Anda di halaman 1dari 15

1.

Anestesi Regional

Anestesi regional merupakan metode anestesi yang lebih bersifat sebagai analgesik,
dengan cara menghilangkan nyeri namun pasien tetap dalam keadaan sadar. Metode ini
dilakukan dengan menginjeksikan obat anestesi lokal ke sejumlah sel saraf dengan tujuan
untuk memblok saraf menghantarkan sensasi dan mencegahnya sampai ke otak. Bentuk
anestesi regional dapat berupa anestesi spinal, anestesi epidural, anestesi kaudal dan
kombinasi anestesi spinal-epidural.
Persepsi nyeri melibatkan sistem saraf pusat dan perifer.Komponen yang memegang
peranan paling penting adalah spinal dan supraspinal dari susunan saraf pusat (SSP).
Rangsangan dimulai dari nociceptor di perifer, lalu ditransduksi melalui serabut saraf A
yang kecil dan bermielin bersama serabut saraf C yang tidak bermielin ke soma di dorsal
root ganglion. Aksonnya bersinaps di dorsal horn medulla spinalis tempat neuron lamine
I,II, dan V banyak terlibat dalam persepsi nyeri.
Rangkaian proses perjalanan yang menyertai kerusakan jaringan sampai dirasakan
nyeri adalah suatu proses elektrofisiologis. Ada 4 proses yang mengikuti sustu proses
nosisepsis yaitu:
a. Tranduksi/Tranduction
Transduksi merupakan pemrosesan rangsangan nyeri (noxious stimuli) menjadi
impuls listrik pada ujung-ujung saraf sensoris. Zat-zat seperti prostaglandin, serotonin,
bradikinin, leukotrien, substans P, potassium, histamine dan lain-lain. Mediator-mediator ini
kemudian mengaktifkan nosiseptor, sehingga terjadilah proses transduksi. Pertukaran ion
natrium dan kalium terjadi pada membran sel sehingga mengakibatkan potensial aksi dan
terjadinya impuls nyeri. Reseptor nyeri serabut saraf afferen A-delta dan C berfungsi
meneruskan sensorik nyeri dari perifer ke sentral ke susunan saraf pusat. Proses transduksi
dimulai ketika nociceptor yaitu reseptor yang berfungsi untuk menerima rangsang nyeri
teraktivasi. Aktivasi reseptor ini (nociceptors) merupakan sebagai bentuk respon terhadap
stimulus yang datang seperti kerusakan jaringan.

