Anda di halaman 1dari 3

PENGGOLONGAN PENDUDUK DAN PLURALISME HUKUM

1. 1. Latar belakang Penggolongan Penduduk Indonesia oleh Pemerintahan Belanda

Latar belakang pemerintahan Belanda memberlakukan penggolongan penduduk di Indonesia


adalah menjalankan politik devide et impera atau politik pemecah belah. Pemerintah Hindia
Belanda pada saat itu percaya bahwa pemerintahan kolonial Belanda akan terancam jika
golongan pribumi dan golongan-golongan lain bersatu untuk melawan mereka, sehinga ketiga
golongan tersebut sengaja dipisahkan (segregated) secara eksklusif dan mempunyai peranan
serta kondisi ekonomi yang sangat berbeda.

Dengan adanya unsur-unsur pembeda tersebutlah pemerintah Hindia Belanda dapat dengan
leluasa menjalankan politik adu domba antargolongan, sehingga antara satu golongan dengan
golongan lain memiliki rasa saling curiga yang kemudian menimbulkan konflik. Namun, rasa
senasib dan sepenanggungan sebagai bangsa yang terjajah menyebabkan kecurigaan dan
kebencian tersebut dapat diredam dan membangun rasa persatuan dan kesatuan untuk
memperoleh kemerdekaan.

Adanya pemisahan penduduk dengan golongan-golongan penduduk yang didasarkan pada etnis atau
ras dalam Pasal 163 IS ini berakibat pada bedanya sistem hukum yang diberlakukan terhadap setiap
golongan tersebut. Tiga golongan penduduk tersebut tunduk pada hukum perdata yang berbeda-
beda sebagaimana diatur dalam Pasal 131 IS.

Pasal 163 I.S suatu pasal yang mengadakan pembedaan golongan penduduk menjadi 3 ( tiga )
golongan yaitu:

Golongan Eropa, yang termasuk golongan eropa adalah:

~Semua orang Belanda


~Semua orang yang berasal dari Eropa tetapi tidak termasuk orang Belanda
~Semua orang Jepang (berdasarkan perjanjian dagang antara Belanda dengan Jepang tahun 1896 – S.
1898 – 49)
~Semua orang yagn berasal dari tempat lainyang di negerinya hukum keluarganya berasaskan yang
sama degan hukum keluarga Belanda
~Anak – anak sah atau yang diakui menurut ketentuan UU dari no. 2, 3, dan 4 yang lahir di Hindia
Belanda.

b. Golongan Pribumi, yaitu semua orang asli dari Hinda Belanda (sekarang Indonesia).

c. Golongan Timur Asing, yaitu semua orang yang bukan golongan Eropa dan bukan
golongan Bumiputera. Golongan Timur Asing dibedakan menjadi golongan T.A Tionghoa
dan T.A bukan Tionghoa (seperti orang–orang yang berasal dari India, Arab, Afrika dan
sebagainya).

Dengan penggolongan penduduk tersebut terlihat bahwa sejak jaman penjajahan, dalam
penerapan hukum perdata telah terdapat dualisme hukum, yaitu bagi golongan Eropa berlaku
hukum perdata, golongan timur asing berlaku hukum perdata, namun masih diakui beberapa
hukum perdata adat mereka yang tetap berlaku. Sedangkan bagi golongan bumi putera
berlaku hukum adat
Pluralisme Hukum di Indonesia

Pluralisme hukum secara umum didefinisikan sebagai suatu situasi di mana dua atau lebih
sistem hukum bekerja secara berdampingan dalam suatu bidang kehidupan sosial yang sama,

Perkembangan pluralisme hukum dalam gerakan perubahan hukum muncul melalui


advokasi-advokasi terhadap masyarakat adat. Dalam konteks ini, pluralisme hukum dipakai
untuk membela tanah-tanah masyarakat yang diambil paksa oleh negara atau pelaku swasta
(Simarmata, 2005). Hukum adat ditampilkan sebagai lawan dari hukum negara yang memberi
keabsahan perampasan-perampasan tanah adat. Lagi pula, dalam UUPA ada peluang melalui
aturan yang mengakui keberadaan tanah-tanah adat (ulayat). Singkatnya, konsep pluralisme
hukum dipakai untuk mengangkat kembali keberadaan hukum adat, dalam upaya untuk
melindungi sumber daya alam yang dimiliki masyarakat adat dari perampasan-perampasan
yang diabsahkan hukum negara.
Lebih jauh lagi, pluralisme hukum dipakai untuk mendorong pengakuan keberadaan
masyarakat adat oleh negara. Salah satu keberhasilan gerakan ini adalah menggolkan aturan
mengenai pengakuan dan penghormatan kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat hak-hak
tradisionalnya dalam Pasal 18B UUD 1945 pada amandemen kedua tahun 2000. Selain itu,
kemunculan TAP MPR Nomor IX/2001 tentang Pembaharuan Agraria, yang di dalamnya
diatur juga tentang masyarakat adat, juga tidak terlepas dari pengaruh pluralisme hukum.
Sejak munculnya aturan ini, hampir semua produk hukum negara yang berkaitan dengan
sumber daya alam memuat aturan mengenai masyarakat adat ini.
Di tataran praktis, gerakan untuk mendorong pengakuan masyarakat adat semakin
masih dilakukan aktivis-aktivis pro-masyarakat adat. Di antaranya dengan melakukan
pemetaan wilayah-wilayah adat di sejumlah tempat dan pendokumentasian hukum-hukum
adat. Karena, dua hal inilah yang menjadi syarat utama untuk diakuinya keberadaan
masyarakat adat. Selain itu, gerakan ini juga mendorong pemerintah-pemerintah daerah
mengakui masyarakat adat melalui pembentukan sejumlah regulasi daerah. Di sisi lain,
pemberlakuan otonomi daerah juga semakin memberi angin segar untuk gerakan ini.
Lebih jauh lagi, gerakan penggiat pluralisme hukum juga mencoba merambah ranah
penyelesaian sengketa, yaitu dengan mendorong adanya pengakuan terhadap lembaga-
lembaga penyelesaian hukum adat (peradilan adat). Hal ini dianggap sebagai salah satu
jawaban terhadap situasi lembaga penyelesaian sengketa negara (pengadilan) yang bobrok,
yang dinilai tidak dapat memberikan keadilan substantif. Gerakan ini intinya menawarkan
untuk membiarkan masyarakat menyelesaikan persoalannya sendiri melalui peradilan adat
tanpa melalui melibatkan pengadilan.

Anda mungkin juga menyukai