Anda di halaman 1dari 28

PENATALAKSANAAN ABSES SEPTUM NASI

ODONTOGENIK
Rini Rahma Wulandari, Puspa Zuleika
Bagian IKTHT-KL Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya /
Departemen KTHT-KL RSUP Dr. Mohammad Hoesin
Palembang
Abstrak
Abses septum nasi adalah kumpulan pus yang terbentuk diantara kartilago septum
dengan mukoperikondrium atau diantara tulang septum dengan mukoperiosteum.
Abses septum nasi jarang ditemukan dan biasanya terjadi pada laki-laki. Salah
satu penyebab abses septum adalah infeksi gigi, walaupun kasusnya sangat jarang
ditemukan. Diagnosis abses septum nasi ditegakkan berdasarkan anamnesis,
pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang. Abses septum merupakan kasus
yang harus segera ditangani karena komplikasinya dapat berat. Penatalaksanaan
berupa aspirasi jarum, insisi dan drainase abses disertai pemberian antibiotik
spektrum luas.
Dilaporkan satu kasus abses septum pada wanita usia 63 tahun sebagai
akibat penyebaran infeksi gigi, yang telah dilakukan aspirasi, insisi dan drainase
dengan anestesi lokal juga telah diberikan antibiotik intravena dan ekstraksi
ganggren radiks.
Kata kunci : abses septum nasi, infeksi gigi, tatalaksana
Abstract
A nasal septal abscess is defined as a collection of pus between the cartilage and
its mucophericondrium or bony septum with its mucoperiosteum. Nasal Septal
abscess is rare and usually occurs in man. A dental infection is one cause of the
nasal septum abscess, although the cases are rare. Diagnosis is based on history,
physical examination and additional evaluation. Nasal septal abscess is an
emergency case that should treat rapidly. The management of abscess is needle
aspiration, incision, drainage and board spectrum antibiotics.
It was reported one case of nasal septal abscess in women aged 63 years
as a result of the spread of dental infection who has been performed with needle
aspiration, incision and drainage under local anesthesia and also been given
intravenous antibiotics and radicular gangrene extraction.
Key words: nasal septal abscess, tooth infection, management

PENDAHULUAN
1

Abses septum nasi didefinisikan sebagai suatu kumpulan pus yang


terbentuk diantara kartilago septum dengan mukoperikondrium atau diantara
tulang septum dengan mukoperiosteum.

1-6

Abses septum nasi merupakan salah

satu kasus emergensi yang jarang terjadi. 1,4 Abses septum ini paling sering
menyebabkan hancurnya kartilago septum selain hematom septum. Septum nasi
merupakan struktur dari hidung yang sangat penting, dimana hancurnya kartilago
septum baik sebagian maupun komplit dapat mempengaruhi fungsi dan bentuk
dari hidung.7
Penyebab abses septum nasi yang paling sering (75%) adalah trauma,
dapat juga terjadi sebagai akibat infeksi sinus (etmoiditis dan sfenoiditis),
vestibulitis, furunkulosis, dan infeksi gigi walaupun jarang terjadi. Penyebab lain
yang pernah dilaporkan adalah pasien dengan status imunologi yang rendah
(immunocompromised).1-5,8,9 Gejala abses septum adalah hidung tersumbat
biasanya bilateral, nyeri yang hebat dan terlokalisir pada hidung, lunak pada
puncak hidung, perubahan warna merah atau kebiruan pada mukosa septum, serta
gejala lain seperti demam dan sakit kepala.4,9,10
Penatalaksanaan abses septum ini adalah dengan aspirasi jarum yang
dilanjutkan dengan insisi dan drainase serta pemberian antibiotik spektrum luas
secara parenteral. Abses septum harus segera diobati sebagai kasus darurat karena
komplikasinya dapat berat, yaitu dalam waktu yang tidak lama dapat
menyebabkan nekrosis pada tulang rawan septum sehingga menimbulkan
deformitas berupa hidung pelana, retraksi kolumela, dan pelebaran dasar hidung.
Komplikasi lain juga dapat terjadi seperti infeksi intrakranial, trombosis sinus
kavernosus, selulitis dan abses orbita.1,4-6
KEKERAPAN
Abses septum jarang ditemui dan biasanya terjadi pada laki-laki. Sebanyak
74% mengenai umur dibawah 31 tahun, dan 42 % mengenai umur diantara 3-14
tahun.11,12 Lokasi yang paling sering ditemukan adalah pada bagian anterior
kartilago septum, walaupun pernah juga ditemukan pada posterior septum
nasi.1,2,12

Suatu

penelitian

yang

dilakukan

Jalaludin

dari

departemen

otorinolaringologi Kuala Lumpur dari bulan Juni tahun 1981 sampai Juni 1991
melaporkan sebanyak 14 kasus abses septum dimana 71,4% laki-laki dan 28,6%
perempuan. Rentang usia 6-55 tahun dengan rata-rata usia 25,8 tahun, dimana
43% terjadi pada usia 16-35 tahun. Etiologi yang terbanyak adalah faktor trauma
85,7%, sinusitis kronis dan vestibulitis masing-masing sebanyak 7,15%.13
Abses septum sebagai akibat penyebaran dari infeksi gigi sangat jarang
terjadi. Pada tahun 1982 da Silva dkk melaporkan dua pasien abses septum
sebagai komplikasi infeksi gigi.5 Ozan dkk pada tahun 2006 melaporkan satu
kasus sebagai komplikasi perawatan akar gigi. 1 Abses septum nasi di RSCM
dilaporkan sebanyak 9 kasus selama 5 tahun (1989-1994). Bagian THT FKUSU/RSUP H. Adam Malik selama tahun 1999-2004 mendapatkan 5 kasus. 12
Berdasarkan data rawat inap pasien THT di rumah sakit dr. Mohammad Hoesin
Palembang, didapatkan 3 kasus abses septum nasi dalam 2 tahun (2010-2012).
ANATOMI
Septum nasi adalah struktur garis tengah bidang sagital yang membagi
hidung menjadi dua rongga yang berbentuk kubah. Tebal septum nasi secara
normal 2-4 mm yang sekaligus menjadi dinding medial dari kavum nasi. Septum
nasi dibentuk oleh tulang dan tulang rawan. Bagian tulang yang membentuk
septum adalah lamina perpendikularis os etmoid, os vomer, krista nasalis os
maksila dan krista nasalis os palatina. Bagian tulang rawan adalah kartilago
septum (lamina kuadrangularis) dan kolumela. Septum nasi dilapisi oleh
perikondrium pada bagian tulang rawan dan periosteum pada bagian tulang,
sedangkan diluarnya dilapisi oleh mukosa hidung. Bagian terbesar dari septum
nasi dibentuk oleh lamina perpendikularis os etmoid posterior dan kartilago
septum anterior.11, 14-16
Lamina perpendikularis os etmoid membentuk sepertiga atas atau lebih
septum nasi, berhubungan dengan bagian horizontal os etmoid yang bagian
bawahnya bertumpu pada os vomer. Di bagian anterior dan superior berhubungan
dengan os frontal dan os nasal, di posterior berhubungan dengan tonjolan os
sfenoid, di postero-inferior dengan os vomer dan antero-inferior dengan kartilago

septum. Os vomer terletak di septum nasi bagian posterior dan inferior. Dibagian
superior membentuk sendi os sfenoid dan lamina perpendikularis os etmoid, dan
di bagian inferior dengan krista nasalis os maksila dan os palatina. Krus medial
dari kartilago alar mayor dan prosesus nasal bawah (krista) maksila membentuk
bagian anterior septum.14,16,17
Kartilago septum nasi merupakan sekeping tulang rawan tunggal yang
berbentuk quadrilateral sebagai bagian anterior inferior septum nasi. Dibelakang
bersatu dengan bagian tulang septum dan lamina perpendikularis os etmoid,
bagian bawahnya bertumpu pada lekukan os vomer, krista maksila dan spina
maksila. Periosteum dan perikondrium dari tulang rawan septum dihubungkan
oleh jaringan penghubung yang dibentuk oleh ligamentum yang memungkinkan
terjadinya gerakan dari tulang tersebut.17

