Anda di halaman 1dari 26

KEWARGANEGARAAN PPKn

SEJARAH PANJANG KEWARGA-NEGARAAN sejak


masa kolonial-perjanjian dwi kewarganegaraan
I. ZAMAN KOLONIAL

REGERINGS REGLEMENT tahun 1854 membagi penduduk Hindia Belanda


menjadi 3 golongan yaitu Europeanen, Inlanders dan Vreemde
Oosterlingen (Timur Jauh termasuk Arab, India, Tionghoa dll kecuali
Jepang).

Pemerintah Belanda tetap memberlakukan sistem pemisahan penduduk


berdasarkan kategori rasial saat Indische Staatsinrichting
menggantikan Regerings Reglement. Pasal 163 I.S. mengkategorisasi
penduduk menjadi golongan Nederlanders/Europeanen (termasuk Jepang),
Inheemsen (pengganti istilah Inlander), Uitheemsen (Vreemde
oosterlingen atau Timur Asing). Menurut Mr. Schrieke pembagian itu
berdasarkan perbedaan "nationalieit", bukan berdasarkan `ras
criterium'. Tetapi pada kenyataannya, kriteria `ras' tetap
digunakan.

Pemerintah kolonial Belanda menerapkan kebijakan ganjil dengan


mengeluarkan undang-undang Wet op de Nederlanderschap di tahun 1892.

Keganjilan itu adalah bahwa mereka yang berada di Nederland Indie


(Indonesia) termasuk yang dinamakan `inlanders' dan yang disamakan
dengan `inlanders' tidak diberi status "nederlanders". Sedangkan
keturunan Tionghoa, Arab dan India yang dilahirkan di Suriname
dengan
undang-undang tersebut memperoleh status Nederlander. Orang Jepang
yang dilahirkan di Nederland Indie mendapat status Nederlander.

Kebijakan politik Belanda ini mempersamakan seluruh golongan Asia


(kecuali Jepang), termasuk golongan Tionghoa dan keturunannya,
sebagai golongan "inlander" (pribumi). Sehingga posisi, hak dan
kewajiban seluruh golongan Asia di Hindia Belanda menjadi setara.
Secara tidak sengaja, kebijakan politik ini juga memperlancar
proses "pribumisasi".

Kondisi politik akibat kebangkitan nasionalisme Asia yang dipelopori


oleh Dr. Sun Yat Sen memaksa Belanda mengeluarkan Wet op de
Nederlandsch Onderdaanschap (Undang-Undang Kawula Belanda) pada
tanggal 10 Februari 1910 dengan tujuan untuk mengurangi jumlah orang
Tionghoa yang berada di bawah jurisdiksi perwakilan pemerintah
Tiongkok. Sehingga intervensi Tiongkok dapat dikurangi.

Karena itu Belanda menerapkan ius soli dan stelsel pasif dengan
tidak
memberi hak repudiatie (hak menolak kewarga-negaraan). Dengan
demikian, orang Tionghoa yang dilahirkan di Hindia Belanda semerta-
merta berstatus dwi-kewarganegaraan karena di saat yang sama Dinasti
Qing mengadobsi ius sanguinis sebagai asas kewarganegaraan yang
diumumkan pada tahun 1909.

Menurut P.H Fromberg Sr, golongan Tionghoa tidak antusias menyambut


Undang-Undang Kekawulaan Belanda. Kewajiban `Indie Weerbaar'
(pertahanan Hindia Belanda) yang mewajibkan seluruh kawula Belanda
menjadi milisi untuk mempertahankan kepentingan kolonial menambah
kuat resistensi golongan Tionghoa. Tjoe Bou San berpendapat
bahwa "indie Weerbaar bukan satu kepentingan umum. Itu melainkan
adalah satu kepentingan dari kapital Belanda. Orang Tionghoa tidak
punya kepentingan di situ. Orang Bumiputera tidak. Orang Indo-
Belanda
tidak".

Di tahun 1918, Tjoe Bou San melancarkan kampanye menolak Undang-


Undang Wet op de Nederlaandsch Onderdaanschap. Menurut berita Sin
Po,
kampanye ini berhasil menghimpun sekitar 30.000 tanda tangan. Hauw
Tek Kong, mantan direktur Sin Po, ditugaskan membawa petisi itu ke
Tiongkok dan meminta pemerintah Tiongkok untuk mendesak Belanda agar
memberikan hak repudiasi kepada peranakan Tionghoa. Akan tetapi,
pemerintah Republik Tiongkok tetap berpegang pada
kesepakatan "Perjanjian Konsuler 1911" yang mengakui hak jurisdiksi
pemerintah Belanda terhadap peranakan Tionghoa di wilayah teritorial
Belanda.

Pengakuan terhadap juridiksi Belanda oleh Republik Tiongkok yang


meneruskan asas ius sanguinis mengakibatkan golongan Tionghoa yang
lahir di Tiongkok sekalipun telah menetap di Hindia Belanda tetap
berstatus warga-negara Tiongkok. Sedangkan keturunan Tionghoa yang
dilahirkan di Hindia Belanda memiliki kewarga-negaraan rangkap i.e.
kawula Belanda dan warganegara Tiongkok.

Pembagian kekawulaan Belanda berdasarkan penggolongan ras tidak


memuaskan banyak pihak. Karena dinilai tidak memupuk rasa bersatu
sebagai sesama putera satu negara. Hingga di tahun 1936 muncul
petitie Roep, tokoh PEB, bersama dengan Yo Heng Kam dan Prawoto yang
menuntut sebuah Undang-Undang Kewarganegaraan di Indonesia dengan
menghapus pembagian penduduk berdasarkan `ras'. Kelemahan petisi
Roep
ini adalah penggunaan kategori perbedaan strata sosial dan
intelektual sebagai pengganti kategori rasial.

Gagasan sistem 1 jenis kewarga-negaraan tanpa diskriminasi kembali


muncul dalam Volksraad dengan diajukannya petisi Soetardjo. Isi
petisi Soetardjo antara lain menyatakan bahwa syarat untuk diakui
sebagai warga-negara dapat ditentukan a.l: lahir di Indonesia, asal
keturunan, orientasi hidup kemudian hari. Jadi semua orang Indonesia
dan semua golongan Indo, yang dilahirkan di Indonesia dan orang
asing, yang bersedia mengakui negeri ini sebagai tanah-airnya,
bersedia memikul segala konsekuensi dari pengakuan ini, dinyatakan
sebagai warga-negara.

I.I. PASCA KEMERDEKAAN

Pasca kemerdekaan, Badan Pekerja Komite Nasional Indonesia Pusat (BP


KNIP) bersama dengan Kabinet Syahrir I menghasilkan Undang-Undang
Kewarga-negaraan dan penduduk RI. Perdebatan rumusan kewarga-negaran
pada saat itu berkisar seputar pengadobsian stelsel pasif atau
aktif,
jaminan pelaksanaan hak menentukan nasib sendiri dan usia dewasa 21
tahun.

Pada tanggal 10 April 1946, UU No.3/1946 dengan berdasarkan asas ius


soli dan stelsel pasif ditanda-tangani oleh Presiden Soekarno dan
Menteri Kehakiman Soewandi. Dengan demikian semua orang yang
dilahirkan di Indonesia dinyatakan sebagai warga-negara pada saat
berlakunya UU Kewarga-negaraan dengan hak repudiasi.

Dikeluarkannya UU No.3/1946 ini disambut positif oleh Angkatan Muda


Tionghoa (AMT) di Malang. AMT mengambil inisiatif melakukan kampanye
dan sosialisasi UU Kewarganegaraan kepada publik Jawa Timur. Mr. Tan
Po Goan, yang kebetulan sedang berada di Malang, ikut memberi
penjelasan-penjelasan mengenai UU No.3/1946.

