Anda di halaman 1dari 12

UJI KLINIK DAN PRAKLINIK TANAMAN

UJI SUBKRONIK

SEKOLAH TINGGI ILMU FARMASI MAKASSAR


MAKASSAR
2019/2020
Isnaeni Usman 16.01.199
Nurwahida 16.01.164
A.Sitti Hajar 18.01.334
Chyntia Tandi Pare 18.01.342
Feny Andriayani 18.01.350
Juliarni Saleh 18.01.358
Mirna wulansari 18.01.366
Pache Christyo Paulus 18.01.375
Riska 18.01.383
Yoan Sriningsi Sayi 18.01.392
BAB I
PENDAHULUAN

Uji praklinik, atau disebut juga studi pengembangan atau uji non-
klinik,atau uji efek farmakologik, adalah tahap penelitian yang terjadi sebelum
uji klinik atau pengujian pada manusia. Uji praklinik memiliki satu tujuan
utama yaitu mengevaluasi keamanan suatu produk yang baru. Uji praklinik
merupakan persyaratan uji untuk calon obat, dari uji ini diperoleh informasi
tentang efek farmakologis, profil farmakokinetik dan toksisitas calon obat.
terisolasi, selanjutnya bila dianggap perlu maka dilakukan uji pada hewan.
Hewan yang baku digunakan adalah galur tertentu seperti mencit, tikus,
kelinci, marmot, hamster, anjing atau beberapa uji menggunakan primata.
Uji praklinik selain memakai hewan, telah dikembangkan pula berbagai
uji in vitro untuk menentukan khasiat obat contohnya uji aktivitas enzim, uji
antikanker menggunakan cell line, uji anti mikroba pada perbenihan mikroba,
uji antioksidan, uji antiinflamasi dan lain-lain untuk menggantikan uji khasiat
pada hewan (Thorat et al.,2010) tetapi belum semua uji dapat dilakukan
secara in vitro.
Uji toksisitas subkronis adalah uji ketoksikan suatu senyawa yang
diberikan dengan dosis berulang pada hewan selama kurang dari 3 bulan
untuk menentukan organ sasaran (organ yang rentan) atau tempat kerjanya.
Uji ini menggunakan suatu senyawa yang dapat memberikan efek toksik
pada hewan uji, yaitu senyawa X. Senyawa X merupakan obat yang telah
diklaim sebagai obat obat sakit kepala yang disebabkan karena masuk angin
dan flu. Dengan dilakukannya uji subkronis ini maka kita akan mengetahui
senyawa X yang diberikan apakah memiliki efek toksik dan pengaruh
terhadap organ-organ dalam serta hispatologi organ pada hewan uji.
BAB II
PEMBAHASAN

