Anda di halaman 1dari 12

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Tinjauan Tentang Uji Toksisitas


2.1.1 Tujuan Uji Toksisitas
Toksisitas adalah kemampuan zat kimia untuk menimbulkan kerusakan pada saat
mengenai bagian dalam atau permukaan tubuh yang peka. sebagai kemampuan
bahanuntuk menciderai organisme hidup (Imono 2001). Uji toksisitas tidak dirancang
untuk menunjukkan bahwa suatu bahan kimia itu aman. Tetapi untuk mengkarakterisasi
efek racun yang dihasilkan oleh bahan kimia tersebut (Casarret, 2008). Uji toksisitas
merupakan langkah awal untuk melindungi konsumen terhadap kemungkinan bahaya
yang ditimbulkan oleh suatu obat. Toksikologi sebagai suatu studi mengenai efek zat
kimia atas material biologi, terdapat penekanan khusus yakni ada efek bahaya yang
ditimbulkan (Loomis,1978).
2.1.2 Macam Uji Toksisitas
Uji toksisitas dapat dibagi menjadi 2 golongan, yakni uji toksisitas yang dirancang
untuk evaluasi keseluruhan efek umum suatu zat atau senyawa pada hewan eksperimen
(termasuk di dalamnya adalah uji toksisitas akut, uji toksisitas subakut, dan subkronik )
dan uji toksisitas yang dirancang untuk mengevaluasi secara rinci tipe toksisitas spesifik
(Loomis,1978).
2.1.2.1 Uji Toksisitas Akut
Uji toksisitas akut merupakan salah satu bagian dari uji praklinik penting
yang dilakukan untuk menentukan dosis letal median (LD 50 ) toksikan dari suatu
zat. LD50 adalah dosis tunggal atau beberapa kali dalam kurun waktu 24 jam yang
terdapat pada suatu zat yang secara statistik diharapkan dapat membunuh 50%
hewan coba. Pengujian ini, dapat menunjukkan kemungkinan mekanisme kerja
toksikan, target sasaran organ yang mungkin akan dirusak, serta dapat
memberikan petunjuk mengenai dosis yang dianjurkan untuk digunakan dalam

proses pengujian yang lebih lama (Lu Frank,1995) pengujian LD50 dilakukan
untuk menentukan efek toksik suatu senyawa yang akan terjadi dalam waktu
singkat setelah pemajanan dengan takaran tertentu. Gejala ketoksikan yang timbul
berbeda dalam tingkat kesakitan pada hewan (Connel dan Miller 1995). Kisaran
tingkat dosis yang digunakan yakni dosis terendah yang hampir tidak mematikan
seluruh hewan percobaan dan sosis tertinggi yang dapat menyebabkan kematian
seluruh atau hampir seluruh hewan percobaan. Setiap hewan percobaab akan
memberikan reaksi yang berbeda pada dosis tertentu. Perbedaan reaksi akibat
pemberian suatu zat diakibatkan oleh perbedaan tingkat kepekaan setiap hewan
(Guyton and Hall, 2002).
Letal dosis (LD50) dapat dihubungkan dengan efektif dosis (ED50) yaitu
dosis yang secara terapeutik efektif terhadap 50% dari sekelompok hewan
percobaan. Hubungan tersebut dapat berupa perbandingan antara LD50 dengan
ED50 yang disebut Indeks Terapeutik (IT). Jika nilai indeks terapeutik semakin
besar maka obat tersebut keamanannya makin besar pula (Mutschler,1991).
Klasifikasi toksisitas menurut Lu,1995
Tabel 1. Klasifikasi toksisitas menurut Lu,1995
Kategori

Dosis

Supertoksik

5 mg/kgBB atau kurang

Amat sangat toksik

5 - 50 mg/kgBB

Sangat toksik

50 - 500 mg/kgBB

Toksik sedang

0,5 5 g/kgBB

Toksik ringan
Parktis tidak toksik

/kgBB
>15 g/kgBB

Dalam uji toksisitas akut, penentuan LD50 dilakukan dengan cara


menghitung kematian hewan uji yang terjadi sesudah pemberian dosis tunggal
bahan yang diteliti menurut cara yang ditunjukkan oleh para ahli. Namun
demikian, kematian dapat terjadi sesudah 24 jam pertama karena proses

keracunan dapat berjalan lambat. Gejala keracunan yang muncul setelah 24 jam
menunjukkan bahwa bahan obat atau senyawa kimia itu memiliki titik tangkap
kerja pada tingkat yang lebih bawah sehingga gejala keracunan dan kematian
seolah-olah tertunda. Oleh karena itu gejala keracunan perlu diamati selama 7 hari
(Ngatidjan:1997). Sediaan yang akan diuji dipersiapkan menurut cara yang sesuai
dengan karakteristik bahan kimia tersebut, tidak diperbolehkan adanya perubahan
selama waktu pemberian. Untuk pemberian per oral ditentukan standar volume
yang sesuai dengan hewan uji (Paget:1970)

