terpilih. Selanjutnya sayatan tipis diamati di bawah mikroskop
poralisasi dengan tipe Euromax. Hasil pengamatan petrografi dapat
menentukan komposisi mineral batuan baik mineral primer maupun sekunder
hasil alterasi hidrotermal.
2.2.2. Analisis XRD (X-Ray Diffraction)
832
PROCEEDING, SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-11
PERSPEKTIF ILMU KEBUMIAN DALAM KAJIAN BENCANA GEOLOGI DI INDONESIA
5 – 6 SEPTEMBER 2018, GRHA SABHA PRAMANA
Analisis XRD dilakukan dengan membuat sampel bubuk dari 10 sampel
terpilih. Selanjutnya sampel bubuk baik berupa bulk maupun clay dimasukkan
ke dalam laboratorium. Hasil anlisis XRD dapat menentukan mineral alterasi
hidrotermal yang tidak diketahui baik secara megaskopis maupun mikroskopis.
Pelaksanaan analisis XRD dilakukan menggunakan alat Rigaku Multiflex 2
kW.

2.2.3. Analisis ASD (Analytical Spectral Devices)


Analisis ASD dilakukan dengan membuat sampel bubuk dari 108 sampel
terpilih yaitu sampel yang mengandung mineral hasil alterasi. Analisis
dilakukan menggunakan alat ASD portable jenis ASD TerraSpec Halo Mineral
Identifier. Alat ASD portable menggunakan portable near-infrared (NIR)
reflectance spectroscopy dengan Quality Spec Trek full-range (350 - 2500 nm).
ASD merupakan spektrometer portabel yang dapat mengidentifikasi
mineral dengan mengukur absorpsi spektral vibrasionalnya. Gambaran absorpsi
ini diakibatkan oleh variasi komposisi, kristslinitas, dan orientai mineral. Data
spektroskopi VNIR – SWIR diukur dengan spektrometer ASD Terraspec pro
(Lampinen, et al., 2017). Alat ASD ini nantinya akan ditembakkan pada
sampel, setelah itu akan dideteksi oleh laptop/komputer, kemudian akan
menghasilkan kurva panjang gelombang. Variasi panjang gelombang ini yang
akan menentukan kumpulan mineral alterasi hidrotermal (Zhou, et al.,
2011).Dalam penelitian ini, tabel kelimpahan mineral alterasi hidrotermal
didapatkan secara langsung tanpa melalui analisis manual spektral ASD. Data
mineral akan menampilkan nama mineral disertai dengan nilai star rating. Star
rating mengindikasikan keakuratan kehadiran mineral tersebut dalam sampel
batuan. Star rating memiliki nilai keakuratan maksimum 3 dan nilai keakuratan
minimum 1.

3. Data
3.1. Geologi Daerah Penelitian
Data geologi daerah penelitian meliputi data litologi yang diperoleh melalui
analisis petrografi dan pengamatan langsung di lapangan, sehingga menghasilkan
deskripsi gabungan sebagai berikut (Gambar 1):
 Batulempung berwarna coklat, ukuran butir clay, sortasi baik, kemas tertutup,
rounded, struktur masif-laminasi, komposisi primer berupa kuarsa dan material
sedimen ukuran lempung. Beberapa sampel mengalami alterasi dengan mineral
sekunder berupa mineral lempung, dan oksida Fe.
 Batupasir berwarna abu-abu kecoklatan, ukuran butir pasir halus-pasir kasar
sortasi baik, kemas tertutup, roundess subangular-rounded, struktur masif.
Secara petrografi, komposisi mineral primer dominan berupa kuarsa dan
material sedimen ukuran lempung. Beberapa sampel menunjukkan mineral
sekunder mineral lempung, serisit dan mineral oksida Fe.
 Granodiorit berwarna abu-abu kehitam-hitaman, ukuran kristal (< 1 mm - 5
mm), fragmen (1-5 mm), massa dasar (< 1 mm), holokristalin, faneritik,
idioblastik granular, struktur masif. Secara petrografi, komposisi mineral primer
terdiri dari: ortoklas, andesin, kuarsa, biotit, hornblenda dan mineral opak.
 Syenogranit memiliki warna putih abu-abu, ukuran kristal (< 1 mm - 3 mm)
dengan fenokris (1-7 mm) dan massa dasar (< 1 mm), tekstur berdasrkan
kristalinitas holokristalin, berdasarkan ukuran butir faneritik, idioblastik

833
PROCEEDING, SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-11
PERSPEKTIF ILMU KEBUMIAN DALAM KAJIAN BENCANA GEOLOGI DI INDONESIA
5 – 6 SEPTEMBER 2018, GRHA SABHA PRAMANA
granular, struktur masif. Secara petrografi, komposisi mineral primer terdiri dari:
ortoklas, albit, kuarsa, biotit dan mineral opak.
Struktur geologi yang berkembang di daerah penelitian adalah kekar, lipatan dan
sesar. Kekar yang dijumpai terdiri dari kekar gerus dan kekar tarik. Sesar yang
dijumpai terdiri dari sesar naik, sesar turun, sesar geser dekstral, dan sesar geser
sinistral. Struktur geologi daerah penelitian diinterpretasikan terbagi menjadi tiga fase
tektonik yang didasarkan oleh arah gaya utama pembentuk struktur geologi (Moody
dan Hill, 1956). Fase tektonik pertama membentuk struktur lipatan sinklin
Burungmandi dengan arah gaya kompresi NE-SW. Fase tektonik kedua disebabkan
oleh gaya kompresi relatif N-S dan membentuk sesar geser dekstral Burungmandi,
sesar geser dekstral Mempayak, dan sesar naik Mempayak. Fase tektonik ketiga
disebabkan oleh gaya kompresi NE-SW membentuk struktur sesar geser sinistral
Burungmandi dan Mengkubang serta sesar turun Mengkubang (Gambar 1).
3.2. Alterasi Hidrotermal
Data alterasi hidrotermal daerah penelitian meliputi data deskripsi mineralogi
yang diperoleh melalui analisis petrografi, XRD, ASD dan pengamatan langsung di
lapangan, sehingga menghasilkan deskripsi gabungan sebagai beriku (Gambar 2)t:
3.2.1. Albitisasi
Alterasi ini merupakan tahap awal pada fase magmatik, kenampakkan fisik
memiliki warna putih keabu-abuan hingga putih kecoklat-coklatan ketika
mendapat overprinting dengan alterasi argilik. Mineral penciri albitisasi
merupakan mineral hasil kristalisasi fraksional berupa albit, K-feldspar dan
kuarsa (Gambar 3).
3.2.2. Greisen
Alterasi ini merupakan tahapan lanjutan setelah fase albitisasi,
kenampakan fisik berwarna coklat/ungu/hingga kehijauan, tekstur kristal hancur.
Mineral sekunder sangat banyak dijumpai sebagai kelompok mika dan kuarsa,
dengan tambahan mineral turmalin dan topaz (Gambar 4).
3.2.3. Silisifikasi
Alterasi ini merupakan tahapan lanjutan setelah greisenisasi yaitu
pengendapan larutan silika Si setelah alterasi greisen. Kenampakan fisik
menunjukkan warna putih kecoklat-coklatan dengan tekstur cenderung keras dan
kompak. Mineral sekunder banyak dijumpai silika seperti kuarsa serta
penambahan mineral serisit dan mineral lempung (Gambar 5).
3.2.4. Argilik
Alterasi ini merupakan tahap akhir alterasi hidrotermal dengan pengaruh
air permukaan. Kenampakan fisik akan menunjukkan warna putih susu hinga
kecoklatan dengan tekstur lemah dan hancur. Mineral sekunder didominasi oleh
kelompok mineral lempung seperti illit, halloysite, klorit, smektit, montmorilonit
(Gambar 6).

4. Hasil dan Pembahasan


4.1. Mineralogi alterasi hidrotermal berdasarkan integrasi metode petrografi, XRD dan
ASD
Alterasi hidrotermal tersingkap cukup luas hampir mencakup 50% dari total luas
daerah penelitian. Alterasi hidrotermal terbentuk pada 4 satuan batuan yakni satuan
batulempung sisipan batupasir, satuan batupasir sisipan batulempung, satuan
granodiorit dan satuan syenogranit.

834
PROCEEDING, SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-11
PERSPEKTIF ILMU KEBUMIAN DALAM KAJIAN BENCANA GEOLOGI DI INDONESIA
5 – 6 SEPTEMBER 2018, GRHA SABHA PRAMANA
Pengelompokan tipe alterasi hidrotermal di daerah penelitian ditentukan melalui
asosiasi kelimpahan mineral alterasi hidrotermal berdasarkan hasil analisis petrografi,
ASD dan XRD (Tabel 1). Penggunaan perbandingan berbagai macam metode dalam
penentuan zona alterasi agar memperkuat data mineralogi serta saling mengkoreksi
antara satu metode dengan metode lainnya.
Hasil mineralogi alterasi hidrotermal pada ketiga metode tersebut menunjukkan
keterkaitan, terutama pada mineral lempung jenis kaolinit, K-illit dan halloysite.
Kelompok mineral lempung tersebut dijumpai dalam petrografi sebagai clay minerals,
pada analisis ASD, kaolinit dan halloysite umumnya memiliki star rating 3 dan K-illit
memiliki star rating (1-3). Pada analisis XRD kelompok mineral lempung tersebut
diketahui melalui clay analysis. Kelompok mineral mika seperti muskovit, pirofilit dan
phengite pada ASD memiliki star rating 3 dan dapat disejajarkan dengan mineral illit-
mika pada XRD. Namun, ketidakakuratan muncul pada kumpulan mineral penciri
greisen maupun silisifikasi seperti topaz, turmalin dan kuarsa sekunder. Mineral
tersebut tidak hadir pada ASD dan hanya dijumpai pada pengamatan petrografi
maupun XRD. Namun, di beberapa sampel mineral tersebut hadir dalam analisis ASD
dan tidak muncul pada analisis petrografi maupun XRD. Kehadiran topaz dan turmalin
pada setiap sampel hanya memiliki start rating 1-2, sehingga mengindikasikan kurang
akuratnya kemunculan mineral topaz dan turmalin pada analisis ASD. Mineral hasil
proses supergen seperti hematit, dan gutit dapat dijumpai pada semua analisis dengan
star rating 3, kecuali ferrihydrite yang hanya muncul pada analisis ASD. Analisis ASD
memiliki hasil yang cukup akurat pada kelompok mineral lempung, mika dan oksida,
akan tetapi kurang efektif untuk mengidentifikasi kelompok mineral silika sekunder
dan mineral penciri greisen.

4.2. Tipe dan zona alterasi daerah penelitian


Tipe alterasi hidrotermal pada daerah penelitian dapat dibagi menjadi 4 jenis yaitu:
alterasi albitisasi (albit+ ortoklas + kuarsa), greisen (kuarsa + muskovit ± flogofit ±
turmalin ± topaz), silisifikasi (kuarsa+kaolinit±illit±serisit) dan argilik
(kaolin+illit+smektit± haloysit ± serisit) (Gambar 2). Persebaran alterasi hidrotermal
daerah penelitian juga dapat dilihat pada Gambar 6.
4.2.1. Albitisasi
Proses albitisasi ini terbentuk sebagai akibat proses metasomatisme yang
berlangsung selama proses magmatik. Proses ini dicirikan dengan kehadiran
tekstur perthit yang terbentuk oleh intergrowth ortoklas dan albit (Keer, 1987).
4.2.2. Greisen
Alterasi ini terbentuk pada fase post-magmatik yaitu setelah aktivitas
magma selesai dan terjadi setelah Na-feldspatisasi/albitisasi berlangsung. Akibat
proses Na-metasomatik sebelumnya, ion H+ serta senyawa HF dapat masuk ke
dalam fluida hidrotermal. Peningkatan H+ serta HF kemudian akan memicu
terjadinya peningkatan reaksi penghancuran mineral-mineral di dalam
syenogranit untuk membentuk asosiasi mineral greisen (Pirajno, 2009).
4.2.3. Silisifikasi
Alterasi ini terbentuk setelah alterasi greisen, dimana selama maupun
setelah alterasi greisen sejumlah ion Si, Na, dan K dapat dilepaskan akibat
adanya reaksi pembentukan mineral-mineral penciri alterasi greisen. Silika yang
dilepaskan kemudian dapat membentuk agregat kuarsa sekunder, urat, maupun
terdiseminasi sebagai kuarsa kriptokristalin (Pirajno, 2009). Alterasi ini dalam
sistem hidrotermal akan memiliki batas dengan alterasi greisen dan argilik.
4.2.4. Argilik

835
PROCEEDING, SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-11
PERSPEKTIF ILMU KEBUMIAN DALAM KAJIAN BENCANA GEOLOGI DI INDONESIA
5 – 6 SEPTEMBER 2018, GRHA SABHA PRAMANA
Alterasi ini dicirikan oleh kehadiran mineral lempung melalui peningkatan
metasomatisme H+ dan pelarutan asam pada temperatur antara 100 oC hingga
300oC. Mineral lempung merupakan produk dari penggantian plagioklas dan
mineral silika masif seperti hornblenda dan biotit. Mineral lempung amorf
umumnya hasil penggantian silika alumina. Alterasi argilik daerah penelitian
termasuk ke dalam intermediate argilic ditandai dengan kehadiran
montmorilonit, illit, klorit, dan kelompok kaolin (kaolinit dan halloysite).

