Administrasi pemerintah daerah, terdiri dari 3 kata yaitu administrasi, pemerintah dan
daerah. Administrasi dapat diartikan dalam 2 hal yaitu administrasi dalam arti sempit dan
administrasi dalam arti luas. Secara sempit administrasi diartikan sebagai kegiatan yang bersifat
tulis menulis tentang segala sesuatu yang terjadi dalam organisasi, jadi kegiatan yang dimaksud
tidak lebih dari kegiatan tata usaha. Seperti mengetik, mengirim surat, mencatat keluar dan
masuk surat, penyimpanan arsip dan yang termasuk pada proses pelayanan lainnya.
Sedangkan administrasi dalam arti luas merupakan kegiatan yang dilakukan untuk
mencapai tujuan. Kegiatan-kegiatan ini meliputi kegiatan perencanaan, pengorganisasian,
penggerakan dan pengawasan. Dalam pengertian luas ini, pengertian tata usaha termasuk
didalamnya. Administrasi yang dimaksud tidak hanya pada badan-badan pemerintah saja, tetapi
juga terdapat pada badan-badan swasta.
Kemudian, kita masuk dalam pengertian administrasi pemerintah. Pada hakekatnya
administrasi pemerintah adalah administrasi Negara dalam arti sempit. Administrasi Negara
dalam arti luas sebagai obyeknya adalah Negara lengkap dengan badan-badan Negara baik itu
eksekutif, legislatif maupun yudikatif. Sedangkan dalam arti sempit yang menjadi obyek adalah
pemerintah (eksekutif). Administrasi pemerintah berhubungan dengan kegiatan-kegiatan
pemerintahan yang dapat dikelompokkan dalam 3 fungsi/kegiatan dasar yaitu: perumusan
kebijakan, pelaksanaan tugas administrasi , pengunaan dinamika administrasi.
1. Perumusan Kebijakan
Sarana/peralatan
3. Penggunaan Dinamika Administrasi
Semua kebijakan yang telah ditetapkan perlu dilaksanakan secara operasional agartercapai tujuan
yang dimaksud dalam kebijakan itu sendiri. Dalam hal ini peranan unsure dinamika administrasi
adalah sangat besar yakni dalam rangka proses pencapaian tujuan secara berdaya guna dan
berhasil guna. Unsur dinamika penggerak administrasi ini meliputi:
Pimpinan
Koordinasi
Pengawasan
Komunikasi dan kondisi yang menunjang
Kemudian, dalam penyelenggaraannya, administrasi pemerintah menunjukkan ciri-ciri sebagai
berikut:
1. Administrasi pemerintah dalam kegiatannya berdasarkan atas hukum atau peraturan
perundang-undangan yang berlaku. Dalam penyelenggaraan pemerintahannya, pemerintah
termasuk didalamnya badan-badan pemerintah baik ditingkat pusat maupun daerah, harus dapat
dipertanggungjawabkan secara hukum. Artinya setiap tindakan pemerintah harus
mempertimbangkan dua kepentingan yakni tujuan dan landasan hukumnya.
2. Administrasi pemerintah dalam kegiatannya berdasarkan keputusan politik yang dibuat oleh
badan yang berwenang. Dalam menjalankan kewenangannya administrasi pemerintah di
Indonesia berdasarkan atas ketetapan-ketetapan MPR yang bersidang sekurang-kurangnya sekali
dalam 5 tahun.
3. Administrasi pemerintah dalam pengaturan organisasinya bersifat birokrasi. Birokrasi dalam
arti yang sebenarnya dimaksudkan untuk mengorganisasi secara teratur suatu pekerjaan harus
dilakukan oleh orang banyak. Di negara kita pengaturan organisasi pemerintah berdasarkan atas
struktur birokrasi yang mengatur segala kegiatan pemerintah baik kedalam maupun keluar dan
tata cara pengambilan keputusan yang kompleks.
4. Administrasi pemerintah dalam menjalankan kegiatannya berdasarkan pada prosedur kerja
yang ditetapkan dalam peraturan-peraturan misalnya peraturan perijinan, peraturan tentang
pedagang kaki lima, dan sebagainya.
Setelah mengetahui pengertian dan ciri-ciri administrasi pemerintah, kemudian satu hal yang
menjadi inti mata kuliah ini adalah pengertian administrasi pemerintah daerah. Yang dimaksud
dengan administrasi pemerintah daerah adalah penyelenggaraan pemerintahan di daerah dengan
berdasarkan prinsip desentralisasi. Desentralisasi adalah penyerahan wewenang pemerintahan
oleh pemerintah pusat kepada daerah otonom (propinsi, kabupaten dan kota). Sementara itu
otonomi daerah merupakan kewenangan daerah otonom untuk mengatur dan mengurus
kepentingan masyarakat setempat.
Pendelegasian kewenangan ditinjau dari visi implementasi praktis di daerah dapat
disederhanakan menjadi tiga kelompok besar, yaitu pendelegasian kewenangan politik,
pendelegasian kewenangan urusan daerah dan pendelegasian kewenangan pengelolaan
keuangan. Sementara itu substansi kewenangan daerah mencakup seluruh kewenangan bidang
pemerintahan kecuali dalam bidang pertahanan, keamanan, politik luar negeri, peradilan (yustisi)
moneter dan fiskal nasional, serta agama ( UU no 32 pasal 10:3).
B. Landasan Pembentukan Pemerintah Daerah
Dengan telah disepakatinya prinsip-prinsip Indonesia merdeka dan tujuan serta arah mana
Indonesia akan dibawa maka diperlukan perangkat pemerintahan di daerah karena disadari
bahwa tidak semua urusan pemerintahan dapat dilaksanakan sendiri oleh pemerintah pusat.
Untuk menjaga kemungkinan agar pemerintahan di daerah itu tidak memisahkan diri dari
pemerintah pusat maka dinyatakan bahwa disamping ada daerah otonom ada daerah yang
bersifat administrasi saja, yang kesemuanya merupakan wilayah administrasi pemerintahan
negara Indonesia.
3. Hubungan Pemerintah Pusat dan Daerah
Dalam penyelenggaraan pemerintahan diperlukan adanya sistem delegasi atau pelimpahan
kekuasaan pemerintahan sebagai penjelmaan kedaulatan negara yang terpusat di tangan
pemegang kekuasaan konstitusional. Yang dimaksud dengan pemegang kekuasaan konstitusional
adalah dapat berwujud lembaga yang dipersonifikasikan dalam bentuk lembaga negara atau
pemerintah. Pelimpahan wewenang yang dimaksudkan mencakup pelimpahan wewenang
pemerintahan:
a) Dari lembaga tertinggi negara kepada lembaga tinggi negara
b) Dari Pemerintah Pusat kepada Pemerintah Daerah
c) Dari Pemerintah Pusat kepada aparatnya yang ada di daerah
d) Dari Pemerintah Daerah kepada pemerintahan di bawahnya.
Tujuan dari pelimpahan wewenang antar pemerintahan atau antar lembaga-lembaga negara
dimaksudkan antara lain:
a) Menghindari pemusatan kekuasaan oleh sebuah lembaga atau penguasa di semua tingkatan
pemerintahan.
b) Demokratisasi penyelenggaraan pemerintahan
c) Mencapai kelancaran tujuan pemerintah.
Prinsip penyelenggaraan pemerintahan daerah sebagaimana dinyatakan dalam Penjelasan Umum
UU No.32/2004 adalah:
1. Digunakannya asas desentralisasi, dekonsentrasi dan tugas pembantuan
a) Desentralisasi adalah penyerahan wewenang pemerintahan oleh Pemerintah kepada Daerah
Otonom untuk mengurus dan mengatur urusan pemerintahan dalam sistem NKRI.
b) Dekonsentrasi adalah pelimpahan wewenang pemerintahan oleh Pemerintah kepada Gubernur
sebagai wakil Pemerintah dan/atau kepada instansi vertical di wilayah tertentu.
c) Tugas Pembantuan adalah penugasan dari Pemerintah kepada Daerah dan/atau Desa, dari
pemerintah provinsi kepada kabupaten/kota dan/atau Desa serta dari pemerintah kabupaten/kota
kepada desa untuk melaksanakan tugas tertentu.
2. Penyelenggaraan asas desentralisasi secara utuh dan bulat dilaksanakan di Kabupaten dan
Kota.
3. Penyelenggaraan asas tugas pembantuan yang dapat dilaksanakan di Propinsi, Kabupaten,
Kota dan Desa.
Dengan adanya pelimpahan wewenang ini timbul hubungan antara Pemerintah Pusat dengan
Pemerintah Daerah dimana hubungan tersebut merupakan jalinan sebagai landasan bagi
penyelenggaraan fungsi-fungsi:
a) Perimbangan kekuasaan dan kewenangan pusat dan daerah
b) Perimbangan keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah
c) Pembinaan dan pengawasan oleh Pemerintah Pusat kepada Pemerintah Daerah dan wakil
Pemerintah Pusat di daerah dalam pelaksanaan peraturan perundang-undangan
d) Pembinaan dan pengawasan oleh Pemerintah Pusat kepada Pemerintah Daerah dalam
penyusunan kebijakan, penyusunan peraturan daerah serta operasi pembangunan daerah
e) Pembinaan dan pengawasan oleh Pemerintah Daerah tingkat atas kepada Pemerintah Daerah
setingkat di bawahnya
Kepala daerah yaitu para gubernur dan bupati/walikota merupakan pemimpin formal di
daerahnya yang bertugas untuk membangun dan memajukan kehidupan masyarakat di daerahnya
masing-masing. Hal ini pula yang merupakan tugas utama kepala daerah. Oleh karena itu, peran
pemimpin daerah menjadi sangat penting dan strategis terutama dalam proses pembangunan di
era otonomi daerah ini.