2.1.2.2 Uji Toksisitas Subkronik


Tujuan uji toksisitas subkronik secara umum untuk evaluasi dan
menggolongkan segala efek senyawa apabila senyawa itu diberikan kepada hewan
uji secara berulang-ulang. Umumnya digunakan dua atau lebih spesies hewan.
Idealnya hewan yang dipilih adalah yang dapat memetabolisme senyawa kimia
tersebut dengan cara yang sama dengan manusia., umumnya digunakan tikus atau
anjing. Pemberian senyawa yang akan diuji biasanya setiap hari, atau 5 kali dalam
kurun waktu 1 minggu, selama jangka waktu kurang lebih 10% masa hidup
hewan, yaitu 3 bulan untuk tikus dan 1 atau 2 tahun untuk anjing. (Lu,1995).
Dosis yang dipilih biasanya berdasarkan data LD50 dan kemiringan kurva dosisrespon yang diperoleh dari uji toksisitas akut. Sekurang kurangnya digunakan 3
kelompok dosis dan 1 kelompok control untuk setiap jenis kelamin. Dosis dan
jumlah kelompok dosis harus cukup sehingga dapat diperoleh dosis toksik dan
dosis tidak berefek (Lu,1995).
Parameter yang diuji pada sebaiknya sebanyak mungkin. Parameter
utama yang harus diuji pada saat pengumpulan darah hewan adalah parameter
hematologi dan parameter biokimia klinis. Parameter hematologi yang diuji antara
lain adalah jumlah eritrosit; jumlah leukosit; angka hematocrit; kadar hemoglobin;
hitung jenis leukosit; serta tetapan darah MCV, MCH, dan MCHC. Parameter
biokimia klinis yang diuji antara lain protein total; albumin; nitrogen urea;

keratinin; bilirubin total; glukosa; kolesterol; alkalin fosfatase; glutamate


oksaloasetat transaminase; glutamate piruvat transaminase; laktat dehydrogenase;
kolinesterase; kalium; dan fosfor anorganik(Lu,1995)

2.1.2.3 Uji Toksisitas Kronis


Uji toksisitas kronis bertujuan untuk menentukansifat toksisitas zat kimia
dan NOEL (Non Observed Effect Level) yaitu dosis tertinggi suatu zat kimia tidak
memberikan efek toksik (Lu,1995). Pada umumnya menggunakan satu atau dua
jenis hewan. Kecuali ditunjukkan yang lain, hewan yang digunakan adalah tikus.
Anjing dan primate merupakan pilihan berikutnya. Umumnya, 40-100 tikus
ditempatkan dalam kelompok masing-masing dosis dan juga dalam kelompok
kontrol. Cara pemberian senyawa kimia dan pemilihan dosis sama dengan yang
dilakukan pada uji subkronis. Jika menggunakan tikus, jangka waktu studi untuk
uji toksisitas ini adalah selama 2 tahun (Loomis,1978). Pengamatan yang
dilakukan selama uji toksisitas kronis adalah :
Hematologi

: hematocrit, Hb, total eritrosit, total leukosit,

differential leucocyte count, reticulocyte count.


Fungsi hati
: retensi bromsulphalein, bilirubin serum, SGOT,
SGPT, lactic dehydrogenase, serum isocitric dehydrogenase.
Fungsi ginjal : BUN, pemeriksaan urine (pH, warna RBC, WBC,
Kristal fosfat), albumin, glukosa, bilirubin, aseton, Kristal kalsium
oksalat, sel epitel, dan bakteri,
(Kusumawati,2004)

