Anda di halaman 1dari 7

1.

Mengapa masih ada atau tetap dibutuhkannya pluralisme dalam sistem hukum nasional
Indonesia ?
Indonesia masih tetap masih membutuhkan pluralism dalam sistem hukum nasional
sebab Pluralisme hukum sebagai pendekatan atau kajian tidak lain adalah alat bantu bagi
negara dalam proses pembentukan hukum dan pembangunan hukum yang lebih dekat
dengan masyarakat ke depannya. Pendekatan ini bukanlah pendekatan final yang nihil
kelemahan dan kritik atau bukanlah solusi yang serta merta menyelesaikan segala
permasalahan hukum yang ada pada masyarakat hingga lapis terbawah. Pluralisme
hukum hadir untuk memberikan perspektif keberagaman sistem normatif pada
Pemerintah, Legislator baik di tingkat pusat maupun daerah, dan aparat penegak hukum
bahwa sudah saatnya membuang jauh-jauh cara berhukum yang sentralistik dengan
mengabaikan keragaman. Dalam hal ini, terdapat beberapa jalan dalam memahami
pluralisme hukum. Pertama, pluralisme hukum menjelaskan relasi berbagai sistem
hukum yang bekerja dalam masyarakat. Kedua, pluralisme hukum memetakan berbagai
hukum yang ada dalam suatu bidang sosial. Ketiga, menjelaskan relasi, adaptasi, dan
kompetisi antar sistem hukum. Ketiga, pluralisme hukum memperlihatkan pilihan warga
memanfaatkan hukum tertentu ketika berkonflik. Dari tiga cara pandang tersebut dan
masih banyak cara pandang lainnya, secara ringkas kita bisa katakan bahwa pluralisme
hukum adalah kenyataan dalam kehidupan masyarakat.
Adapun faktor yang menyebabkan terjadi pluralisme dalam hukum perdata di Indonesia
adalah faktor golongan penduduk. Dimana setelah proklamasi kemerdekaan, sejak
berlakunya UU Darurat No. 1 Tahun 1951 ketentuan pasal 163 IS jo Pasal 75 RR secara
formal tidak berlaku lagi. Akan tetapi di bidang hukum perdata, faktor golongan
penduduk masih tetap memainkan peranan. Jadi secara kenyataan, peninggalan sejarah
hukum yang membagi penduduk Indonesia atas tiga golongan, masih tetap bertahan
dalam bidang hukum perdata. Keberadaannya masih persisi seperti yang diatur dalam
pasal 163 IS jo pasal 75 RR. Oleh karena itu, penerapan hukum perdata dalam praktek
peradilan masih bertitik tolak dari faktor kelompok golongan penduduk. Bagi golongan
Eropa dan Tionghoa tetap merujuk kepada ketentuan hukum perdata yang diatur dalam
Kitab Undang-undang Hukum Perdata. Dan bagi golongan Bumiputera berlaku hukum
adat. Dasar berlakunya pasal 163, 131 IS dan stb. 1917-129, stb. 1924-556 merupakan
ketentuan-ketentuan hukum dari tata hukum Hindia Belanda adalah Pasal II Aturan
Peralihan UUD 1945. Jadi peraturan-peraturan itu masih tetap berlaku, karena belum
diganti oleh peraturan perundang-undangan. Dengan berdasarkan Aturan Peralihan
tersebut, maka orang Indonesia asli (Bumiputera) dapat memakai peraturan-peraturan
undang-undang hukum perdata Eropa baik yang dimuat dalam BW dan WvK maupun
dalam undangundang diluar kedua kodifikasi tersebut. Faktor agama dalam pluralisme
hukum perdata telah ikut juga mempertajam penerapan pluralistik hukum perdata, karena
ada perbedaan penerapan hukum bagi penduduk yang berbeda agama. Dimana bagi
mereka yang beragama Islam dapat diterapkan hukum perdata Islam, sedang bagi
golongan Bumiputera yang non Islam diterapkan hukum adat.

