Dengan adanya unsur-unsur pembeda tersebutlah pemerintah Hindia Belanda dapat dengan
leluasa menjalankan politik adu domba antargolongan, sehingga antara satu golongan dengan
golongan lain memiliki rasa saling curiga yang kemudian menimbulkan konflik. Namun, rasa
senasib dan sepenanggungan sebagai bangsa yang terjajah menyebabkan kecurigaan dan
kebencian tersebut dapat diredam dan membangun rasa persatuan dan kesatuan untuk
memperoleh kemerdekaan.
Adanya pemisahan penduduk dengan golongan-golongan penduduk yang didasarkan pada etnis atau
ras dalam Pasal 163 IS ini berakibat pada bedanya sistem hukum yang diberlakukan terhadap setiap
golongan tersebut. Tiga golongan penduduk tersebut tunduk pada hukum perdata yang berbeda-
beda sebagaimana diatur dalam Pasal 131 IS.
Pasal 163 I.S suatu pasal yang mengadakan pembedaan golongan penduduk menjadi 3 ( tiga )
golongan yaitu:
b. Golongan Pribumi, yaitu semua orang asli dari Hinda Belanda (sekarang Indonesia).
c. Golongan Timur Asing, yaitu semua orang yang bukan golongan Eropa dan bukan
golongan Bumiputera. Golongan Timur Asing dibedakan menjadi golongan T.A Tionghoa
dan T.A bukan Tionghoa (seperti orang–orang yang berasal dari India, Arab, Afrika dan
sebagainya).
Dengan penggolongan penduduk tersebut terlihat bahwa sejak jaman penjajahan, dalam
penerapan hukum perdata telah terdapat dualisme hukum, yaitu bagi golongan Eropa berlaku
hukum perdata, golongan timur asing berlaku hukum perdata, namun masih diakui beberapa
hukum perdata adat mereka yang tetap berlaku. Sedangkan bagi golongan bumi putera
berlaku hukum adat
Pluralisme Hukum di Indonesia
Pluralisme hukum secara umum didefinisikan sebagai suatu situasi di mana dua atau lebih
sistem hukum bekerja secara berdampingan dalam suatu bidang kehidupan sosial yang sama,