Anda di halaman 1dari 114

PELAKSANAAN KAWIN KONTRAK DAN KONSEKUENSI

PELAKU KAWIN KONTRAK TERHADAP ISI SURAT


PERJANJIAN KAWIN KONTRAKNYA

TESIS

Oleh:
Sendy Yudhawan
0906498004

UNIVERSITAS INDONESIA
FAKULTAS HUKUM
PROGRAM MAGISTER KENOTARIATAN
DEPOK
2011
i

Pelaksanaan kawin...,Sendy Yudawan,FHUI,2011

PELAKSANAAN KAWIN KONTRAK DAN KONSEKUENSI


PELAKU KAWIN KONTRAK TERHADAP ISI SURAT
PERJANJIAN KAWIN KONTRAKNYA

TESIS
Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Kenotariatan

Oleh:
Sendy Yudhawan
0906498004

UNIVERSITAS INDONESIA
FAKULTAS HUKUM
PROGRAM MAGISTER KENOTARIATAN
DEPOK
2011

ii

Pelaksanaan kawin...,Sendy Yudawan,FHUI,2011

iii

Pelaksanaan kawin...,Sendy Yudawan,FHUI,2011

iv

Pelaksanaan kawin...,Sendy Yudawan,FHUI,2011

KATA PENGANTAR
Dengan memanjatkan puji syukur kehadirat Allah S.W.T atas rahmat dan
karunia-Nya yang telah ia limpahkan, sehingga penulis dapat menyelesaikan
penulisan tesis ini. Penulisan tesis ini dengan judul Pelaksanaan Kawin Kontrak
Dan Konsekuensi Pelaku Kawin Kontrak Terhadap Isi Surat Perjanjian Kawin
Kontraknya ditujukan untuk mencapai gelar Magister Kenotariatan pada Fakultas
Hukum Universitas Indonesia.
Penulis menyadari tanpa doa, dukungan moril dan materiil, bimbingan,
saran dan pengembangan ide dari berbagai pihak tidak mungkin tesis ini dapat
diselesaikan. Oleh karena itu pada kesempatan ini penulis hendak mengucapkan
terima kasih dan penghargaan yang sebesar-besarnya kepada para pihak yang
telah membantu penulis dalam menyelesaikan tugas akhir ini.
1.

Ibu Surini Ahlan Sjarif, S.H., M.H.., selaku pembimbing yang telah
memberikan ide, nasehat, semangat, pertolongan, serta kesabarannya
dalam membimbing penulis menyelesaikan tesis ini. Penulis mengucapkan
terima kasih yang sebesar-besarnya atas panduannya, waktu yang
diluangkan, serta atas perhatiannya untuk memberikan petunjuk-petunjuk
yang sangat berharga bagi keberhasilan penulis yang sebaik-baiknya.

2.

Bapak Prof. Wahjono Darmabrata, S.H., M.H., selaku dosen Magister


Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Indonesia dan dewan penguji
yang telah mendidik dan memberikan saran dan panduan kepada penulis
dalam pembuatan tesis ini.

3.

Bapak DR. Drs. Widodo Suryandono S.H., MH., selaku dosen Magister
Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Indonesia dan Pembimbing
Akademik yang telah mendidik penulis dan memberikan panduan
penulisan dalam pembuatan tesis ini.

4.

Dosen-dosen pengajar pada program Magister Kenotariatan Fakultas


Hukum Universitas Indonesia yang telah memberikan ilmu-ilmu yang
sangat berharga kepada penulis dan memberikan panduan kepada penulis
hingga bisa menyelesaikan masa perkuliahan dengan baik.

Pelaksanaan kawin...,Sendy Yudawan,FHUI,2011

5.

Yang tercinta dan selalu kubanggakan, istri dan anak penulis, Caroline
Yudhawan SH., MCL, dan Dicarlova Hira Yudha untuk selalu
memberikan doa, dukungan, kasih sayang dan kebahagiaan kepada
penulis.

6.

Yang tercinta dan selalu kubanggakan, keluarga penulis, Irjen. Pol (Pur).
Drs. Doddy Sumantyawan S.H., dan Hj. Genny Gandawati untuk selalu
menjadi orang tua yang baik dan selalu mencurahkan kasih sayang, doadoa dan kepercayaannya kepada penulis, juga kepada Benny Kriswanto
dan Maryke Sukendar untuk selalu menjadi mertua dan orang tua yang
baik yang selalu mencurahkan kasih sayang, doa-doa, semangat dan
kepercayaannya kepada penulis.

7.

Yang tercinta dan selalu kubanggakan, kakak-kakak penulis, Donny


Herindrajaya, S.E., Fitria Primadani S.E., Drg. Intan Andalia, Komisari
Polisi. Indra Darmawan, Sik, MSi.,dan Michel Fabio Kriswanto, S.E.

8.

Sahabat-sahabat penulis selama di Magister Kenotariatan Universitas


Indonesia, Peter Adrian, Achmad Zacky Yamani, Firdaus, Missi Ananda,
Maya Hasanah, Puspa, Rendy, M. Heru Mahyudin, Tri Juliyanto , Rama
Halim, Reza Maulana, Titie, yang sudah memberikan dua tahun yang
menyenangkan bagi penulis selama masa kuliah di Program Magister
Kenotariatan Universitas Indonesia.

9.

Harley Susanto, Mada Apriandi Zuhir, Rino Surya Budisaputra, Mellisa


Titradijaya, Christine Yunita Pakpahan, Andrias Adi Nugroho, Made
Bagus Dicky, Yanti Dewi, Sandra Carolina, Santi, Willy Hioe, Rewina
Isnanto, Reza Baskoro, Yudis Siregar, Kianti Darusman, Troy Tobing,
Lena, Raga dan Jefry selaku sahabat atas doa-doa, bantuan dan dukungan
yang telah diberikan kepada penulis selama ini.

10.

Seluruh teman-teman Magister Kenotariatan angkatan 2009.

11.

Karyawan-karyawan pada SekretariatProgram Kenotariatan Universitas


Indonesia yang telah memberikan informasi dan bantuan yang sangat
bermanfaat kepada penulis.

12.

Pihak-pihak lain yang tidak dapat penulis sebutkan satu-persatu yang telah
membantu penyusunan tesis ini.

vi

Pelaksanaan kawin...,Sendy Yudawan,FHUI,2011

Penulis menyadari bahwa hasil penelitian tesis ini jauh dari sempurna, oleh karena
itu, segala kritik dan saran yang sifatnya mebangun sangat diharapkan bagi
penyempurnaan pemikiran di kemudian hari. Demikian besar harapan penulis agar
tesis ini dapat menjadi bahan bacaan yang bermanfaat bagi pihak-pihak yang
mebacanya.
Depok, Juni 2011

Sendy Yudhawan

vii

Pelaksanaan kawin...,Sendy Yudawan,FHUI,2011

ABSTRAK

Nama

: Sendy Yudhawan

Program Studi

: Magister Kenotariatan

Judul

: Pelaksanaan Kawin Kontrak Dan Konsekuensi Pelaku Kawin


Kontrak Terhadap Isi Surat Perjanjian Kawin Kontraknya

Di Indonesia, perkawinan adalah sah menurut hukum apabila dilakukan sesuai


dengan agama dan kepercayaannya masing-masing serta dicatatkan di kantor
pencatatan perkawinan. Undang Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan memandang bahwa perkawinan itu tidak hanya dilihat dari aspek
formalnya semata-mata, tetapi juga dilihat dari aspek agama. Didalam
perkembangan masyarakat sekarang ini munculah istilah kawin kontrak, dimana
perkawinan dilaksanakan dalam jangka waktu tertentu, dan adanya imbalan materi
bagi salah satu pihak, serta ketentuan-ketentuan lain yang diatur dalam suatu
kontrak atau kesepakatan tertentu. Hal tersebut menjadi permasalahan yang
diangkat dalam penelitian ini. Didalam penelitian ini, metode yang digunakan
adalah empiris yuridis, dengan menggunakan metode analisis kualitatif, sehingga
akan menghasilkan suatu data deskriptif, yaitu data yang melukiskan keadaan
obyek atau peristiwa yang diteliti. Diperlukan upaya hukum untuk mencegah
kawin kontrak, seperti upaya pemerintah memasukkan Rancangan UndangUndang (RUU) Hukum Materiil Peradilan Agama tentang Perkawinan ke dalam
program legislasi nasional 2010-2014 yang melarang praktek kawin kontrak, atau
diperlukan upaya hukum lainnya seperti membuat para pihak dalam perjanjian
kawin kontrak tersebut mempunyai kedudukan yang seimbang.

Kata Kunci: Kawin Kontrak, Konsekuensi Pelaksanaan Perjanjian Kawin


Kontrak.

viii

Pelaksanaan kawin...,Sendy Yudawan,FHUI,2011

ABSTRACT
Name

: Sendy Yudhawan

Program

: Notary Magister

Title

:The Implementation of a Marriage Contract and the Consequences


on Its Terms of Agreement for Both Parties.

In Indonesia, the marriage is legally valid if done in accordance with the religion
and belief each and were listed in the registry office marriages. Law No. 1 Year
1974 on Marriage view that marriage was not only seen from purely formal
aspect, but also viewed from the aspect of religion. In the development of today's
society comes the term marriage contract, where the marriage conducted in a
certain period of time, and the material rewards for either party, as well as other
provisions stipulated in a contract or specific agreement. This becomes the issue
raised in this study. In this study, the method used is empirical juridical, using
methods of qualitative analysis, so it will generate some descriptive data, ie data
that describes the state of the object or event under study. Necessary legal
measures needs to be taken to prevent the marriage contract, such as government
efforts to incorporate the Bill (the Bill) Religious Courts Law on Marriage
Material into the national legislation program from 2010 to 2014 that prohibiting
the practice of marriages contract, or other legal efforts as necessary to make the
parties to the agreement marriage contract has a balanced position.

Keywords: Efforts, Consequences, Terms of Marriage Contract Agreement.

ix

Pelaksanaan kawin...,Sendy Yudawan,FHUI,2011

DAFTAR ISI
BAB 1 PENDAHULUAN
1.1. LATAR BELAKANG MASALAH .......1
1.2. PERUMUSAN MASALAH ......5
1.3. METODE PENELITIAN ...6
1.3.1 Jenis Penelitian .......6
1.3.2 Lokasi Penelitian ....6
1.3.3 Jenis dan Sumber Data ...6
1.4. MANFAAT PENELITIAN ....8
1.5. SISTEMATIKA PENULISAN ..8

BAB II TINJAUAN YURIDIS TENTANG PERKAWINAN


1. Tinjauan Umum Perkawinan ...12
1.1. Pengertian Perkawinan .....12
1.2. Asas-Asas Perkawinan ..13
1.3. Syarat-syarat Perkawinan Menurut UU
No.1 Tahun 1974 ....14
1.4. Tujuan Perkawinan Menurut UU
No.1 Tahun 1974 .....20
1.5 Harta Benda Dalam Perkawinan .......20
1.5.1 Harta Perkawinan menurut Undang-Undang
No.1 Tahun 1974 .........21
1.5.2 Harta Perkawinan menurut
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata .......22
1.5.3.Harta Perkawinan menurut
Kompilasi Hukum Islam (KHI) .......24

Pelaksanaan kawin...,Sendy Yudawan,FHUI,2011

1.6. Tinjauan Umum Perceraian ..26


1.6.1 Terjadinya Perceraian Menurut
Undang-Undang Nomor Tahun 1974. ....26
1.6.2. Perceraian Menurut
Kompilasi Hukum Islam. ....27
2. Tinjauan Tentang Kawin Kontrak Menurut
Undang Undang No.1 Tahun 1974 ...31

BAB III PERMASALAHAN KAWIN KONTRAK DI DESA BANDENGAN,


JEPARA KOTA, DAN UPAYA HUKUM PENCEGAHANNYA
3.1. Upaya Yang Ditempuh Oleh Pelaku Kawin Kontrak Agar Dapat
Terlaksananya Kawin Kontrak. ...36
3.2. Konsekwensi Pelaksanaan Isi Surat Perjanjian
Kawin Kontrak Terhadap Pelaku Kawin Kontrak ....43
3.3. Pelaksanaan Perjanjian Kawin Kontrak
Terhadap Asas-Asas Perkawinan .....53
3.4. Bentuk Perlindungan Hukum Bagi Pelaku
Kawin Kontrak ..56
3.5. Upaya Hukum Oleh Pihak Yang Berwenang
Untuk Mencegah Terjadinya Kawin Kontrak ..59
3.6. Hal-Hal Yang Perlu Dilakukan Oleh Notaris
Dalam Menyikapi Permintaan Pembuatan
Akta Perjanjian Kawin Kontrak ...63

BAB IV PENUTUP
4.1. Kesimpulan....68
4.2. Saran-Saran71

xi

Pelaksanaan kawin...,Sendy Yudawan,FHUI,2011

DAFTAR LAMPIRAN
1. Rancangan Undang-Undang Hukum Materiil Peradilan Agama
tentang Perkawinan

xii

Pelaksanaan kawin...,Sendy Yudawan,FHUI,2011

BAB I
PENDAHULUAN

1.1. LATAR BELAKANG MASALAH

Di Indonesia perkawinan adalah sah menurut hukum apabila dilakukan


sesuai dengan agama dan kepercayaannya masing-masing serta dicatatkan di
kantor pencatatan perkawinan. Undang Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan dan hukum islam memandang bahwa perkawinan itu tidak hanya
dilihat dari aspek formalnya semata-mata, tetapi juga dilihat dari aspek agama dan
sosial. Aspek agama menetapkan tentang keabsahan perkawinan sedangkan aspek
formal adalah menyangkut aspek administratif, yaitu pencatatan di Kantor Urusan
Agama dan Kantor Catatan Sipil.1
Dalam perkembangan masyarakat sekarang ini munculah istilah kawin
kontrak. Perkawinan kontrak dilaksanakan dalam jangka waktu tertentu, dan
adanya imbalan materi bagi salah satu pihak, serta ketentuan-ketentuan lain, yang
diatur dalam suatu kontrak atau kesepakatan tertentu, jadi dalam kawin kontrak
yang menonjol hanyalah keuntungan dan nilai ekonomi dari adanya perkawinan
tersebut. Adanya kontrak atau kesepakatan tersebut yang menyebabkan kawin
kontrak berbeda dengan perkawinan pada umumnya, karena memuat jangka
waktu berakhirnya perkawinan maka perkawinan itu akan berakhir tanpa adanya
putusan pengadilan, perceraian, atau kematian. Sehingga kawin kontrak sendiri
tidak dapat dicatat oleh kantor pencatatan perkawinan seperti KUA dan catatan
sipil. Oleh karena itu, pelaksanaan perkawinan yang didasarkan pada kontrak
tentu saja bertentangan dengan UU No.1 tahun 1974 tentang perkawinan.
Untuk membangun sebuah perkawinan harus didasari adanya kasih sayang
diantara keduanya, dan adanya niat tulus untuk membangun rumah tangga yang
sakinah, mawaddah, rahmah dan kekal selama-lamanya. Walaupun dalam kawin

Prof.WahjonoDarmabrata,SH.,MH,HukumPerdata:AsasAsasHukumOrangdanKeluarga,
(Jakarta:Gitamajaya,2004),hlm101.

Pelaksanaan kawin...,Sendy Yudawan,FHUI,2011

kontrak juga didasari adanya rasa kasih sayang, tetapi tidak ada niat yang tulus
untuk membangun perkawinan yang mulia, dan tidak bertujuan untuk membangun
rumah tangga yang kekal dan selama-lamanya tetapi hanya bersifat sementara.
Perbedaan-perbedaan tersebut yang menyebabkan kawin kontrak disebut sebagai
perkawinan yang tidak diakui, karena kawin kontrak sangat bertentangan dengan
tujuan perkawinan yang sangat mulia. Dalam hukum islam kawin kontrak atau
dalam istilah lain disebut nikah mutah tidak diperbolehkan karena melanggar
aturan agama, karena sifatnya yang dibatasi. Kawin kontrak bertujuan hanya
untuk memenuhi kebutuhan biologis dan ekonomi semata, sedangkan dalam islam
perkawinan tidak hanya untuk kebutuhan dunia saja, tetapi juga untuk akhirat.
Fenomena kawin kontrak ini semakin lama semakin banyak, walaupun
pelaksanaannya sangat bertentangan dengan UU No.1 tahun 1974 tentang
Perkawinan dan hukum agama Islam. Setiap orang yang menjadi bagian di
dalamnya pastinya memiliki latar belakang yang berbeda-beda dan juga memiliki
pandangan yang berbeda terhadap permasalahan kawin kontrak tersebut, oleh
karenanya Pemerintah memberlakukan Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 dan
Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 Tentang Pelaksanaan Undang
Undang Nomor 1 Tahun 1974, pelaksanaan perkawinan merupakan momentum
yang penting dan harus dilestarikan, maka selain perkawinan harus dilaksanakan
sesuai dengan masing-masing agama dan kepercayaannya, maka perkawinan
hendaklah dicatatkan, sebagaimana ditetapkan dalam Pasal 2 Undang-undang
Nomor 1 Tahun 1974 ayat:
(1) Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing
agamanya dan kepercayaannya itu
(2) Tiap-tiap Perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang
berlaku.

