I. PENDAHULUAN
Sehubungan dengan pembangunan Hotel Premier Inn, yang berlokasi di Jl. Laksda Adi
Sucipto KM 10, Yogyakarta, maka memenuhi perintah kerja P.T. Satoria Prima Persada, Surabaya,
pada tanggal 8 s/d 19 November 2013, telah dilakukan penyelidikan tanah pada lokasi tsb. Rencana
proyek berupa hotel 8 lantai termasuk basement hingga kedalaman 2 m. Lokasi pembangunan
diberikan pada Gambar 1 berikut ini.
Lokasi proyek
Penyelidikan tanah yang telah dilakukan ini bertujuan untuk memberikan informasi berupa
stratifikasi, kekuatan dan kondisi lapisan-lapisan tanah bawah lokasi ybs. Hasil-hasil penyelidikan
berupa parameter-parameter kekuatan tanah, diharapkan dapat dipergunakan untuk menunjang data
perencanaan pondasi beserta basement agar analisa yang dilakukan dapat dilakukan seksama, dan
maksimal, aman, effisien serta dimungkinkan pula pelaksanaannya dengan jasa pelayanan dan pilihan
yang tersedia dipasaran konstruksi setempat.
Letak titik titik uji penyelidikan tanah ditentukan oleh pihak pemberi kerja, diberikan pada
Gambar 2 di bawah ini. Tidak dilakukan pengukuran elevasi dan koordinat titik-titik uji. Berdasarkan
pengamatan visual, elevasi muka tanah antara titik-titik uji relatif datar dengan jalan di depannya.
Jl. Laksda Adi Sucipto
Pot 1-1
S-6
S-5
DB-2
Rumah2 penduduk
Rumah2 penduduk
S-4
S-3
DB-1
S-2
S-1
Pot 1-1
Mesjid
2 titik bor @ 30 s/d 30.5 m, disertai SPT (Standard Penetration Test) free fall hammer dengan
interval 2 m.
Pengambilan contoh tanah (undisturbed maupun fairly undisturbed sampling), ASTM D-1587.
Hasil-hasil 6 titik uji sondir disajikan grafis pada lampiran A.1. Kompilasi data bacaan
manometer disajikan berupa grafik-grafik yang memperlihatkan besar dan pola perlawanan lapisanlapisan tanah dasar terhadap penetrasi bikonus; dinyatakan dengan qc (tahanan ujung), TCF (jumlah
hambatan pelekat), fs (gesekan lokal) dan juga FR (rasio gesekan); kesemuanya vs kedalaman.
Pengujian 6 titik sondir terlaksana s/d kedalaman maksimum 4.6 m hingga 7.8 m pada saat penetrasi
2
Sedangkan hasil-hasil pemboran pada 2 (dua) titik disajikan dalam boring log, lampiran A.2.
Hasil-hasil pemboran disusun di dalam kotak-kotak pemboran (wooden core boxes) untuk diskripsi
visual lapisan-lapisan tanah bawah sehingga dapat digambarkan profil tanah penyusun lapisan-lapisan
tanah areal lokasi setempat. Dokumentasi pekerjaan lapangan dan corebox yang berisi tanah hasil
pemboran diberikan dalam lampiran A.7. Berdasarkan hasil-hasil uji sondir dan bor yang telah
dilaksanakan disajikan nilai tahanan konus dan nilai SPT versus kedalaman dalam Gambar 3. Secara
umum lapisan tanah bawah permukaan pada lokasi setempat didominasi oleh lapisan granular, pasir
bercampur lanau hingga kedalaman akhir pemboran, 30 m.
qc (kg/cm2)
50
100
150
200
250
10
10
Depth, m
Depth, m
15
20
25
10
20
30
40
50
15
20
S-1
S-2
S-3
S-4
S-5
S-6
25
DB-1
DB-2
30
30
2
Muka air tanah diperkirakan pada kedalaman 10 m. Bilamana diperlukan pengujian lebih
spesifik (pencatatan dalam waktu yang cukup lama/ berganti musim) dapat dilakukan dengan tujuan
untuk memastikan variasi kedalaman muka air tanah. Pengamatan dapat dengan cara memasang
beberapa sumur observasi dan beberapa piezometer. Umumnya lapisan tanah pasir memiliki
permeabilitas cukup tinggi seperti yang disampaikan oleh Milligan (1975), dalam Gambar 4 berikut ini.