5. Kesimpulan
Berdasarkan pemaparan data dan pembahasan dapat diambil beberapa kesimpulan sebagai
berikut:
 Integrasi ASD, XRD dan petrografi menunjukkan keterkaitan pada mineral lempung
jenis kaolinit dan halloysite. Kelompok mineral mika seperti muskovit, pirofilit dan
phengite pada ASD dapat disejajarkan dengan mineral illit-mika pada XRD. Namun,
ketidakakuratan muncul pada kumpulan mineral penciri greisen maupun silisifikasi
seperti topaz, turmalin dan kuarsa sekunder. Mineral hasil proses supergen seperti
hematit, dan gutit dapat dijumpai pada semua analisis, kecuali ferrihydrite yang
hanya muncul pada analisis ASD.
 Tipe alterasi hidrotermal pada daerah penelitian dapat dibagi menjadi 4 jenis yaitu:
alterasi albitisasi (albit+ ortoklas + kuarsa), greisen (kuarsa + muskovit ± flogofit ±
turmalin ± topaz), silisifikasi (kuarsa+kaolinit±illit±serisit) dan argilik
(kaolin+illit+smektit± haloysit ± serisit).

Acknowledgements
Penelitian ini terlaksana atas dukungan dari Departemen Teknik Geologi UGM yang telah
memberikan bantuan dana penelitian dan sumber tinjauan pustaka. Selain itu PT TIMAH Tbk,
juga turut membantu penelitian dalam hal bantuan dana, akomodasi selama penelitian di
lapangan serta izin lokasi penelitian. Penulis mengucapkan terimakasih kepada kepala
Laboratorium Pusat Departemen Teknik Geologi UGM yang telah menyediakan fasilitas
analisis XRD ((X-Ray Diffraction), kepala laboratorum geologi optik yang telah memberikan
izin pengamatan petrografi, serta seluruh rekan-rekan yang tidak dapat disebutkan satu per
satu yang telah mendukung dan membantu pelaksanaan penelitian ini.

Daftar Pustaka
Kerr, P. F.(1897). Optical Mineralogy 4th Edition. McGraw Hill Book Company, USA, 492
pp.
Lampinen, H.M., Carsten, L., Sandra, A.O., Vaclav, M., dan Samuel, C.S. (2017).
Delineating alteration footprints from field and ASTER SWIR spectra, geochemistry,
and gamma-ray spectrometry above regolith-covered base metal deposits-an example
from Abra, Western Australia. Economy Geology, v, 112 p.1977 – 2003.
Moody, J. D., dan Hill, M. J. (1956). Wrench Fault Tectonics. Bulletin of The Geological
Society of America, volume 67 p. 1207-1246.
Pirajno, F. (2009). Hydrothermal Processes and Mineral Systems. Perth. Springer.

836
PROCEEDING, SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-11
PERSPEKTIF ILMU KEBUMIAN DALAM KAJIAN BENCANA GEOLOGI DI INDONESIA
5 – 6 SEPTEMBER 2018, GRHA SABHA PRAMANA
Schwartz, M.O., S.S. Rajah, A.K. Askury, P. Putthapiban dan S. Djaswadi. (1995). The
Southeast Asian Tin belt. Earth Science Reviews p. 95-293.
Salim, Z., dan Munadi, W. (2016). Info Komoditi Timah. Badan Pengkajian dan
Pengembangan Perdagangan, Kementerian Perdagangan Indonesia. Jakarta p. 1-27.
Zadeh, M.H., Majid, H.T., Francisco, V.R., dan Inaki, Y. (2014). Spectral characteristics of
minerals in alteration zones associated with porphyry copper deposits in the middle
part of Kerman copper belt, SE Iran. Ore Geology Reviews p. 191 – 198.
Zhou, X., Jara, C., Bardoux, M., dan Plasencia, C. (2017). Multi – scale integrated
application of spectral geology and remote sensing for mineral exploration.
Proceedings of Exploration 17 p. 899 – 910.

837
PROCEEDING, SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-11
PERSPEKTIF ILMU KEBUMIAN DALAM KAJIAN BENCANA GEOLOGI DI INDONESIA
5 – 6 SEPTEMBER 2018, GRHA SABHA PRAMANA

Gambar 1. Peta geologi daerah penelitian

Gambar 2. Peta alterasi hidrotermal daerah penelitian

838
PROCEEDING, SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-11
PERSPEKTIF ILMU KEBUMIAN DALAM KAJIAN BENCANA GEOLOGI DI INDONESIA
5 – 6 SEPTEMBER 2018, GRHA SABHA PRAMANA

Gambar 3. A-B. Kenampakan mikroskopis sampel syenogranit teralterasi albitisasi pada


STA 97, menunjukkan tekstur perthit hasil ntergrowth ortoklas+albit.

Gambar 4. Kenampakan hasil analisis petrografi dan XRD pada batuan tergreisenisasi. A.
Petrografi pada syenogranit tergreisenisasi sampel RA 149A menunjukkan mineral kuarsa,
muskovit dan oksida Fe. B. Petrografi pada syenogranit tergreisenisasi sampel RA 24A
menunjukkan mineral kuarsa, muskovit dan oksida Fe. C. XRD (clay analysis) pada
syenogranit tergreisenisasi sampel RA 24A menunjukkan mineral topaz, turmalin, kaolinit,
kuarsa, klorit dan illit-mika.

839
PROCEEDING, SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-11
PERSPEKTIF ILMU KEBUMIAN DALAM KAJIAN BENCANA GEOLOGI DI INDONESIA
5 – 6 SEPTEMBER 2018, GRHA SABHA PRAMANA

Gambar 5. Kenampakan hasil analisis petrografi dan XRD pada batuan tersilisifikasi. A.
Petrografi pada granodiorit tersilisifikasi menunjukkan mineral kuarsa primer, kuarsa
sekunder, muskovit, oligoklas dan oksida Fe. B. XRD (clay analysis) pada granodiorit
tersilisifikasi menunjukkan mineral kuarsa, illit-mika, klorit, kaolinit dan smektit.

Gambar 6. Kenampakan hasil analisis petrografi dan XRD pada batuan teralterasi argilik di
daerah penelitian. A. Petrografi pada batupasir teralterasi argilik sampel RA49G
menunjukkan kehadiran muskovit overprinting dengan greisen. B. Petrografi pada batupasir
teralterasi argilik dengan relict kuarsa cukup melimpah. C. XRD (clay analysis) pada
batupasir teralterasi argilik menunjukkan mineral klorit, kaolinit dan illit-mika.

840
PROCEEDING, SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-11
PERSPEKTIF ILMU KEBUMIAN DALAM KAJIAN BENCANA GEOLOGI DI INDONESIA
5 – 6 SEPTEMBER 2018, GRHA SABHA PRAMANA

Tabel 1. Kehadiran mineral alterasi hidrotermal hasil analisis ASD, XRD dan petrografi pada
masing-masing sampel yang mewakili tiap zona alterasi hidrotermal.
Mineral sekunder
Tipe
Kode Litologi Mineral
ASD XRD Petrografi Alterasi
Penciri
RA097A Syenogranit Ferryhydrite Tidak Ortoklas + Ortoklas + Albitisasi
Gutit dianalisis Albit albit
(tekstur (terkstur
perthit) perthit)
Kuarsa
RA024A Syenogranit Muskovit Illit-mika Kuarsa Kuarsa- Greisen
Hematit kaolinit, Muskovit mika-
Illit Kuarsa Flogopit turmalin-
Smektit Turmalin, Topaz topaz
Topaz Hematit
Klorit
RA149A Syenogranit Kaolinit, Kaolinit Kuarsa Kuarsa- Greisen
Phengite Halloysite Muskovit mika-
Pirofilit , Pirofilit Serisit pirofilit
Nontronit Kuarsa Clay
RA195A Granodiorit Tidak Kuarsa, Kuarsa Kuarsa, Silisifikasi
teridentifikasi kaolinit, Serisit kaolinit, illit,
illit-Mika, Clay serisit
klorit,
smektit
RA025A Syenogranit Kaolinit Kaolinit Tidak Kaolinit- Argilik
Muskovit Illit-mika dianalisis illit-smektit
Gutit Gutit
Ferryhidrite Smektit
Pirofilit Hematit
RA040A Batupasir Kaolinit Kaolinit Clay Kaolinit- Argilik
Muskovit Illit-mika Muskovit muskovit-
illit
RA049G Batupasir Kaolinit Kaolinit Muskovit Kaolinit- Argilik
Phengite Illit-mika Clay illit-
Muskovit Klorit Klorit muskovit-
Ferrihydirte Chamosit klorit

RA075A Batupasir Kaolinit Kaolinit Tidak Kaolinit- Argilik


Muskovit Montmori dianalisis muskovit
lonit
RA224A Granodiorit Halloysite Halloysite Tidak Kaolinit- Argilik
Kaolinit dianalisis halloysite-
Montmori montorilonit
lonit

841
PROCEEDING, SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-11
PERSPEKTIF ILMU KEBUMIAN DALAM KAJIAN BENCANA GEOLOGI DI INDONESIA
5 – 6 SEPTEMBER 2018, GRHA SABHA PRAMANA

KARAKTERISTIK BEACH ROCKS DI PANTAI SADRANAN, KECAMATAN TEPUS,


KABUPATEN GUNUNGKIDUL, DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA

Muhammad Hidayat1
Anastasia Dewi Titisari2*
1
Departemen Teknik Geologi, Universitas Gadjah Mada
2*
Departemen Teknik Geologi, Universitas Gadjah Mada
*corresponding author: adtitisari@gmail.com

ABSTRAK
Tidak seperti pantai lain di sepanjang pantai selatan Pulau Jawa, di pantai Sadranan, Kecamatan Tepus,
Kabupaten Gunungkidul dapat dijumpai beach rocks. Beach rocks merupakan batuan sedimen yang
belum terkonsolidasi ataupun yang sudah terkonsolidasi yang terdiri dari campuran endapan berukuran
butir kerikil sampai pasir yang disemen oleh mineral karbonat dan terbentuk di sepanjang garis pantai.
Oleh karenanya, istilah beach rocks umumnya dipakai untuk endapan yang berumur Kuarter. Mengacu
pada peta geologi regional Lembar Surakarta – Giritontro (Surono et al., 1992), beach rocks di
sepanjang pantai Sadranan dimasukkan ke dalam Formasi Wonosari – Punung yang berumur Miosen
Tengah sampai Miosen Atas. Pantai selatan Jawa dikenal dengan ombaknya yang besar, menyebabkan
proses abrasi menjadi sangat intensif sehingga keterdapatan beach rocks di Pantai Sadranan menjadi
menarik untuk diteliti karakteristiknya. Singkapan di lapangan menunjukkan beach rocks pantai
Sadranan tersebar secara setempat-setempat, sejajar dengan garis pantai. Beach rocks tersebut
memperlihatkan warna putih kekuningan, dengan ukuran butir bervariasi dari kerikil sampai pasir,
sortasi sedang, bentuk butiran subangular-subrounded, struktur kompak, dengan butiran yang
berukuran kasar disusun oleh pecahan cangkang fosil dan koral, sedangkan butiran yang berukuran
pasir kasar sampai pasir sedang didominasi oleh fosil yang berbentuk subrounded. Hasil pengamatan
petrografi, memperlihatkan beach rocks bertekstur grain supported dengan fragmen yang berukuran
lebih dari 2 mm didominasi oleh pecahan cangkang fosil dan koral, dan butiran yang berukuran pasir
didominasi oleh Baculogypsina sphaerulata. Penelitian ini merupakan studi tahap awal dari penelitian
karakteristik beach rocks pantai Sadranan yang akan dilanjutkan dengan penelitian lebih detail pada
karakteristik geokimianya.
Kata Kunci : beach rocks, karakteristik, pantai sadranan, baculogypsina sphaerulata

1. Pendahuluan
Formasi Wonosari-Punung telah banyak menjadi subjek penelitian geologi, diantaranya
penelitian-penelitian mengenai : perkembangan Formasi Wonosari pada kala Miosen (Lokier
1999), fasies terumbu Formasi Wonosari (Siregar et al., 2004), sekuen stratigrafi dan
diagenesa batuan karbonat Formasi Wonosari (Jauhari & Toha, 2005), lingkungan
pengendapan batuan karbonat Formasi Wonosari daerah timur Pacitan (Mukti et al., 2005),
paleo-reef Punung (Premonowati et al., 2012), batugamping merah Formasi Wonosari-
Punung di daerah Ponjong (Titisari & Atmoko, 2015, Atmoko et al., 206), dan batugamping
merah Formasi Wonosari-Punung di pantai Siung (Titisari & Hendrawan, 2017). Namun
penelitian mengenai beach rocks yang dijumpai di pantai Sadranan Formasi Wonosari-
Punung belum pernah menjadi subjek penelitian geologi.
Beach rocks yang dijumpai di pantai Sadranan tersebar secara setempat-setempat, sejajar
dengan garis pantai dan berdimensi luas sekitar 10-30 m2. Pantai selatan Jawa dikenal dengan
ombaknya yang besar, menyebabkan proses abrasi menjadi sangat intensif sehingga
keterdapatan beach rocks di Pantai Sadranan menjadi menarik untuk diteliti karakteristiknya.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui karakteristik petrografi beach rocks pantai

842
PROCEEDING, SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-11
PERSPEKTIF ILMU KEBUMIAN DALAM KAJIAN BENCANA GEOLOGI DI INDONESIA
5 – 6 SEPTEMBER 2018, GRHA SABHA PRAMANA
Sadranan dan merupakan tahapan awal dari penelitian karakteristik beach rock pantai
Sadranan yang pada tahapan penelitian berikutnya akan dilanjutkan lebih detail pada
penelitian karakteristik geokimianya.
1.1. Lokasi penelitian
Lokasi penelitian berada di wilayah sekitar Kecamatan Tepus, Kabupaten
Gunungkidul, Daerah Istimewa Yogyakarta di pantai Sadranan (Gambar 1). Lokasi
penelitian dapat dicapai melalui jalur darat menggunakan kendaraan bermotor melalui
Jalan Wonosari menuju pantai Sadranan yang berjarak ±70 km dari Kota Yogyakarta.