Pencatatan

perkawinan

sebenarnya

hanya

merupakan

tindakan

administrasi negara, karena di dalam rukun dan syarat perkawinan tidak


ditentukan, pencatatan dilakukan di Kantor Urusan Agama setempat, walaupun
pencatatan tidak merupakan keharusan akan tetapi dengan pencatatan perkawinan

Pelaksanaan kawin...,Sendy Yudawan,FHUI,2011

akan mempunyai bukti otentik yang mempunyai kekuatan hukum, hal ini tertuang
dalam Pasal 6 Kompilasi Hukum Islam, yang menyatakan :
(1) Setiap perkawinan harus dilangsungkan di hadapan dan di bawah
pengawasan Pegawai Pencatat Nikah (PPN)
(2) Perkawinan yang dilakukan tidak di hadapan Pegawai Pencatat Nikah (PPN)
tidak mempunyai kekuatan hukum
Berdasarkan pengertian kawin kontrak di atas dapat diketahui bahwa,
kawin kontrak merupakan perkawinan yang dilakukan oleh seorang pria dan
wanita untuk jangka waktu tertentu, setelah jangka waktu tertentu tersebut habis
maka perkawinan tersebut berakhir secara otomatis tanpa adanya kewajiban
maupun hak-hak antara kedua belah pihak yang harus diselesaikan dan
dilaksanakan.
Di Indonesia, kawin kontrak, di dalam kalangan masyarakat sendiri masih
terdapat keragaman pemahaman tentang perkawinan tersebut sendiri, hal ini
dikarenakan adanya perbedaan pendapat antara para ulama (pemuka ajaran Islam)
dengan para Syiah, diantaranya perbedaan antara Ulama Ahlu Sunnah dengan
Syiah Imamiyah, yang menurut Jumhur Ulama Ahlu Sunnah, dinyatakan bahwa,
kebolehan nikah mutah atau kawin kontrak itu sebenarnya sudah dicabut, yang
mengandung pengertian bahwa, sekarang hukumnya haram, akan tetapi menurut
pandangan Ulama Syiah menyatakan, kebolehannya melakukan nikah mutah
atau kawin kontrak, dari dulu sudah merupakan ijma ulama dan telah diyakini
bersama akan kebolehannya, sedangkan adanya dalil yang mencabut larangan
untuk nikah mutah atau kawin kontrak tersebut masih bersifat diragukan, karena
menurut Ulama Syiah ini bahwa, tidak sesuatu yang yang telah meyakinkan tidak
dapat dicabut, dan dinyatakan pula tidak ada Hadist Nabi yang shahih yang
2

mencabut kebolehan untuk melakukan Nikah Mutah atau kawin kontrak. Oleh
karenanya di Indonesia pada kurun waktu sekarang ini di beberapa daerah
pelaksaan kawin kontrak sudah membudaya dan tidak asing lagi, para pelaku
kawin kontrak beranggapan bahwa perkawinan mereka juga sah, karena dilakukan

http://www.beritajatim.com/detailnews.php/8/Peristiwa/201102
17/93143/MUI_Jatim_Terjunkan_Tim_Pencari_Fakta_ke_Pasuruan,April2011

Pelaksanaan kawin...,Sendy Yudawan,FHUI,2011

di depan penghulu atau kyai setempat dan telah memenuhi rukun dan syarat
perkawinan sehingga sudah dapat dikatakan kalau perkawinan yang mereka
lakukan sah-sah saja, walaupun di dalam perkawinan tersebut terdapat perjanjian
kontrak maupun perjanjian lainnya yang telah menjadi kesepakatan kedua belah
pihak yang bersangkutan, yang mana isi dari perjanjian tersebut harus
dilaksanakan sesuai dengan apa yang dijanjikan setelah ijab qobul selesai, isi dari
surat perjanjian yang disepakati kedua belah pihak tersebut biasa dibuat oleh
pihak laki-laki dan pada umumnya merugikan pihak wanita, akan tetapi bagi para
wanita yang melaksanakan kawin kontrak atau nikah mutah tersebut pada
umumnya tidak keberatan melaksanakan walaupun kalau dilihat dari isi perjanjian
tersebut pihak wanita sangat dirugikan, karena para wanita yang melakukan kawin
kontrak atau nikah mutah tersebut mempunyai maksud dan tujuan tertentu,
sehingga mereka merasa untung juga. Adapun tujuan para wanita pelaku kawin
kontrak adalah untuk mendapatkan perbaikan kesejahteraan pada tingkat
perekonomian yang lebih memadai, karena si wanita akan memperoleh materi dan
mas kawin atas kesanggupannya sebagai istri kontrak. Oleh karenanya banyak
masyarakat Indonesia yang beragama Islam melakukannya, walaupun dalam
ajaran Islam sekarang ini telah dilarang, seperti yang terjadi di daerah Kabupaten
Jepara di desa Bandengan, kaum wanitanya banyak melakukan kawin kontrak
atau nikah mutah dengan orang asing, hal ini lazim dilakukannya sehingga tidak
heran para orang tua yang mempunyai anak gadis akan mempunyai kehidupan
yang lebih baik, karena para orang tua tersebut justru mendukung dan mencarikan
anak gadisnya yang mau mengontraknya, karena nilai kontrak perkawinannya dan
mas kawinnya dinilai sangat tinggi, oleh karenanya mereka beranggapan
beruntung karena dapat berpola hidup yang lebih baik.
Di dalam perkawinan kontrak semua akibat hukum yang timbul dari
perkawinan sulit dilaksanakan, karena dalam pelaksanaan kawin kontrak telah ada
kesepakatan antara para pihak pelaku kawin kontrak dalam bentuk surat
perjanjian, yang mana isi dari surat perjanjian kontrak biasanya hanya diketahui
oleh kedua belah pihak dan keluarganya, sedangkan akibat hukum dari
perkawinan kontrak jarang sekali dipermasalahkan, karena semua kesepakatan,
maupun pembagian harta kekayaan, semua hak dan kewajiban serta hak asuh dan

Pelaksanaan kawin...,Sendy Yudawan,FHUI,2011

rawat anak telah dibicarakan dan diselesaikan pada awal pelaksanaan perkawinan,
yang telah tertuang dalam isi surat perjanjian, sehingga bila waktu kawin kontrak
telah berakhir semua telah jelas dan akan berakhir dengan sendirinya tanpa beban
hak dan kewajiban yang harus dilaksanakan dan ditanggung oleh para pihak. Para
pelaku kawin kontrak beranggapan bahwa perkawinan yang telah mereka lakukan
adalah sah, karena telah memenuhi rukun dan syarat perkawinan, sebagaimana
rukun dan syarat yang ditentukan dalam ajaran Islam, serta langkah-langkah dan
proses pelaksanaan perkawinan kontrak juga sesuai dengan ketentuan yang telah
ditentukan oleh adat kebiasaan setempat dan ajaran agama yang diyakininya,
maka perkawinan kontrak mereka anggap sah, walaupun kawin kontrak tidak
sesuai dengan maksud dan tujuan dari perkawinan yang tertuang dalam UndangUndang Nomor 1 Tahun 1974, yaitu dalam Pasal :
Pasal (1) Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang
wanita sebagai suami-istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga)
yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan yang Maha Esa.
Demikian juga tujuan dari perkawinan menurut Kompilasi Hukum Islam, tetuang
dalam
Pasal (3): Perkawinan bertujuan untuk mewujudkan kehidupan rumah tangga
yang sakinah, mawaddah dan rahmah.
Sedangkan maksud dan tujuan dari kawin kontrak hanya dengan batasan
waktu tertentu untuk mendapatkan kebahagiaan dan kenikmatan yang diinginkan,
tidak akan terwujud adanya keluarga yang sakinah, mawaddah dan rahmah,
karena tidak ada ikatan lahir dan batin antara kedua belah pihak.
1.2. PERUMUSAN MASALAH

Perkawinan yang dilakukan dengan perjanjian kawin kontrak ini akan


menimbulkan akibat yang berpengaruh terhadap :
1. Apakah konsekuensi dari pelaksanaan isi perjanjian kawin kontrak
terhadap pelaku kawin kontrak?
2. Apakah bentuk perlindungan hukum untuk pelaku kawin kontrak?

Pelaksanaan kawin...,Sendy Yudawan,FHUI,2011

3. Upaya apakah yang ditempuh oleh pihak yang berwenang untuk mencegah
timbulnya kawin kontrak?

1.3. METODE PENELITIAN


1.3.1 Jenis Penelitian
Metode pendekatan yang digunakan adalah metode pendektan yuridis
empiris, yaitu prosedur yang dipergunakan untuk memecahkan masalah penelitian
dengan meneliti data sekunder terlebih dahulu untuk kemudian dilanjutkan
dengan meneliti data primer yang ada di lapangan.3 Faktor yuridis yang
dipergunakan dalam penelitian ini adalah Peraturan Pemerintah atau Undangundang, sedangkan fakta empirisnya yaitu dengan melihat kenyataan yang ada
mengenai pelaksanaan Kawin kontrak dan Akibat Hukumnya. Dalam pendekatan
yuridis empiris, permasalahan yang akan diteliti menyangkut masalah-masalah
yang berhubungan dengan Pelaksanaan kawin Kontrak, prosedur yang harus
dipenuhi untuk tercapainya pelaksanaan Kawin kontrak, sehingga kawin kontrak
dapat terlaksana.

1.3.2 Lokasi Penelitian


Penelitian ini akan mengambil lokasi Desa Bandengan, Kecamatan jepara
Kota, Kabupaten Jepara, Jawa Tengah.

1.3.3 Jenis dan Sumber Data


Dalam penelitian ini data yang dikumpulkan terdiri atas dua jenis data,
yaitu data primer dan data sekunder yang dapat diperoleh melalui tatakerja
sebagai berikut:
1. Data primer

SoerjonoSoekanto,PengantarPenelitianHukum,(Jakarta:UIPers,Jakarta,1984),hlm.52.

Pelaksanaan kawin...,Sendy Yudawan,FHUI,2011

Adalah data yang diperoleh secara langsung dari sembernya sehingga


dapat memberikan keterangan secara jelas dan nyata. Cara memperoleh data
dilakukan dengan wawancara, wawancara dapat dipandang sebagai metode
pengumpulan data dengan tanya jawab sepihak yang dikerjakan dengan sistematik
dan masuk kepada tujuan penelitian.4 Teknik wawancara yang digunakan adalah
tehnik wawancara terarah (directive interview). Didalam wawancara terarah
terdapat pengarahan atau struktur tertentu yaitu:
1. Rencana pelaksanaan wawancara;
2. Mengatur daftar pertanyaan serta membatasi jawaban-jawaban;
3. Memperhatikan karakteristik pewawancara maupun yang diwawancarai;
4. Membatasi aspek-aspek dari masalah yang diperiksa.
Wawancara terarah menggunakan daftar pertanyaan yang sudah disiapkan
terlebih dahulu, namun tidak menutup kemungkinan adanya variasi pertanyaan
yang disesuaikan dengan situasi pada saat wawancara berlangsung dan bertujuan
supaya arah wawancara tidak menyimpang dari pedoman yang ditetapkan
sebelumnya.
2. Data Sekunder
Di dalam penelitian hukum, data sekunder mencakup :
1. Bahan Hukum Primer, yaitu meliputi :
a. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata;
b. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana;
c. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, tentang Perkawinan;
d. Kompilasi Hukum Islam
2. Bahan hukum sekunder, yaitu meliputi :

SutrisnoHadi,MetodologiResearch,(Yogyakarta:Andioffset,1989),hlm.193.

Pelaksanaan kawin...,Sendy Yudawan,FHUI,2011

a. Artikel-artikel;
b. Buku-buku;
c. Internet;
d. Makalah-makalah dan tulisan ilmiah.
Data yang di kedepankan dalam penelitian ini baik data primer maupun
data sekunder akan dipergunakan sebagai landasan pemikiran yang bersifat
teoritis yang mana diharapkan dapat memberikan analisis yang akurat dan dapat
dipertanggungjawabkan berdasarkan prinsip-prinsip ilmiah.

1.4. MANFAAT PENELITIAN


Penelitian dalam kasus ini sangat bermanfaat bagi penulis dalam
menganalisa :
1. Secara praktis, diharapkan dengan penelitian ini akan memberikan bahan
masukan bagi pemerintah, khususnya terhadap perlindungan hukumnya
terhadap wanita Indonesia yang melaksanakan kawin kontrak dengan
warganegara asing yang berdomisili sementara di Indonesia;
2. Secara teoritis diharapkan dapat memberikan informasi dan sumbangan
pemikiran dalam pengembangan keilmuan khususnya pengembangan ilmu
hukum.

1.5. SISTEMATIKA PENULISAN

Didalam tesis ini yang akan memaparkan Pelaksanaan Kawin Kontrak dan
Konsekwensi Pelaku Kawin Kontrak Terhadap Isi Surat Perjanjian Kawin
Kontraknya, penulis berusaha menyusun secara sistematis mengenai masalah
tersebut, yang merupakan verbalisasi isi penulisan secara singkat. Adapun bagianbagiannya, yaitu:

Pelaksanaan kawin...,Sendy Yudawan,FHUI,2011

1.4. SISTEMATIKA PENULISAN


Di dalam tesis ini terdiri beberapa bab yang satu dan lainnya saling terkait,
untuk lebih jelasnya tesis ini akan diuraikan dalam sistematika sebagai berikut :

BAB I PENDAHULUAN

Didalam bab ini diuraikan mengenai latar belakang permasalahan, pokok


permasalahan, metode penelitian yang dipergunakan untuk mengumpulkan data
dalam tesis ini dan kemudian dilanjutkan dengan sistematika penulisan.

BAB II TINJAUAN YURIDIS TENTANG PERKAWINAN

Pada bagian ini akan dibahas mengenai landasan teoritis di dalam penelitian ini
berupa penjelasan mengenai subjek-subjek penelitian, baik bersumber dari bukubuku,

pendapat

para

ahli

maupun

sumber-sumber

lain

yang

dapat

dipertanggungjawabkan kebenarannya untuk dapat dijadikan dasar pemikiran


dalam penulisan tesis ini.

BAB III PERMASALAHAN KAWIN KONTRAK DI DESA BANDENGAN,


JEPARA KOTA, DAN UPAYA HUKUM PENCEGAHANNYA

Pada bab ini berisi analisis permasalahan kawin kontrak yang akan dipaparkan
secara rinci kemudian akan dianalisa oleh penulis

BAB IV PENUTUP

Pada bagian penutup dari tesis ini akan diuraikan mengenai kesimpulan yang
dapat ditarik dari permasalahan dalam kawin kontrak dan upaya untuk mencegah
terjadinya kawin kontrak dan diakhiri dengan saran dari penulis mengenai
permasalahan tersebut.

Pelaksanaan kawin...,Sendy Yudawan,FHUI,2011

10

BAB II
TINJAUAN YURIDIS TENTANG PERKAWINAN

1. Tinjauan Umum Perkawinan

1.1 Pengertian Perkawinan

Menurut ketentuan pasal 1 UU Perkawinan No. 1 Tahun 1974, perkawinan


adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami
istri. Ikatan lahir adalah hubungan formal yang dapat dilihat karena dibentuk
menurut undang-undang. Hubungan mana mengikat kedua pihak dan pihak lain
dalam masyarakat. Ikatan batin adalah hubungan tidak formal yang dibentuk
dengan kemauan bersama yang sungguh-sungguh yang mengikat kedua pihak
saja. Suami istri ialah fungsi masing-masing pihak sebagai akibat dari adanya
ikatan lahir batin. Tidak ada ikatan lahir batin berarti tidak ada fungsi sebagai
suami istri.5
Dalam rumusan UU No.1 Tahun 1974, mengandung harapan bahwa
dengan melangsungkan perkawinan akan diperoleh kebahagiaan, baik materiil
maupun spirituil. Kebahagiaan yang ingin dicapai bukanlah kebahagiaan yang
sifatnya sementara saja, tetapi kebahagiaan yang kekal, karenanya perkawinan
yang diharapkan juga adalah perkawinan yang kekal yang dapat berakhir dengan
kematian. Makna perkawinan dalam UU No.1 Tahun 1974, adalah perkawinan
dapat memenuhi kebutuhan lahiriah sebagai manusia, sekaligus terdapat adanya
suatu pertautan batin antara suami dan istri yang ditujukan untuk membina suatu
keluarga atau rumah tangga yang kekal dan bahagia bagi keduanya, yang sesuai
dengan kehendak Tuhan Yang Maha Esa.6 Dari perkawinan tersebut, diharapkan
akan lahir keturunan, sehingga manusia dapat melestarikan jenisnya.

ProdjodikoroWirjono,SH,HukumPerkawinanDiIndonesia,(1990:BulanBintang,Jakarta),hlm
23.
6
MrMartimanProdjohamidjojo,MM,MA,HukumPerkawinanIndonesia,(Jakarta:Indonesia
LegalcenterPublishing,2007),hlm9.

Pelaksanaan kawin...,Sendy Yudawan,FHUI,2011

11

1.2. Asas-Asas Perkawinan

Dalam kaitannya dengan pelaksanaan perkawinan menurut UndangUndang nomor 1 Tahun 1974, terdapat asas-asas yang menjadi pedoman bagi
pelaksanaan perkawinan bagi seluruh rakyat Indonesia, yang mana dijelaskan di
dalam penjelasan Undang-Undang nomor 1 Tahun 1974, bahwa :7

a. Tujuan perkawinan adalah membentuk keluarga yang bahagia dan saling


melengkapi agar masing-masing dapat mengembangkan kepribadiannya dalam
rangka mencapai kebahagiaan spiritual.

b. Dalam undang-undang ini dinyatakan bahwa, suatu perkawinan adalah sah


bilamana

dilakukan

menurut

hukum

masing-masing

agamanya

dan

kepercayaannya, disamping itu tiap-tiap perkawinan harus dicatat menurut


perundang-undangan yang berlaku. Pencatatan tiap-tiap perkawinan sama dengan
pencatatan penting dalam kehidupan seseorang, seperti halnya kelahiran dan
kematian atau suatu akta resmi yang dimuat dalam daftar pencatatan.

c. Undang-undang ini mencatat asas monogami, hanya apabila dikehendaki oleh


yang bersangkutan kareana hukum atau agama mengijinkannya seorang suami
dapat beristri lebih dari seorang, meskipun hal itu dilakukan dengan pemenuhan
berbagai persyaratan tertentu dan diputuskan oleh pengadilan.

d. Undang-undang ini menganut prinsip bahwa, calon suami-istri itu harus telah
masak jiwa raganya untuk dapat melangsungkan perkawinan agar dapat
mewujudkan tujuan perkawinan secara baik tanpa berakhir dengan perceraian dan
mendapatkan keturunan yang baik dan sehat, untuk itu harus dicegah adanya
perkawinan antara calon suami-istri yang masih di bawah umur. Perkawinan erat
dengan masalah kependudukan, maka bila batas umur yang lebih muda, bagi

Prof.WahyonoDarmabrata,SH,MH,danSuriniAhlanSjarif,SH.,MH,HukumPerkawinandan
KeluargadiIndonesia,(Jakarta:BadanPenerbitFakultasHukumUniversitasIndonesia,2004),hlm
1720

Pelaksanaan kawin...,Sendy Yudawan,FHUI,2011

12

seorang wanita untuk melakukan perkawinan akan berakibat laju angka kelahiran
yang tinggi, jika dibandingkan dengan batas umur yang telah cukup untuk
melakukan perkawinan. Oleh karenanya undang-undang menentukan batas umur
untuk melangsungkan perkawinan, yaitu usia 19 tahun bagi laki-laki dan 16 tahun
bagi wanita.

e. Tujuan perkawinan untuk membentuk keluarga yang bahagia, kekal dan


sejahtera, maka undang-undang ini menganut prinsip untuk mempersulit
terjadinya perceraian, untuk memungkinkan perceraian harus ada alasan-alasan
tertentu serta harus dilakukan di muka sidang pengadilan.

f. Hak dan kedudukan istri seimbang dengan hak dan kedudukan suami, baik
dalam kehidupan maupun dalam pergaulan masyarakat, sehingga dengan
demikian segala sesuatu dalam keluarga dapat dirundingkan dan diputuskan
bersama oleh suami-istri.