Di tengah gencarnya pemerintah dalam melaksanakan reformasi birokrasi, pembahasan
mengenai kepala daerah juga menjadi fokus utama yang mewarnai proses reformasi tersebut.
Banyaknya kasus mengenai kepala daerah yang tersandung masalah hukum, dapat menghambat
pelaksanaan pembangunan dalam otonomi daerah. Hal ini disebabkan, mereka akan banyak
mencurahkan waktu dan perhatian pada masalah hukum yang sedang mereka hadapi. Hingga
saat ini, Kementerian dalam Negeri mencatat ada 278 kepala daerah di seluruh Indonesia yang
tersandung hukum, baik gubernur maupun bupati/walikota. Data dari KPK juga menunjukan,
sudah 8 orang gubernur dan 31 orang bupati/walikota tersandung perkara korupsi dan sudah
dihukum selama periode 2004-2012 (www.hukumonline.com, 2012).
Banyaknya kepala daerah yang tersandung korupsi, dapat ditengarai karena mahalnya
ongkos politik. Hal ini dipaparkan pula oleh Dirjen Otonomi Daerah Kemendagri,
Djohermansyah Djohan, bahwa dalam pilkada langsung dan untuk memenangkan kontestasi
politik, tidak dapat dipungkiri biaya politik pilkada langsung sangat mahal, sehingga berbagai
cara dilakukan untuk memenuhi kebutuhan tersebut. Ongkos politik juga dikeluarkan bukan saja
saat pencalonan dan kampanye saja. Setelah berhasil mendapat jabatannya, kepala daerah harus
mengeluarkan biaya untuk memelihara konstituen dan balas jasa terhadap partai politk
pengusung. Apabila dilihat dari gaji kepala daerah yang hanya sebesar Rp 7 8 juta, tentunya
belum memenuhi biaya yang dibutuhkan (www.fajar.co.id, 2012).
Modus korupsi dilakukan dengan berbagai cara, misalnya melalui penyalahgunaan
wewenang terutama dalam pelaksanaan pengadaan barang dan jasa. Bukan hanya itu, menurut
KPK, modus lain dapat melalui perizinan yang dikeluarkan kepala daerah menjelang pemilihan
kepala daerah. Seperti kasus yang menjerat salah satu kepala daerah yakni terkait dengan adanya
pengusaha yang menyumbang dana kampanye secara ilegal dan penerbitan izin usaha
perkebunan dan hak guna Usaha PT tertentu. Modus lain juga terjadi dalam hal penyelahgunaan
dana APBD, dengan menyuap anggota DPRD terkait pembahasan APBD. Selian itu masih
banyak lagi kasus korupsi yang menimpa kepala daerah, misalnya penyalahgunaan dana bantuan
sosial dan hibah, dll (Rifki, 2012). Hasilnya kemudian digunakan untuk membiayai konstituen
dan parpol pendukung, mengembalikan modal politik atau untuk memperoleh keuntungan secara
pribadi.
Tidak jarang pula, baik kepala daerah maupun wakilnya kurang memiliki kepemimpinan
politik yang memadai. Kepemimpinan seharusnya diarahkan untuk mewujudkan visi, misi dan
program pengembangan daerah yang sudah dijanjikan oleh para pemilih. Namun demikian,
kepala daerah di Indonesia cenderung memahami dan mempraktekan kepemimpinan sebagai
konsentrasi dan akumulasi kekuasaan pada dirinya (bappeda.jatimprov.go.id, 2012).
Ditengah maraknya kepala daerah yang tersandung kasus hukum, kondisi yang sedikit
berbeda menunjukan fenomena lain. Disamping banyak modus yang dilakuakn oleh kepala
daerah dalam melakukan korupsi lalu kemudian terjerat masalah hukum, beberapa kepala daerah
terjerat kasus hukum karena inovasi yang mereka lakukan. Hal ini dinilai, bukan kepala daerah
yang melakukan penyelahgunaan wewenang melainkan, hukum di Indonesia yang belum
memiliki kepastian. Ketua umum asosiasi Pemerintah Kabupaten Seluruh Indonesia (Apkasi),
Isran Noor mengatakan, bukan hanya pengusaha yang dikriminalisasi, melainkan kepala daerah
juga menjadi korban akibat ketidakpastian hukum. Hal ini disebabkan disaat kepala daerah
berinovasi, maka hal itu justru dianggap melakukan penyalahgunaan kewenangan (Putro, 2013).
Menurut Isran, dalam sejumlah kasus, kepala daerah menjadi sasaran proses viktimisasi,
menjadi korban karena dinilai melakukan penyelahagunaan kekuasaan dan wewenang. Padahal
kebijakan itu diambil untuk memperlancar investasi. Dia juga mengatakan inovasi kebijakan
jangan lantas dimaksudkan penyalahgunaan kekuasaan ataupun kewenangan karena kerap kali
dilakukan untuk mempermudah masuknya investasi. Dalam melakukan investasi pengusaha
butuh intensif, salah satunya dengan memberikan kemudahan dalam perizinan. Sayangnya, yang
terjadi saat ini perizinan inilah yang sering dianggap kriminal (Wirakusuma, 2013).
Menurut pengamat hukum Universitas Indonesia, Indiarto Senoaji, dalam undang-undang
terkait kebijakan kepala daerah memang tidak ada kepastian hukum. Hukumnya mungkin sudah
jelas, namun implementasinya yang tidak jelas, sehingga banyak yang dimasukan ke dalam ranah
pidana sehingga menjadi kriminalisasi kebijakan (Wirakusuma, 2013).
Namun demikian, realitas kondisi kepala daerah yang terjadi saat ini, tidak boleh
ditanggapi secara pesimistis, karena bukan tidak ada kepala daerah yang juga sukses dalam
menjalankan perannya di daerah. Jumlahnya memang tidak banyak, namun demikian hal ini
dapat menunjukan bahwa otonomi daerah memberikan peluang bagi setiap daerah berkembang
dan maju dengan inovasinya yang tentunya tidak lepas dari peran dan tanggungjawab kepala
daerah. Masing-masing daerah tersebut mulai bermunculan dengan inovasi mereka masingmasing sesuai dengan kebutuhan di daerah yang bersangkutan.
Munculnya kepala daerah yang berkarakter dan inovatif ini turut mewarnai proses
otonomi daerah di Indonesia. Mungkin tidak semua daerah-daerah ini dikenal oleh publik seperti
inovasi yang diselenggarakan oleh Solo, Yogyakarta, dan sebagain daerah lain, namun demikian
daerah-daerah ini juga mulai mngembangkan reformasi di daerahnya. Kepala daerah mereka
memiliki fokus yang berbeda-beda dan cara yang berbeda-beda dalam menyelesaikan masalah
yang ada di daerah. Sebagian kepala daerah fokus pada peningkatan kemampuan ekonomi
melalui insentif dan pengembangan usaha ekonomi kecil dan mikro yang di jalankan oleh
masyarakat maupun dengan membuka kesempatan bagi investor. Sebagian fokus pada
peningkatan kesejahteraan masyarakat melalui perbaikan pelayanan publik seperti kesehatan dan
pendidikan. Beberapa daerah mereformasi daerahnya melalui peningkatan transparansi dan
akuntabilitas pejabat publik. Metode-metode yang mereka gunakan hingga saat ini mulai mampu
menunjukan perubahan di daerahnya dalam rangka meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
Kepala daerah memiliki kontribusi besar dalam pelaksanaan reformasi birokrasi di daerah
dalam lingkup otonomi daerah. Dapat dikatakan pula, berkembang dan majunya suatu daerah
bergantung pula pada political will dari Kepala daerah. Kesadaran kepala daerah dalam
menjalankan tugasnya sangat dibutuhkan untuk mewujudkan reformasi birokrasi di tingkat
daerah serta memenuhi kesejahteraan masyarakat sesuai dengan cita-cita awal otonomi daerah.
Dalam menyongsong grand design reformasi birokrasi oleh Kementerian Pendayagunaan
Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi, hal yang perlu dipersiapkan pula oleh daerah adalah
mengenai kepemimpinan. Tren kepala daerah yang saat ini terjadi perlu menjadi cerminan untuk
melakukan perbaikan dan koreksi agar Kepala daerah yang ada mampu menjadi motor
penggerak mewujudkan kesuksesan reformasi birokrasi di tingkat daerah. Dikatakan pula oleh
Guru Besar Ilmu Politik UI, Prof. Iberamsyah, bahwa salah satu keberhasilan pelaksanaan
otonomi daerah ditentukan kepemimpinan kepala daerah baik bupati, walikota maupun gubernur
(www.antarakalsel.com,2012) Oleh karena itu, daerah perlu mempersiapkan pemimpin yang
visioner, berkarakter, inovatif dan yang terutama memiliki kesadaran yang tinggi akan tugas dan
kewajibannya untuk memajukan dan mengembangkan daerah serta menciptakan kesejahteraan
masyarakat daerah.