Gambar 1. Anatomi septum nasi. 1) Kartilago kuadrangularis. 2) Os nasal. 3) Lamina


perpendikularis os etmoid. 4) Vomer 5) Krista nasalis os palatina 6) Krista nasalis os maksila
7) Kolumela14

Perdarahan hidung sebagian besar berasal dari arteri karotis eksterna dan
interna. Arteri sfenopalatina (cabang dari arteri maksilaris dan arteri karotis
eksterna) dan arteri palatina desendens memperdarahi bagian posteroinferior
septum sedangkan bagian anterosuperior septum dan dinding lateral memperoleh
perdarahan dari arteri etmoidalis anterior dan posterior. Arteri palatina mayor
(juga cabang arteri maksilaris) melalui kanalis insisivus menyuplai darah ke
bagian anteroinferior. Cabang arteri labialis superior (cabang arteri fasialis)

menyuplai bagian anterior tuberkel septum. Pada bagian kaudal septum yatiu tepat
di belakang vestibulum terdapat pleksus Kiesselbach yang merupakan anstomosis
dari arteri sfenopalatina, arteri etmoidalis anterior dan arteri palatina mayor. Venavena hidung mempunyai nama yang sama dan berjalan berdampingan dengan
arteri. Vena pada vestibulum dan struktur luar hidung mempunyai hubungan
dengan sinus kavernosus melalui vena oftalmika superior. 11, 16-18
ANATOMI GIGI
Regio dentoalveolar dikelilingi oleh sinus maksila dan dasar cavum nasi di
bagian atasnya serta mandibula dibagian bawahnya. Anatomi dasar gigi terdiri
dari bagian mahkota dan akar. Bagian mahkota terlihat dalam mulut, sedangkan
bagian akar terbenam di dalam tulang rahang dan gusi. Secara makroskopis
bagian mahkota gigi terdiri dari enamel/email dan dentin, sedangkan bagian akar
gigi terdiri dari sementum dan rongga pulpa yang berisi tanduk pulpa, ruang
pulpa, saluran pulpa serta foramen apikal. Setiap gigi memiliki satu sampai tiga
akar gigi, masing-masing memiliki beberapa permukaan berbeda tergantung posisi
dari akar gigi tersebut, antara lain sisi bukal, fasial, palatal, labial, insisal dan
lingual. Bagian akar gigi yang mengalami infeksi akan menyebar ke daerah
permukaan gigi yang ada di dekatnya.19

Gambar 2. Anatomi gigi19

ETIOLOGI
Penyebab abses septum nasi sangat banyak antara lain trauma, penyebaran
infeksi dari sinusitis etmoid, sinusitis spenoid, infeksi gigi, komplikasi operasi
hidung, vestibulitis dan furunkulosis, juga ditemukan pada pasien dengan status
imunologi yang rendah. Berdasarkan penelitian yang dilakukan Jalaludin MAB
5

tahun 1993 terhadap 14 kasus abses septum, didapatkan penyebab terbanyak


adalah akibat trauma (75%).13 Keadaan ini dapat terjadi akibat kecelakaan,
perkelahian maupun olahraga. Trauma dapat mengakibatkan luka pada mukosa
septum sehingga dapat menyebabkan hematom septum nasi. Tiga sampai lima
hari setelah terjadi hematom septum nasi, hematom akan mengalami infeksi
sekunder sehingga terjadi abses septum nasi. 6,15 Abses septum nasi juga dapat
terjadi akibat komplikasi dari operasi hidung. Lo dan Wang tahun 2004
menemukan

7%

abses

septum

disebabkan

trauma

akibat

tindakan

septomeatoplasti.3
Pang KP dan Seth DS tahun 2002 melaporkan satu kasus abses septum
nasi pada anak usia 12 tahun sebagai komplikasi dari speno-etmoiditis akut. 20
Walaupun jarang terjadi, penyebaran akibat infeksi gigi juga pernah dilaporkan
oleh Da Silva dkk pada tahun 1982 pada dua pasien dengan abses septum nasi. 5
Ozan, Polat dan Heler tahun 2006 juga melaporkan satu kasus abses septum nasi
yang disebabkan penjalaran infeksi gigi.1
Penyebab lain abses septum nasi adalah vestibulitis, furunkulosis dan
status imunitas tubuh yang rendah (immunocompromised). Dinesh R dkk pada
tahun 2011 dari rumah sakit Taiping Perak Malaysia melaporkan 3 kasus abses
septum nasi non trauma pada penderita diabetes melitus. 2 Sedangkan Salam B dan
Camilleri A tahun 2008 melaporkan satu kasus abses septum nasi non trauma pada
pasien dengan imunokompeten di rumah sakit universitas Manchester United
Kingdom.4
Organisme yang paling sering menyebabkan abses septum nasi yang
didapatkan dari hasil kultur pus adalah Staphylococcus aureus. Streptococcus
pneumoniae, Streptococcus milleri, Streptococcus viridans, Staphylococcus
epidermidis, Haemophilus influenza dan organisme anaerob juga didapatkan dari
hasil kultur mikroorganisme.2,3,5-7,12,20 Penelitian Tavares dkk (2002) melaporkan
sebanyak 42,9% dari hasil kultur adalah Stafilokokus aureus, selain itu juga
ditemukan bakteri Streptokokus viridan (21,4%), Enterokokus fekalis (7,1%) dan
Streptokokus piogens (7,1%).21
PATOFISIOLOGI

Patofisiologi abses septum nasi biasanya tergantung penyebabnya.


