Anda di halaman 1dari 3

Konflik dari aduanya Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1958 tentang Persetujuan Perjanjian

Antara Republik Indonesia dan Republik Rakyat Tiongkok Mengenai Dwikewarganegaraan,


adalah:

Undang-Undang No. 2 Tahun 1958 pada awalnya merupakan undang-undang yang mengatur
tentang persetujuan antara Republik Indonesia dengan Republik Rakyat Tiongkok mengenai
dwi kewarganegaraan. Kemudian undang-undang tersebut menimbulkan permasalahan
sehingga akibatnya undang-undang itu harus diganti yaitu dengan Undang-Undang No. 4
Tahun 1969. Persetujuan atau perjanjian pada ketentuan Undang-Undang No. 2 Tahun 1958
tujuan utamanya adalah untuk menyelesaikan permasalahan dwi kewarganegaraan yang
terjadi di antara Republik Indonesia dan Republik Rakyat Cina, tetapi ternyata di dalam
peraturan tersebut terdapat ketentuan-ketentuan atau hal-hal yang menimbulkan masalah
baru. Pada Pasal VI perjanjian tersebut ditentukan bahwa siapa saja yang serempak memiliki
kewarganegaraan Republik Indonesia dan Republik Rakyat Tiongkok dan belum dewasa
pada waktu perjanjian tersebut mulai berlaku maka harus memilih satu di antara
kewarganegaraan Republik Indonesia dan Republik Rakyat Tiongkok itu dalam waktu satu
tahun setelah seseorang itu telah dewasa. Hal tersebut menjadi masalah karena dianggap akan
ada orang-orang yang dapat dengan mudah dan seenaknya menukar kewarganegaraan
Republik Rakyat Tiongkoknya dengan kewarganegaraan Republik Indonesia ataupun
sebaliknya, apabila hak tersebut terjadi akan dengan sangat mudah berpotensi adanya
penyelewenganpenyelewengan dan/atau sikap sewenang-wenang yang tentunya akan
merugikan pihak Republik Indonesia. Pada ketentuan Pasal 1 ayat (2) mengenai cara
pelaksanaan perjanjian itu juga memberikan perlakuan khusus kepada orang yang dalam
jangka waktu antara 27 Desember 1949 hingga 27 Desember 1951 masih belum dewasa dan
yang mengikuti orang tuanya dianggap masih memiliki dwi kewarganegaraan serta berhak
memilih satu di antara 2 (dua) kewarganegaraan tersebut, hal tersebut tentu saja bertentangan
dengan prinsip persamaan di hadapan hukum yang dijamin oleh Undang-Undang Dasar dan
merupakan tindakan diskriminatif atas hak-hak orang lain yang seharusnya semua
disamaratakan dan mendapatkan hak itu sebagaimana mestinya. Hakekat ketentuan pada
undangundang tersebut juga dianggap membahayakan keselamatan Republik Indonesia
karena ketentuan tersebut tidak memberikan hak kepada Pemerintah Republik Indonesia
untuk melakukan filter atau penyaringan terhadap orang asing yang ingin menjadi warga
negara Republik Indonesia. Kesimpulannya adalah ketentuanketentuan pada Undang-Undang
No. 2 Tahun 1958 menimbulkan kontra atau permasalahan karena orang-orang dapat dengan
mudah mempermainkan atau menukar-nukar status kewarganegaraannya dengan semena-
mena sehingga itulah pemicu timbulnya suatu ketidakpastian hukum bagi warga negara,
tindakan sewenang-wenang dan prinsip persamaan di hadapan hukum tidak digunakan atau
tidak dianggap lagi keberadaannya.

Dalam Pasal VI dinyatakan bahwa barangsiapa yang serempak mempunyai kewarganegaraan


Republik Indonesia dan Republik Rakyat Tiongkok, belum dewasa pada waktu perjanjian
mulai berlaku, harus memilih satu diantara kewarganegaraan Republik Indonesia dan
kewarganegaraan Republik Rakyat Cina itu dalam waktu satu tahun setelah ia dewasa.
Akibatnya semua orang yang pada saat itu memiliki kewarnegaraan Republik Rakyat Cina
dapat menukarnya dengan kewarganegaraan Republik Indonesia atau juga dapat
mempertahankan kewarnegaraannya sebagai rakyat Cina. Hal ini merupakan hal krusial yang
dapat membuat Negara Indonesia rugi, hal ini disebabkan karena proses yang dilalui untuk
merubah kewarnegaraan ini bukanlah hal yang instan dan terkesan tidak praktis; belum lagi
persyaratan-persyaratan lain yang harus dilakukan untuk pembiasaan masyarakat
dwikewarnegaraan pada saat itu. kurangnya efektifitas dalam penetapan kewarnegaraan ini
dapat berdampak pada ekonomi, sosial dan politik negara Indonesia.