2.1.3 Faktor yang Mempengaruhi Toksisitas

Faktor-faktor yang berpengaruh sangat bervariasi antara jenis satu dengan


jenis yang lain, dan antara individu satu dengan individu yang lain. Faktor-faktor
tersebut dapat diuraikan sebagai berikut (Balls et all,1991) :
1. Spesies, Strain, dan Keragaman Individu
Setiap spesies dan strain yang berbeda memiliki sistem
metabolism dan sistem detoksikasi yang berbeda. setiap spesies
mempunyai perbedaan kemampuan bioaktivasi dan toksikasi suatu
zat (Siswandono dan Bambang 1995). Perbedaan spesies dan
keturunan menyebabkan perbedaan kerentanan terhadap bahan
kimia,kecepatan absorbs, metabolism, detoksifikasi, dan eksresi.
Kadang-kadang hasil pengukuran toksisitas akut secara per oral
untik beberapa binatang lebih rendah dibandingkan dengan
manusia (Ballantyne,1993). Semakin tinggi tingkat suatu spesies
dapat menyebabkan perbedaan nilai LD50. Variasi strain hewan
percobaan menunjukkan perbedaan yang nyata dalam pengujian
LD50 (Lazarovici dan Haya, 2002).
2. Perbedaan Jenis Kelamin
Perbedaan jenis kelamin mempengaruhi toksisitas akut yang
disebabkan oleh pengaruh langsung dari kelenjar endokrin. Hewan
betina mempunyai sistem hormonal yang berbeda dengan hewan
jantan sehingga menyebabkan perbedaan kepekaan terhadap suatu
toksikan (Lazarovici dan Haya, 2002). Hewan jantan dan betina
yang sama dari strain dan spesies yang sama biasanya bereaksi
terhadap toksikan dengan cara yang sama, tetapi ada perbedaan
kuantitatif yang menonjol dalam kerentanan terutama pada tikus
(Lu, 1995).

3. Umur

Hewan-hewan yang lebih muda memiliki kepekaan yang


lebih tinggi terhadap obat-obat karena enzim untuk biotransformasi
masih kurang dan fungsi ginjal belum sempurna (Ganong,2003).
Perbedaan aktivitas biotransformasi akibat suatu zat menyebabkan
perbedaan reaksi metabolisme (Mutschler, 1991). Untuk beberapa
obat, umur memberi efek toksisitas secara bermakna terutama
kemampuan dalam proses metabolism dan eksresi (Ballantyne,
1993).
4. Berat badan
Penentuan dosis dalam pengujian LD50 dapat didasarkan
pada berat badan. Pada spesies yang sama, berat badan yang sama
dapat memberikan nilai LD50 yang berbeda pula. Semakin besar
berat badan maka jumlah dosis yang diberikan akan semakin besar
(Mutschler,1991).
5. Status Gizi Hewan
Status hewan dapat memberikan respon yang berbeda
terhadap suatu toksikan. Kesehatan hewan sangat dipengaruhi oleh
kondisi hewan dan lingkungan. Hewan yangtidak sehat dapat
memberikan nilai LD50 yang berbeda dibandingkan dengan nilai
LD50 yang didapatkan dari hewan sehat (Siswandono dan
Bambang,1995). Status gizi berpengaruh terhadap mekanisme
biotransformasi yang secara langsung dapat memicu timbulnya
toksisitas. Timbulnya toksisitas yang lebih besar lagi dapat
dipengaruhi oleh pengosongan lambung dan absorbs oleh usus
halus (Ballantyne,1993).

6. Faktor Lingkungan

Keragaman

faktor

lingkungan

berpengaruh

terhadap

perkembangan toksisitas, termasuk temperature, kelembaban


relative, intensitas cahaya. Perbedaan temperature suatu tempat
dapat berpengaruh terhadap keadaan fisiologis hewan. Kolkisin
dan digitalis lebih toksik pada temperature tinggi.
7. Diet
Komposisi

makanan

hewan

percobaan

dapat

mempengaruhi nilai LD50. Komposisi makanan hewan coba dapat


mempengaruhi status kesehatan hewan percobaan. (Balls et all,
1991)
8.

Dosis
Pemberian obat secara berulang, walaupun dengan dosis
yang lebih kecil dapat menimbulkan toksisitas. Hal ini terjadi bila
terdapat akumulasi obat di dalam tubuh (Ballantyne,1993).

9.

Formulasi
Bahan-bahan kimia yang diberikan secara oral atau secara
topical, toksisitasnya dapat dipacu oleh keberadaan absorbsinya.
Pada bentuk sediaan aerosol ukuran partikel dapat meningkatkan
penetrasi dan deposisi bahan kimia pada jalur pernafasan, oleh
karena itu dosis yang digunakan harus benar-benar tepat
(Ballantyne,1993). Pemberian obat melalui suatu cara yang
berbeda pada spesies yang sama akan memberikan hasil yang
berbeda. pemberian obat peroral tidak langsung didistribusikan je
seluruh tubuh. Pemberian obat peroral didistribusikan ke seluruh
tubuh setelah terjadi proses penyerapan di saluran cerna. Sehingga,
mempengaruhi kecepatan metabolism suatu zat di dalam tubuh
(Mutschler, 1991).