Beberapa mekanisme untuk terjadinya abses septum antara lain perluasan
langsung sepanjang permukaan jaringan seperti pada sinusitis, infeksi hematom
septum, infeksi disebabkan oleh infeksi gigi serta penyebaran melalui pembuluh
darah vena dari orbita ataupun sinus kavernosus melalui vena etmoidalis dan vena
oftalmika.1,5
Infeksi gigi dapat mencapai septum melalui perluasan langsung. Lokasi
anatomis yang berdekatan antara gigi insisivus atas (regio maksila) dengan dasar
hidung menjelaskan bahwa abses dari gigi insisivus atas sentral dapat meluas dan
menonjol ke dasar hidung. Biasanya, abses periapikal yang disebabkan infeksi
gigi insisivus atas akan pecah dan mengalir ke rongga mulut dan kadang-kadang
melalui gingiva, yang juga bisa menyebabkan abses di bibir bagian atas. 1,5,22,23
Abses palatum sekunder dari infeksi akar palatal gigi molar dapat juga
menyebabkan abses septum melalui penyebaran secara langsung. 5 Kadang-kadang
(walaupun jarang) infeksi dari insisivus atas mengalami fistulisasi ke dasar kavum
nasi, menghasilkan lesi yang dikira sebagai abses vestibulum ataupun kista
terinfeksi.23
Hematoma septum nasi terjadi akibat trauma pada septum nasi yang
merobek pembuluh darah yang berbatasan dengan tulang rawan septum nasi.
Darah akan terkumpul pada ruang di antara tulang rawan dan mukoperikondrium.
Hematoma ini akan memisahkan tulang rawan dari mukoperikondrium, sehingga
aliran darah sebagai nutrisi bagi jaringan tulang rawan terputus, maka terjadilah
nekrosis.3,7 Akibat keadaan yang relatif kurang steril di bagian anterior hidung,
hematoma septum nasi dapat terinfeksi dan akan cepat berubah menjadi abses
septum nasi yang mempercepat resorpsi tulang rawan yang nekrotik. Tulang
rawan septum nasi yang tidak mendapatkan aliran darah masih dapat bertahan
hidup selama 3 hari, setelah itu kondrosit akan mati dan resorpsi tulang rawan
akan terjadi.3 Jika sudah terjadi nekrosis akan menyebabkan terjadinya perforasi,
sehingga proses supurasi yang semula unilateral menjadi bilateral. Namun tidak
semua hematom septum nasi berkembang menjadi abses, bila sembuh dengan
terapi antibiotik akan terbentuk jaringan ikat, sehingga akan terjadi penebalan

jaringan septum nasi yang dapat menyebabkan obstruksi saluran nafas dan retraksi
yang menimbulkan kontraktur septum nasi.3
Infeksi dari sinus menyebar secara langsung sepanjang permukaan
jaringan. Lamina perpendikularis os etmoid merupakan jalan masuk langsung bila
terdapat infeksi dari sinus frontal dan sfenoid ke etmoid kemudian ke septum
hidung. Peter Pang mempercayai bahwa sfenoiditis akut dapat menyebabkan
abses septum nasi melalui perluasan langsung subperiosteal dari permukaan
anterios os sfenoid, bidang periosteum dari vomer dengan lamina perpendikularis
os etmoid ke permukaan subperikondrial dari kartilago quadrilateral. Selain itu
mekanisme lain yang mungkin menjadi penyebab adalah penyebaran langsung
melalui

fisura

tulang,

deformitas

tulang

kongenital,

atau

melalui

tromboflebitis.20,21,24,25 Huang dkk (2006) menduga abses septum nasi yang


disebabkan oleh infeksi sekunder dari sinus terjadi karena tidak adanya katup pada
sistem vena pada sinus-sinus yang menyebabkan hubungan bebas dengan
bakteriemia atau tromboflebitis sepsis.24
DIAGNOSIS
Diagnosis

abses

septum

nasi

ditegakkan

berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik


dan pemeriksaan penunjang. Dari anamnesis
didapatkan

keluhan

hidung

tersumbat

progresif yang merupakan gejala yang


paling sering ditemukan pada abses septum
nasi.

Gejala lainnya adalah nyeri pada

hidung seperti berdenyut terutama di puncak


hidung, lesu, demam, sakit kepala dan terasa
lunak pada daerah sekitar hidung. Gejala
yang timbul tergantung penyebab abses
septum

nasi.

ditanyakan

Oleh

karena

itu

perlu

kemungkinan-kemungkinan

penyebab abses septum nasi seperti riwayat

trauma,

adanya

gejala-gejala

sinusitis,

operasi hidung, riwayat sakit gigi, riwayat


mencabut bulu hidung, riwayat batuk lama
juga

riwayat

penyakit

atau

tindakan

sebelumnya. 2,9,12,15,20
Pada pemeriksaan fisik didapatkan tampak hidung bagian luar (apeks nasi)
hiperemis, edema, dan kulit mengkilat serta nyeri pada sentuhan. Rinoskopi
anterior tampak pembengkakan septum nasi baik unilateral maupun bilateral
terutama pada bagian anterior dengan warna yang bervariasi dari abu-abu sampai
ungu kemerahan, pada sentuhan terasa lunak, perabaan menggunakan benda
tumpul pembengkakan terasa fluktuatif. Pemberian kapas yang dibasahi dengan
solutio tetrakain efedrin 1% tidak mengempis.3,9,26 Selain itu juga diperiksa nyeri
tekan pada sinus, keadaan gigi-geligi dan pemeriksaan lain yang berhubungan
dengan kemungkinan penyebab abses septum nasi.12,24,25 Tindakan aspirasi berguna
untuk membantu menegakkan diagnosis dan pemeriksaan kultur, selain itu juga
dapat mengurangi tekanan dalam abses dan mencegah terjadinya infeksi
intrakranial.6,12,24
Pemeriksaan penunjang dilakukan untuk mencari penyebab abses septum
nasi yang akan berkaitan dengan terapi, juga untuk melihat sejauh mana terjadinya
komplikasi. Pemeriksaan yang rutin dilakukan adalah laboratorium, foto toraks,
foto sinus paranasal dan kultur resistensi pus. Selain itu dapat dilakukan
pemeriksaan tomografi komputer daerah sinus untuk mendeteksi adanya abses
septum nasi.3,12,24,25
Diagnosis infeksi gigi ditegakkan berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan
fisik, serta pemeriksaan penunjang. Dari anamnesis didapatkan adanya riwayat
penyakit gigi atau periodontal. Gigi sensitif terhadap panas dimana nyeri
berkurang dengan dingin, nyeri gigi saat diperiksa. Adanya gigi yang goyang,
kantong periodontal, gingival edema, gigi yang rusak (gangren). Pada
pemeriksaan radiografi (periapikal) ditemukan adanya perluasan dari membran
periodontal. Foto panoramik ditemukan osteitis, kista radikuler atau lusen pada
periapikal gigi. Pembengkakan daerah muka, bibir dan dasar mulut pada kasus