1.3. Syarat-syarat Perkawinan Menurut UU No.1 Tahun 1974

Dalam UU No.1 Tahun 1974 pada pasal 2 ayat 1 disebutkan: Perkawinan


adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum agama dan kepercayaannya
masing-masing itu, dan pada ayat 2 disebutkan:Tiap-tiap perkawinan dicatat
menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. Dengan perumusan pada
pasal 2 ayat 1 ini, tidak ada perkawinan diluar hukum masing-masing agamanya
dan kepercayaannya itu, sesuai UUD 1945. yang dimaksud dengan hukum
masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu termasuk ketentuan perundangundangan yang berlaku bagi golongan agamanya dan kepercayaannya itu
sepanjang tidak bertentangan dan tidak ditentukan lain dalam undang-undang ini.
UU No. 1 Tahun 1974 mengatur tentang syarat-syarat untuk dapat sahnya
perkawinan yaitu pada Bab II pasal 6 sampai 12, yang dimaksud syarat ialah
segala hal yang harus dipenuhi berdasarkan peraturan undang-undang. Syarat
perkawinan ialah segala hal mengenai perkawinan yang harus dipenuhi
berdasarkan peraturan undang-undang, sebelum perkawinan dilangsungkan. Ada

Pelaksanaan kawin...,Sendy Yudawan,FHUI,2011

13

dua macam syarat-syarat perkawinan, yaitu syarat-syarat material dan syaratsyarat formal. Syarat-syarat material adalah syarat-syarat yang ada dan melekat
pada diri pihak-pihak yang melangsungkan perkawinan, disebut juga syaratsyarat subjektif. Sedangkan syarat-syarat formal adalah tata cara atau prosedur
melangsungkan perkawinan menurut hukum agama dan undangundang disebut
juga syarat-syarat objektif. Syarat-syarat agar perkawinan dapat dilangsungkan
adalah:8

1). Persetujuan kedua calon mempelai

Menurut ketentuan pasal 6 ayat 1 UU No.1 Tahun 1974, perkawinan harus


didasarkan persetujuan kedua calon mempelai. Artinya kedua calon mempelai
sepakat untuk melangsungkan perkawinan, tanpa ada paksaan dari pihak manapun
juga. Hal ini sesuai dengan hak asasi manusia atas perkawinan, dan sesuai pula
dengan tujuan perkawinan yaitu membentuk keluarga (rumah tangga) yang
bahagia dan kekal. Persetujuan kedua calon mempelai ini tidak berarti
mengurangi syarat-syarat perkawinan yang diatur dalam undang undang, dan
tidak pula mengurangi ketentuan yang berlaku menurut hukum agamanya masingmasing.

2). Pria sudah berumur 19 tahun, wanita 16 tahun

Menurut ketentuan pasal 7 ayat 1 UU No.1 Tahun 1974, perkawinan


hanya diizinkan jika pihak pria sudah mencapai umur 19 tahun dan pihak wanita
sudah mencapai umur 16 tahun. Batas umur ini ditetapkan maksudnya untuk
menjaga kesehatan suami istri dan keturunan.

3). Izin orang tua/pengadilan jika belum berumur 21 tahun

Menurut ketentuan pasal 6 ayat 2 UU No.1 Tahun 1974, untuk


melangsungkan perkawinan, seorang yang belum mencapai umur 21 tahun harus

Ibid.,hlm2132.

Pelaksanaan kawin...,Sendy Yudawan,FHUI,2011

14

mendapat izin kedua orang tua. Izin orang tua ini wajar, karena mereka yang
belum berumur 21 tahun itu adalah belum berumur dewasa menurut hukum.
Dalam hal salah seorang dari kedua orang tua telah meninggal dunia atau dalam
keadaan tidak mampu menyatakan kehendaknya, maka izin itu cukup diperoleh
dari orang tua yang masih hidup atau dari orang tua yang mampu menyatakan
kehendaknya (ayat 3). Dalam hal kedua orang tua telah meninggal dunia atau
dalam keadaaan tidak mampu untuk menyatakan kehendaknya, maka izin
diperoleh dari wali, orang yang memelihara atau keluarga yang mempunyai
hubungan darah dalam garis keturunan lurus keatas selama mereka masih hidup
dan dalam keadaan dapat menyatakan kehendaknya (ayat 4). Dalam hal ada
perbedaan pendapat antara orang-orang yang disebut dalam ayat 2, 3 dan 4 pasal 6
ini, atau salah seorang atau lebih diantara mereka tidak menyatakan pendapatnya,
maka pengadailan dalam daerah hukum tempat tinggal orang yang akan
melangsungkan perkawinan atas permintaan orang tersebut dapat memberikan
izin, setelah lebih dahulu mendengar orang tersebut dalam ayat 2, 3 dan 4 pasal ini
(ayat 5). Ketentuan yang tersebut dalam ayat 1 sampai dengan 5 pasal ini berlaku
sepanjang hukum masing-masing agama dari yang bersangkutan tidak
menentukan lain.

4). Tidak masih terikat dalam satu perkawinan

Menurut ketentuan pasal 9 UU No.1 tahun 1974, seorang yang masih


terikat tali perkawinan dengan orang lain tidak dapat kawin lagi, kecuali dalam hal
yang tersebut pada pasal 3 ayat 2 dan pasal 4 (tentang poligami). Ini adalah
ketentuan mengenai perkawinan monogami, dalam waktu yang sama seorang
suami tidak boleh mengawini wanita lain lagi. Tetapi apabila ia telah bercerai
dengan istrinya dengan putusan pengadilan, barulah ia boleh kawin lagi dengan
wanita lain.

5). Tidak bercerai untuk kedua kalinya dengan suami/istri yang samayang hendak
dikawini

Pelaksanaan kawin...,Sendy Yudawan,FHUI,2011

15

Menurut ketentuan pasal 10 UU No.1 tahun 1974, apabila suami dan istri
telah cerai kawin lagi satu dengan yang lain dan bercerai lagi untuk kedua kalinya,
maka diantara mereka tidak boleh dilangsungkan perkawinan lagi, sepanjang
hukum masingmasing agama dari yang bersangkutan tidak menentukan lain. Oleh
karena perkawinan mempunyai maksud agar suami dan istri dapat membentuk
keluarga yang kekal, maka suatu tindakan yang mengakibatkan putusnya suatu
perkawinan harus benar-benar dipertimbangkan dan dipikirkan masak-masak.
Ketentuan ini dimaksudkan untuk mencegah tindakan kawin cerai berulang kali,
sehingga suami maupun istri benar-benar saling menghargai satu sama lain.

6). Bagi janda, sudah lewat waktu tunggu

Menurut ketentuan pasal 11 ayat 1 bagi seorang wanita yang putus


perkawinannya berlaku jangka waktu tunggu. Menurut ketentuan pasal 39
Peraturan Pemerintah No. 9 tahun 1975 masa tunggu ditetapkan sebagai berikut:

1. Apabila perkawinan putus karena kematian, waktu tunggu


ditetapkan 130 hari,

2. Apabila perkawinan putus karena perceraian, waktu tunggu bagi


yang masih berdatang bulan ditetapkan 3 kali suci dengan
sekurang-kurangnya 90 hari, dan bagi yang tidak berdatang bulan
ditetapkan 90 hari, dan bagi yang sedang hamil ditetapkan sampai
melahirkan anak, dan bagi yang belum pernah disetubuhi oleh
bekas suaminya tidak ada waktu tunggu.

3. Bagi perkawinan yang putus karena perceraian, tenggang waktu


tunggu

dihitung

sejak

jatuhnya

putusan

pengadilan

yang

mempunyai kekuatan hukum yang tetap, sedangkan bagi


perkawinan yang putus karena kematian, tenggang waktu dihitung
sejak kematian suaminya.

Pelaksanaan kawin...,Sendy Yudawan,FHUI,2011

16

7). Sudah memberi tahu kepada pegawai pencatat perkawinan 10 hari sebelum
dilangsungkannya perkawinan.

Menurut ketentuan pasal 3 P.P. No.9 tahun 1975, setiap orang yang akan
melangsungkan perkawinan, memberitahukan kehendaknya itu kepada pegawai
pencatat di tempat perkawinan akan dilangsungkan, sekurang-kurangnya 10 hari
kerja sebelum perkawinan dilangsungkan. Pemberitahuan dilakukan secara lisan
atau tertulis oleh calon mempelai, atau oleh orang tua, atau wakilnya (pasal 4 P.P.
No.9 tahun 1975). Jika pemberitahuan dilakukan oleh wakil, harus dilakukan
dengan surat kuasa khusus.

8). Tidak ada yang mengajukan pencegahan

Menurut ketentuan pasal 13 UU Perkawinan, perkawinan dapat dicegah


apabila ada pihak yang tidak memenuhi syaratsyarat untuk melangsungkan
perkawinan. Ini berarti apabila ada yang mencegah pelangsungan perkawinan, di
antara dua calon mempelai itu masih ada syarat yang belum dipenuhi. Tetapi jika
tidak ada yang mencegah berarti kedua calon mempelai itu memenuhi syaratsyarat. Yang dapat mengajukan pencegahan itu ialah para keluarga dalam garis
keturunan lurus ke atas dan ke bawah, saudara, wali nikah, pengampu dari salah
seorang calon mempelai dan pihak-pihak yang berkepentingan (pasal 14 ayat 1
UU Perkawinan). Pencegahan perkawinan diajukan kepada pengadilan dalam
daerah hukum dimana perkawinan akan dilangsungkan, dengan pemberitahuan
juga kepada pegawai pencatat perkawinan. Oleh pegawai pencatat perkawinan
pencegahan tersebut diberitahukan kepada kedua calon mempelai (pasal 17 UU
Perkawinan).

9). Tidak ada larangan perkawinan

Mengenai larangan perkawinan, ada diatur dalam pasal 8 UU Perkawinan.


Menurut ketentuan pasal 8 UU Perkawinan, perkawinan dilarang antara dua orang
yang:

Pelaksanaan kawin...,Sendy Yudawan,FHUI,2011

17

a. Berhubungan darah dalam garis keturunan lurus ke atas atau ke


bawah, misalnya antara anak dengan bapak/ibu, antara cucu dengan
nenak/kakek,

b. Berhubungan darah dalam garis keterunan menyamping yaitu


antara saudara , antara seorang dengan orang tua, antara seorang
dengan saudara neneknya,

c. Berhubungan semenda, yaitu mertua, anak tiri, menantu, ibu/bapak


tiri,

d. Berhubungan susuan, yaitu orang tua susuan, anak susuan, saudara


susuan,dan bibi/paman susuan,

e. Berhubungan saudara dengan istri atau sebagai bibi atau


kemenakan dari istri, dalam hal seorang suami beristri lebih dari
seorang,

f. Yang mempunyai hubungan yang oleh agamanya atau peraturan


lain yang berlaku dilarang kawin. Dengan demikian, apabila salah
satu dari larangan ini tidak ada, berarti syarat ini dipenuhi, dan
perkawinan dapat dilangsungkan.

Kesembilan syarat di atas ini sifatnya kumulatif, artinya harus dipenuhi


semua. Apabila sudah dipenuhi semua syarat tersebut, maka perkawinan dapat
dilangsungkan.tetapi apabila salah satu saja tidak/belum dipenuhi maka
perkawinan ditunda sampai dipenuhinya semua syarat.9

Sudarsono,HukumPerkawinanNasional,(Jakarta:BinekaCipta,1991),hlm36.

Pelaksanaan kawin...,Sendy Yudawan,FHUI,2011

18

1.4. Tujuan Perkawinan Menurut UU No.1 Tahun 1974

Menurut ketentuan pasal 1 UU No. 1 Tahun 1974, tujuan perkawinan


adalah membentuk keluarga atau rumah tangga yang bahagia dan kekal
berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Membentuk keluarga artinya
membentuk kesatuan masyarakat terkecil yang terdiri dari suami, istri dan anakanak, membentuk rumah tangga artinya membentuk kesatuan hubungan suami,
istri, dan anak-anak. Membentuk rumah tangga artinya membentuk kesatuan
hubungan suami istri dalam satu wadah yang disebut rumah kediaman bersama.
Bahagia artinya ada kerukunan dalam hubungan antara suami dan istri, atau antara
suami istri, dan anak-anak dalam rumah tangga. Kekal artinya berlangsung terus
menerus seumur hidup dan tidak boleh diputuskan begitu saja menurut kehendak
pihak-pihak. Perkawinan berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa, artinya
perkawinan tidak terjadi begitu saja menurut kemauan pihak-pihak, melainkan
sebagai karunia Tuhan kepada manusia sebagai mahluk beradab. Karena itu
perkawinan dilakukan secara berkeadaban pula, sesuai dengan ajaran agama yang
diturunkan Tuhan kepada manusia. Setiap perkawinan pasti ada tujuan. Tujuan ini
tersimpul dalam fungsi suami istri. Tidak mungkin ada fungsi suami istri tanpa
mengandung suatu tujuan. Tujuan ini dalam Undang-Undang Perkawinan
dirumuskan dengan jelas yaitu membentuk keluarga/rumah tangga yang bahagia
dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Dalam pasal 1 UndangUndang

Perkawinan

rumusan

perkawinan

sekaligus

mencakup

tujuan.

Lengkapnya adalah Perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dan
wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga/rumah tangga yang
bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhahan Yang Maha Esa.10

10

Hazairin,TinjauanMengenaiUUPerkawinanNomor:11974,(Jakarta:Tintamas,1986)hlm74

Pelaksanaan kawin...,Sendy Yudawan,FHUI,2011

19

1.5 Harta Benda Dalam Perkawinan

Adanya harta kekayaan dalam perkawinan merupakan salah satu akibat


dari adanya perkawinan, dimana selama dalam perkawinan harta yang diperoleh
adalah merupakan harta bersama, dalam perjalanan hidup berumah tangga
tentunya tidak akan selalu berjalan mulus, tentunya akibat terburuknya adalah
perceraian, akibat dari perceraian sendiri akan membawa dampak terhadap harta
benda sepanjang perkawinan, maka akan terjadi pembagian harta benda antara
suami dan istri serta anak-anak sebagai ahli warisnya. Pembagian tersebut dapat
dilaksanakan melalui sidang di Pengadilan Agama atau dapat juga dilaksanakan di
luar persidangan Pengadilan Agama, yakni dengan musyawarah para pihak.11

1.5.1 Harta Perkawinan menurut Undang-undang No.1 Tahun 1974.

Harta benda dalam perkawinan diatur dalam Pasal 35 sampai dengan Pasal
37, yang berbunyi:12

Pasal 35:

1) Harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama.

2) Harta bawaan dari masing-masing suami dan istri dan harta benda yang
diperoleh masing-masing sebagai hadiah atau warisan, adalah di bawah
penguasaan masing-masing sepanjang para pihak tidak menentukan lain.

Pasal 36:

1) Mengenai harta bersama, suami atau istri dapat bertindak atas persetujuan
kedua belah pihak.

11

Prof.WahjonoDarmabrata,SH,MH,HukumPerkawinanPerdata:SyaratSahnyaPerkawinan,
HakdanKewajibanSuamiIsteri,HartaBendaPerkawinan,(Jakarta:Rizkita,2009),hlm128.
12
R.SubektidanR.Tjitrosudibio,KitabUndangUndangHukumPerdata(BurgerlijkWetboek),cet
15,(Jakarta:PradnyaParamitra,1982).

Pelaksanaan kawin...,Sendy Yudawan,FHUI,2011

20

2) Mengenai harta bersama masing-masing suami dan istri mempunyai hak


sepenuhnya untuk melakukan perbuatan hukum mengenai harta bendanya.

Pasal 37:

1) Bila perkawinan putus karena perceraian, harta bersama diatur menurut


hukumnya masing-masing.

Atas dasar pasal-pasal tersebut di atas yang dimaksud harta bersama


adalah harta bergerak atau tidak bergerak, berwujud atau tidak berwujud yang
diperoleh suami-istri semenjak mereka terikat ke dalam suatu perkawinan yang
sah dan apabila perkawinan putus, maka harta perkawinan diatur menurut
hukumnya masing-masing yaitu menurut hukum agama atau hukum adat ataupun
hukum lainnya.13 Seperti halnya dalam kawin kontrak, berakhirnya perkawinan
akan membawa akibat terhadap harta yang diperoleh sepanjang perkawinan
berlangsung, akan tetapi biasanya penyelesaiannya tidak rumit, karena ada
perjanjian yang telah mengikat untuk menyelesaikannya.

1.5.2 Harta Perkawinan menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata

Harta kekayaan dalam perkawinan menurut UU Hukum Perdata diatur


dalam bab ke enam, yang pasal-pasalnya berbunyi14 :

Pasal 119 :
Mulai saat perkawinan dilangsungkan demi hukum berlakulah persatuan bulat
antara harta kekayaan suami dan istri, sekedar mengenai itu dengan prjanjian
kawin tidak diadakan ketentuan lain. Persatuan itu sepanjang perkawinan tak
boleh ditiadakan atau diubah dengan sesuatu persetujuan antara suami dan istri.

13

HilmanHadikusuma,HukumPerkawinanIndonesiaMenurutPerundangan,HukumAdat,dan
HukumAgama,(Bandung:MandarMaju,1990)hlm151.
14
R.SubektidanR.Tjitrosudibio,KitabUndangUndangHukumPerdata(BurgerlijkWetboek),cet
15,(Jakarta:PradnyaParamitra,1982).

Pelaksanaan kawin...,Sendy Yudawan,FHUI,2011

21

Pasal 120 :
Sekedar mengenai laba-labanya, persatuan itu meliputi harta kekayaan suami dan
istri, bergerak dan tak bergerak, baik yang sekarang maupun yang kemudian,
maupun pula yang mereka peroleh dengan cuma-cuma, kecuali dalam hal terakhir
ini si yang mewariskan atau yang menghibahkan dengan tegas menentukan
sebaliknya.

Pasal 121 :
Sekedar mengenai beban-bebannya, persatuan itu meliputi segala utang suami
istri masing-masing yang terjadi, baik sebelum maupun sepanjang perkawinan.

Pasal 122:
Segala hasil dan pendapatan, sepertipun segala utang dan rugi sepanjang
perkawinan harus diperhitungkan atas mujur malang
persatuan.

Pasal 123 :
Segala utang kematian, terjadi setelah matinya, harus dipikul ahli waris dari si
yang meninggal sendiri.

Untuk pemisahan harta kekayaan diatur dalam Bab ke sembilan, diatur dalam
pasal-pasal:

Pasal 186 :

Sepanjang perkawinan setiap istri berhak memajukan tuntutan kepada Hakim


akan pemisahan harta kekayaan, akan tetapi hanya dalam hal-hal sebagai berikut :
Ayat (1e) :
Jika si suami karena kelakuannya yang nyata tak baik telah memboroskan harta
kekayaanpersatuan dan karena itu menghadapkan segenap keluarga rumah kepada
bahaya keruntuhan.

Pelaksanaan kawin...,Sendy Yudawan,FHUI,2011

22

Ayat (2e):
Jika karena tidak ada ketertiban dan cara yang baik dalam mengurus harta
kekayaansi suami sendiri, jaminan guna harta kawin si istri dan guna segala apa
yang menurut hukum menjadi hak si istri akan menjadi kabur atau jika karena
sesuatu kelalaian besar dalam mengurus harta kawin si istri kekayaan ini dalam
keadaan bahaya. Pemisahan harta kekayaan atas permufakatan sendiri adalah
dilarang.

1.5.3. Harta Perkawinan menurut Kompilasi Hukum Islam (KHI)

Harta perkawinan diatur dalam Bab XIII, dari Pasal 85 sampai dengan
Pasal 97, adapun pasal-pasal tentang harta bersama sepanjang perkawinan
terdapat dalam pasal-pasal15 :

Pasal 85:

Adanya harta bersama dalam perkawinan itu tidak menutup kemungkinan


adanya harta milik masing-masing suami-istri.

Pasal 86 :

(1) Pada dasarnya tidak ada percampuran antara harta suami dan harta istri karena
perkawinan.

(2) Harta istri tetap menjadi hak istri dan dikuasai penuh olehnya, demikian juga
harta suami tetap menjadi hak suami dan dikuasai penuh olehnya.

15

DepartemenAgamaRepublikIndonesia,KompilasiHukumIslam(Jkarta:DirektoratPembinaan
PeradilanAgama,DirektoratJenderalBimbinganMasyarakatIslamdanPenyelenggaraanHaji,
2002)

Pelaksanaan kawin...,Sendy Yudawan,FHUI,2011

23

Pasal 87 :

(1) Harta bawaan dari masing-masing suami dan istri dan harta yang diperoleh
masing-masing sebagai hadiah atau warisan adalah di bawah penguasaan masingmasing sepanjang para pihak tidak menentukan lain dalam perjanjian perkawinan.