Memilih kepala daerah seperti yang dibutuhkan bukan pekerjaan yang mudah. Kondisi
ini mengingat bahwa kepala daerah diusung oleh parpol dan dipilih langsung oleh masyarakat.
Dalam hal ini, tidak ada analisis yang tepat untuk mengetahui tingkat kemampuan calon kepala
daerah dalam memimpin daerah. Ada banyak hal yang mempengaruhi proses tersebut, misalnya
kuatnya partai yang mengusung, ongkos politik, dan juga pengetahuan dan pendidikan
masyarakat. Diperlukan kaderisasi yang tepat oleh Partai Politik sehingga calon yang diusung
benar-benar orang yang mumpuni untuk memimpin suatu daerah. Partai politik harus diimbau
melakukan kaderisasi secara selektif. Jangan asalcomot kader yang belum jelas ideologi
politiknya. Apalagi hanya mengandalkan popularitas untuk dicalonkan sebagai kepala daerah
yang kemudian akan muncul kepala daerah instan yang belum paham terhadap masalah daerah.
Dalam menyelenggarakan road map reformasi birokrasi, kepala daerah yang menjabat harus
memiliki kualitas dan mampu mewujudkan keinginan masyarakatnya (www.fajar.com, 2012).
Rencana Strategis Daerah
Rencana strategis suatu daerah dalam merencanakan pembangunan daerahnya berperan
penting dalam menyukseskan tujuan otonomi daerah. Semangat reformasi birokrasi dapat
tercermin dari rencana strategis yang disusun. Rencana strategis adalah suatu proses yang
berorientasi pada hasil yang ingin dicapai dalam kurun waktu 1 (satu) tahun samapai dengan 5
(lima) tahun dan disusun berdasarkan pemahaman terhadap lingkungan baik dalam skala
nasional, regional maupun lokal dengan memperhitungkan potensi, peluang dan kendala yang
ada atau yang timbul serta memuat visi dan misi sebagai penjabaran dalam membina unit kerja
serta
kebijaksanaan
sasaran
dan
prioritas
sasaran
sampai
tahun
yang
ditentukan
(skpd.batamkota.go.id, 2011).
Berdasarkan undang-undang nomor 25 tahun 2004, tentang Sistem Perencanaan
Pembangunan Nasional dinyatakan perencanaan pembangunan bertujuan untuk mengoptimalkan
partisipasi masyarakat. Partisipasi masyarakat dimaksudkan agar kebijakan yang dibuat oleh
pemerintah menjadi lebih memiliki legitimasi. Rencana startegis yang disusun oleh suatu daerah
dimaksudkan untuk dapat mencapai tujuan pembangunan. Menilik kembali maksud otonomi
daerah yang ingin mendekatkan pelayanan kepada masyarakat dan memberikan ruang bagi
masyarakat daerah untuk berpartisipasi langsung dalam proses pembangun daerah, nampaknya
hal ini tidak sepenuhnya terwujud.
Fenomena yang terjadi saat ini, partispasi masyarakat yang diharapkan sulit terwujud,
terutama dalam menyusun perencanaan strategis pembangunan daerah yang kemudian akan
tertuang melalui program-program yang dicanangkan oleh pemerintah untuk masyarakat. Dalam
hal ini dapat dianalogikan, apabila partisipasi masyarakat masih kurang dalam proses
sumber daya aparatur daerah yang berkualitas menjadi dasar pertimbangan utama yang
memerlukan langkah-langkah prioritas yang terprogram secara sistematis. Aparatur pemerintah
daerah adalah pelaksana kebijakan publik yang mempunyai tugas, fungsi, hak dan wewenang di
areal administrasi. Dalam kerangka pelaksanaan otonomi daerah diperlukan persyaratan kualitas
yang memadai bagi sumber daya manusia aparatur daerah, dan kualitas tersebut dapat diamati
dari kemampuan profesionalitas sesuai bidang tugas yang menjadi tanggung jawabnya (Bambang
Yudoyono, 2002:61 dalam Effendi, 2012).
Pembahasan mengenai SDM di tingkat daerah, tidak dapat terlepaskan dari beberapa
masalah yang menyertai pelaksanaan pemerintahan daerah dalam kerangka otonomi daerah.
Kapasitas dan kualitas PNS daerah merupakan hal yang perlu diperhatikan mengingat mereka
berperan sebagai pelayan masyarakat. Oleh karena itu, untuk mengoptimalkan pelayanan bagi
masyarakat, diperlukan aparatur pemerintah daerah yang berkompeten dalam menjalankan
tugasnya sebagai pelayan maupun sebagai elemen dalam merumuskan ide-ide untuk
melaksanakan pembangunan daerah.
Aparatur yang ada di daerah akan mempengaruhi kinerja bahkan performa
penyelenggaraan pemerintahan daerah yang bersangkutan. Oleh karena itu diperlukan aparatur
yang benar-benar memahami dan memaknai keadaan dan potensi yang dimiliki daerahnya. Sikap
berpikir aparatur harus didasarkan pada kepentingan dan pengembangan daerah dengan
mengutamakan potensi yang ada di daerah.
Realitas yang terjadi pada kondisi aparatur daerah saat ini adalah kurangnya SDM yang
berkualitas dan berkompeten dalam menjalankan pembangunan serta masih rendahnya kesadaran
aparatur sebagai pelayan masyarakat. Hal ini dapat diperkuat dengan masih adanya keluhan
masyarakat, atas pelayanan yang diselenggarakan oleh pemerintah yang dinilai tidak sesuai
dengan harapan masyarakat. Meminjam istilah lama, bahwa aparatur bukan lagi melayani
masyarakat melainkan dilayani oleh masyarakat. Realitas ini tentunya berbanding terbalik
dengan konsep yang ada.
Masih rendahnya kompetensi aparatur daerah dalam menjalankan pembangunan dan
memberikan pelayanan kepada masyarakat dapat dikaji melalui sistem rekrutmen pegawai
daerah. Fenomena yang ada di daerah, masih banyaknya penyelewengan dalam sistem
perekrutannya. Hal ini bahkan sudah menjadi rahasia umum, apabila seseorang ingin menjadi
pegawai daerah, harus melalui jalan belakang dengan menyuap pihak-pihak tertentu. Kegiatan
penerimaan CPNS seakan tidak bisa lepas dari beberapa penyimpangan. Hal ini terungkap dalam
melalui perekrutan pegawai honorer maupun pegawai negeri sipil. Kebijakan ini malah
menimbulkan masalah baru yakni membengkaknya pos anggaran untuk belanja pegawai. Gaji
atau penghasilan yang diterima oleh pegawai yang bersangkutan masih dirasa kurang untuk
memenuhi kebutuhan sehingga mereka harus mencari tambahan lain di luar tugasnya sebagai
pegawai pemerintahan. Hal ini tentunya akan membuat kinerja mereka di pemerintahan tidak
optimal. Beberapa dari mereka mangkir dari pekerjaaannya di kantor karena ada pekerjaan lain
di luar yang harus diselesaikan. Ketika masyarakat datang untuk meminta pelayanan, tentu saja
mereka tidak tertangani dengan baik.
Permasalahan yang muncul dalam pengelolaan SDM atau pegawai tersebut, tidak dapat
dibiarkan terus berlangsung yang semakin memperburuk kondisi pelayanan pemerintahan daerah
sehingga harus dicari solusi terbaiknya. Hal ini mengingat, urgensi pelaksanaan reformasi
birokrasi yang dicanangkan oleh pemerintah memerlukan kesiapan dari pihak pemerintah daerah
melalui penyelesaian masalah-masalah utama yang masih menggelayuti, salah satunya adalah
mengenai SDM (pegawai daerah). Dalam mendukung terwujudnya reformasi birokrasi,
diperlukan SDM yang handal, berkualitas, berkompeten dan mumpuni dalam melaksanakan
tugas dan fungsinya. Kondisi ini mengharuskan setiap daerah memiliki formula yang jelas,
transparan dan akuntabel dalam memanajemen SDM daerah, mulai dari proses perekrutan hingga
evaluasi kinerja pegawai. Mekanisme yang dibuat harus sedapat mungkin menutup celah
terjadinya penyelewengan, terutama dalam proses awal yaitu perekrutan. Harus ada kejelasan
tugas pokok dan fungsi serta jobdesk masing-masing dibarengi dengan distribusi pegawai yang
efektif. Pemerintah juga perlu meningkatkan kapabilitas pegawai melalui pengembangan dan
pelatihan pegawai.
Kemitraan
Membangun hubungan kemitraan, bagi pemerintah daerah merupakan langkah dan
program strategis yang penting dilakukan sebab tidak mungkin seluruh permasalahan dan
pekerjaan pembangunan masyarakat dapat diselesaikan sendiri oleh pemerintah daerah.