dengan infeksi yang meluas. Riwayat sakit gigi sebelumnya, cabut gigi dan
operasi daerah mulut.23
KOMPLIKASI
Keterlambatan dalam mendiagnosis dan tatalaksana menyebabkan
peningkatan angka kejadian komplikasi yang serius. Komplikasi dari abses
septum nasi dapat berupa estetik maupun intrakranial. Komplikasi estetis berupa
deformitas hidung (saddle nose) yang merupakan komplikasi paling sering terjadi.
Hal ini disebabkan kerusakan yang berat dari rangka tulang hidung. Kartilago
septum nasi mangalami nekrosis dikarenakan terganggunya aliran darah akibat
vaskulitis trombosis. Cairan pus memisahkan mukoperikondrium dari kartilago,
menyebabkan nekrosis iskemik, diikuti lisis oleh bakteri. Kartilago yang hancur
diganti dengan jaringan fibrotik yang dapat membentuk jaringan parut yang
kemudian menyebabkan kontraksi yang asimetris sehingga menimbulkan gejala
hidung buntu. Hilangnya penyangga dari dorsum nasi dapat menyebabkan
deformitas berupa hidung pelana (saddle nose). Pada anak-anak komplikasi ini
dapat mempengaruhi perkembangan wajah, karena kartilago berguna untuk
menunjang hidung dan perkembangan wajah 4,5,9,20
Banyaknya aliran limfatik perineural pada dasar tengkorak bagian anterior
dan tidak adanya katup pada sistem vena antara vena angularis dan sinus
kavernosus melalui vena oftalmika dapat mempermudah penyebaran infeksi ke
intrakranial menyebabkan trombosis sinus kavernosus, meningitis, abses otak dan
empiema subaraknoid. Penyebaran infeksi ke daerah yang berdekatan seperti mata
dan sinus paranasal yang menyebabkan selulitis orbita dan abses.4,5,9
PENATALAKSANAAN
Abses septum nasi merupakan kasus emergensi yang harus ditangani
sesegera mungkin. Pertama kali disarankan untuk melakukan aspirasi jarum
sebelum melakukan insisi dan drainase abses, kemudian dikirim untuk pewarnaan,
kultur dan resistensi tes. Langkah selanjutnya adalah insisi dan drainase. Beberapa

10

peneliti menyarankan pemasangan drain untuk mencegah reakumulasi pus dan


peneliti lain menyarankan pemasangan tampon hidung.1,2,9
Insisi dapat dilakukan dengan anestasi lokal atau anestasi umum. Insisi di
buat vertikal pada daerah yang paling berfluktuasi, diusahakan sedekat mungkin
dengan dasar hidung agar pus dapat keluar semua. Insisi abses dapat unilateral
atau bilateral, kemudian dilakukan evakuasi pus, bekuan darah, jaringan nekrotik
dan jaringan granulasi sampai bersih, kemudian dilanjutkan dengan pemasangan
drain. Drain yang dipasang dapat berupa pipa (drain Penrose) yang dijahit pada
tempat insisi atau drain dari karet (gambar 3). Drain dipertahankan sampai 2-3
hari,namun jika drain masih diperlukan dapat terus dipertahankan. Pada kedua
rongga hidung dipasang tampon anterior dan dipertahankan selama 2 sampai 3
hari. Bila pus masih ada luka dibuka lagi.1,2,9

A
B
Gambar 3. A) Tehnik insisi abses septum, B)
Pemasangan drain Penrose

15

Pemberian antibiotik spektrum luas untuk gram positif dan gram negatif
serta kuman anaerob dapat diberikan secara parenteral. Sebelum
diperoleh hasil kultur dan tes resistensi dianjurkan untuk pemberian
preparat penisilin intravena dan terapi terhadap kuman anaerob. Pada
kasus tanpa komplikasi, terapi antibiotik parenteral diberikan selama 35 hari dan dilanjutkan dengan pemberian oral selama 7-10 hari. Bila
terjadi destruksi kartilago septum nasi maka rekonstruksi harus segera
dilakukan untuk mempertahankan punggung septum nasi dan mukosa
septum, menghindari perforasi dan mencegah kelainan perkembangan
muka. Selain itu sumber infeksi abses septum nasi juga harus
diobati.4,5,7,9

11

Sedangkan penatalaksanaan infeksi gigi meliputi terapi antibiotik dan


drainase abses. Jika gigi yang terlibat sudah tidak dapat diidentifikasi, gigi
tersebut dapat diekstraksi atau dilakukan perawatan akar gigi. Pilihan antibiotik
spesifik tergantung beberapa faktor termasuk flora mulut, status imunologi pasien,
dan gambaran klinis infeksi (infeksi terlokalisasi, terdapatnya gas gangren, fasitis
nekrotikan, perluasan ke orbita, dan lain-lain). Sebagian besar infeksi gigi terdiri
dari flora campuran bakteri aerob dan anaerob. Penisilin merupakan antibiotik
pilihan untuk pengobatan infeksi gigi, karena sangat efektif untuk membunuh
bakteri aerob dan anaerob yang merupakan flora normal rongga mulut. Untuk
meningkatkan

efektifitas

melawan

bakteri

anaerob

dapat

digunakan

metronidazol.22
Bila terjadi perforasi septum nasi dan deformitas pelana kuda yang
diakibatkan hilangnya kartilago septum nasi maka dapat dilakukan
rekonstruksi dengan tandur tulang rawan tragus, konka aurikula atau
tulang iga autolog. Diameter tulang rawan septum nasi yang hilang
harus diperkirakan secara cermat. Jika jumlah kartilago yang
diperlukan untuk rekonstruksi terlalu besar, sebaiknya digunakan
kartilago dari tulang iga. Kartilago konka aurikula dapat digunakan
untuk anak-anak dimana lebih sedikit tulang rawan yang diperlukan.
Tandur

tulang

rawan

distabilkan

dan

difiksasi

pada

pelat

polidioksanon. Langkah selanjutnya adalah menempatkan tandur


secara tepat diantara tulang vomer, kartilago lateral superior dan
lamina perpendikularis dan/atau kartilago septum nasi yang tersisa.
Setelah

implantasi,

tandur

difiksasi

diantara

lapisan

mukoperikondrium dengan menggunakan benang jahitan yang dapat


diserap dan tampon hidung. Tampon hidung dapat dikeluarkan setelah
1 atau 2 hari. Antibiotik sistemik spektrum luas diberikan selama 7
hari. Cottle menyarankan untuk melakukan rekonstruksi hidung 8-12
minggu setelah pengobatan abses dan resolusi infeksi. 27-31
LAPORAN KASUS