Contoh hukum waris adalah


Hukum adat
Menurut Ter Haar, seorang pakar hukum dalam bukunya yang berjudul Beginselen en
Stelsel van het Adatrecht (1950), hukum waris adat adalah aturan-aturan hukum yang
mengatur penerusan dan peralihan dari abad ke abad baik harta kekayaan yang berwujud
dan tidak berwujud dari generasi pada generasi berikut. Di Indonesia hukum waris
mengenal beberapa macam sistem pewarisan, antara lain :

This study source was downloaded by 100000847220009 from CourseHero.com on 06-26-2022 00:41:24 GMT -05:00

https://www.coursehero.com/file/89919181/ISIP4131-Sistem-Hukum-Indonesiadoc/
 Sistem keturunan: sistem ini dibedakan menjadi tiga macam yaitu sistem patrilineal
yaitu berdasarkan garis keturunan bapak, sistem matrilineal berdasarkan garis
keturunan ibu, dan sistem bilateral yaitu sistem berdasarkan garis keturunan kedua
orang tua.
 Sistem Individual: berdasarkan sistem ini, setiap ahli waris mendapatkan atau
memiliki harta warisan menurut bagiannya masing-masing. Pada umumnya sistem ini
diterapkan pada masyarakat yang menganut sistem kemasyarakatan bilateral seperti
Jawa dan Batak.
 Sistem Kolektif: ahli waris menerima harta warisan sebagai satu kesatuan yang tidak
terbagi-bagi penguasaan ataupun kepemilikannya dan tiap ahli waris hanya
mempunyai hak untuk menggunakan atau mendapat hasil dari harta tersebut.
Contohnya adalah barang pusaka di suatu masyarakat tertentu.
 Sistem Mayorat: dalam sistem mayorat, harta warisan dialihkan sebagai satu kesatuan
yang tidak terbagi dengan hak penguasaan yang dilimpahkan kepada anak tertentu.
Misalnya kepada anak tertua yang bertugas sebagai pemimpin keluarga menggantikan
kedudukan ayah atau ibu sebagai kepala keluarga, seperti di masyarakat Bali dan
Lampung harta warisan dilimpahkan kepada anak tertua dan di Sumatra Selatan
kepada anak perempuan tertua.

Hukum Adat Potong Jari, Papua


Bersedih karena anggota keluarga meninggal biasanya dilampiaskan dengan menangis
atau meratapi kepergian hingga rasa sedih reda.Tapi berbeda bagi masyarakat suku Dani
di pegunungan Halmahera. Hukum adat yang berlaku malah seperti menambah derita
keluarga yang ditinggalkan, karena mereka harus memotong jari. Setiap ada seorang
anggota keluarga yang meninggal, seorang anggota suku tersebut harus memotong satu
ruas jari tangannya, sebagai pengingat bahwa anggota keluarga sudah tak lengkap lagi.
Kenapa ruas jari? Karena tangan melambangkan kesempurnaan, ketika ada yang hilang,
maka tentunya kehidupan tidak lagi sempurna.

2.a. Mengapa diperlukan penegasan hierarki Peraturan Perundang- undangan pada sistem
hukum di Indonesia?

Hierarki atau tata urutan peraturan perundang-undangan di Indonesia merujuk pada Pasal
7 ayat (1) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-Undangan (“UU 12/2011”) sebagaimana yang telah diubah dengan Undang-
Undang Nomor 15 Tahun 2019 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 12
Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan ("UU 15/2019”) yang
berbunyi:
Jenis dan hierarki Peraturan Perundang-undangan terdiri atas:
a. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
b. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat;
c. Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang;
d. Peraturan Pemerintah;
e. Peraturan Presiden;
f. Peraturan Daerah Provinsi; dan
g. Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.

This study source was downloaded by 100000847220009 from CourseHero.com on 06-26-2022 00:41:24 GMT -05:00

https://www.coursehero.com/file/89919181/ISIP4131-Sistem-Hukum-Indonesiadoc/
Kekuatan hukum peraturan perundang-undangan di atas sesuai dengan hierarki tersebut
dan peraturan perundang-undangan yang lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan
peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi.

Jenis peraturan perundang-undangan selain yang dimaksud di atas mencakup peraturan


yang ditetapkan oleh:
1. Majelis Permusyawaratan Rakyat (“MPR”);
2. Dewan Perwakilan Rakyat (“DPR”);
3. Dewan Perwakilan Daerah (“DPD”);
4. Mahkamah Agung;
5. Mahkamah Konstitusi (“MK”);
6. Badan Pemeriksa Keuangan;
7. Komisi Yudisial;
8. Bank Indonesia;
9. Menteri;
10. Badan, lembaga, atau komisi yang setingkat yang dibentuk dengan Undang-Undang
(“UU”) atau pemerintah atas perintah UU;
11.Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (“DPRD”) Provinsi dan DPRD kabupaten/kota;
12. Gubernur, bupati/walikota, kepala desa atau yang setingkat.

