Anda di halaman 1dari 3

Contoh Perjanjian : treaty contact

PERJANJIAN DWIKEWARGANEGARAAN: KEHIDUPAN ETNIS


TIONGHOA DI GLODOK (1955-1969)

Perjanjian Kewarganegaraan Ganda Indonesia-Tiongkok adalah perjanjian


bilateral antara Republik Rakyat Tiongkok dan Republik
Indonesia tentang kewarganegaraan ganda warga Tionghoa Indonesia.
Perjanjian ini ditandatangani oleh Zhou Enlai, Perdana Menteri dan
Menteri Luar Negeri Tiongkok, dan Sunario, Menteri Luar Negeri Indonesia, pada
tanggal 22 April 1955 semasa Konferensi Asia–Afrika di Bandung.
Pasca ratifikasi oleh kedua belah pihak, perjanjian ini diberlakukan tanggal 20
Januari 1960 setelah bertukar dokumen ratifikasi di Beijing.
Nama resmi perjanjian ini adalah Persetujuan Perjanjian antara Republik
Indonesia dan Republik Rakyat Tiongkok Mengenai Soal Dwi Kewarganegaraan
Perjanjian Dwikewarganegaraan merupakan perjanjian antara
pemerintah
Republik Indonesia dan Republik Rakyat Tiongkok mengenai kewarganegaraan
ganda. Timbulnya dwikewarganegaraan bersumber pada adanya dua asas yang
dipergunakan sebagai dasar untuk mengatur kewarganegaraan suatu negara, Ius
soli atau berdasarkan tempat kelahiran dan ius sanguinis atau berdasarkan
keturunan.Penggunaan asas yang berbeda dari setiap negara itulah yang
akhirnya menimbulkan dwikewarganegaraan.Mereka yang merupakan golongan
dwikewarganegaraan terbanyak diantaranya golongan keturunan Tionghoa.
Masalah dwikewarganegaraan diselesaikan dengan cara menghilangkan
salah satu kewarganegaraan yang serempak dimiliki seseorang. Pada hakikatnya
dalam perjanjian tersebut diatur dan ditentukan siapa saja orang Tionghoa di
Indonesia yang diakui berstatus WNI dan siapa saja yang berstatus warga
negara RRT.
Perjanjian Dwikewarganegaraan RI-RRT ini yang dituangkan dalam UU No
2/1958 pada tanggal 11 Januari 1958 dan diimplementasikan dengan PP No
20/1959 dengan masa opsi 20 Januari 1960 hingga 20 Januari 1962, sudah
menyelesaikan permasalahan dwikewarganegaraan RI-RRT. Dengan demikian,
setelah perjanjian dwikewarganegaraan tersebut dibatalkan pada 10 April 1969
dengan UU No 4/1969, permasalahan status WNI Tionghoa sudah terselesaikan
dan anak-anak WNI Tionghoa yang lahir setelah tanggal 20 Januari 1962 sudah
menjadi WNI tunggal, yang setelah dewasa tidak diperbolehkan lagi untuk
memilih kewarganegaraan lain-selain kewarganegaraan Indonesia (Penjelasan
Umum UU No 4/1969) dan tidak perlu lagi membuktikan kewarganegaraan
dengan SBKRI.

ISI :
Dalam perjanjian tersebut Indonesia dan Tiongkok menyepakati hal-hal
berikut ini:
a. Suatu golongan yang mempunyai dwikewarganegaraan dianggap tidak
mempunyai kewarganegaraan rangkap lagi, karena menurut pendapat
Pemerintah Indonesia kedudukan sosial politik mereka membuktikan
bahwa mereka dengan sendirinya telah melepaskan kewarganegaraan
RRT-nya.
b. Mereka yang berkewarganegaraan rangkap selain butir a, harus memilih
dengan kehendak sendiri. Salah satu kewarganegaraan yang dipilh harus
mereka pertahankan. Ketentuan tersebut menyatakan mereka yang tidak
melakukan pilihannya berarti menolak menjadi warga negara asing.
Suami/istri yang berkewarganegaraan rangkap menentukan pilihannya
masing-masing. Selama anak belum dewasa, kewarganegaraannya
mengikuti pilihan bapak/ibunya dan setelah dewasa anak tersebut harus
memilih salah satu kewarganegaraan.
Pelaksanaan pemilihan kewarganegaraan menggunakan sistem aktif.
Sistem aktif ini, seseorang harus menentukan pilihannya dengan menyatakan
menerima satu kewarganegaraan dan melepas kewarganegaraan lain
dihadapan petugas negara. Sistem aktif, yaitu penerimaan atau pelepasan suatu
kewarganegaraan yang harus dilakukan dengan membuat pernyataan di depan
pengadilan

Perjanjian Dwikewarganegaraan Indonesia-Tiongkok ini memiliki sifat treaty


contract dan tidak bisa menjadi Law Making Treaty karena perjanjian ini adalah
perjanjian bilateral (diadakan oleh dua pihak) dan hanya mengikat pihak-pihak
yang mengadakan perjanjian yaitu Indonesia dan Tiongkok dan Legal Effectnya
hanya mengikat Indonesia dan Tiongkok selaku pihak yang mengadakan
perjanjian tersebut dan bersifat tertutup bagi pihak ketiga. Oleh karena itu
Perjanjian Dwikewarganegaraan Indonesia-Tiongkok (Treaty Contract) ini tidak
melahirkan aturan-aturan hukum yang berlaku umum, sehingga tidak dapat
dikategorikan sebagai perjanjian yang membentuk hukum (Law Making Treaty).

Anda mungkin juga menyukai