b. Transmisi/Transmission
Tahap kedua yaitu proses transmisi. Transmisi merupakan bentuk transfer sinaptik
dari satu neuron ke neuron lainnya. Potensial aksi dari tempat cedera bergerak dari
sepanjang serabut saraf afferen ke nosiseptor di medulla spinalis. Pelepasan substansi P dan
neurotransmitter lainnya membawa potensial aksi melewati celah ke kornu dorsalis pada
medulla spinalis, kemudian naik sebagai traktus spinotalamikus ke thalamus dan otak
tengah. Proses yang terjadi setelah potensial aksi melewati talamus yaitu serabut saraf
mengirim pesan nosisepsi ke korteks somatosensori, lobus parietal, lobus frontal, dan sistem
limbik setelah melewati talamus, dimana proses nosiseptif ketiga terjadi.
c. Modulasi/Modulation
Proses akhir nosiseptif yakni modulasi merupakan hasil dari aktivasi otak tengah.
Beberapa neuron dari daerah tersebut memiliki berbagai neurotransmiter, yaitu endorfin,
enkephalins, serotonin (5-HT), dan dinorfin, turun ke daerah-daerah dalam sistem saraf pusat
yang lebih rendah.Selanjutnya impuls nyeri ini akan ditransmisikan melalui saraf-saraf
desenden ke tulang belakang untuk memodulasi efektor.
d. Persepsi/Perception
Proses persepsi merupakan transmisi impuls yang dipersepsikan sebagai perasaan
subjektif berupa nyeri. Tidak hanya berkaitan dengan proses fisiologis atau proses anatomis
saja, tetapi juga meliputi cognition (pengenalan) dan memory (mengingat). Oleh karena itu,
faktor psikologis, emosional,dan behavioral (perilaku) juga muncul sebagai respon dalam
mempersepsikan pengalaman nyeri tersebut.
Anestesi regional biasanya menggunakan blockade sentral pada operasi pembedahan
bagian perut ke daerah bawah. Titik acuan yang digunakan dalam metode ini adalah garis
lurus yang menghubungkan kedua krista iliaka tertinggi yang akan memotong prosessus
spinosus vertebra antara L4-L5. Pada orang dewasa, medulla spinalis berakhir setinggi L1,
sementara pada anak L2, dan pada bayi L3. Sakus duralis berakhir setinggi S2.
2. Anestesi Spinal
Anestesi spinal (intratekal, intradural, subdural, subaraknoid) adalah tindakan
anestesi dengan memasukan obat ke dalam ruang subaraknoid pada daerah vertebra di regio
lumbal antara vertebra L2-3, L3-4, L4-5, yang kemudian akan terjadi hambatan rangsang
sensoris mulai analgesi dan mengakibatkan blokade saraf simpatis. Kelebihan dari teknik-
teknik anestesi regional, anestesi spinal yaitu cepat untuk dilakukan, butuh agen lokal
anestesi yang sedikit, dan memiliki kualitas yang lebih baik dalam blokade saraf sensoris
dan motoris.
Blokade nyeri pada anestesi spinal terjadi sesuai ketinggian pada ruang subarachnoid
segmen tertentu. Blockade yang dilakukan pada segmen vertebra lumbal 3-4 menghasilkan
anestesi di daerah pusar kebawah, anestesi ini biasanya dilakukan pada operasi seksio sesar,
hernia, appendicitis. Pada blockade saddle daerah yang mati rasa hanya inguinal saja, ini
dilakukan untuk operasi hemoroid dan daerah kemaluan.
a. Anatomi Vertebra
Kolumna vertebralis terdiri dari 33 korpus vertebralis: 7 servikal, 12 torakal, 5
lumbal, 5 sakral dan 4 coccygeus. Kolumna vertebralis mempunyai 4 lekukan, yaitu lordosis
servikalis, kifosis torakalis, lordosis lumbalis dan kifosis sakralis Lekukan kolumna
vertebralis berpengaruh terhadap penyebaran obat analgetika lokal dalam ruang
subarakhnoid. Pada posisi terlentang titik tertinggi pada vertebra lumbal 3 dan terendah pada
torakal.
Untuk mencapai ruang subarachnoid penyuntikan akan menembus kulit, subkutan,
kemudian ligamen interspinosum, ligament flavum, ruang epidural, duramater, lalu ruang
subarachnoid. Jika sudah mencapai ruang subarachnoid akan ditandai dengan keluarnya
liquor cerebrospinalis (LCS). Dalam prosedur anestesi spinal yang peling utama adalah
penentuan daerah penyuntikan.

Gambar 1. Lapisan vertebra


Gambar 2. Anatomi vertebra

b. Mekanisme kerja

Anestesi lokal mencegah pembentukan dan konduksi impuls saraf, efeknya pada
aksoplasma hanya sedikit saja. Sebagaimana diketahui, potensial aksi saraf terjadi karena
adanya peningkatan sesaat (sekilas) pada permeabilitas membran terhadap ion Na akibat
depolarisasi ringan pada membran. Proses inilah yang dihambat oleh obat anestesi lokal
dengan kanal Na+ yang peka terhadap perubahan voltase muatan listrik (voltase sensitive
Na+ channels). Dengan bertambahnya efek anestesi lokal di dalam saraf, maka ambang
rangsang membran akan meningkat secara bertahap, kecepatan peningkatan potensial aksi
menurun, konduksi impuls melambat dan faktor pengaman (safety factor) konduksi saraf
juga berkurang. Faktor-faktor ini akan mengakibatkan penurunan kemungkinan menjalarnya
potensial aksi, dan dengan demikian mengakibatkan kegagalan konduksi saraf.
Untuk dapat melakukan aksinya, obat anestesi lokal pertama kali harus dapat
menembus jaringan, dimana bentuk kation adalah bentuk yang diperlukan untuk
melaksanakan kerja obat di membran sel. Jadi bentuk kation yang bergabung dengan
reseptor di membran sel yang mencegah timbulnya potensial aksi. Agar dapat melakukan
aksinya, obat anestesi spinal pertama sekali harus menembus jaringan sekitarnya.