Peraturan perundang-undangan tersebut di atas diakui keberadaannya dan mempunyai


kekuatan hukum mengikat sepanjang diperintahkan oleh peraturan perundang-
undangan yang lebih tinggi atau dibentuk berdasarkan kewenangan.

Perlu juga diketahui bahwa dari hierarki dan jenis-jenis peraturan perundang-undangan
tersebut, materi muatan mengenai ketentuan pidana hanya dapat dimuat dalam UU,
Perda Provinsi, atau Perda Kabupaten/Kota.
Proses pembentukan peraturan perundang-undangan yang pada dasarnya dimulai dari
perencanaan, persiapan, teknik penyusunan, perumusan, pembahasan, pengesahan,
pengundangan, dan penyebarluasan. Di antara rangkaian proses di atas, ada proses yang
lain yang mempunyai peran yang sangat penting, yaitu proses penegasan hierarki. Proses
penegasan hierarki dimaksudkan agar tidak terjadi tumpang tindih antara peraturan
perundang- undangan. Proses penegasan hierarki dilakukan terhadap rancangan
peraturan perundang- undangan, bukan terhadap peraturan perundang-undangan yang
sudah jadi. Untuk peraturan perundang-undangan yang sudah jadi proses yang dilakukan
adalah pengujian yang dilakukan oleh lembaga yudisial (judicial review).

2.b. Apakah di dalam Peraturan Pemerintah yang salah satu fungsinya adalah berisi materi
untuk menjalankan Undang-Undang sebagaimana mestinya, boleh mencantumkan sanksi
pidana sedangkan dalam Undang-Undang nya sendiri tidak ada memuat sanksi pidana,
atau pemaksa,?. Tanggapan anda harus menyertakan dasar hukumnya.

Dasar hukum PP adalah Pasal 5 ayat (2) UUD Tahun 1945 yang menyebutkan : Presiden
menetapkan peraturan pemerintah untuk menjalankan undang-undang sebagaimana
mestinya. Yang dimaksud dengan Peraturan Pemerintah adalah Peraturan Perundang-
undangan yang ditetapkan oleh Presiden untuk menjalankan Undang-Undang
sebagaimana mestinya (Pasal 1 angka 5) UU No.12 Tahun 2011. Dengan demikian maka

This study source was downloaded by 100000847220009 from CourseHero.com on 06-26-2022 00:41:24 GMT -05:00

https://www.coursehero.com/file/89919181/ISIP4131-Sistem-Hukum-Indonesiadoc/
tidak akan ada PP jika tidak ada UU yang menjadi induknya. Menurut A Hamid S
Attamimi, kharakteristik dari PP adalah:

1. PP tidak dapat lebih dulu dibentuk tanpa ada UU yang menjadi induknya;

2. PP tidak dapat mencantumkan sanksi pidana apabila UU yangbersangkutan tidak


mencantumkan sanksi pidana;

3. Ketentuan PP tidak dapat menambah atau mengurangi ketentuan UU yang


bersngkutan;

4. PP dapat dibentuk meski ketentuan UU yang bersangkutan tidak memintanya secara


tegas;

5. Ketentuan-ketentuan PP berisi peraturan atau gabungan peraturan dan penetapan. PP


tidak berisi penetapan semata-mata.

3.a. Tentukan status masing – masing pelaku dalam contoh kasus di atas dan jawaban anda
harus disertai dengan ketentuan hukum yang mengaturnya.

 Badut Sebagai Korban

Menurut Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2004 tentang Komisi Kebenaran dan


Rekonsiliasi, yang dimaksud dengan korban adalah “orang perseorangan atau
kelompok orang yang mengalami penderitaan, baik fisik, mental maupun emosional,
kerugian ekonomi, atau mengalami pengabaian, pengurangan, atau perampasan hak-
hak dasarnya sebagai akibat pelanggaran hak asasi manusia yang berat termasuk
korban atau ahli warisnya.”

Menurut Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang


Perlindungan Saksi dan Korban, korban adalah seseorang yang mengalami
penderitaan fisik, mental, dan/atau kerugian ekonomi yang diakibatkan oleh suatu
tindak pidana. Kedudukan Korban Kejahatan dalam Sistem Peradilan Pidana
Indonesia berdasarkan KUHAP.