(2) Suami dan istri mempunyai hak sepenuhnya untuk melakukan hukum atas
harta masing-masing berupa hibah, hadiah, sedekah atau lainnya.

Pasal 88:

Apabila terjadi perselisihan antara suami-istri tentang harta bersama, maka


penyelesaian itu diajukan kepada Pengadilan Agama.

Dari uraian pasal-pasal tersebut di atas, maka yang dimaksud harta


bersama menurut KUH Perdata adalah harta bergerak maupun tidak bergerak
yang dihasilkan oleh seseorang sesudah kawin menjadi harta persatuan dari kedua
belah pihak yaitu pihak suami maupun pihak istri, baik tentang rugi atau laba
maupun utang piutang merupakan kekayaan persatuan yang dapat diperhitungkan,
dan apabila suami ternyata terbukti seorang pemboros, pemabok, maka pihak istri
dapat mengajukan permohonan kepada Pengadilan Negeri dan menghadapkan
segenap keluarganya agar harta kekayaannya dipisahkan. Dari pasal-pasal
Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974, dan dalam pasal-pasal dalam Kitab
Undang-undang Hukum Perdata, dapat disimpulkan bahwa, Harta Bersama adalah
harta yang dimiliki seseorang sejak mereka diikat dalam suatu perkawinan, harta
itu berupa harta bergerak maupun tidak bergerak atau harta berwujud atau tidak
berwujud, sedangkan harta bawaan merupakan harta yang dimiliki calon suami
maupun calon istri sebelum diikat dalam suatu perkawinan, harta kekayaan
tersebut dapat dipersatukan sesuai dengan suatu perjanjian yang mereka
sepakati.16 Sedangkan menurut hukum islam atau di dalam kompilasi Hukum

16

ZahryHamid,PokokPokokHukumPerkawinandanUUPerkawinandiIndonesia,(Yogyakarta:
Binacipta,1978),hlm158.

Pelaksanaan kawin...,Sendy Yudawan,FHUI,2011

24

Islam (KHI) pada prinsipnya harta bersama tidak ada, akan tetapi Harta Hasil
Usaha selama dalam perkawinan wajib dipelihara oleh masing-masing suami dan
istri.17

1.6. Tinjauan Umum Perceraian

1.6.1. Terjadinya Perceraian Menurut UU Nomor 1 Tahun 1974

Perceraian merupakan salah satu cara untuk memutuskan ikatan


perkawinan sebagaimana tertera dalam Pasal 38 UU Nomor 1 Tahun 1974, yang
berbunyi :
Perkawinan dapat putus karena :
a. Kematian;
b. Perceraian;
c. Atas keputusan pengadilan.

Dalam UU Nomor 1 Tahun 1974, menganut prinsip untuk mempersulit


terjadinya perceraian karena tujuan daripada perkawinan adalah untuk membentuk
keluarga yang bahagia, kekal dan sejahtera. Adapun alasan perceraian yang
tercantum dalam Pasal 39 ayat (2) UU Nomor 1 Tahun 1974 beserta
penjelasannya dan depertegas lagi dalam Pasal 19 Peraturan Pemerintah (PP)
Tahun 1975 adalah sebagai berikut:

1. Salah satu pihak menjadi penzina, pemabok, pemadat, penjudi dan lain
sebagaimana yang sulit disembuhkan;

2. Salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama dua tahun berturut-turut
tanpa ijin pihak lain dan tanpa alasan yang salah atau karena hal lain di
luar kemampuannya;

17

ZahryAhmid,PokokPokokHukumPerkawinanIslamdanUUNo.1Tahun1974,(Jakarta:Ghalia
Indonesia,1990),hlm141.

Pelaksanaan kawin...,Sendy Yudawan,FHUI,2011

25

3. Salah satu pihak mendapat hukuman penjara lima tahun atau hukuman
yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung;

4. Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang


membahayakan pihak lain;

5. Salah satu pihak mendapat cacat badan atau menderita penyakit, dengan
akibat tidak dapat menjalankan kewajiban sebagai suami/istri;

6. Antara suami-istri terus menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan


tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga.

1.6.2. Perceraian Menurut Kompilasi Hukum Islam

Tata cara perceraian juga diatur dalam Kompilasi Hukum Islam, yang
menyatakan putusnya perkawinan terjadi karena18 :

a. Talak (Pasal.114)

b. Gugatan cerai (Pasal.114)

c. Lian (Pasal.124)

a. Tata Cara Talak

Arti talak terdapat dalam Pasal 117 UU Perkawinan, dikatakan bahwa


Talak adalah ikrar suami di depan sidang Pengadilan Agama yang menjadi salah
satu sebab putusnya perkawinan dengan cara sebagaimana dimaksud dalam Pasal
129,130,131, adapun talak yang dimaksud dalam Pasal 117 Kompilasi hukum
Islam adalah sebagai berikut :

18

DepartemenAgamaRepublikIndonesia,KompilasiHukumIslam(Jkarta:DirektoratPembinaan
PeradilanAgama,DirektoratJenderalBimbinganMasyarakatIslamdanPenyelenggaraanHaji,
2002)

Pelaksanaan kawin...,Sendy Yudawan,FHUI,2011

26

1. Suami beragama Islam akan menjatuhkan telak kepada istrinya dengan


mengajukan permohonan baik lisan meupun tertulis kepada Pengadilan
Agama yang mewilayahi tempat tinggal istri disertai alasan serta minta
diadakan sidang untuk keperluan itu (Pasal 129).

2. Pengadilan Agama dapat mengabulkan atau menolak permohonan


tersebut dan terhadap keputusan itu dapat diadakan upaya hukum banding
(Pasal 130).

3. Sesudah menerima permohonan talak dari suami, Pengadilan Agama yang


bersangkutan mempelajari permohonan yang dimaksud alam Pasal 129
dan dalam waktu selambat-lambatnya 30 hari memanggil pemohon dan
istrinya untuk meminta penjelasan tentang segala sesuatu yang
berhubungan dengan maksud menjatuhkan talak (Pasal 131, ayat 1).

4. Sesudah Pengadilan Agama tidak berhasil menasihati kedua belah pihak


dan ternyata cukup alasan untuk menjatuhkan talak serta tidak mungkin
lagi hidup rukun dalam rumah tangga maka Pengadilan Agama
menjatuhkan talak serta yang bersangkutan tidak mungkin lagi hidup
rukun dalam rumah tangga, maka Pengadilan Agama menjatuhkan
putusan tentang ijin bagi suami untuk mengikrarkan talak (Pasal 130, ayat
2).

5. Sesudah

keputusan

mempunyai

kukuatan

hukum

tetap,

suami

mengikrarkan talaknya di depan sidang Pengadilan Agama dengan


dihadiri oleh istri atau kuasanya (Pasal 130, ayat 3).

6. Bila suami tidak mengucapkan ikrar talak dalam tempo enam bulan
terhitung sejak keputusan Pengadilan Agama tentang ijin ikrar talak
baginya mempunyai kekuatan hukum tetap, maka hak suami untuk

Pelaksanaan kawin...,Sendy Yudawan,FHUI,2011

27

mengikrarkan talak tersebut gugur dan perkawinan tetap utuh (Pasal 130,
ayat 4).

7. Sesudah sidang penyaksian ikrar talak, Pengadilan Agama membuat


tentang terjadinya talak sebanyak empat rangkap yang merupakan bukti
perceraian untuk bekas suami dan istri. Lembar pertama beserta surat
ikrar talak dikirimkan kepada pegawai pencatat nikah, untuk lembar ke
dua dan ke tiga diberikan kepada masing-masing suami-istri dan lembar
ke empat disimpan oleh Pengadilan Agama, maka sahlah perceraian
tersebut, sesuai dengan ketentuan Pasal 123 Kompilasi Hukum Islam
menyatakan bahwa, perceraian itu terjadi terhitung saat perceraian
tersebut dinyatakan di depan sidang Pengadilan Agama, mulai saat itu
segala akibat perceraian berlaku.

Dalam Kompilasi Hukum Islam ada bermacam-macam talak, yaitu :

1. Talak RajI: yaitu talak ke satu atau ke dua dimana suami berhak rujuk
selama istri dalam masa idah (Pasal 118).

2. Talak Bain Sungkra: yaitu talak yang tidak dapat dirujuk tetapi boleh
akad nikah baru dengan bekas suami meskipun dalam masa iddah, yang
dimaksudkan dengan bain sugkra di sini talak yang terjadi qabla al
dukhul, yakni talak dengan tebusan (khuluk) dan talak yang telah
dijatuhkan oleh Pengadilan Agama (Pasal 119).

3. Talak Bain Kubra: yaitu talak yang terjadi untuk ke tiga kalinya, talak
jenis ini tidak dapat dirujuk dan tidak dapat dinikmati lagi kecuali bila
pernikahan tersebut dilakukan setelah bekas istri menikah dengan orang
lain dan kemudian terjadi perceraian bada dhukul dan habis masa
iddahnya (Pasal 120).

Pelaksanaan kawin...,Sendy Yudawan,FHUI,2011

28

4. Talak Suny: yaitu talak yang dilarang, yang dijatuhkan pada saat istri
dalam keadaan haid atau istri dalam keadaan tidak suci, tetapi sudah
dicampuri dalam keadaan suci tersebut (Pasal 121).

b. Tata cara Lian.

Selain talak cara putusnya perkawinan yang juga terjadi karena diajukan
suami adalah Lian, yakni pemutusan hubungan suami-istri untuk selama-lamanya
yang dilakukan oleh suami (Pasal 125). Lian terjadi karena suami menuduh istri
berzina dan mengingkari anak dalam kandungan atau anak yang sudah lahir dari
istrinya, sedangkan istrinya menolak tuduhan dan atau pengingkaaran tersebut.
Adapun tata cara Lian diatur dalam Pasal 127 Kompilasi hukum Islam,
sebagai berikut :

1. Suami bersumpah empat kali dengan kata-kata tuduhan zina dan atau
pengingkaran anak tersebut diikuti sumpah ke lima dengan kata-kata
Laknat Allah atas dirinya apabila tuduhan dan atau pengingkaran
tersebut dusta.

2. Istri menolak tuduhan dan atau pengingkaran tersebut dengan sumpah


empat kali, dengan kata tuduhan dan atau pengingkaran tersebut tidak
benar, diikuti sumpah ke lima dengan kata-kata murka Allah atas dirinya
apabila tuduhan dan atau pengigkaran tersebut benar.

3. Apabila tata cara angka sati tidak diikuti dengan tata cara angka 2, maka
dianggap tidak pernah terjadi lian.

Dalam hal ini lian hanya sah apabila dilakukan di depan sidang
Pengadilan Agama (Pasal 128). Akibat dari lian ini maka perkawinan tersebut
putus untuk selamanya dan anak yang dikandung dinasabkan kepada ibunya,
sedang suami bebas dari kewajiban memberi nafkah. Istri yang telah di lian oleh
suaminya biasanya akan mendapat cap yang buruk sebagai wanita yang bejat,

Pelaksanaan kawin...,Sendy Yudawan,FHUI,2011

29

karena menyeleweng dari suami dan bagi suami sendiri jika telah melakukan lian
maka penyesalan tidak akan berguna dan bila suami akan merujuk istrinya
kembali sudah tidak bisa, di lain pihak untuk kepentingan anak sendiri akan
berakibat buruk juga di masyarakat, karena masyarakat akan menganggap anak
tersebut sebagai anak luar kawin atau anak haram, hal ini akan mempengaruhi
jiwa dan kehidupan. Mengingat akibat lian sangat buruk maka sebelum suami
memutuskan untuk menjatuhkan lian terhadap istrinya, suami harus benar-benar
memikirkan segala akibat yang akan terjadi dengan adanya lian tersebut,
sebaiknya suami memilih cara cerai lain yang bisa dilakukan dengan tuduhan
melakukan zina.19

c. Tata Cara Cerai Gugat

Cerai gugat merupakan cara perceraian yang diawali dengan pengajuan


gugatan cerai oleh istri melalui Pengadilan Agama, untuk mengajukan suatu
gugatan perceraian istri dapat melakukannya secara langsung maupun melalui
kuasa hukumnya. Gugatan diajukan kepada Pengadilan Agama yang daerah
hukumnya meliputi tempattinggal penggugat kecuali bila istri meninggalkan
tempat kediaman bersama tanpa ijin suami (Pasal 132). Cerai gugat melalui empat
proses, yaitu :

1. Pengajuan gugatan;
2. Pemanggilan;
3. Pemeriksaan;
4. Putusan.

19

Ibid,hlm145.

Pelaksanaan kawin...,Sendy Yudawan,FHUI,2011

30

2. Tinjauan Tentang Kawin Kontrak Menurut Undang Undang No.1 Tahun


1974

Perkawinan menurut UU No.1 tahun 1974 adalah ikatan lahir batin


diantara seorang pria dan wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk
rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa,
sehingga perkawinan merupakan salah satu tujuan hidup manusia untuk mencapai
kebahagiaan lahir dan batin, khususnya dalam rangka melanjutkan atau
meneruskan keturunan dan diharapkan pula dengan adanya perkawinan mampu
mewujudkan masyarakat yang sejahtera baik lahir maupun batin. Dalam
perkembangan masyarakat sekarang ini, munculah istilah kawin kontrak. Kawin
kontrak tidak diatur dalam UU No.1 tahun 1974, karena kawin kontrak
merupakan

sebuah

fenomena

baru

dalam

masyarakat.

Kawin

kontrak

menggambarkan sebuah perkawinan yang didasarkan pada kontrak atau


kesepakatan-kesepakatan tertentu, yang mengatur mengenai jangka waktu
perkawinan, imbalan bagi salah satu pihak, hak dan kewajiban masing-masing
pihak, dan lain-lain. Tujuan dari kawin kontrak adalah untuk menyalurkan
kebutuhan biologis, tanpa disertai adanya keinginan untuk membentuk rumah
tangga yang kekal, serta terkadang juga tidak mengharapkan adanya keturunan.
Kawin kontrak merupakan perkawinan yang bersifat sementara, dan sangat
menonjolkan nilai ekonomi, menyebabkan perkawinan ini berbeda dengan
perkawinan pada umumnya, sehingga kawin kontrak dianggap menyimpang dari
tujuan perkawinan yang mulia. Kawin kontrak merupakan perkawinan
berdasarkan kontrak yang dalam pelaksanaannya bersifat sementara, dan lebih
menonjolkan nilai ekonomi, sehingga sangat bertentangan dengan perkawinan
yang dikonsepkan dalam UU No.1 tahun 1974. Pelaksanaan kawin kontrak sangat
bertentangan dengan asas-asas perkawinan dalam UU No.1 tahun 1974. Beberapa
asas tersebut diantaranya adalah:

Pelaksanaan kawin...,Sendy Yudawan,FHUI,2011

31

a. Tujuan perkawinan

Menurut UU No.1 tahun 1974, setiap perkawinan harus mempunyai tujuan


membentuk keluarga/rumah tangga bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan
Yang Maha Esa. Perkawinan yang tidak mempunyai tujuan ini, bukan perkawinan
dalam arti yang dimaksud dalam UU No.1 tahun 1974 Pelaksanaan kawin kontrak
sangat bertentangan dengan tujuan perkawinan dalam UU No.1 tahun 1974.
Kawin kontrak hanya bertujuan untuk menyalurkan kebutuhan biologis tanpa
disertai keinginan untuk membentuk rumah tangga yang bahagia dan kekal, serta
sangat mengharapkan keuntungan secara ekonomi dari dilaksanakannya
perkawinan, selain itu memiliki keturunan bukan merupakan tujuan utama dalam
kawin kontrak.

b. Perkawinan kekal

Menurut UU No.1 tahun 1974, sekali perkawinan dilaksanakan, maka


berlangsunglah perkawinan tersebut seumur hidup, tidak boleh diputuskan begitu
saja. Perkawinan kekal tidak mengenal batas waktu. Perkawinan yang bersifat
sementara sangat bertentangan dengan asas tersebut. Jika dilakukan juga maka
perkawinan tersebut batal. Kawin kontrak sangat bertentangan dengan asas ini.
Kawin kontrak merupakan perkawinan yang bersifat sementara, karena jangka
waktunya dibatasi. Kawin kontrak tidak bersifat kekal, apabila jangka waktunya
telah habis maka perkawinan dapat diputuskan.

c. Perjanjian Perkawinan

Mempelai laki-laki dan mempelai wanita yang akan melangsungkan


perkawinan dapat membuat perjanjian perkawinan. Hal ini diatur dalam pasal 29
UU No.1 tahun 1974 yang bunyinya: Pasal 1, Pada waktu atau sebelum
perkawinan dilangsungkan, kedua pihak atas perjanjian tertulis yang disahkan
oleh pegawai pencatat perkawinan. Setelah mana isinya berlaku juga terhadap
pihak ketiga sepanjang pihak ketiga tersangkut. Pasal 2, Perjanjian tersebut

Pelaksanaan kawin...,Sendy Yudawan,FHUI,2011

32

tidak dapat disahkan bilamana melanggar batas-batas hukum, agama dan


kesusilaan.

Pasal

3,

Perjanjian

tersebut

berlaku

sejak

perkawinan

dilangsungkan. Pasal 4, Selama perkawinan berlangsung perjanjian tersebut


tidak dapat diubah, kecuali bila dari kedua belah pihak ada perjanjian untuk
mengubah dan perubahan tidak merugikan pihak ketiga. Menurut isi ketentuan
pasal 29 tersebut, perjanjian perkawinan harus memenuhi syarat-syarat sebagai
berikut:

1). Dibuat pada waktu atau sebelum perkawinan dilangsungkan,

2). Dalam bentuk tertulis disahkan oleh pegawai pencatat,

3). Isi perjanjian tidak melanggar batas-batas hukum, agama, dan kesusilaan,

4). Mulai berlaku sejak perkawinan dilangsungkan,

5). Selama perkawinan berlangsung perjanjian tidak dapat diubah,

6). Perjanjian dimuat dalam akta perkawinan.

Dalam perjanjian perkawinan tidak termasuk taklik talak. Taklik talak


adalah perjanjian yang diucapkan calon mempelai pria setelah akad nikah berupa
janji talak yang digantungkan kepada suatu keadaan tertentu yang mungkin terjadi
pada masa yang akan datang.20 Isi perjanjian perkawinan dapat mengenai segala
hal, asal saja tidak melanggar batas-batas hukum, agama, dan kesusilaan. Akibat
hukum adanya perjanjian perkawinan antara suami dan istri adalah sebagai
berikut:

1). Perjanjian mengikat pihak suami dan istri,

20

HilmanHadikusuma,HukumPerkawinanIndonesiaMenurutPerundangan,HukumAdat,dan
HukumAgama,(Bandung:MandarMaju,1990)hlm176.

Pelaksanaan kawin...,Sendy Yudawan,FHUI,2011

33

2). Perjanjian mengikat pihak ketiga yang berkepentingan,

3). Perjanjian hanya dapat diubah dengan persetujuan kedua pihak suami dan istri,
serta disahkan oleh pegawai pencatat perkawinan.

