EMMY HAREFA
ABSTRAK
Fakta menunjukkan bahwa diabetes meningkat dengan pesat bersamaan dengan
komplikasi mikrovaskular maupun komplikasi makrovaskular. Komplikasi klinis DM
berkorelasi erat dengan status glikemik, oleh karena itu untuk mencegah komplikasi
diabetes, sangat diperlukan marker kontrol glikemik. Pemantauan status glikemik
berdasarkan glikasi protein seperti HbA1c, glycated albumin dan fruktosamin
menggambarkan rerata glukosa darah sesuai waktu paruh dari protein tersebut. HbA1c
merupakan marker yang paling banyak dipakai, bahkan dianggap sebagai gold standard
pengukuran untuk menilai kontrol glikemik. Akan tetapi, ada beberapa situasi yang
memerlukan alternatif kontrol glikemik disebabkan pengukuran HbA1c dipengaruhi oleh
hemoglobin varian dan kondisi lain yang mempengaruhi masa hidup eritrosit seperti
anemia hemolitik dan anemia renal, sehingga kurang sesuai digunakan sebagai indikator
kontrol glukosa. Saat ini, sedang dikembangkan pemeriksaan glycated albumin yang dapat
menilai status glikemik dalam 2-3 minggu sebelumnya. Glycated albumin merupakan
ketoamin yang terbentuk dari ikatan albumin dan glukosa oleh reaksi oksidasi non
enzimatik sebagai indeks kontrol glikemik yang tidak dipengaruhi oleh kelainan
metabolisme hemoglobin. Oleh sebab itu, glycated albumin diharapkan dapat memantau
pemberian terapi dan mengantisipasi lebih dini terjadinya komplikasi DM.
PENDAHULUAN
Saat ini pemeriksaan HbA1c paling banyak digunakan dan dianggap sebagai gold standard
indeks kontrol glikemik. HbA1c berhubungan dengan komplikasi diabetes jangka panjang.
Namun ada beberapa kondisi yang memerlukan pemeriksaan alternatif untuk kontrol
glikemik karena HbA1c dipengaruhi oleh varian hemoglobin dan kondisi lain yang
mempengaruhi masa hidup eritrosit seperti anemia hemolitik dan anemia renal, sehingga
kurang sesuai digunakan sebagai indikator kontrol glukosa. dan sebaliknya, menandakan
pemanfaatan HbA1c sebagai ukuran regulasi metabolik diabetes.1,2,3
Glycated albumin merupakan suatu indeks kontrol glikemik yang tidak dipengaruhi oleh
gangguan metabolisme hemoglobin sehingga dapat digunakan pada kondisi dimana HbA1c
tidak dapat digunakan. Selain itu dapat digunakan untuk pengelolaan penyakit diabetes
melalui pemantauan kadar glukosa jangka pendek dan konfirmasi awal untuk keberhasilan
terapi. Glikasi
berbagai
protein
meningkat
GA
tidak
dipengaruhi
Gambar 1. Pembentukan albumin glikat (AG) dari albumin dan glukosa. Awalnya bentuk basa
Schiff (aldimin) kemudian mengalami penataan kembali amadori menjadi bentuk ketoamin.
Pembentukan produk akhir glikasi lanjut (advanced glycation end products = AGEs) 4
rata-rata
sekitar
perubahan status glukosa darah 1-2 minggu setelah pengobatan dimulai sehingga
efikasi
pengobatan
bisa didapat lebih cepat. Status glukosa darah dapat lebih akurat
dinilai dengan interval setiap bulan dengan pengukuran GA dibanding pengukuran HbA1c1.