Gambar 4. Perkiraan koefisien permeabilitas untuk tanah dan batuan (Milligan, 1975).
Untuk lebih jelasnya diberikan perkiraan profil tanah berdasarkan hasil-hasil uji sondir dan bor
pada Gambar 5 berikut ini.
10 20 30 40 50
DB-1, N -SPT
5
30
28
26
24
22
20
18
16
14
12
10
17
>50
>50
38
>50
27
0
0
S-4 (kg/cm2)
S-3 (kg/cm2)
14
28
35
>50
25
20
15
10
S-2 (kg/cm2)
S-1 (kg/cm2)
30
28
26
24
22
20
18
16
14
12
10
11
34
32
43
40
38
>50
>50
>50
27
22
Sand, greyish
brown, trace silt/4
gravel, medium
12
11
10
10 20 30 40 50
DB-2, N -SPT
0
S-5 (kg/cm2)
S-6 (kg/cm2)
Kedalaman Klasifikasi,
(m)
USCS
t
3
t/m
Gs
wc
%
eo
LL
%
PL
%
PI
%
02.50-03.00
ML
1.74
2.64
36
1.06
37
27
10
20.50-21.00
SM
1.83
2.50
32
0.80
24
19
02.00-02.50
ML
1.80
2.60
33
0.92
36
26
10
22.50-23.00
ML
1.69
2.50
46
1.14
51
33
18
DB-1
DB-1
Kedalaman
(m)
c
kg/cm
qu
kg/cm
Cc
Cs
02.50-03.00
0.43
0.85
0.32
0.03
20.50-21.00
0.25
26
0.21
0.02
02.00-02.50
0.60
0.33
0.03
22.50-23.00
0.38
0.76
0.36
0.04
DB-2
DB-1
Indonesia telah memiliki standar peraturan perencanaan ketahanan gempa untuk stuktur
bangunan gedung yaitu SNI-03-1726-2002 dalam mengantisipasi bahaya gempa. Peta gempa yang ada
dalam SNI 2002 tsb. berupa peta percepatan puncak atau Peak Ground Acceleration (PGA) di batuan
dasar (SB) untuk probabilitas terlampaui 10% dalam masa layan bangunan 50 tahun atau bersesuaian
dengan perioda ulang gempa 500 tahun. Yogyakarta berada di wilayah gempa 3 dengan percepatan
batuan dasar sebesar 0.15 g untuk periode ulang 500 tahun, disajikan dalam Gambar 6.
Gambar 6. Percepatan puncak batuan dasar untuk perioda ulang 500 tahun (SNI 2002).
Namun seiring dengan berjalannya waktu, dan peristiwa gempa yang terjadi akhir-akhir ini,
standar perencanaan diperbarui guna mengakomodir perkembangan iptek dan data-data kejadian
gempa terbaru, sehingga telah diterbitkan peta hazard gempa Indonesia 2010, oleh Kementrian
Pekerjaan Umum, Juli 2010, sebagai acuan dasar dalam perencanaan dan perancangan infrastruktur
tahan gempa. Dimana sesuai dengan zonasi gempa Indonesia terbaru, percepatan batuan dasar untuk
daerah Yogyakarta menjadi 0.25 g s/d 0.30 g, disajikan pada Gambar 7 di bawah ini
Gambar 7. Percepatan puncak batuan dasar sesuai peta zonasi gempa Indonesia, Juli 2010.