A. UJI TOKSISITAS SUB KRONIS


Uji toksisitas subkronis adalah uji ketoksikan suatu senyawa yang
diberikan dengan dosis berulang pada hewan uji tertentu, selama kurang dari
tiga bulan. Uji ini ditujukan untuk mengungkapkan spectrum efek toksik
senyawa uji serta untuk memperlihatkan apakah spectrum efek toksik itu
berkaitan dengan takaran dosis (Donatus, 2001)
Uji ketoksikan subkronis adalah suatu uji untuk menentukan organ
sasaran atau tempat kerjanya. Umumnya dilakukan selama 4 minggu hingga
3 bulan dan biasanya menggunakan dua spesies yang berbeda.
Hasil uji ketoksikan subkronis akan memberikan informasi yang
bermanfaat tentang efek utama senyawa uji dan organ sasaran yang
dipengaruhinya. Selain itu juga dapat diperoleh info tentang perkembangan
efek toksik yang lambat berkaitan dengan takaran yang tidak teramati pada
uji ketoksikan akut. Kekerabatan antar kadar senyawa pada darah dan
jaringan terhadap perkembangan luka toksik dan keterbalikan efek toksik.
Tujuan utama dari uji ini adalah untuk mengungkapkan dosis tertinggi
yang diberikan tanpa memberikan efek merugikan serta untuk mengetahui
pengaruh senyawa kimia terhadap badan dalam pemberian berulang (Eatau
dan Klaassen, 2001).
Spektrum efek toksik dapat dibagi menjadi dua yaitu efek lokal dan efek
sistemik. Efek lokal dapat diakibatkan oleh senyawa kaustik, misalnya pada
saluran pencernaan, bahan korosif pada kulit dan iritasi gas atau uap pada
saluran nafas. Efek lokal seperti ini mengambarkan perusakan umum pada
sel-sel hidup. Efek sistemik terjadi hanya setelah toksikan diserap dan
tersebar kebagian lain tubuh. Umumnya toksikan hanya mempengaruhi satu
atau beberapa organ saja. Organ tersebut disebut organ sasaran.kadar
toksikan dalam organ sasaran tidak selalu yang paling tinggi (Lu,1995).
Pada dasarnya, uji ketoksikan subkronis meliputi efek toksik (wujud dan
sifat) suatu obat yang mungkin timbul selam kurang lebih 10% masa hidup
hewan uji, yang pada akhirnya dapat disetarakan dengan kejadian yang
mungkin timbul ketika obat terkait digunakan oleh manusia (Loomis,1978).
Wujud efek toksik suatu senyawa mungkin berupa perubahan
(kekacauan) biokimia, fungsional atau struktural. Karena itu, data yang
diperlukan untuk mengevaluasi ketoksikan subkronis berupa data kualitatif
dan kuantitatif yang terkait dengan tiga perubahan tersebut. Untuk itu,
diperlukan berbagai pemerikasaan dan pengamatan yang mencakup
perkembangan patologi, gejala dan tanda klinis, sistem hematologi fungsi
organ secara biokimia dan morfologi organ (Mulyandari,1990).
Selain sebagai dasar evaluasi batas keamanan pemakaian suatu obat,
hasil pengujian ketoksikan subkronis bermanfaat sekali bagi panduan
rancangan uji ketoksikan kronis, keteratogenikan, maupun farmakokinetika
dosis berulang. Utamanya berkaitan dengan pemilihan hewan uji dan
peringkat dosis. Disamping itu, juga bermanfaat sebagai panduan bagi para
klinisi dalam menjalankan uji klinik obat terkait, utamanya berkaitan dengan
efek toksik yang seharusnya dilacak dan berbagai tolak ukur klinis yang
harus dikembangkan agar uji klinik dapat berlangsung seoptimal mungkin
(Loomis,1978).
B. Pengamatan Uji Subkronik
Dosis untuk toksisitas subkronis biasanya dipilih berdasarkan informasi
yang diperoleh dari uji toksisitas akut, baik berupa LD50 maupun kemiringan
kurva dosis respon. Semasa informasi tentang zat kimia yang berkaitan dan
tentang metabolismenya terutama tentang ada atau tidaknya bioakumulasi
juga ikut dipertimbangkan (Lu, 1995).
Tujuan Observasi yang dilakukan :
 Skrining kedua terhadap mutagenisitik
 Uji teratologi & uji reproduktif
 Uji farmakokinetik
 Uji perilaku
 Uji interaksi, seperti sinergisme, antagonisme dan aditivisme
Semuanya diselesaikan dalam waktu dua-setengah tahun