Di tahun 1953, komunitas Tionghoa dikejutkan dengan keluarnya sebuah


draft Rancangan Undang-Undang Kewarganegaraan Indonesia baru. RUU
Kewarganegaraan baru ini menyatakan :

1. Opsi Kewarganegaraan Indonesia yang berakhir tanggal 27 Desember


1951 dinyatakan batal. Golongan Peranakan diwajibkan memilih kembali
status kewarganegaraannya.
2. Syarat menjadi warga-negara Indonesia diperberat. Tidak cukup
lagi
dengan telah lahir di teritorial Indonesia. Ayahnya pun harus
dilahirkan di Indonesia.
3. Diberlakukannya stelsel aktif. Artinya, seorang peranakan yang
hendak memilih kewarganegaraan Indonesia harus datang ke pengadilan
negeri dengan membawa bukti-bukti Surat Keterangan lahir ayah dan
dirinya.

Pada saat RUU Kewarganegaraan baru ini muncul, terdapat dua orang
Menteri Negara keturunan Tionghoa i.e. Dr. Ong Eng Die dan Dr. Lie
Kiat Teng. Butir pasal pembatalan kewarganegaraan RUU
Kewarganegaraan
baru itu akan membatalkan status kewarganegaraan kedua orang Menteri
Negara keturunan Tionghoa tersebut. Sehingga, apabila RUU
Kewarganegaraan baru ini berhasil disahkan menjadi UU maka akan
terdapat dua orang Menteri Negara dengan status orang asing.

Atas prakarsa Partai Demokrat Tionghoa Indonesia, dibentuklah


panitia
kerja untuk membahas draft RUU Kewarganegaraan baru tersebut. Siauw
Giok Tjhan terpilih sebagai ketua panitia kerja. Dengan dukungan
menteri-menteri dari fraksi Nasional Progresif pimpinan Siauw Giok
Tjhan, persoalan RUU Kewarganegaraan baru tersebut dibawa ke sidang
kabinet. Aksi penolakan dan tekanan berhasil membatalkan RUU
Kewarganegaraan baru tersebut. Kabinet menyatakan bahwa naskah
semacam itu tidak pernah disahkan oleh sidang kabinet.

III. PERJANJIAN PENYELESAIAN DWI KEWARGANEGARAAN

Penyelesaian masalah dwi-kewarganegaraan ditandatangani sesaat


setelah berakhirnya Konferensi Asia-Afrik tahun 1955. Sejak tahun
1954, RRT mulai mengubah kebijakan kewarganegaraan sekalipun tetap
menganut asas ius sanguinis sebagai asas primer. PM. Zhou En Lai
dalam Konferensi A-A menjelaskan bahwa RRT berhasrat menyelesaikan
masalah kewarganegaraan etnis Tionghoa dengan negara-negara yang
memiliki hubungan baik atau hubungan diplomatik dengan RRT. Dengan
adanya komunike atau perjanjian penyelesaian dwi-kewarganegaraan
maka
etnis Tionghoa yang secara sukarela mengambil kewarganegaraan
setempat akan kehilangan kewarganegaraan Tiongkok.

Perjanjian Penyelesaian Dwi-kewarganegaraan antara RI-RRT dilakukan


kedua belah pihak sebagai simbolisasi keinginan mempererat hubungan
persahabatan antara Rakyat Indonesia dan Rakyat Tiongkok.

Masalah dwi-kewarganegaran diakui sebagai warisan zaman lampau yang


perlu diselesaikan dengan semangat persahabatan dan sesuai dengan
kepentingan rakyat kedua negara. Komunike bersama ini juga
diharapkan
dapat melenyapkan kemungkinan siasat adu-domba negara imperialis
yang
dapat merugikan hubungan persahabatan Ri-RRT.

Isi perjanjian awal penyelesaian masalah dwi kewarganegaraan


menentukan bahwa pemilihan kewarganegaraan dilakukan berdasarkan
stelsel aktif. Pernyataan kewarganegaraan dilakukan di hadapan
pengadilan negeri Indonesia dengan menyertakan surat bukti
kewarganegaraan RI dan surat bukti kelahiran di Indonesia.

Baperki mengajukan keberatan atas butir kesepakatan ini. Baperki


menguatirkan dampak dari butir kesepakatan ini akan menyebabkan
bertambahnya orang asing di Indonesia. Baperki bersikeras bahwa
semua
keturunan Tionghoa yang telah menjadi warga negara Indonesia
berdasarkan UU No.4/1946 dan persetujuan KMB tetap dinyatakan
sebagai
WNI. Sehingga kewajiban memilih hanya berlaku kepada anak-anak orang
Tionghoa asing yang telah berusia 18 tahun.

Keberatan Baperki ini diterima oleh PM. Ali Sastroamidjojo dan PM


Zhou En Lai. Perubahan dilakukan dengan tukar-menukar nota
kesepakatan oleh kedua belah pihak pada tanggal 3 Juni 1955 di
Peking.

Perubahan tersebut menyatakan: "…diantara mereka yang serempak


berkewarganegaraan RI dan RRT terdapat satu golongan, yang dapat
dianggap mempunyai hanya satu kewarganegaraan dan tidak mempunyai
dwikewarganegaraan karena, menurut pendapat Pemerintah Repulik
Indonesia, kedudukan sosial dan politik mereka membuktikan bahwa
mereka dengan sendirinya (secara implisit) telah melepaskan
kewarganegaraan RRT. Orang-orang yang termasuk golongan tersebut di
atas,…, tidak diwajibkan untuk memilih kewarganegaraan menurut
ketentuan-ketentuan Perjanjian Dwikewarganegaraan."

Dengan demikian, sekalipun tidak maksimal, stelsel aktif tidak


berlaku sepenuhnya. Sehingga mereka yang berstatus sosial sebagai
pegawai negari, pejabat negara RI, militer dan mereka yang bermata-
pencaharian sama dengan rakyat setempat seperti petani, nelayan,
tukang becak dan penjual sayur serta mereka yang ikut pemilu tahun
1955 dinyatakan sebagai WNI tanpa perlu memilih kewarganegaraan.

Perubahan ini tidak segera diratifikasi. Sekalipun menurut Duta


Besar
RI, Arnold Mononutu, perundingan dalam rangka mencapai kesepakatan
exchange of notes berlangsung lama sekali dan baru dicapai
kesepakatan di saat terakhir karena kedua belah pihak hendak
membuktikan adanya goodwill, terutama untuk membuktikan kehendak
bersetia-kawan dengan saling bertoleransi. Perjanjian penyelesaian
masalah dwi kewarganegaraan baru diratifikasi menjadi UU No.2 di
tahun 1958
Konsep Kewarganegaraan di Indonesia
REP | 09 February 2012 | 13:04 Dibaca: 3251 Komentar: 0 0

Wacana Kewarganegaraan (Ganda) telah menjadi isu vital dan sensitif dalam sejarah Indonesia
sebagai negara berdaulat karena menyangkut identitas bangsa. Sumpah pemuda 1928 telah
membangkitkan semangat nasionalisme yang membawa Indonesia merdeka (1945). Namun,
Kemerdekaan yang sama juga membawa dilema bagi perkembangan konsep kewarganegaraan di
Indonesia. Bangsa Indonesia memiliki setidaknya dua pilihan, pertama, berkaca pada sejarah
leluhur sebelum masa penjajahan. Kedua, berkaca pada sejarah penjajahan. Tampaknya, kita
memilih pilihan kedua. Bagaimana dengan pilihan pertama?

Bangsa Indonesia adalah bangsa yang besar dan terbuka sejak ratusan tahun silam. Rempah -
rempah Nusantara telah di perdagangkan hingga ke Kaisaran Romawi lebih dari 2500 tahun
silam melalui perantara pedagang Gujarat dan Persia. Kepulauan Nusantara telah menjadi jalur
penting perdagangan Internasional sejak dulu kala. Karenanya, zaman keemasan Indonesia,
justru terjadi pada abad 13, dengan keberhasilan Majapahit mendapatkan pengakuan kedaulatan
atas konsep “Nusantara,” yang mendasari bentuk NKRI sekarang ini.

Yang menakjubkan dari perjalanan sejarah Kepulauan terbesar di dunia ini adalah, konsep
warganegara dan negara juga telah lahir sejak zaman itu, dengan di adopsinya kata nagari
(bahasa Sansekerta) sebagai negara-kota, dan warga yang berarti grup, divisi, atau kelas.