Faktor amplifikasi didefinisikan sebagai rasio besarnya percepatan puncak atau spektrum
percepatan di permukaan tanah terhadap percepatan puncak atau spektrum percepatan di batuan
dasar. Faktor amplifikasi ini memiliki nilai yang berbeda dan dipengaruhi oleh jenis, dan modulus geser
tanah sesuai dengan level tekanan dan regangan yang terjadi. Besar amplifikasi di permukaan tanah
dapat ditentukan dengan melakukan analisa respons spesifik (SSRA) yaitu dengan melakukan
perambatan gelombang dari batuan dasar ke permukaan tanah dan didukung oleh pengujian downhole
seismic (SDT), dengan salah satu outputnya berupa nilai kecepatan gelombang geser (Vs) yang dapat
digrafikkan thd. kedalaman, dimana pengujian tsb. diilustrasikan pada Gambar 8 di bawah ini.
N SPT
ti
ti
Ni
Vs
t i
t
i
Vs i
Su
ti
ti
Sui
dimana :
ti
Vsi
= kecepatan rambat gelombang geser pada lapisan tanah ke-i dalam satuan m/detik,
Ni
Tabel 3. Spesifikasi kategori tanah berdasarkan SNI-2002, UBC-97, IBC-2009, dan ASCE 7-10.
Kategori Tanah
Kecepatan Gelombang
Geser, vs
(m/sec)
Tanah keras
350
50
100
Tanah sedang
175 - 350
15 - 50
50 - 100
< 175
< 15
< 50
Tanah lunak
atau setiap profil dengan tanah lunak yang tebal total lebih dari 3 m
dengan PI > 20, wn 40%, dan Su < 25 kPa
Tanah khusus
Tabel 4. Hasil perhitungan nilai rata-rata NSPT untuk setiap titik pemboran.
NSPT
rata-rata
1.80
16.65
Tanah sedang
1.52
19.71
Tanah sedang
Data Bor
ti
(ti / Ni)
DB-1
30
DB-2
30
Hasil nilai rataan NSPT menunjukkan bahwa kondisi lapisan tanah setempat termasuk kedalam
kategori tanah sedang. Klasifikasi ini merupakan ukuran dari besarnya beban gempa yang perlu
dijadikan kirteria didalam perencanaan desain pondasi maupun struktur atas suatu bangunan tahan
gempa. misalnya penentuan faktor amplifikasi untuk perioda pendek (0.2 detik) dan perioda 1 detik yang
akan diuraikan berikut ini.
Respon spektra merupakan nilai yang menggambarkan respons maksimum dari sistem
berderajat-kebebasan-tunggal (SDOF) pada berbagai frekuensi alami (perioda alami) terendam akibat
suatu goyangan tanah. Guna menentukan parameter spektrum respons percepatan dipermukaan tanah,
diperlukan spektrum percepatan untuk perioda pendek 0.2 detik (Ss) dan perioda 1.0 detik (S1) di batuan
dasar, yang diperoleh dari Gambar 9 dan Gambar 10 berikut ini.
Gambar 10. Respon spektra percepatan 1.0 detik di batuan dasar ( 0.40 g).
Berdasarkan tersebut di atas, respon spektra percepatan untuk perioda pendek 0.2 detik dapat
dianggap sebesar 0.75 g, dan untuk perioda 1 detik dapat diambil 0.275 g. Parameter spektrum respons
percepatan di permukaan tanah dapat diperoleh dengan cara mengalikan koefisien F a dan Fv dengan
spektrum percepatan untuk perioda pendek 0.2 detik (Ss) dan perioda 1.0 detik (S1) di batuan dasar,
dituliskan sbb. :
SMS = Fa x Ss dan SM1 = Fv x S1
dimana :
Ss
= Nilai respon spektra percepatan untuk perioda pendek 0.2 detik di batuan dasar,
S1
= Nilai respon spektra percepatan untuk peroda 1.0 detik di batuan dasar,
Fa
F1
10
Tabel 5. Koefisien periode pendek (0.2 detik) dan perioda 1.0 detik.