1.2. Geologi regional


1.2.1. Fisiografi
Van Bemmelen (1949) membagi Jawa bagian timur dan Madura menjadi 7 zona
fisiografi, yaitu Zona Pegunungan Selatan, Zona Solo, Zona Kendeng, Zona
Randublatung, Zona Rembang, Dataran Aluvial Jawa Utara, dan Gunungapi Kuarter.
Dari ke tujuh zona tersebut, zona yang paling relevan dengan daerah penelitian adalah
Zona Pegunungan Selatan.
Zona Pegunungan Selatan merupakan suatu blok yang terangkat dan termiringkan ke
arah selatan. Zona ini membentang mulai dari Pantai Parangtritis di sebelah barat hingga
Semenanjung Blambangan di sebelah timur. Zona Pegunungan Selatan dibatasi oleh
gawir yang kompleks di sebelah utara dan Samudera Hindia di sebelah selatan. Lebar
Zona Pegunungan Selatan sekitar 25 km (selatan Blitar) hingga 55 km (selatan Surakarta)
(Van Bemmelen, 1949).
Van Bemmelen (1949) membagi Zona Pegunungan Selatan menjadi 3 subzona, yaitu
Subzona Utara, Subzona Tengah, dan Subzona Selatan. Subzona Utara merupakan lajur -
lajur pegunungan yang tersusun oleh batuan volkanik berelief kuat, yang terdiri dari lajur
Baturagung, lajur Panggung, lajur Plopoh, dan lajur Kambengan. Subzona Tengah
merupakan suatu dataran tinggi di daerah Wonosari dan Baturetno. Subzona Selatan
tersusun oleh batugamping yang membentuk bentang alam kars atau biasa disebut
sebagai Gunung Sewu. Subzona Gunung Sewu dibatasi oleh gawir – gawir erosi di
bagian selatan dan berbatasan langsung dengan Samudera Hindia. Sementara, Subzona
Gunung Sewu di bagian utara berbatasan dengan Cekungan Wonosari, Cekungan
Baturetno, dan lajur Panggung. Subzona Gunung Sewu didominasi oleh batuan karbonat
Formasi Wonosari-Punung yang membentuk perbukitan kars dengan orientasi timut
tenggara – barat barat laut. Mengacu pada pembagian zona dan subzona tersebut, daerah
penelitian dapat dikategorikan dalam Zona Pegunungan Subzona Selatan, subzone
Gunung Sewu bagian selatan.
1.2.2. Stratigrafi
Menurut Toha et al. (1994), stratigrafi regional daerah Pegunungan Selatan dari tua ke
muda adalah Formasi Kebo-Butak, Formasi Besole, Formasi Mandalika, Formasi Semilir,
Formasi Nglanggran, Formasi Sambipitu, Formasi Oyo, Formasi Jaten, Formasi Wuni,
Formasi Nampol, Formasi Wonosari-Punung dan Formasi Kepek. Urut - urutan stratigrafi
penyusun Zona Pegunungan Selatan dapat dilihat pada Gambar 2.
Mengacu pada peta geologi regional Lembar Surakarta – Giritontro (Surono et al.,
1992), formasi batuan yang berasosiasi dengan kondisi di Pantai Sradanan dan sekitarnya
adalah Formasi Wonosari – Punung. Formasi ini terusun oleh 2 fasies, yaitu fasies
karbonat dan fasies klastika. Fasies karbonat tersusun oleh batugamping terumbu,
batugamping bioklastik, batugamping pasiran, dan napal. Fasies karbonat diendapkan
pada lingkungan paparan pada umur Miosen Tengah – Miosen Akhir (N9 – N16). Fasies
klastika tersusun oleh perselingan batupasir tufan, batupasir gampingan, batulanau, dan

843
PROCEEDING, SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-11
PERSPEKTIF ILMU KEBUMIAN DALAM KAJIAN BENCANA GEOLOGI DI INDONESIA
5 – 6 SEPTEMBER 2018, GRHA SABHA PRAMANA
serpih. Fasies klastika berumur Miosen Akhir (N15) dan terendapkan pada paleobatimetri
neritik luar (Sartono, 1964).
1.2.3. Struktur geologi
Menurut Sudarno (1997), struktur geologi yang berkembang di Pegunungan Selatan
terdiri dari 4 pola, yaitu pola Meratus, pola Sunda, pola Jawa, dan pola antitetik Meratus.
Pola antitetik Meratus merupakan kelompok struktur – struktur geologi yang memiliki
orientasi barat laut – tenggara. Struktur – struktur ini sebagian besar berupa sesar geser
dekstral yang terbentuk akibat gaya kompresi pada umur Pliosen. Sedangkan mengacu
pada peta Lembar Surakarta – Giritontro (Surono et al., 1992), tidak ada struktur geologi
regional yang berkembang mempengaruhi daerah penelitian (Gambar 3).

1.3. Geologi daerah penelitian


Daerah penelitian merupakan terletak di pantai Selatan Pulau Jawa. Jika mengacu
pada peta geologi regional lembar Surakarta – Giritontro (Surono, dkk. 1992) (Gambar 3)
yang berskala 1:100.000, daerah penelitian terpetakan sebagian dari Formasi Wonosari-
Punung. Dengan melihat pola-pola sumbu secara yang ada secara geomorfologi pada
Gambar 3, daerah penelitian bisa dikelompokkan ke dalam daerah yang berlereng landai.
2. Metode Penelitian
2.1.Bahan atau materi penelitian
Materi yang akan diteliti adalah singkapan beach rocks di Pantai Sradanan dan
sekitarnya, Kecamatan Tepus, Kabupaten Gunungkidul. Sampel beach rocks yang
diambil dari lapangan akan dianalisis petrografis.

2.2.Prosedur penelitian
Penelitian dapat dibagi menjadi 4 tahapan penelitian yaitu :
2.2.1. Tahap pendahuluan
Pada tahap ini dilakukan studi pustaka dengan mempelajari landasan teori yang
mendukung penelitian ini, mencari informasi mengenai penelitian-penelitian yang
pernah dilakukan di daerah Gunungkidul, mencari peta geologi daerah Sadranan
dan mengadakan peta topografi serta peta rupa bumi daerah penelitian yang akan
digunakan sebagai peta dasar dalam pekerjaan lapangan, dan melakukan
reconnaissance pada lokasi penelitian.
2.2.2. Tahap pekerjaan lapangan
Pada tahapan ini dilakukan pembuatan parit atau horizontal – vertical section
(sedalam ± 1 m, lebar ±1 m, dan panjang ±5 m) dan memanjang lateral ke arah
laut sebanyak 2 buah. Pada puritan tersebut dilakukan pengambilan sampel,
measurement stratigraphy dan pembuatan kolom stratigrafi. Pengambilan sampel
merepresentasikan beach rocks di sepanjang parit.
2.2.3. Tahap pemrosesan dan analisis data
Pada tahap ini dilakukan analisis sampel beach rocks untuk mendapatkan
karakteristik beach rocks, baik analisis data lapangan maupun analisis data
laboratorium.
a. Analisis data lapangan
Pada tahapan ini dilakukan analisis dari data yang telah dikumpulkan saat
berada di lapangan, yaitu data singkapan beach rocks, sampel batuan beach
rocks, dan kolom stratigrafi beach rocks.
b. Analisis laboratorium
Pada tahapan ini dilakukan analisis dari sampel yang telah dikumpul dari
pekerjaan lapangan di laboratorium, yaitu analisis data petrografi untuk dapat
844
PROCEEDING, SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-11
PERSPEKTIF ILMU KEBUMIAN DALAM KAJIAN BENCANA GEOLOGI DI INDONESIA
5 – 6 SEPTEMBER 2018, GRHA SABHA PRAMANA
menjelaskan karakteristik beach rocks berdasarkan identifikasi tekstur batuan
dan mineral penyusunnya.
2.2.4. Tahap integrasi hasil analisis
Pada tahap ini dilakukan sintesa dan integrasi hasil analisis singkapan, sampel
batuan, kolom stratigrafi, dan analisis petrografi dari beach rocks untuk dapat
menjelaskan karakteristik beach rocks di daerah penelitian.
3. Data
Data geologi yang diperoleh berasal dari dua buah parit yang dibuat secara horizontal –
vertical section. Parit-parit tersebut yaitu parit AB dan parit CD.
3.1. Parit AB
Memiliki koordinat 455863/9099624. Dengan dimensi panjang 5 m, lebar 1 m, dan
kedalaman 80 cm. Kolom stratigrafi parit AB dapat dilihat pada Gambar 4. Diperoleh
dua buah lapisan antara lain :
3.1.1. Endapan pasir karbonatan (sampel MH-a)
Hasil identifikasi petrologi pada endapan pasir karbonatan menunjukkan warna
kuning keputihan, berukuran butir fragmen 2 mm dan matrik 1 mm, bentuk butir
subangular, tidak terkonsolidasi, dengan ketebalan 70 cm. Butiran penyusun
endapan tersebut adalah fragmen batugamping (30%) dan material cangkang fosil
(40%), material pasir batugamping (30%) (Gambar 5.1).
Hasil pengamatan petrografi pada sampel MH-a menunjukkan warna coklat (ppl)
dan kuning kecoklatan (xpl), ukuran butir 1-2 mm, tidak terkonsolidasi. Komposisi
fragmen skeletal fragmen (40%) dan kalsit (23,33%), micrite (10%), dan sparite
(16,67%) (Gambar 5.2 dan 5.3)
3.1.2. Sparse Biomicrite (Folk,1962) (beach rocks) (sampel MH-
b)
Identifikasi petrologi pada sampel MH-b menunjukkan warna kuning keputihan,
berukuran butir fragmen 4 mm dan massa dasar kurang dari 1 mm, bentuk butir
subangular, kemas terbuka. Struktur masif. Komposisi fragmen batugamping
(10%) dan material cangkang fosil (20%), mineral kalsit (40%) dan material pasir
batugamping (30%) (Gambar 6.1 dan 6.2)
Analisis petrografi menunjukkan warna coklat kekuningan (ppl dan xpl), ukuran
butir kurang dari 1-4 mm, hubungan antar butir grain supported dengan tipe
porositas interpartikel. Komposisi fragmen skeletal fragmen (20%) dan pasir
batugamping (16,67%), micrite (33,33%) dan sparite (30%) (Gambar 6.3 dan 6.4)

3.2. Parit CD
Memiliki koordinat 455813/9099597. Dengan dimensi panjang 5 m, lebar 1 m, dan
kedalaman 70 cm. Kolom stratigrafi parit CD ditunjukkan pada Gambar 7. Diperoleh
dua buah lapisan antara lain :
3.2.1. Endapan pasir karbonatan (sampel MH-g)
Analisis petrologi menunjukkan warna kuning keputihan, berukuran butir fragmen
2 mm dan massa dasar 1 mm, bentuk butir subangular, tidak terkonsolidasi,
dengan ketebalan 70 cm. Komposisi fragmen batugamping (20%) dan material
cangkang fosil (40%), material pasir batugamping (40%) (Gambar 8.1)
Analisis petrografi menunjukkan warna coklat kekuningan (ppl) dan kuning
kecoklatan (xpl), ukuran butir 1-3 mm, tidak terkonsolidasi dan tidak memiliki tipe
porositas. Komposisi fragmen skeletal fragmen (36,67%) dan pasir batugamping
(13,33%), micrite (20%), dan sparite (20%) (Gambar 8.2 dan 8.3)

845
PROCEEDING, SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-11
PERSPEKTIF ILMU KEBUMIAN DALAM KAJIAN BENCANA GEOLOGI DI INDONESIA
5 – 6 SEPTEMBER 2018, GRHA SABHA PRAMANA
3.2.2. Sparse Biomicrite (Folk,1962) (beach rocks) (sampel MH-
h)
Analisis petrologi menunjukkan warna kuning keputihan, berukuran butir fragmen
4 mm dan massa dasar kurang dari 1 mm, bentuk butir subangular, kemas terbuka.
Struktur masif. Komposisi fragmen batugamping (10%) dan material cangkang
fosil (20%), mineral kalsit (40%) dan material pasir karbonatan (30%) (Gambar
9.1 dan 9.2)
Analisis petrografi menunjukkan warna coklat kekuningan (ppl dan xpl), ukuran
butir kurang dari 1-4 mm, hubungan antar butir grain supported dengan tipe
porositas interpartikel. Komposisi fragmen skeletal fragmen (20%) dan pasir
batugamping (10%), micrite (35%) dan sparite (35%) (Gambar 9.3 dan 9.4)

4. Hasil dan Pembahasan


Berdasarkan analisis data singkapan, sampel batuan, kolom stratigrafi dan petrografi dari
masing-masing parit (AB dan CD), dapat didiskusikan hal-hal sebagai berikut :
4.1. Pasir batugamping
Analisis petrologi dan petrografi menunjukkan kelimpahan pasir dengan komposisi
batugamping di endapan pasir karbonatan semakin berkurang di parit CD (sampel
MH-g), yaitu parit yang berada di sebelah barat. Sedangkan analisis petrologi untuk
beach rocks menunjukkan kandungan pasir batugamping yang sama dari kedua parit
(sampel MH-a dan MH-g), namun analisis petrografi menunjukkan bahwa kandungan
pasir batugamping semakin berkurang di parit CD (sampel MH-g).
Hal ini mencirikan bahwa terjadinya pengurangan kandungan pasir berkomposisi
batugamping di daerah sebelah barat dari pantai Kerakal karena proses abrasi terjadi
lebih intensif di bagian barat pantai Kerakal sehingga tidak ada kesempatan bagi pasir
berkomposisi batugamping untuk dikembalikan oleh ombak dan diendapkan.
4.2. Komposisi pecahan cangkang fosil (skeletal fragmen)
Analisis petrologi menunjukkan bahwa kandungan skeletal fragmen pada sampel
endapan pasir karbonatan a dan g memiliki kelimpahan yang sama (40%). Begitu juga
kandungan skeletal fragmen pada sampel b dan h (beach rocks) memiliki kelimpahan
yang sama (20%). Material cangkang fosil butiran ini didominasi oleh fosil
foraminifera besar, yaitu Baculogypsina sphaerulata (Parker & Jones, 1860).
Analisis petrografi menunjukkan bahwa kandungan skeletal fragmen pada sampel
endapan pasir karbonatan a dan g memiliki kelimpahan yang relatif sama secara
berturut-turut yaitu 40% dan 36,67%. Sedangkan kandungan skeletal fragmen pada
sampel b dan h (beach rocksi) memiliki kelimpahan yang sama (20%).
Hal ini mengindikasikan bahwa pada endapan pasir karbonatan masih berlangsung
penambahan material pecahan cangkang fosil oleh ombak, sedangkan pada beach
rocks yang relatif sudah terkonsolidasi, saat proses litifikasi berlangsung juga terjadi
proses sortasi butiran sehingga menghasilkan batuan yang butirannya relatif seragam.
4.3. Komposisi semen karbonat (Micrite dan Sparite)
Kandungan semen karbonat micrite dan sparite hanya bisa dianalisis secara petrografi.
Pada sampel endapan pasir karbonatan MH-a, kelimpahan micrite dan sparite secara
berturut-turut ialah 10% dan 16,67%. Sedangkan pada sampel endapan pasir
karbonatan MH-g, kandungan micrite dan sparite mengalami kenaikan yang tidak
begitu signifikan kelimpahannya secara berturut-turut yaitu 20% dan 20%.
Pada sampel beach rocks MH-b, kelimpahan micrite dan sparite secara berturut-turut
ialah 33,33% dan 30%. Sedangkan pada sampel beach rocks MH-h, kelimpahan

