Anda di halaman 1dari 3

Iwan Aminurrahman

Mahasiswa Program Pascasarjana Institut Studi Islam Darussalam


Islam adalah agama egaliter yang memiliki konsep persamaan yang istimewa dalam
ajarannya. Hal inilah, salah satu faktor, yang membedakan Islam dengan ajaran agama lain.
Islam dapat menerima perbedaan, baik itu fisik maupun non fisik dalam satu kesatuan umat.
Setiap individu memiliki potensi akal dan budi yang darinya tercipta pikiran. Perbedaan
individu mendorong kepada pikiran-pikiran yang variatif, yang kemudian memicu ekspresi.
Pikiran, idea, hasil budi daya manusia mendapatkan ruang tersendiri dalam Islam yang tidak
terlepas darinya.

Islam, di antaranya, menghargai kebebasan ekspresi dan tidak menafikannya, karena ekspresi
muncul sebagai fitrah manusia. Ekspresi pikiran, budaya, seni dan lainnya dapat memberikan
kontribusi dalam Islam, melalui proses adaptasi. Hal-hal yang sekiranya dapat diterima dan
sesuai dengan fitrah kemanusiaan diadopsi, sedangkan apa yang di luar kategori ini
mengalami reduksi ataupun eliminasi.
Itulah yang menyebabkan Islam sesuai untuk setiap tempat dan zaman. Kemampuan syariat
Islam untuk mengakomodir nilai-nilai perubahan dalam dinamika kehidupan manusia, tanpa
harus tercerabut dari akar ajarannya. Dari sini akan muncul pertanyaan, bagaimanakah cara
Islam mengadopsi maupun menyaring hal-hal yang baru? Islam memiliki perspektif sendiri
yang diistilahkan dengan pandangan hidup Islam.
Pandangan hidup Islam adalah core-system dalam struktur epistemologi Islam, di mana
tauhid berpusat sebagai inti yang mendasari jaring-jaring konsep-konsep kunci. Pandangan
hidup ini, didasarkan atas wahyu yang terdiri dari al-Quran dan Sunnah. Konsep-konsep
kunci di dalamnya, antara lain konsep Tuhan, konsep wahyu, manusia, ilmu, dan konsep
lainnya. Dengan pandangan hidup Islam, hal-hal baru yang berasal dari budi daya akal
manusia dapat dinilai, apakah perkara tersebut sesuai dengan nilai-nilai Islam atau tidak.
Perkara apakah manusia memahami bahwa itu sesuai dengan Islam tergantung pada
pemahaman individu terhadap ajaran Islam.
Di zaman sekarang, kita banyak dihadapkan pada ekspresi kebebasan yang melebihi batas
kebebasan manusia. Hal ini secara mendasar disebabkan oleh kesalahfahaman dalam
memaknai makna kebebasan. Perkembangan kebebasan tumbuh pesat ketika Renaissance
terjadi di Eropa. Dominasi institusi gereja yang sewenang-wenang selama Abad-abad
Pertengahan terhadap masyarakat menimbulkan pemberontakan, yang kemudian memicu
sikap traumatis. Otoritas agama ditekan dalam batas yang minimal, kalau tidak bisa
dinegasikan secara total. Manusia-manusia pencerahan adalah para pencari kebebasan pasca
otoritarianisme gereja. Dengan menegasikan agama, perlahan-lahan mereka menafikan
Tuhan. Perkembangan berikutnya muncul kelompok masyarakat yang dengan lantang
mengakui atheisme yang mereka anut. Menjelang penghujung abad 19, Friedrich Nietzsche,
dengan kebebasan ekspresi yang dianutnya telah membunuh Tuhan. Tuhan, dalam
peradaban Barat, telah dimanusiakan, dan manusia telah dituhankankan.