c. Indikasi anestesi spinal


 pembedahan daerah tubuh yang dipersarafi cabang T4 ke bawah (daerah papila
mammae ke bawah)
 Bedah ekstremitas bawah
 Bedah panggul
 Tindakan sekitar rektukm dan perineum
 Bedah obstetri dan ginekologi
 Bedah urologi
 Bedah abdomen bawah
 Pada bedah abdomen atas dan bedah pediatri biasanya dikombinasi dengan anestesi
umum ringan.

d. Kontraindikasi Anestesi Spinal

Kontraindikasi absolut Kontraindikasi relatif

Pasien menolak Infeksi sistemik (sepsis, bakteremia)

Infeksi pada tempat suntikan Infeksi sekitar tempat suntikan

Hipovolemia berat atau syok Hipovolemia ringan

Koagulopati atau mendapat terapi Kelainan neurologis dan kelainan psikis


antikoagulan

Teknanan intratekal meninggi Bedah lama

Fasilitas resusitasi minim Penyakit jantung

Kurang pengalaman Nyeri punggung kronis

e. Obat Anestesi
Obat-obat lokal anestesi berdasarkan barisitas dan densitas dapat di golongkan menjadi
tiga golongan yaitu:
1)   Hiperbarik
Merupakan sediaan obat lokal anestesi dengan berat jenis obat lebih besar dari
pada berat jenis cairan serebrospinal, sehingga dapat terjadi perpindahan obat ke dasar
akibat gaya gravitasi. Agar obat anestesi lokal benar–benar hiperbarik pada semua pasien
maka baritas paling rendah harus 1,0015gr/ml pada suhu 37C. contoh: Bupivakain 0,5%.
2)  Hipobarik
Merupakan sediaan obat lokal anestesi dengan berat jenis obat lebih rendah dari
berat jenis cairan serebrospinal. Densitas cairan serebrospinal pada suhu 370C adalah
1,003gr/ml. Perlu diketahui variasi normal cairan serebrospinal sehingga obat yang
sedikit hipobarik belum tentu menjadi hipobarik bagi pasien yang lainnya. contoh:
tetrakain, dibukain.  
3)  Isobarik
Secara definisi obat anestesi lokal dikatakan isobarik bila densitasnya sama
dengan densitas cairan serebrospinalis pada suhu 370C. Tetapi karena terdapat variasi
densitas cairan serebrospinal, maka obat akan menjadi isobarik untuk semua pasien jika
densitasnya berada pada rentang standar deviasi 0,999-1,001gr/ml. contoh: levobupikain
0,5%.

f. Efek Obat Anestesi Spinal


1. Sistem kardiovaskular
Depresi automatisasi, kontraktilitas, dan kecepatan konduksi miokard.Dilatasi
arteriolar karena relaksasi otot polos. Pada Injeksi bupivakain intravena dapat
mengakibatkan reaksi kardiotoksik yang berat termasuk hipotensi, blok atrioventrikular,
irama idioentrikular, dan aritmia yang dapat mengancam jiwa seperti takikardia
ventrikular dan fibrilasi.
2. Sistem pernafasan
Relaksasi otot polos bronkus, henti nafas akibat paralisis saraf frenikus di C3-C5,
paralisis interkostal atau depresi langsung pusat pengaturan nafas.Blokade saraf torakal
akan menurunkan aktivitas otot interkostal. Ini hanya berpengaruh kecil pada volume
tidak karena adanya kompensasi diafragma, tapi hal ini akan menimbulkan penurunan
kapasitas vital akibat penurunan signifikan dari expiratory reserve volume. Pasien ini
akan mengalami dispnea dan kesulitan untuk inspirasi maksimal serta batuk. Blokade
torakal juga memicu penurunan cardiac output dan tekanan arteri pulmonal serta
peningkatan ventilasi atau ketidakseimbangan perfusi yang akan menyebabkan
penurunan tekanan oksigen arteri. Pasien dengan blokade torakal saat bangun harus
diberikan oksigen yang tinggi untuk membantu pernafasan.
3. Sistem pencernaan
Inervasi simpatis pada organ-organ abdomen mulai dari T6-L2.Akibat blokade
simpatis, maka kerja parasimpatis meningkat seperti peningkatan sekresi, relaksasi
sfingter dan konstriksi usus.Sekitar 20% pasien mual dan muntah setelah anestesi
spinal.Peningkatan aktivitas vagal setelah blokade simpatis menyebabkan peningkatan
peristaltik usus yang memicu mual.
4. Sistem saraf pusat
Sistem saraf pusat rentan terhadap toksisitas obat anestetik lokal dengan tanda-tanda
awal rasa kebas, parestesi lidah, pusing.Keluhan sensorik berupa tinitus dan pandangan
kabur.Tanda eksitasi seperti kurang istirahat, agitasi, gelisah, paranoid. Tanda adanya
depresi sistem saraf pusat misal bicara tidak jelas/pelo, mudah mengantuk, kejang,
depresi pernafasan, tidak sadar, koma.

