Anda di halaman 1dari 4

Penggunaan pencitraan radiografi untuk keperluan pengadilan sudah dimulai sejak lama.

Foto radiologi, pertama kali diterima sebagai bukti di pengadilan terjadi di Denver tahun 1896,
walaupun kasus tersebut sudah dimulai sejak 15 Juni 1895. James Smith jatuh dari tangga saat
memangkas pohon dan mengalami cedera panggul. Awalnya tidak ditemukan adanya tanda patah
tulang. Bagaimanapun juga, gugatan perdata telah dilakukan, dan pada Smith dilakukan empat
kali foto polos radiologi. Akhirnya gambaran tulang yang patah dapat diidentifikasi. Muncul
perdebatan penggunaan foto polos ini sebagai bukti di pengadilan. Beberapa menolak
menggunakannya dengan alasan bila ini terjadi pada orang meninggal, maka hal ini sama dengan
menggunakan foto hantu sebagai bukti. Namun pada akhirnya foto polos ini diterima sebagai
bukti pada tahun 1896 oleh hakim Le Fevre. Ini merupakan awal penggunaan foto polos sebagai
bukti di peradilan. (NHS Implementation Sub-Group of the Department of Health Post Mortem,
Forensic and Disaster Imaging Group, 2012)
Pencitraan post mortem dalam bentuk foto polos telah digunakan selama beberapa tahun
sebagai tambahan maupun pengganti autopsi. Namun dalam 2 dekade terakhir terjadi
peningkatan ketertarikan dan investigasi dalam penggunaan teknik yang lebih lanjut, misal
Computed Tomography (CT) dan Magnetic Resonance Imaging (MRI), dalam investigasi
kematian. Pencitraan CT memiliki beberapa keuntungan dibanding autopsi itu sendiri, karena
memberikan gambaran detil dari tubuh yang susah dilihat oleh jaksa dan memberikan
dokumentasi dari kelainan atau cedera tanpa merusak jaringan. (Bryce, 2013) Walaupun autopsi
virtual tidak memberikan gambaran histologi dan metabolic seperti autopsi konvensional namun
pada beberapa kasus autopsi virtual lebih unggul. (Kaur, Chaudhary, Gupta, & Singh, 2014)
Saat ini, autopsy virtual belum dapat menggantikan posisi dari autopsy konvensional,
melainkan sebagai pelengkap yang memberikan informasi tambahan (Stawicki, et al., 2008).
Institusi forensic di Bern, Swiss, merupakan satu-satunya institusi yang memiliki 3D surface
scan, CT Scan, MRI, CT angio dan alat biopsy khusus yang digunakan untuk kepentingan
forensik. Seluruh alat di atas digunakan untuk tujuan pendidikan dan investigasi kematian pada
beberapa kasus. Contoh penggunaan alat-alat tersebut untuk kepentingan forensik adalah
sepertiga dari seluruh kasus kematian yang diaporkan duilakukan pencitraan CT sebagai
tambahan dalam autopsi, yang berarti pencitraan ini dilakukan setelah terdapat permintaan dari
penyidik untuk dilakukan autopsi. Penggunaan virtual autopsy sebagai tambahan untuk autopsy
juga dapat ditemukan di lembaga institusi forensic lain di Swiss, misalnya the Institute of