Hubungan kemitraan tersebut dapat terbangun dengan kerjasama baik dengan pemerintah daerah
lain, pemerintah pusat, pihak swasta, masyarakat maupun stakeholder lain. Mengingat momen
otonomi daerah yang sudah dikembangkan lebih dari satu dasawarsa ini, sudah selayaknya
segala urusan di daerah dapat segera diselesaikan oleh pemerintah daerah yang bersangkutan.
Berbagai masalah daerah berupa kemiskinan, pengangguran, pendidikan, kesehatan, sosial dan
kemasyarakatan, sarana dan prasarana dan sebagainya, tidaklah mampu diatasi melalui APBD
saja. Oleh karena itu perlu dikembangkan kemitraan antara pemerintah daerah dengan berbagai
pihak, baik sektor swasta dan sektor ketiga melalui skema kemitraan pemerintah daerah
(Mahmudi, 2007:54).
Hal yang perlu menjadi fokus bagi pemerintah daerah adalah bagaimana pemerintah
daerah mampu mendorong partisipasi masyarakat, mengembangkan sektor swasta serta
menciptakan iklim yang kondusif bagi investor untuk berinvestasi di daerah. Kondisi tersebut
membutuhkan kemampuan daerah untuk menciptakan inovasi serta kemampuan dalam menjalin
hubungan kemitraan yang baik agar dapat mendatangkan manfaat antara kedua belah pihak, baik
itu pemerintah daerah sendiri maupun mitra kerjasama. Bentuk kerjasama yang dilakukan dapat
meliputi berbagai sektor di pemerintah daerah, tergantung pada kebutuhan daerah untuk
memberikan pelayanan dan menjalankan pembangunan di daerahnya.
Banyak hal yang dapat dilakukan untuk menarik investor maupun pihak lain menjalin
kemitraan dengan daerah. Pemerintah daerah harus mampu mengembangkan potensi di
daerahnya atau dengan kata lain , pemerintah daerah mampu membranding daerahnya sehingga
dilirik oleh investor-investor swasta untuk menanamkan modalnya di daerah tersebut.
Pemerintah daerah juga dapat membuka peluang berinvestasi dengan memudahkan urusan
perizinan untuk membuka usaha. Hal ini mengingat masih ada atau bahakan masih banyak
keluhan dari pengusaha-pengusaha dalam berinvestasi di daerah karena prosedur perizinan yang
sulit serta birokrasi yang panjang bahkan terjadi pemerasan terhadap pengusaha oleh pihak-pihak
yang tidak bertanggungjawab. Bukan hanya itu, kemitraan juga dapat terjalin dengan pemerintah
daerah dalam menyediakan pelayanan. Dalam hal ini, biasanya letak daerah tersebut berdekatan
atau adanya perbedaaan kebutuhan antar daerah sehingga dapat saling memenuhi.
Adanya urgensi untuk melaksanakan reformasi birokrasi, termasuk oleh daerah-daerah,
diperlukan kesiapan dari pihak daerah dalam melaksanakan reformasi tersebut. Kondisi ini
menuntut pemerintah daerah untuk dapat mengatasi dan memperbaiki masalah-masalah yang
masih dihadapi oleh daerah hingga saat ini, termasuk permasalahan utama dalam hal kemitraan.
Bukan tidak ada, atau bahkan saat ini sudah mulai banyak daerah-daerah yang dapat membuka
diri untuk menjalin kemitraan dengan para stakeholder melalui suatu kebijakan tertentu, pun
demikian tidak dapat dipungkiri pula, masih terdapat daerah-daerah yang belum efektif dan
optimal dalam menfaatkan pentingnya menjalin kemitraan dengan pihak-pihak lain. Kondisi
tersebut apabila tidak segera diperbaiki tentunya akan menghambat pelaksanaan road
map reformasi birokrasi yang saat ini sedang gencar dicanangkan oleh pemerintah.
Penilaian juga sering muncul dari kalangan masyarakat terkait kemitraan yang dijalankan
oleh pemerintah daerah. Mereka menilai, kemitraan dengan pihak luar daerah masih belum
memadai. Dalam pelaksanaan program pelatihan misalnya, masih perlu ditingkatkan kemitraan
dengan pihak luar daerah dalam rangka penyaluran alumni dari program pelatihan serta dalam
pengadaan sarana dan penyelenggaraan pelatihan yang memadai. Begitu pula dalam pelaksanaan
program dana bergulir bagi masyarakat, diperlukan adanya kerjasama dengan pihak lain guna
meningkatkan kinerja dari inovasi program tersebut. Diharapkan melalui kerjasama dengan
pihak lain seperti akademisi dan pihak-pihak lainnya bisa meningkatkan kinerja program di masa
akan datang bagi daerah (Prasojo, Kurniawan, dan Holidin, 2007:188-189)
Dalam rangka mengoptimalkan pembangunan infrstruktur, secara pembiayaan perlu ada
kerjasama bersama swasta. Sinergi yang ada antara Pmeerintah pusat,pemerintah daerah dan
swasta menjadi penting untuk kesuksesan. Hal tersebut dinilai baik mengingat dukungan dari
semua kalangan memicu suksesnya pembangunan infrastruktur dari waktu-waktu mendatang.
Idealnya, layak secara ekonomi dan finansial diserahkan sepenuhnya kepada swasta. Untuk
kontribusi pemerintah sendiri adalah dukungan pemerintah yang bisa melalui pendanaan
pembebasan lahan, pembiayaan sebagian konstruksi, dan pemberian Viability Gap Fund
(www.infobanknews.com, 2012).
Kegagalan dalam menjalin kemitraan dengan pihak swasta pernah dialami oleh salah satu
daerah otonom di Indonesia. Hal ini berkaitan dengan pemenuhan infrastruktur transportasi. Ada
persoalan mendasar yang kemudian berimplikasi pada kegagalan kerjasama, antara lain (1)
Skema kerjasama yang timpang. Hal ini misalnya dapat ditilik dari ketimpangan hak dan
kewajiban antara kedua pihak; (2) Kegagalan mitra pemkot dalam menyediakan fasilitas
pendukung, padahal fasilitas tersebut dibayangkan menjadi jangkar perekonomian dan
diproyeksikan memberikan keuntungan ekonomi yang besar sehingga bisa segera menutup biaya
pembangunan. Selain itu, lemahnya kontrol pemkot terhadap kinerja mitra kerjasama. Hal ini
berimplikasi pada (1) keleluasaan pihak kedua dalam memodifikasi layout bangunan
infrastruktur sehingga menghasilkan bentuk bangunan yang tidak efektif dan kemudian
menyebabkan kesulitan akses transaksi ekonomi dan penjagaan keamanan, dll; (2) pemanfaatan
bangunan infrastruktur yang tidak maksimal sehingga mengganggu sektor-sektor lain dan tidak
menimbulkan multiplier effect; (3) Fungsi pemerintah sebagai pelindung kepentingan pedagang
dan pengusaha kecil yang tidak berjalan baik. (4) lemahnya kontrol pemkot dalam mengawasi
kerjsama karena keterbatasan pegawai . Hal ini merupakan efek dari perubahan kedudukan
bagian kerjasama menjadi sub bagian ditengah banyaknya pekerjaan kerjasama, dan belum
ditemukannya mekanisme pengawasan lintas dinas-badan yang efektif. (5) Lemahnya
manajemen infrastruktur yang dibangun sebagai akibat dari lemahnya pembagian tugas dan
koordinasi dari kedua belah pihak. Kegagalan
kerjasama
ini
pada
gilirannya
juga
kebijakan yang dibuat oleh oknum penguasa setempat untuk mengeruk keuntungan pribadi
(Ihsan, 2013).
Peran pihak swasta lebih ekspansif dalam mempercepat pembangunan. Misalnya lewat
pengembangan dan pemanfaatan potensi alam. Mulai dari penambangan batubara atau perluasan
lahan perkebunan sawit. Hal ini otomatis menaikan jumlah angkatan kerja di daerah, sekaligus
meningkatkan pendapatan asli daerah (PAD) masing-masing daerah. Aspek percepatan
pembangunan daerah ini tergantung pada potensi daerah itu sendiri. Menjalin hubungan dan
mengundang pihak swasta untuk bekerjasama dalam menjalankan tugas-tugas pemerintahan
seyogyanya tetap sesuai dengan aturan-aturan yang berlaku (otdanews.com, 2012).
Sumber Daya dan Prospek
Pengembangan wilayah pada hakekatnya adalah pengembangan di daerah yang bersifat
menyeluruh. Artinya pembangunan tidak hanya menyentuh aspek pengembangan fisik, tetapi
yang lebih prinsip adalah upaya memaksimalkan potensi sumber daya manusia agar dapat
mengelola sumber daya absolut yang dimiliki daerahnya secara bijak. Kondisi sumber daya
manusia yang berkualitas merupakan prasyarat utama dalam melakukan perbaikan dan
pembangunan di banyak sektor. Terlebih lagi pada masa pelaksanaan Otonomi daerah dimana
partisipasi dan kompetesi masyarakat sangat dibutuhkan dalam merancang, menentukan
kebijakan dan melaksanakan pembangunan yang menyentuh kepentingan rakyat banyak (Chalid,
Peni, 2005: 82-83).
