ANestesi Spinal
ANestesi Spinal
PENDAHULUAN
Istilah anestesi artinya hilangnya sensasi nyeri (rasa sakit) yang disertai
hilangnya kesadaran1. Spinal anestesi telah digunakan secara luas dan aman
selama kurang lebih 100 tahun, terutama untuk operasi-operasi pada daerah
abdomen bawah, perineum dan ekstremitas bawah. Anestesi regional secara
intratekal ini merupakan suatu alternatif yang dapat diberikan untuk analgesia
selama tindakan operasi dan untuk memberikan analgesia pada periode dini pasca
operasi2.
Anestesi regional dibandingkan dengan anestesi umum mempunyai
banyak keuntungan, diantaranya relatif lebih murah, pengaruh sistemik yang
kecil, menghasilkan analgesi yang adekuat dan mampu mencegah respon stres
secara lebih sempurna. Saat ini anestesi regional semakin berkembang dan meluas
pemakaiannya3.
Anestesi spinal bertujuan utama memblok saraf sensoris untuk
menghilangkan sensasi nyeri. Namun anestesi spinal juga memblok saraf motorik
sehingga mengakibatkan paresis/paralisis di miotom yang selevel dengan
dermatom yang diblok. Disamping itu juga memblok saraf otonom dan yang lebih
dominan memblok saraf simpatis sehingga terjadi vasodilatasi dan penurunan
tekanan darah4. Hipotensi adalah efek samping yang paling sering terjadi pada
anestesi spinal, dengan insidensi 38% dengan penyebab utama adalah blokade
saraf simpatis5.
BAB II
TINJAUAN KEPUSTAKAAN
2.1 Definisi
depolarisasi ringan pada membran. Proses inilah yang dihambat oleh obat anestesi
lokal dengan kanal Na+ yang peka terhadap perubahan voltase muatan listrik
(voltase sensitive Na+ channels). Dengan bertambahnya efek anestesi lokal di
dalam saraf, maka ambang rangsang membran akan meningkat secara bertahap,
kecepatan peningkatan potensial aksi menurun, konduksi impuls melambat dan
faktor pengaman (safety factor) konduksi saraf juga berkurang. Faktor-faktor ini
akan mengakibatkan penurunan kemungkinan menjalarnya potensial aksi, dan
dengan demikian mengakibatkan kegagalan konduksi saraf8,9.
Ada kemungkinan zat anestesi lokal meninggikan tegangan permukaan
lapisan lipid yang merupakan membran sel saraf, sehingga terjadi penutupan
saluran (channel) pada membran tersebut sehingga gerakan ion (ionik shift)
melalui membran akan terhambat. Zat anestesi lokal akan menghambat
perpindahan natrium dengan aksi ganda pada membran sel berupa10 :
1. Aksi kerja langsung pada reseptor dalam saluran natrium.
Cara ini akan terjadi sumbatan pada saluran, sehingga natrium tak dapat
keluar masuk membran. Aksi ini merupakan hampir 90% dari efek blok.
Percobaan dari Hille menegaskan bahwa reseptor untuk kerja obat anestesi
lokal terletak di dalam saluran natrium.
2. Ekspansi membran.
Bekerja non spesifik, sebagai kebalikan dari interaksi antara obat dengan
reseptor. Aksi ini analog dengan stabilisasi listrik yang dihasilkan oleh zat
non-polar lemak, misalnya barbiturat, anestesi umum dan benzocaine.
Untuk dapat melakukan aksinya, obat anestesi lokal pertama kali harus
dapat menembus jaringan, dimana bentuk kation adalah bentuk yang diperlukan
untuk melaksanakan kerja obat di membran sel. Jadi bentuk kation yang
bergabung dengan reseptor di membran sel yang mencegah timbulnya potensial
aksi. Agar dapat melakukan aksinya, obat anestesi spinal pertama sekali harus
menembus jaringan sekitarnya8.
Tabel.1. Beberapa jenis obat anestesi lokal yang dipakai pada anestesi spinal.