12

Seorang wanita 63 tahun berasal dari luar kota datang ke poliklinik THT
RSMH Palembang tanggal 4 Januari 2012 dengan keluhan utama benjolan
kemerahan di lubang hidung kanan dan kiri disertai keluhan tambahan nyeri
seperti berdenyut di puncak hidung. Anamnesis didapatkan lebih kurang dua
minggu sebelum masuk rumah sakit pasien merasa timbul benjolan di kedua
lubang hidung terutama bagian dasar hidung. Mula-mula ukurannya kecil yang
semakin lama semakin besar meluas ke daerah antara hidung dan juga bibir
bagian atas. Benjolan membesar sampai menyumbat hidung, berwarna kemerahan
serta nyeri (gambar 4). Lima hari sebelum masuk rumah sakit bengkak meluas ke
batang hidung serta pipi kanan dan kiri. Jika pasien memencet hidungnya maka
keluar nanah berwarna kuning encer yang mengalir ke mulut melalui gusi gigi
depan atas kanan dan kiri. Riwayat trauma, mencabut bulu hidung, dan infeksi di
hidung disangkal. Riwayat sering sakit gigi dan timbul benjolan di sudut bibir atas
dengan hidung 1 bulan yang lalu, benjolan pecah dan mengalir nanah melalui gusi
gigi bagian atas depan.
Dari pemeriksaan fisik didapatkan keadaan umum tampak sakit sedang,
tekanan darah 130/90 mmHg, nadi 90 x/menit, pernafasan 20 x/menit, suhu 37C.
Dari pemeriksaan THT didapatkan telinga kanan dan kiri lapang, membran telinga
intak, dan refleks cahaya baik. Pada pemeriksaan fisik hidung luar terdapat
deformitas pada hidung berupa pembengkakan pada apeks nasi dan dorsum nasi.
Rinoskopi anterior tampak kavum nasi dekstra dan sinistra sempit, bengkak
berwarna merah pada kedua sisi septum nasi bagian inferior dan terasa nyeri. Pada
waktu perabaan terdapat fluktuasi pada daerah yang bengkak (gambar 4). Pasase
kedua cavum nasi tidak ada. Rhinoskopi posterior dalam batas normal.
Pemeriksaan rongga mulut didapatkan adanya fisura pada gusi rahang atas
bagian depan mulai dari pertengahan rahang atas sampai di atas gigi insisivus
kiri, juga di atas gigi kaninus kanan. Dari fisura tersebut keluar nanah encer
berwarna kuning kehijauan. Gigi geligi dijumpai gangren radiks pada gigi
insisivus dan kaninus rahang atas kanan dan kiri, molar 2 kanan atas, dan molar 1
kiri atas (gambar 5). Tonsil dan dinding belakang faring tidak dijumpai kelainan.

13

Gambar
septum nasi

4.

Abses

Gambar 5. Gangren radiks, pus dari gingiva

Dilakukan aspirasi pada kavum nasi kiri di bagian yang paling fluktuasi,
didapatkan pus 3,5 cc (gambar 6). Aspirasi juga dilakukan pada kavum nasi kanan
didapatkan pus campur darah 1 cc. Pus lalu dikirim ke laboratorium untuk
pemeriksaan kultur dan resistensi tes. Berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan
fisik pasien didiagnosis dengan abses septum nasi dextra sinistra. Pasien
disarankan untuk dirawat, serta persiapan untuk insisi abses dengan anestesi lokal.
Pasien diterapi dengan pemberian cairan infus ringer laktat 20 tetes permenit,
antibiotik ceftriakson 2x1 gr intravena, metronidazol 3x500mg intravena, asam
mefenamat 3x500mg peroral dan obat kumur antiseptik. Dilakukan pemeriksaan
darah, foto toraks dan foto sinus paranasal. Pasien direncanakan untuk konsul
bagian penyakit dalam untuk persiapan insisi serta konsul bagian gigi dan mulut
untuk mencari fokal infeksi.
Dari hasil pemeriksaan laboratorium darah tanggal 4 Januari 2012
didapatkan Hb: 12,3 g/dl, leukosit: 8.800/mm3, trombosit: 527.000/mm3, waktu
perdarahan: 3 menit, waktu pembekuan: 10 menit, gula darah sewaktu: 64 mg/dl.
Hasil foto toraks didapatkan kesan kardiomegali dan hasil foto sinus paranasal
tidak dijumpai kelainan pada sinus paranasal, septum nasi intak. Hasil konsultasi
dengan bagian penyakit dalam pasien dengan diagnosis hipertensi derajat 2
dengan hipertensi heart disease (HHD) kompensata, diberikan captopril 3x25 mg
dan clobazam 1x10mg.
Satu hari setelah dirawat dilakukan insisi abses dengan anestesi lokal.
Insisi secara vertikal dilakukan didaerah yang paling fluktuatif pada septum nasi
kiri sedekat mungkin dengan dasar hidung, lalu insisi diperdalam dengan klem.
Dilakukan evakuasi pus dan bekuan darah sebanyak 5cc. Jaringan nekrotik
dikeluarkan sampai bersih. Dilakukan penekanan abses septum kanan ke arah kiri,

14

dijumpai saluran antara septum kanan dan kiri yang ditandai dengan keluarnya
pus dari septum kiri saat septum nasi kanan ditekan. Kemudian kartilago septum
dievaluasi dan ditemukan adanya nekrosis dan destruksi. Dilakukan insisi pada
septum nasi kanan juga agar evakuasi pus dan jaringan nekrotik dapat dilakukan
sebersih mungkin. Dipasang drain karet dari kedua insisi dan tampon hidung
anterior kearah septum pada kedua kavum nasi (gambar 7).

Gambar 6. Aspirasi abses

Gambar 7. Drain karet dan tampon anterior

Hasil foto ronsen panoramik didapatkan kesan berupa sisa akar gigi
insisivus rahang atas, tampak gambaran kista radikuler pada insisivus 2 rahang
atas sebelah kiri, insisivus 1, 2 dan kaninus rahang atas sebelah kanan. Hasil
konsultasi dengan bagian gigi dan mulut didapatkan fokal infeksi berupa gangren
radiks pada gigi insisivus, kaninus kanan dan kiri rahang atas, molar 2 kanan atas
dan molar 1 kiri atas, saran untuk dilakukan ekstraksi gangren.
Empat hari setelah insisi dan drainase abses septum nasi tampon dilepas,
tampak septum nasi hiperemis, bengkak minimal dan tidak fluktuatif. Tampon
anterior dipasang kembali pada kedua kavum nasi, obat-obat sebelumnya
dilanjutkan. Hari keenam pasca insisi dan drainase abses, drain dilepas tampon
anterior dilepas. Tampak kavum nasi dekstra dan sinistra lapang, konka inferior
eutropi, septum nasi hiperemis minimal, tidak dijumpai pembengkakan dan
perforasi. Tampon anterior dipasang kembali, terapi dilanjutkan. Pada hari ketujuh
mulai dilakukan ekstraksi gangren radiks secara bertahap sampai gigi gangren
habis. Pada hari keempat belas pasien sudah diperbolehkan untuk rawat jalan
dengan terapi pemberian antibiotik klindamisin 3x300 mg selama tujuh hari.
Hasil kultur resistensi didapatkan Staphylococcus aureus yang sensitif
dengan sefotaksim, amikasin, gentamisin dan klindamisin. Satu minggu setelah
dirawat, pasien kontrol ulang ke poliklinik THT RSMH Palembang, tidak ada lagi

15

keluhan hidung tersumbat, ataupun nyeri pada hidung, namun ditemukan


komplikasi berupa hidung pelana. Walaupun terdapat komplikasi berupa hidung
pelana pasien tidak mengeluhkan adanya gangguan pernafasan akibat hidung
pelana tersebut. Pemeriksaan fisik didapatkan kavum nasi kanan dan kiri lapang,
septum nasi tidak dijumpai perforasi, namun terdapat deviasi ke kiri, pasase
hidung lancar. Pemeriksaan rongga mulut ditemukan mukosa ginggiva sudah
kembali normal (gambar 6).

Gambar 6. Komplikasi berupa hidung pelana dan mukosa ginggiva yang kembali normal.