Dalam kawin kontrak juga terdapat perjanjian perkawinan. Namun


perjanjian perkawinan dalam kawin kontrak sangat bertentangan dengan
perjanjian perkawinan dalam UU No.1 tahun 1974. Menurut UU No.1 tahun
1974, perjanjian perkawinan diperbolehkan selama tidak melanggar batas-batas
hukum, agama, dan kesusilaan. Perjanjian perkawinan dalam kawin kontrak
sangat bertentangan dengan batas-batas hukum, agama dan kesusilaan. Karena isi
perjanjian

perkawinan

dalam

kawin

kontrak

mengatur

tentang

jangka

waktu/lamanya perkawinan, imbalan yang akan diperoleh salah satu pihak, hak
dan kewajiban masing-masing pihak, dan lain-lain. Dari isi perjanjian perkawinan
tersebut menyebabkan kawin kontrak menjadi perkawinan yang bersifat
sementara karena waktunya dibatasi, dan sangat menonjolkan nilai ekonomi,
sehingga sangat bertentangan dengan hukum, agama, dan norma-norma
kesusilaan yang berlaku dalam masyarakat. Perkawinan yang sesuai dengan
hukum, agama, dan kesusilaan yang berlaku dalam masyarakat adalah perkawinan
yang bersifat kekal, selama-lamanya, tidak hanya untuk kebahagiaan dunia tetapi
juga untuk akhirat. Isi perjanjian perkawinan yang bertentangan dengan batasbatas agama, hukum dan kesusilaan tidak diperbolehkan, jadi dianggap tidak
pernah ada perjanjian perkawinan. Apabila perjanjian perkawinan tetap ada maka
perkawinan tersebut batal karena melanggar ketentuan UU No.1 tahun 1974.
Secara hukum bila pernikahan berdasarkan kontrak dengan maksud mengadakan
perjanjian untuk waktu tertentu dan juga ada imbalan, jelas menyalahi UU No.1
tahun 1974 tentang perkawinan. Jadi tidak ada perkawinan secara hukum. Apabila
kawin kontrak didasarkan pada hukum perjanjian, juga tidak bisa. Syarat sahnya
perjanjian ada 4, yaitu sepakat kedua belah pihak, cakap dalam perikatan, yang
diperjanjikan adalah suatu hal tertentu, dan perjanjian dilakukan atas kausa yang
halal. Perkawinan sendiri bukanlah perjanjian biasa, apalagi melihat tujuannya
untuk membangun sebuah keluarga. Artinya, kehidupan baru yang dibangun

Pelaksanaan kawin...,Sendy Yudawan,FHUI,2011

34

bukanlah untuk kenikmatan sesaat atau dibangun berdasarkan kesepakatan untuk


waktu tertentu. Jadi kawin kontrak sendiri bukan bentuk yang disyaratkan UU
No.1 tahun 1974.

Pelaksanaan kawin...,Sendy Yudawan,FHUI,2011

35

BAB III
PERMASALAHAN KAWIN KONTRAK DI DESA BANDENGAN,
JEPARA KOTA, DAN UPAYA HUKUM PENCEGAHANNYA

3.1. Upaya Yang Ditempuh Oleh Pelaku Kawin Kontrak Agar Dapat
Terlaksananya Kawin Kontrak

Untuk dapat terlaksananya kawin Kontrak atau Nikah mutah dapat dilalui
dengan beberapa tahapan,meskipun kawin kontrak atau nikah mutah telah
dilarang oleh fatwa MUI dan tidak diakui olrh Undang-Undang, akan tetapi
dikalangan masyarakat masih banyak praktek dilakukannya kawin kontrak (nikah
mutah), hal ini dilakukan karena adanya alasan tertentu, diantaranya :

1. Adanya keinginan peningkatan ekonomi yang lebih tinggi;

2. Terdesaknya kebutuhan rumah tangga;

3. Adanya dorongan dari orang tua dan keluarga;

4. Ingin mendapatkan keturunan yang lebih baik.

Kalaupun Nabi Muhammad pernah memperbolehkan nikah mutah kepada


kaum laki-laki saat peperangan dahulu, itu karena waktu itu hukumIslam belum
sempurna, karena nikah menurut pandangan Islam merupakan aktualisasi dari
ketakwaan, jadi bukan hanya sekedar menghalalkan hubungan biologis, akan
tetapi juga memiliki pesan-pesan yang mulia, oleh karenanya nikah mutah
diharamkan, supaya aktualisasi dan kebaikannya menjadi tidak hilang.21 Dengan
adanya larangan dari Rosulullah dan hadist-hadist Nabi yang mengharamkan
nikah mutah, maka umat Islam takut melakukan nikah mutah karena hukumnya
haram sama dengan berzina, seperti dikatakan oleh Imam Ash-Shadiq, bahwa

21

http://www.nurmadinah.com/2010/11/nikahmut%E2%80%99ahhalalatauharam/,Juni2011

Pelaksanaan kawin...,Sendy Yudawan,FHUI,2011

36

Mutah itu sama dengan zina. (Al-Baihaqi).22 Sebenarnya semua aliran Syiah
juga mengharamkan Mutah, akan tetapi ada juga aliran Syiah yang
memperbolehkan nikah mutah, yaitu Syiah Imamiyah Itsna Asyariyah, aliran ini
beranggapan berzina lebih dosa daripada mutah, aliran ini juga mengatakan
bahwa, yang mengharamkan nikah mutah adalah Kholifah Umar, ini berarti
bahwa Khalifah Umar telah kafir karena dia telah mengharamkan mutah yang
halal23 Khalifah Syiah itu sengguh berani mengkafirkan Khalifah Umar padahal
beliau adalah penasihat Khalifah Ali Bin Abi Thalib, khalifah Syiah Imamiyah
Itsna Asyariyah memang benar-benar benci kepada para sahabat Nabi.24 Oleh
karenanya

seperti

halnya

di

daerah

Bandengan,

Jepara

ini,

sebagian

masyarakatnya juga beranggapan bahwa nikah mutah (kawin kontrak) juga


dihalkan karena menurut mereka pelaksanaan kawin kontrak (nikah mutah) telah
sesuai dengan rukunnya nikah, adapun rukunnya perkawinan menurut Fathullah
Al-Kasyani ada lima sebagai berikut :25

1. Suami;

2. Istri;

3. Mahar;

4. Pembatasan waktu;

5. Shiqhat ijab qabul.

Rukun dan syarat perkawinan Islam dijelaskan pula dalam Kompilasi


Hukum Islam pasal 14 sampai dengan pasal 17, adapun syarat dan rukun yang
paling utamanya terdapat dalam pasal 15 ayat (1), sebagaimana ditetapkan pula

22

http://www.albayyinat.net/mutaht.html,Juni2011
http://www.eramuslim.com/berita/tahukahanda/syiahmenurutkacamatasejumlah
tokoh.htm,Juni2011
24
http://www.eramuslim.com/berita/tahukahanda/syiahmenurutkacamatasejumlah
tokoh.htm,Juni2011
25
http://lateralbandung.wordpress.com/2007/07/26/sekilasnikahmutah/,Juni2011
23

Pelaksanaan kawin...,Sendy Yudawan,FHUI,2011

37

dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, isi pasal tersebut sama, yakni
sama-sama mengatur usia perkawinan, dengan batasan untuk calon suami
sekurang-kurangnya berumur 19 tahun dan untuk calon istri sekurang-kurangnya
berumur 16 tahun. Oleh karenanya untuk melaksanakan suatu perkawinan apabila
telah memenuhi rukun seperti yang tersebut di atas dianggap sudah sah, maka
dengan kelangsungan kawin kontrak yang dilakukan di daerah Bandengan Jepara
pada dasarnya telah memenuhi rukun dan syarat sahnya suatu perkawinan,
sehingga mereka beranggapan bahwa, pernikahan mereka juga sah, akan tetapi
mereka juga mengakui kalau perkawinannya tidak terdaftar di kantor cacatan
KUA, sehingga mereka tidak mendapatkan bukti atas telah dilangsungkannya
perkawinan. Para pemuka agama dan pemuka masyarakat di daerah desa
Bandengan juga telah mengetahui kalau kawin kontrak nikah mutah itu sudah
tidak diperbolehkan lagi, apalagi kalau pernikahan tersebut diketahui oleh para
pejabat Kantor urusan Agama setempat maka Kyai yang menikahkan akan
ditegur, akan tetapi sampai saat ini pernikahan kawin kontrak di lingkungan desa
Bandengan tetap saja tidak menimbulkan banyak masalah, karena para pemuka
agama di sekitar desa tersebut juga ikut memikirkan keadaan lingkungannya,
supaya lingkungan desanya terangkat, ada peningkatan kesejahteraan para
penduduknya, dan mengurangi pengangguran, sehingga para warga tidak perlu
pergi jauh-jauh untuk mencari pekerjaan, karena di sekitar desanya telah banyak
berdiri perusahaan asing yang tentunya banyak membutuhkan tenaga kerja, oleh
karenanya para pemuka agama di desa tersebut juga memikirkan dengan
keberadaan perusahaan asing di desanya tentunya akan banyak pekerja asing juga
di sekitar desanya, untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan seperti
halnya perzinahan dan berganti-ganti pasangan, akan terkesan kotor di lingkungan
desa, maka bila pendatang menginginkan pendamping hidup selama melakukan
pekerjaan di desa tersebut, sebaiknya dilakukan suatu ikatan dalam bentuk
perkawinan yang sifatnya untuk sementara waktu saja, dengan ikatan perkawinan
akan menguntungkan juga bagi kedua belah pihak, walaupun sebenarnya tidak
boleh dilakukan malah diharamkan. Keuntungan tersebut bagi pengontrak akan
mendapatkan pasangan yang bersih, karena tidak akan berganti-ganti pasangan
dan terjamin kenyamanannya karena mendapatkan dukungan dari keluarga dan

Pelaksanaan kawin...,Sendy Yudawan,FHUI,2011

38

masyarakat sekitar yang mayoritas adalah pekerja perusahaan milik orang asing
tersebut.26
Atas dasar alasan seperti tersebut di atas maka, demi ketenangan dan
ketentraman warga dalam hidup berumah-tangga dan dalam bekerja apabila ada
maksud dari para orang asing yang bekerja atau yang mempunyai perusahaan
yang ada di sekitar desa tersebut, jika ingin mempunyai teman hidup selama dia
bekerja di daerah tersebut, maka sebaiknya dilaksanakan dengan ikatan
perkawinan walaupun ada batas waktunya dengan disertai perjanjian-perjanjian
yang harus disepakati para pihak. Dengan mengingat pula untuk syarat sahnya
perkawinan bagi orang asing yang ingin melangsungkan perkawinannya di
Indonesia dengan wanita Indonesia, syaratnya sangat ketat, yang harus dibekali
dengan surat pesetujuan dari kedutaan, karena tanpa surat itu tidak akan bisa
menikah secara resmi sesuai ketentuan dan peraturan negara Indonesia.
Oleh karenanya para pemuka agama memikirkan untuk dapat menciptakan
kedamaian di lingkungan desanya supaya dapat terlaksananya suatu perkawinan
antara orang asing sebagai pendatang dari manca negara dengan wanita pribumi
beragama Islam, maka diupayakan suatu perkawinan dengan batas waktu tertentu
agar perkawinan tersebut tidak zina, oleh karenanya dilakukan dengan cara-cara
:27

1. Para pihak saling berkenalan atau saling memperkenalkan diri, setelah masingmasing pihak saling kenal, lalu pihak laki-laki dengan diantar oleh walinya atau
salah satu karyawan perusahaannya yang dianggap sebagai sesepuh bertamu ke
rumah pihak wanita untuk mengutarakan maksud dan tujuannya.

2. Setelah kedua belah pihak mengetahui maksud dan tujuannya, pihak keluarga
dan orang tua pihak wanita setuju, maka pihak wanita menentukan hari, tanggal,
bulan kapan pernikahan akan dilangsungkan, setelah menentukan hari, tanggal
dan bulan, pihak keluarga wanita menyampaikannya melalui yang mengantarkan
pihak laki-laki. Akan tetapi, pihak laki-laki belum membawa apapun untuk

26

HasilwawancaradenganModinKasandanKadarusman,tanggal4Mei2011.
HasilwawancaradenganModinKasandanKadarusman,tanggal4Mei2011.

27 27

Pelaksanaan kawin...,Sendy Yudawan,FHUI,2011

39

dipersembahkan kepada pihak wanita hanya mengutarakan niatnya saja. Kalau


tanggal dilaksanakan pernikahan terlalu lama pihak laki-laki keberatan dan ingin
segera dipercepat, karena orang asing tidak terlalu percaya dengan adat, kalau
keberatan makapihak wanita mencari hari dan tanggal lagi sampai mendapat
persetujuan dan kesepakatan kedua pihak.28

3. Setelah sepakat waktu akan dilangsungkannya pernikahan, maka pihak


wanitalah

yang

menyiapkan

semua

apa

yang

diperlukan

agar

dapat

terlaksanakannya perkawinan tersebut, yakni seperti mencarikan siapa yang akan


menjadi wali baik untuk pihak laki-laki maupun untuk pihak wanitanya, keluarga
pihak wanita meminta tolong kepada kiai dan modin setempat untuk bersedia
menikahkan anaknya dengan menceritakan keadaan yang sebenarnya, bahwa
anaknya akan dinikahi kontrak oleh laki-laki berkewarganegaraan asing, mas
kawinnya juga diutarakan karena untuk penilaian dari para pemuka masyarakat
setempat, karena tidak semua kiai maupun modin bersedia menikahkan kawin
kontrak, kiai atau modin yang tidak bersedia biasanya mereka kiai atau modin
yang ditunjuk atau utusan dari Departemen Agama untuk desa dan kantor mereka
di Kantor Urusan Agama (KUA) setempat, walaupun kiai atau modin tersebut
tidak bersedia, akan tetapi mereka mendengar dan mengetahuinya, karena
memang mereka tinggal di daerah desa tersebut. Biasanya yang bersedia
menikahkan kawin kontrak di desa Bandengan tersebut kiai pemuka masyarakat
desa tersebut serta didampingi modin dari desa tersebut sekaligus sebagai saksi
ataupun wali nikahnya.

4. Setelah mengetahui, siapa yang akan menikahkan, wali-walinya serta saksisaksinya, lalu pihak wanita menyiapkan segala keperluan untuk menjamu para
tamu undangan, perjamuan cukup diselenggarakan di rumah pihak wanita saja dan
dilakukan dengan cara sederhana, hanya syukuran untuk teman-teman dekat,
tetangga terdekat dan kerabat saja. Pihak wanita menghitung semua jumlah uang
yang diperlukan untuk kepentingan pelaksanaan perkawinan tersebut, lalu pihak
wanita memberitahukannya kepada pihak laki-laki jumlah semua pengeluaran

28

HasilwawancaradenganModinKasandanKadarusman,tanggal4Mei2011

Pelaksanaan kawin...,Sendy Yudawan,FHUI,2011

40

yang harus disediakan, lalu pihak laki-laki melalui suruhannya untuk ke rumah
pihak wanita menyerahkan sejumlah uang yang diperlukannya.

5. Selang waktu beberapa hari sebelumnya tanggal pernikahan, kiai dan modin
mendatangani rumah keluarga pihak wanita yang akan dinikahi kontrak, mereka
datang untuk memberikan penjelasan kepada keluarga wanita maupun wanita
yang akan dinikah kontrak tersebut, kiai dan modin menjelaskan sebab dan
akibatnya perkawinan kontrak, halal dan haramnya, akan tetapi mereka
beranggapan apabila ke lima rukunnya telah terpenuhi maka perkawinan tersebut
dianggap sah, walaupun tidak dapat dicatat di Kantor Urusan Agama (KUA)
setempat.

6. Setelah kiai dan modin memberikan penjelasan senyatanya tentang segala


sesuatunya kawin kontrak (nikah mutah) kepada keluarga dan pihak wanita,
biasanya mereka juga tidak berubah keputusan, mereka tetap akan melangsungkan
perkawinan kontrak tersebut, pihak keluarga merasa senang dan bangga karena
anaknya dapat meringankan beban keluarga, dambaan mereka akan dapat hidup
lebih baik dari kehidupan yang sekarang mereka jalani, oleh karena itu pihak
keluarga sangat mendukung perkawinan kontrak tersebut.

7. Selang beberapa waktu kemudian pihak laki-laki datang untuk menemui wanita
yang akan dikontraknya, dengan memberikan persyaratan yang harus diketahui
dan disetujui oleh wanita yang akan dikontraknya, persyaratan itu ditulis dalam
bentuk surat perjanjian, yang mana surat perjanjian tersebut harus ditanda tangani
kedua belah pihak setelah ijab qabul selesai, isi daripada surat perjanjian tersebut
hanya diketahui oleh kedua belah pihak dan pihak keluarga wanita saja. Walaupun
isi surat perjanjian dinilai cukup berat dan mengikat bagi pihak wanita, akan tetapi
wanita yang akan dikontrak dan keluarganya tidak merasa keberatan, karena
mereka beranggapan hidup mereka akan terjamin dan lebih nyaman.

8. Sebelum perkawinan dilaksanakan, pihak laki-laki (pengontrak) harus


melengkapi beberapa syarat terlebih dahulu karena ia orang asing, pada umumnya

Pelaksanaan kawin...,Sendy Yudawan,FHUI,2011

41

para orang asing yang menginginkan kawin kontrak tidak mempunyai surat-surat
yang diperlukan dalam perkawinan di Indonesia, para orang asing tersebut hanya
mempunyai paspor saja sebagai identitasnya, sehingga menyulitkan para petugas
untuk melangsungkan pernikahan, kalau melihat kenyataan yang ada pernikahan
ini tidak akan dapat terlaksana karena secara hukum di Indonesia tidak dapat
memenuhi persyaratan yang telah ditentukan oleh Undang-Undang yang berlaku
di Indonesia, para pendatang dari manca negara tersebut ingin melakukan
perkawinan sebagai pendamping hidupnya selama berada di Indonesia tetapi surat
persetujuan dari kedutaanpun mereka tidak dapat tunjukkan, maka para pemuka
agama dan masyarakat di sekitar tempat tersebut mengupayakan jalan keluarnya
agar perkawinan dapat terlaksana sesuai dengan rukunnya, walaupun sebenarnya
para wali nikah maupun kiai yang akan menikahkannya keberatan, akan tetapi
untuk menjaga kehidupan yang aman, tentram dan nyaman, serta demi
kepentingan warga masyarakatnya. Oleh karenanya sebelum pernikahan
berlangsung, pihak pengontrak karena orang asing dan biasanya mereka non
muslim, maka sebelumnya ia harus membuat surat pernyataan tertulis di atas
meterai terlebih dahulu, isi dari surat pernyataan tersebut menyatakan bahwa :

1. Bersedia masuk ke dalam agama Islam;

2. Menuliskan dua kalimat syahadat beserta artinya ;

3. Bersedia mengucapkan dua kalimah syahadat tersebut di depan


para saksi dan waktu akad nikah; Surat pernyataan tersebut ditanda
tangani oleh yang bersangkutan

di atas meterai, dua orang

saksi dan kiai yang mensahkan kalau dia benar-benar telah masuk
Islam dan telah di-Islamkan.

9. Setelah di-Islamkan dengan kesaksian pemuka agama setempat, maka akan


mudah untuk melaksanakan perkawinannya, karena telah seiman dan semua rukun
serta syaratnya telah terpenuhi, maka perkawinan akan segera dapat dilaksanakan.