Potensi dan lama kerja anestesi lokal berhubungan dengan sifat individual
zat anestesi lokal dan ditentukan oleh kecepatan absorpsi sistemiknya, sehingga
semakin tinggi tingkat daya ikat protein pada reseptor, semakin panjang lama
kerja anestesi lokal tersebut11.
Potensi dan lama kerja dapat ditingkatkan dengan meningkatkan
konsentrasi dan dosis. Potensi yang kuat berhubungan dengan tingginya kelarutan
dalam lemak, karena hal ini akan memungkinkan kelarutan dan memudahkan obat
anestesi lokal mencapai membran sel. Terjadinya vasokontriksi akan menghambat
serta
memperpanjang
efek,
sedangkan
vasodilatasi
akan
meningkatkan
yang
tak
bermielin
dengan
daya
hantar
lambat
mempunyai resistensi yang sama besar. Data dari percobaan laboratorium pada
suhu kamar seperti yang dilakukan Glissen tergantung pada perubahan temperatur
dan serabut bermielin memberikan reaksi terhadap pendinginan dimana serabut A
resisten terhadap obat anestesi lokal, hal ini terjadi karena serabut A-delta yang
mengatur sensasi nyeri dan suhu lebih sensitif dibanding serabut C yang juga
mengatur rasa nyeri meskipun ia mempunyai daya hantar yang lebih cepat. Nyeri
patologis (dihantarkan oleh serabut C) seperti yang terjadi pada robeknya rahim
(ruptur uteri) atau plasenta, dapat dihambat dengan melakukan blok epidural pada
penanggulangan nyeri persalinan11.
Sensitivitas serabut A yang lebih besar dari pada serabut C mungkin
menerangkan fenomena ini. Serabut-serabut sensorik Aa meskipun kecepatan
hantaran kedua jenis serabut ini sama. Mungkin hal ini terjadi karena serabut
sensorik menghantarkan impuls pada frekwensi yang lebih tinggi. Semua zat
anestesi spinal memblokade bagian sensorik lebih cepat daripada motorik dan
menunjukkan selektivitas yang sama terhadap berbagai serabut saraf yang
berbeda. Sensitivitas relatif dan jenis serabut yang berbeda tergantung dari
penempatannya pada berkas saraf (nerve bundle). Kesimpulannya, tingkat
sensitivitas terhadap blokade adalah sebagai berikut (dimulai dari yang paling
sensitif) : preganglionik, nyeri dan suhu sentuh, propioseptik dan serabut motorik.
Tampak bahwa serabut motorik adalah yang paling sukar di blockade / dihambat11.
Anestesi spinal merupakan teknik anestesi yang sangat aman khususnya
dalam meminimalkan pengaruh respirasi (pernafasan), meskipun hipoksemia
dapat juga terjadi selama anestesi spinal. Banyak faktor yang mempengaruhi
kejadian hipoksemia ini antara lain: umur, berat badan, tingkat blok dan tipe
pembedahan dipercaya dalam patogenesis desaturasi oksigen, body massa index
(BMI), tekanan darah dan denyut jantung11.
Anestesi spinal memblok akar serabut saraf (nervus) pada daerah
subarakhnoid, dimana daerah medula spinalis dimulai dari foramen magnum
sampai lumbal 1 (L1) pada dewasa, lumbal 2 (L2) pada anak-anak dan lumbal 3
pada bayi, sedangkan saccus duralis, ruang subarakhnoid dan ruang subdural
berakhir di sakral 2 (S2) pada dewasa dan sakral 3 (S3) pada anak-anak12.
jika berat jenis obat lebih besar dari berat jenis CSS (hiperbarik), maka akan
terjadi perpindahan obat ke dasar akibat gravitasi. Jika lebih kecil (hipobarik),
obat akan berpindah dari area penyuntikan ke atas. Bila sama (isobarik), obat akan
berada di tingkat yang sama di tempat penyuntikan. Pada suhu 37C cairan
serebrospinal memiliki berat jenis 1,003-1,0088.