Hewan uji yang digunakan disarankan paling tidak satu jenis hewan
dewasa sehat baik jantan maupun betina. Hewan uji dipilih yang peka dan
memiliki pola metabolisme terhadap senyawa uji yang semirip mungkin
dengan manusia (Donatus, 2001).
Takaran dosis yang diberikan paling tidak 3 peringkat dosis. Takaran
dosis senyawa ini diberikan 1 hari sekali selama kurun waktu uji ketoksikan
subkronis berlangsung, melalui jalur pemberian yang sama dengan jalur yang
akan diberikan pada manusia (Wildmann,1983).
Kriteria pengamatan uji ketoksikan subkronis meliputi :
1. Berat badan masing-masing hewan uji ditimbang, pada hari ke-
0,1,dst, paling tidak setiap 7 hari sekali.
2. Masukkan makanan dan minuman untuk masing-masing hewan
uji, diukur paling tidak 7 hari sekali,tapi lebih baik setiap hari.
3. Berbagai gejala klinis umum diperiksa melalui pengamatan fisik,
dilakukan setiap hari. Saat penampakan gejala klinis dan wujud
gejala klinis dicatat.
4. Pemeriksaan hematologi (jumlah sel darah merah, sel darah putih,
kadar hemoglobin, volume korpuskuli, protein total) atau paling
tidak dilakukan pemeriksaan 2 kali yaitu pada awal dan akhir masa
uji.
5. Pemerikasaan fungsi organ secara biokimia dikerjakan melalui
pemeriksaan kimia darah (kadar potasium, sodium, klorida,
kalsium, CO2, SGPT, SGOT, alkaline fosfatase serum, gula darah,
protein total dan albumin) dan analisis urine (pH, bobot jenis,
volume urine, sedimen, glukusa) paling tidak dilakukan 2 kali, pada
awal dan akhir masa uji.
6. Pada akhir masa uji beberapa hewan uji pada masing-masing
kelompok dikorbankan. Ambil semua organ meliputi tata cara
waktu pengambilan cuplikan hayati dan buat preparat histologi
meliputi tata cara pengecatan hematoksiklineosin, dengan
pemeriksaan morfologi dan histopatologi organ.
7. Apabila selama uji terdapat hewan uji yang sekarat atau mati
harus dilakukan pemeriksaan histopatologi
8. Untuk kepentingan keterbalikan yakni guna menentukan sifat efek
toksik yang terjadi, paling tidak pada tingkat dosis terendah dan
tertinggi, setelah masa uji berakhir, dilanjutkan dengan
pengamatan ulang selama 2-4 minggu (Loomis,1978).
Uji laboratorium untuk toksisitas jangka pendek (subkronis) meliputi :
uji laboratorium klinik biasanya mencakup glukosa darah puasa
transaminase asam glutamat oksaloasetat (SGOT), transaminase asam
glutamat piruvat (SGPT), fosfatase alkalin, protein total, albumin, globulin,
nitrogen urea darah (BUN), dan unsur-unsur seperti natrium, kalium,
kalsium, dan klorid. Urinalisis biasanya mencakup warna, berat jenis, pH,
protein, glukosa, keton, unsur terbentuk (sel darah merah, dll) dan kristal
serta benda amorf (Lu,1995).
Organ yang biasanya ditimbang adalah hati, ginjal, adrenal, jantung,
otak, testis atau ovarium. Organ yang diperiksa secara histologik adalah
semua organ yang memperlihatkan lesi yang jelas, otak (3 tempat),
sumsum tulang belakang, mata dan saraf optik kelenjar ludah yang besar,
timus, tiroid, jantung, aorta, paru-paru dengan bronkus, lambung, usus
halus (3 tempat), usus besar (2 tempat), kelenjar adrenal, pankreas, hati,
kandung empedu (kalau ada), limpa, ginjal, kandung kemih, otot rangka,
dan tulang serta sumsumnya (Lu, 1995).
Uji subkronis  Waktu :
 Aplikasi pada kulit : 30 hari
 Studi inhalasi : 30 – 90 hari
 Uji oral : 90 hari
Tujuan: mendapatkan nilai NOEL atau NOAEL Dosis yang diujikan
divariasikan 3 – 4 variasi:
 Dosis tinggi; menyebabkan kematian
 Dosis ringan; menunjukkan NOEL
Hewan uji: tikus, anjing atau kera; (jantan dan betina : 10-20 ekor pada
setiap level dosis yang diberikan)
 Observasi yang dilakukan terhadap: Setiap organ tubuh, mortalitas,
morbiditas, mata, konsumsi makanan, berat badan, respons
neurologis, perilaku tidak normal, respirasi, elektro kardiogram (EKG),
elektro-encefalogram (EEG), hematologi, biokimia darah, analisis urin
& tinja, kerusakan organ makroskopis
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Adapun kesimpulan dari makalah ini adalah uji toksiistas subkronis
adalah uji ketoksikan suatu senyawa yang diberikan dengan dosis berulang
pada hewan selama kurang dari 3 bulan untuk menentukan organ sasaran
(organ yang rentan) atau tempat kerjanya. Uji ini menggunakan suatu
senyawa yang dapat memberikan efek toksik pada hewan uji. Uji subkronis
ini maka kita akan mengetahui adanya efek toksik atau tidak senyawa dan
pengaruh terhadap organ-organ dalam serta hispatologi organ pada hewan
uji.
B. Saran
Adapun saran dari makalah ini, untuk dosen pengampu bisa
memberikan tambahan tugas selanjutnya untuk menambahakn jurnal review
agar bisa menambah pemahaman.
LAMPIRAN
HASIL DISKUSI

Penanya : Kevin Lakapy 1801360


Penjawab : Mirna Wulansari 1801366
1. Apa yang dimaksud dari tujuan observasi yang dilakukan selama 2,5
tahun? Dan adakah hubungan antara subkronik dan toksisitas akut?
Jawaban: Penjelasan dua setengah tahun disini dilakukan untuk observasi
secara umum (tidak signifikan) dimana penjelasan ini untuk hewan-hewan
yang memiliki umur lebih panjang daripada mencit. Bisa saja hewan uji kera
ataupun anjing dan tidak dimaksudkan untuk hewan uji mencit atau tikus
yang umur nya sendiri tidak lebih dari 2,5 tahun. Dan subkronik dan toksisitas
akut dapat berhubungan misalnya dari subkronik ke mutagenik
(PerKBPOM_Nomor N7 TAHUN 2014: Tentang Pedoman Uji Toksisitas In-Vivo
dan In-vitro) .