Selain SDM, Sumber Daya Alam (SDA) dalam berbagai sektor merupakan sumber daya
yang sangat potensial untuk dikembangkan dan masing-masing memiliki prospek yang
menjanjikan selama daerah mampu mengeksplornya. Sektor yang paling menjanjikan misalnya
sektor pertambangan, namun banyak yang perlu diperhatikan dalam mengeksplornya. Hal krusial
yang harus dilakukan dalam kegiatan pertambangan adalah harus berdasarkan ketersediaan SDA.
Diperlukan wawasan jangka panjang atau pembangunan berkelanjutan. Pemanfaatan potensi
sektor pertambangan perlu memperhatikan AMDAL (Analisis mengenai dampak lingkungan),
agar kelestariaannya tetap terjaga. Dalam hal ini, diperlukan kemampuan pemerintah daerah
untuk dapat merencanakan pengelolaan serta pemnafaatan sumber daya tambang secara efektif
dan efisien. Dapat dilihat dari tren yang terjadi di beberapa daerah masih memanfaatkan sumber
daya tambang secara besar-besaran atau tidak terkendali dan dijadikan prospek utama dalam
mendongkrak perekonomian daerah dan meningkatkan PAD. Namun demikian kegiatan ini tidak
memperhatikan pemanfaatan untuk masa depan. Ketergantungan masyarakat yang melulu
terhadap hasil tambang dikawatirkan akan menimbulkan masalah di kemudian hari apabila hasil
tambang di daerah tersebut sudah habis dan tidak dapat dieksplor lagi. Bahkan dapat dipastikan
hal ini akan menganggu kestabilan ekonomi karena beberapa masyarakat akan kehilangan
pekerjaan utama mereka sebagai penambang dan juga dampak negatif yang mungkin akan
ditimbulkan dan dirasakan oleh masyarakat pasca aktivitas pertambangan. Kondisi ini juga akan
semakin memperburuk dan menambah permasalahan di daerah.
Saat ini, beberapa pemerintah daerah memutuskan memenfaatkan cadangan tambang
sebagai motor untuk menggerakan ekonomi. Dapat disadari, cara ini merupakan kebijakan
pemerintah daerah sebagai solusi prgamatis jangka pendek untuk memperoleh pendapatan asli
daerah (PAD). Namun kadang kala kebijakan ini menimbulkan kesan bahwa pemerintah daerah
lupa bahwa barang tambang adalah komoditas yang tidak terbarukan, akan habis suatu waktu.
Ditambah lagi, kebanyakan pemerintah daerah mengartikan kemajuan ekonomi dengan
memanfaatkan hasil eksploitasi pertambangan membiayai keperluan belanja pemerintah yang
kebermanfaatannya tidak untuk jangka panjang, misalnya mendirikan gedung perkantoran atau
untuk belanja pegawai. Poin utama yang perlu dipertimbangkan adalah hasil kegiatan
pertambangan tersebut perlu dimanfaatkan untuk membangun komoditas lain yang dapat
dijadikan penggerak perekonomian jangka panjang, misalnya untuk pertanian, perkebunann
maupun pengembangan, permodalan dan pelatihan UMKM masyarakat daerah. Melalui hasil
tersebut, seharusnya pemerintah mulai dapat menyiapkan infrastruktur untuk mendukung
pengembangan pertanian, perkebunan dan UMKM masyarakat daerah, tentunya akan lebih bijak
apabila sesuai dengan kearifan lokal masyarakat daerah.
Ada pula hambatan yang dialami daerah, dalam hal pengelolaan dan pengembangan
potensi SDA khususnya pertambangan adalah masih rendahnya kualitas SDM serta kualitas
teknologi yang kurang memadai. Selain itu yang tidak kalah pentingnya adalah ketersediaan
informasi wilayah tentang potensi sumber daya mineral yang akurat bagi kepentingan investasi,
yang selama ini belum dapat diwujudkan secara baik (www.bakorsurtanal).
Masalah rendahnya kualitas SDM pemerintah salah satunya akan menyebabkan
pemerintah tidak mampu memetakan potensi daerah yang dimiliki. Mereka kurang mampu
melakukan analisis terhadap potensi yang ada dan tidak dapat melihat prospek jangka panjang
dari potensi yang dimiliki. Upaya tersebut misalnya pembentukan instansi pemerintah
(dinas/badan) yang mengurus dan bertugas mengkoordinasi pengelolaan potensi daerah. Dengan
demikian, potensi yang ada tidak dapat tergali dan dimanfaatkan secara optimal untuk
meningkatkan PAD maupun untuk menggerakan perekonomian masyarakat.
Permasalahan lain yang juga muncul di daerah adalah sinergitas antara pemerintah
daerah, masyarakat dan swasta/investor dalam pengelolaan sumber daya. Pemanfataan sumber
daya alam pada skala tertentu dapat menyebabkan/ memicu konflik antar kepentingan sektor,
swasta dan masyarakat. Kegiatan yang tidak terpadu itu selain kurang bersinergi juga sering
saling mengganggu dan merugikan antar kepentingan, seperti kegiatan industri yang polutif
dengan kegiatan budidaya perikanan yang berdampingan. (Kusdinar, 2011).
Dalam pengelolaan dan eksplorasi sumber daya alam masih ada kelonggaran
pengawasan, sehingga antara kedua belah pihak yakni investor dan pemerintah daerah tidak
terjalin hubungan simbiosis mutualisme namun lebih menguntungkan pihak swasta. Hal ini
juga dipengaruhi masih kurangnya kemampuan sumber daya manusia di pemerintahan dalam
merencanakan pembangunan termasuk pengelolaan anggaran pada pos pendapatan daerah.
Ketidakmampuan daerah dalam pengelolaan sumber daya alam sendiri berimbas pula pada
masyarakat daerah asli. Investasi yang seharusnya diharapkan dapat menggerakan kegiatan
perekonomian daerah dengan membuka lapangan pekerjaan bagi masyarakat daerah ternyata
tidak demikian adanya. Hal ini dapat didasari karena juga masih rendahnya kualitas sumber daya
manusianya sehingga tidak dapat memenuhi standar minimum kemampuan yang dibutuhkan
oleh investor dalam mengembangkan usahanya. Oleh karena itu, para investor ini lebih banyak
merekrut SDM dari luar daerah bahkan dari luar negeri. Kondisi ini pula yang ditenggarai
menimbulkan kecemburuan sosial di kalangan masyarakat asli. Potensi daerah yang kaya tidak
serta merta menjadikan masyarakatnya sejahtera namun menunjukan kondisi yang sebaliknya.
Masyarakat daerah tetap ada dalam belenggu kemiskinan dan keterbelakangan bahkan semakin
terpuruk dengan banyaknya pendatang ke daerah mereka yang dari segi kapabilitas dan keahlian
yang dimiliki lebih unggul dibanding mereka. Hal inilah yang hingga saat ini menimbulkan
konflik di daerah dan menjadi dasar alasan munculkan potensi disintegrasi.
Dapat diambil contoh yang dialami papua. Meskipun wilayah papua memiliki sumber
daya mineral logam yang penting utnuk negara, tidaka ada kebijakan khsuus yang disiapkan
pemerintah pusat terkait rencana pengelolaan pertambangan di sana. Secara umum, pengelolaan
pertambangan Papua dilaksanakan mengacu pada ketentuan yang ada dalam undang-undang
Pertambangan Mineral dan Batu Bara dan aturan pelaskanaan terkait. Undang-undang yang terbit
Januari 2009 itu memberi keleluasaan lebih besar kepada pemerintah daerah mengeluarkan izin
pertambangan. Kewenangan ini yang kemudian oleh pengamat bahkan pejabat pemerintah
Kementerian ESDM dinilai perlu untuk tetap diawasai (energytoday.com, 2013).
Kecenderungan pemerintah daerah khususnya dalam memperoleh sumber PAD terlalu
fokus pada SDA yang memberikan keuntungan langsung misalnya pertambangan logam dan
mineral. Ditambah lagi, hasil tambang tersebut langsung dijual dalam bentuk mentah tanpa
pengolahan lebih dulu untuk meningkatkan nilai guna sehingga nilai jualnya juga lebih tinggi.
Selain
itu
masih
rendahnya
kepedulian
pemerintah
daerah
dalam
mengelola
dan
mengembangkan SDA lain yang dapat terus diperbaharui dalam jangka panjang misalnya
perikanan, pertanian dan perkebunan.
Masih jarang daerah,khususnya yang memilki sumber daya tambang, melirik potensi
pertanian, perikanan maupun perkebunan. Hal ini dikarenakan pemerintah daerah sendiri masih
kesulitan merancang kebijakan yang tepat untuk mendongkrak komoditas sektor ini. Selain itu,
komoditas ini dipengaruhi pula oleh kondisi alam, misalnya di sektor pertanian dan perkebunan.
Pada musin kemarau tentunya akan terjadi penurunan produksi, hal ini tentunya akan
berpengaruh terhadap perekonomian masyarakat. Dalam hal pengembangannya, juga diperlukan
modal yang besar. Terkadang, dalam pemberian bantuan kepada masyarakat pun, tidak disertai
dengan analisis kebutuhan masyarakat, sehingga bantuan yang diberikan pun tidak memberikan
kebermanfaatan yang optimal bagi masyarakat. Meskipun sudah ada inovasi yang muncul dalam
pengelolaan sektor pertanian, perkebunan maupun perikanan di beberapa daerah, namun
jumlahnya cenderung masih sedikit. Bahkan beberapa pemerintah daerah mengakui, mereka
masih kesulitan dalam membantu memasarkan atau mendistribusikan produk daerah, terutama
untuk ke luar daerah.