Artinya, konsep ini tidak di adopsi dari kebudayaan kolonial semata, kendati konsep dasar antara
citizen dan warganegara adalah serupa. Berdasar pada perjalanan sejarah ini, sudah seharusnya
Indonesia mampu mengembangkan konsep Kewarganegaraanya setingkat lebih maju. Kemajuan
ini di tandai dengan adanya keterlibatan menyeluruh Warga Negara Indonesia dalam aspek
politik, ekonomi dan sosial. Namun, penjajahan telah memengaruhi arah perkembangan konsep
kewarganegaraan di Indonesia menjadi tertutup dan protektif, terlebih ketika dunia memasuki
perang dingin. Indonesia yang multi etnis pun merasa terancam dengan keberadaan para etnis
Cina yang di jamin hak Kewarganegaraannya oleh Mao Tze Dong, dengan pernyataan terkenal
nya “ setiap orang Cina di muka bumi ini adalah warga negara Cina.” Kita pun memahami apa
yang terjadi pada Etnis ini di Indonesia, hingga gelombang perubahan Internasional terjadi lagi
paska perang dingin (1991-2000) yang menghantam Indonesia dengan keras: krisis ekonomi,
lepasnya Timor -Timur, dan tentunya pergantian rezim. Paska Perang Dingin menandai era
keterbukaan dan penghargaan terhadap Hak Asasi Manusia (HAM). Setiap bangsa yang tidak
menjungjung HAM, akan dikucilkan di dunia Internasional. Indonesia pun mengambil inisiatif
serupa dengan memasukkan pasal HAM dalam konstitusinya. Akan tetapi, konsep
kewarganegaraan sebagai salah satu dimensi hukum yang menjamin tegaknya HAM, tidak
mengalami perkembangan berarti (pasal 26 UUD 1945). Logikanya, HAM menjadi milik hakiki
setiap manusia. Namun, penegakkannya membutuhkan sistem yang berlaku baik secara lokal
maupun global.

Dalam tataran lokal ataupun nasional, perangkat hukum yang mengatur hubungan antara
warganegara dan negaralah yang diharapkan mampu melindunginya. Di Indonesia, hal ini belum
menyeluruh yang bisa di lihat melalui pengaturan hak dan kewajiban warganegara dalam
memenuhi fungsi ekonomi dan sosial ( misal Undang -Undang Pokok Agraria 1964 yang
membatasi kepemilikan tanah dan bangunan bagi warga negara Indonesia yang menikah dengan
orang asing, Undang -Undang tentang Keimigrasian 7/2011, tentang tata cara kehilangan
kewarganegaraan secara tidak sukarela. Apabila asas kehilangan tidak rela ini di batasi atau di
tiadakan (yang artinya setiap WNI tidak bisa kehilangan kewarganegaraan Indonesianya), maka
para WNI terlebih para migran, akan lebih leluasa untuk memberi kontribusi pada pembangunan
Indonesia.

Dalam tataran global, Indonesia seharusnya lebih aktif dalam meningkatkan wibawa hukum
nasional dengan menjadi bagian dari perjanjian hukum internasional. Sejauh ini, Indonesia
belum menjadi anggota dari beberapa perjanjian hukum Internasional yang vital bagi
penegakkan HAM
kewarganegaraan indonesia