g. Komplikasi Anestesi Spinal


Ketinggian blokade saraf bisa menimbulkan hipotensi sampai cardiac arrest dan
retensi urin. Ketinggian blokade saraf bisa terjadi akibat dosis lebih dari anestetik lokal,
kegagalan untuk mengurangi dosis pada pasien-pasien yang rentan terhadap penyebaran
berlebih anestetik lokal (usia tua, hamil, obesitas dan pendek), peningkatan sensitifitas,
penyebaran obat yang berlebih.

1. Hipotensi
Segera setelah teranestesi spinal akan timbul vasodilatasi perifer, penurunan
tahanan vaskuler sistemik yang seringkali diikuti hipotensi. Penyebab utama
terjadinya hipotensi pada anestesi spinal adalah blokade tonus simpatis.Hal ini
disebabkan oleh menurunnya resistensi vaskulersistemik dan curah jantung.Pada
keadaan ini terjadi pooling darah darijantung dan thoraks ke mesenterium, ginjal, dan
ekstremitas bawah.
Dilatasi arteri dan vena pada anestesi spinal akan menimbulkan hipotensi.
Dilatasi arteri tidak terjadi maksimal setelah blokade spinal dan otot polos pembuluh
darah akan tetap mempertahankan tonus otonom setelah denervasi simpatis. Karena
pertahanan tonus otonom masih ada tersebut, maka resistensi total pembuluh darah
perifer menurun hanya 15-18%, selanjutnya MAP menurun 15-18% bila cardiac
output tidak menurun. Pada pasien dengan penyakit arteri koroner, resistensi
pembuluh darah sistemik akan menurun sampai 33% setelah anestesi spinal.
2. Bradikardi
Bradikardia sebagian disebabkan oleh tonus parasimpatis yang berlebihan akibat
blockade serabut saraf simpatis cardio accelerator T1‒T5, tetapi sebab utamanya
adalah penurunan preload. Penurunan preload akan mengaktifkan kelompok refleks
yang bertanggung jawab terhadap regangan volume intrakardiak dan atau reseptor
pacemaker. Penurunan volume ventrikel secara tiba-tiba akan menyebabkan
bradikardia berat dan asistol.
3. Retensi urin
Ini terjadi akibat blokade saraf S2-4 yang menurunkan tonus otot kandung
kemih dan menghambat refleks berkemih.Pemasangan kateter urin bermanfaat pada
pembedahan yang cukup lama. Penilaian postoperatif terhadap retensi urin sangat
berguna karena bila terdapat retensi urin yang lama merupakan tanda adanya
kerusakan saraf yang serius
4. Postdural puncture headache
Nyeri kepala terjadi akibat kebocoran cairan serebrospinal melewati lubang
pada durameter.Adanya penurunan tekanan intrakaranial akibat kebocoran cairan
serebrospinal. Ketika pasien dalam posisi tegak akan ada traksi pada dura, tentorium
dan pembuluh darah yang menimbulkan nyeri. Gejala berupa nyeri kepala pada
posisi duduk atau berdiri dan berkurang bila berbaring, nyeri kepala bilateral, frontal,
retro orbita, oksipital dan menjalar ke leher. Onset nyeri ini 12-72 jam setelah
prosedur.

h. Teknik Anestesi Spinal

Adapun langkah-langkah dalam melakukan anestesi spinal adalah sebagai berikut.