Forensic Medicine Zurich menggunakan CT Scan untuk setiap kasus kematian dan MRI untuk
kasus tertentu. Selanjutnya, pencitraan forensik dapat digunakan bukti dalam kasus pembunuhan
serta dalam kasus percobaan pembunuhan, penyerangan atau membahayakan di persidangan
pidana Swiss. Di negara-negara Eropa lainnya juga menggunakan praktek serupa, virtopsy / pm
pencitraan forensik dalam "peradilan" sistem investigasi kematian (Zimmermann, 2011).
Di Denmark, Aarhus, Kopenhagen dan Odense, menggunakan pmCT sebagai tambahan
untuk autopsi dalam semua kasus kecuali tubuh tidak sesuai dengan pemindai. Kopenhagen
adalah hanya salah satu dari tiga lembaga forensik di Eropa (selain Bern dan Zurich) memiliki
pemindai MRI khusus forensik untuk kasus-kasus tertentu (dan tujuan ilmiah). Pada semua kasus
(dugaan) pembunuhan, hal yang tidak diketahui dari kematian, kasus narkoba dan kematian
mendadak yang tidak terduga di penjara dan rumah sakit dilakukan autopsi dan pmCT (atau
pmMRI) sebagai tambahan (Zimmermann, 2011).
Di Swedia, Linkping, lembaga forensik menggunakan pmCT yang ditempatkan di pusat
penelitian sebagai tambahan untuk autopsi. Departemen kepolisian memutuskan tentang metode
pemeriksaan, yang dalam hampir semua kasus diperlukan autopsi, termasuk autopsy virtual.
Lima lembaga forensik Swedia lainnya di Stockholm, Uppsala, Stockholm, Gothenburg, Umea
dan Lund mengikuti praktek yang sama, tetapi menggunakan CT di rumah sakit (Zimmermann,
2011).
Fasilitas forensik di negara-negara Eropa lainnya menggunakan CT (atau MRI) di rumah
sakit sebagai tambahan untuk autopsi, seperti misalnya lembaga forensik Perancis di Toulouse,
Marseille, Grenoble, Rouen, Rennes, Lyon. Di luar Eropa, dua departemen forensik Australia di
Newcastle (NSW) dan Brisbane (QLD), satu lembaga forensik di Singapura, kementerian
kesehatan Israel (yang memiliki MRI scanner tambahan), satu lembaga forensik di Malaysia,
fasilitas forensik di Arab Saudi, tiga lembaga Amerika (Kantor kepala pemeriksa medis di
Baltimore / Maryland, Kantor Pemeriksa Medis di Albuquerque / New Mexico, yang memasang
juga scanner MRI, dan Pangkalan Angkatan Udara AS di Dover / Delaware hanya untuk
kematian militer) dan 19 lembaga forensik di Universitas Jepang menggunakan CT scanner
mereka sendiri untuk melakukan pmCT sebagai tambahan untuk autopsi forensik dalam kasuskasus mencurigakan. Dua dari 19 departemen kedokteran hukum di Jepang ini, Fukui dan
Tohuku, memiliki pemindai MRI hanya untuk tujuan forensik (Zimmermann, 2011).