Pelaksanaan kawin...,Sendy Yudawan,FHUI,2011

42

10. Lalu ijab qabul dilaksanakan, dengan disaksikan oleh dua orang saksi, masingmasing pihak didampingi oleh wali mereka masing-masing, dan seorang kiai yang
menikahkannya, masing-masing wali nikah membuat surat pernyataan yang
ditanda tangani oleh wali tersebut di atas meterai enam ribu Rupiah, surat
pernyataan tersebut isinya tentang wali yang menikahkannya, dengan menuliskan
nama para pihak yang dinikahkan dan menuliskan bentuk dan jumlah besarnya
mas kawin yang diberikan.

11. Setelah ijab qabul selesai diucapkan, kemudian diucapkan pula jangka waktu
lamanya kontrak perkawinan oleh pihak laki-laki (yang ngontrak). Kemudian
wanita yang dikontrak harus menanda tangani isi dari surat perjanjian yang ditulis
oleh pihak pengontrak, setelah menanda tangani kesepakatan surat perjanjian
tersebut, maka seketika itu juga wanita yang dikontrak diboyong ke rumah dimana
laki-laki pengontrak tersebut tinggal, rumah dan semua isinya tersebut setelah
perkawinan berakhir serta mobil akan sepenuhnya menjadi milik wanita yang
dikontraknya, pernyataan ini juga diucapkan oleh pengontrak setelah ijab qabul
dilaksanakan dengan disksikan oleh pihak keluarga wanita yang dikontrak.

Demikian langkah-langkahnya sehingga perkawinan antara orang asing


dengan wanita Indonesia dapat terlaksana, walaupun syarat dan rukunnya dapat
terpenuhi menurut ajarannya akan tetapi perkawinan tersebut tidak sah menurut
hukum Islam maupun menurut Hukum dan perundang-undangan yang berlaku di
negara Indonesia, karena pernikahan merupakan hal yang sakral, suatu ikatan lahir
dan bathin dengan tidak ada batas waktu lamanya perkawinan berlangsung,
kecuali maut yang memisahkannya.

3.2. Konsekuensi Pelaksanaan Isi Surat Perjanjian Kawin Kontrak Terhadap


Pelaku Kawin Kontrak

Walaupun kawin kontrak tidak diakui secara hukum, akan tetapi dalam
prakteknya kawin kontrak terus berlangsung, pelaksaan kawin kontrak ini benar-

Pelaksanaan kawin...,Sendy Yudawan,FHUI,2011

43

benar terjadi, di Indonesia kawin kontrak terjadi pada beberapa daerah tertentu
saja, antara lain daaerah yang marak kawin kontrak yaitu sepoerti Bogor, Puncak,
dan Jepara, karena di ketiga daerah tersebut banyak peluang usaha maupun
sebagai tempat istirahat yang nyaman bagi para pendatang dari manca negara.
Sebagaimana disiarkan di stasiun televisi swasta yaitu TransTV, tanggal 7 Juni
2011, diberitakan tentang banyaknya kawin kontrak yang dilakukan oleh
penduduk Indonesia dengan para tenaga kerja asing biasanya dilakukan oleh
penduduk setempat di mana orang asing tersebut melakukan pekerjaannya, seperti
halnya di daerah Ungaran banyak tenaga kerja asing yang bekerja sebagai
konsultan perusahaan asing dari asal negaranya masing-masing, seperti dari
Korea, Thailand, dan Singapura, para orang tersebut umumnya melakukan kawin
kontrak dengan penduduk setempat atau karyawan perusahaannya sendiri di mana
mereka sebagai tenaga kerja dari perusahaan asing tersebut. Pada kurun waktu
sekarang ini tujuan dari kawin kontrak tidak sama dengan kawin kontrak pada
jaman Rosulullah, pada masa sekarang ini kawin kontrak dilakukan karena
mempunyai maksud dan tujuan tertentu tidak hanya untuk bersenang-senang
hanya untuk memenuhi kebutuhan biologis saja, akan tetapi pelaku kawin kontrak
era sekarang ini bertujuan untuk meningkatkan taraf hidup dan perekonomian
keluarga pada pihak yang dikontrak, sedangkan pada pihak pengontrak bertujuan
untuk mendapatkan kenyamanan hidup sekitarnya, disamping untuk memenuhi
kebutuhan biologis juga untuk mendapatkan kemudahan dan memperlancar semua
birokrasi perusahaannya yang ada di daerah setempat. Seperti halnya di kota
Jepara tepatnya di desa Bandengan, Kecamatan Jepara Kota, Kabupaten Jepara.
Di daerah tersebut banyak perusahaan asing yang bergerak di bidang permebelan
dari berbagai negara seperti dari negara Korea, Taiwan, dan Australia,
pertimbangan penanam modal asing di daerah tersebut karena :

1. Mudah dan murah mendapatkan bahan baku produksi yang mereka


butuhkan;

2. Banyak pengrajin seni ukir yang sudah berpengalaman;

Pelaksanaan kawin...,Sendy Yudawan,FHUI,2011

44

3. Penduduk Jepara 90 % bermata pencaharian pengrajin mebel;

4. Biaya hidup dan tenaga kerja murah

Perusahaan asing tersebut tentunya juga mempekerjakan tenaga asing asal


negaranya untuk mengatur sistem manajemen nya biasanya mereka pegang
sendiri, sedangkan untuk tenaga tukang, pengrajin mebelnya, tukang ukirnya, dan
tenaga produksinya (mandor, tukang amplas, plitur) semua itu dipercayakan
kapada penduduk setempat pribumi Jepara.
Dengan maraknya perusahaan industri mebel setempat sehingga akan
meningkatkan dan mengangkat tingkat perekonomian di daerah setempat serta
mengurangi tingkat angka pengangguran penduduk setempat, maka penduduk
sekitar tidak perlu pergi jauh-jauh meninggalkan kampung halaman untuk
mencari pekerjaan karena peluang pekerjaan sudah ada di daerahnya. Peluang
usaha perusahaan asing tersebut dengan merekrut para tenaga kerja dari
masyarakat di sekitar perusahaan yang juga akan menguntungkan bagi pihak
orang asing, karena dengan demikian orang asing tersebut akan mudah
beradaptasi dengan penduduk sekitar dan akan mempermudah serta membantu
kenyamanan untuk tinggal dan bekerja, dengan demikian bila mereka
menginginkan sesuatu akan mudah mendapatkannya karena telah mendapat
simpati dari penduduk setempat, seperti halnya minta bantuan dan dukungannya
dalam memilih atau mencari pasangan hidup untuk sementara waktu berada di
Indonesia dimana orang asing itu bekerja, para tenaga kerja asing maupun
pengusaha asing tersebut tinggal sementara waktu untuk beberapa tahun lamanya
atau mungkin selamanya, akan tetapi mereka tidak menetap di Indonesia karena
mereka juga mempunyai keluarga di negara asal mereka masing-masing, dan
selang waktu beberapa bulan mereka pulang ke negaranya untuk menengok
bisnisnya atau untuk menengok keluarganya, oleh karenanya sebagai manusia
normal biasa sama-sama ciptaan Tuhan walaupun beda tanah kelahiran dan
kulitnya, akan tetapi sebagai manusia normal tetap membutuhkan kebutuhan
biologis di saat mereka tinggal dan bekerja di Jepara berbulan-bulan bahkan
dalam setahun mereka baru pulang menengok negara asalnya, oleh karenanya para

Pelaksanaan kawin...,Sendy Yudawan,FHUI,2011

45

tenaga asing kerap mencari wanita setempat untuk dinikahi secara kontrak,
biasanya mereka minta dicarikan oleh penduduk setempat yang bekerja di
perusahaannya atau karyawannya sendiri. Untuk di daerah desa Bandengan,
Jepara ini mayoritas penduduknya beragama Islam, oleh karenanya untuk
menginginkan hidup bersama harus disahkan terlebih dahulu dengan suatu
perkawinan yang tentunya sebelum perkawinan dilaksanakan harus dipenuhi
terlebih dahulu syarat dan rukun perkawinan, walaupun perkawinan tersebut
hanya berlangsung beberapa waktu lamanya saja.
Di desa Bandengan ini istilah kawin kontrak sudah tidak asing lagi dan
sebagian penduduk melakukannya, pelaku kawin kontrak di daerah ini tidak
canggung dan tidak malu karena pelaku pihak wanita biasanya didukung oleh
keluarganya dan keluarganya malah bangga karena merasa anaknya yang terbaik
dipilih oleh orang yang berkedudukan di daerahnya, dalam arti orang yang berduit
sebagai pemilik perusahaan yang besar, oleh karenanya kaum wanita di daerah
tersebut berlomba-lomba mendapatkannya, bahkan para orang tua yang
mempunyai anak-anak gadis berlomba menawarkannya, akan tetapi para orang
asing yang ingin mengontrak juga selektif, mereka biasanya memilih wanita yang
sederhana dan muda, walaupun janda tetapi masih muda, bahkan ada juga wanita
tersebut sudah bersuami, tetapi suami wanita tersebut tinggal di lain desa dan
suaminya mengijinkannya, atau para orang asing tersebut kebanyakan memilih
wanita dari karyawan perusahaan sendiri kemudian wanita tersebut diangkat
sebagai sekretaris pribadinya dan ikut mengurus perusahaannya, jadi bila orang
asing tersebut pulang ke tanah airnya hanya untuk beberapa saat, maka
sekretarisnya atau wanita yang dikontraknyalah yang mengatur dan mengurus
semua keperluan perusahaan tersebut, tidak heran kalau wanita yang dikontrak
tersebut menjadi bangga dan medapatkan keuntungan finansial yang signifikan
karena ikut serta mengendalikan perusahaan.
Dari rasa bangga tersebut dapat dilihat bahwa perkawinan yang
dilaksanakan tidak didasari adanya rasa cinta dan kasih sayang antara kedua belah
pihak, melainkan sekedar upaya menghalalkan hubungan biologis dan motif
ekonomi belaka maka sirnalah arti dari kesakralan pernikahan. Pelaku kawin
kontrak di daerah ini pada umumnya berasal dari keluarga ekonomi menengah ke

Pelaksanaan kawin...,Sendy Yudawan,FHUI,2011

46

bawah dengan tingkat pendidikan orang tuanya yang rendah pula, beban ekonomi
keluarganya banyak, dengan tingkat pendidikan yang rendah ataupun janda usia
muda. Kasus-kasus kawin kontrak yang terjadi di desa Bandengan, kabupaten
Jepara adalah:

a).Kasus pertama, kawin kontrak yang dilakukan oleh Indah (nama samaran), 29
tahun, dengan Abdullah (nama samaran), 45 tahun, warga negara asing keturunan
arab berkebangsaan Australia. Proses perkenalan mereka dimulai ketika Indah
bekerja di perusahaan milik Abdullah sebagai buruh amplas. Karena kemampuan
berbahasa inggrisnya yang bagus, Abdullah tertarik dengan Indah. Dari sinilah
proses perkenalan mereka dimulai, sampai akhirnya mereka sepakat melakukan
kawin kontrak pada tahun 1997, kira-kira proses perkenalan sampai mereka
menikah adalah 3 bulan. Proses perkawinan mereka dilakukan secara agama
Islam. Selama melangsungkan perkawinan dibuat kesepakatan berupa perjanjian
atau kontrak, yang dimana berdasarkan pada wawancara tanggal 4 Mei 2011, isi
dari perjanjian tersebut adalah29:

1. Mereka sepakat untuk hidup sebagai suami istri layaknya dalam


perkawinan biasa. Jangka waktu perkawinan adalah 5 tahun (1997- 2002),
apabila setelah 5 tahun dirasakan ada kecocokan maka perkawinan
dilanjutkan kembali sampai keduanya merasa bosan atau tidak cocok lagi.

2. Selama kawin kontrak Indah harus tinggal bersama Abdullah.

3. Selama kawin kontrak berlangsung Indah tidak boleh mempunyai anak,


jika Indah sampai hamil maka kesepakatan kawin kontrak mereka
berakhir.

4. Apabila sebelum jangka perkawinan berakhir, Indah meninggalkan


Abdullah, maka Indah tidak berhak mendapatkan membawa harta apapun
yang sudah diberikan Abdullah kepadanya.

29

HasilwawancaradenganIndah(namasamaran)pelakukawinkontrak,tanggal4Mei2011.

Pelaksanaan kawin...,Sendy Yudawan,FHUI,2011

47

5. Setiap bulannya Abdullah akan memenuhi semua kebutuhan ekonomi


Indah. Setiap bulannya Indah mendapatkan jatah uang bulanan yang
jumlahnya tidak tetap tergantung pemberian Abdullah.

Pada awalnya kehidupan Indah dan Abdullah berlangsung bahagia,


terutama bagi Indah karena setiap bulannya kehidupan ekonominya tercukupi.
Namun pada tahun-tahun terakhir Indah merasa tertekan karena selama
perkawinan Abdullah tetap menginginkan adanya hubungan profesional diantara
mereka, jadi Indah tetap bekerja sebagai buruh di perusahaan milik Abdullah.
Padahal sebagai istri, walaupun hanya sebagai istri kontrakan, Indah
mengharapkan statusnya akan menjadi lebih baik tidak menjadi buruh lagi. Selain
itu selama perkawinan Indah dilarang terlalu sering berinteraksi dengan
keluarganya,

sehingga

Indah

jarang

mengunjungi

keluarganya,

apalagi

memberikan uang, karena Abdullah sangat mengawasi keuangan Indah. Jadi


walaupun sekarang kehidupan Indah berlebihan uang tetapi dia tidak bisa
membantu keluarganya. Hubungan Indah dengan keluarganya menjadi renggang.
Keadaan ini menyebabkan Indah merasa tertekan, dan berpikir percuma dia
melakukan kawin kontrak jika tidak bisa membantu keluarganya. Perbedaan
pendapat juga sering terjadi antara mereka, hal ini dikarenakan perbedaanperbedaan pemikiran akibat perbedaan kebudayaan diantara mereka. Keadaan
tersebut semakin membuat Indah tersiksa, dan merasakan tidak ada keuntungan
dan kebahagiaan yang diperoleh dari kawin kontrak yang dia jalani. Pada akhirnya
sebelum masa kawin kontraknya berakhir Indah meninggalkan Abdullah dan
kembali kepada orang tua dan keluarganya. Padahal sesuai dengan kesepakatan
apabila Indah meninggalkan Abdullah maka dia tidak berhak atas harta yang
diberikan Abdullah selama masa perkawinan. Setelah memutuskan mengakhiri
perkawinannya, Indah kembali ke keluarganya, namun karena malu dengan
masyarakat yang mengetahui ia kawin dengan orang asing tapi tidak punya apaapa, akhirnya Indah memutuskan untuk bekerja ke Jakarta.

Pelaksanaan kawin...,Sendy Yudawan,FHUI,2011

48

b).Kasus kedua, kawin kontrak yang dilakukan oleh Dewi (nama samaran), 30
tahun, dengan Arsene (nama samaran), 50 tahun, warga negara asing
berkebangsaan Perancis. Dewi dan Arsene pertama kali bertemu pada tahun 2000.
Dewi yang waktu itu bekerja di perusahaan dealer mobil di Jepara. Setiap harinya
bersama kedua temannya naik angkutan umum untuk sampai ke tempat kerjanya.
Sedang Arsene yang saat itu belum memiliki usaha mebel sendiri, bertempat
tinggal di Kudus dan sering melewati jalan raya di depan rumah Dewi. Pada suatu
hari Arsene mengajak Dewi dan kedua temannya untuk berangkat ketempat
kerjanya bersama-sama. Akhirnya setiap hari Dewi selalu berangkat ke Jepara
bersama Arsene. Bermula dari pertemuan yang tidak disengaja tersebut, timbul
rasa ketertarikan diantara mereka. Hubungan mereka pun terus berlanjut, sampai
akhirnya mereka memutuskan untuk melakukan kawin kontrak pada akhir tahun
2000. Setelah sepakat untuk melakukan kawin kontrak, mereka kemudian hidup
bersama layaknya suami istri yang terikat perkawinan. Mereka tidak melakukan
perkawinan resmi maupun perkawinan secara agama, karena banyak perbedaan
diantara mereka. Diantaranya adalah perbedaan agama dan perbedaan
kewarganegaraan sehingga sulit untuk kawin secara resmi atau kawin secara
agama Islam. Akhirnya mereka hanya hidup bersama layaknya suami istri namun
tanpa ikatan perkawinan, dimana yang mengikat mereka adalah sebuah kontrak
atau perjanjian yang dimana berdasarkan wawancara pada tanggal 5 Mei 2011, isi
dari perjanjian isi perjanjian tersebut adalah30:

1. Dewi dan Arsene hidup bersama sebagai suami istri. Perkawinan mereka
berjangka waktu dua tahun. Apabila usaha mebel yang sedang dibangun
Arsene berhasil maka kawin kontrak yang mereka akan diperpanjang,
namun apabila usaha mebel yang dibangun Arsene tidak berhasil maka
perkawinan mereka berakhir dalam jangka waktu dua tahun.

2. Semua kekayaan Arsene yang berupa perusahaan, rumah , tanah diatas


namakan Dewi, tetapi Indah tidak boleh memiliki dan menjual harta
Arsene.

30

HasilwawancaradenganDewi(namasamaran)pelakukawinkontrak,Tanggal5Mei2011.

Pelaksanaan kawin...,Sendy Yudawan,FHUI,2011

49

3. Selama dua tahun Dewi tidak boleh memiliki anak.

4. Setiap bulannya Dewi mendapat imbalan Rp. 2.000.000,-.

Setelah dua tahun, usaha mebel yang dijalankan Arsene mengalami


perkembangan yang sangat pesat. Karena usaha mebel Arsene berhasil maka
kawin kontrak mereka akhirnya diperpanjang. Untuk menutupi perkawinan
mereka yang hanya kawin kontrak Indah menginginkan mereka agar bisa menikah
secara resmi. Arsene tidak bersedia menikah secara resmi karena apabila jangka
waktu perkawinan berakhir proses untuk berpisah sulit. Akhirnya mereka sepakat
untuk menikah secara agama Islam. Sebelum menikah mereka membuat
perjanjian baru, dimana perjanjian tersebut dijadikan pedoman dalam menjalankan
rumah tangga mereka. Berdasarkan wawancara pada tanggal 5 Mei 2011, Indah
menjelaskan isi perjanjian baru tersebut adalah:

1. Dewi dan Arsene sepakat untuk hidup bersama sebagai suami istri. Jangka
waktu perkawinan mereka tidak lagi ditentukan berdasarkan tahun, tapi
didasarkan pada usaha mebel yang dijalankan Arsene, apabila usaha mebel
yang dijalankan Arsene bankrut maka perkawinan mereka pun usai dan
Arsene kembali ke negaranya.

2. Karena Arsene memiliki keluarga di Perancis, pada usia 65 tahun dia ingin
kembali kenegaranya dan berkumpul bersama anak, isteri dan kedua orang
tuanya di Perancis. Maka sebanyak 60% harta kekayaan Arsene akan
dibawa pulang kenegaranya, dan 40% nya akan diberikan pada Dewi dan
anaknya.