1. Posisi duduk atau posisi tidur lateral dekubitus dengan tusukan pada garis tengah ialah
posisi yang paling sering dikerjakan. Biasanya dikerjakan di atas meja operasi tanpa
dipindah lagi dan hanya diperlukan sedikit perubahan posisi pasien. Perubahan posisi
berlebihan dalam 30 menit pertama akan menyebabkan menyebarnya obat.
2. Setelah dimonitor,tidurkan pasien misalkan dalam posisi lateral dekubitus. Beri bantal
kepala,selain enak untuk pasienjuga supaya tulang belakang stabil. Buat pasien
membungkuk maximal agar processus spinosus mudah teraba. Posisi lain adalah duduk
(Dobson,1994).
3. Penusukan jarum spinal dapat dilakukan pada L2-L3, L3-L4, L4-L5. Tusukan pada L1-
L2 atau diatasnya berisiko trauma terhadap medulla spinalis.
4. Sterilkan tempat tusukan dengan betadin atau alkohol.
5. Beri anastesi lokal pada tempat tusukan,misalnya dengan lidokain 1-2% 2-3ml.
6. Cara tusukan median atau paramedian. Untuk jarum spinal besar 22G, 23G, 25G dapat
langsung digunakan. Sedangkan untuk yang kecil 27G atau 29G dianjurkan
menggunakan penuntun jarum yaitu jarum suntik biasa semprit 10cc. Tusukkan
introduser sedalam kira-kira 2cm agak sedikit kearah sefal, kemudian masukkan jarum
spinal berikut mandrinnya ke lubang jarum tersebut. Jika menggunakan jarum tajam
(Quincke-Babcock) irisan jarum (bevel) harus sejajar dengan serat duramater, yaitu pada
posisi tidur miring bevel mengarah keatas atau kebawah, untuk menghindari kebocoran
likuor yang dapat berakibat timbulnya nyeri kepala pasca spinal. Setelah resensi
menghilang, mandrin jarum spinal dicabut dan keluar likuor, pasang semprit berisi obat
dan obat dapat dimasukkan pelan-pelan (0,5ml/detik) diselingi aspirasi sedikit, hanya
untuk meyakinkan posisi jarum tetap baik. Kalau anda yakin ujung jarum spinal pada
posisi yang benar dan likuor tidak keluar, putar arah jarum 90º biasanya likuor keluar.
Untuk analgesia spinal kontinyu dapat dimasukan kateter.
7. Posisi duduk sering dikerjakan untuk bedah perineal misalnya bedah hemoroid dengan
anestetik hiperbarik. Jarak kulit-ligamentum flavum dewasa ± 6cm. Posisi:
a. Posisi Duduk
b. Pasien duduk di atas meja operasi
c. Dagu di dada

d. Tangan istirahat di lutut


8. Posisi Lateral:
a. Bahu sejajar dengan meja operasi
b. Posisikan pinggul di pinggir meja operasi
c. Memeluk bantal/knee chest position

Gambar. Posisi penyuntikan anestesi spinal.


i. Faktor yang mempengaruhi
a. Volume obat analgetik lokal: makin besar makin tinggi daerah analgesia
b. Konsentrasi obat: makin pekat makin tinggi batas daerah analgesia
c. Barbotase: penyuntikan dan aspirasi berulang-ulang meninggikan batas daerah analgetik.
d. Kecepatan: penyuntikan yang cepat menghasilkan batas analgesia yang tinggi. Kecepatan
penyuntikan yang dianjurkan: 3 detik untuk 1 ml larutan.
e. Maneuver valsava: mengejan meninggikan tekanan liquor serebrospinal dengan akibat batas
analgesia bertambah tinggi.
f. Tempat pungsi: pengaruhnya besar pada L4-5 obat hiperbarik cenderung berkumpul ke
kaudal (saddle blok) pungsi L2-3 atau L3-4 obat cenderung menyebar ke cranial.
g. Berat jenis larutan: hiper iso atau hipo barik
h. Tekanan abdominal yang meningkat: dengan dosis yang sama didapat batas analgesia yang
lebih tinggi.
i. Tinggi pasien: makin tinggi makin panjang kolumna vertebralis makin besar dosis yang
diperlukan (BB tidak berpengaruh terhadap dosis obat)
j. Waktu: setelah 15 menit dari saat penyuntikan umumnya larutan analgetik sudah menetap
sehingga batas analgesia tidak dapat lagi diubah dengan posisi pasien.