Postprandial Hyperglicemia
oleh
kondisi hiperglikemik
postprandial, maka GA lebih sesuai dipakai sebagai indeks kontrol glikemik DM dan sebagai
indeks prediksi perkembangan penyakit
Anemia (Anemia Hemolitik, Anemia Defisiensi Besi, Status Defisiensi Besi, Terapi
sedangkan
hidup
eritrosit
lebih
berkaitan dengan kadar glukosa plasma. HbA1c juga menunjukkan kadar yang lebih tinggi
disebabkan glikemia bahkan pada kondisi defisiensi besi tanpa anemia. Hampir sebagian
besar wanita premenopause mengalami defisiensi besi, sehingga kadar HbA1c relatif lebih
tinggi terhadap nilai glukosa plasma puasa. Sebaliknya, anemia defisiensi besi yang diterapi
dengan suplemen besi, menyebabkan penurunan HbA1c sementara karena masa hidup
eritrosit lebih pendek. Namun, GA tidak dipengaruhi kondisi tersebut, sehingga dapat
menjadi indeks kontrol glikemik pada wanita premenopause yang seringkali mengalami
anemia defisiensi besi.4
4.
Kehamilan
HbA1c dianggap bukan indeks kontrol glikemik yang sesuai selama hamil. Berbeda
dengan GA yang tidak dipengaruhi oleh defisiensi besi yang sering terjadi pada trimester
ketiga kehamilan, dan memiliki kelebihan dalam menggambarkan status kontrol glikemik
jangka pendek, sehingga dapat dipertimbangkan sebagai indeks kontrol glikemik selama
kehamilan.4,9
5. Chronic Liver Diseases (Sirosis Hati)
Sekitar 70-90% pasien chronic liver diseases
glukosa terganggu dan 30-60% diantaranya DM. Kadar HbA1c pada CLD lebih rendah
karena memendeknya masa hidup eritrosit, yang berasal dari hipersplenisme pada pasien
CLD. Sebaliknya, kadar GA dan fruktosamin lebih tinggi karena masa hidup albumin lebih
panjang akibat penurunan kapasitas sintesis albumin.4
CLD-HbA1c (sebagai rata-rata HbA1c dengan GA/3) dapat dipertimbangkan untuk
digunakan sebagai indeks kontrol glikemik pada pasien CLD. Hasil studi Masafumi dkk
menunjukkan bahwa
dengan kadar
rasio
dapat dipakai sebagai indeks kontrol glikemik CLD-HbA1c sama halnya dengan indeks
fungsi hati yakni rasio GA/HbA1c pada CLD (Gambar 2).4
Gambar 2. Proposal Pemeriksaan terkait Diabetes pada Pasien CLD Komplikasi dengan Diabetes1
6.
Pada gagal ginjal kronik (PGK), nilai HbA1c lebih rendah kaitannya dengan glikemia karena
anemia renal. Selain itu,
pemberian
eritropoietin
pada
anemia
renal, menunjukkan
kadar HbA1c yang lebih rendah karena masa hidup eritrosit lebih pendek. Beberapa
studi melaporkan hasil HbA1c tidak akurat pada pasien hemodialisis, namun GA dapat
dipertimbangkan sebagai indeks
kontrol
karena tidak dipengaruhi anemia renal. Pada DM dengan dialisis peritoneal, GA sesuai
digunakan untuk menggambarkan status kontrol glikemik sedangkan HbA1c tidak. Akan
tetapi,
pada
pasien
nefropati diabetik
(tahap
III
atau
IV)
yang
ditandai
adanya
gagal
ginjal
stadium
akhir
(end-stage
renal
5,9,10
7. Hemoglobin Varian
Hemoglobin abnormal umumnya ditemukan dengan gejala seperti anemia dan sianosis.
Jika diduga terdapat adanya
HbA1c secara
hemoglobin dengan glikasi yang meningkat atau menurun, pada kasus ini nilai HbA1c
metode immunologik dapat terpengaruh. Itulah sebabnya pada kasus ini nilai HbA1c
tidak
selalu mencerminkan
pengukuran
HbA1c
kontrol
melalui
status
glikemik.