Perlengkapan lain berupa kain kasa steril, povidon iodine, alcohol, dan
duk steril juga harus disiapkan. Dikenal 2 macam jarum spinal, yaitu jenis yang
ujungnya runcing seperti ujung bamboo runcing (Quincke-Babcock atau Greene)
dan jenis yang ujungnya seperti ujung pensil (whitacre). Ujung pensil banyak
digunakan karena jarang menyebabkan nyeri kepala pasca penyuntikan spinal8.
2.5 Teknik Anestesi Spinal
Posisi duduk atau posisi tidur lateral dekubitus dengan tusukan pada garis
tengah ialah posisi yang paling sering dikerjakan. Biasanya dikerjakan di atas
meja operasi tanpa dipindah lagi dan hanya diperlukan sedikit perubahan posisi
pasien. Perubahan posisi berlebihan dalam 30 menit pertama akan menyebabkan
menyebarnya obat. Adapun langkah-langkah dalam melakukan anestesi spinal
adalah sebagai berikut4 :
1. Setelah dimonitor,tidurkan pasien misalkan dalam posisi lateral dekubitus.
Beri bantal kepala,selain enak untuk pasienjuga supaya tulang belakang
stabil. Buat pasien membungkuk maximal agar processus spinosus mudah
teraba. Posisi lain adalah duduk.
2. Penusukan jarum spinal dapat dilakukan pada L2-L3, L3-L4, L4-L5.
Tusukan pada L1-L2 atau diatasnya berisiko trauma terhadap medulla
spinalis.
3. Sterilkan tempat tusukan dengan betadin atau alkohol.
4. Beri anastesi lokal pada tempat tusukan,misalnya dengan lidokain 1-2% 23ml.
5. Cara tusukan median atau paramedian. Untuk jarum spinal besar 22G,
23G, 25G dapat langsung digunakan. Sedangkan untuk yang kecil 27G
atau 29G dianjurkan menggunakan penuntun jarum yaitu jarum suntik
biasa semprit 10cc. Tusukkan introduser sedalam kira-kira 2cm agak
sedikit kearah sefal, kemudian masukkan jarum spinal berikut mandrinnya
ke lubang jarum tersebut. Jika menggunakan jarum tajam (Quincke8
Babcock) irisan jarum (bevel) harus sejajar dengan serat duramater, yaitu
pada posisi tidur miring bevel mengarah keatas atau kebawah, untuk
menghindari kebocoran likuor yang dapat berakibat timbulnya nyeri
kepala pasca spinal. Setelah resensi menghilang, mandrin jarum spinal
dicabut dan keluar likuor, pasang semprit berisi obat dan obat dapat
dimasukkan pelan-pelan (0,5ml/detik) diselingi aspirasi sedikit, hanya
untuk meyakinkan posisi jarum tetap baik. Kalau anda yakin ujung jarum
spinal pada posisi yang benar dan likuor tidak keluar, putar arah jarum 90
biasanya likuor keluar. Untuk analgesia spinal kontinyu dapat dimasukan
kateter.
6. Posisi duduk sering dikerjakan untuk bedah perineal misalnya bedah
hemoroid (wasir) dengan anestetik hiperbarik. Jarak kulit-ligamentum
flavum dewasa 6cm.
2.6 Indikasi Anestesi Spinal
Adapun indikasi untuk dilakukannya anestesi spinal adalah untuk
pembedahan daerah tubuh yang dipersarafi cabang T4 ke bawah (daerah papila
mammae ke bawah)13. Anestesi spinal ini digunakan pada hampir semua operasi
abdomen bagian bawah (termasuk seksio sesaria), perineum dan kaki4.
2.7 Kontraindikasi
Pada Anestesi spinal terdapat kontraindikasi absolut dan relatif.
Kontraindikasi Absolut diantaranya penolakan pasien, infeksi pada tempat
suntikan, hipovolemia, penyakit neurologis yang tidak diketahui, koagulopati, dan
peningkatan tekanan intrakanial, kecuali pada kasus-kasus pseudotumor cerebri.