DISKUSI

Dilaporkan satu kasus abses septum nasi sebagai komplikasi infeksi gigi
pada seorang wanita berusia 65 tahun. Berdasarkan penelitian yang dilakukan
Jalaludin dari departemen otorinolaringologi Kuala Lumpur dari bulan Juni tahun
1981 sampai Juni 1991 dilaporkan sebanyak 14 kasus abses septum dimana 71,4%
laki-laki dan 28,6% perempuan. Rentang usia 6-55 tahun dengan rata-rata usia
25,8 tahun, dimana 43% terjadi pada usia 16-35 tahun. 13 Abses septum nasi
sebagai akibat penyebaran infeksi gigi sangat jarang terjadi, Da Silva dkk 5 pernah
melaporkan dua kasus abses septum nasi dan Ozan dkk 1 melaporkan satu pasien
abses septum nasi sebagai komplikasi infeksi gigi. Infeksi gigi dapat mencapai
septum melalui perluasan langsung. Lokasi anatomis yang berdekatan antara gigi
insisivus atas (regio maksila) dengan dasar hidung menjelaskan bahwa abses dari
gigi insisivus atas sentral dapat meluas dan menonjol ke dasar hidung.23
Anamnesis didapatkan keluhan utama pasien adalah benjolan kemerahan
di bagian tengah hidung kanan dan kiri disertai nyeri di puncak hidung, hidung
tersumbat, demam dan sakit kepala. Gejala tersering abses septum nasi adalah
hidung tersumbat yang progresif disertai nyeri berdenyut di puncak hidung, lesu,

16

demam, sakit kepala dan terasa lunak pada daerah sekitar hidung. Dari anamnesis
juga didapatkan adanya riwayat sakit gigi, bengkak pada gusi rahang atas depan
disertai keluarnya nanah pada gusi yang bengkak tersebut satu bulan yang lalu.
2,9,12,15,20,26

Diagnosis infeksi gigi ditegakkan berdasarkan anamnesis dimana

didapatkan adanya riwayat penyakit gigi, gingival edema atau gigi yang rusak
(gangren). Pada kasus dengan infeksi yang meluas ditemukan adanya
pembengkakan daerah muka, bibir dan dasar mulut. 1,5,22,23
Pada pemeriksaan fisik hidung luar terdapat deformitas pada hidung
berupa pembengkakan pada apeks nasi dan dorsum nasi. Rinoskopi anterior
tampak kavum nasi dekstra dan sinistra sempit, bengkak berwarna merah pada
kedua sisi septum nasi bagian inferior. Pada waktu perabaan terdapat fluktuasi dan
terasa nyeri pada daerah yang bengkak. Pada pemeriksaan daerah rongga mulut
dijumpai fisura di gingiva rahang atas bagian anterior. Hal ini sesuai dengan
kepustakaan bahwa pada abses septum nasi ditemukan deformitas pada hidung
luar disertai pembengkakan septum nasi baik unilateral maupun bilateral terutama
pada bagian anterior dengan warna bervariasi dari abu-abu sampai ungu
kemerahan, pada perabaan terasa lunak dan fluktuatif.

3,9,12,24

Infeksi dari gigi

insisivus atas kadang-kadang mengalami fistulisasi ke dasar kavum nasi.


Biasanya, abses periapikal yang disebabkan infeksi gigi insisivus atas akan pecah
dan mengalir ke rongga mulut dan kadang-kadang melalui gingiva.1,5,22,23
Pada pasien ini dilakukan pemeriksaan penunjang berupa pemeriksaan
laboratorium darah rutin dan kimia darah, radiologi toraks , sinus paranasal dan
foto panoramik gigi. Dari hasil foto sinus paranasal tidak dijumpai kelainan pada
sinus paranasal namun dari hasil foto ronsen panoramik didapatkan kesan berupa
sisa akar gigi insisivus rahang atas, tampak gambaran kista radikuler pada
insisivus 2 rahang atas sebelah kiri, insisivus 1, 2 dan kaninus rahang atas sebelah
kanan. Hal ini sesuai
mencari penyebab

kepustakaan, pemeriksaan penujang bertujuan untuk

yang berhubungan dengan terapi juga untuk melihat

kemungkinan komplikasi. Foto panoramik pada infeksi gigi biasanya ditemukan


osteitis, kista radikuler atau lusen pada periapikal gigi.23

17

Dari hasil kultur pus ditemukan mikroorganisme Staphylococcus aureus.


Bakteri penyebab abses septum nasi yang paling sering adalah Staphylococcus
aureus yang merupakan bakteri aerob gram positif. Penelitian Tavares dkk (2002)
melaporkan sebanyak 42,9% dari hasil kultur adalah Stafilokokus aureus, selain
itu juga ditemukan bakteri Streptokokus viridan (21,4%), Enterokokus fekalis
(7,1%) dan Streptokokus piogens (7,1%).21
Penatalaksanaan pada pasien ini berupa aspirasi jarum dilanjutkan insisi
dan drainase dengan anestesi lokal kemudian dipasang drain dan tampon hidung
anterior. Pemberian antibiotik ceftriaxone dan metronidazole intravena dilanjutkan
klindamisin per oral. Penatalaksanaan infeksi gigi sebagai fokal infeksi dilakukan
ekstraksi gangren radiks. Sesuai dengan kepustakaan, abses septum nasi
merupakan kasus emergensi yang harus ditangani sesegera mungkin berupa
aspirasi jarum, insisi, drainase dan pemasangan drain karet serta tampon anterior
hidung. Bakteri anaerob dapat juga menyebabkan abses septum nasi. Pada abses
septum nasi ataupun infeksi gigi diberikan antibiotik gram positif dan gram
negatif secara intravena selama 3-5 hari dilanjutkan pemberian antibiotik oral
selama 10 hari. Penambahan metronidazol untuk meningkatkan efektifitas
melawan bakteri anaerob. Jika gigi yang terlibat tidak dapat diidentifikasi lagi
maka gigi tersebut harus diekstraksi atau dilakukan perawatan akar gigi. 1,2,4,5,7,9,23
Tiga minggu setelah tindakan insisi dan drainase abses septum nasi, pada
pasien ini tidak ditemukan lagi hidung tersumbat dan kemerahan pada septum
namun ditemukan komplikasi berupa hidung pelana. Sesuai dengan kepustakaan,
abses septum nasi dapat menyebabkan komplikasi berupa perforasi septum,
hidung pelana, trombosis sinus kavernosus dan penyebaran ke intrakranial. 4,5,9,20
Pasien direncanakan untuk dilakukan rekonstruksi hidung tetapi keluarga pasien
belum bersedia karena tidak ditemukan adanya gangguan fungsi hidung. Menurut
literatur rekonstruksi hidung pada pasien hidung pelana akibat abses septum nasi
dapat dilakukan 8-12 minggu setelahnya.28-31

18

DAFTAR PUSTAKA
1. Ozan F, Polat S, Yeler H. Nasal septal abscess caused by dental infection:
A case report. The internet journal of otorhinolaryngology. 2006. Vol 4. No
2.
2. Dinesh R, Avatar S, et al. Nasal septal abscess with uncontrolled diabetes
mellitus. Case report. Med J Malaysia. 2011. Vol 66. No.3. p:253-254.
3. Lo SH, Wang PA. Nasal septal abscess as a complication of laser inferior
turbinectomy. Original article. Chang Gung Med J. 2004. Vol 27 (5). p:
390-392.
4. Salam B, Camilleri A. Non-traumatic nasal septal abscess in an
immunocompetent patient. Case report-rhinology. 2009. Vol 47. P:476477.
5. Da Silva M et al. Nasal septal abscess of dental origin. Arch otolaryngol.
1982. Vol 108. p: 380-381.
6. Canty PA, Berkowitz RG. Hematoma and abscess of the nasal septum in
children. Arch otolaryngol head and neck surg. 1996. Vol 122. p:13731376.