Sektor lain yang sebenarnya juga mempunyai prospek yang menjanjikan bagi daerah
adalah sektor pariwisata. Setiap daerah di Indonesia, memiliki budaya lokal dan kekayaan alam
yang berbeda-beda. Namun apabila diamati, sebagian daerah belum mampu mengeksplor
prospek pariwisata di daerahnya dengan alasan kurangnya dana untuk pembangunan
infrastruktur, sarana dan prasarana yang menunjang. Selain itu, promosi kekayaan pariwisata
juga masih kurang. Dalam hal ini, pemerintah daerah sebenarnya dapat menjalin kerjsama
dengan swasta.
sebagai
warga
negara.
Kemiskinan
merupakan
masalah
global.
Berbagai sudut pandangan tentang masalah kemiskinan, pada dasarnya dapat dilihat dari
dua aspek yaitu aspek statis dan dinamis
1. Dari Segi Statis
Kemiskinan sosial. Kemiskinan yang dialami oleh perempuan, anak-anak, dan
kelompok minoritas
Ketidakmampuan dan ketidakberuntungan sosial (anak telantar, wanita korban tindak
kekerasan rumah tangga, janda miskin, kelompok marjinal dan terpencil.
Masyarakat miskin seringkali merupakan kelompok yang tidak berdaya baik karena
hambatan internal dari dalam dirinya maupun tekanan eksternal dari lingkungannya.
Miskin alamiah, kemiskinan yang timbul akibat terbatasnya jumlah sumber daya dan
karena tingkat perkembangan teknologi yang sangat rendah. Sehingga dalam
masyarakat ini tidak akan ada kelompok atau individu yang lebih miskin dari yang
lain. Jika ada perbedaan kekayaan dalam masyarakat, dampak perbedaan tersebut akan
diperlunak atau dieliminasi oleh adanya pranata-pranata tradisional. Misalnya
hubungan patron-klien, jiwa gotong royong, dan sejenisnya berfungsi untuk meredam
timbulnya kecemburuan sosial.
Kemiskinan struktural atau buatan, merupakan kemiskinan yang terjadi karena struktur
sosial yang ada membuat anggota atau kelompok masyarakat tidak menguasai sarana
ekonomi dan fasilitas-fasilitas secara merata. Bahkan Selo Soemardjan mendefinisikan
kemiskinan struktural sebagai kemiskinan yang diderita oleh suatu golongan
masyarakat, karena struktur sosial masyarakat itu tidak dapat menggunakan sumbersumber pendapatan yang sebenarnya tersedia bagi mereka.
2. Dari Segi Dinamis
Kemiskinan yang diakibatkan globalisasi. Globalisasi menghasilkan pemenang dan
pengkalah. Pemenang umumnya adalah negara-negara maju. Sedangkan negara-negara
berkembang seringkali semakin terpinggirkan oleh persaingan dan pasar bebas yang
merupakan prasyarat globalisasi.
Kemiskinan yang berkaitan dengan pembangunan. Kemiskinan subsisten (kemiskinan akibat
rendahnya pembangunan), kemiskinan pedesaan (kemiskinan akibat peminggiran pedesaan
dalam proses pembangunan), kemiskinan perkotaan (kemiskinan yang sebabkan oleh hakekat
dan kecepatan pertumbuhan perkotaan).
Kemiskinan konsekuensial. Kemiskinan yang terjadi akibat kejadian-kejadian lain atau
faktor-faktor eksternal di luar si miskin, seperti konflik, bencana alam, kerusakan lingkungan,
dan tingginya jumlah penduduk.
Tidak adanya akses terhadap kebutuhan hidup dasar lainnya (kesehatan, pendidikan, sanitasi,
air bersih dan transportasi)
terhadap berbagai perilakunya dalam kehidupan sehari-hari. Dampak psikologis ini mempunyai
efek domino di mana secara sosial, orang menganggur akan merasa minder karena status sosial
yang tidak atau belum jelas.
3. Biaya Sosial
Dengan semakin besarnya jumlah penganggur, semakin besar pula biaya sosial yang harus
dikeluarkan. Biaya sosial itu mencakup biaya atas peningkatan tugas-tugas medis, biaya
keamanan, dan biaya proses peradilan sebagai akibat meningkatnya tindak kejahatan.
4. Penerimaan Negara
Salah satu sumber penerimaan negara adalah pajak, khususnya pajak penghasilan. Pajak
penghasilan diwajibkan bagi orang-orang yang memiliki pekerjaan. Apabila tingkat
pengangguran meningkat, maka jumlah orang yang membayar pajak penghasilan berkurang.
Akibatnya penerimaan negara pun berkurang.
pembangunan hukum di Indonesia. Bila ditelusuri lebih jauh keempat masalah di atas dapatlah
disimpulkan bahwa akar dari semua masalah itu adalah karena ketidakjelasan politik
ketenagakerjaan nasional. Sekalipun dasar-dasar konstitusi UUD 45 khususnya pasal 27 dan
pasal 34 telah memberikan amanat yang cukup jelas bagaimana seharusnya negara memberikan
perlindungan terhadap buruh/pekerja.
Pengangguran terjadi disebabkan antara lain, yaitu karena jumlah lapangan kerja yang
tersedia lebih kecil dari jumlah pencari kerja. Juga kompetensi pencari kerja tidak sesuai dengan
pasar kerja. Selain itu juga kurang efektifnya informasi pasar kerja bagi para pencari kerja.
Fenomena pengangguran juga berkaitan erat dengan terjadinya pemutusan hubungan kerja, yang
disebabkan antara lain: perusahaan yang menutup/mengurangi bidang usahanya akibat krisis
ekonomi atau keamanan yang kurang kondusif; peraturan yang menghambat inventasi; hambatan
dalam proses ekspor impor, dll.
Menurut data BPS angka pengangguran pada tahun 2002, sebesar 9,13 juta penganggur
terbuka, sekitar 450 ribu diantaranya adalah yang berpendidikan tinggi. Bila dilihat dari usia
penganggur sebagian besar (5.78 juta) adalah pada usia muda (15-24 tahun). Selain itu terdapat
sebanyak 2,7 juta penganggur merasa tidak mungkin mendapat pekerjaan (hopeless). Situasi
seperti ini akan sangat berbahaya dan mengancam stabilitas nasional. Masalah lainnya adalah
jumlah setengah penganggur yaitu yang bekerja kurang dari jam kerja normal 35 jam per
minggu, pada tahun 2002 berjumlah 28,87 juta orang. Sebagian dari mereka ini adalah yang
bekerja pada jabatan yang lebih rendah dari tingkat pendidikan, upah rendah, yang
mengakibatkan produktivitas rendah. Dengan demikian masalah pengangguran terbuka dan
setengah penganggur berjumlah 38 juta orang yang harus segera dituntaskan.
Keadaan Angkatan Kerja dan Keadaan Kesempatan Kerja
Masalah pengangguran dan setengah pengangguran tersebut di atas salah satunya
dipengaruhi oleh besarnya angkatan kerja. Angkatan kerja di Indonesia pada tahun 2002 sebesar
100,8 juta orang. Mereka ini didominasi oleh angkatan kerja usia sekolah (15-24 tahun)
sebanyak 20,7 juta. Pada sisi lain, 45,33 juta orang hanya berpendidikan SD kebawah, ini berarti
bahwa angkatan kerja di Indonesia kualitasnya masih rendah.
Keadaan lain yang juga mempengaruhi pengangguran dan setengah pengangguran
tersebut adalah keadaan kesempatan kerja. Pada tahun 2002, jumlah orang yang bekerja adalah
sebesar 91,6 juta orang. Sekitar 44,33 persen kesempatan kerja ini berada disektor pertanian,
yang hingga saat ini tingkat produktivitasnya masih tergolong rendah. Selanjutnya 63,79 juta dari
kesempatan kerja yang tersedia tersebut berstatus informal.
Dan selama hampir 25 tahun lebih pemerintah Indonesia percaya, dengan jenis investor
ini, sampai kemudian disadarkan oleh kenyataan pahit bahwa jenis industri seperti itu adalah
jenis industri yang paling gemar melakukan relokasi. Pemindahan lokasi industri ke negara yang
menawarkan upah buruh yang lebih kecil, peraturan yang longgar, dan buruh yang melimpah.
Mereka diberikan gelar industri tanpa kaki (foot loose industries), karena kemudahan mereka
melangkah dari satu negara ke negara lainnya.
Indonesia yang mendapat era reformasi tahun 1998 secara ambisius meratifikasisemua
konvensi dasar ILO (a basic human rights conventions) yaitu; kebebasan berserikat dan
berunding, larangan kerja paksa, penghapusan diskriminasi kerja, batas minimum usia kerja
anak, larangan bekerja di tempat terburuk. Ditambah dengan kebijakan demokratisasi baru
dibidang politik, telah membuat investor tanpa kaki ini kuatir bahwa demokratisasi baru selalu
diikuti dengan diperkenalkannya
Undang-undang baru yang melindungi dan menambah kesejahteraan buruh. Bila ini yang
terjadi maka konsekuensinya akan ada peningkatan biaya tambahan (labor cost maupun
overheadcost). Bagi perusahaan yang masih bisa mentolerir kenaikan biaya operasional ini,
mereka akan mencoba terus bertahan, tetapi akan lain halnya kepada perusahaan yang
keunggulan komparatifnya hanya mengandalkan upah murah dan longgarnya peraturan, mereka
akan segera angkat kaki ke negara yang menawarkan fasilitas bisnis yang lebih buruk.