Hb
varian mempengaruhi
memendeknya
masa
hipertrigliseridemia dan nonalcoholic fatty liver disease (NAFLD) yang memiliki kadar
alanine aminotransferase (ALT) yang tinggi di mana mikroinflamasi kronik timbul juga
mengalami penurunan kadar GA.4
STANDARISASI GA
Pada saat ini, pemeriksaan glycated albumin belum banyak digunakan dan belum
terstandarisasi oleh seluruh dunia. Meskipun GA saat ini belum terstandarisasi, namun
disebutkan bahwa metode referensi untuk pemeriksaan GA adalah Isotope Dilution
Mass
Spectrometry
standarisasi
metode
GA
yang
berbeda terhadap referensi ini jika penggunaan GA meningkat dan ada kebutuhan untuk
standardisasi. Belum diketahui dengan jelas apakah GA dapat digunakan atau tidak
untuk diagnosis diabetes. Selain itu juga, nilai cut-of GA yang sesuai untuk diagnosis
masih belum jelas diketahui. Baik HbA1c atau GA memberikan estimasi kontrol glikemik
yang optimal pada semua penyandang DM.4,5
RINGKASAN
Komplikasi klinis DM berkorelasi signifikan dengan status glikemik. HbA1c masih tetap
merupakan gold standard marker untuk kontrol glikemik dalam manajemen DM akan tetapi
HbA1c tidak selalu ideal dan akurat menggambarkan status kontrol glikemik pada kondisi
patologis tertentu. Pada beberapa kondisi patologis, HbA1c tidak menggambarkan status
kontrol glukosa plasma yang akurat. GA dapat melihat status glikemik dalam 2-3 minggu
yang lalu sesuai dengan usia albumin. Pengukuran pemeriksaan GA dilakukan saat inisiasi
terapi untuk menentukan regimen pengobatan dan dosis serta untuk menilai efikasi
pengobatan secara keseluruhan.
Rujukan :
1. Koga M, Kasayama S. Clinical impact of glycated albumin as another glycemic control marker. Endocr J.
2010;57(9):751-62. Epub 2010 Aug 17. Review
2. Little RR. Usefulness of glycated albumin assay for diabetes monitoring. J Diabetes Sci Technol.
2011;5(6):1463-5.
3. http://epinex.com/pdf/Epinex_GlycatedAlbumin.pdf
4. Roohk HV, Zaidi AR. A review of glycated albumin as an intermediate glycation index for controlling
diabetes. J Diabetes Sci Technol. 2008 Nov;2(6):1114-21.
5. Kohzuma T, Yamamoto T, Uematsu Y, Shihabi ZK, Freedman BI.Basic performance of an enzymatic method
for glycated albumin and reference range determination.J Diabetes Sci Technol. 2011 ;5(6):1455-146
6. Kwang Joon Kim and Byung-Wan Lee. The Roles of Glycated Albumin as Intermediate Glycation Index and
Pathogenic Protein. Diabetes Metab J. 2012 April; 36(2): 98107.
7. http://www.asahi-kasei.co.jp/shindan/en/ga-l/index.html
8. Kohzuma T, Yamamoto T, Uematsu Y, Shihabi ZK, Freedman BI.Basic performance of an enzymatic method
for glycated albumin and reference range determination.J Diabetes Sci Technol. 2011 ;5(6):1455-1462.
9. Vos FE, Schollum JB, and Walker RJ. Glycated albumin is the preferred marker for assessing glycaemic
control in advanced chronic kidney disease. NDT Plus.2011;4: 368375
10. Speeckaert M1, Van Biesen W, Delanghe J, Slingerland R, Wiecek A, Heaf J, Drechsler C,
Lacatus R, Vanholder R, Nistor I; for the European Renal Best Practice Guideline
Development Group on Diabetes in Advanced CKD . Are there better alternatives than
haemoglobin A1c to estimate glycaemic control in the chronic kidney disease population? Nephrol Dial
Transplant. 2014 Jan 26. [Epub ahead of print]