2.2 Tinjauan tentang Tanaman

2.2.1 Tinjauan tentang Porang


2.2.2 Tinjauan tentang Kandungan Porang
Tabel 2.2.2.1 Komposisi Kimia Tepung Porang Amorphophallus muelleri Blume
berdasarkan literature
komponen
Air
Abu
Pati
Protein
Lemak
Kalsium oksalat
Glukomannan

Tepung porang(%)
8.71
4.47
3.09
3.34
2.98
22.72
43.98
(Widjanarko,2014)

Tepung porang umumnya mengandung glukomanan sekitar 15-64% (Arifin, 2001;


Koeswara, 2009). Secara mikroskopis, sel-sel glukomanan dalam tepung porang tertutup
lapisan tipis yang berisi komponen komtaminan seperti pati, serat, dan protein (Ohashi,
2000; Arifin, 2001; Koeswara, 2009). Komponenkomponen pengotor ini harus
dipisahkan untuk mendapatkan tepung porang dengan kadar glukomanan tinggi (Lucia
Hermawati et all,2013)
Komposisi umbi iles-iles menurut arifin (www.freewebs.com)
Tabel 2.2.2.2 Komposisi umbi porang segar dan tepung porang

2.3 Tinjauan tentang Glukomannan


Glukomannan sendiri merupakan polisakarida yang terdiri atas satuan-satuan Dglukosa dan D-mannosa. Dalam satu molekul glukomannan terdapat D-mannosa sebanyak
67% dan D-glukosa 33%. Glukomanan mempunyai sifat yang istimewa diantaranya adalah
dapat membentuk larutan kental dalam air, dapat mengembang dengan daya mengembang
yang besar, dapat membentuk gel, dapat membentuk lapisan tipis dengan penambahan NaOH
atau membentuk lapisan tipis yang kedap air dengan gliserin serta mempunyai sifat mencair
seperti agar sehingga dapat digunakan untuk media pertumbuhan mikroorganisme.
Berdasarkan sifat tersebut, tepung glukomanan dalam industri banyak digunakan sebagai
bahan baku kertas, tekstil, perekat, dan bahan pembuat seluloid, bahan peledak, bahan
makanan, kosmetik dan pembersih. Glukomanan merupakan heteropolisakarida yang
mempunyai bentuk ikatan -1,4-glikosidik yang terdiri dari D-glukosa dan D-manosa dengan
perbandingan 1:1,6, serta sedikit bercabang dengan ikatan -1,6- glikosidik.

(Handbook of Hydrocolloids,2000)
Salah satu sumber glukomanan adalah umbi porang (Amorphophalus konjac) dengan
kadnungan yang tergantung pada spesiesnya, dengan kisaran kandungan antara 5%-65% (Eka
Andi et all, 2014)
Glukomanan memiliki memilikki kelebihan antara lain untuk meningkatkan fungsi
pencernaan dan sistem imun, menurunkan kadar kolesterol dan gula darah, serta membantu
menurunkan berat badan. (Eka Dessy Natalia et all,2014). Konjak glukomannan memiliki
berat molekl tertinggi antara 200.000 2.000.000 Dalton. Memiliki kapasitas tamping air
terbesar sampai 100 kali beratnya dalam air.
Kekhususan glukomanan dari konjak adalah :

Merupakan serat yang secara alami bisa larut dalam air, tidak mengandung lemak,

gula, atau protein


Rendah kalori
Bebas dari gandum dan glutana
Tembus cahaya dan bersifat seperti agar-agar dan tidak berbau
Dapat disimpan di bawah suhu ruangan selama sekitar 1 tahun

Melihat dari beberapa keunggulan (kekhususan) tersebut, maka akan sangat cocok
bila isolasi glukomannan diterapkan dalam produksi makanan diet. Proses isolasi
glukomannan dapat dilakukan dengan bantuan enzim, melalui pemotongan rantai amilum
secara enzimatis. Dimana struktur pati (gula) dari bahan akan dipecah oleh enzim amylase
menjadi monomer monomer gula, yaitu: galaktosa, glukosa, dan mannose. Isolasi monomer
pati(glukosa dan mannose) inilah yang akan menjadi bahan dasar pembuatan makanan
kesehatan.

Penelitian mengenai khasiat tanaman sejenis iles-iles yang berasal dari Jepang yaitu
Amorphopallus konjac

telah

banyak

dilakukan

dan

sebagai penurun obesita,kolesterol,dan gula darah dalam


mengenai

jenis Amorphophallus

oncophillus

di

klaim

tubuh.