Ketentuan ini ditujukan untuk mengizinkan orang asing atau orang dengan
dwikewarnegaraan menjadi warganegara Republik Indonesia tanpa memberi hak kepada
Pemerintah Republik Indonesia untuk melakukan penyaringan, hal ini tentu saja berbahaya
dan dapat merugikan Negara Indonesia karena tanpa adanya penyaringan; Negara Indonesia
menjadi tidak tahu latar belakang dari orang-orang yang akan menjadi calon warga negara
Indonesia. Selanjutnya juga tentang hak repudiasi dan hak opsi yang memperparah keadaan
dalam mengatasi

Solusi

Solusi yang diberikan untuk Pasal 1 UU No. 4 Tahun 1969 yang menyatakan tidak
berlakunya UU No. 2 Tahun 1958 Dikeluarkannya UU No. 4 Tahun 1969 yang menyatakan
tidak berlakunya UU No. 2 Tahun 1958. Hal ini dapat dilihat dalam Pasal 1 UU No. 4 Tahun
1969 yang menyatakan bahwa “Undang-undang No. 2 tahun 1958 tentang Persetujuan
Perjanjian antara Republik Indonesia dan R.R.T. mengenai soal Dwikewarganegaraan beserta
peraturan-peraturan pelaksanaannya dinyatakan tidak berlaku pada saat berlakunya Undang-
undang ini.” Dikeluarkannya UU Nomor 62 Tahun 1958 tentang Kewarganegaraan Republik
Indonesia sesuai yang tertulis pada Pasal 4 UU No. 4 Tahun 1969. Pasal 5 ayat (2) – (4) UU
No. 62 Tahun 1958 yang dapat dikatakan menyelesaikan permasalahan hak opsi dengan
stelsel yang pasif (otomatis) dengan mengajukan permohonan kepada Menteri Kehakiman
melalui Pengadilan Negeri ataupun Perwakilan Republik Indonesia dari tempat tinggal
pemohon dengan terlebih dahulu memenuhi persyaratannya. Sedangkan dalam Pasal 2 ayat
(1) UU No. 62 Tahun 1958 bagi anak yang berusia dibawah 5 tahun dan diangkat anak oleh
WNI akan memperoleh kewarganegaran Indonesia dengan meminta pengesahan kepada
Pengadilan Negeri. Kemudian dalam Pasal 17 huruf a UU No. 62 Tahun 1958 yang
menyatakan bahwa seseorang dapat kehilangan kewarganegaraan Republik Indonesia karena
“memperoleh kewarga-negaraan lain karena kemauannya sendiri, dengan pengertian bahwa
jikalau orang yang bersangkutan pada waktu memperoleh kewarga-negaraan lain itu berada
dalam wilayah Republik Indonesia kewarga-negaraan Republik Indonesianya baru dianggap
hilang apabila Menteri Kehakiman dengan persetujuan Dewan Menteri atas kehendak sendiri
atau atas permohonan orang yang bersangkutan menyatakannya hilang.” Dan dalam Pasal 17
huruf d yang mengatakan bahwa “anak yang diangkat dengan sah oleh orang asing sebagai
anaknya, jika anak yang bersangkutan belum berumur 5 tahun dan dengan kehilangan
kewarga-negaraan Republik Indonesia tidak menjadi tanpa kewarga-negaraan.” Jadi,
ketentuan tersebut mengatur hak opsi dengan stelsel aktif atau dibarengi mekanisme
pengajuan permohonan terlebih dahulu kepada Menteri Kehakiman untuk dapat diberikan
pengesahan. Hal ini membedakan undang-undang ini dengan undang-undang sebelumnya.
Selain itu, negara memiliki hak untuk menerima atau menolak aplikasi dan mencabut
kewarganegaraan warga negara, memastikan bahwa kelompok tertentu (mereka yang berusia
di bawah mayoritas) tidak mendapat perlakuan khusus. persamaan di depan hukum.

Anda mungkin juga menyukai