3. Setiap bulannya Dewi memperoleh uang bulanan sebesar Rp. 3.000.000,-.


Karena usaha mebel yang dimiliki Arsene diatasnamakan Dewi, maka
Dewi berhak memperoleh 10% dari laba perusahaan.

Pelaksanaan kawin...,Sendy Yudawan,FHUI,2011

50

4. Dewi boleh mempunyai anak dari Arsene, tetapi selanjutnya apabila


perkawinan mereka berakhir anak tersebut menjadi tanggungan Dewi.
Kawin kontrak antara Dewi dan Arsene masih berlangsung sampai
sekarang. Nasib Dewi mungkin lebih beruntung daripada Dewi, karena
mendapatkan suami yang baik. Arsene tidak mengijinkan Dewi untuk ikut
bekerja di perusahaan mebel miliknya, namun menyuruh Dewi untuk lebih
berkonsentrasi mengurus rumah tangga dan putra mereka yang sekarang
berusia dua tahun. Arsene tidak pernah mencampuri urusan Dewi dalam
mengatur keuangannya. Dewi bebas menggunakan uangnya untuk
kepentingan pribadinya atau keluarganya. Banyaknya keuntungan yang
diperoleh Dewi karena melakukan kawin kontrak menyebabkan dia tidak
menyesal melakukan kawin kontrak.

c) Kasus ketiga adalah yang dialami Lastri, ia melakukan kawin kontrak dengan
orang asing berkewaraganegaraan Korea bernama Han, disamping ia sebagai istri
kontraknya, ia juga bekerja di perusahaan Han sebagai sekretarisnya, walaupun ia
sebagai sekretarisnya ia juga harus menanda tangani isi dari surat perjanjian yang
dibuat oleh Han, berdasarkan wawancara pada tanggal 6 Mei 2011, isi dari surat
perjanjian tersebut antara lain31:

1. Uang kontrak akan diberikan untuk tiap bulannya sebesar sepuluh juta
Rupiah dan untuk keluarganya sebesar lima ratus ribu Rupiah;

2. Tidak boleh keluar dari rumah selain pergi ke kantor dan pulang dari
kantor harus selalu bersam-sama dengan suami;

3. Boleh keluar rumah ataupun pergi harus bersama-sama dengan suami;

4. Tidak boleh berkali-kali meminta ijin untuk pulang ke rumah orang tuanya
ataupun

keluarganya

hanya

ingin

menengoknya,

membicarakan hal-hal yang tidak penting;

31

HasilwawancaradenganLastripelakukawinkontrak,tanggal6Mei2011.

Pelaksanaan kawin...,Sendy Yudawan,FHUI,2011

ataupun

untuk

51

5. Tidak boleh menerima tamu, baik itu tamu keluarga sendiri, teman atau
tamu lain, tetapi boleh terima tamu atas ijin terlebih dahulu dari suami,
boleh atau tidaknya tamu tersebut ditemui dan tidak boleh berbicara
dengan tamu atau orang lain lebih dari setengah jam;

6. Tidak boleh memakai jilbab, tetapi boleh beribadah menurut agamanya;

7. Tidak boleh bermake-up, termasuk pakai bedak tidak boleh, baik di rumah
maupun pergi bersama suami;

8. Tidak boleh pergi sendiri atau dengan keluarga atau dengan orang tua atau
dengan teman, tanpa terkecuali harus dengan suami;

9. Tidak boleh terlalu banyak bertanya tentang urusan pribadi suami ataupun
hal-hal di luar pekerjaan kantor;

10. Diupayakan sedapat mungkin tidak boleh hamil, karena akan mengganggu
perkerjaan;

11. Tidak boleh membantah apa yang menjadi keputusan suami, kecuali bila
diminta pendapatnya;

12. Tidak boleh banyak bicara dengan pelayan yang ada di rumah ;

13. Tidak boleh membuka-buka tas ataupun almari milik suami;

14. Tidak boleh meminta uang tambahan apapun di luar uang kontrak atau
keperluan kantor.

Menurut Lastri, isi perjanjian tersebut tidak begitu memberatkan,


walaupun ia tidak boleh bertemu dengan orang tuanya maupun keluarganya, tetapi

Pelaksanaan kawin...,Sendy Yudawan,FHUI,2011

52

dia masih bisa ketemu dengan adiknya dan mendengar kabar tentang orang tuanya
dari adiknya juga, karena adiknya dipekerjakan juga pada perusahaan milik Mister
Han tersebut, walaupun demikian ia tidak boleh banyak bicara dengan
adiknya.32Isi perjanjian tersebut mengikat dan memaksa pihak wanita, kalau kita
lihat dan kita kaji isi perjanjian tersebut tidak berperi kemanusiaan, karena
membatasi ruang gerak sebagai manusia sebagai mahkluk sosial yang harus
bersosialisasi dengan masyarakat sekitar bahkan keluarganya sendiri. Perjanjian
ini telah melanggar hak azazi sebagai manusia, apalagi adanya larangan untuk
hamil, sedangkan hamil merupakan kehendak Allah s.w.t. kita sebagai manusia
biasa tidak akan pernah tahu bisa hamil atau tidak, sedangkan kehamilan adalah
karunia dari Allah s.w.t, larangan ini dapat dikatakan sebagai manusia yang tidak
berperi kemanusiaan, maka akan timbul pertanyaan juga Bagaimana jika
terlanjur hamil?. Lastri sendiri sebagai pelaku kawin kontrak tidak dapat
menjawab pertanyan tersebut, karena selama ini ia baik-baik saja dan belum
pernah hamil, karena sebelumnya ia telah mengantipasi kehamilannya dengan ikut
KB. Isi perjanjian tersebut untuk masyarakat sekitar desa Bandengan, bahkan
masyarakat Jepara sudah tidak asing lagi, masyarakat desa Bandengan sudah
maklum dan paham terhadap isi perjanjian tersebut, mereka menganggap lumrah
karena, wanita tersebut telah dikontrak dan dibayar mahal oleh karenanya wajar
saja kalau pengontrak membatasi ruang gerak wanita yang dikontraknya,
walaupun demikian tidak ada orang yang berani menentangnya, karena kedua
belah pihak telah sepakat dan mereka saling membutuhkan sehingga tidak
keberatan untuk melakukan perjanjian tersebut

3.3.

Pelaksanaan

Perjanjian

Kawin

Kontrak

Terhadap

Asas-asas

Perkawinan

Dalam kaitannya dengan pelaksanaan perkawinan menurut UndangUndang nomor 1 Tahun 1974, terdapat asas-asas yang menjadi pedoman bagi
pelaksanaan perkawinan bagi seluruh rakyat Indonesia, yang mana dijelaskan di
dalam penjelasan Undang-Undang nomor 1 Tahun 1974, bahwa :

32

HasilwawancaradenganLastri,Jepara,6Mei2011.

Pelaksanaan kawin...,Sendy Yudawan,FHUI,2011

53

a. Tujuan perkawinan adalah membentuk keluarga yang bahagia dan saling


melengkapi agar masing-masing dapat mengembangkan kepribadiannya dalam
rangka mencapai kebahagiaan spiritual. Dalam asas ini diharapkan agar dalam
rumah tangga untuk saling melengkapi, sedangkan dalam kawin kontrak sesuai
dalam isi perjanjian kawin kontrak yang telah disepakati, bahwa yang dominan
menentukan segalanya dalam kehidupan bersama adalah pihak pengontrak yaitu
pihak suami, sedangkan pihak yang dikontrak tidak boleh ataupun tidak
mempunyai kesempatan untuk melakukannya, menentukan maupun mengatur
dalam kehidupan rumah tangganya tentunya selama perkawinan berlangsung, jadi
dalam perkawinan kontrak tidak dibutuhkan adanya kebersamaan yang saling
melengkapi, kebahagiaan hanya didominir oleh pihak pengontrak dalam hal ini
oleh suami saja.

b. Dalam undang-undang ini dinyatakan bahwa, suatu perkawinan adalah sah


bilamana

dilakukan

menurut

hukum

masing-masing

agamanya

dan

kepercayaannya, disamping itu tiap-tiap perkawinan harus dicatat menurut


perundang-undangan yang berlaku. Pencatatan tiap-tiap perkawinan sama dengan
pencatatan penting dalam kehidupan seseorang, seperti halnya kelahiran dan
kematian atau suatu akta resmi yang dimuat dalam daftar pencatatan.33
Pelaksanaan kawin kontrak yang berlangsung di desa Bandengan-Jepara oleh para
pelakunya dianggap telah sesuai dengan rukunnya dari ajaran agamanya, akan
tetapi untuk perkawinan kontrak ini tidak dapat dicatat menurut perundangundangan yang berlaku, karena di dalam kawin kontrak terdapat ketentuan
lamanya waktu perkawinan berlangsung, dan tentunya adanya persyaratan tertentu
bagi warga negara asing, diantaranya surat persetujuan dari kedutaan, sebagian
besar pelaku kawin kontrak tidak dapat memenuhi persyaratan tersebut, oleh
karenanya perkawinan dianggap tidak sah, karena tidak sesuai dengan asas
perkawinan dalam perundang-undangan yang berlaku.

33

ZahryAhmid,op.cithlm159.

Pelaksanaan kawin...,Sendy Yudawan,FHUI,2011

54

c. Undang-undang ini mencatat asas monogami, hanya apabila dikehendaki oleh


yang bersangkutan karena hukum atau agama mengijinkannya seorang suami
dapat beristri lebih dari seorang, meskipun hal itu dilakukan dengan pemenuhan
berbagai persyaratan tertentu dan diputuskan oleh pengadilan.34 Sedangkan dalam
perkawinan kontrak suami dapat melakukan perkawinan lebih dari satu kali tanpa
mendapatkan atau tanpa ijin dari istri yang pertama terlebih dahulu, karena dalam
kawin kotrak ini semua tergantung dari materi, semakin besar jumlah materinya
maka kesempatan memperoleh istri semakin banyak pula, karena tinggal memilih
wanita mana yang akan dikawin kontrak.

d. Undang-undang ini menganut prinsip bahwa, calon suami-istri itu harus


matang jiwa raganya untuk dapat melangsungkan perkawinan agar dapat
mewujudkan tujuan perkawinan secara baik tanpa berakhir dengan perceraian dan
mendapatkan keturunan yang baik dan sehat, untuk itu harus dicegah adanya
perkawinan antara calon suami-istri yang masih di bawah umur. Perkawinan erat
dengan masalah kependudukan, maka bila batas umur yang lebih muda, bagi
seorang wanita untuk melakukan perkawinan akan berakibat laju angka kelahiran
yang tinggi, jika dibandingkan dengan batas umur yang telah cukup untuk
melakukan perkawinan.35 Oleh karenanya undang-undang menentukan batas umur
untuk melangsungkan perkawinan, yaitu usia 19 tahun bagi laki-laki dan 16 tahun
bagi wanita. Dalam kawin kontrak memang pengontrak selalu memilih wanita
yang sudah dewasa, yang telah matang dalam melakukan kehidupan berumah
tangga, seperti halnya yang ditetapkan batas usia perkawinan bagi wanita sesuai
yang tertera dalam asasnya perkawinan, akan tetapi dalam kawin kontrak maksud
dewasa bukan dewasa dalam mengatur kehidupan berumah tangga maupun
pengaruhnya terhadap laju kependudukan, tetapi dewasa untuk bisa memenuhi
kebutuhan biologisnya, dan untuk laju kependudukan tidak berarti bagi kawin
kontrak karena dalam isi surat perjanjian kawin kontrak biasanya mencantumkan
adanya kesepakatan untuk tidak boleh hamil sehingga melanggar hak pasangan
untuk mendapatkan keturunan.

34
35

Ibid.,hlm161.
Ibid.,hlm164.

Pelaksanaan kawin...,Sendy Yudawan,FHUI,2011

55

e. Tujuan perkawinan untuk membentuk keluarga yang bahagia, kekal dan


sejahtera, maka undang-undang ini menganut prinsip untuk mempersulit
terjadinya perceraian, untuk memungkinkan perceraian harus ada alasan-alasan
tertentu serta harus dilakukan di muka sidang pengadilan. Pada asas perkawinan
ini jelas berbeda dengan maksud dan tujuan daripada perkawinan kontrak, dalam
kawin kontrak tidak ada unsur kekekalan, karena perkawinan dibatasi oleh waktu
tertentu, jadi perkawinan akan berakhir dengan sendirinya tanpa harus ada
perceraian.

f. Hak dan kedudukan istri seimbang dengan hak dan kedudukan suami, baik
dalam kehidupan maupun dalam pergaulan masyarakat, sehingga dengan
demikian segala sesuatu dalam keluarga dapat dirundingkan dan diputuskan
bersama oleh suami-istri Untuk hak maupun kedudukan antara suami dengan istri
dalam perkawinan kontrak jelas tidak ada keseimbangan karena semua diatur dan
ditentukan oleh suami, yang telah mengontraknya dengan bayaran yang tinggi,
seolah-olah hampir sama kedudukannya antara buruh dengan majikan.

Walaupun sudah ada enam asas-asas perkawinan yang ada dalam


perundangundangan di Indonesia, tetapi perkawinan kontrak banyak terjadi di
Indonesia, asas-asas perkawinan tersebut tidak dapat diterapkan di dalam
pelaksanaan kawin kontrak di Indonesia, karena tidak sesuai dengan isi perjanjian
dalam kawin kontrak, yang hanya untuk mencari kesenangan, kebahagiaan dan
kekayaan saja dengan batas waktu tertentu lamanya perkawinan berlangsung.

3.4. Bentuk Perlindungan Hukum Bagi Pelaku Kawin Kontrak

Kawin kontrak di Indonesia secara kwantitatif sulit untuk didata, karena


perkawinan kontrak itu dilaksanakan selain tidak tercatat, secara yuridis formal
memang tidak diatur dalam peraturan apapun, sehingga dapat dikatakan bahwa
perkawinan kontrak di Indonesia tidak diakui dan tidak berlaku hukum yang ada
saat ini. Dengan memperhatikan kenyataan semakin maraknya perkawinan

Pelaksanaan kawin...,Sendy Yudawan,FHUI,2011

56

kontrak tersebut, apakah hukum perkawinan di Indonesia harus tetap tinggal diam
dan membiarkan praktek perkawinan kontrak itu tetap jalan terus, dan tidak perlu
di akomodir dalam hukum/ undang undang perkawinan yang ada. Atau apakah
jawabannya hanya mencukupkan dengan fatwa Majelis Ulama Indonesia, yang
menyatakan bahwa hukum nikah mutah adalah haram dan di Indonesia dilarang,
padahal larangan nikah mutah itu sendiri tidak terdapat satu pasal pun diatur
dalam aturan perundang-undangan di Indonesia, disatu sisi, sedangkan disisi lain,
sifat dari fatwa MUI itu sendiri tidak mengikat dan atau tidak mempunyai
kekuatan hukum sebagaimana hukum positif, karena ia hanya bersifat normatif,
sehingga tidak dapat dijadikan dasar bagi penegak hukum untuk menjaring pelaku
praktek kawin kontrak tersebut. Meskipun Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974
tentang Perkawinan tidak mengakui adanya kawin kontrak, namun masalahnya
selama ini tidak dapat diterapkan larangan kawin kontrak karena kewenangan
untuk menjatuhkan sanksi bukan wewenang pengadilan agama.
Dalam menyikapi hal tersebut diatas, paling tidak ada dua opsi yang perlu
dipertimbangkan untuk dapat dirumuskan agar masuk dalam UU No. 1 Tahun
1974 tentang perkawinan di Indonesia. Apabila perkawinan kontrak memang
terpaksa harus dilegalkan di Indonesia, maka ada dua kemungkinan dapat
ditempuh, yaitu: Bila perkawinan kontrak/nikah mutah antara sesama warga
negara Indonesia atau warga negara asing , maka disamping berlaku hukum
seperti disebut dalam pasal 6 dan pasal 7 UU No.1 Tahun 1974, pasal tersebut
perlu ditambah sebagai pasal tersendiri, disisipkan katakanlah dengan pasal 7a
yang bunyinya memuat persyaratan yang ketat, situasi darurat dan atau keadaan
yang memaksa, dan harus atas izin pengadilan. Yang kedua, juga diatur dalam
pasal tersendiri yang memuat sanksi hukum terhadap pelanggaran dari aturan
tersebut. Hukuman yang dapat dimuat dalam UU Perkawinan berupa denda
dengan disertai kewajiban pembayaran restitusi dari pelaku kepada istri/istri-istri
dan anak-anak yang dirugikan, dan pelaku kawin kontrak harus mencatatkan
perkawinannya dihadapan pejabat pencatat pernikahan, apabila tidak dilakukan
maka akan diberikan sanksi berupa kurungan badan sebagai unsur pemaksa.
Untuk melindungi kaum wanita dan anak-anak, kiranya isi perjanjiannya
harus dirubah. Kiranya, ikatan perjanjian kawin kontrak yang dapat di izinkan

Pelaksanaan kawin...,Sendy Yudawan,FHUI,2011

57

oleh pengadilan harus memuat hal-hal yang harus dipatuhi oleh pelaku kawin
kontrak yaitu:

1. Anak yang dilahirkan dari hasil perkawinan kontrak juga menjadi


tanggung jawab suami dan mempunyai garis keturunan kepada
pihak ayah serta wajib diakui sebagai anak yang sah;

2. Anak memiliki hak waris dari pihak ayah dan pihak ibu;

3. Suami berkewajiban memberikan nafkah kepada isterinya, dan


apabila perkawinan kontrak itu berakhir, pihak suami berkewajiban
untuk memberikan tunjangan kepada istri dan anak yang
besarannya dapat ditentukan dalam isi kontrak atau atas penetapan
pengadilan;

4. Pihak suami harus memberikan uang jaminan yang nilainya


ditentukan oleh pengadilan sebagai jaminan kepada pihak istri
bahwa suami akan melaksanakan isi dalam kontrak dan apabila
terjadi pelanggaran maka uang jaminan tersebut menjadi milik istri
sebagai restitusi dari pihak suami. Uang jaminan tersebut disimpan
di Bank Syariah yang dapat dicairkan atas perintah pengadilan.

5. Kewajiban pihak istri didalam perjanjian kawin kontrak tersebut


tidak boleh melanggar hak asasi manusia.

Hal lain yang dapat ditempuh untuk menjerat pelaku kawin kontrak adalah
dengan menjerat pada Pasal 304 KUHP Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
(KUHP), karena akibat kawin kontrak rentan terjadinya perlakuan orang tua,
suami, atau isteri yang melakukan tindak pidana berupa penelantaran rumah
tangga, baik secara ekonomi maupun secara kejiwaan dalam menjalankan
kehidupan rumah tangga. Sebagaimana telah ditentukan dalam Pasal 304 KUHP,
bahwa:

Pelaksanaan kawin...,Sendy Yudawan,FHUI,2011

58

Barangsiapa dengan sengaja menempatkan atau membiarkan seorang


dalam keadaan sengsara, padahal menurut hukum yang berlaku baginya
atau karena persetujuan dia wajib memberi kehidupan, perawatan atau
pemeliharaan kepada orang itu, diancam pidana paling lama dua tahun
delapan bulan atau pidana paling banyak empat ribu lima ratus rupiah.