Itulah sebabnya sejak tahun 1999-2002 diperkirakan jutaan buruh telah kehilangan
pekerjaan karena perusahaannya bangkrut atau re-lokasi ke Cina, Kamboja atau Vietnam. Jenis
indusri seperti ini sudah lama hilang dari negara-negara industri maju, karena sistem
perlindungan hukum dan kuatnya serikat buruh telah membuat industri ini hengkang ke negara
lain.
Investor yang datang ke sektor ini adalah investor yang berbisnis dengan memanfaatkan
potensi sumber daya alam kita, bukan karena sumber daya manusia yang melimpah. Industri ini
juga tidak mengenal re-Iokasi (kecuali kaJau sudah habis masa eksplorasi). Karena tidak di
semua tempat ada tersedia sumber daya alam yang melimpah. Mengandalkan terus-menerus
industri ke sektor padat karya manufaktur, akanhanya membuat buruh Indonesia seperti hidup
seperti dalam ancaman bom waktu.
Rentannya hubungan kerja akibat buruknya kondisi kerja, upah rendah. PHK
semenamena dan perlindungan hukum yang tidak memadai, sebenarnya adalah sebuah awal
munculnya rasa ketidakadilan dan potensi munculnya kekerasan. Usaha keras dan pembenahan
radikal harus dilakukan untuk menambah percepatan investor baru. Saya sangat sedih mendengar
berita tentang minimnya atase perdagangan Indonesia yang mempromosikan potensi keunggulan
ekonomi kita. Indonesia dengan penduduk 210 juta Singapura, dengan penduduk 4 juta memiliki
125 atase perdagangan, Thailand dengan penduduk 60 juta punya 75 atase, Malaysia 80,
Philippine 45. Bagaimana mungkin negara lain tahu ada potensi kita bila tenaga yang
mempromosikannya hanya 25 orang.
Potensi investasi di banyak negara berkembang juga dapat kita temukan di web-site
khusus mereka, yang disediakan untuk menarik investor asing potensial. Di dalam situs itu bisa
ditemukan (bahkan infofmasi setiap daerah) potensi bisnis apa yang layak dikembangkan.
Indonesia sejauh yang saya ketahui tidak punya situs informasi secanggih itu. Selain itu, poIitik
nasional kita juga tidak memiIiki komitmen sungguh-sungguh untuk meningkatkan kualitas
SDM, terbukti dengan minimnya alokasi dana APBN yang disepakati politisi dan pemerintah
untuk anggaran pendidikan. Rasio anggaran pendidikan Indonesia untuk untuk pendidikan hanya
1.6% dari PDB. Sementara itu Thailand 3,6. Singapura 2.3 dan India 3.3. Itu sebabnya banyak
sekolah SD yang tidak mempunyai guru atau hanya mempunyai 1 atau 2 orang guru yang
mengajar semua kelas 1 sampai kelas 6.
2.
Dalam kamus modern serikat buruh, hanya ada dua cara melindungi buruh yaitu;
Pertama, melalui undang-undang perburuhan. MeIalui undang-undang buruh akan terlindungi
secara hukum, mulai dari jaminan negara memberikan pekerjaan yang layak, melindunginya di
tempat kerja (kesehatan dan keselamatan kerja dan upah layak) sampai dengan pemberian
jaminan sosial setelah pensiun.
Kedua, melalui serikat buruh. Sekalipun undang-undang perburuhan bagus, tetapi buruh
tetap memerlukan kehadiran serikat buruh untuk pembuatan Perjanjian Kerja Bersama (PKB ).
PKB adalah sebuah dokumen perjanjian bersama antara majikan dan buruh yang berisi hak dan
kewajiban masing-masing pihak. Hanya melalui serikat buruhlah bukan melalui LSM ataupun
partai politik bisa berunding untuk mendapatkan hak-hak tambahan (di luar ketentuan UU)
untuk menambah kesejahteraan mereka.
3.
Jumlah orang yang bekerja di sektor formal terus mengalami penurunan semenjak tahun 2000
dan terus turun hingga lebih dari 1 juta lapangan kerja yang hilang di tahun 2003. Kondisi ini
terutama terlihat sekali pada kelompok pekerja kasar. Di lain pihak, pekerja di sektor informal
menunjukkan gejala yang terus meningkat. Pada tahun 2003 terdapat peningkatan sekitar
400.000pekerja. Jumlah pekerja di sektor pertanian, dimana kebanyakan berada pada sektor
informal, juga kembali meningkat dari 40 persen pada tahun 1997 menjadi sekitar 46,3 persen
pada tahun 2003. Kecenderungan ini merupakan gambaran bahwa pekerjaan yang lebih
produktif, dengan sistem jaminan socials yang memadai sedang mengalami penurunan,
digantikan dengan pekerjaan yang kurang produktif dan tanpa proteksi sosial.
Penciptaan lapangan kerja yang mengecewakan saat ini amat berbeda jauh dengan
pengalaman Indonesia di masa lalu. Sebelum krisis pertumbuhan ekonomi yang didorong oleh
ekspor dengan investasi tinggi merupakan sumber utama penyerapan tenaga kerja. Antara tahun
1990 hingga 1995, industri berorientasi ekspor beserta berbagai industri pendukungnya
diperkirakan telah menyediakan separuh dari total pekerjaan yang ada.
Masalah
Pembangunan
Daerah
Ketimpangan
antar Daerah
Tingkat mobilitas
faktor produksi
atau barang dan
jasa rendah
Kelemahan
kinerja aparat
daerah
Perbedaan SDA
Fenomena
desentralisasi
korupsi
Perbedaan
Kondisi
Demografis
Pemekaran
Daerah yang
Berlebihan
alokasi investasi yang tidak merata, tingkat mobilitas faktor produksi yang rendah antardaerah,
perbedaan seumber daya alam (SDA) antarprovinsi, dan perbedaan kondisi demografis
antarwilayah. Kelima faktor tersebut akan kami jabarkan satu persatu.
(a) Konsentrasi Kegiatan Ekonomi Wilayah
Konsentrasi kegiatan ekonomi yang terlalu tinggi di suatu daerah tertentu merupakan
salah satu faktor penyebab terjadinya ketimpangan pembangunan antardaerah. ekonomi dari
daerah dengan konsentrasi kegiatan ekonomi tinggi cenderung tumbuh pesar sedangkan daerah
yang tingkat konsentrasi ekonominya rendah akan cederung mempunyai tingkat pembangunan
dan pertumbuhan ekonomi yang lebih rendah.
Teori : Jika tingkat konsentrasi ekonomi suatu daerah rendah, maka tingkat
pembangunan dan pertumbuhannya juga akan rendah.
Tabel 11 : Jumlah Industri Pengolahan Besar dan Sedang di Jawa dan Luar Jawa
Tabel 11 menunjukkan bahwa jumlah industri pengolahan besar dan sedang baik Jawa
maupun Luar Jawa dalam jangka panjang cenderung menurun. Namun hal lain yang lebih
penting untuk diperhatikan adalah gap jumlah industri yang sangat tinggi antara Jawa dan Luar
Jawa. Data ini merupakan bukti bahwa kegiatan ekonomi masih terkonsentrasi di Pulau Jawa.
Solusi :
Mulai berikan perhatian lebih pada daerah-daerah yang kurang terkonsentrasi (terutama di
luar Jawa).
Langkah-langkah :
-
Peningkatan SDM.
Peningkatan SDM di daerah setempat juga merupakan salah satu cara untuk meningkatkan
konsentrasi kegiatan ekonomi suatu daerah. SDM yang andal akan memberikan idea tau
gagasan yang dapat mengakselerasi terjadinya pembangunan daerah yang baik.
Teori Harrod Domar : , terdapat korelasi positif antara tingkat investasi dan laju
pertumbuhan ekonomi. Artinya semakin tinggi investasi di suatu wilayah,
semakin tinggi pula pendapatan perkapita masyarakat yang berarti semakin
tinggi juga pertumbuhan ekonominya.
Berdasarkan Tabel 12 dan Tabel 13 di atas, DKI Jakarta merupakan provinsi dengan nilai
investasi dan total proyek tertinggi (baik PMDN maupu
provinsi lainnya. Statusnya sebagai ibukota dengan jumlah penduduk terpadat merupakan
beberapa dari penyebabnya. Terlalu banyaknya proyek dan nilai investasi juga menjadikan
Jakarta sebagai kota dengan konsentrasi ekonomi yang tinggi sekaligus menyebabkan
kesenjangan konsentrasi yang tinggi dengan daerah lainnya. Sementara itu Maluku tercatat
sebagai provinsi yang paling jarang dijadikan tempat investor menanam dananya.