j. Obat Anestesi
1. BUPIVAKAIN

Obat anestetik lokal yang sering digunakan adalah prokain, tetrakain, lidokain, atau
bupivakain. Berat jenis obat anestetik lokal mempengaruhi aliran obat dan perluasan daerah
teranestesi. Pada anestesi spinal jika berat jenis obat lebih besar dari berat jenis CSS (hiperbarik),
maka akan terjadi perpindahan obat ke dasar akibat gravitasi. Jika lebih kecil (hipobarik), obat
akan berpindah dari area penyuntikan ke atas. Bila sama (isobarik), obat akan berada di tingkat
yang sama di tempat penyuntikan.
Bupivacaine adalah obat anestetik lokal yang termasuk dalam golongan amino amida.
Bupivacaine di indikasi pada penggunaan anestesi lokal termasuk anestesi infiltrasi, blok serabut
saraf, anestesi epidura dan anestesi intratekal. Obat tersebut juga biasa digunakan untuk luka
bekas operasi untuk mengurangi rasa nyeri dengan efek obat mencapai 20 jam setelah operasi.
Bupivacaine dapat diberikan bersamaan dengan obat lain untuk memperpanjang durasi
efek obat seperti misalnya epinefrin, glukosa, dan fentanil untuk analgesi epidural.
Kontraindikasi untuk pemberian bupivacaine adalah anestesi regional IV (IVRA) karena potensi
risiko untuk kegagalan tourniket dan adanya absorpsi sistemik dari obat tersebut.

10
Bupivakain telah banyak digunakan pada blok subrakhnoid untuk operasi abdominal
bawah. Pemberian bupivakain isobarik, biasanya menggunakan konsentrasi 0,5%, volume 3-4
ml dan dosis total 15-20 mg, sedangkan bupivakain hiperbarik diberikan dengan konsentrasi
0,5%, volume 2-4 ml dan total dosis 15-22,5 mg. Bupivakain dapat melewati sawar darah tetapi
hanya dalam jumlah kecil. Sifat dari bupivakain selain dari kerjanya yang panjang adalah sifat
blockade motorisnya yang lemah. Bupivakain juga mempunyai lama kerja yang lebih panjang
dari lignokain karena mempunyai kemampuan yang lebih besar untuk mengikat protein. Untuk
menghilangkan nyeri pada persalinan, dosis sebesar 30 mg akan memberikan rasa bebas nyeri
selama 2 jam disertai blokade motoris yang ringan. Analgesik paska bedah dapat berlangsung
selama 4 jam atau lebih, sedangkan pemberian dengan tehnik anestesi kaudal akan memberikan
efek analgesik selama 8 jam atau lebih. Pada dosis 0,25 – 0,375 % merupakan obat terpilih
untuk obstetrik dan analgesik paska bedah. adalah 175 mg. Dosis rata-ratanya 3 – 4 mg / kgBB.
Bupivacaine bekerja dengan cara berikatan secara intaselular dengan natrium dan
memblok influk natrium kedalam inti sel sehingga mencegah terjadinya depolarisasi.
Dikarenakan serabut saraf yang menghantarkan rasa nyeri mempunyai serabut yang lebih tipis
dan tidak memiliki selubung mielin, maka bupivacaine dapat berdifusi dengan cepat ke dalam
serabut saraf nyeri dibandingkan dengan serabut saraf penghantar rasa proprioseptif yang
mempunyai selubung mielin dan ukuran serabut saraf lebih tebal.