Sedangkan kontraindikasi relatif meliputi sepsis pada tempat tusukan (misalnya,
infeksi ekstremitas korioamnionitis atau lebih rendah) dan lama operasi yang tidak
diketahui. Dalam beberapa kasus, jika pasien mendapat terapi antibiotik dan
tanda-tanda vital stabil, anestesi spinal dapat dipertimbangkan, sebelum
melakukan anestesi spinal, ahli anestesi harus memeriksa kembali pasien untuk
mencari adanya tanda-tanda infeksi, yang dapat meningkatkan risiko meningitis14.
Syok hipovolemia pra operatif dapat meningkatkan risiko hipotensi setelah
pemberian anestesi spinal. Tekanan intrakranial yang tinggi juga dapat
meningkatkan risiko herniasi uncus ketika cairan serebrospinal keluar melalui
10
Sakit kepala sedang, yang membuat pasien tidak dapat bertahan berada
pada posisi tegak lurus selama lebih dari setengah jam. Biasanya di
sertai dengan mual, muntah dan gangguan pendengaran dan
3.
penglihatan.
Sakit kepala berat yang timbul segera ketika beranjak dari tempat tidur,
berkurang bila berbaring terlentang di tempat tidur. Sering disertai
4.
12
dinyatakan Tilt Test positif dan pasien masih belum terhidrasi dengan
cukup.15
Epidural blood patch merupakan penanganan yang sangat efektif
terhadap PDPH. Dengan melakukan injeksi 15-20 cc darah autologous ke
ruang epidural pada, satu interspace dibawahnya atau pada tempat tusukan
dura. Hal ini dipercaya akan menghentikan kebocoran yang terjadi pada
CSF oleh karena efek massa atau koagulasi. Efeknya bisa terjadi segera
atau beberapa jam setelah tindakan ketika produksi CSF secara perlahan
akan meningkatkan tekanan intrakranial yang dibutuhkan. Sebanyak 90%
pasien akan memberikan respon terhadap tindakan blood patch ini15.
4. Komplikasi Respirasi
a) Analisa gas darah cukup memuaskan pada blok spinal tinggi, bila
fungsi paru-paru normal.
b) Penderita PPOM atau COPD merupakan kontra indikasi untuk blok
spinal tinggi.
c) Apnoe dapat disebabkan karena blok spinal yang terlalu tinggi atau
karena hipotensi berat dan iskemia medulla.
d) Kesulitan bicara,batuk kering yang persisten,sesak nafas, merupakan
tanda-tanda tidak adekuatnya pernafasan yang perlu segera ditangani
dengan pernafasan buatan14.
5. Komplikasi gastrointestinal
Nausea dan muntah karena hipotensi, hipoksia, tonus parasimpatis
berlebihan, pemakaian obat narkotik, reflek karena traksi pada traktus
gastrointestinal serta komplikasi delayed, pusing kepala pasca pungsi
lumbal merupakan nyeri kepala dengan ciri khas terasa lebih berat pada
perubahan posisi dari tidur ke posisi tegak. Mulai terasa pada 24-48jam
pasca pungsi lumbal, dengan kekerapan yang bervariasi. Pada orang tua
lebih jarang dan pada kehamilan meningkat14.
2.9 Obat-Obat Anestesi Spinal
BUPIVAKAIN
Bupivakain merupakan obat anestesi lokal dengan rumus bangun sebagai
berikut : 1-butyl-N-(2,6-dimethylphenyl)-piperidecarboxamide hydrochloride.
13
Bupivakain adalah derivat butil dari mepivakain yang kurang lebih tiga kali lebih
kuat daripada asalnya. Obat ini bersifat long acting dan disintesa oleh BO af
Ekenstem dan dipakai pertama kali pada tahun 196312. Secara komersial
bupivakain tersedia dalam 5 mg/ml solutions. Dengan kecenderungan yang lebih
menghambat sensoris daripada motoris menyebabkan obat ini sering digunakan
untuk analgesia selama persalinan dan pasca bedah16.