 Palu Sebagai Otak Pembunuhan

Pembunuhan berencana dalam KUHP Indonesia diatur dalam Pasal 340 yang
menyatakan “barangsiapa dengan sengaja dan dengan rencana terlebih dahulu
menghilangkan nyawa orang lain, diancam karena pembunuhan dengan rencana
(moord), dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup atau selama waktu
tertentu, paling lama dua puluh tahun”. Tindak pidana pembunuhan berencana ini
pada dasarnya adalah suatu pembunuhan biasa dalam Pasal 338 KUHP, akan tetapi
tindak pidana ini direncanakan terlebih dahulu. Maksud dari direncanakan terlebih
dahulu adalah antara timbulnya niat untuk membunuh dengan pelaksanaannya itu
masih ada tenggang waktu bagi pembuat untuk dengan tenang memikirkan dengan
cara bagaimana pembunuhan itu akan dilakukan.

This study source was downloaded by 100000847220009 from CourseHero.com on 06-26-2022 00:41:24 GMT -05:00

https://www.coursehero.com/file/89919181/ISIP4131-Sistem-Hukum-Indonesiadoc/
 Paku Sebagai esekutor

Pasal 340 KUHP yakni barangsiapa yang sengaja dengna rencana terlebih dahulu
yang mengakibatkan hilangnya nyawa seseorang, kemudian pertanggungjawabannya
dengan hukuman pidana mati atau seumur hidup atau paling lama dua puluh tahun.

Pasal (Pasal 55 dan Pasal 56 KUHP) tersebut, dapatlah diketahui bahwa menurut
KUHP pembagian golongan peserta terhadap tindak pidana penyertaan yaitu, mereka
yang melakukan (pembuat pelaksana: pleger), mereka yang menyuruh melakukan
(pembuat penyuruh: doen pleger), mereka yang turut serta melakukan (pembuat
peserta: medepleger), orang yang sengaja menganjurkan (pembuat penganjur:
uitlokker),dan pembantuan (medeplichtige).

 Skrup Sebagai Ikut Serta Pembunuhan

Bunyi Pasal 56 KUHP adalah sebagai berikut:


Dipidana sebagai pembantu kejahatan:
1. mereka yang sengaja memberi bantuan pada waktu kejahatan dilakukan ;
2. mereka yang sengaja memberi kesempatan, sarana atau keterangan untuk
melakukan kejahatan.
Mengenai Pasal 56 KUHP, R. Soesilo menjelaskan bahwa orang “membantu
melakukan” jika ia sengaja memberikan bantuan tersebut, pada waktu atau
sebelum (jadi tidak sesudahnya) kejahatan itu dilakukan. Bila bantuan itu
diberikan sesudah kejahatan itu dilakukan, maka orang tersebut melakukan
perbuatan “sekongkol” atau “tadah” melanggar Pasal 480 KUHP, atau peristiwa
pidana yang tersebut dalam Pasal 221 KUHP.

Dalam penjelasan Pasal 56 KUHP ini dikatakan bahwa elemen “sengaja” harus
ada, sehingga orang yang secara kebetulan dengan tidak mengetahui telah
memberikan kesempatan, daya upaya, atau keterangan untuk melakukan
kejahatan itu tidak dihukum. “Niat” untuk melakukan kejahatan itu harus timbul
dari orang yang diberi bantuan, kesempatan, daya upaya atau keterangan itu. Jika
niatnya itu timbul dari orang yang memberi bantuan sendiri, maka orang itu bersalah
berbuat “membujuk melakukan” (uitlokking).

3.b. Kapan seseorang dapat dikatakan memberikan bantuan?, dengan memperhatikan kasus
tersebut, tentukan siapa yang dikualifikasikan sebagai yang memberi bantuan?. Jawaban
anda harus menyebutkan dasar hukumnya.

Seseorang dikatakan memberi bantuan dalam melakukan tindakan kriminal dalam hal ini
disaat, terdapat dalam Pasal 56 KUHP adalah sebagai berikut:

Dipidana sebagai pembantu kejahatan:


1. mereka yang sengaja memberi bantuan pada waktu kejahatan dilakukan ;
2. mereka yang sengaja memberi kesempatan, sarana atau keterangan untuk
melakukan kejahatan.
Yang dikualifikasikan sebagai yang memberi bantuan adalah Skrup

This study source was downloaded by 100000847220009 from CourseHero.com on 06-26-2022 00:41:24 GMT -05:00

https://www.coursehero.com/file/89919181/ISIP4131-Sistem-Hukum-Indonesiadoc/
Sesuai dengan Pasal 56 KUHP adalah sebagai berikut:

Dipidana sebagai pembantu kejahatan:


1. mereka yang sengaja memberi bantuan pada waktu kejahatan dilakukan ;
2. mereka yang sengaja memberi