19

7. Menger DJ et al. Nasal septal abscess in children reconstruction with


autologous cartilage grafts on polydioxanone plate. Arch otolaryngol head
neck surgery. 2008. Vol 134(8). p: 842-847.
8. Ballenger JJ. Koreksi bedah kelainan septum obstruktif. Dalam: Penyakit
talinga, hidung, tenggorokan, kepala dan leher. Edisi 13. Jilid 1. Jakarta:
Bina Rupa Aksara. 1997. hal: 99-111.
9. Friedman M, Vidyasagar R. Surgical management of septal deformity,
turbinate hypertrophy, nasal valve collapse anad choanal atersia. In: Bailey
BJ et al ed. Head and neck surgeryatolaryngolog. Vol. 1. Philadelphia. JB
Lippincot company. 1993. p: 319-334.
10. Nizar NW, Mangunkusumo E. Kelainan septum. Dalam: Soepardi EA dkk.
Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala & Leher.
Edisi 6. Balai penerbit FK UI. Jakarta 1990. hal: 126-134.
11. Lee KJ. The nose and paranasal sinuses. In: Lee KJ. Essential
otolaryngology head and neck surgery. 9th ed. New York: McGraw-Hill
companies. 1999. p: 365-412.
12. Haryono Y. Abscess septum dan sinusitis maksilaris. Majalh kedokteran
nusantara. 2006. Vol 39 (3). hal:359-362.
13. Jalaludin MAB. Nasal septal abscess-retrospective analysis of 14 cases
from university hospital, Kuala Lumpur. Singapore Med J. 1993. Vol 34. p:
435-437.
14. Walsh WE, Kern RC. Sinonasal anatomy, function and evaluation. In:
Bailey. Head and Neck Surgery Otolaryngology. 4 th ed. Philadelphia:
Lippincot-Raven. 2006. p: 307-318.
15. Ngo J. Nasal septal hematoma drainage. Cyted January 3 rd 2012. Available
from. http://emedicine.medscape.com/article/149280.
16. Soetjipto D, Wardani RS. Hidung. Dalam: Soepardi AF dkk. Buku Ajar
Ilmu Kesehatan THT Kepala dan Leher. Edisi 6. Cetakan ke-3. Jakarta:
Balai Penerbit FKUI. 2009. hal: 118-125.
17. Ballenger JJ. Aplikasi klinis anatomi dan fisiolgi hidung & sinus
paranasal. Dalam: Penyakit talinga, hidung, tenggorokan, kepala dan leher.
Edisi 13. Jilid 1. Jakarta: Bina Rupa Aksara. 1997. hal: 1-27.
18. Lund VJ. Anatomy of the nose and paranasal sinuses. In: Scott and
Browns
Otolaryngology.
6thed.
Great
Britain:
ButterwortHeinemann.1997. vol 1(5). p:11-14.
20

19. Wangidjaja I. Anatomi rongga mulut dan jaringan sekitarnya. Dalam:


Anatomi Gigi. edisi 3. EGC; 1991.
20. Pang KP, Sethi DS. Nasal septal abscess an unusual complication of acute
spheno-etmoiditis. The journal of laryngology & otology. 2002. Vol 116. p:
543-545.
21. Tavares RA, Neves MC, Angelico FV dkk. Septal Haematoma and
Abscess: Study of 30 Cases. Brazilian Journal of Otorhinilaryngology
2002;66:800-803.
22. Smith RA. Jaw cysts. In: Lalwani AK. Current Diagnosis & Treatment
Otolaryngology Head and Neck Surgery. 3rd ed. New York: McGraw-Hill
companies. 2012. p: 394-406.
23. Lawson W, Reino AJ, Westreich RW. Odontogenic infections. In: Bailey
BJ et al. Ed. Head and neck surgery otolaryngology. Vol 2. Philadelphia:
JB Lippincott company. 1993. p: 615-629.
24. Huang PH, Chiang YC, Yang TH dkk. Clinical Photograph Nasal Septal
Abscess. Otolaryngology-Head and Neck Surgery 2006;135:335-336.
25. Santiago R, Villalonga P, Maggioni A. Nasal Septal Abscess: A Case
Report International Pediatrics 1999;14:229-231.
26. Jafek BW, Dodson BT. Nasal Obstruction. In: Bailey BJ ed. Head and
Neck Surgery Otolaryngology. 3rd ed. Philadelpia: Lippincot-Raven
2001:p306.
27. Ballenger JJ. Koreksi bedah kerusakan wajah. Dalam: Penyakit talinga,
hidung, tenggorokan, kepala dan leher. Edisi 13. Jilid 1. Jakarta: Bina
Rupa Aksara. 1997. hal: 28-98.
28. Escario JC, Najera RC, Salamanca JE, Benito MB. Post-Traumatic
Haematoma and Abscess in the nasal Septa of Children. Acta
Otorrinolaringol Esp 2008;50(3):139-141
29. Schrader M, Jahnke K. Tragal Cartilage in the Primary Reconstruction of
Defects Resulting from A Nasal Septal Abscess. Clinical otolaryngology
2005;20:527-529
30. Menger DJ, Ivar CT, Trenite GJN. Treatment of Septal Hematomas and
Abscesses in Children. Facial Plast Surg 2001;23:239-244
31. Menger DJ, Ivar CT, Trenite GJN. Nasal Septal Abscess in Children. Arch
Otolaryngology Head Neck Surgery August 2008;134

21

22

23

Infeksi odontogenik dapat berasal dari tiga jalur, yaitu (1) jalur periapikal, sebagai
hasil dari nekrosis pulpa dan invasi bakteri ke jaringan periapikal; (2) jalur
periodontal, sebagai hasil dari inokulasi bakteri pada periodontal poket; dan (3)
jalur perikoronal, yang terjadi akibat terperangkapnya makanan di bawah
operkulum tetapi hal ini terjadi hanya pada gigi yang tidak/belum dapat tumbuh
sempuna. Dan yang paling sering terjadi adalah melalui jalur periapikal
(Karasutisna, 2001). Infeksi odontogen biasanya dimulai dari permukaan gigi
yaitu adanya karies gigi yang sudah mendekati ruang pulpa (Gambar 1), kemudian
akan berlanjut menjadi pulpitis dan akhirnya akan terjadi kematian pulpa gigi
(nekrosis pulpa). Infeksi odontogen dapat terjadi secara lokal atau meluas secara
cepat. Adanya gigi yang nekrosis menyebabkan bakteri bisa menembus masuk
ruang pulpa sampai apeks gigi. Foramen apikalis dentis pada pulpa tidak bisa
mendrainase pulpa yang terinfeksi. Selanjutnya proses infeksi tersebut menyebar
progresif ke ruangan atau jaringan lain yang dekat dengan struktur gigi yang
nekrosis tersebut (Cilmiaty, 2009).