Lain di Barat, lain di Timur. Meski peradaban Timur dianggap memiliki adat dan sopansantun yang khas, namun karena perubahan zaman dan asimilasi kultur, adat tersebut
perlahan-lahan tergerus. Beberapa darinya menyisakan bentuk artifisial atau bahkan
menghilang. Hal ini dikarenakan adat-adat tersebut tercipta dari akal budi manusia yang
terkadang terlepas dari wahyu. Manusia tidak bisa melepaskan dirinya dari wahyu, pedoman
yang diberikan Allah kepadanya untuk menjalankan misinya sebagai khalifah Allah di muka
bumi. Manusia cenderung untuk berubah-ubah, maka ia bersifat relatif. Sedangkan wahyu,
bersifat ilahi dan tetap sepanjang masa, dan ia diciptakan sebagai petunjuk bagi seluruh umat.
Maka, pedoman hidup yang sebenarnya adalah apa asal penciptaan manusia, dan itu adalah
wahyu.
Apakah dengan pandangan hidupnya Islam lantas terjebak kedalam ekstremisme? Tentu
tidak. Banyak dalil al-Quran dan riwayat sahabat yang menunjukkan apa yang disebut
dengan tawassuthiyah-moderatisme. Moderatisme di sini dalam arti yang sebenar-benarnya,
bukan moderatisme yang maknanya telah dibelokkan menjadi liberalisasi. Islam bukanlah
bentuk ekstremisme sebagaimana yang dituduhkan pihak tertentu. Di sisi lain, Islam juga
menentang paham liberal yang diupayakan pihak lain yang mengatasnamakan perubahan dan
modernisasi. Kedua sisi tersebut bagaikan dua titik pendulum yang mematikan: terjatuh di
salah satu sisi berarti merusak Islam.
Syariah Islam didasarkan atas tujuan-tujuan, maqashid, yang sesuai bagi fitrah kemanusiaan.
Islam, berkenaan dengan kebebasan, telah membebaskan manusia dari penyembahan kepada
apa yang tidak patut disembah, karena dasar Islam adalah tauhid yang berarti pengakuan
terhadap keesaan Allah. Sebelum Islam datang, bangsa Arab dan mayoritas penduduk dunia
adalah para penganut paganisme Jahiliyah. Paganismepenyembahan berhala, dapat disebut
sebagai hasil kebebasan ekspresi dalam keagamaan. Dengan kemunculan Islam dari
ketiadaan, praktek-praktek peribadatan pagan yang secara substansial dan eksistensial
berlawanan total dengan fitrah manusia terhapuskan. Kebebasan ekspresi beragama di sini
diatur oleh Islam dengan mengembalikan kepada aslinya, bahwa al-Ilah, Tuhan yang patut
disembah hanya satu, Allah.

Rasa malu dan adab sebagai pengontrol


Dalam mengatur ekspresinya, manusia telah diberi suatu potensi yang bernama malu. Rasa
malu ini adalah pengontrol. Tanpa adanya rasa yang mengatur, manusia terjerumus kedalam
tingkatan yang lebih rendah daripada binatang. Dapat dilihat dengan jelas di zaman sekarang
ini, di mana rasa malu diumbar tanpa batasan. Kemanusiaan semakin kabur, ajaran Islam
dikesampingkan dan hawa nafsu diperturutkan. Mereka, para pengumbar ekspresi,
menuhankan nafsu mereka demi kesenangan sesaat yang fana.
Rasa malu tidak hanya kepada manusia. Bahkan kepada Tuhannya, seseorang harus memiliki
rasa malu atas apa yang dilakukannya. Rasa malu pada akhirnya akan terakumulasi menjadi
sebuah integrasi adab ke dalam diri, maka ada adab kepada manusia (adab al-makhluq bi
ghayrihi) dan adab kepada Allah (adab al-makhluq bi Al-Khaliq). Lebih jauh lagi, ada adab
manusia kepada dirinya sendiri (adab al-makhluq bi nafsihi). Mungkinkah adab manusia
kepada dirinya? Tentu saja, karena tak jarang manusia berbuat zalim kepada dirinya sendiri.

Adab inilah kunci dari kebebasan berekspresi. Sepanjang kebebasan berekspresi berada
dalam adab, maka dapat diterima oleh fitrah manusia, karena fitrah manusia bermanifestasi
pada adab kepada Allah, kepada sesama makhluk dan kepada diri pribadi.
Adapun kezaliman, yang memiliki makna ketidakadilan, adalah lawan dari adl, yang berarti
menempatkan segala sesuatu pada posisinya masing-masing. Apabila seseorang berbuat tidak
adil ataupun menempatkan suatu perkara tidak pada tempatnya, maka ia telah berbuat zalim,
baik kepada dirinya maupun orang lain. Kezaliman ini seterusnya akan membawa seseorang
kepada kesalahan yang lain. Seorang Muslim secara raison detre alasan untuk ada, adalah
seseorang yang adil, dan mampu melakukan integrasi adab kepada dirinya.
Seorang pekerja seni yang melanggar kebebasan berekspresi, sebenarnya ia telah melakukan
kezaliman, karena ia telah menempatkan keindahan seni ke dalam situasi yang diharamkan
syariat, dikarenakan pelanggarannya terhadap fitrah manusia yang suci. Seorang koruptor,
sesungguhnya ia telah melakukan kezaliman, baik pada dirinya maupun orang lain, karena
kesalahannya dalam menempatkan perkara di posisi yang semestinya.
Islam adalah din yang komprehensif dan sempurna. Sebagai ultimate revelation bagi
manusia, Islam dapat mengatasi segala permasalahan zaman. Kesesuaian Islam dengan fitrah
manusia menjadikannya satu-satunya kebenaran yang paling relevan bagi umat manusia.
Kebebasan ekspresi tanpa batas adalah suatu pelanggaran terhadap fitrah manusia, yang harus
diatasi dengan mengembalikannya kepada ajaran dan pandangan hidup Islam. Wallahu alam.
Source : http://majalahgontor.net/kebebasan-ekspresi-dalam-pandanganislam/

Anda mungkin juga menyukai