4.a. Dimanakah kompetensi absolut dari perkara tersebut? berikan dasar hukum untuk
menguatkan jawaban anda.

wewenangan/kompetensi absolut merupakan pemisahan kewenangan yang menyangkut


pembagian kekuasaan antara badan-badan peradilan, dilihat dari macamnya pengadilan,
menyangkut pemberian kekuasaan untuk mengadili (attributie van rechtsmacht). Pasal
24 ayat (2) UUD 1945 dan Pasal 18 UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan
Kehakiman yang menyatakan bahwa kekuasaan kehakiman terdiri dari Peradilan Umum,
Peradilan Agama, Peradilan Militer, dan Peradilan Tata Usaha Negara.

Terhadap kewenangan absolut, walaupun Tergugat tidak mengajukan eksepsi


kewenangan absolut atas perkara yang diajukan ke suatu badan pengadilan, maka majelis
hakim tetap harus memeriksa terkait kewenangan absolutnya untuk memeriksa,
mengadili, dan memutus perkara yang diajukan kepadanya. Apabila terbukti bahwa
perkara tersebut bukan merupakan kewenangan absolut pengadilan yang bersangkutan,
maka majelis hakim wajib menghentikan pemeriksaan.

Terhadap kewenangan pengadilan yang dianggap tidak sesuai maka Tergugat dapat
menyampaikannya melalui eksepsi. Eksepsi mengenai kewenangan Pengadilan tersebut
diajukan apabila pihak Tergugat merasa gugatan yang diajukan oleh pihak Penggugat
bukan merupakan perkara yang menjadi kewenangan Pengadilan Negeri untuk
memeriksa, mengadili, dan memutus.

Berdasarkan Pasal 136 HIR, apabila terdapat pengajuan eksepsi mengenai kewenangan
absolut maka hakim akan memeriksa dan memutus terlebih dahulu mengenai eksepsi
tersebut. Terhadap pengajuan eksepsi mengenai kewenangan absolut tersebut hakim akan
menunda pemeriksaan pokok perkara. Hal tersebut disebabkan oleh pemeriksaan serta
pemutusan mengenai eksepsi tersebut diambil dan dijatuhkan sebelum pemeriksaan
pokok perkara. Tindakan yang demikian bersifat imperatif dimana tidak dapat
dibenarkan memeriksa pokok perkara sebelum ada putusan yang menegaskan apakah
Pengadilan Negeri yang bersangkutan berwenang atau tidak untuk memeriksanya.

4.b. Mengingat domisili penggugat dan tergugat dari berbagai daerah, maka pengadilan
negeri manakah yang akan menjadi kompetensi relatif untuk perkara Tuan Anggur? dan
berikan alasan yang menjadi dasar anda menentukan kompetensi relatif tersebut.

Kewenangan/kompetensi relatif mengatur pembagian kekuasaan mengadili antar badan


peradilan yang sama, tergantung pada domisili atau tempat tinggal para pihak (distributie
van rechtsmacht), terutama tergugat. Pengaturan mengenai kewenangan relatif ini diatur
pada Pasal 118 HIR. Kewenangan relatif ini menggunakan asas actor sequitor forum rei
yang berarti yang berwenang adalah Pengadilan Negeri tempat tinggal Tergugat.

This study source was downloaded by 100000847220009 from CourseHero.com on 06-26-2022 00:41:24 GMT -05:00

https://www.coursehero.com/file/89919181/ISIP4131-Sistem-Hukum-Indonesiadoc/
Terhadap kewenangan/kompetensi relatif, jika pihak Tergugat tidak mengajukan jawaban
yang berisi eksepsi mengenai kewenangan/kompetensi relatif terhadap perkara yang
sedang diadili, maka perkara tersebut dapat dilanjutkan pemeriksaannya hingga majelis
hakim menjatuhkan putusan akhir. Terhadap kewenangan/kompetensi relatif, apabila
Tergugat tidak mengajukan jawaban yaitu eksepsi mengenai kewenangan relatif, maka
perkara tetap dapat dilanjutkan pemeriksaannya karena tidak menyangkut hal krusial,
yaitu hanya mengenai lokasi pengadilan seharusnya.

This study source was downloaded by 100000847220009 from CourseHero.com on 06-26-2022 00:41:24 GMT -05:00

https://www.coursehero.com/file/89919181/ISIP4131-Sistem-Hukum-Indonesiadoc/
Powered by TCPDF (www.tcpdf.org)

Anda mungkin juga menyukai