846
PROCEEDING, SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-11
PERSPEKTIF ILMU KEBUMIAN DALAM KAJIAN BENCANA GEOLOGI DI INDONESIA
5 – 6 SEPTEMBER 2018, GRHA SABHA PRAMANA
micrite dan sparite secara berturut-turut juga mengalami kenaikan yang tidak begitu
signifikan yaitu 35% dan 35%.
Kelimpahan semen karbonat yang lebih dominan pada beach rocks mencirikan bahwa
semen tersebut berperan besar dalam proses litifikasi menjadi beach rocks. Parit CD
(sampel MH-g dan MH-h) memiliki kandungan micrite dan sparite yang lebih tinggi
dibandingkan parit AB (sampel MH-a dan MH-b). Hal tersebut diinterpretasikan
bahwa proses sementasi lebih intensif terjadi di sebelah barat pantai Kerakal.

5. Kesimpulan
Dari hasil analisis data singkapan, sampel batuan, kolom stratigrafi dan petrografi dapat
diambil beberapa kesimpulan antara lain :
1. Proses abrasi terjadi lebih intensif di bagian barat pantai Kerakal sehingga kandungan
pasir berkomposisi batugamping lebih sedikit dijumpai karena tidak ada kesempatan
bagi material tersebut untuk dikembalikan oleh ombak dan diendapkan.
2. Pada endapan pasir karbonatan terjadi pengkayaan kandungan pecahan cangkang fosil
dibanding pada beach rocks yang sudah mengalami konsolidasi. Hal tersebut
mengindikasikan bahwa pada endapan pasir karbonatan masih berlangsung
penambahan material pecahan cangkang fosil karena aktifitas ombak laut.
3. Yang berperan besar dalam proses litifikasi beach rocks ialah komponen semen
karbonat micrite dan sparite.

Acknowledgements
Penulis mengucapkan terimakasih kepada Departemen Teknik Geologi, Fakultas Teknik,
Universitas Gadjah Mada yang telah memberikan dana hibah untuk membiayai pelaksanaan
penelitian ini. Penulis juga mengucapkan terimakasih kepada rekan kerja di lapangan Lutfian
Rusdi Daryono yang juga telah berkenan menyumbangkan foto udara yang diambil
menggunakan drone. Terimakasih juga penulis ucapkan kepada M. Zharfan Bimantoro
sebagai teman kerja di lapangan serta teman berbagi ilmu selama pekerjaan berlangsung.

Daftar Pustaka
Atmoko, D. D. dan Titisari, A. D. (2015). Genesis of Ponjong Pink Limestone, Gunungkidul,
Special Region of Yogyakarta-Indonesia. Proceeding, Seminar Nasional Kebumian
Ke-8.
Atmoko, D. D. dan Titisari, A. D. (2018). Geochemical Characteristics of Limestone of
Wonosari-Punung Formation, Gunungkidul District, Yogyakarta – Indonesia
(third-revision). Indonesian Journal on Geoscience
Atmoko, D. D., Titisari A. D. dan Idrus, A. (2016). Mineralogi dan Geokimia Batugamping
Merah Ponjong, Gunungkidul, Yogyakarta. Yogyakarta. RISET Geologi dan
Perkembangan Departemen Teknik Geologi UGM.
Avcioglu, M., Yigitbas, E., Erginal, A.E. (2015). Beachrock formation on the coast of
Gökçeada Island and its relation to the active tectonics of the region, northern
Aegean Sea. Quartenary International Vol. xxx p. 1 – 12.
doi:10.1016/j.quaint.2015.10.108.

847
PROCEEDING, SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-11
PERSPEKTIF ILMU KEBUMIAN DALAM KAJIAN BENCANA GEOLOGI DI INDONESIA
5 – 6 SEPTEMBER 2018, GRHA SABHA PRAMANA

Berner, R.A., Westrich, R.G., Smith, J., Martens, C. (1978). Inhibiton of Aragonite
Precipitation from Supersaturated Seawater, a Laboratory and Field Study.
American Journal of Science Vol. 278 p.816 – 837.
Boggs Jr., S. (2009). Petrology of Sedimentary Rock. New York. Cambridge University Press.
Brathwraite, Colin J.R. (2005). Carbonate Sediments and Rocks. Dunbeath. Whittles
Publishing.
Cooper, J.A.G. (1991). Beachrock Formation in Low Latitudes: Implication for Coastal
Evolutionary Models. Marine Geology Vol. 98 p. 145 – 154.
Ginsburg, R.N. (1953). Beachrock in South Florida. Journal of Sedimentary Petrology Vol.
23 p. 85 – 92.
Gischler, E., Lomando, A.J. (1997). Holocene Cemented Beach Deposits in Belize.
Sedimentary Geology Vol. 110 p. 277 – 297.
Hendrawan, A. dan Titisari, A. D. (2017). Genesa Batugamping Merah di Daerah Siung dan
Sekitarnya, Kecamatan Tepus dan Girisubo, Kabupaten Gunungkidul. Proceeding,
Seminar Nasional Kebumian Ke-10.
James, N.P., Choquette, P.W. (1983). Limestones – The Sea Floor Diagenetic Environment.
Geoscience Canada Vol. 10 p. 162 – 179.
Jauhari, U., Toha. (2005). High resolution sequence stratigraphy and diagenesis in carbonate
rocks, Wonosari Formation, Yogyakarta: an outcrop analog for modeling chalky
limestone reservoir distribution. Conference: Thirtieth Annual Convention.
Jones, R.W. (1994). The Challenger Foraminifera. Oxford University Press p.149.
Kelletat, D. (2006). Beachrock as Sea-Level Indicator? Remarks from a Geomorphological
Point of View. Journal of Coastal Research Vol. 22 p. 1558 – 1564.
Krumbein, W.E. (2009). Photolithotropic and Chemoorganotrophic Activity of Bacteria and
Algae as Related to Beachrock Formation and Degradation (Gulf of Aqaba, Sinai).
Geomicrobiology Journal Vol. 1 p. 139 – 203.
Lokier, S. (1999). The development of the Miocene Wonosari Formation, south central Java.
Conference: 27th IPA. Jakarta, Indonesia.
Longman, M.W. (1980). Carbonate Diagenetic Textures from Nearsurface Diagenetic
Environments. AAPG Bulletin, vol. 64, no. 4 p. 461 – 487.
Maxwell, W.G.H. (2008). Lithification of Carbonate Sediments in the Heron Island Reef,
Great Barrier Reef. Journal of Geological Society of Australia Vol. 8 p. 217 – 238.
McCutcheon, J., Nothdurft, L., Webb, G.E., Paterson, D., Southam, G. (2016). Beachrock
Formation via Microbial Dissolution and Re-Precipitation of Carbonate Minerals.
Marine Geology Vol. 382 p. 122-135. doi:10.1016/j.margeo.2016.10.010.
Moore, C.H. (1973). Intertidal Carbonate Cementation in Grand Cayman, West Indies.
Journal of Sedimentary Petrology Vol. 43 p. 591 – 602.
Morse, J.W., Mackenzie, F.T. (1990). Geochemistry of Sedimentary Carbonates. New York.
Elsevier.

848
PROCEEDING, SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-11
PERSPEKTIF ILMU KEBUMIAN DALAM KAJIAN BENCANA GEOLOGI DI INDONESIA
5 – 6 SEPTEMBER 2018, GRHA SABHA PRAMANA

Mucci, A. (1986). Growth Kinetics and Composition of Magnesian Calcite Overgrowths


Precipitated from Seawater: Quantitative Influence of Orthophosphate Ions.
Geochimica et Cosmochimica Acta Vol. 50 p. 2255 – 2265.
Mukti, dkk. (2005). Analisa Fasies dan Lingkungan Pengendapan Formasi Wonosari
Berdasarkan Jalur MS Sungai Ngrendeng di Kecamatan Tulakan, Kabupaten
Pacitan. Yogyakarta .Departemen Teknik Geologi Fakultas Teknik UGM.
Nichols, G. (2009). Sedimentology and Stratigraphy. Oxford.Wiley-Blackwell.
Neumeier, U. (1999). Experimental Modelling of Beachrock Cementation under Microbial
Influence. Sedimentary Geology Vol. 126 p. 35 – 46.
Premonowati, B., Pratistho, I. M. 2012. Allostratigraphy of Punung Paleoreef based on
Lithofacies Distributions, Jlubang Area, Pacitan Region-East Java. Indonesian
Journal on Geoscience
Pulunggono, A. dan Martodjojo, P. (1994). Perubahan Tektonik Paleogene-Neogene
Merupakan Peristiwa Tektonik Terpenting di Jawa. Prosiding Geologi dan
Geotektonik Pulau Jawa Sejak Akhir Mesozoik hingga Kuarter, Universitas Gadjah
Mada p. 253 – 274.
Puri, H.S., Collier, A. (1967). Role of Microorganisms in Formation of Limestones. Gulf
Coast Association of Geological Societies Transactions Vol. 17 p. 355 – 367.
Russell, R.J., McIntire, W.G. (1965). Southern Hemisphere Beach Rock. The Geographical
Review Vol. 55 p.17 – 45.
Scholle, P. A. & Ulmer-Scholle, D. S. (2003). A Color Guide to the Petrography of
Carbonate Rocks: Grains, Textures, Porosity, Diagenesis. Oklahoma. The
American Association of Petroleum Geologists Tulsa.
Scoffin, T. P. (1987). An Introduction to Carbonate Sediments and Rocks. New York.
Chapman and Hall.
Siregar, M. S., Kamtono, Praptisih & Mukti, M. (2004). Reef Facies of the Wonosari
Formation, South of Central Java. RISET - Geologi dan Pertambangan.
Surono, Toha, B. & Sudarno, I. (1992). Geological Map of the Surakarta - Giritontro
Quadrangles, Jawa. Geological Research and Development Centre. Bandung skala
1:100.000, 1 lembar.
Surono. (2009). Litostratigrafi Pegunungan Selatan Bagian Timur Daerah Istimewa
Yogyakarta dan Jawa Tengah. Jurnal Sumber Daya Geologi Vol. 19 p. 209 – 221.
Tucker, M.E. (1991). an Introduction to the Origin of Sedimentary Rocks. London.Blackwell
Science Ltd.
Van Bemmelen, R. W. (1970). The Geology of Indonesia: General Geology of Indonesia and
Adjacent Archipelagoes. Netherland. The Haque.
Vieira, M.M., Sial, A. N., De Ros, L.F., Morad, S. (2017). Origin of holocene beachrock
cements in northeastern Brazil: Evidence from carbon and oxygen isotopes. Journal
of South American Earth Sciences vol. 79 p. 401 – 408.

849
PROCEEDING, SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-11
PERSPEKTIF ILMU KEBUMIAN DALAM KAJIAN BENCANA GEOLOGI DI INDONESIA
5 – 6 SEPTEMBER 2018, GRHA SABHA PRAMANA

Vousdoukas, M.I., Velegrakis, A.F., Plomaritis, T.A. (2007). Beachrock Occurrence,


Characteristics, Formation, Mechanisms, and Impacts. Earth-Science Reviews 85 p.
23-46.
Vousdoukas, M.I., Velegrakis, A.F., Karambas, T.V. (2009). Morphology and sedimentology
of a microtidal beach with beachrocks: Vatera, Lesbos, NE Mediterranean:
Continental Shelf Research vol. 29 p. 1937 – 1947.

Click or tap here to enter text.

850
PROCEEDING, SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-11
PERSPEKTIF ILMU KEBUMIAN DALAM KAJIAN BENCANA GEOLOGI DI INDONESIA
5 – 6 SEPTEMBER 2018, GRHA SABHA PRAMANA

AB
CD

Gambar 1. Peta Indeks lokasi penelitian berdasarkan Peta Administrasi Provinsi DI


Yogyakarta menggunakan citra satelit Google Maps dibantu dengan hasil pengambilan Foto
udara menggunakan Drone. Foto udara menunjukkan lokasi Parit AB dan Parit CD.

Gambar 2. Stratigrafi regional Pegunungan Selatan (Toha et al., 1994 digambar ulang) dan
formasi yang berhubungan dengan daerah penelitian yang ditandai dengan kotak berwarna
merah.

851
PROCEEDING, SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-11
PERSPEKTIF ILMU KEBUMIAN DALAM KAJIAN BENCANA GEOLOGI DI INDONESIA
5 – 6 SEPTEMBER 2018, GRHA SABHA PRAMANA

Gambar 3. Peta geologi pada sebagian daerah dari lembar Surakarta – Giritontro (Surono et
al., 1992) dan posisi daerah penelitian.