Pada tahun-tahun terakhir, larutan bupivakain baik isobarik maupun
hiperbarik telah banyak digunakan pada blok subrakhnoid untuk operasi
abdominal bawah. Pemberian bupivakain isobarik, biasanya menggunakan
konsentrasi 0,5%, volume 3-4 ml dan dosis total 15-20 mg, sedangkan bupivakain
hiperbarik diberikan dengan konsentrasi 0,5%, volume 2-4ml dan total dosis 1522,5 mg. Bupivakain dapat melewati sawar darah uri tetapi hanya dalam jumlah
kecil. Bila diberikan dalam dosis ulangan, takifilaksis yang terjadi lebih ringan
bila dibandingkan dengan lidokain. Salah satu sifat yang paling disukai dari
bupivakain selain dari kerjanya yang panjang adalah sifat blockade motorisnya
yang lemah. Toksisitasnya lebih kurang sama dengan tetrakain 16. Bupivakain juga
mempunyai lama kerja yang lebih panjang dari lignokain karena mempunyai
kemampuan yang lebih besar untuk mengikat protein. Untuk menghilangkan nyeri
pada persalinan, dosis sebesar 30 mg akan memberikan rasa bebas nyeri selama 2
jam disertai blokade motoris yang ringan. Analgesik paska bedah dapat
berlangsung selama 4 jam atau lebih, sedangkan pemberian dengan tehnik anestesi
kaudal akan memberikan efek analgesik selama 8 jam atau lebih. Pada dosis 0,25
0,375 % merupakan obat terpilih untuk obstetrik dan analgesik paska bedah.
Konsentrasi yang lebih tinggi (0,5 0,75 %) digunakan untuk pembedahan.
Konsentrasi infiltrasi 0,25 - 0.5 %, blok saraf tepi 0,25 0,5 %, epidural 0,5
0,75 %, spinal 0,5 %. Dosis maksimal pada pemberian tunggal adalah 175 mg.
Dosis rata-ratanya 3 4 mg / kgBB17.
1. Farmakologi bupivakain
Bupivakain bekerja menstabilkan
membran
neuron
dengan
cara
14
akan
jaringan saraf dan obat ini akan memblokade transmisi impuls serabut-serabut
saraf. Aktivitas anestesi lokal dalam ruang subarakhnoid yang penting di akar-akar
saraf di medula spinalis (primer), ganglia dorsalis dan sinap-sinap di kornu
anterior dan posterior (sekunder) dan traktus asenden dan desenden parenkim di
medula spinalis17. Lama analgesik anestetik subarakhnoid tergantung pada
beberapa faktor, yang pertama adalah konsentrasi anestetik lokal dalam liquor
cerebro spinalis dan yang kedua adalah absorpsi obat anestetik oleh sistim
vaskuler. Semakin besar konsentrasinya akan semakin lama efek analgesiknya.
Konsentrasi analgesik akan menurun sesuai paruh waktu terhadap jarak dari
tempat dengan konsentrasi yang terbesar, dan secara klinis akan terjadi suatu
regresi analgesik dari atas ke bawah menuju daerah dengan konsentrasi terbesar8,9.
Penilaian terhadap lama kerja anestetik 1okal pada blok subarakhnoid
dapat dilakukan dengan berbagai cara : waktu hilangnya analgesi pada daerah
operasi, waktu yang diperlukan pemberian analgesik yang pertama kali paska
bedah, waktu yang diperlukan untuk terjadinya regresi motorik dan waktu yang
diperlukan untuk terjadinya regresi analgesik pada 2 atau 4 segmen9.