Soft Skill

KEWARGANEGARAAN INDONESIA
Kewarganegaraan
Kewarganegaraan (dalam bahasa inggris,citizenship danLatin,civis)telah lama menjadi objek pemikiran.
Kajian ini telah muncul sejak masa Yunani Kuno (400 SM) dan masa Kerajaan Romawi (1
M).Kata Civis sendiri pertama kali digunakan pada masa kerajaan Romawi untuk merujuk kepada orang-
orang kaya dan para tuan tanah. Merekalah yang memperoleh hak-hak istimewa. Hak-hak sebagai civis
tidak diberikan kepada rakyat bisa maupun di wilayah kekuasaan (Poole,1999:85-86).
1.Apa Yang Dimaksud Dengan Kewarganegaraan ?
Secara umum kewarganegaraan dapat dipahami sebagai segala sesuatu yang menyangkut warga
Negara. Namun demikian , pemahaman yang sederhana ini memiliki sejarah panjang dan kompleks.
Sebagai objek pemikiran , kewarganegaraan telah muncul sejak masa Yunani Kuno (400 SM) . Pada
masa itu, warga Negara diidentikkan dengan orang bebas. Sebaliknya , para budak dan-dalam konteks
saat itu kaum perempuan serta anak-anak tidak dikategorikan sebagai orang bebas sehingga meraka
tidak dapat disebut sebagia warga Negara.
Orang-orang bebas yang dikategorikan sebagai warga Negara memiliki status istimewa, antara lain dapat
berpatisipasi dalama penyusunan dlam penyusunan undang-undang dan dalamm pelaksanaan
administrasi Negara, dalam aktivitas keagamaan dan budaya ,serta dapat masuk dinas militer yang
penting artinya pertahana Negara. Aktivitas-aktiviitas tersebut menunjukkan bahwa pusat kehidupan
warga negara mencakup setiap aspek kehidupan, mulai dari politik,agama,budaya hingga pertahan
Negara.Warga Negara dalam pengertian masa Yunani Kuno juga dapat dikatakkan lebih menekankan
kemampuan seseorang untuk mengemban tanggung jawab Negara (Poole,1999:25)
Sumbangan prinsip nasionalisme adalah terciptanya kesadaran nasional dan solidaritas rakyat yang
berlandaskan faktor-faktor budaya , bahasa , sejarah dan kesamaan keturunan. Rakyat yang telah
bersatu karena faktor-faktor tersebit semakin diperkuat oleh kesadaran nasionalnya karena negara pun
mulai melembagakan :
 Nilai HAM yang menghargai kebebasan individu dan menunjang kesetaraan bagi seluruh warga Negara.
 Prinsip Negara republik yang mengakui otonomi politik warga Negara .
 Prinsip demokrasi yang mendorong partisipasi aktif warga negara dalam kehidupan politik.
Ketiga prinsip tersebut memberikkan pengakuan bahwa warga Negara memiliki status legal yang
kemudian terwujud dalam hak-hak sipil.
Status legal yang dimiliki tiap warga negara memiliki konsekuensi terhadap pendfinisian bangsa. Bangsa
, kesamaan nasib , dan sejarah , kini mendapat pengakuan baru sebagai kesatuan warga negara yang
setara dan memiliki status legal. Dengan status legal itu , hubungan negara dikonsepsikan sebagai
hubungan timbal-balik ,yang membuat warga negara melihat negara sebagai organisasi untuk mengejar
kesejahteraan dan kebahagian. Status legal , dalam terwujud hak-hak sipil merupakan seperangkat hak
bagi individu untuk mencapai tujuan-tujuan hidupnya. Pemenuhan tujuan ini bagi warga negara
(Habermas,1996:285-289).
2.Siapakah Warga Negara Indonesia ?
Berikut ini dipaparkan sejarah singkat penduduk Indonesia pada masa pemerintahan kolonial Belanda
dan masa pascakemerdekaan :
A. Status Rakyat Indonesia Pada Masa Pemerintahan Kolonial Belanda.
Sebelum bangsa Belanda menguasai Indonesia , khususnya Pulau Jawa , situasi masyarakat saat itu
sudah tersusun secara hierarkis. Puncak hierarki adalah raja dan keluaraga. Anak tangga di bawahnya
diduduki kaum ulama , militer , dan elit politik lain yang memiliki kekuasaan legal. Dalam masyarakat
yang hierarkis demikian , raja berhak menurut kebaktian dari rakyat. Rakyat biasa adalah abdi raja yang
tidak memiliki kebebasan individu , apalagi otonomi politik. Jadi , konsep kewarganegaraan belum
dikenal.
Hubungan kolonial tidak hanya menciptakan diskriminasi rasial , melainkan juga melanggengkan system
masyarakat yang bercorak feodal. Belanda tidak menghapus kekuasaan raja-raja sama sekali sehingga
keluarga raja dan kaum bangsawan masih mendapat tempat yang tinggi dalam hierarki masyarakat.
Hierarki masyarakat tradisonal ini diperkuat lagi dengan kebijakan kolonial untuk mengangkat elit
administrasi atau birokrasi yang dahulu adalah abdi raja. Kaum elit yang diangkat di tiap kabupaten
kemudian melahirkan kelas tersendiri di masyarakat , yang disebut golongan priyayi. Elit priyayi tersusun
sebagai berikut :para bupati berada di puncak birokrasi disusul oleh patih ,wedana , mantra , dan juru
tulis. Jenjang-jenjang jabatan tersebut kemudian digolongkan atas “Priyayi Gedhe” dan”Priyayi Cilik”.
Barulah lapisan dibawah priyayi cilik diisi mayoritas rakyat kecil yang disebut “Wong Cilik” (Kartodirdjo ,
1999:83)
Di bidang politik , pemerintah kkolonial sangat otokratis dan menerapkan sentralisasi dengan birokrasi
yang amat ketat. Pejabat-pejabat Belanda ditempatkan di tingkat keresidenan hingga distrik. Mereka
menjabat sebagai penasihat merangkap pengawas pejabat-pejabat pribumi.
Baru pada tahun 1903 , yakni setelah diberlakukannya undang-undang dsentralisasi dan otonomi
penduduk , lembaga politik berupa Badan Perwakilan didirikan. Dalam pelaksanaanya , UU desentralsasi
hanya mewujudkan demokratis dalam arti minimal , karena dewan daerah tidak mampu mencapai
seluruh rakyat. Anggota-anggotanya hanya terdiri dari orang belanda dan elit pribumi yang terpilih karena
mekanisme penunjukan dan pemillihan tidak langsung. Pendek kata , desentralisasi tidak mampu
mendorong partisipasi politik rakyat dan bahkan organisasi atau pertemuan politik dilarang oleh
pemerintah (Kartodirdjo,1999:43-44).
Kebijakan pendidikan dan politik tersebut menunjukkan bahwa pemerintahan colonial tidak berkehendak
membangun kesetaraan dan otonomi politik bagi penduduk Indonesia. Bangsa Indonesia khususnya
masyarakat jawa semakin terpilah-pilah, baik karena diskriminasi rasial maupun karena system
masyarakat feodalistis. Pemerintah belanda memang telah mengatur status penduduk Indonesia
dalam Nederlanch Onderdaan. Namun demikian , status penduduk belum menunjukkan status
kewarganegaraan yang sesungguhnya. Ditanah jajahan , tetap dibedakan status warga Negara belanda
dan status penduduk pribumi. Menurut perundang-undangan yang berlaku (tahun 1854 , 1892 , 1910) , di
Hindia Belanda terdapat tiga kategori kewarganegaraan , yakni belanda , pribumi (dengan status sebagai
bawahan belanda ) , dan bangsa timur Asing (Kartodirdjo,1999:48,192)
B. Status Rakyat Indonesia Pascakemerdekaan
Dalam alinea keempat Pembukaan UUD 1945 tertulis ,”…pemerintahan Negara Indonesia yang
melindungi segenap bangsa Indonesia …” Siapa saja yang tercakup dalam pengertian bangsa Indonesia
di sini ? UUD 1945 dirumuskan oleh tokoh-tokoh pergerakan nasional dengan latar belakang yang
beragam. Mereka mempunyai latar belakang agama yang berbeda , demikian pula suku dan ras serta
daerah asal. Ada yang berasal dari jawa , sumatera , ambon , Sulawesi , arab , tionghoa , dan lain-lain.
Perumus UUD juga bukan hanya laki-laki , melainkan juga tokoh-tokoh pergerakan perempuan.
Kesemuanya mewakili berbagai golongan dan aliran politik. Sejak awal , keberagaman masyarakat telah
menjiwaiperumusan UUD 1945 , dan keberagaman tersebut dapat disatukan karena kepedulian yang
luar biasa dari para tokoh akan kepentingan rakyat. Sumbangan pemikira mereka antara lain adalah
perumusan tentang bahasa Indonesia. Yang ditetapkan sebagai bangsa Indonesia adalah bangsa
Indonesia asli atau bangsa lain yang disahkan dengan UU sebagai warga Negara. Ketentuan terakhir ini
menunjukkan bahwa bangsa Indonesia menerima keturunan arab , tionghoa ata bangsa lain yang telah
lama menetap di Indonesia sebagai warga Negara Indonesia.
Satu hal yang patut ditekankan di sini adalah bahwa menurut UUD 1945 warga Negara memiliki status
legal yang sama , dengan segala hak dan kewajiban yang melekat di dalamnya. Sebagai tambahan ,
dalam UUD 1945, pasal 26 , tertera pula kata-kata penduduk selain warga Negara. Yang dimaksud
dengan penduduk adalah WNI dan orang asing yang tinggal di Indonesia. Orang asing tentu tidak dapat
menikmati hak dan melaksanakan kewajiban yang sama dengan WNI. Kata penduduk disebutkan karena
terkait dengan kedaulatan Negara-negara lain.
C. Menjadi Warga Negara Indonesia.
Secara procedural , kewarganegaraan Indonesia diatur dalam undang-undang tentang
kewarganegaraan. Sejak kemerdekaan ada beberapa UU tentang kewarganegaraan yang telah
dikeluarkan , yaitu UU RI Nomor 3 Tahun 1946 , UU RI Nomor 62 Tahun 1958 , UU RI Nomor 4 Tahun
1969 , UU RI Nomor 3 Tahun 1976 , dan UU RI Nomor 12 Tahun 2006. Selain UU juga terdapat
peraturan-peraturan lain berupa Keputusan Presiden , Instruksi Presiden , Peraturan Pemerintah Maupun
Surat Keputusan Bersama Menteri Kehakiman da Menteri Dalam Negeri. Perubahan-perubahan UU
tersebut mmencerminkan adanya dinamika dalam masyarakat maupun interaksi penduduk antarbangsa
yang begitu cepat. Pelarian orang-orang yang mencari suaka politik , perkawinan antarbangsa , masalh
criminal oleh pelaku kejahatan lintas Negara ,dsb. Merupakan beberapa fenomena yang dapat
menggambarkan semakin peliknya masalah kewarganegaraan sehingga hampir setiap Negara harus
mendefinisikan kembali siapa yang dimaksud dengan warga negaranya.

Kewarganegaraan Indonesia dapat diperoleh atas dasar :


 Kelahiran
 Pemberian Status
 Pengangkatan
 Permohonan
 Naturalisasi
 Perkawinan
 Kehormatan
Dengan dasar kelahiran , seseorang secara otomatis menjadi WNI karena ayah dan ibunya adalah WNI.
Ketentuan ini merupakan ini implementasi dari asas keturunan (ius sanguinis): anak tetap WNI, walau dia
dilahirkan di luar negeri. Tujuannya adalah untuk mencegah apatride.
Untuk menghindari kasus tanpa kewarganegaraan atau kewarganegaraan ganda , Negara dapat
memberikan status warga Negara bagi anak yang dilahirkan di luar negeri dengan salah satu orang tua
(ayah atau ibu) adalah WNI , sedangkan yang satu lagi bukan WNI.Dengan dasar pengangkatan ,
seorang anak WNA yang berumur 5 tahun (atau kurang) yang diangkat anak oleh WNI dapat
memperoleh kewarganegaraan Indonesia.
Negara dapat memberikan kewarganegaraan kehormatan kepada orang-orang asing tertetu yang telah
berjaasa kepada Negara , namun hal itu tidak boleh mengakibatkan yang bersangkutan memiliki
kewarganegaraan ganda. Pemberian kewarganegaraan kehormatan itu dilakukan oleh Presiden setelah
memperoleh pertimbangan DPR.
D. Kehilangan Kewarganegaraan Indonesia
Bila seseorang telah menjadi WNI , Negara akan mengakuinya untuk seumur hidupnya , sekalipun ia
bertempat tinggal di luar negeri. Namun WNI dapat kehilangan kewarganegaraannya karena hal-hal
berikut ini :
 Atas kemauan senndiri menjadi WNA
 Melanggar asas kewarganegaraan tunggal.
 Masuk dinas tentara asing tanpa seizing Presiden
 Tinggal di luar wilayah Negara Indonesia , tidak dalam rangka dinas Negara selama 5 tahun berturut-
turut .
 Perkawinan dengan WNA
WNI yang telah kehilangan kewarganegaraan karena mengikuti orang lain (status suami/istri yang WNA)
pada prinsipnya dapat diberi kesempatan untuk kembali menjadi WNI , dengan syarat bahwa ia tidak lagi
mengikuti status suami/istrinya. Demikian pula dengan anak-anak yang sebelumnya mengikuti status
ayah/ibu yang berkewarganegaraan asing
Kewarganegaraan

Menurut ahli kenegaraan, Oppenheimer dan Lauterpacht, syarat berdirinya suatu negara
haruslah memenuhi unsur-unsur :

  Rakyat yang bersatu

  Daerah atau wilayah

  Pemerintahan yang berdaulat

  Pengakuan dari negara lain

Rakyat merupakan unsur terpenting karena rakyatlah yang pertama kali berkehendak membentuk
negara. Rakyat pula yang memulai merencanakan, merintis, mengendalikan, dan
menyelenggarakan pemerintahan negara.