Ss
Klasifikasi site
S1
0.25
0.5
0.75
1.0
1.25
0.1
0.2
0.3
0.4
0.5
Tanah keras
1.2
1.2
1.1
1.0
1.0
1.7
1.6
1.5
1.4
1.3
Tanah sedang
1.6
1.4
1.2
1.1
1.0
2.4
2.0
1.8
1.6
1.5
Tanah lunak
2.5
1.7
1.2
0.9
0.9
3.5
3.2
2.8
2.4
2.4
Tanah khusus
Setelah diperoleh nilai SMS dan SM1, selanjutnya dapat dihasilkan kurva respon spektra desain
dipermukaan tanah, untuk masing-masing jenis tanah. Gambar 11 berikut ini menyajikan perbandingan
antara respon spektra percepatan pada permukaan tanah, berdasarkan SNI 2002 (terdahulu) dan
berdasarkan peta zonasi gempa terbaru (2010), mengingat berdasarkan nilai rataan SPT hingga
kedalaman 30 m, diperoleh informasi kondisi lapisan tanah setempat termasuk dalam kategori tanah
sedang.
0.8
Tanah Sedang (2002)
0.7
0.6
0.5
0.4
0.3
0.2
0.1
0
0
0.5
1.5
2.5
3.5
4.5
5.5
6.5
7.5
8.5
9.5 10
Mengingat terdapat perencanaan basement untuk proyek ybs., sebaiknya didalam design
perancangan konstruksi basement juga memperhatikan distribusi tekanan lateral yang ditimbulkan oleh
beban gempa, sesuai klasifikasi site/ kondisi tanah yang telah disajikan sebelumnya.
11
V. KAJIAN TEKNIS
V.1. Perkiraan kapasitas dukung pondasi.
Disamping itu dengan adanya rencana konstruksi basement hingga 2 m terhitung dari muka
tanah saat pelaksanaan pemboran, maka lebih mudah diakomodir dalam pelaksanaan tiang bor
meskipun galian dikerjakan setelah pelaksanaan pondasi tiang selesai, yaitu dengan pengecoran tiang
hingga kedalaman cut off level rencana.
Perkiraan kapasitas dukung ijin tiang tekan maupun tarik terhadap beban statik (belum
memperhitungkan adanya effek dinamis), diperkirakan dengan metode Reese (1977), berdasarkan
data masing-masing bor, dengan angka keamanan 3. Output perhitungan diberikan dalam lampiran A.6,
hasil-hasilnya disimpulkan dalam Tabel 6 di bawah ini.
Top pile
elevation
m
Tip pile
elevation
m
Pile length
m
DB-1
-2
-13
11
DB-2
-2
-13
11
12
Diameter
tiang, cm
Qall Tekan
(ton/ tiang)
(Qtip+Qskin)/ 3
Qall Tarik
(ton/ tiang)
(0.7Qskin/3
40
50
60
80
100
120
40
50
60
80
100
120
43
56
71
103
130
167
35
47
60.5
90.5
110
143
24
30
35.5
47
59
71
18
22.5
27
36
45
54
Salah satu aspek yang perlu mendapat perhatian tersendiri adalah pengecoran material beton.
Pengecoran beton tanpa menggunakan pipa tremmie hasilnya kurang dapat dipertanggung jawabkan,
terutama dikhawatirkan terjadi seggregassi (jatuhnya material kerikil berbutir besar dalam pasta beton
terlebih dulu dan mengumpul dibawah), kemungkinan necking ataupun keropos pada tiang yang
meningkatkan potensi kegagalan pondasi.
Disamping itu
berkerikil, maka dalam pelaksanaan pondasi tiang bor di lapangan hendaknya dilakukan oleh jasa
pemboran yang handal dan memiliki peralatan yang memadai untuk dapat menembus lapisan tanah tsb
hingga ke kedalaman yang direncanakan.