3. Mula Kerja Bupivakain 0,5% Hiperbarik dan Isobarik
Mula kerja anestesi spinal sangat ditentukan oleh nilai pKa, semakin
rendah nilai pKa semakin cepat mula kerjanya. Bupivakain mempunyai tingkat
daya ikat protein tinggi (95,6%) namun nilai pKa juga tinggi. Pada saat ini,
bupivakain 0,5% isobarik maupun hiperbarik banyak digunakan untuk operasi
abdominal bawah dengan anestesi spinal. Telah dilaporkan bahwa bupivakain
0,5% 9,75 mg isobarik mempunyai mula kerja 5 menit lebih cepat dibandingkan
hiperbarik. Namun hal ini berbeda dengan penelitian lain menemukan fakta bahwa
pada 20 sampel yang mendapatkan anestesi spinal dengan bupivakain 10 mg
hiperbarik mempunyai mula kerja blokade sensorik dan motorik 2 kali lebih cepat
(rata-rata 9 menit) dibandingkan 10 mg bupivakain isobarik (rata-rata 18 menit)18.
Bupivakain 0,5% hiperbarik mempunyai kualitas analgesik dan relaksasi
motorik intraoperatif yang kurang memuaskan, mula kerja blokade sensorik dan
motorik lebih cepat dan lama kerja blokade sensorik dan motorik lebih panjang
bila dibandingkan dengan ropivakain hiperbarik19.
4. Lama Kerja Bupivakain 0,5% Hiperbarik dan Isobarik
16
17
Klonidin adalah salah satu contoh dari agonis 2 yang digunakan untuk
obat antihipertensi (penurunan resistensi pembuluh darah sistemik) dan efek
kronotropik negatif. Lebih jauh lagi, klonidin dan obat 2 agonis lain juga
mempunyai efek sedasi. Dalam beberapa penelitian juga ditemukan efek anestesi
dari pemberian secara oral (3-5g/kg), intramuscular (2g/kg), intravena (13g/kg), transdermal (0,1-0,3 mg setiap hari) intratekal 75-150g) dan epidural
(1-2g/kg) dari pemberian klonidin. Secara umum klonidin menurunkan
kebutuhan anestesi dan analgesi (menurunkan MAC) dan memberikan efek sedasi
dan anxiolisis. Selama anestesi umum, klonidin dilaporkan juga meningkatkan
stabilitias sirkulasi intraoperatif dengan menurunkan tingkatan katekolamin.
Selama anestesi regional, termasuk peripheral nerve block, klonidin akan
meningkatkan durasi dari blokade. Efek langsung pada medula spinalis mungkin
dibantu oleh reseptor postsinaptik 2 dengan ramus dorsalis. Keuntungan lain
juga mungkin berupa menurunkan terjadinya postoperative shivering, inhibisi dari
kekakuan otot akibat obat opioid, gejala withdrawal dari opioid, dan pengobatan
dari beberapa sindrom nyeri kronis. Efek samping dapat berupa bradikardia,
hypotensi, sedasi, depresi nafas dan mulut kering11.
Klonidin adalah agonis alfa2-adrenergik parsial selektif yang bekerja
secara sentral yang bekerja sebagai obat anti hipertensi melalui kemampuannya
untuk menurunkan keluaran sistem saraf simpatis dari sistem saraf pusat. Obat ini
telah terbukti efektif digunakan pada pasien dengan hipertensi berat atau penyakit
renin-dependen. Dosis dewasa yang biasa digunakan per oral adalah 0,2-0,3 mg.
Ketersediaan klonidin transdermal ditujukan untuk pemberian secara mingguan
pada pasien bedah yang tidak dapat diberikan obat per oral11.
1. Manfaat klinis lain
Agonis alfa-adrenergik (klonidin dan dexmedetomidine) menghasilkan
sedasi, menurunkan kebutuhan obat anestesi dan meningkatkan stabilitas
hemodinamik perioperatif ( kestabilan tekanan darah dan frekuensi nadi terhadap
stimulasi bedah) dan stabilitas simpatoadrenal. Sebagai tambahan, reseptor alfa2
didalam korda spinalis memodulasi jalur nyeri yang menghasilkan analgesia.
Penggunaan klonidin secara rutin sebagai adjuvan anestesia dan untuk memenuhi
18
19
20
gugus OH pada cincin benzena , gugus ini memegang peranan dalam efek secara
langsung pada sel efektor1.