Didalam suatu negara, rakyat dapat dibedakan menjadi :

1. Penduduk dan bukan penduduk


2. Warga negara dan bukan warga negara (warga negara asing)

Pembedaan rakyat berdasarkan hubungannya dengan daerah tertentu didalam suatu negara
adalah sebagai berikut :
> Penduduk adalah mereka yang bertempat tinggal atau berdomisili didalam suatu wilayah
negara (menetap). Dan mereka yang lahir secara turun temurun dan besar didalam suatu negara
tersebut.
> Bukan penduduk adalah mereka yang berada didalam suatu wilayah negara hanya untuk
sementara waktu.

Pembedaan rakyat berdasarkan hubungannya dengan pemerintahan negaranya adalah sebagai


berikut :
> Warga Negara adalah mereka yang berdasarkan hukum tertentu merupakan anggota dari suatu
negara.
> Bukan Warga Negara (orang asing) adalah mereka yang berada pada suatu negara tetapi
secara hukum tidak menjadi anggota negara yang bersangkutan, namun tunduk pada pemerintah
dimana mereka berada.
Asas Kewarganegaraan :

 Ius Soli Adalah asas yang menentukan kewarganegaraan seseorang menurut daerah atau
negara tempat dimana ia dilahirkan.

 Ius Sanguinsi Adalah asas yang menentukan kewarganegaraan seseorang menurut


pertalian darah atau keturunan dari orang yang bersangkutan.

Adanya perbedaan dalam menentukan kewarganegaraan dibeberapa negara, baik yang


menerapkan asas ius soli maunpun ius sanguinis, dapat menimbulkan dua kemungkinan, yaitu:

1. Apatride, yaitu adanya seorang penduduk yang sama sekali tidak mempinyai
kewarganegaraan.
2. Bipatride, yaitu adanya seorang warga negara yang memiliki dua macam
kewarganegaraan sekaligus (kewarganegarn rangkap).

Keberadaan rakyat yang menjadi penduduk manapun warga negara, secara konstitusional
tercantum dalam pasal 26 Undang-Undang Dasar 1945.

1. Yang menjadi warga negara ialah orang-orang bangsa Indonesia asli dan orang-orang
bangsa lain yang disahkan dengan undang-undang sebagai warga negara.
2. Penduduk ialah warga negara Indonesia dan orang asing yang bertempat tinggal di
Indonesia.
3. Hal-hal mengenai warga negara dan penduduk diatur dengan undang-undang.

Orang-orang bangsa lain, menurut penjelasan UUD 1945 adalah orang-orang peranakan Belanda,
peranakan Tionghoa, dan peranakan Arab yang bertempat kedudukan di Indonesia, mengakui
Indonesia sebagai tanah airnya dan bersikap setia kepada Negara Republik Indonesia.
Pada masa pemerintahan kolonial Belanda, penduduk di Indonesia, berdasarkan Indische
Staatsregeling (Peraturan Ketatanegaraan Hindia Belanda) tahun 1927, terbagi dalam 3
golongan, yaitu sebagai berikut
a. Golongan Eropa, yang terdiri atas :
1. Bangsa Belanda,
2. Bukan bangsa Belanda tetapi orang yang asalnya dari Eropa,
3. Bangsa Jepang (untuk kepentingan hubungan perdagangan),
4. Orang-orang yang berasal dari negara lain yang hukum keluarganya sama dengan hukum
keluarga Belanda, dan
5. Keturan mereka yang disebut diatas.
b. Golongan Timur asing, yang meliputi :
1. Golongan Cina (Tionghoa), dan
2. Golongan Timur Asing yang bukan Cina
c. Golongan Bumiputera (Indonesia), yang meliputi :
1. Orang-orang Indonesia asli serta keturunannya yang tidak memasuki golongan rakyat lain, dan
2. Orang yang mula-mula termasuk golongan rakyat lain, lalu masuk dan menyesuaikan hidupnya
dengan golongan Indonesia asli.

Status warga negara Indonesia telah dibicarakan dalam UU RI No. 3 tahun 1946, yang menjadi
warga negara Indonesia adalah sebagai berikut :

1. Penduduk asli dalam daerah RI, termasuk anak-anak dari penduduk asli itu sendiri,
2. Isteri seorang warga negara,
3. Keturunan dari seorang warga negara yang menikah dengan wanita warga negara asing,
4. Anak yang lahir dalam daerah RI yang oleh orangtuanya tidak diketahui dengan sah,
5. Anak-anak yang lahir dalam waktu 300 hari setelah ayahnya, yang mempunyai kewarganegaaran
Indonesia, meninggal,
6. Orang bukan penduduk asli yang paling terakhir bertempat tinggal di Indonesia selama 5 (lima)
tahun berturut-turut, dan telah berumur 21 tahun atau telah menikah.
7. masuk menjadi warga negara Indonesia dengan jalan perwarganegaraan (naturalisasi).

Dalam persetujuan KBM dikatakan bahwa yang menjadi warga negara RI adalah sebagai berikut
:

1. Penduduk asli Indonesia, yaitu mereka yang dahulu termasuk dalam golongan Bumiputera dan
berkedudukan diwilayah RI.
2. Orang Indonesia, kawulanegara Belanda, yang bertempat tinggal di Suriname atau Antilen
(koloni Belanda).
3. Orang Cina dan Arab yang lahir di Indonesia atau sedikitnya bertempat tinggal 6 bulan diwilayah
RI dan dalam waktu 2 tahun sesudah tanggal 27 Desember 1949 menyatakan memelih menjadi
warga negara Indonesia.
4. Orang Belanda yang dilahirkan diwilayah RI atau sedikitnya bertempat tinggal 6 bulan diwilayah
RI dan dalam waktu 2 tahun sesudah tanggal 27 Desember 1949 menyatakan memelih menjadi
warga negara Indonesia.
5. Orang asing (kawula negara Belanda) bukan orang Belanda yang lahir di Indonesia dan
bertempat tinggal di RI dan dalam waktu 2 tahun sesudah tanggal 27 Desember 1949 tidak
menolak menjadi warga negara Indonesia.
Dalam UU No. 62 Tahun 1958 tentang kewarganegaraan Republik Indonesia dikatakan bahwa
yang menjadi warga negara Indonesia adalah :
1. Mereka yang telah menjadi warga negara berdasaarkan UU/Peraturan/Perjanjian yang berlaku
surut,
2. Mereka yang memenuhi syarat-syarat tertentu yang ditetapkan dalam UU No.62 Tahun 1958
yakni sebagai berikut :
a. Pada waktu lahirnya mempunyai hubungan kekeluargaan dengan seorang warga negara
Indonesia.
b. Lahir pada waktu 300 hari, setelah ayahnya meninggal dunia dan ayah itu pada waktu
meninggal dunia adalah warg negara RI.
c. Lahir dalam wilayah RI selama orangtuanya tidak diketahui.
d. Memperoleh kewarganegaraan RI.