Sebagai pemeriksaan terhadap mutu dan kwalitas pekerjaan pondasi tiang agar memenuhi
kriteria perencanaan, serta terutama untuk mengusahakan effisiensi dan terjaminnya keamanan
konstruksi terutama karena adanya variasi kekuatan lapisan tanah, maka pada pelaksanaan pondasi
tiang disarankan dilakukan program pengendalian kwalitas (QA/ QC, quality assurance/ quality control),
berupa pemeriksaan keutuhannya (dilakukan dengan SIT,sonic integrity test), dan kapasitas dukungnya
diverifikasikan berdasarkan hasil uji pembebanan yang dapat dilakukan dengan uji pembebanan
dinamis (DLT, dynamic load test ataupun PDA, pile driving analyzer) yang akhir-akhir ini populer karena
ekonomis dan lebih cepat pelaksanaannya. Sedangkan untuk mengetahui kualitas dan konsistensi
beton pada pondasi tiang bor dapat dilaksanakan CSL (Crosshole sonic logging). Dengan cara ini dapat
dideteksi kerusakan pada beberapa kedalaman sekaligus keparahannya bahkan dapat mendeteksi
adanya soft bottom bilamana instalasi pipa uji tertanam hingga ujung bawah pondasi tiang bor.
Pengujian dilakukan dapat secara random sampling, ataupun dipilih pada tiang-tiang yang
dicurigai kurang sempurna pelaksanaannya. Untuk tiang-tiang bor berpenampang ramping hingga
sedang, lebih dimungkinkan pengujian dinamis atas sejumlah tiang yang lebih banyak (karena murah
dan juga cepat). Dengan makin kerapnya data pengujian pembebanan ini akan lebih memungkinkan
pemakaian angka keamanan lebih rendah, sehingga effisien.
Adanya pekerjaan galian basement dalam proyek ini sangat riskan terhadap bahaya
kelongsoran, oleh karena itu diperlukan pengendalian mutu pada pekerjaan galian. Pengendalian mutu
dapat dilakukan melalui penggunaan alat berat yang sesuai, pelaksanaan tahap penggalian sesuai yang
disyaratkan, pengawasan yang dilakukan secara terus menerus, monitoring melalui intrumentasi yang
dipasang di lapangan, pergerakan tanah, penurunan dsb. nya.
13
Sehubungan dengan hal tsb. sangat perlu dilakukan proteksi galian untuk meninjau baik
stabilitas kondisi eksisting yang ada maupun stabilitas lereng pada saat galian mencapai dasar galian.
Alternatif proteksi terhadap galian lereng secara umum dapat dilakukan dengan cara sbb. :
o
Melakukan proteksi permukaan galian terbuka dengan material yang diijinkan dan menutup semua
permukaan galian dengan menggunakan shotcrete atau concrete lining tidak lebih dari 1 hari
setelah pekerjaan galian dilakukan, dan harus segera dilakukan jika muka air tinggi, tanah lunak
dsb.,
Menutup lereng galian terbuka yang belum diproteksi dengan plastik dalam kondisi hujan.
Memberi perkuatan dengan soil nailing untuk galian terbuka (open cut) di beberapa lokasi.
Pekerjaan harus dilakukan sesuai syarat dan ketentuan yang ada serta harus dikontrol oleh
Pengawas,
Menggunakan soldier pile di beberapa lokasi yang tidak memungkinkan dilakukan galian terbuka.
Pekerjaan harus dilakukan sesuai persyaratan serta ketentuan yang ada dan harus dikontrol oleh
pengawas,
Membuat horizontal drain dan weephole pada lereng lereng galian untuk mengalirkan air (bila
ada) dengan ketentuan sesuai perencanaan,
Menghindari pemberian beban yang berlebihan di atas lereng galian seperti timbunan material,
peralatan berat atau beban-beban lain yang membahayakan stabilitas lereng galian, kecuali
mendapat persetujuan dari pengawas.
14