1. Farmakodinamik
Seperti halnya Epinefrin, efedrin bekerja pada reseptor , 1, 219. Efek
pada 1 di perifer adalah dengan jalan menghambat aktivasi adenil siklase. Efek
pada 1 dan 2 adalah melalui stimulasi siklik-adenosin 3-5 monofosfat. Efek 1
berupa takikardi tidak nyata karena terjadi penekanan pada baroreseptor karena
efek peningkatan TD20. Efek perifer efedrin melalui kerja langsung dan melalui
pelepasan NE endogen. Kerja tidak langsungnya mendasari timbulnya takifilaksis
(pemberian efedrin yang terus menerus dalam jangka waktu singkat akan
menimbulkan efek yang makin lemah karena semakin sedikitnya sumber NE yang
dapat dilepas, efek yang menurun ini disebut takifilaksis terhadap efek
perifernya.21 Hanya I-efedrin dan efedrin rasemik yang digunakan dalam klinik20.
Efedrin yang diberikan masuk ke dalam sitoplasma ujung saraf adrenergik
dan mendesak NE keluar21. Efek kardiovaskuler efedrin menyerupai efek
Epinefrin tetapi berlangsung kira-kira 10 kali lebih lama. Tekanan sistolik
meningkat juga biasanya tekanan diastolic, sehingga tekanan nadi membesar.
Peningkatan tekanan darah ini sebagian disebabkan oleh vasokontriksi, tetapi
terutama oleh stimulasi jantung yang meningkatkan kekuatan kontraksi jantung
dan curah jantung. Denyut jantung mungkin tidak berubah akibat reflex
kompensasi vagal terhadap kenaikan tekanan darah. Aliran darah ginjal dan
visceral berkurang, sedangkan aliran darah koroner, otak dan otot rangka
meningkat. Berbeda dengan Epinefrin, penurunan tekanan darah pada dosis
rendah tidak nyata pada efedrin20.
Efek efedrin terhadap hemodinamik lebih rendah dibanding epinefrin
karena efek efedrin pada 1 di vena lebih dominan dibanding di arteri, sehingga
respon peningkatan TD lebih lemah 250 kali dibanding adrenalin. Efek efedrin
berupa peningkatan TD, HR, CO, aliran darah koroner dan peningkatan SVR.
Efedrin bolus 5-10 mg pada orang dewasa normal sedikit meningkatkan SVR dan
peningkatan TD yang terjadi pada pemberian efedrin adalah hasil dari akumulasi
dari peningkatan SVR, preload, HR< CO. Setelah pemberian efedrin terjadi
vasokontriksi pada vascular band, juga disertai vasodilatasi pada daerah lain
21
22
23
sistole jantung abnormal karena tingginya frekuensi denyut jantung, dan aritmia
ventrikel. Sedangkan efek noradrenalin 2-10 kali lebih kecil dari adrenalin, yaitu
menghasilkan vasokonstriksi pada pembuluh darah kulit, dan membran mukosa,
vasodilatasi pada pembuluh darah otot skelet dengan peningkatan jumlah reseptor
,berakibat
menurunnya
tahanan
perifer
pembuluh
darah.
Efek
BAB III
KESIMPULAN
1. Anestesi spinal (subaraknoid) adalah anestesi regional dengan tindakan
penyuntikan obat anestetik lokal ke dalam ruang subaraknoid.
25
DAFTAR PUSTAKA
1. Gunawan, S. G. Farmakologi dan Terapi. Edisi 5. FKUI. Jakarta. 2007. Hal
786-787.
2. Bridenbaugh PO, Greene NM, Brull SJ. Spinal (Subarachnoid) Neural
Blockade. In : Cousins MJ, Bridenbaugh PO eds. Neural Blockade in Clinical
Anesthesia and Management of Pain. Third Edition. Philadelphia : LippincottRaven. 1998. Pages 203-209
3. Marwoto.2000. Mula dan lama kerja antara lidokain, lidokain-bupivakain dan
bupivakain pada blok epidural. Dalam: Kumpulan makalah pertemuan ilmiah
berkala X-IDSAI. Bandung; 520-521.
26
27
28