0 penilaian0% menganggap dokumen ini bermanfaat (0 suara)
42 tayangan3 halaman
Makalah ini membahas penerapan sistem pengukuran kinerja pemerintah daerah di Indonesia dan faktor-faktor yang mempengaruhinya berdasarkan wawancara dengan responden. Hasilnya menunjukkan bahwa kebanyakan pemerintah daerah membuat laporan kinerja hanya untuk memenuhi persyaratan tanpa menggunakannya sebagai bahan pertimbangan kebijakan. Faktor politik juga mempengaruhi pengambilan keputusan.
Makalah ini membahas penerapan sistem pengukuran kinerja pemerintah daerah di Indonesia dan faktor-faktor yang mempengaruhinya berdasarkan wawancara dengan responden. Hasilnya menunjukkan bahwa kebanyakan pemerintah daerah membuat laporan kinerja hanya untuk memenuhi persyaratan tanpa menggunakannya sebagai bahan pertimbangan kebijakan. Faktor politik juga mempengaruhi pengambilan keputusan.
Makalah ini membahas penerapan sistem pengukuran kinerja pemerintah daerah di Indonesia dan faktor-faktor yang mempengaruhinya berdasarkan wawancara dengan responden. Hasilnya menunjukkan bahwa kebanyakan pemerintah daerah membuat laporan kinerja hanya untuk memenuhi persyaratan tanpa menggunakannya sebagai bahan pertimbangan kebijakan. Faktor politik juga mempengaruhi pengambilan keputusan.
PEMERINTAH DAERAH DI BAWAH TEKANAN DAN PENGUKURAN KINERJA DI INDONESIA : KASUS PEMERINTAH DAERAH
DINDA OKTAVIANI.R 391619 STAR BPKP 5B Akuntansi Manajemen dan Penilaian Kinerja Sektor Publik
Menerapkan Sistem Pengukuran Kinerja Pemerintah Daerah di Bawah Tekanan
Makalah Menerapkan Sistem Pengukuran Kinerja Pemerintah Daerah di Bawah Tekanan dibuat untuk melihat penerapan sistem pengukuran kinerja di Pemerintah Daerah. Diterapkannya pengukuran kinerja di Indonesia dimulai sejak ditandatanganinya Instruksi Presiden No 7 Tahun 1999 tentang Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah atau yang sering dikenal dengan LAKIP. Pelaporan kinerja ini dimaksudkan untuk mengkomunikasikan capaian kinerja instansi pemerintah dalam suatu tahun anggaran yang dikaitkan dengan proses pencapaian tujuan dan sasaran instansi pemerintah. Sehingga dapat membantu pembuatan keputusan yang lebih efektif dan efisien di masa mendatang. Metode penelitian yang digunakan adalah dengan melakukan wawancara secara terbuka dan tertutup kepada 24 responden dimana 11 responden berasal dari Pemerintah Daerah di Luar Pulau Jawa dan 13 responden berasal dari Pemerintah Daerah di Pulau Jawa. Berdasarkan hasil wawancara dapat diketahui bahwa Pemerintah Daerah tidak sepenuhnya menggunakan LAKIP sebagai salah satu acuan dalam pengambilan keputusan dan membantu perbaikan kinerja di masa mendatang. Karena mayoritas responden mengungkapkan bahwa dibuatnya LAKIP semata-mata hanya untuk memenuhi persyaratan yang telah ditetapkan oleh Pemerintah Pusat. Karena untuk pejabat tingkat atas, faktor politik lebih diutamakan dalam pengambilan keputusan (isoformisma koersif). Dalam pembuatannya, mayoritas Pemerintah Daerah menggunakan pedoman yang dikeluarkan oleh Pemerintah Pusat sebagai acuan pembuatan laporan kinerja. Namun tidak sedikit juga yang hanya meniru dari Pemerintah Daerah lain yang dianggap laporannya sudah cukup baik. Hal ini dikarenakan kurangnya motivasi dari pejabat tingkat atas untuk menjadikan LAKIP sebagai salah satu acuan dalam pengambilan keputusan ( isofirmisma mimesis). Selain itu, tidak sedikit juga Pemerintah Daerah yang menggunakan jasa BPKP sebagai konsultan dan Perguruan Tinggi di daerahnya untuk membantu pembuatan laporan kinerja tersebut. Hal ini dilakukan agar terjadi transfer ilmu antara BPKP dan Perguruan Tinggi kepada staff pengelola laporan kinerja tersebut (isofirmisma normative). Selanjutnya apabila laporan kinerja ini sudah diterapkan dengan baik di Pemerintah Daerah, diharapkan agar para pengambil keputusan dapat menggunakannya sebagai salah satu acuan dalam pengambilan keputusan dan dapat mengurangi kepentingan pribadi dan politik agar dapat membantu perbaikan kinerja di masa mendatang.
Pengukuran Kinerja di Indonesia : Kasus Pemerintah Daerah
Makalah Pengukuran Kinerja di Indonesia : Kasus Pemerintah Daerah dibuat untuk meneliti pelaksanaan system pengukuran kinerja Pemerintah Daerah di Indonesia dengan memfokuskan pada dua aspek penting dalam sektor publik, yaitu akuntabilitas dan pengukuran kinerja. Akuntabilitas dapat diartikan sebagai suatu hubungan individu atau lembaga yang digunakan untuk menjawab kinerja yang melibatkan beberapa pelimpahan wewenang untuk bertindak. Sementara pengukuran kinerja dianggap penting bagi Pemerintah Daerah, tidak hanya untuk mengukur kegiatannya, tetapi juga untuk memberikan umpan balik ke proses manajemen untuk membantu meningkatkan masa depan. Isoformisa adalah kesamaan bentuk, proses dan struktur antar organisasi dalam suatu unit yang sama. Di Indonesia, sumber tekanan isoformik berpotensi datang dari Pemerintah Pusat melalui pemberlakuan hukum dan peraturan yang mempengaruhi Pemerintah Daerah termasuk dengan adanya keharusan semua badan pemerintah untuk melaporkan kinerja kepada Pemerintah Pusat. Berdasarkan hasil penelitian dapat diketahui bahwa mayoritas tanggapan datang dari Pulau Jawa. Hal ini disebabkan karena kurangnnya pengalaman dalam melaporkan kinerja. Hampir semua tanggapan berasal dari Pemerintah Daerah yang telah berdiri lama. Sedangkan dari 211 Pemerintah Daerah yang baru berdiri masih kurang berpengalaman dalam melaporkan kinerja. Dalam penelitian tersebut diketahui bahwa keberadaan kepemimpinan
adalah
faktor
penting
untuk
keberhasilan
mengembangkan
dan
menggunakan indikator kinerja.
Berdasarkan peneletian yang telah dilakukan dapat diketahui bahwa faktor organisasi (kesulitan matriks, pengetahuan teknis, komitmen manajemen dan persyaratan legislatif) berdampak pada indikator kinerja. Dari keempat faktor tersebut, persyaratan legislatif menjadi penyebab tertinggi. Hal ini dikarenakan alasan utama untuk mengembangkan indikator hanya sekedar untuk memenuhi / mematuhi persyaratan perundang-undangan dibanding membuat organisasi mereka menjadi lebih efektif dan efisien. Sedangkan kesulitan matriks adalah faktor yang tidak mempengaruhi indikator kinerja. Hal ini dikarenakan banyaknya pelatihan teknis tentang pengukuran kinerja yang biasanya ditujukan pada tingkat manajerial dan operasional dibanding tingkat yang lebih tinggi.