852
PROCEEDING, SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-11
PERSPEKTIF ILMU KEBUMIAN DALAM KAJIAN BENCANA GEOLOGI DI INDONESIA
5 – 6 SEPTEMBER 2018, GRHA SABHA PRAMANA

Gambar 4. Kolom stratigrafi parit AB

853
PROCEEDING, SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-11
PERSPEKTIF ILMU KEBUMIAN DALAM KAJIAN BENCANA GEOLOGI DI INDONESIA
5 – 6 SEPTEMBER 2018, GRHA SABHA PRAMANA

Gambar 5. (1) Foto singkapan pasir karbonatan pada parit AB serta posisi sampel MH-a; (2)
Fotomikrograf sampel MH-a pada posisi nikol sejajar dan (3) Fotomikrograf sampel MH-a
pada posisi nikol bersilang. Note: sf = skeletal fragmen; mc = micrite; sp =sparit.

Gambar 6. (1) Foto singkapan beach rocks pada parit AB dan posisi sampel MH-b; (2) Foto
conto setangan sampel MH-b; (3) Fotomikrograf sampel MH-b pada posisi nikol sejajar dan
(4) Fotomikrograf sampel MH-b pada posisi nikol bersilang. Note: sf = skeletal fragmen; mc
= micrite; sp =sparit.

854
PROCEEDING, SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-11
PERSPEKTIF ILMU KEBUMIAN DALAM KAJIAN BENCANA GEOLOGI DI INDONESIA
5 – 6 SEPTEMBER 2018, GRHA SABHA PRAMANA

Gambar 7. Kolom stratigrafi parit CD

855
PROCEEDING, SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-11
PERSPEKTIF ILMU KEBUMIAN DALAM KAJIAN BENCANA GEOLOGI DI INDONESIA
5 – 6 SEPTEMBER 2018, GRHA SABHA PRAMANA

Gambar 8. (1) Foto singkapan pasir karbonatan pada parit CD serta posisi sampel MH-g; (2)
Fotomikrograf sampel MH-g pada posisi nikol sejajar dan (3) Fotomikrograf sampel MH-g
pada posisi nikol bersilang. Note: sf = skeletal fragmen; mc = micrite; sp =sparit.

Gambar 9. (1) Foto singkapan beach rocks pada parit CD dan posisi sampel MH-h; (2) Foto
conto setangan sampel MH-h; (3) Fotomikrograf sampel MH-h pada posisi nikol sejajar dan
(4) Fotomikrograf sampel MH-b pada posisi nikol bersilang. Note: sf = skeletal fragmen; mc
= micrite; sp = sparit.

856
PROCEEDING, SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-11
PERSPEKTIF ILMU KEBUMIAN DALAM KAJIAN BENCANA GEOLOGI DI INDONESIA
5 – 6 SEPTEMBER 2018, GRHA SABHA PRAMANA

STUDI PETROLOGI BATUAN BEKU ULTRAMAFIK DAN IMPLIKASI


KETERDAPAN ENDAPAN MINERAL BIJIH DI DAERAH PULAU SEBUKU,
KALIMANTAN SELATAN

I Gusti Ngurah Kusuma Wijaya1*


Arifudin Idrus2
Andhi Cahyadi3
1*
Universitas Gadjah Mada
2
PT. Sebuku Iron Lateritic Ores
3
PT. Sebuku Iron Lateritic Ores
*corresponding author: i.gst.n@mail.ugm.ac.id

ABSTRAK
Studi petrogenesis batuan beku ultramafik di daerah Pulau Sebuku menjadi suatu hal yang menarik
untuk dipelajari terutama dari segi geologi ekonomi, karena batuan ultramafik merupakan sumber dari
beberapa mineral bijih seperti nikel, kromit, platinum dan besi. Daerah penelitian berada di bagian
tenggara Pulau Kalimantan dengan batasan termasuk ke dalam peta geologi regional skala 1 : 250.000
lembar Kotabaru, Kalimantan Selatan. Tujuan penelitian adalah untuk 1) mengetahui tipe dan
karakteristik komposisi batuan beku, 2) menginterpretasikan proses pembentukan (petrogenesis)
batuan beku serta keterkaitannya dengan tatanan tektonik di daerah Pulau Sebuku dan sekitarnya, dan
3) studi awal keterdapatan endapan mineral bijih. Metode yang digunakan dalam penelitian adalah
analisis petrografi dan analisis geokimia dari data primer yang meliputi analisis afinitas magma,
kristalisasi fraksinasi dan tatanan tektonik. Hasil penelitian menunjukkan bahwa Litologi daerah
penelitian tersusun oleh batuan-batuan ultramafik penyusun sekuen ofiolit berupa dunit dan peridotit.
Keterdapatan batuan mafik-ultramafik merupakan hasil dari proses tektonik berupa subduksi dan
obdaksi ofiolit pada Supra Subduction Zone (SSZ). Kandungan mineral olivin dan piroksen pada pada
batuan ultramafik merupakan sumber terbentuknya endapan besi laterit, selain itu terdapat mineralisasi
kromit dan platinum yang berasal segregasi magma yang berkaitan dengan pembentukan batuan
ultramafik ofiolit.
Kata kunci : Pulau Sebuku, batuan ultramafik, petrologi, ofolit

1. Pendahuluan
Indonesia merupakan salah satu daerah yang memiliki singkapan batuan ultramafik di
permukaan terbesar di dunia yang banyak tersingkap terutama di bagian tengah dan timur
Indonesia (Kadarusman, 2003) (Gambar 1). Di dunia pertambangan, keberadaan batuan
ultramafik menjadi sesuatu yang sangat menarik, karena batuan ultramafik merupakan
sumber dari beberapa mineral bijih seperti nikel, kromit, platinum dan besi. Salah satu
lokasi ditemukannya bijih kromit dan kelompok logam platinum berada di Pulau Sebuku,
Kalimantan Selatan (Cahyadi dkk., 2017) (Gambar 2).
Penelitian mengenai batuan ultramafik beserta endapan kromit dan platinum di Indonesia
sudah dilakukan oleh beberapa peneliti, seperti oleh Kadarusman (2013), Zaccarini dkk.
(2016), dan Cahyadi dkk. (2017), namun sejauh ini belum ada pembahasan yang lebih
rinci mengenai keterkaitan batuan ultramafik dengan tipe endapan kromit dan platinum di
lokasi penelitian, sehingga mendorong penulis untuk melakukan penelitian ini.
Tujuan penelitian ini adalah untuk 1) mengetahui tipe dan karakteristik komposisi batuan
beku, 2) menginterpretasikan proses pembentukan (petrogenesis) batuan beku serta
keterkaitannya dengan tatanan tektonik di daerah Pulau Sebuku dan sekitarnya, dan 3)
studi awal keterdapatan endapan mineral bijih.

857
PROCEEDING, SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-11
PERSPEKTIF ILMU KEBUMIAN DALAM KAJIAN BENCANA GEOLOGI DI INDONESIA
5 – 6 SEPTEMBER 2018, GRHA SABHA PRAMANA

2. Metode Penelitian
Alat yang di gunakan berupa alat-alat survey geologi lapangan pada umumnya dan juga
terdapat alat laboratorium seperti mirkoskop polarisasi, pantul, XRF, ICP-MS dan FA
AAS, serta bahan yang digunakan berupa peta geologi regional lembar Kota Baru,
Kalimantan skala 1:250.000 (Rustandi dkk, 1995), peta topografi daerah penelitian skala
1: 10.000, dan sampel batuan untuk analisis petrografi, mikroskopi bijih, XRF, ICP-MS,
dan FA-AAS.
Tahapan penelitian diawali dari perumusan masalah, mencari informasi dan studi pustaka
sehingga mendapatkan hipotesis kemudian dilanjutkan dengan reconnaisnce.
Pengambilan data primer terbagi menjadi data geologi dan mineralisasi. Data geologi
terdiri dari data pemboran, struktur geologi dan litologi, sedangkan data mineralisasi
terdiri dari minerlogi dan geokimia. Hasil yang diperoleh yaitu: Peta Geologi, Profil
endapan bijih, Mineralogi bijih, dan geokimia bijih. Semua hasil tersebut nantinya
diitegrasi dan dicocokan dengan model konseptual endapan bijih yang ada untuk
menjawab permasalah penelitian.

3. Data
3.1. Geologi Regional
Secara morfologi daerah penelitian berada pada daerah perbukitan bergelombang sampai
dataran yang telah dimanfaatkan sebagai lahan pertambangan besi laterit. Secara regional
Rustandi dkk, (1995) mengelompokan stratigrafi lembar Kotabaru menjadi 15 formasi.
Pulau Sebuku sendiri dipetakan pada lima formasi, dari tua ke muda, yaitu : Batuan
Ultramafik, Diduga berumur Jura, Formasi Pitap, Berupa batuan sedimen silisiklastik
menjemari dengan Formasi Haruyan, berupa batuan vulkaniklastik yang berumur Kapur
Atas, Formasi Tanjung menindih tidak selaras diatas formasi Pitap dan Haruyan dengan
umur Eosen, serta Alluvium berumur holosen. Pulau Sebuku merupakan daerah anjakan
(overthrusting) dari ofiolit, yang terjadi akibat adanya gaya deformasi tektonik dari
lempeng yang menunjam di sebelah timur Sulawesi yang terjadi pada kala Miosen–
Pliosen. Struktur yang berkembang adalah struktur-struktur sesar anjakan yang berarah
baratdaya-timurlaut dan struktur minor yang berkembang berupa sesar geser, sesar naik,
dan perlipatan.

3.2. Geologi Daerah Penelitian


Litostratigrafi di lokasi penelitian dapat dipetakan (Gambar 3), berupa:
satuan metaharzburgit, satuan metadunit dan satuan serpentinit masuk dalam batuan
ultramafik berumur Jura, satuan metabatupasir masuk dalam formasi pitap, dan satuan
mikrodiorit masuk dalam formasi haruyan atau anggota intrusi diorit di akhir kapur serta
endapan pasir kerikilan menumpang tidak selaras sebagai aluvium Holosen, seluruh
satuan tersebut dapat disebandingkan dalam kolom kesembandingan litostratigrafi dengan
geologi regional oleh Rustandi dkk, 1995.
Secara petrogenesa, stratigrafi di lokasi penelitian memiliki hubungan dengan fase
tektonik. Terdapat hubungan kontak tektonik batuan ultramafik dengan satuan
metabatupasir akibat deformasi tektonik pada Akhir Jura sampai Awal Kapur. Selain itu
terdapat ketidak selarasan batuan dari Akhir Kapur sampai dengan Holosen.
Struktur geologi yang berkembang di daerah penelitian berupa kekar dan sesar. Kekar
yang dijumpai berupa kekar ekstensi dan kekar gerus, sedangkan sesar yang terukur
berupa sesar anjak, sesar turun dan sesar geser dekstral atau sinistral (Gambar 4). Secara
umum arah tegasan stuktur geologi yang terukur di lokasi penelitian berarah timur-barat
yang berhubungan dengan deformasi tektonik dari lempeng yang menunjam di sebelah
timur Sulawesi yang terjadi pada kala Miosen–Pliosen.
858
PROCEEDING, SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-11
PERSPEKTIF ILMU KEBUMIAN DALAM KAJIAN BENCANA GEOLOGI DI INDONESIA
5 – 6 SEPTEMBER 2018, GRHA SABHA PRAMANA

Persebaran batuan selain ditinjau dari persebaran permukaan juga dilakukan pengukuran
batuan secara vertikal berdasarkan data pemboran yang telah disediakan oleh PT. SILO.
Karakteristik profil batuan di lokasi penelitian pada umumnya tertutupi oleh tanah laterit
dengan ketebalan 4-18 m. Dapat dilihat pada Gambar 5, perbedaan pada masing profil
satuan dimna, metadunit memiliki kandungan Ni yang lebih tinggi pada zona saprolit
dibandingkan metaharzburgit, sedangkan serpentinit akan memiliki kandungan Al yang
sangat tinggi pada zona limonit. Profil ini juga digunakan untuk melihat potensi bijih,
secara umum kandungan Cr pada zona limonit berkisar 2-5%.

3.3. Kromit Podiform


Di lokasi penelitian ditemukan endapan kromit dalam dua rentang ukuran butir yaitu (1)
0.1 mm – 2 mm, umumnya berbentuk nodul-nodul terdesiminasi atau membentuk
kantong kecil pada dunit atau peridotit yang telah terserpentinisasi tersebar di Gunung
Ulin, Damar Selatan dan Kara-kara, (2) kromit dengan ukuran 10 cm – 30 cm ditemukan
sebagai float di Pantai Halaban yang didominasi oleh satuan metaharzburgit (Gambar 6).
Berdasarkan pengamatan tekstur bijih menunjukan bijih kromit memiliki tekstur uniform
dengan pecahan brecciation atau pull-a-part, dan terganggu oleh retakan yang terisi oleh
mineral silikat. Selain dalam keadaan segar terdapat bijih kromit yang telah teralterasi
pada bagian rim atau tergantikan menjadi mineral silikat, magnetit, hematit dan geotit
(Gambar 7). Pengamatan bijih juga menunjukan kehadiran bijih platinum group minerals
sebagai inklusi pada bijih kromit atau pada batuan yang telah mengalami alterasi
(Gambar 8).
Pada hasil plotting diagram klasifikasi spinel oleh Deer dkk. (1992), menunjukan
kandungan unsur-unsur tersebut mengerucut pada mineral kromit dengan rumus kimia
FeCr2O4 (Gambar 9). Tipe endapan kromit dapat diketahui dengan plotting pada binary
diagram Al2O3 vs Cr2O3 dan TiO2 vs Cr2O3 bedasarkan Zaccarini dkk. (2016). Hasil
plotting pada kedua diagram tersebut menunjukan bahwa kromit di lokasi penelitian
termasuk pada kromit tipe podiform (Gambar 10).