Penanya : Nawi Battu 1801370


Penjawab : Yoan Sri Ningsi Sayi 1801392
2. Bagaimana cara menyimpulkan hasil hispatologi dan cara pembacaannya?
Jawaban: Untuk hasil data dari jurnal yang kami angkat pemberian ekstrak
pegagan (centella astica) dengan tentang dosis 0,2 ml : ekor sampai dengan
dosisi 0,8 ml/ekor secara oral selama 9 hari, tidak menyebabkan gangguan
hitopatologi pada organ ginjal tikus putih (rattus norvegicus) dan untuk cara
pembacaan dari data histopatologi kami belum atau tidak memahami karena
data yang di peroleh dari dokter ahli penyakit dalam (Suhita, R.P.L.N., dkk.
2013).
Penanya : Maria Astisary Maltus 1801362
Penjawab : Riska 1801383 & Juliarni Saleh 1801358
3. Perilaku yang spesifik terhadap hewan coba saat pengujian berlangsung?
Apakah semua hewan berbeda?
Jawaban: Yang diamati ialah berupa platform, straub, piloereksi, ptiosis,
refleks kornea, reflex pineal, lakrimasi, katalepsi, sikap tubuh,
menggelantung, retablisme, fleksi, hafner, mortalitas, grooming, defekasi,
urinasi, pernafasan, salivasi, vokalisasi, tremor, kejang dan writhing. Untuk
setiap hewan tidak ada yang berbeda atau tidak ada yang spesifik (Mahan V
L. 2014).

Penanya: Tuty Alawiyah


Penjawab : Chyntia Tandi Pare
4. Apa yang di maksud dengan nilai NOEL dan wajib tidaknya di
gunakan,dan mohon di jelaskan tentang gambar yang tadi di jelaskan oleh
pemateri.
Jawaban : Nilai NOEL adalah (No Observed Effect Level), ini merupakan Nilai
yang sering didefinisikan sebagai level dosis tertinggi dimana efek yang
merugikan atau abnormal tidak dapat diukur dan sering digunakan pada
kalkulasi penilaian risiko. danTentu saja nilai NOEL itu wajib di gunakan,
kemudian mengenai gambar di slide merupakan contoh dari salah satu organ
hewan coba yang akan di amati,gambar tersebut memperhatikan adanya
kerusakan pada bagian organ ginjal dan ada perbesaran pada mikroskop dan
hasil pbacaannya hanya bisa di baca oleh dokter patologi (Rahmatini.2010).

Presentator: Pache Christyo Paulus 1801375


Moderator : Mirna Wulansari 1801366
DAFTAR PUSTAKA

BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN REPUBLIK INDONESIA. 2014.


Peraturan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik
Indonesia No 13 Tahun 2014 Tentang Pedoman Uji Klinik Obat Herbal.
Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia
Donatus, I.A., 2001, Toksikologi Dasar, Laboratorium Farmakologi dan
Toksikologi, Fakultas Farmasi, UGM, Yogyakarta
Eatau, D.L., and Klaassen, C.D., 2001, Principle of Toxicology, In Klaassen
C.D. (Ed),
Loomis, T.A., 1978, Toksikologi Dasar, diterjemahkan oleh Imono Argo
Donatus, Laboratorium Farmakologi dan Toksikologi Fakultas Farmasi
UGM, Yogyakarta
Lu, F.C, 1995, Basic Toxicology: Fundamentals, Target Organ, and Risk
Assesment, diterjemahkan oleh Edi Nogroho, Toksikologi Dasar: Asas
Organ, Sasaran dan Penilaian Resiko, edisi II, hal 95, UI Press, Jakarta.
Mahan V L. 2014. Clinical Trial Phases. International Journal of Clinical
Medicine, 5, 1374- 1383
Mulyandari, E., 1990, Uji ketoksikan Subkronis Jamu Antidiabetika, Skripsi,
Fakuiltas Farmasi UGM, Yogyakarta
Rahmatini.2010. Evaluasi Khasiat dan Keamanan Obat (Uji Klinik), Majalah
Kedokteran Andalas No.1. Vol.34 hal 31-38
Suhita R., Sudira W., dan Winaya Oka B.I. 2013. Histopatologi Ginjal Tikus
Putih Akibat Pemberian Pegangan (Centella asiatica) Peroral. Denpasar
Bali: Universitas Udayana. ISSN: 2085-2495
Triono A., Saryanto. 2012. Uji Toksisitas Akut Dan Subkronik Ekstrak
Brotowali (Tinospora crispa (L) Miers) Acute and sub-chronic toxicitiy
test of brotowali (Tinospora crispa (L.) Miers) extrac. Kementerian
Kesehatan RI

Anda mungkin juga menyukai