Setelah Proklamasi Kemerdekaan RI tanggal 17 Agustus 1945, undang-undang tentang


kewarganegaraan di Inonesia adalah sebagai berikut :

a. Undang-undang No. 3 Tahun 1946 tentang Kewarganegaraan Indonesia.


b. Undang-undang No. 2 Tahun 1958, tentang Penyelesaian Dwi Kewarganegaraan antara
Indonesia dan RRC.
c. Undang-undang No. 62 Tahun 1958, tentang Kewarganegaraan Indonesia sebagai penyempurna
Undang Undang No. 3 Tahun 1946.
d. Undang-undang No. 4 Tahun 1969, tentang Pencabutan UU No. 2 tahun 1958 dan dinyatakan
tidak berlaku lagi.
e. Undang-undang No. 3 Tahun 1976, tentang Perubahan Pasal 18 UU No. 62 Tahun 1958.
Menurut UU No. 62 / 1958 yang dapat memperoleh kewarganegaraan Republik Indonesia adalah
sebagai berikut :
a. Mereka yang menjadi warga negara menurut undang-undang /peraturan / perjanjian yang terlebih
dahulu telah berlaku (berlaku surut).
b. Kelahiran (asas ius soli).
c. Adopsi melelui Pengadilan Negeri (menyangkut anak orang asing dibawah umur 5 tahun).
d. Anak-anak diluar pernikahan dari seorang wanita Indonesia.
e. Pewarganegaraan (naturalisasi).
f. Setiap orang asing menikah dengan seorang laki-laki Indonesia.
g. Anak-anak yang belum berumur 18 tahun / belum menikah mengikuti ayah atau ibunya (asas ius
sanguinis).
h. Anak orang asing yang tidak memiliki hubungan hukum dengan ayah atau ibunya yang orang
asing itu dapat menjadi warga negara RI setelah berumur 21 tahun atau sudah menikah melalui
pernyataan.

Prosedur permohonan perwarganegaraan melalui proses naturalisasi diatur menurut UU No. 62


tahun 1958, Keputusan Presiden No. 13 Tahun 1980 tanggal 11 Februari 1981.

1. Naturalisasi Biasa
Syarat-syaratnya:
a. Telah berusia 21 tahun,
b. Lahir diwilayah RI atau bertempat tinggal yang paling akhir minimal 5 tahun berturut-turut, atau
10 tahun tidak berturut-turut,
c. Apabila ia seorang laki-laki yang sudah menikah, ia perlu mendapat persetujuan dari RI,
d. Dapat berbahasa Indonesia dan mempunyai sekedar pengetahuan tentang sejarah Indonesia serta
tidak pernah dihukum karena melakukan suatu kejahatan yang merugikan RI,
e. Dalam keadaan sehat rohaniah dan jasmaniah,
f. Bersedia membayar pada kas negara uang sejumlah antara Rp. 500 sampai Rp. 10.000
bergantung kepada penghasilan setiap bulan,
g. Mempunyai mata pencahariaan yang tetap,
h. tidakmempunyai kewarganegaraan yang lain apabila ia memperoleh kewarganegaraan atau
kehilangan kewarganegaraan RI.

2. Naturalisasi Luar Biasa (Istimewa)


Dapat diberikan bagi mereka (warga asing) yang telah berjasa pada negara RI dengan pernyataan
sendiri (permohonan) untuk menjadi warga negara RI, atau dapat diminta oleh negara RI.
Kemudian mereka mengucapkan sumpah atau janji setia (tidak perlu memenuhi semua syarat
sebagaimana dalam naturalisasi biasa). Cara ini diberikan oleh presiden dengan persetujuan DPR
RI.
Dalam memperoleh kewarganegaraan selain melalui cara naturalisasi, dapat juga dengan cara
berikut :
a. Kelahiran, yaitu pada asasnya siapa saja yang lahir di Indonesia adalah warga negara RI (asas
ius soli),
b. Pengangkatan, yaitu pengangkatan anak berusia 5 tahun kebawah secara sah (adopsi) oleh
orangtua angkatnya maka anak tersebut dapat memperoleh kewarganegaraan RI,
c. Dikabulkan permohonannya, yaitu permohonan yang dikabulkan oleh Menteri Kehakiman seperti
orang asing yang lahir dan bertempat tinggal diwilayah RI tetapi tidak mempunyai hubungan
hukum kekeluargaan dengan ayahnya,
d. akibat pernikahan, yaitu suatu pernikahan antara wanita asing dengan pria WNI, maka si istri akan
memperoleh kewarganegaraan Indonesia. Tapi apabila wanita WNI menilah dengan pria asing
maka si istri akan kehilangan kewarganegaraan Indonesia,
e. Ikut ayah dan Ibu, yaitu anak yang belum dewasa (belum berusia 18 tahun/ belum menikah) maka
kewarganegaraan anak tersebut ditentukan atau mengikuti orangtuanya terutama ayahnya (asas
ius sanguinis),
f. Pernyataan, yaitu apabila suami orang asing, istri orang asing atau anak yang sudah dewasa
tersebut diatas tidak mempunyai hubungan hukum kekeluargaan dengan ayah / ibunya maka
mereka memperoleh kewarganegaraan Indonesia dengan pernyataan .
Hilangnya Kewarganegaraan
Menurut UU No. 62 Tahun 1958, seorang warga negara Indonesia akan kehilangan
kewarganegaraannya bila memenuhi hal-hal berikut :
a. Menikah dengan seorang laki-laki asing,
b. Bercerai dengan seorang wanita asing dengan laki-laki WNI,
c. Anak yang orangtuanya kehilangan kewarganegaraan Indonesia,
d. Memperoleh kewarganegaraan lain karena kemauan sendiri,
e. Tidak menolak atau melepaskan kewarganegaraan lain,
f. Diakui oleh seorang warga negara asing sebagai anaknya,
g. Diangkat anak secara sah oleh seorang warga negara asing,
h. Dinyatakan hilang kewarganegaraannya oleh menteri kehakiman dengan persetujuan Dewan
menteri,
i. masuk dalam dinas asing tanpa izin terlebih dahulu dari menteri kehakiman RI,
j. Mengatakan sumpah atau janji kepada negara lain,
k. Turut serta dalam pemilihan sesuatu yang bersifat ketatanegaraan untuk suatu negara asing,
l. Mempunyai paspor dari negara lain,
m. Bertempat tinggal diluar negeri selama 5 tahun berturut-turut dengan tidak menyatakan
keinginan untuk tetap menjadi warga negara Indonesia kecuali jika ia dalam dinas negara RI
Persamaan kedudukan warga Negara tanpa membedakan ras, agama, gender, golongan,
budaya atau suku.
Prinsip Persamaan
Kewajiban moral atau tuntutan tingkah laku yang terkandung dalam sila kelima :

a. Menyadari adanya hak yang sama untuk menciptakan keadilan,


b. Sosial dalam hidup bermasyarakat,
c. Menyadari adanya kewajiban untuk menciptakan keadilan sosial dalam hidup
bermasyarakat,
d. Mengembangkan perbuatan luhur,
e. Menjunjung tinggi sikap kekeluargaan,
f. Menjunjung tinggi suasana kekeluargaan.
Sikap Warga Negara di Berbagai Bidang Kehidupan

a. Tennggang rasa dan tepa selira terhadap nasib sesamanya,


b. Hemat, cermat, dan tepat dalam memilih dan menggunakan suatu barang atau kekayaan
alam,
c. Disiplin untuk menjaga dan memelihara kelestarian lingkungan hidup dan kekayaan
alam,
d. Ikhlas menolong sesama,
e. Ikut aktif dalam kegiatan gotong royong,
f. Menghindari sikap tidak adil,
g. Menghormati hak milik orang lain,
h. Mengutamakan kepentingan umum diatas kepentingan pribadi atau golongan
WARGA NEGARA DAN
SISTEM KEWARGANEGARAAN
May 10, 2013 | Dwi

A. Warga Negara
Pengertian rakyat atau penduduk sering terkacaukan, maka kita perlu mengetahui batas-batasnya.
a. Yang dimaksud dengan rakyat suatu negara haruslah mempunyai ketegasan bahwa mereka itu
benar-benar tunduk kepada Undang-Undang Dasar Negara yang berlaku, mengakui kekuasaan
Negara tersebut dan mengakui wilayah Negara tadi sebagai Tanah Airnya yang hanya satu-
satunya.
b. Penduduk adalah semua orang yang ada atau bertempat tinggal dalam wilayah negara dengan
ketegasan telah memenuhi persyaratan-persyaratan tertentu yang ditetapkan oleh peraturan
Negara.
Dari batasan-batasan diatas dapat kita mengetahui bahwa dalam pengertian rakyat sering
dikaitkan dengan pengertian warga negara, sedang dalam pengertian penduduk dapat mencakup
pengertian yang lebih luas.[1]

B. Sistem Kewarganegaraan
Pada asasnya ada beberapa sistem (kriteria umum) yang digunakan untuk menentukan siapa yang
menjadi warga negara suatu negara. Kriteria tersebut yaitu :
1. Sistem Kewarganegaraan berdasarkan Kelahiran
a. Asas Ius Soli (Law of The Soli)
Asas yang menentukan kewarganegaraan seseorang berdasarkan Negara tempat kelahiran.
b. Asas Ius Sanguinis (Law of The Blood)
Penentuan Kewarganegaraan berdasarkan keturunan/kewarganegaraan orang tuanya.[2]
c. Masalah Kewarganegaraan

1) Apatride
Apatride terjadi apabila seorang anak yang Negara orang tuanya menganut asas Ius Soli lahir di
Negara yang menganut Ius Sanguinis.[3] Contoh : Seorang keturunan bangsa A (Ius Soli) lahir di
negara B (Ius Sanguinis) Maka orang tsb bukan warga negara A maupun warga negara B.