4. Hasil dan Pembahasan


4.1. Kristalisasi Fraksinasi
Evolusi magma terepresentrasikan pada perbandingan MgO yang menunjukkan proses
fraksinasi dari magma primitif pada beberapa sampel batuan yang terdapat di lokasi
penelitian dengan analisis XRF untuk mengetahui kandungan oksida mayor (Tabel 1),
yaitu dengan adanya tren negatif seiring bertambahnya MgO. Hal ini menjelaskan
mineral-mineral ferromagnesian tergantikan oleh mineral-mineral felsik (Gambar 11).

4.2. Afinitas Magma dan Implikasi Tatanan Tektonik


Afinitas magma dari batuan pada lokasi penelitian ditentukan berdasarkan kelimpahan
K2O vs SiO2 pada Diagram Peccerillo & Taylor. Hasil plotting menunjukan gabro
termasuk seri toleitik yang sama dengan batuan ultramafik, sedangkan mikrodiorit
termasuk seri kalk-alkalin. Perbedaan afinitas magma ditinjau dari hubungan tatanan
tektonik menunjukan bahwa batuan seri toleitik merupakan batuan penyusun ofiolit yang
sumber magma berasal langsung dari mantel, sedangkan untuk seri kalk-alkalin
merupakan magma hasil deferensiasi pada batas konvergen seperti subduksi (Gambar 12).
Hal ini juga dapat ditunjukan pada diagram terniary TiO2-K2O-P2O5 yang menunjukan
hanya mikrodiorit yang merupakan batuan continental (Gambar 13.A), sedangkan pada
diagram terniary TiO2-MnOx10-P2O5x10 batuan ultamafik tersebar pada zona boninit,
gabro pada zona busur kepulauan toleit dan mikrodiorit termasuk zona busur kepulauan

859
PROCEEDING, SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-11
PERSPEKTIF ILMU KEBUMIAN DALAM KAJIAN BENCANA GEOLOGI DI INDONESIA
5 – 6 SEPTEMBER 2018, GRHA SABHA PRAMANA

kalk-alkali yang menunjukan batuan-batuan ini merupakan tipe ofiolit yang terkait
dengan subduksi (Gambar 13.B).

4.3.Profil Ofiolit
Secara umum sekuen ofiolit di lokasi penelitian (Gambar 16) tersusun oleh:
• Zona tektonit, berupa satuan metaharzburgit, metalherzolit, dan metadunit
terdeformasi, batuan ultramafik ini sebagian besar telah berubah menjadi menjadi
serpentinit tebal zona ini lebih dari 1 km. Dominasi kehadiran metaharzburgit
dibandingkan metalherzolit dapat mengindikasikan bahwa ofiolit terbentuk pada zona
supra-subduksi (SSZ) (Ishiwatari, 2001).
• Zona kumuat, berupa satuan metadunit dengan endapan kromit, blok metaharzburgit,
dan bodin atau dike gabro yang telah teralterasi, tebal lapisan ini dapat mencapai 1 km.
Diatas lapisan ini tidak dijumpai batuan penyusun ofiolit lain dan terpotong oleh
ketidakselarasan. Endapan kromit podiform yang merupakan endapan segregasi
magma terbentuk pada batuan induk metadunit ini menjadi pembatas zona kumulat
dengan tektonit.
• Alluvium, berupa endapan hasil erosi dan deposisi sekuen ofiolit dengan ketebalan 1-
10 m.

5. Kesimpulan
Kesimpulan yang dapat ditarik dari hasil penelitian ini berdasarkan tujuan, yaitu:
1. Litologi daerah penelitian tersusun oleh satuan metaharzburgit, satuan metadunit dan
satuan serpentinit yang termasuk batuan penyusun sekuen ofiolit dengan afinitas
magma toleitik, satuan metabatupasir yang mewakili batuan sedimen-vulkaniklastik
berumur Akhir Kapur, satuan mikrodiorit yang mewakili intrusi kalk-alkalin, dan
satuan pasir kerikilan. Struktur geologi yang terbentuk mendistribusikan endapan
kromit dan platinum berupa sesar anjak, sesar geser dan sesar naik dengah arah
tegasan utama timur-barat. Ketebalan tanah laterit di lokasi penelitian dapat mencapai
18 m yang mempengaruhi kandungan usur pada batuan.
2. Keterdapatan batuan ultramafik sampai intemediet-asam merupakan hasil dari proses
tektonik berupa subduksi dan obdaksi ofiolit yang terpengaruhi oleh proses subduksi
pada zona supra-subduksi (SSZ).
3. Terdapat endapan bijih kromit yang secara mineralogi kromit yang ditemukan berupa
mineral kromit (FeCr2O4) dengan tekstur uniform dengan kandungan Cr tinggi yang
menunjukan kromit di lokasi penelitian berupa kromit podiform. Proses lateritifikasi
dan alterasi hidrotermal menyebabkan perubahan mineralogi kromit menjadi magnetit,
hematit dan geotit. Pada pengamatan bijih juga menunjukan kehadiran bijih platinum
group minerals sebagai inklusi pada bijih kromit atau pada batuan yang telah
mengalami alterasi.

Acknowledgements
Rasa terima kasih ditujukan kepada segenap jajaran PT. Sebuku Iron Lateritic Ores yang telah
membiayai seluruh kegiatan lapangan dan metode analisis serta memberi bimbingan dalam
pengambilan data lapangan dan laboratorium. Tak lupa rasa terima kasih untuk Bapak
Dr.rer.nat. Arifudin Idrus, S.T., M.T. dan Bapak Andhi Cahyadi, S.T. yang telah membimbing
dalam pembuatan karya ini.

860
PROCEEDING, SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-11
PERSPEKTIF ILMU KEBUMIAN DALAM KAJIAN BENCANA GEOLOGI DI INDONESIA
5 – 6 SEPTEMBER 2018, GRHA SABHA PRAMANA

Daftar Pustaka
Cahyadi, A., Krisnanto, Y., Herkusuma, D. S., Budiansyah, A., Kadarusman, A., dan
Swamidhrma, Y. C. A. (2017). Geology Of Sebuku and Mineral Deposit Potentials.
Malang. PIT IAGI 2017 Malang.
Divisi Eksplorasi PT. SILO. (2004). Proposal Teknis: Pendirian Laboratorium Kimia dan
Pelaksanaan Kegiatan Pemboran Untuk Keperluan Eksplorasi Jangka Panjang. PT.
SILO. Kalimantan Selatan (Tidak diterbitkan).
Divisi Eksplorasi PT. SILO. (2006). Laporan Tahunan Eksplorasi.PT. SILO. Kalimantan
Selatan (Tidak diterbitkan).
Divisi Eksplorasi PT. SILO. (2013). Laporan Pemetaan Geologi. PT. SILO. Kalimantan
Selatan (Tidak diterbitkan).
Ishiwatari, A. (2001). Introduction to Ophiolites, Dr., Assoc. Prof., Fac. Sci, Kanazawa
University.
Kadarusman, A., Miyashita, S., Maruyama, S., Parkinson, C. D., dan Ishikawa, A. (2004).
Petrology, Geochemistry and Paleogeographic Reconstruction of the East Sulawesi
Ophiolite, Indonesia. Tectonophysics p. 55-83.
Kadarusman, A. 2009. Ultramafic Rocks Occurences In Eastern Indonesia and Their
Geological Setting. The 38th IAGI Annual Convention and Exhibition. Semarang. PIT
IAGI Semarang.
Rollinson, H. (1983). The Geochemistry of Mafic and Ultramafic Rocks from the Archaean
Greenstone Belts of Sierra Leone. Mineralogical Magazine vol. 47 p. 267-280.
Rollinson, H. R.( 1993). Using Geochemical Data: Evaluation, Presentation, Interpretation.
Singapore: Pearson Education Limited.9.
Rustandi, E., Nila, E.S., Sanyoto, P. dan Margono, U.( 1994). Peta Geologi Lembar Kotabaru,
Kalimantan Selatan Sekala 1:250.000.Puslitbang Geologi.Bandung.
Rustandi, E., Nila, E.S., Sanyoto, P. dan Margono, U. (1995). Laporan Geologi Lembar
Kotabar. Kalimantan Selatan Sekala 1:250.000.
Satyana, A. H. (2003). Accretion and Dispersion of Southeast Sundaland: The Growing and
Slivering of a Continent. Proceedings of Joint Convention Jakarta. Jakarta. The 32th
IAGI and The 28th HAGI Annual Convention and Exhibition.
Zaccarini, F., Idrus, A., dan Garuti, G.(2016). Chromite Composition and Accessory Minerals
in Chromitites from Sulawesi, Indonesia: Their Genetic Significance: Journals of
Minerals. v.6 p.46.

861
PROCEEDING, SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-11
PERSPEKTIF ILMU KEBUMIAN DALAM KAJIAN BENCANA GEOLOGI DI INDONESIA
5 – 6 SEPTEMBER 2018, GRHA SABHA PRAMANA

Gambar 1. Peta persebaran batuan sekuen ofiolit di Indonesia bagian tengah dan timur
termasuk ofiolit Oman (Kadarusman, 2003)

862
PROCEEDING, SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-11
PERSPEKTIF ILMU KEBUMIAN DALAM KAJIAN BENCANA GEOLOGI DI INDONESIA
5 – 6 SEPTEMBER 2018, GRHA SABHA PRAMANA

Gambar 2. Peta geologi Pulau Sebuku (Cahyadi dkk., 2017)

863
PROCEEDING, SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-11
PERSPEKTIF ILMU KEBUMIAN DALAM KAJIAN BENCANA GEOLOGI DI INDONESIA
5 – 6 SEPTEMBER 2018, GRHA SABHA PRAMANA

Gambar 3. Peta geologi daerah penelitian dan sayatan geologi

Gambar 4. Peta struktur geologi daerah penelitian

864
PROCEEDING, SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-11
PERSPEKTIF ILMU KEBUMIAN DALAM KAJIAN BENCANA GEOLOGI DI INDONESIA
5 – 6 SEPTEMBER 2018, GRHA SABHA PRAMANA

Gambar 5. Pola persebaran unsur pada beberapa sumur pemboran dangkal

Gambar 6. (A) Endapan kromit podiform dengan bentuk melensa pada batuan yang telah
terlaterifikasi, (B) bijih kromit podiform terdesiminasi pada batuan dunit dengan
ukuran 1-2 mm, (C) bijih kromit podiform yang ditemukan di Pantai Halaban
berupa float dengan ukuran dapat mencapai 30 cm

Gambar 7. Kenampakan mirkograf sayatan poles bijih kromit

865
PROCEEDING, SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-11
PERSPEKTIF ILMU KEBUMIAN DALAM KAJIAN BENCANA GEOLOGI DI INDONESIA
5 – 6 SEPTEMBER 2018, GRHA SABHA PRAMANA

Gambar 8. kenampakan mikrograf sayatan poles PGM

Gambar 9. Plotting unsur-unsur pada bijih kromit yang ditemukan di lokasi penelitian pada
klasifikasi mineral spinel berdasarkan Deer dkk. (1992), dalam Kadarusman (2017)
dengan modifikasi

Gambar 10. (A) korelasi negatif dari oksida Al2O3 melawan Cr2O3, (B) variasi TiO2
melawan Cr2O3, P: kromit podiform, S: kromit stratiform (binary diagram
berdasarkan Zaccarini dkk., 2016)

866
PROCEEDING, SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-11
PERSPEKTIF ILMU KEBUMIAN DALAM KAJIAN BENCANA GEOLOGI DI INDONESIA
5 – 6 SEPTEMBER 2018, GRHA SABHA PRAMANA

Tabel 1. Kandungan senyawa oksida utama dana beberapa unsur jejak pada beberapa sampel
di lokasi penelitian

Gambar 11. Perbandingan MgO dengan unsur utama batuan pada Diagram Harker
menunjukan fraksinasi kristalisasi (Diagram Harker, 1909 dalam Rollinson, 1993)

867
PROCEEDING, SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-11
PERSPEKTIF ILMU KEBUMIAN DALAM KAJIAN BENCANA GEOLOGI DI INDONESIA
5 – 6 SEPTEMBER 2018, GRHA SABHA PRAMANA

Gambar 12. Hasil plotting kandungan K2O vs SiO2 yang menunjukan seri afinitas magma
dari batuan di lokasi penelitian (Diagram Peccerillo & Taylor, 1976 dalam
Rollinson, 1993)

Gambar 13. (A) Diagram terniary TiO2-K2O-P2O5 (diagram berdasarkan Pearce dkk., 1975
dalam Rollinson, 1993) (B) Diagram terniary TiO2-MnOx10- P2O5x10
(diagram berdasarkan Mullen, 1983 dalam Rollinson, 1993)

Gambar 14. Ilustrasi sekuen ofiolit di lokasi penelitian

868
PROCEEDING, SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-11
PERSPEKTIF ILMU KEBUMIAN DALAM KAJIAN BENCANA GEOLOGI DI INDONESIA
5 – 6 SEPTEMBER 2018, GRHA SABHA PRAMANA

TEKSTUR ANDESIT BASALTIK KEKAR TIANG DI DESA SIDO MULYO,


KECAMATAN PURWOREJO, KABUPATEN PURWOREJO, PROVINSI JAWA
TENGAH
Elisabeth Irine Permatasari1*
Jesslyn Jane2
Randu Jevvanu3
M Fahmi Firmansah4
AnastasiaDewi Titisari5

1
Departemen Teknik Geologi, FT, Universitas Gadjah Mada
2Departemen Teknik Geologi, FT, Universitas Gadjah Mada
3
Departemen Teknik Geologi, FT, Universitas Gadjah Mada
4
Departemen Teknik Geologi, FT, Universitas Gadjah Mada
5
Departemen Teknik Geologi, FT, Universitas Gadjah Mada
*Corresponding author: e.irine@mail.ugm.ac.id