Selain itu, virtual autopsi juga digunakan sebagai skrining pre-autopsi yang digunakan
sebagai alternatif autopsy konvensional (Stawicki, et al., 2008). Di Victoria Institute of Forensic
Medicine (VIFM), Melbourne, Australia, sebagai salah satu lembaga terkemuka dalam
pencitraan forensik, pada tahun 2005 telah memiliki CT scanner yang dipasang di kamar mayat
VIFM dan semua orang yang meninggal dilakukan pencitraan CT, kecuali tubuh jenazah tidak
cocok dengan scanner, misalnya karena berat badan mereka >150 kg. Pencitraan CT digunakan
untuk memberikan informasi bagi ahli forensik, misalnya mengenai penyebab kematian, serta
untuk keperluan identifikasi. Autopsy virtual juga digunakan sebagai alat triase penting untuk
membantu memutuskan apakah autopsy konvensional diperlukan atau tidak. Dengan adanya
autopsy virtual, jumlah otopsi konvensional telah mengalami penurunan, di sisi lain jumlah
pemeriksaan termasuk investigasi toksikologi, pemeriksaan luar dan pencitraan CT selama
pemeriksaan pendahuluan telah secara signifikan meningkat. Pencitraan CT di VIFM yang
digunakan selama pemeriksaan awal yang menentukan perlu tidaknya autopsi lanjutan
(Zimmermann, 2011).
Kebanyakan lembaga forensik Jerman menggunakan peralatan CT (atau jarang MRI) di
rumah sakit untuk tujuan postmortem. Untuk pengadilan pidana Jerman, autopsi harus dilakukan
dan pencitraan CT (atau jarang MRI) dapat berfungsi sebagai tambahan autopsi dalam kasus
pidana tersebut. Namun, di Kode Acara Pidana Jerman, pencitraan CT (atau MRI) digunakan
sebagai skrining untuk menentukan perlu tidaknya dilakukan autopsi (Zimmermann, 2011). Di
institut forensik di Hamburg, pencitraan CT bahkan rutin dilakukan, dan telah menjadi standar
dalam pemeriksaan forensik yang memberikan data tambahan bila diperlukan autopsy lanjutan
(Vogel, et al., 2013). Pemeriksaan ini juga digunakan sebagai triase selama pemeriksaan, untuk
memutuskan apakah sebuah autopsi harus dilakukan atau tidak. Oleh karena itu, pencitraan CT
telah digunakan misalnya di Bremen untuk menghindari autopsi forensik (Zimmermann, 2011).
Di Jepang, autopsi virtual menggunakan CT (atau MRI) yang ada di rumah sakit. Tak satu
pun dari bagian forensik ini memiliki sebuah CT atau MRI scanner khusus.dalam sebuah kasus
digunakan autopsy virtual dengan pemeriksaan luar dan pencitraan CT. Namun, apabila selama
proses peradilan autopsy konvensional perlu dilakukan untuk mendapatkan data lebih lanjut,
maka autopsy konvensional dapat dilakukan oleh ahli forensic. Selama proses peradilan, jenazah
disimpan di departemen hukum-obat apabila sewaktu-waktu perlu dilakukan autopsi
(Zimmermann, 2011).

Di Oxford, Inggris, autopsi virtual, baik CT maupun MRI, digunakan untuk menghindari
otopsi konvensional pada kasus risiko tinggi, seperti HIV. Namun, dalam kasus kematian
mencurigakan atau (diduga) kasus pembunuhan, pencitraan CT (atau MRI) umumnya digunakan
sebagai tambahan untuk autopsi di Inggris (Zimmermann, 2011). Di Italia, lembaga forensik di
Foggia, Milan, Padua, Bari dan Messina, pencitraan CT atau MRI dilakukan di rumah sakit
sebagai rutinitas. Secara umum, ahli forensic di Italia dapat secara sah menggunakan CT Scan
atau MRI sebagai tambahan ke autopsi. Namun, dalam kasus bencana alam, seperti misalnya
gempa bumi, dengan lebih dari 10 korban, pencitraan CT atau MRI sudah diganti autopsi
forensik tradisional (Zimmermann, 2011).

Pencitraan CT atau MRI pre-autopsi mulai banyak digunakan di bidang forensik.


Walaupun gold standart untuk pemeriksaan forensic masih autopsy konvensional, tetapi autopsy
virtual mulai memiliki peranan penting dalam kasus forensic dalam beberapa dekade terakhir
(Simons, Sassenberg, Schlemmer, & Yen, 2014). Autopsi virtual/ pencitraan forensik seharusnya
digunakan dalam investigasi kematian modern, sebagai tambahan dalam pemeriksaan autopsi
konvensional maupun sebagai pemeriksaan awal untuk menentukan perlu atau tidaknya
dilakukan autopsi lebih lanjut. Tidak ada masalah maupun kendala dalam menentukan apakah
autopsi

virtual

digunakan

sebagai

bukti

peradilan

maupun

sebagai

pemeriksaan/investigasi/pembelajaran lebih lanjut untuk kepentingan medis atau pendidikan.


Selain itu, penggunaan autopsi virtual dapat memberikan kenyaman pada beberapa penganut
agama maupun kepercayaan tertentu. (Zimmermann, 2011)

Anda mungkin juga menyukai