2) Bipatride
Bipatride terjadi apabila seorang anak yang Negara orang tuanya menganut Ius Sanguinis lahir di
Negara lain ynag menganut Ius Soli, maka kedua Negara tersebut menganggap bahwa anak
tersebut warga Negaranya.[4] Contoh : Seorang keturunan bangsa C (Ius Sanguinis) lahir di
negara D (Ius Soli). Sehingga karena ia keturunan negara C, maka dianggap warga negara C,
tetapi negara D juga menganggapnya sebagai warga negara,karena ia lahir di negara D.
3) Multipatride
Seseorang yang memiliki 2 atau lebih kewarganegaraan Contoh : Seorang yang bipatride juga
menerima pemberian status kewarganegaraan lain ketika dia telah dewasa, dimana saat
menerima kewarganegaraan yang baru ia tidak melepaskan status bipatride-nya.
2. Sistem Kewarganegaraan berdasarkan Perkawinan
a. Asas Kesatuan Hukum
Asas kesatuan hukum berangkat dari paradigma bahwa suami istri ataupun ikatan keluarga
merupakan inti masyarakat yang meniscayakan suasana sejahtera, sehat, dan tidak terpecah.
Dalam menyelenggarakan kehidupan bermasyarakatnya,suami istri ataupun keluarga yang baik
perlu mencerminkan adanya suatu kesatuan yang bulat.
Supaya terdapat keadaan harmonis dalam keluarga diperlukan kesatuan secara yuridis maupun
dalam jiwa perkawinan, yaitu kesatuan lahir dan batín. Dan kesatuan hukum dalam keluarga ini
tidak bertentangan dengan filsuf persamaan antara suami istri sehingga sekedar mencari
manfaatnya bagi sang suami saja.
b. Asas Persamaan Derajat
Menurut asas persamarataan bahwa perkawinan sama sekali tidak mempengaruhi
kewarganegaraan seseorang, dalam arti masing-masing istri atau suami bebas menentukan sikap
dalam menen tukan kewarganegaraanya.
Asas ini menghindari terjadinya penyelundupan hukum, misalnya seseorang yang
berkewarganegaraan asing ingin memperoleh status kewarganegaraan suatu Negara dengan cara
atau berpura-pura melakukan pernikahan dengan pasangan di Negara tersebut.
3. Sistem Kewarganegaraan berdasarkan Naturalisasi
Adalah suatu perbuatan hukum yang dapat menyebabkan seseorang memperoleh status
kewarganegaraan, Misal : seseorang memperoleh status kewarganegaraan akibat dari pernikahan,
mengajukan permohonan, memilih/menolak status kewarganegaraan.
a. Naturalisasi Biasa
Yaitu suatu naturalisasi yang dilakukan oleh orang asing melalui permohonan dan prosedur yang
telah ditentukan.
b. Naturalisasi Istimewa
Yaitu kewarganegaraan yang diberikan oleh pemerintah (presiden) dengan persetujuan DPR
dengan alasan kepentingan negara atau yang bersangkutan telah berjasa terhadap negara.
Dalam menentukan kewarganegaraan seseorang berdasarkan naturalisasi digunakan 2 stelsel,
yaitu :
1. Stelsel Aktif, yakni untuk menjadi warga negara pada suatu negara seseorang harus
melakukan tindakan-tindakan hukum secara aktif.
2. Stelsel Pasif, yakni seseorang dengan sendirinya dianggap sebagai warga negara tanpa
melakukan sesuatu tindakan hukum.

