Anda di halaman 1dari 3

Perjanjian Dwi Kewarganegaraan antara RRC dan Indonesia

Perjanjian

Dwikewarganegaraan

merupakan

perjanjian

antara

pemerintah Republik Indonesia dan Republik Rakyat Tiongkok mengenai


kewarganegaraan ganda. Perjanjian ini diresmikan oleh Menteri Luar
Negeri Soenario dan Chou EnLai pada 22 April 1955 di Bandung.
Timbulnya dwikewarganegaraan bersumber pada adanya dua asas
yang dipergunakan sebagai dasar untuk mengatur kewarganegaraan suatu
negara, Ius soli atau berdasarkan tempat kelahiran dan ius sanguinis
atau berdasarkan keturunan.Penggunaan asas yang berbeda dari setiap
negara itulah yang akhirnya menimbulkan dwikewarganegaraan.Mereka
yang
merupakan golongan dwikewarganegaraan terbanyak diantaranya golongan
keturunan

Tionghoa.

Ini

berkaitan

dengan

syarat

Bukti

Kewarganegaraan Indonesia atau SBKRI.Dasar hukum SBKRI adalah


Undang-Undang no. 62 tahun 1958 tentang Kewarga-negaraan Republik
Indonesia yang dikeluarkan oleh Menteri Kehakiman G.A. Maengkom dan
disahkan oleh Presiden Soekarno.
Salah satu alasan utama yang selalu dikemukakan adalah bahwa
kebijakan

SBKRI

merupakan

konsekuensi

dari

klaim

politik

pemerintahan Mao Zedong bahwa semua orang Tionghoa di seluruh dunia


termasuk Indonesia adalah warga negara Republik Rakyat Cina karena
asas ius sanguinis(keturunan darah).
Kebijaksanaan itu kemudian ditindaklanjuti dengan Perjanjian DwiKewarganegaraan RI-RRT antara Chou En Lai dan Mr. Soenario pada 1955.
Dalam

Pasal

12

Bab

II

Peraturan

Pemerintah

No

20/1959

tentang

Pelaksanaan Undang-Undang tentang Persetujuan Antara Republik Indonesia

dan Republik Rakyat Tiongkok disebutkan bahwa ada berbagai kelompok


WNI yang dikelompokkan sebagai WNI tunggal atau mereka yang
tidak diperkenankan untuk memilih kewarganegaraan RI-RRT dan
tetap menjadi WNI, yaitu untuk mereka yang berstatus misalnya
tentara, veteran, pegawai pemerintah, yang pernah membela nama
Republik Indonesia di dunia Internasional, petani atau bahkan
secara implisit mereka yang sudah pernah ikutPemilu 1955. Tapi
peraturan

ini

tidak

dilaksanakan

dan

tetap

saja

perjanjian

dwikewarganegaraan dengan kewajiban memilih kewarganegaraan RI atau


RRT diterapkan kepada mereka.
Perjanjian Dwikewarganegaraan RI-RRT ini yang dituangkan dalam UU
No 2/1958 pada tanggal 11 Januari 1958 dan diimplementasikan dengan PP
No 20/1959 dengan masa opsi 20 Januari 1960 hingga 20 Januari 1962,
sudah menyelesaikan permasalahan dwikewarganegaraan RI-RRT. Dengan
demikian, setelah perjanjian dwikewarganegaraan tersebut dibatalkan pada
10 April 1969 dengan UU No 4/1969, permasalahan status WNI Tionghoa
sudah terselesaikan dan anak-anak WNI Tionghoa yang lahir setelah tanggal
20 Januari 1962 sudah menjadi WNI tunggal, yang setelah dewasa tidak
diperbolehkan

lagi

untuk

memilih

kewarganegaraan

lain-selain

kewarganegaraan Indonesia (Penjelasan Umum UU No 4/1969) dan tidak


perlu lagi membuktikan kewarganegaraan dengan SBKRI.
Dalam pemilihan kewarganegaraan, orang Tionghoa diberi kesempatan
untuk memilih dalam jangka waktu 2 tahun (1960-1962). Janji yang
diberikan

oleh

pemerintah kepada etnis Tionghoa yaitu diperlakukan hak yang sama dan
tidak
ada unsur paksaan untuk pilihannya. Dalam kenyataannya, untuk mengurus
suratsurat
pernyataan

untuk

menjadi

kewarganegaraan

Tiongkok

maupun

WNI

dipersulit. Selain itu untuk menghindari adanya diskriminasi,kelompok


asimilasi
menganjurkan untuk anak-anak Tionghoa agar diubah menjadi nama
Indonesia.
Penggantian nama ini telah dilakukan hampir seluruh orang Tionghoa di
Glodok
yang sudah menjadi Warga Negara Indonesia. Di tahun 1959 pemerintah
membatasi orang tionghoa dengan mengeluarkan Peraturan Pemerintah
no.10.

Peraturan Presiden

ini

tidak

berlaku

di

Jakarta

khususnya

di

Glodok.Selama
adanya PP tersebut, orang Tionghoa di Glodok mengungsi ke kampung
Selam
(Islam) yang berada di daerah Krukut, Jakarta Pusat dan Pekojan, Jakarta
Barat.

Anda mungkin juga menyukai