ABSTRAK
Fenomena geologi yang menarik berupa struktur kekar tiang pada tubuh intrusi andesit
basaltik tersingkap di Desa Sido Mulyo, Kecamatan Purworejo, Kabupaten Purworejo, Provinsi Jawa
Tengah. Ketika singkapan tersebut ditemukan untuk pertama kalinya, diduga sebagai candi yang
tertimbun sehingga disebut sebagai Situs Pajangan. Penelitian yang pernah dilakukan sebelumnya
lebih terfokus pada potensi geowisata dan petrogenesa, sedangkan untuk studi geologi yang lebih detil
tentang fenomena tersebut belum banyak dilakukan sehingga penelitian ini lebih memfokuskan pada
karakteristik petrologi dan tekstur pada sayatan petrografi. Analisis citra pada daerah penelitian
dilakukan sebelum tahap pekerjaan lapangan. Selanjutnya, pekerjaan lapangan yang dilakukan berupa
pengamatan data geologi, pengambilan data berupa sampel batuan, pengukuran data jurus dan
kemiringan dari kekar tiang. Sampel batuan yang terpilih kemudian dianalisis petrografi.Berdasarkan
data lapangan, didapatkan ukuran kekar tiang yang memiliki panjang 100-150 cm dan lebar 30-50 cm,
didominasi oleh kekar tiang berbentuk poligon bersegi enam, lima, empat, dan tiga. Jurus dari kekar
tiang cenderung berarah Tenggara dengan kemiringan kekar berkisar 8o-25o. Singkapan di lapangan
memperlihatkan batuan memiliki tekstur porfiroafanitik dengan fenokris berupa mineral plagioklas,
piroksen, dan massa dasar berupa mineral-mineral mafik. Berdasarkan analisis data petrografi, jenis
batuan beku dikategorikan sebagai andesit basaltik dengan mineral penyusun utama berupa andesin,
augit dan massa dasar berupa andesin. Tekstur yang ditemukan pada sampel batuan ini ialah porfiritik,
poikilitik, dan zoning pada mineral andesine. Tekstur porfiritik mengindikasikan sebuah tubuh intrusi
dangkal. Tekstur zoning mengindikasikan bahwa proses pendinginan dan kristalisasi pada magma asal
batuan tersebut berlangsung secara kontinu dalam waktu yang cukup lama. Tekstur poikilitik
menunjukkan urutan pembentukan mineral.
Kata Kunci : kekar tiang, andesit basaltik, tekstur, Sido Mulyo

1. Pendahuluan
1.1. Latar Belakang
Kekar tiang merupakan suatu struktur yang dapat terbentuk pada batuan beku, baik
berupa intrusi maupun berupa aliran lava. Struktur ini terjadi akibat proses pendinginan
magma.
Secara ideal kekar tiang terdiri dari beberapa bagian yaitu bagian paling atas
biasanya dicirikan oleh tekstur vesikuler yang tipis, kolom atas dan bawah merupakan
kolom yang cukup teratur, dan entablature pada bagian tengah yang kolomnya tidak
teratur. Tiga bagian utama tersebut tidak selalu terbentuk secara seragam, karena
869
PROCEEDING, SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-11
PERSPEKTIF ILMU KEBUMIAN DALAM KAJIAN BENCANA GEOLOGI DI INDONESIA
5 – 6 SEPTEMBER 2018, GRHA SABHA PRAMANA

ketebalan singkapan sangat bervariasi bahkan kemungkinan tidak ada sama sekali, atau
terjadi berulang kali dalam satu aliran tunggal. Model kekar tiang telah diusulkan oleh
beberapa peneliti diantaranya adalah proses pembentukan dan pengembangan kekar tiang
oleh arus konveksi atau difusi, namun mekanisme yang paling banyak diterima yaitu
kontraksi pada aliran magma akibat pendinginan (Tomkeieff, 1940; Spry, 1962; Long dan
Wood, 1986; Budkewitsch dan Robin, 1994).
Sehubungan dengan peneliti-peneliti terdahulu yang lebih banyak menerima
pendapat tentang kekar tiang sebagai aliran magma akibat pendingan, di Desa Sido
Mulyo, Kecamatan Purworejo, Kabupaten Purworejo tersingkap suatu tubuh batuan
berupa kekar tiang yang layak dipilih sebagai obyek penelitian ini. Daerah penelitian
dapat berjarak 6 km sebelah timur laut kota Purworejo dan dapat ditempuh dengan
kendaraan roda dua sampai pada tempat tersingkapnya batuan (Gambar 1). Tubuh batuan
tersebutmulai diketahui oleh warga setempat setelah terjadi longsoran yang melanda
bagian atas tubuh batuan dan menyingkapkan batuan yang semula tertutup (Gambar
2).Pada awal tersingkapnya batuan tersebut, warga sekitar menduga bahwa batuan
tersebut merupakan sebuah candi yang tertimbun sehingga situs tersebut dinamakan
sebagai situs Pajangan.
Penelitian ini berfokus pada tekstur batuan yang dapat digunakan untuk mengetahui
jenis intrusi yang terbentuk, proses pendinginan dan kristalisasi magma yang terjadi, dan
juga urutan pembentukan mineral.
Penelitian yang pernah dilakukan sebelumnya lebih terfokus pada potensi
geowisata (Pranata & Gilidian, 2017; Payana dkk., 2016). Studi geologi yang lebih detil
tentang fenomena kekar tiang tersebut belum banyak dilakukan sehingga penelitian ini
lebih memfokuskan pada karakteristik petrologi dan tekstur pada sayatan petrografi.
1.2. Geologi Regional
Mengacu pada pembagian fisiografi Pulau Jawa bagian tengah oleh van Bemmelen
(1949), daerah penelitian yang berada di DesaSido Mulyo, Kabupaten Purworejo, Jawa
Tengah termasuk pada Pegunungan Kulon Progo. Menurut Rahardjo, dkk (1995)
stratigrafi Pegunungan Kulon Progo dari formasi tertua ke formasi termuda terdiri atas :
1.2.1 Formasi Nanggulan (Teon)
Formasi Nanggulan yang terdiri dari litologi barupasir dengan sisipan lignit,
napal pasiran, batulempung dengan sisipan limonit, sisipan napal dan batugamping,
batupasir dan tuff. Formasi Nanggulan ini berumur Eosen Tengah sampai dengan
awal Oligosen, hal ini didapatkan berdasarkan analisis foraminifera planktonik yang
diteliti oleh Hartono (1969) dalam Harjanto (2011) dalam Pranata dan Gilidian
(2017).
1.2.2. Formasi Andesit Tua (OAF)
Formasi ini mempunyai batuan penyusun berupa breksi andesit, lapili tuff,
tuff, breksi lapisi , aglomerat, dan aliran lava serta batupasir vulkanik yang
tersingkap di sekitar daerah Kulon Progo. Formasi ini diendapkan secara tidak
selaras dengan Formasi Nanggulan di bawahnya dan berumur Oligosen-Miosen.
1.2.3. Formasi Jonggrangan (Tmj)
Formasi ini mempunyai batuan penyusun berupa konglomerat, napal tufan,
batupasir gampingan dengan sisipan lignit batugamping berlapis dan batugamping
koral. Formasi ini diendapkan secara tidak selaras di atas Formasi Andesit Tua dan
berumur Miosen sampai Pliosen. Fosil yang terdapat pada formasi ini ialah
foraminifera, pelecypoda dan gastropoda.
870
PROCEEDING, SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-11
PERSPEKTIF ILMU KEBUMIAN DALAM KAJIAN BENCANA GEOLOGI DI INDONESIA
5 – 6 SEPTEMBER 2018, GRHA SABHA PRAMANA

1.2.4.Formasi Sentolo (Tmps)


Formasi ini mempunyai batuan penyusun berupa batugamping dan batupasir
napalan. Formasi ini diendapkan secara tidak selaras di atas Formasi Jonggrangan
dengan batas menjari pada bagian bawahnya. Formasi ini berumur Miosen Bawah-
Pliosen.
Dengan mengacu pada stratigrafi regional Daerah Pegunungan Kulon Progo
menurut Rahardjo dkk. (1995), litologi penyusun daerah penelitian yang terletak di Bukit
Pajangan, berhubungan dengan Formasi Kebo-Butak (Tmok). Formasi Kebo-Butak ini
diperkirakan berumur Oligosen – Miosen Awal, dengan litologi penyusun berupa breksi
andesit, tuff, tuff lapilli, aglomerat dan sisipan aliran lava andesit (Rahardjo dkk., 1995).
Formasi ini diterobos oleh tubuh intrusi andesit dengan komposisi andesit-hipersten
sampai andesit-augit-hornblende dan trakiandesit. Intrusi ini juga diterobos oleh batuan
dasit. Formasi Kebo-Butak diendapkan secara selaras di atas Formasi Nanggulan
(Rahardjo dkk., 1995).
2. Metode Penelitian
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah pengamatan lapangan dan
melakukan pengambilan data lapangan berupa sampel batuan serta data jurus dan
kemiringan dari kekar tiang. Analisis laboratorium berupa pengamatan petrografi
dilakukan untuk mengetahui tekstur batuan. Data tersebut kemudian diintegrasikan
dengan peta daerah penelitian yang dibuat dengan skala 1:5,000 supaya dapat dideliniasi
persebarannya sehingga dapat diketahui perubahan tekstur pada kekar tiang tersebut.
Adapun tahapan penelitian yang dilakukan dapat dibagi menjadi 3 tahapan, yaitu:
2.1. Tahapan studi pustaka, merupakan tahapan awal dimana dilakukan
pengumpulan data sekunder terkait dengan topik penelitian yang diangkat. Data
sekunder yang didapat seperti peta geologi regional skala 1:100.000, paper atau
penelitian terdahulu yang terkait dengan topik penelitian, data citra DEM, serta
citra SRTM.
2.2. Tahapan pengambilan data primer, merupakan tahapan pekerjaan lapangan
berupa pengamatan lokasi penelitian yang meliputi pengamatan kondisi daerah,
pengambilan sampel, pengukuran arah pelamparan batuan, pengukuran strike dip
kekar, serta pengamatan morfologi daerah penelitian.
2.3. Tahapan analisis data, merupakan tahapan analisis data di laboratorium
terhadap sampel yang didapatkan di lapangan. Pengamatan dilakukan secara
megaskopis dan mikroskopis. Pengamatan secara megaskopis berguna untuk
mengetahui jenis batuan yang menyusun daerah penelitian, penyebaran, dan data
kekar yang berkembang disana. Sampel batuan yang diambil selanjutnya dibuat
menjadi sayatan tipis untuk pengamatan petrografi. Sampel sayatan tipis ini
kemudian digunakan untuk pengamatan mikroskopis untuk mengetahui data
mineral penyusun, kelimpahan mineral, tekstur, dan nama batuan. Selanjutnya
data tersebut digabungkan dengan peta topografi untuk dideliniasi persebaran
tekstur batuannya dalam skala singkapan.

3. Data
Dalam penelitian ini, diperoleh data pengukuran kekar tiang yang memiliki panjang 100-
150 cm dan lebar 30-50 cm (Gambar 3), didominasi oleh kekar tiang berbentuk poligon
871
PROCEEDING, SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-11
PERSPEKTIF ILMU KEBUMIAN DALAM KAJIAN BENCANA GEOLOGI DI INDONESIA
5 – 6 SEPTEMBER 2018, GRHA SABHA PRAMANA

bersegi enam, lima, empat, dan tiga (Gambar 4). Jurus dari kekar tiang cenderung berarah
Tenggara (Gambar 3) dengan kemiringan kekar berkisar 8o-25o (Tabel 1). Sampel batuan yang
diperoleh dari lokasi penelitian ini dideskripsikan secara makroskopis melalui deskripsi
lapangan dan mikroskopis melalui pengamatan petrografi. Batuan pada lokasi penelitian
masih relatif segar sehingga tekstur dan mineral dapat diamati dengan baik.
Pengamatan makroskopis batuan di lapangan menunjukkan warna abu-abu, ukuran kristal
fenokris 1-3 mm, massa dasar <1 mm, kristalinitas holokristalin, granularitas porfiroafanitik,
hubungan antarkristal subidiomorfik. Komposisi fenokris terdiri dari mineral piroksen dan
plagioklas, sedangkan massa dasar terdiri dari mineral berkomposisi mafik. Batuan dapat
diklasifikasikan sebagai andesit porfiri.
Pengamatan petrografi pada sayatan tipis batuan menunjukkan warna abu-abu, ukuran
kristal fenokris 1-3 mm, massa dasar <1 mm, kristalinitas holokristalin, granularitas
porfiroafanitik, hubungan antarkristal subidiomorfik, tekstur khusus poikilitik, dan zoning
yang hanya terbentuk pada mineral andesin. Komposisi fenokris terdiri dari mineral augit dan
mineral andesin, sedangkan massa dasar terdiri dari mineral andesin. Berdasarkan komposisi
mineralnya, batuan ini dapat diklasifikasikan sebagai andesit basaltik.
Dari ketujuh sampel yang diambil dan diamati secara petrografi, menunjukkan bahwa
tekstur seperti porfiritik (Gambar 7), zoning (Gambar 8-Gambar 9) pada mineral andesin
memiliki kelimpahan yang berbeda-beda, dan poikilitik (Gambar 10-Gambar 11). Kelimpahan
dari tiap tekstur ini terangkum dalam Tabel 2 dan Tabel 3.
Hasil pengamatan tekstur batuan dari setiap sampel diplotkan dalam peta topografi
berskala 1:5,000 (Gambar 5 dan Gambar 6). Tekstur zoning yang dimiliki oleh mineral
andesin pada sampel 1 menunjukkan kelimpahan sedang, sampel 2 menunjukkan kelimpahan
jarang, sampel 3 jarang, sampel 4 sangat jarang, sampel 5 jarang, sampel 6 sangat jarang,
sampel 7 sangat jarang (Gambar 5).
Tekstur poikilitik pada sampel 1 memiliki kelimpahan jarang, sampel 2 sangat jarang,
sampel 3 sangat jarang, sampel 4 sedang, sampel 5 sangat jarang, sampel 6 jarang, sampel 7
sedang. Mineral yang menjadi inkulusi pada sampel 1, sampel 2, sampel 3, sampel 5, dan
sampel 7 adalah mineral andesin. Pada sampel 4 dan sampel 6 mineral yang menjadi inklusi
adalah mineral augit (Gambar 6).

