Saat impuls telah diterima oleh nosiseptor, selanjutnya impuls tersebut akan diubah
menjadi aktivitas listrik. Aktivitas listrik yang timbul diakibatkan karena adanya potensial
aksi yang merupakan perubahan cepat pada potensial membarn yang menyebar secara cepat
di sepanjang membran serat saraf. Potensial aksi dimulai dari tahap istirahat. Membran
dikatakan menjadi terpolarisasi selama tahap ini karena adanya potensial membran negatif.
Kemudian, dilanjutkan dengan tahap depolarisasi. Pada saat ini, membran menjadi permeabel
terhadap ion natrium, sehingga sejumlah besar ion natrium bermuatan positif berdifusi ke
dalam akson. Akibat hal tersebut, keadaan terpolarisasi dinetralisasi oleh ion natrium
bermuatan postif yang mengalir masuk dan potensial meningkat dengan cepat ke arah positif.
Keadaan ini disebut depolarisasi. Selanjutnya tahap yang terakhir adalah tahap repolarisasi.
Pada tahap ini, ketika membran sangat permeabel terhadap ion natrium, kanal natrium mulai
tertutup dan kanal kalium terbuka yang kemudian menyebabkan difusi ion kalium yang
berlangsung cepat ke bagian luar dan membentuk kembali potensial membran istirahat
negatif yang normal.
Aksi potensial yang melewati nosiseptor tersentisisasi menyebabkan pelepasan
neuropeptida seperti substansi P, cholecytokinin (CCK), dan calcitonin gene-related peptide
(CGRP) oleh ujung perifer yang berkontribusi pada pengerahan faktor-faktor dari serum dan
sel inflamatorik pada lokasi cedera. Substansi P berperan dalam pengeluaran bradikinin lebih
lanjut dan sumber pelepasan histamin dari sel mast serta serotonin (5-HT) dari trombosit,
yang selanjutnya meningkatkan permeabilitas pembuluh darah dan iritabilitas nosiseptor. Saat
rangsangan terjadi secara terus-menerus, eksitabilitas nosiseptor akan meningkat sehingga
menyebabkan ambang batas aktivasi menurun dan respon terhadap rangsangan akan
meningkat. Hal tersebut akan menyebabkan meningkatnya sensitivitas pada daerah cedera
akibat mekanisme perifer yang disebut sensitisasi perifer atau hiperalgesia primer.
Setelah proses transduksi terjadi, neuron urutan pertama akan bersinap dengan neuron
urutan kedua. Selain bersinap dengan neuron urutan kedua, akson akson pada neuron urutan
pertama mungkin juga bersinap dengan interneuron, neuron simpatik, dan neuron ventral
horn motor saat berada di kornu dorsalis.
SLIDE 3:
Terminal sentral aferen primer pada kornu dorsalis menduduki lokasi yang berbeda.
Skema representasi proyeksi spinal serat aferen primer dapat dilihat pada gambar
Serat C tidak bermyelin bersinap dengan interneuron di lamina I (marginal layer) dan
II (substantia gelatinosa of Rolando [SGR]). Serat cutaneous Aδ berproyeksi pada lamina I,
II, V, dan serat Aβ berterminasi primer pada lamina III-V di kornu dorsalis.
SLIDE 4:
Setelah serat aferen memasuki medula spinalis, serat-serat tersebut selanjutnya
memisahkan diri sesuai dengan ukuran, lebar, serat bermielin terletak lebih medial, dan serat
yang tidak bermielin terletak di lateral. Serat-serat nyeri memungkinkan untuk menaiki dan
menuruni satu sampai tiga segmen medula spinalis pada traktus Lissauer’s sebelum bersinap
dengan neuron urutan kedua dalam gray matter pada kornu dorsalis ipsilateral. Pada
umumnya, serat-serat nyeri berhubungan dengan neuron urutan kedua melalui interneuron.
Jalur mayor pada neuron urutan kedua adalah traktus spinothalamikus yang terletak
anterolateral di dalam white matter dari medula spinalis.
Traktus asenden ini dapat dibagi menjadi dua yaitu traktus lateral dan traktus medial.
Traktus spinotalamus lateral (neospinotalamus) berproyeksi umumnya menuju nukelus
posterolateral ventral pada talamus yang membawa aspek nyeri seperti lokasi, intensitas, dan
durasi. Sedangkan traktus spinotalamus medial (paleospinotalamus) berproyeksi pada
talamus medial dan bertanggung jawab untuk mediasi autonomi dan persepsi emosional yang
tidak menyenangkan terhadap nyeri. Beberapa serat spinothalamus juga berproyeksi pada
periaqueductal grey dan medula rostral ventral sehingga dengan demikian memungkinkan
untuk menjadi hubungan yang penting antara jalur asenden dan desenden. Serat-serat
kolateral juga berproyeksi pada sistem pengaktifan retikuler dan hipotalamus. Hal tersebut
mungkin bertanggung jawab dalam timbulnya respon pada nyeri.
Neuron urutan ketiga terletak pada thalamus dan mengirimkan serat menuju area
somatosensori I dan II di postcentral gyrus pada korteks parietal dan dinding superior pada
fisura sylvian secara berturut-turut. Persepsi dan pemisahan lokalisasi nyeri bertempat di area
kortikal tersebut. Selain itu, neuron proyeksi lainnya juga melibatkan korteks cingulate dan
insular melalui hubungan dengan brainstem dan amygdala yang berperan sebagai komponen
afektif dari pengalaman nyeri.
SLIDE 4:
Dalam proses perjalan nyeri terdapat suatu teori yang dikenal sebagai gate theory
yang menyebutkan bahwa informasi stimulus nyeri akan diproyeksikan ke regio supraspinal
brain apabila pintu terbuka. Sedangkan stimulus nyeri tidak akan terasa apabila pintu tertutup
oleh impuls inhibisi. Teori ini berhubungan dengan jalur asenden desenden pada proses
transmisi nyeri. Jalur desenden berasal dari korteks somatosensori dan hipotalamus. Neuron-
neuron talamus menurun ke midbrain dan bersinaps pada jalur asenden pada medula spinalis
dan menghambat sinyal-sinyal saraf yang menuju ke atas. Hasilnya akan terjadi penurunan
nyeri (analgesia). Beberapa sifat analgesia ini juga merupakan hasil timulasi neurotransmiter
opioid alami seperti endorfin, dinorfin, dan enkefalin.
Sumber:
1. Pralambari. L. P. D. S., 2017. MEKANISME NYERI. SMF/Bagian Anestesiologi
Dan Terapi Intensif Fakultas Kedokteran Universitas Udayana. Bali
2. Stoelting RK, Rathmell JP, Flood P, Shaver S. (2015). Handbook of
Pharmacology and Physiology in Anesthetic Practice Third Edition. Wolters
Kluwer