Anda di halaman 1dari 3

Nama : Ainun Yulia Salsa Billa

Nim : 20220610318

Kelas : G

Tugas resume Putusan Mahkamah Konstitusi terkait Permohonan Uji Materi terhadap Pasal 2
Ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan

Pada tahun 2022 Mahkamah Konstitusi mendapatkan surat Permohonan Pengujian Materiil
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 1974 Nomor 1, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3019)
yang telah diubah dalam Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perubahan atas
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan terhadap Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Pemohon bernama E Ramos Petege mengajukan permohonan kepada Mahkamah Konstitusi


karna merasa dirugikan oleh pasal 2 ayat (1) dan (2) serta pasal 8 huruf f UU Perkawinan yang
menyebabkan pemohon tidak bisa melaksanakan perkawinan dikarenakan pasangan tersebut
memiliki perbedaan agama walaupun mereka sudah menjalin hubungan lama yaitu selama 3
tahun, karna dalam pasal tersebut berbunyi “Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut
hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu.” Sayangnya mereka memiliki agama
yang berbeda pemohon merupakan Warga Negara Indonesia yang memeluk agama Khatolik
memiliki hubungan dengan seorang wanita yang memeluk agama Islam. Karena hal ini mereta
tetap tidak bisa melaksanakan perkawinan sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan yang
berlaku di bidang perkawinan tidak memungkinkan untuk dilakukan perkawinan beda agama,
maka pada akhirnya perkawinan tersebut haruslah dibatalkan.

Pengaturan mengenai perkawinan beda agama mengandung ketidakjelasan dan ketidaktegasan


hal ini secara actual berdampak pada ketentuan yang ada telah melanggar hak-hak konstitusional
yang dimiliki pemohoon sehingga ia tidak dapat melangsungkan perkawinannya berdasarkan
kehendak bebas dan kebebasan beragama yang justru terkendala karena perbedaan agama.
Pemohon telah kehilangan kemerdekaannya untuk melakukan perkawinan karrna jika ingin tetap
melakukan perkawinan maka dari salah satu mereka harus menundukan agama atau
kenyakinanya dan mengikuti salah satu dari mereka, agar dapat melaksanakan perkawinan.

Ambiguitas keabsahan Perkawinan yang diatur dalam ketentuan Pasal 2 Ayat (1) dan (2) dan
Pasal 8 huruf f UU Perkawinan bertentangan dengan prinsip kemerdekaan dan kebebasan
beragama yang dijamin dalam ketentuan Pasal 29 Ayat (1) dan (2) UUD NRI Tahun 1945 serta
tidak mampu memberikan kepastian hukum kepada masyarakat sehingga bertentangan pula
dengan Pasal 28D Ayat 1 UUD NRI Thaun 1945

Konsekuensi dari dianutnya ideologi pancasila oleh negara yaitu membuat penyelenggaraan
pemerintah negara tidak bisa memisahkan urusan agama dan negara. Hak Konstitusional setiap
warga negara untuk dapat secara merdeka memeluk agama yang diyakininya adalah hak yang
dimiliki oleh setiap penduduk di Indonesia tanpa terkecuali. Dengan mengingat hal tersebut
permasalahan agama dan negara harus dipisahkan dan intervensi negara dalam urusan agama
hanya sebatas lingkup administrasi, yang berkaitan dengan fasilitas, sarana dan prasarana, bukan
pada materi atau substansi agamanya. Dengan kata lain negara tidak mencampuri urusan ibadah
agama atau kepercayaan yang ada di Indonesia akan tetapi menjamin keberlangsungan
peribadatan tersebut dapat terlaksana dan terpenuhi dengan baik.

Bahwa hak atas kebebasan dan kemerdekaan untuk memilih atau agama dan kepercayaan
tertentu merupakan hak konstitusional yang dijamin perlindungannya dalam Pasal 29 ayat (1)
dan (2) UUD NRI Tahun 1945, sebagai berikut:

a) Pasal 29 ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 menyatakan: "Negara berdasar atas Ketuhanan Yang
Maha Esa"

b) Pasal 29 ayat (2) UUD NRI Tahun 1945 menyatakan: "Negara menjamin kemerdekaan tiap-
tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing- masing dan untuk beribadat menurut
agamanya dan kepercayaannya itu"

Bahwa esensi Perkawinan sebagai hak asasi manusia telah diatur dalam Pasal 10 Undang-
Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia selanjutnya disebut UU HAM, yang
menyatakan sebagai berikut: Pasal 10
(1) Setiap orang berhak membentuk suatu keluarga dan melanjutkan keturunan melalui
perkawinan yang sah.

(2) Perkawinan yang sah hanya dapat berlangsung atas kehendak bebas calon suami dan calon
istri yang bersangkutan, sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Penjelasan Ayat (2) bahwa: "Yang dimaksud dengan "kehendak bebas adalah kehendak yang
lahir dari niat yang suci tanpa paksaan, penipuan, atau tekanan apapun dan dari siapapun
terhadap calon suami dan atau calon isteri."

Dalam hal ini bawasannya ketundukan kepercayaan atau agama tidak didasari oleh paksaan,
perkawinan hanya dapat dilakukan dengan kehendak bebas (tanpa paksaan) dari pasangan
sejatinya perkawinan beda agama itu merupakan kodrati yang tidak bisa dipaksakan oleh negara
melalui perangkat hukum yang dibentuknya dan terhadap pasal 2 ayat (1) dalam perkara bahwa
perkawinan beda agama menundukan kepercayaan tidak didasari keterpaksaan karna itu adalah
pilihan calon pengantin yang akan melakukan perkawinan.

Bahwa sejalan dengan hal tersebut, Prof. Quraish Shihab, mantan Menteri Agama Republik
Indonesia menjelaskan bahwa untuk perkawinan beda agama harus dikembalikan pada agama
atau kepercayaan masing-masing dan harus ada jaminan dari agama yang dipeluk masing-masing
suami dan isteri untuk tetap menghormati agama pasangannya dan tidak dilandasi atas dasar
sikap untuk menghalangi pasangan untuk menjalankan ibadah sesuai agamanya.

Anda mungkin juga menyukai