4. Hasil dan Pembahasan


Kekar tiang di daerah penelitian merupakan hasil dari proses pendinginan magma dapat
menghasilkan bentuk menyerupai kolom. Orientasi kekar yang cenderung horisontal dengan
dip berkisar antara 80-250 ke arah Tenggara. Berdasarkan hasil pengamatan di lapangan,
batuan menunjukkan tekstur porfiritik. Hasil pengamatan secara petrografi menunjukkan
tekstur batuan beku yang memiliki kristal fenokris bersifat faneritik dengan ukuran 1-3 mm,
sedangkan massa dasar bersifat afanitik dengan ukuran <1 mm. Tekstur ini disebut sebagai
porfiritik. Dari kedua hasil pengamatan tersebut, dapat diinterpretasikan bahwa batuan
tersebut merupakan batuan beku intrusif tipe dangkal.
Tekstur zoning mengindikasikan bahwa mineral mengalami perubahan komposisi
selama proses pendinginan (Winter, 2014). Pada sampel 1, mineral andesin bertekstur zoning
menunjukkan kelimpahan sedang dengan ukuran yang cukup besar sekitar 1,793 µm.
Sementara itu, kelimpahan tekstur zoning pada sampel 2, sampel 3, dan sampel 5 mulai
berkurang, begitu pula dengan ukuran mineral semakin berkurang, berkisar antara 652-

872
PROCEEDING, SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-11
PERSPEKTIF ILMU KEBUMIAN DALAM KAJIAN BENCANA GEOLOGI DI INDONESIA
5 – 6 SEPTEMBER 2018, GRHA SABHA PRAMANA

1141µm. Sampel 4, sampel 6, dan sampel 7 menunjukkan kelimpahan tekstur zoning menjadi
sangat jarang. Ukuran mineral pun semakin berkurang menjadi 570.5-815 µm. Dari hasil
pengeplotan data kelimpahan tekstur zoning pada peta topografi menunjukkan bahwa pada
tubuh batuan bagian bawah memiliki tekstur zoning dengan kelimpahan sedang (Sampel 1).
Semakin ke atas (mendekati permukaan tanah), kelimpahan tekstur zoning semakin jarang
(Sampel 2, Sampel 3, dan Sampel 5) hingga pada bagian paling atas tekstur zoning menjadi
sangat jarang (Sampel 6).(Gambar 5) Hal ini menunjukkan bahwa proses pendinginan magma
berlangsung secara bertahap. Bagian bawah dari tubuh intrusi mengalami proses pendinginan
yang lambat, dicerminkan dari tekstur zoning yang melimpah. Semakin mengarah ke atas,
proses pendinginan berlangsung semakin cepat, sehingga mineral yang memiliki tekstur
zoning semakin berkurang.
Tekstur poikilitik merupakan tekstur dimana mineral fenokris mengandung banyak
mineral inklusi dari mineral lain (Winter, 2014). Tekstur ini dapat menunjukkan urutan
pembentukan mineral. Berdasarkan analisis petrografi secara kualitatif, sampel 4 dan sampel
7 menunjukkan tekstur poikilitik dengan kelimpahan sedang. Semakin ke arah atas tekstur
poikilitik semakin jarang (Sampel 2, Sampel 3, dan Sampel 5) hingga pada bagian paling atas
tekstur poikilitik menjadi sangat jarang (Sampel 6). Semakin dekat dengan permukaan, maka
proses pendinginan semakin cepat sehingga kelimpahan tekstur poikilitik semakin berkurang.
(Gambar 6) Hal ini didukung oleh data analisis petrografi yang menunjukkan bahwa mineral
augit menjadi inklusi pada mineral andesin. Kelimpahan tekstur tersebut semakin berkurang
seiring dengan berkurangnya suhu.
5. Kesimpulan
Berdasarkan analisis yang telah dilakukan maka dapat ditarik kesimpulan sebagai
berikut.
a. Jenis batuan beku penyusun kekar tiang di Desa Sido Mulyo termasuk dalam andesit
basaltik dengan komposisi mineral utama berupa andesin, augit dan massa dasar
berupa andesin.
b. Sebanyak tujuh sampel batuan telah dilakukan analisis petrografi. Tekstur batuan yang
ditemukan pada sampel batuan ialah porfiritik, poikilitik dan zoning pada mineral
andesin.
c. Tekstur porfiritik pada tujuh sampel tersebut menunjukkan intrusi yang terbentuk
merupakan hasil dari intrusi dangkal. Tekstur zoning pada andesin menunjukkan
bahwa semakin dekat dengan permukaan maka proses pendinginan semakin cepat,
sehingga kelimpahan tekstur tersebut semakin sedikit. Tekstur poikilitik pada tujuh
sampel memiliki kecenderungan mineral augit menjadi inklusi pada mineral andesin.
Semakin dekat dengan permukaan, maka proses pendinginan semakin cepat sehingga
kelimpahan tekstur poikilitik semakin berkurang.

Acknowledgements

873
PROCEEDING, SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-11
PERSPEKTIF ILMU KEBUMIAN DALAM KAJIAN BENCANA GEOLOGI DI INDONESIA
5 – 6 SEPTEMBER 2018, GRHA SABHA PRAMANA

Dalam proses penyusunan dan penulisan penelitian ini, kami ucapkan terima kasih
kepada berbagai pihak yang telah bersedia memberikan bantuan, bimbingan, serta semangat
yang tidak pernah berhenti.
1. Bapak Dr. I Wayan Warmada sebagai dosen yang telah memberikan ide-ide dalam
membangun pemikiran kami.
3. Bella Agus sebagai kakak tingkat yang telah mendorong semangat kami.
4. Orang tua dan teman teman kami yang yang membantu baik dukungan moral maupun
materil.

Daftar Pustaka
Best, M.G. (2003). Igneous and Metamorphic Petrology. Blackwell Publishing Company,
Victoria-Berlin, 2nd ed p.760.
Blatt, H., Tracy, R.J., Owens, B.E. (2006).Petrology Igneous, Sedimentary and Metamorphic.
New York.W.H. Freeman and Company p. 530.
Budkewitsch, P., Robin, P.Y. (1994). Modelling the Evolution of Columnar Joints. J.
Volcanol Geotherm Res 59.
Long, P.E., Wood, B.J. (1986). Structure, Texture, and Cooling Histories of Columbia River
Basalt Flows. Geol. Soc. Am. Bull.
Pranata, M.B., & Gilidian, B. (2017).Geoheritage, Non-Geoheritage, and Geotourism
Potential of the Pajangan Sites Columnar Joint in Sidomulyo Village, Purworejo
District, Central Java in Proceedings Joint Convention Malang.
Rahardjo, W., Sukmandarrumidi. & Rosidi, H.M.D. (1995). Peta Geologi Skala
1:100.000 Lembar Yogyakarta, Jawa. Bandung. Pusat Penelitian dan Pengembangan
Geologi.
Spry, A.H. (1962). The Origin of Columnar Jointing, Particularly in Basalt Flows in Journal
Geology Society Australia Vol. 8 p.191–216.
Tomkeieff, Sergi I. (1940). The Basalt Lavas of the Giant’s Causeway District of Northen
Ireland. Bulletin Volcanol., ser 11. Tome VI
Van Bemmelen, R.W. (1949). The Geology of Indonesia, vol. I.A. Nijhoff, The Hague. Govt.
Printing Office.
Winter, John D. (2001). An Introduction to Igneous and Metamhorphic Petrology. New
Jersey:Prentice-Hall Inc, p.67-69.
Payana, K.dkk.(2016). Tinjauan Geologi, Mitigasi, dan Aspek Pengembangan Wisata di Bukit
Pajangan, Singkapan Kekar Tiang yang Menjadi Destinasi Geowisata Baru di Desa
Sidomulyo, Kabupaten Purworejo. Dimuat dalam
https://www.researchgate.net/publication/320755313_Tinjauan_Geologi_Mitigasi_da
nAspek_Pengembangan_Wisata_di_Bukit_Pajangan_Singkapan_Kekar_Tiang_yang_
Menjadi_Destinasi_Geowisata_Baru_di_Desa_Sidomulyo_Kabupaten_Purworejo

874
PROCEEDING, SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-11
PERSPEKTIF ILMU KEBUMIAN DALAM KAJIAN BENCANA GEOLOGI DI INDONESIA
5 – 6 SEPTEMBER 2018, GRHA SABHA PRAMANA

Gambar 1. Peta indeks daerah penelitian. Lokasi berada di Desa Sido Mulyo, Kecamatan Purworejo,
Kabupaten Purworejo, Provinsi Jawa Tengah.

875
PROCEEDING, SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-11
PERSPEKTIF ILMU KEBUMIAN DALAM KAJIAN BENCANA GEOLOGI DI INDONESIA
5 – 6 SEPTEMBER 2018, GRHA SABHA PRAMANA

Gambar 2. Kenampakan awal lokasi penelitian setelah terjadi longsor dan membuat batuan di atas
tubuh intrusi menjadi tersingkap.

Gambar 3. Singkapan kekar tiang pada tubuh intrusi. Jurus dari kekar tiang cenderung ke arah
Tenggara

876
PROCEEDING, SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-11
PERSPEKTIF ILMU KEBUMIAN DALAM KAJIAN BENCANA GEOLOGI DI INDONESIA
5 – 6 SEPTEMBER 2018, GRHA SABHA PRAMANA

Gambar 4. Kenampakan kekar tiang poligon bersegi lima dan enam pada lokasi pengamatan

Gambar 5. Peta persebaran tekstur zoning pada daerah penelitian

877
PROCEEDING, SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-11
PERSPEKTIF ILMU KEBUMIAN DALAM KAJIAN BENCANA GEOLOGI DI INDONESIA
5 – 6 SEPTEMBER 2018, GRHA SABHA PRAMANA

Gambar 6. Peta persebaran tekstur poikilitik pada daerah penelitian

(a)

878
PROCEEDING, SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-11
PERSPEKTIF ILMU KEBUMIAN DALAM KAJIAN BENCANA GEOLOGI DI INDONESIA
5 – 6 SEPTEMBER 2018, GRHA SABHA PRAMANA

(b)
Gambar 7. Kenampakan tektur porfiritik sampel 3 pada pengamatan PPL (a) dan XPL (b)
Terlihat fenokris (Fk) yang berukuran 1-3 mm dikelilingi oleh massa dasar (MD) yang
berukuran <1 mm.

(a)

879
PROCEEDING, SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-11
PERSPEKTIF ILMU KEBUMIAN DALAM KAJIAN BENCANA GEOLOGI DI INDONESIA
5 – 6 SEPTEMBER 2018, GRHA SABHA PRAMANA

(b)
Gambar 8. Kenampakan tekstur zoning mineral andesin sampel 3 pada pengamatan PPL (a)
XPL (b)

(a)

880
PROCEEDING, SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-11
PERSPEKTIF ILMU KEBUMIAN DALAM KAJIAN BENCANA GEOLOGI DI INDONESIA
5 – 6 SEPTEMBER 2018, GRHA SABHA PRAMANA

(b)
Gambar 9. Kenampakan tektur zoning mineral andesin sampel 6 pada pengamatan PPL (a)
dan XPL (b)

(a)

881
PROCEEDING, SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-11
PERSPEKTIF ILMU KEBUMIAN DALAM KAJIAN BENCANA GEOLOGI DI INDONESIA
5 – 6 SEPTEMBER 2018, GRHA SABHA PRAMANA

(b)
Gambar 10. Kenampakan tektur poikilitik sampel 1 pada pengamatan PPL (a) dan XPL (b)
Mineral augit menjadi inklusi dalam mineral andesin.

(a)

882
PROCEEDING, SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-11
PERSPEKTIF ILMU KEBUMIAN DALAM KAJIAN BENCANA GEOLOGI DI INDONESIA
5 – 6 SEPTEMBER 2018, GRHA SABHA PRAMANA

(b)
Gambar 11. Kenampakan tektur poikilitik sampel 6 pada pengamatan PPL (a) dan XPL (b) Mineral
augit menjadi inklusi dalam mineral andesin.

Tabel 1. Tabel data strike dip kekar pada kekar tiang

Lokas strike Dip Lokasi Strike Dip


i
1 80 8 14 126 10
2 90 11 15 119 11
3 81 10 16 100 24
4 84 8 17 115 13
5 100 8 18 111 24
6 80 10 19 125 20
7 95 5 20 105 15
8 111 8 21 107 24
9 110 4 22 112 25
10 103 12 23 114 25
11 89 36 24 123 25
12 122 40 25 130 14
13 99 36

883
PROCEEDING, SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-11
PERSPEKTIF ILMU KEBUMIAN DALAM KAJIAN BENCANA GEOLOGI DI INDONESIA
5 – 6 SEPTEMBER 2018, GRHA SABHA PRAMANA

Tabel 2. Tabel data kelimpahan tekstur zoning

No. Tekstur Zoning


Sampel
1 Sedang
2 Jarang
3 Jarang
4 Sangat Jarang
5 Jarang
6 Sangat Jarang
7 Sangat Jarang

Tabel 3. Tabel data kelimpahan tekstur poikilitik

No. Tekstur Poikilitik


Sampel
1 Jarang
2 Sangat Jarang
3 Sangat Jarang
4 Sedang
Click or tap here to 5 Sangat Jarang enter text.
6 Jarang
7 Sedang

884

Anda mungkin juga menyukai