C. Sejarah Kewarganegaraan
Mengetahui tentang masalah kewarganegaraan juga melibatkan sejarah dari sistem
kewarganegaraan, yang berkembang dari masa ke masa. Diawali dengan:
1. Zaman penjajahan Belanda
Hindia Belanda bukanlah suatu negara, maka tanah air pada masa penjajahan Belanda tidak
mempunyai warga negara, dengan aturan sebagai berikut:
1) kawula negara belanda orang Belanda,
2) (2) kawula negara belanda bukan orang Belanda, tetapi yang termasuk Bumiputera,
3) (3) kawula negara belanda bukan orang Belanda, juga bukan orang Bumiputera, misalnya:
orang – orang Timur Asing (Cina, India, Arab, dan lain-lain).[5]
2. Masa kemerdekaan
pada masa ini, Indonesia belum mempunyai UUD. Sehari setelah kemerdekaan, yakni tanggal 18
agustus 1945, panitia persiapan kemerdekaan Indonesia mengesahkan UUD 1945. Mengenai
kewarganegaraan UUD 1945 dalam pasal 26 ayat(1) menentukan bahwa “Yang menjadi warga
negara ialah orang – orang bangsa Indonesia aseli dan orang – orang bangsa lain yang di sahkan
dengan undang – undang sebagai warga negara,” sedang ayat 2 menyebutkan bahwa syarat –
syarat yang mengenai kewarganegaraan ditetapan dengan undang – undang.[6]Sebagai
pelaksanaan dari pasal 26, tanggal 10 april 1946, diundangkan UU No. 3 Tahun 1946. Adapun
yang dimaksud dengan warga negara Indonesia menurut UU No. 3 Tahun 1946 adalah:
(1) Orang yang asli dalam daerah Indonesia,
(2) Orang yang lahir dan bertempat kedudukan dan kediaman di dalam wilayah negara
Indonesia,
(3) Anak yang lahir di dalam wilayah Indonesia.[7]
3. Persetujuan Kewarganegaraan dalam Konferensi Meja Bundar (KMB)
Persetujuan perihal pembagian warga negara hasil dari konferensi meja bundar (KMB) tanggal
27 desember 1949 antara Belanda dengan Indonesia Serikat ada tiga hal yang penting dalam
persetujuan tersebut antara lain:
(1) Orang Belanda yang tetap berkewargaan Belanda, tetapi terhadap keturunannya yang lain dan
bertempat tinggal di Indonesia kurang lebih 6 bulan sebelum 27 desember 1949 setelah
penyerahan keddaulatan dapat memilih kewarganegaraan Indonesia yang disebut juga “Hak
Opsi” atau hak untuk memilih kewarganegaraan.
(2) Orang – orang yag tergolong kawula Belanda (orang Indonesia asli) berada di Indonesia
memperoleh kewarganegaraan Indonesia kecuali tidak tinggal di Suriname / Antiland Belanda
dan dilahirkan di wilayah Belanda dan dapat memilih kewarganegaraan Indonesia,
(3) Orang – orang Eropa dan Timur Asing, maka terhadap mereka dua kemungkinan yaitu: jika
bertempat tinggal di Belanda, maka dtetapkan kewarganegaraan Belanda, maka yang dinyatakan
sebagai WNI dapat menyatakan menolak dalam kurun waktu 2 tahun.[8]
4. Berdasarkan undang – undang nomor 62 tahun 1958
Undang – undang tentang kewarganegaraan Indonesia yang berlaku sampai sekarang adalah UU
No. 62 tahun 1958, yang mutlak berlaku sejak diundangkan tanggal 1agustus 1958. Beberapa
bagian dari undang – undang itu, yaitu mengenai ketentuan – ketentuan siapa warga negara
Indonesia, status anak – anak an cara – cara kehilangan kewarganegaraan, ditetapkan berlaku
surut hingga tanggal 27 desember 1949.
Hal – hal selengkapnya yang diatur dalam UU No. 62 tahun 1958 antara lain: (1) siapa yang
dinyatakan berstatus warga negara Indonesia (WNI), (2) naturalisasi atau pewarganegaraan
biasa,(3) akibat pewarganegaraan, (4) pewarganegaraan istimewa, (5) kehilangan
kewarganegaraan Indonesia, dan (6) Siapa yang dinyatakan berstatus asing.
Menurut undang – undang :
1) Mereka berdasarkan UU/ peraturan/perjanjian, yang terlebih dahulu (berlaku surut)
2) Mereka yang memenuhi syarat – syarat tertentu yang ditentukan dalam undang – undang itu.
Selain itu, mungkin juga seorang Indonesia menjadi orang asing karena :
1) Dengan sengaja, insyaf, dan sadar menolak kewarganegaraan RI,
2) Menolak kewarganegaraan karena khilaf atau ikut – ikutan saja,
3) Di tolak oleh orang lain, misalnya seorang anak yang ikut status orang tuanya yang menolak
kewarganegaraan RI.[9]
D. Masalah Kedudukan Hukum Bagi Orang Asing
Sesuai dengan pasal 38 UU No. 9 Tahun 1992 tentang keimigrasian, menyatakan pengawasan
terhadap orang asing di Indonesia meliputi: pertama, masuk dan keluarnya ke dan dari wilayah
Indonesia, kedua, keberadaan serta kegiatan orang asing di wilayah Indonesia. Adapun tugas
pengawasan terhadap orang asing yang berada di Indonesia dilakukan oleh menteri kehakiman
dengan koordinasi dengan badan atau instansi pemerintah yang terkait.
Masalah lain yang berkaitan dengan orang asing adalah tentang perkawinan campuran, yaitu
perkawinan antar a dua orang yang berbeda kewarganegaraan. Dan yang paling menimbulkan
persoalan serius adalah perkawinan campuran antar-agama.
1. Perkawinan campuran antar-golongan (intergentiel)
Bahwa hukum mana atau hukum apa yang berlaku , kalau timbul perkawinan antara dua orang,
yang masing – masing sama atau berbeda kewarganegaraannya, yang tunduk pada peraturan
hukum yang berlainan. Misalnya, WNI asal Eropa kawin dengan orang Indonesia asli.
2. Perkawinan campuran antar-tempat (interlocal)
Yakni perkawinan antara orang – orang Indonesia asli dari lingkungan adat. Misal , orang
Minang kawin dengan orang jawa.
3. Perkawinan campuran antar-agama (interriligius)
Mengatur hubungan (perkawinan) antara dua orang yang masing – masing tunduk pada peraturan
agama yang berlainan.
Dalam tataran praksis perkawinan campuran antar-agama tidak dikenal di Indonesia. UU No. 1
tahun 1974 tentang perkawinan secara tegas tidak menganut perkawinan campuran antar-agama.
Berkaitan dengan status istri dalam perkawinan campuran, maka terdapat dua asas:
a) Asas mengikuti, maka suami/istri mengikuti suami/istri baik pada waktu perkawinan
berlangsung, kemudian setelah perkawinan berjalan.
Pasal 26 UU Kewarganegaraan menyatakan :
Ayat (1) perempuan warga negara Indonesia yang kawin dengan laki – laki warga negara asing
kehilangan kewarganegaraan RI jika menurut hukum negara asal suaminya, kewarganegaraan
istri mengikuti kewarganegaraan suami sebagai akibat perkawinan tersebut. Ayat (2) Laki – laki
warga negara Indonesia yang kawin dengan perempuan warga negara asing kehilangan
kewarganegaraanya RI jika menurut hukum asal istrinya, kewarganegaraan suami mengikuti
kewarganegaraan istri sebagai akibat perkawinan tersebut.

b) Asas persamamerataan
Menurut asas ini, bahwasanya perkawinan tidak mempengaruhi sama sekali kewarganegaraan
seseorang, dalam arti mereka (suami atau istri) bebas menentukan sikap dalam menentukan
kewarganegaraan asal sekalipun sudah menjadi suami istri.
Ketentuan ini di atur dalam pasal 26 ayat (3) UU kewarganegaraan , bahwa perempuan atau laki
– laki WNI yang menikah dengan WNA tetap menjadi WNI jika yang bersangkutan memiliki
keinginan untuk tetap menjadi WNI. Adapun mekanismenya dengan, yaitu dengan jalan
mengajukan surat pernyataan mengenai keinginannya kepada pejabat atau perwakilan republik
Indonesia yang wilayahnya meliputi tempat tinggal perempuan atau laki-laki tersebut, kecuali
pengajuan tersebut mengakibatkan kewarganegaraan ganda
DASAR HUKUM YANG YANG MENGATUR WARGA NEGARA DI
INDONESIA
Warga Negara merupakan anggota sebuah Negara yang mempunyai tanggung jawab
dan hubungan timbal balik terhadap negaranya. Seseorang yang diakaui sebagai warga
Negara dalam suatu Negara haruslah ditentukan berdasarkan ketentuan yang telah
disepakati dalam Negara tersebut. Ketentuan itu menjadi asas atau pedoman untuk
menentukan status kewarganegaraan seseorang. Setiap negara mempunyai kebebasan
dan kewenangan untuk menentukan asas kewarganegaraan seseorang.
Pada masa pemerintahan kolonial belanda, penduduk indonesia berdasarkan “Indische
Staatsregeling”/ IS” (Peraturan Ketatanegaraan Hindia Belanda) tahun 1927, terbagi
menjadi 3 golongan: a. Golongan Eropa ialah:
1. Bangsa Belanda
2. Bukan bangsa Belanda, tetapi asalnya dari Eropa
3. Bangsa Jepang
4. Orang-orang yang berasal dari negara lain (Amerika, Australia, Rusia, dan Afrika
selatan)

b. Golongan Timur Asing ialah:


1. Golongan Cina (Tionghoa)
2. Golongan Timur Asing bukan Cina (Orang Arab, India, Pakistan, Mesir dan lain-lain)

c. Golonga Bumi Putra (Orang-orang Indonesia Asli)


Keberadaan rakyat yang menjadi penduduk sekaligus WNI secara konstitusional
tercantum di dalam pasal 26 UUD 1945. Penduduk negara Indonesia dapat dibedakan
menjadi 2 macam golongan. Yaitu golongan warga negara Indonesia (WNI) dan
golongan warga negara asing (WNA).
Setelah proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945, UU yang mengatur tentang
kewarganegaraan di Indonesia adalah sebagai Berikut:

a. Pasal 26 UUD 1945:


Pada masa kini pasal 26 UUD 1945 telah mengalami perubahan yang ke-4. Dalam pasal
ini dijelaskan tentang perbedaan antara penduduk dan warga negara
1) Yang menjadiwarga negara ialah orang-orang bangsa Indonesia asli dan orang-orang
bangsa lain yang disahkan dengan undang-undang sebagai warga negara
2) Penduduk adalah warga negara Indonesia dan orang-orang yang bertempat tinggal di
indonesia
3) Hal-hal yang mengenai warga negara dan penduduk diatur dengan undang-undang

b. UU No.3 tahun 1946


Menurut UU No.3 Tahun 1946 yang dimaksud orang-orang bangsa lain adalah orang-
orang peranakan Belanda, Peranakan tionghoa, dan Peranakan Arab yang bertempat
kedudukan di Indonesia. Mereka ini dapat menjadi warga negara.
Penduduk ialah:
1) Tiap-tiap orang yang bertempat kedudukan di dalam daerah negara selama satu tahun
berturut-turut.
2) Seorang perempuan selama didalam perkawinan turut berkedudukan hukum penduduk
negara suaminya.
3) Anak yang belum berumur 21 tahun dan belum kawin selama bapak atau walinya
berkedudukan hukum penduduk negara Indonesia.

Anda mungkin juga menyukai