Farmakokinetik Bupivakain
Obat bupivakain segera setelah penyuntikan subarakhnoid akan mengalami penurunan
konsentrasi dengan secara bertahap karena terjadinya: dilusi dan pencampuran di liquor serebro
spinalis, difusi dan distribusi oleh jaringan saraf, uptake dan fiksasi oleh jaringan saraf, absorbsi
dan eliminasi oleh pembuluh darah. Didalam ruang subarakhnoid obat akan kontak dengan
struktur jaringan saraf dan obat ini akan memblokade transmisi impuls serabut-serabut saraf.
Aktivitas anestesi lokal dalam ruang subarakhnoid yang penting di akar-akar saraf di medula
spinalis (primer), ganglia dorsalis dan sinap-sinap di kornu anterior dan posterior (sekunder) dan
traktus asenden dan desenden parenkim di medula spinalis.dengan konsentrasi yang terbesar, dan
secara klinis akan terjadi suatu regresi analgesik dari atas ke bawah menuju daerah dengan
konsentrasi terbesar. Bupivakain memilki onset kerja 5-10 menit setelah penyuntikan, dan
memiliki durasi kerja panjang 90-120 menit.
Efek samping anestesi spinal yang sering terjadi adalah hipotensi dan bradikardi.
Biasanya terjadi 5 menit setelah anestesi spinal. Selain itu setelah 45 menit pemberian
bupivakain 0,5% isobarik akan terjadi penurunan tekanan darah dan penurunan denyut jantung.

11
Disamping itu mual-muntah, blokade spinal tinggi, keracunan, menggigil, retensi urin, post dural
puncture headache dan henti jantung dapat juga terjadi.

2. KETOROLAC
Ketorolac merupakan suatu obat NSAID yang menunjukan efek analgesia dan memiliki
aktifitas antiinflamasi. Obat ini biasa digunakan pasca pembedahan baik secara tunggal maupun
dengan opioid. Ketorolac 30 mg IM menghasilkan analgesia yang sebanding dengan 10 mg
morfin atau 100 mg petidin.Keuntungan ketorolac sewaktu induksi adalah tidak adanya depresi
pada kardiovaskular maupun pernapasan.
Farmakokinetik
Setelah injeksi IM, maximum plasma concentration tercapai pada 45-60 menit. Onset of
action adalah 10 menit dan efek puncak dicapai dalam 2-3 jam. Ketorolac menghambat enzim
prostaglandin synthetase secara reversible. Bleeding time dapat meningkat pada pemberian
ketorolac intra vena dosis tunggal pada pasien yang mendapat anestesi spinal (blok stinggi Th 6).
Bronskospasme yang mengancam jiwa dapat terjadi setelah pemberian ketorolac pada pasien
nasal polyposis,asma, dan sensitive aspirin.

3. ONDANSETRON
Ondansetron adalah golongan antagonis reseptor serotonin (5-HT3) merupakan obat yang
selektif menghambat ikatan serotonin dan reseptor 5-HT3. Obat-obat anestesi akan menyebabkan
pelepasan serotonin dari sel-sel mukosa enterochromafin dan dengan melalui lintasan yang
melibatkan 5-HT3 dapat merangsang area postrema menimbulkan muntah. Pelepasan serotonin
akan diikat reseptor 5-HT3 memacu aferen vagus yang akan mengaktifkan refleks muntah.
Serotonin juga dilepaskan akibat manipulasi pembedahan atau iritasi usus yang merangsang
distensi gastrointestinal (Pranowo, 2006). Efek antiemetik ondansetron terjadi melalui Blokade
sentral pada area postrema (CTZ) dan nukleus traktus solitarius melalui kompetitif selektif di
reseptor 5-HT3, lalu memblok reseptor perifer pada ujung saraf vagus yaitu dengan menghambat
ikatan serotonin dengan reseptor pada ujung saraf vagus.
Efek Samping Keluhan yang umum ditemukan ialah konstipasi. Gejala lain dapat berupa
sakit kepala,, mengantuk, gangguan saluran cerna, nyeri dada, susah bernapas, dll).
Metabolismenya di dalam hati secara hidroksilasi dan konjugasi dengan glukoronida atau sulfat
dan di eliminasi cepat didalam tubuh, waktu paruhnya adalah 3-4 jam pada orang dewasa
sedangkan pada anak-anak dibawah 15 tahun antara 2-3 jam, oleh karena itu ondansetron baik
diberikan pada akhir pembedahan.Dosis Ondansetron 4-8 mg IV sangat efektif untuk menurunkan

12
kejadian PONV (post Operative Nausea and Vomitus). Sebagai profilaksis dosis 1-8 mg IV sangat
efektif dalam penanganan PONV.