Gambar 1 Ilustrasi keadaan gigi yang mengalami infeksi dapat


menyebabkan abses odontogen. (A) Gigi normal, (B) gigi mengalami
karies, (C) gigi nekrosis yang mengalami infeksi menyebabkan abses.
Sumber : Douglas & Douglas, 2003
Infeksi odontogen dapat menyebar secara perkontinuatum, hematogen dan
limfogen, yang disebabkan antara lain oleh periodontitis apikalis yang berasal dari
gigi nekrosis, dan periodontitis marginalis. Infeksi gigi dapat terjadi melalui
24

berbagai jalan: (1) lewat penghantaran yang patogen yang berasal dari luar mulut;
(2) melalui suatu keseimbangan flora yang endogenus; (3) melalui masuknya
bakteri ke dalam pulpa gigi yang vital dan steril secara normal (Cilmiaty,
2009). Infeksi odontogen menyebar ke jaringan-jaringan lain mengikuti pola
patofisiologi yang beragam dan dipengaruhi oleh jumlah dan virulensi
mikroorganisme, resistensi dari host dan struktur anatomi dari daerah yang terlibat
(Soemartono, 2000).
Pada tahap awal fase selular ditandai dengan akumulasi pus dalam
tulang alveolar yang disebut sebgai abses intraalveolar. Pus kemudian
menyebar keluar setelah terjadi perforasi tulang menyebar ke ruang
subperiosteal. Periode ini dinamakan abses subperiosteal, dimana pus
dalam jumlah terbatas terakumulasi di antara tulang dan periosteal.
Setelah terjadi perforasi periosteum, pus kemudian menyebar ke
berbagai arah melalui jaringan lunak.

Gambar. 2 Perdarahan septum nasi24

25

Akar palatal dari gigi posterior dan lateral gigi seri rahang
atas dianggap bertanggung jawab atas penyebaran nanah
ke arah palatal
Penyebaran infeksi odontogen ke dalam jaringan lunak
dapat berupa abses. Secara harfiah, abses merupakan
suatu lubang berisi kumpulan pus terlokalisir akibat
proses supurasi pada suatu jaringan yang disebabkan oleh
bakteri piogenik. Abses yang sering terjadi pada jaringan
mulut adalah abses yang berasal dari regio periapikal.
Sebuah gigi mempunyai mahkota, leher dan akar. Mahkota gigi menjulang di
atas gusi, lehernya dikelilingi gusi dan akarnya berada di bawahnya. Gigi dibuat
dari bahan yang sangat keras, yaitu dentin. Di dalam pusat strukturnya terdapat
rongga pulpa. Gigi seri tengah rahang atas biasanya gigi yang paling terlihat,
karena mereka adalah bagian tengah atas dua gigi di bagian depan mulut, dan
mereka berada mesial dengan panjang keseluruhan maxillary lateral yang
incisor.The dari rahang atas gigi insisivus sentralis gugur adalah 16 mm pada
Rata-rata, dengan mahkota yang 6 mm dan akar menjadi 10 mm [17]
dibandingkan dengan maksila sentral permanen insisivus, rasio panjang akar
dengan panjang mahkota. lebih besar pada gigi sulung. Diameter mahkota
mesiodistally lebih besar dari panjang cervicoincisally, yang membuat gigi
tampak lebih luas daripada tinggi dari sudut pandang labial.

The maxillary central incisors are usually the most visible teeth, since they are the
top center two teeth in the front of a mouth, and they are located mesial to the
maxillary lateral incisor.The overall length of the deciduous maxillary central
incisor is 16 mm on average, with the crown being 6 mm and the root being
10 mm.[17] In comparison to the permanent maxillary central incisor, the ratio of
the root length to the crown length is greater in the deciduous tooth. The diameter
of the crown mesiodistally is greater than the length cervicoincisally, which makes
the tooth appear wider rather than taller from a labial viewpoint.
The permanent maxillary central incisor is the widest tooth mesiodistally in
comparison to any other anterior tooth. It is larger than the neighboring lateral
incisor and is usually not as convex on its labial surface. As a result, the central
incisor appears to be more rectangular or square in shape. The mesial incisal angle
is sharper than the distal incisal angle. When this tooth is newly erupted into the
mouth, the incisal edges have three rounded features called mammelons. [18]
Mammelons disappear with time as the enamel wears away by friction.
Maxillary lateral incisor
Main article: Maxillary lateral incisor

26

The maxillary lateral incisor is the tooth located distally from both maxillary
central incisors of the mouth and mesially from both maxillary canines.
Maxillary canine
Main article: Maxillary canine
The maxillary canine is the tooth located laterally from both maxillary lateral
incisors of the mouth but mesially from both maxillary first premolars. It is the
longest tooth in total length, from root to the incisal edge, in the mouth.

Infeksi odontogenik adalah infeksi yang disebabkan oleh bakteri yangmerupakan


flora normal dalam mulut, yaitu bakteri dalam plak, dalam sulcusgingival, dan
mukosa mulut. Anatomi regio dentoalveolar dikelilingi oleh sinus maksilaris dan
batas inferior kavum nasi di bagian atasnya dan ramus mandibula di bagian
bawahnya.
Etiologi tersering adalah bakteri kokus aerobgram positif, kokus anaerob gram
positif, dan batang anaerob gram negative.Bakteri-bakteri tersebut dapat
menyebabkan karies, gingivitis, dan periodonititis. Jika bakteri mencapai jaringan
yang lebih dalam melaluinekrosis pulpa dan pocket periodontal dalam, maka akan
terjadi infeksiodontogenik.

INTERNAL CAROTID A.
Ant. Etmoid a.
Post.etmoid a.

Dorsal nasal a.
Kieselbach

Collumellar a.
Sup labial a.

Sphenopalatina a.

27

Facial a.

Internal maxillary a.

EXTERNAL CAROTID A.

Persarafan
Bagian anterior dan superior rongga hidung mendapat persarafan sensoris
dari nervus etmoidalis anterior yang merupakan cabang dari nervus nasosiliaris
yang berasal dari nervus oftalmikus (n.V-1). Rongga hidung lainnya, sebagian
besar mendapat persarafan sensoris dari nervus maksila melalui ganglion
sfenopalatinum.22,23,25
Ganglion sfenopalatinum selain memberikan persarafan sensoris, juga
memberikan persarafan vasomotor atau otonom untuk mukosa hidung. Ganglion
ini menerima serabut sensoris dari nervus maksila (n.V-2), serabut parasimpatis
dari nervus petrosus profundus. Disamping mempersarafi hidung, ganglion
sfenopalatina mempersarafi kelenjar lakrimalis dan palatum 24,21

Gambar 3. Persarafan septum nasi24

28

Anda mungkin juga menyukai