Solusi :
-
Langkah-langkah :
-
Promosi yang gencar untuk menarik investor di berbagai event dan workshop.
Tempat
lahir
1.
Sumater
a
2. Jawa
3.
Kalimant
an
4.
Sulawesi
5. Pulau
lainnya
6. Jumlah
7. Migran
masuk
Sumatera
Jawa
Pulau
Lainnya
199 200
0
0
Kalimantan
Sulawesi
199
0
200
0
5.53
51.6
3
5.19
61.9
5.17
70.0
2
1.35
31.5
6
1.75
23.0
5
na
100
601,
103
na
100
703,
673
1990
2000
1990
2000
1990
2000
na
na
66.49
68.8
4.26
4.74
95.25
93.79
Na
na
74.66
72.05
5.16
59.6
5
0.63
0.69
12.31
10.15
na
na
3.41
3.44
2.5
3.2
11.04
9.38
16.84
17.49
1.62
100
3,699
,393
2.33
100
3,588
,945
10.16
100
1,608
,136
11.68
100
2,267
,873
4.24
100
1,127
,938
5.72
100
1,644
,690
na
31.7
8
100
528,
629
na
39.4
1
100
653,
389
Tabel 14 : Persentase Migran Masuk Seumur Hidup menurut Pulau Tempat Lahir dan Pulau
Tempat Tinggal Sekarang Tahun 1990 dan 2000 (Sumber : http://www.datastatistikindonesia.com/, diolah)
Solusi :
-
Langkah-langkah :
-
Kalimantan Timur dan Papua memang lebih baik dibandingkan propinsi-propinsi di luar Jawa
yang miskin SDA. Tetapi, tingkat pendapatan di propinsi-propinsi kaya tersebut tidak lebih
tinggi dibandingkan di Jawa yang relative kaya SDM dan teknologi.
Jadi, dengan semakin pentingnya penguasaan teknologi dan peningkatan SDM, factor
endowments lambat laun akan tidak relevan lagi. Bukti menunjukkan bahwa negara-negara maju
di Asia tenggara dan Timur seperti Jepang, Korea Selatan, Taiwan, dan Singapura adalah negaranegara yang sangat miskin SDA. Pengalaman mereka menunjukkan bahwa faktor-faktor di luar
SDA jauh lebih penting dibandingkan SDA dalam menentukan maju tidaknya pembangunan
ekonomi di suatu wilayah.
Teori Fisiokratis : Sumber daya alam adalah sumber kekayaan utama suatu
negara.
Kalimantan Timur yang kaya akan minyak bumi dan batu bara, dan Sorong di Papua yang kaya
akan minyak bumi adalah beberapa bukti dari teori fisiokratis.
Solusi :
-
Pengembangan potensi daerah selain SDA, terutama di wilayah-wilayah yang miskin SDA.
Langkah-langkah :
-
Tabel 15 : Jumlah Rumah Sakit dan Puskesmas di Indonesia (Sumber : Profil Kesehatan
Indonesia)
Menurut Tabel 15, Jawa Barat adalah provinsi dengan jumlah puskesmas tertinggi,
sedangkan Jawa Tengah adalah provinsi dengan jumlah rumah sakit terbanyak. Banyaknya
jumlah rumah sakit dan puskesmas merupakan indikator kondisi demografis dalam hal
kesehatan. Semakin banyak jumlah rumah sakit dan puskesmas di suatu daerah artinya semakin
baik kondisi demografi daerah tersebut dan semakin maju pula pembangunan daerah dan tingkat
kesejahteraan masyarakatnya.
Masih bicara soal kesehatan, Tabel 16 menyajikan jumlah dokter, bidan, dan rasio
keduanya terhadap jumlah penduduk. Semakin tinggi nilai rasionya, semakin baik kondisi
demografi suatu daerah, dan semakin maju pula pembangunan daerah serta tingkat kesejahteraan
masyarakatnya. Provinsi dengan rasio dokter tertinggi adalah DKI Jakarta, sedangkan provinsi
dengan rasio bidan tertinggi dipegang oleh Bengkulu. Yang menjadi unik di sini adalah,
kebalikannya, DKI Jakarta justru adalah provinsi dengan rasio bidan terendah sedangkan
provinsi dengan rasio bidan terendah dipegang oleh Jawa Barat. Populasi yang sangat tinggi di
DKI Jakarta mungkin adalah salah satu penyebabnya.
Fe n o m e n a
Fenomena
P
enyebab
Penyebab
Dana bagi
p e n in g k a t a n
la y a n a n
m a s y a r a k a t t id a k
m e m a d a i.
Te r ja d i d e fi s it
APBN.
P e m e r in ta h
m e n ju a l s a h a m
BUM N dan
m e n a r ik u ta n g
b a ru .
P e n e r im a a n D A U
b a n y a k d ih a b is k a n
u n t u k m e m b ia y a i
b e la n ja p e g a w a i
p e m e r in ta h
p ro v in s i d a n
k a b u p a t e n /k o ta .
Banyak pem da
y a n g m e n y im p a n
d a n a d i re k e n in g
b a n k s e te m p a t
a t a u re k e n in g
s im p a n a n
s e m e n t a r a d i B I.
Pe m b u ku ka n
p e n d a p a ta n b u n g a
d e p o s ito d a n a
A P B D se ca ra
t e r p is a h .
P e m d a la la i d a la m
m e m b a y a r u ta n g
p a d a p e m e rin t a h
p u sa t.
C
a ra M
e n g a ta s i
Cara
Mengatasi
D A U d ire fo rm a s i,
m is a ln y a d a la m
p e m b a g ia n p a ja k
(P P n d a n
p e n y e r a h a n p a ja k
p e ru sa h a a n ) a g a r
te rc ip ta
m e k a n is m e
p e m b a g ia n d a n a
b e rd a s a rk a n
u p a y a m a s in g m a s in g d a e r a h .
1% 4%
25%
45%
Belanja Modal
Belanja Bansos dan
Hibah
Transfer
Belanja Lainnya
Belanja Pegawai
3%1%
26%
49%
Belanja Modal
Belanja Bansos dan Hibah
21%
Transfer
Belanja Lainnya
Grafik 4 dan Grafik 5 di atas menggambarkan belanja pegawai yang sangat besar untuk
kota dan kabupaten, yaitu di atas 40%. Jauh lebih besar daripada belanja lainnya. Hal tersebut
mengindikasikan jeleknya kinerja aparat daerah. Alangkah baiknya bila dana yang terlalu besar
untuk belanja pegawai tersebut dialokasikan untuk peningkatan layanan masyarakat. Hal ini
pula yang menyebabkan defisitnya APBN karena utang pemerintah daerah yang seharusnya bisa
digunakan untuk menutupi defisit tidak dibayar. Perbandingan pendapatan dan belanja nasional
bisa dilihat pada Grafik 6.
Fenomena
Penyebab
Cara Mengatasi
Tingkat korupsi
setelah otonomi
daerah jauh lebih
tinggi.
Sebelum era
otonomi, dana
yang bisa
dikorupsi jauh
lebih sedikit.
Maksimalisasi
peran LSM dan
media yang peka
terhadap korupsi.
Tabel 18 di atas dengan jelas memperlihatkan bahwa pemerintah daerah baik provinsi
maupun kabupaten/kota merupakan instansi yang melakukan penyerahan gratifikasi terbesar.
Artinya, kasus gratifikasi yang berhasil dibongkar oleh KPK paling banyak adalah pemerintah
daerah. Data ini memperkuat anggapan sebelumnya yang mengatakan bahwa fenomena korupsi
setelah era otonomi justru semakin marak.
d) Politisasi Ekonomi Daerah : Pemekaran Daerah yang Berlebihan
F
enom ena
Fenomena
Te r ja d i
p e m e ka ra n
w ila y a h b e s a rb e s a ra n .
N e g a ra
te rb e b a n i
k a re n a
tra n s fe r ke
d a e ra h y a n g
m e n g a la m i
p e m e ka ra n
w ila y a h
s a n g a t b e s a r.
D a e ra h y a n g
m e m e k a rk a n
d ir i
m e n g a la m i
p e n u ru n a n .
P
enyebab
Penyebab
B a n y a k e lit e
d a e ra h y a n g
m e m a n ip u la s i
sem ang at
ke d a e ra h a n
m a s y a ra ka t
u n tu k
m e m b e n tu k
u n it
a d m in is t r a s i
b a ru .
Te r ja d i
p e r g o la k a n d i
b e b e ra p a
d a e ra h .
Pe rs y a ra ta n
p e n d ir ia n
y a n g t e r la lu
m udah.
C
a ra M
e n g a ta s i
Cara
Mengatasi
O p t im a lis a s i
PP NO.
7 8 /2 0 0 7 d a n
P P N o . 6 /2 0 0 8
te n ta n g
e v a lu a s i
d a e ra h b a ru .
Grafik 7 menunjukkan bahwa pertumbuhan ekonomi daerah yang melepaskan diri (DOB) anjlok
jauh di bawah daerah mekarnya. Grafik tersebut memperkuat anggapan bahwa daerah yang
melepaskan diri akan cenderung mengalami penurunan dari segala aspek, termasuk pertumbuhan
ekonomi, PDRB Perkapita, tingkat kemiskinan, dan indikator lainnya.