4. PETHIDINE HCL
Meperidin HCl yang biasa dikenal dengan nama petidin, merupakan salah satu obat
penghilang rasa sakit golongan narkotik. Pethidine merupakan narkotika sintetik derivat
fenilpiperidinan dan terutama berefek terhadap susunan saraf pusat. Mekanisme kerja pethidine
menghambat kerja asetilkolin (senyawa yang berperan dalam munculnya rasa nyeri) yaitu pada
sistem saraf serta dapat mengaktifkan reseptor, terutama pada reseptor µ, dan sebagian kecil pada
reseptor kappa. Penghambatan asetilkolin dilakukan pada saraf pusat dan saraf tepi sehingga rasa
nyeri yang terjadi tidak dirasakan oleh pasien.
Efeknya terhadap SSP adalah menimbulkan analgesia, sedasi, euphoria, depresi pernafasan
serta efek sentral lain. Efek analgesik petidin timbul lebih cepat daripada efek analgetik morfin,
yaitu kira-kira 10 menit setelah suntikan subkutan atau intramuskular, tetapi masa kerjanya lebih
pendek, yaitu 2–4 jam. Absorbsi pethidine melalui pemberian oral maupun secara suntikan
berlangsung dengan baik. Obat ini mengalami metabolism di hati dan diekskresikan melalui urin.
Efek samping yang ditimbulkan oleh petidin antara lain sakit kepala ringan, kepala terasa
berputar, mual, muntah, gangguan aliran darah, gangguan koordinasi otot serta gangguan jantung.
Efek samping yang tidak terlalu parah dapat berupa kesulitan buang air besar (konstipasi),
kehilangan nafsu makan, mual, muntah, sakit kepala dan mulut terasa kering serta keringat
berlebihan.
Obat ini juga dapat menimbulkan efek alergi berupa kemerahan, gatal dan bengkak pada
daerah sekitar tempat penyuntikan. Gejala alergi ini dapat bermanifestasi parah, seperti kesulitan
bernafas, bengkak pada wajah, bibir dan lidah, serta tenggorokan.

13
DAFTAR PUSTAKA

Bogra, Arora, Srivastava. Synergistic Effect of Intrathecal Fentanyl and Bupivacaine in Spinal

Anaesthesia for Cesarean Section.BioMed Central Journal.Vol 5. 2005. Available at

website :http://www.biomedcentral.com\

Campbell, NJ. Effective Management of The Post Dural Puncture Headache. Anaesthesia Tutorial

of The Week 181. 2010. Available at website http://www.totw.anaesthesiologists.org

Dobson, M. B.1994.Anestesi Spinal dalam Buku Penuntun Praktis Anestesi.EGC. Jakarta.

Hocking G. Spinal anaesthetic spread.2006

Katzung, B. 2010.Farmakologi dasar dan klinik ed. 10.EGC. Jakarta.

Latief, S. A., Suryadi, K. A., Dachlan M. R. 2009. Petunjuk Praktis Anestesiologi. Edisi Kedua.

Jakarta: Penerbit Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif FKUI

Miller, RD.2011. Anesthesia for obstetrics.Miller’s anesthesia ed. 6. United Kingdom: Elsevier

Churchill livingstone.

Morgan GE. 2013. Clinical Anesthesiology: 54th Edition.

Snell RS. Clinical Anatomy: 7thedition. Philadelphia: Wolters Kluwer Health; 2010

14
Stamtiou, G.2009. The Effect of Hyperbaric Versus Isobaric Spanal Bupivacaine on Sensory and

Motor Blockade Post Operative Pain and Analgesic Requiretments for Turp.

The New York School of Regional Anesthesia.Spinal anesthesia. 2013. (Diakses dari

http://www.nysora.com/techniques/neuraxial-and-perineuraxialtechniques/landmark-

based/3423-spinal-anesthesia.html).

15

Anda mungkin juga menyukai