(iles-iles)

yang

memiliki

Akan tetapi

khasiat

penelitian

merupakan

tanaman

khasIndonesia masih sedikit dilakukan dari segi khasiat iles-iles tersebut terhadap tubuh dan
sifat fisiko kimianya apabila digunakan sebagai functional food . Beberapa penelitian dalam
bidang medis menyatakan bahwa konsumsi tepung iles-iles(konjac flour) dapat menurunkan
gula darah, menurunkan tekanan darah serta kadar kolesterol. Menurut Blackburn et al
(1984)

Mekanisme

iles-iles

kandungan glukosa adalah diakibatkan oleh kemampuannya

dalam

menurunkan

menurunkan absorpsi glukosa

dalam usus halus (intestine). Laboratorium David Jenkins di Universitas Toronto (Vuksa et
al, 1989) melakukan uji terhadap 9 orang pengidap penyakit diabetes terhadap biskuit yang
disubtitusi

dengan

tepung

konjac

dengan

yang

tidak

disubtitusi. Hasil penelitian menunjukkan terdapat perbedaan yang nyata (99%) nilai indeks g
likemiaantara yang disubtitusi (375). dengan yang tidak disubtitusi (948). Tepung
konjacdapat menurunkan respon glikemia hingga 70-75% jauh lebih tinggi dibanding
dengangum guar atau pektin yang juga dilaporkan dapat menurunkan respon glikemia
sebesar 30-35% (Wolever, 1985).
Polisakarida mannan pada tanaman dapat berfungsi sebagai hemiselulosa yang
mengikat selolosa dan sebagai cadangan makanan karbohidrat non pati pada dinding sel
tanaman, dinding endosperma, vakuola biji dan cadangan karbohidrat di vakuola pada
jaringan vegetative (Liepman dkk., 2007;Chua,2011). Glukomannan baik untuk program diet
karena dapat memberikan rasa kenyang bagi orang yang mengonsumsinya sehingga dapat
mengakibatkan penurunan berat badan(Vuksan dkk.,2000; Keithley dan Swanson,2005).
Glukomannnan juga dapat digunakan untuk mencegah penyakit jantung dengan menurunkan
kolestrol dan mengurangi respon glikemik. Glukomannan juga dapat dimanfaaatkan secara
komersial untuk modifikasi dalam industri pangan sebagai bahan pengganti lemak (Singh
dan Shelley,2007).

2.3 Tinjauan tentang Kolesterol


2.3.1 Pengertian kolesterol
Kolestrol merupakan salah satu komponen lemak, kolestrol dalam darah terdapat
bentuk kompleks dengan protein yang disebut dengan lipoprotein. Peningkatan
lipoprotein (lipoproteinemia) dapat meiningkatkan kadar kolestrol atau kolestrolemia
(Mayes,1995 dalam utami,1999). Kolestrol yang tinggi dapat merusak hepar, berupa
degenerasi, nekrosis (piknotis, karyolisis, karioeksis, nekrosis), kongesti, dan pada
keadaan lanjut dapat menyebabkan sirosis hepatic dan penyakit hepar menahun, sebab
dalam tubuh kolestrol disintesis terutama dalam hepar dan usus halus (Price dan Wilson,
dalam Utami,1999). Kadar kolestrol darah dapat dipengaruhi oleh asupan makanan
sehari-hari yang masuk ke dalam tubuh (diet). Faktor lainnya yang dapat mempengaruhi
kolestrol dalam darah selain diet adalah keturunan, umur, jenis kelamin, obesitas, stress,
alcohol, dan exercise. (Djohan,2004 dalam Herin,2010).
2.3.2 Etiologi Penyakit Kolestrol
2.3.3 Hiperkolestrolemia
Hiperkolestrolemia adalah tingginya kadar kolestrol dalam darah yang dapat
dikurangi dengan modifikasi diet, aktifitas fisik, atau obat-obatan (Chris Broker,2005).
Peningkatan kolestrol yang cukup tinggi pada seseorang dapat menjadi salah satu faktor yang
mengganggu kesehatan bahkan menyebabkan kematian. (Chandra R,2000) AHULUAN
Hiperkolesterolemia merupakan kondisi akibat gangguan metabolisme lemak yang
ditandai dengan tingginya kadar kolesterol total dalam darah. Pada kondisi tersebut
apabila terjadi dalam jangka panjang menyebabkan terbentuknya gumpalan lemak
dalam pembuluh darah sehingga dapat berisiko aterosklerosis (Debra AK. 2008)

Anda mungkin juga menyukai