Berdasarkan isi pasal tersebut diatas, bagi pelaku kawin kontrak yang
membiarkan anaknya atau isteri/suaminya dalam keadaan sengsara dimana
seharusnya memberikan biaya kehidupan kepada anak-anak atau isterinya dengan
sengaja dapat dipidana. Contoh unsur kesengajaan penelentaran keluarga oleh
pelaku kawin kontrak dapat terlihat dari dibuatnya perjanjian dalam kontrak yang
mengatur dilepasnya tanggung jawab sebagai orang tua dari anak yang dilahirkan
dalam perkawinan tersebut yang juga sekaligus mengakhiri perkawinan tersebut.

3.5. Upaya Hukum Oleh Pihak Yang Berwenang Untuk Mencegah


Terjadinya Kawin Kontrak

Ketiadaan aturan hukum yang mengatur mengenai kawin kontrak dengan


segala akibatnya menyebabkan beberapa pihak mendesak agar dilakukannya
pembaharuan dalam hukum perkawinan. Banyak warga negara asing yang
biasanya merupakan pelaku praktik kawin kontrak dijerat dengan peraturan soal
keimigrasian. Namun itu untuk warga negara asing, bagaimana dengan warga
lokal, karena pelaku praktik ini tidak selalu dilakukan oleh warga negara asing.
Seiring dengan dilakukannya upaya hukum untuk mencegah kawin kontrak, saat
ini pemerintah telah membuat Rancangan Undang-Undang (RUU) Hukum
Materiil Peradilan Agama tentang Perkawinan yang telah masuk dalam program
legislasi nasional 2010, di dalam situs DPR, dpr.go.id, RUU itu tercatat dalam
daftar prolegnas nomor 56. RUU yang diprakarsai oleh Departemen Agama RI
sejak beberapa tahun ini, terbagi atas 24 Bab dengan 156 Pasal mengatur nikah
siri, poligami, dan kawin kontrak. RUU ini menuai kontroversi dari berbagai
kalangan karena negara dinilai menerobos batas syariah Islam dan hukum formal

Pelaksanaan kawin...,Sendy Yudawan,FHUI,2011

59

demi membela hak perempuan sehingga salah satu bentuk kontra yaitu dibuatnya
Counter Legal Draft Kompilasi Hukum Islam. Namun di satu sisi, RUU Hukum
Materiil Peradilan Agama tentang Perkawinan sangat diperlukan untuk
memperketat tentang pernikahan terutama untuk kawin kontrak, kawin siri dan
poligami yang bertujuan untuk menekan angka perceraian, melindungi hak-hak
wanita, dan melindungi hak anak untuk mendapatkan surat lahir dan hak waris.
Hal ini menjadi upaya hukum yang dinilai tepat karena melihat urgensi
permasalahan perkawinan di Indonesia, seperti tercatat oleh kementerian Agama
bahwa pada tahun 2010 tercatat 48 persen dari 80 juta anak di Indonesia lahir dari
proses perkawinan yang tidak tercatat. Artinya, 35 juta anak di Indonesia sulit
mendapatkan surat lahir, kartu tanda penduduk,hak-hak hukum seperti hak waris,
dan sebagainya.36 Selain itu, dari dua juta perkawinan per tahun, terdapat 200 ribu
perceraian.37
Selain itu, kelahiran RUU tersebut didasarkan atas inisiatif pemerintah
untuk menaikkan status Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 tentang
Kompilasi Hukum Islam (KHI) menjadi Undang-Undang. Inisiatif tersebut dilatar
belakangi absennya Instruksi Presiden dalam hierarki Peraturan Perundangundangan di Indonesia, sebagaimana diatur dalam Pasal 7 UU Nomor 10 Tahun
2004 tentang Peraturan Pembentukan Perundang-undangan. Karena KHI menjadi
acuan para Hakim Peradilan Agama ketika akan memutus perkara yang berkaitan
dengan perkawinan, kewarisan, dan perwakafan yang melibatkan umat muslim.
Hingga tak heran bila akan banyak Pasal dan Bab dalam RUU sebagai
penyempurnaan dari Kompilasi Hukum Islam.38
RUU ini mengatur tentang perkawinan siri, perkawinan kontrak, dan
poligami. Pro dan kontra pun bergulir diantara masyarakat dan para ulama,
pasalnya dalam RUU tersebut nyata-nyata terkandung klausul pemidanaan
(kriminalisasi) dalam bidang perkawinan. Berdasarkan draft RUU Hukum
Peradilan Agama Bidang Perkawinan dikelompokkan pasal-pasal pidana di RUU
tersebut dalam dua bagian. Yakni, kelompok tindak pidana pelanggaran dan
tindak pidana kejahatan. Menurut RUU tersebut, kategori pelanggaran meliputi

36

www.hariansumutpos.com/arsip/?p=33012,Juni2011
www.hariansumutpos.com/arsip/?p=33012,Juni2011
38
www.tempointeraktif.com/hg/.../brk,2004110907,id.html,Juni2011
37

Pelaksanaan kawin...,Sendy Yudawan,FHUI,2011

60

pasal 143, 145, 146, dan 148 dan kategori kejahatan meliputi pasal 144, 147, 149,
dan 150. Meski sama-sama pelanggaran hukum pidana, dalam praktik pengadilan
pemidanaan akan berbeda. Pidana untuk kategori kejahatan tentu akan lebih berat
daripada kategori pelanggaran. Sebagai contoh, sanksi pidana untuk orang yang
melakukan kawin kontrak lebih berat jika dibandingkan dengan sanksi pidana
untuk nikah siri. Sebab, nikah siri sekadar pelanggaran karena tak mau
mencatatkan perkawinan ke Tata Usaha Negara. Sedangkan kawin kontrak punya
maksud memenuhi kebutuhan ekonomi dan biologis dalam jangka waktu tertentu
tanpa bertanggung jawab. Karena itu, perkawinan kontrak digolongkan oleh
pembentuk undang-undang sebagai kejahatan terencana sebagaimana tersirat di
dalam Pasal 151.
Sanksi juga berlaku bagi pihak yang mengawinkan secara nikah siri,
poligami, maupun kawin kontrak dimana setiap penghulu atau pejabat pencatat
nikah yang menikahkan seseorang yang bermasalah, misalnya masih terikat dalam
perkawinan sebelumnya, atau pegawai kantor urusan agama yang menikahkan
mempelai melanggar persyaratan juga diancam denda Rp. 12.000.000,- (dua belas
juta Rupiah) dan sanksi pidana paling lama 1 tahun penjara sebagaimana ternyata
di dalam pasal 148. Beberapa pasal krusial antara lain pasal 143 yang menyatakan
bahwa setiap orang yang dengan sengaja melangsungkan perkawinan tidak di
hadapan pejabat pencatat nikah akan dipidana dengan ancaman hukuman denda
mulai Rp. 6.000.000,- (enam juta Rupiah) dan hukuma kurungan paling lama 6
bulan. Mencatatkan perkawinan dalam tata usaha negara memang tidak
diwajibkan dalam syariat agama. Namun, syariat mewajibkan setiap orang tua
melindungi hak-hak keturunannya. Karena itu, menurut tafsirnya, setiap orang tua
wajib mencatatkan perkawinan agar seluruh hak anaknya terpenuhi. RUU ini
berpendapat bahwa perkawinan yang sah adalah perkawinan yang dilaksanakan
menurut agama dan dicatatkan dihadapan pejabat pencatat nikah, dimana dua
peristiwa tersebut menunjukkan kualifikasi yang sederajat antara pernikahan yang
dilakukan menurut agama dengan pencatatan, sehingga yang satu dapat
menganulir yang lain, akibatnya perbuatan hukum yang sah yaitu perkawinan,
wajib dicatatkan sebagai dasar hukum, sehingga akibat hukum dari perkawinan
tersebut juga menjadi sah dimana hubungan keperdataan antara suami, isteri dan

Pelaksanaan kawin...,Sendy Yudawan,FHUI,2011

61

anak-anak yang dilahirkan menjadi mengikat dimata hukum. Namun dalam pasal
143, perlu dilakukannya pembatasan dalam unsur dengan sengaja untuk
menghindari tidak terjadinya kesewenang-wenangan terhadap semua perkawinan
yang tidak dicatat agar tidak dikategorikan sebagai perbuatan pidana. Oleh karena
itu, hendaknya diperlukan penjelasan lebih lanjut mengenai unsur dengan
sengaja yaitu setiap orang yang dengan sengaja melangsungkan perkawinan
tidak dihadapan Pejabat Pencatat Nikah dengan tujuan untuk menyembunyikan
perkawinan agar tidak diketahui oleh orang lain atau orang tertentu/masyarakat.39
RUU tersebut tak hanya menjadi ancaman bagi mereka yang melakukan
pernikahan siri, tapi juga pelaku kawin mut'ah atau kawin kontrak. Pasal 144
menjelaskan, setiap orang yang melakukan perkawinan mut'ah dihukum selamalamanya tiga tahun penjara dan perkawinannya batal demi hukum. Namun pasal
144 kiranya akan menuai resistensi dari masyarakat karena sifatnya yang
membatalkan perkawinan, di satu sisi menurut UU no 1 tahun 1974, perkawinan
yang sah adalah perkawinan yang dilakukan menurut hukum masing-masing
agama dan kepercayaan (pasal 2 ayat (1)). Jika dasar pemikiran dari pasal 144
RUU ini adalah untuk melindungi hak-hak istri dan anak, maka akan timbul
pertanyaan jika perkawinan justru dibatalkan, karena jelas akan menimbulkan
ketidakpastian hukum bagi istri dan anak. Memang bentuk kawin kontrak/kawin
mutah adalah penyelundupan hukum baik hukum agama dan masyarakat, namun
keberadaannya tak terlepas dari keadaan sosiologis masyarakat yang kondusif
bagi praktek-praktek seperti itu sehingga perlu pemikiran lebih jauh untuk
melindungi para korban kawin kontrak terutama anak-anak yang dilahirkan di
dalam perkawinan tersebut. RUU itu juga akan mengatur perkawinan campur
antara mempelai yang berbeda kewarganegaraan yang dimana diatur di pasal 142
ayat 3 dalam RUU, disebutkan bahwa calon suami yang berkewarganegaraan
asing harus membayar uang jaminan kepada calon istri melalui bank syariah Rp
500.000.000,- (lima ratus juta Rupiah). Pada pasal 184 yaitu pasal yang
memberikan wewenang kepada penegak hukum yaitu kepolisian dan kejaksaan
untuk menyelidiki, menyidik dan menangkap pelaku kawin kontrak dimana dalam

39

NengDjubaidah,SH.,MH,PencatatanPerkawinandanPerkawinanTidakDicatat:Menurut
HukumTertulisdiIndonesiadanHukumIslam,(Jakarta:SinarGrafika,2010),hlm271.

Pelaksanaan kawin...,Sendy Yudawan,FHUI,2011

62

pasal tersebut, kejaksaan dan kepolisian menyelidiki dan menyidik setelah


menerima laporan masyarakat. Namun hendaknya perlu dibatasi mengenai orang
yang dapat melakukan pengaduan kepada pihak yang berwenang, dimana
sebaiknya yang berhak melapor adalah istri, suami, anak-anak yang lahir dari
seluruh perkawinan bersangkutan, anggota keluarga, dan pihak lain yang
dirugikan oleh adanya perkawinan tersebut. Dalam kedudukannya, RUU Hukum
Peradilan Agama Bidang Perkawinan jika diundangkan akan lebih kuat jika
dibandingkan dengan Peraturan Pemerintah (PP) No. 9/1975 tentang Pelaksanaan
Perkawinan yang memuat 45 pasal sanksi pidana karena RUU tersebut merupakan
produk wakil rakyat. Selain UU lebih tinggi daripada PP, UU lebih kuat
memberikan sanksi. Meski RUU ini telah masuk dalam prioritas Prolegnas 2010
di DPR RI, namun pemberlakuannya sepenuhnya bergantung pada pemerintah
selaku inisiator karena merupakan inisiasi pemerintah dan pembahasannya
tentunya tergantung pada seberapa jauh pemerintah mempersiapkannya.

3.6. Hal-Hal Yang Perlu Dilakukan Oleh Notaris Dalam Menyikapi


Permintaan Pembuatan Akta Perjanjian Kawin Kontrak

Fenomena kawin kontrak terjadi hampir di setiap daerah, di Indonesia.

Padahal tujuan perkawinan menurut Pasal 1 UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang


Perkawinan adalah bahwa perkawinan bertujuan membentuk keluarga (rumah
tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.
Sedangkan menurut Pasal 3 KHI bahwa perkawinan bertujuan untuk mewujudkan
kehidupan rumah tangga yang sakinah, mawaddah, dan rahmah. Hal itu tentu
berbeda dengan tujuan kawin kontrak karena tujuan perkawinannya semata-mata
mencari kepuasan biologis bagi pihak laki-laki dan upah bagi pihak perempuan.
kawin kontrak adalah perkawinan yang dilarang tidak diakui Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Bagaimana seandainya kalau ada pihak
yang datang kepada Notaris untuk meminta dibuatkannya akta perjanjian kawin
kontrak, bagaimanakah sikap notaris dalam kaitannya dengan Undang-Undang
Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris dan Kode Etik Notaris mengenai
hal tersebut. Meskipun dalam praktiknya selama ini belum pernah ada Notaris
yang membuat akta perjanjian kawin kontrak.

Pelaksanaan kawin...,Sendy Yudawan,FHUI,2011

63

Sebelumnya, diperlukan pemahaman apakah perjanjian kawin kontrak


tersebut termasuk didalam hukum perjanjian dan apakah termasuk dalam hukum
keluarga, oleh karena itu perlu dicermati pasal-pasal dari UU No. 1 Tahun 1974
tentang perkawinan sehubungan dengan persolan kawin kontrak tersebut. Definisi
Perkawinan menurut Pasal 1 UU No. 1 Tahun 1974 :
"Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita
sebagai sumai istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang
bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan yang Maha Esa".
Dengan memahami definisi diatas bahwa perkawinan adalah ikatan lahir
dan batin; ini berarti bahwa kawin kontrak sangat bertentangan dengan makna
yang tersirat dalam Pasal diatas maka kawin kontrak ini mendasarkan pada ikatan
lahiriah saja, tidak secara batiniah, karena sesuatu perasaan seharusnya tidak dapat
dibatasi dengan waktu tertentu (yang berbentuk perjanjian atau kontrak).
Dijelaskan pula didalam penjelasan pasal 1 tersebut bahwa perkawinan memiliki
hubungan yang erat dengan agama atau kerohanian, sehingga perkawinan bukan
hanya memiliki unsur lahir atau jasmani tetapi unsur batin (rohani) memiliki
peranan penting. Memiliki keluarga yang bahagia erat kaitannya dengan
keturunan, yang juga merupakan tujuan perkawinan, pemeliharaan dan
pendidikan, menjadi hak dan kewajiban orang tua. Di dalam Bab V, Perjanjian
Perkawianan Pasal 29, ayat 2 menyatakan bahwa perjanjian tersebut tidak dapat
disahkan bilamana melanggar batas-batas hukum agama dan kesusilaan. Dari
uraian pasal-pasal diatas, jelas bahwa Undang-Undang No. 1 Tahun 1974, tidak
membenarkan adanya kawin kontrak. Ditinjau dari segi Hukum Perjanjian,
tentang syarat-syarat yang diperlukan untuk sahnya satu perjanjian Pasal 1320
KUHPerdata, mengatakan bahwa untuk sahnya suatu perjanjian diperlukan 4
syarat :
1. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya.
2. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan.
3. Suatu hal tertentu

Pelaksanaan kawin...,Sendy Yudawan,FHUI,2011

64

4. Suatu sebab yang halal.


Sedikit membahas tentang pasal 1320 KUHPerdata, ayat ke-1 dan ke-2
merupakan syarat subjektif, dalam suatu perjanjian artinya jika syarat tersebut
tidak dipenuhi mengakibatkan perjanjian menjadi batal demi hukum, kemudian
ayat ke-3 dan ke-4 disebut sebagai syarat objektif.40 Kembali ke masalah kawin
kontrak, jelas sekali bahwa syarat objektif tersebut diatas tidak dipenuhi. Sesuatu
yang dapat diperjanjikan menurut syarat objektif adalah hanya berupa barangbarang (Pasal 1332 BW) dan bukan perasaan, sebagimana dimaksudkan dalam
klausula kawin kontrak pada umumnya. Jadi, Secara Hukum kawin kontrak tidak
dapat diterima sebagai suatu perjanjian yang sah karena tidak memenuhi syarat
sahnya suatu perjanjian sehingga kawin kontrak dapat dibatalkan. Sebagai bahan
rujukan dapat dilihat dalam pasal 1337 BW yang berbunyi " Suatu sebab adalah
terlarang apabila dilarang dalam UU atau berlawanan dengan kesusilaan baik atau
ketertiban umum. Pasal 1335 KUHPerdata menyatakan bahwa suatu perjanjian
tanpa sebab, atau yang telah dibuat karena suatu sebab yang palsu atau terlarang
tidak mempunyai kekuatan hukum.
Dalam menjalankan jabatannya Notaris harus mematuhi seluruh kaedah
moral yang telah hidup dan berkembang di masyarakat. Selain dari adanya
tanggung jawab dan etika profesi, adanya integritas dan moral yang baik
merupakan persyaratan penting yang harus dimiliki oleh seorang notaris.
Dikatakan demikian karena tanggung jawab dan etika profesi mempunyai
hubungan yang erat dengan integritas dan moral. Agar dapat menjalankan
tugasnya dengan baik sebagai pelayan masyarakat, seorang profesional harus
menjalankan jabatannya dengan menyelaraskan antara keahlian yang dimilikinya
dengan menjunjung tinggi kode etik profesi. Adanya kode etik bertujuan agar
suatu profesi dapat dijalankan dengan moral/martabat, motivasi dan orientasi pada
keterampilan intelektual serta berargumentasi secara rasional dan kritis serta
menjunjung tinggi nilai-nilai moral. Untuk melindungi kepentingan masyarakat
umum dan menjamin pelaksanaan jabatan notaris yang dipercayakan oleh undang
40

RicardoSimanjuntak,SH.,LLM.,ANZIIF,CIP,TeknikPerancanganKontrakBisnis,(2006:Jakarta,
MingguanEkonomidanBisnisKONTAN),hlm93

Pelaksanaan kawin...,Sendy Yudawan,FHUI,2011

65

undang dan masyarakat pada umumnya, maka adanya pengaturan secara hukum
mengenai pengawasan terhadap pelaksanaan jabatan notaris sangat tepat, karena
dalam menjalankan jabatannya yang diamanatkan oleh undang-undang tetapi juga
berfungsi sebagai pengabdi hukum yang meliputi bidang yang sangat luas.
Dengan adanya kode etik kepentingan masyarakat yang akan terjamin sehingga
memperkuat kepercayaan masyarakat. Dengan adanya kode etik kepercayaan
masyarakat akan suatu profesi dapat diperkuat, karena setiap klien mempunyai
kepastian bahwa kepentingannya akan terjamin.
Kode etik profesi juga penting sebagai sarana kontrol sosial yang dimana
kode etik adalah nilai-nilai dan norma-norma moral yang wajib diperhatikan dan
dijalankan oleh profesional hukum. Kedudukan notaris sebagai pejabat umum
adalah merupakan salah satu organ negara yang mendapat amanat dari sebagian
tugas dan kewenangan negara yaitu berupa tugas, kewajiban, wewenang dalam
rangka pemberian pelayanan kepada masyarakat umum di bidang keperdataan.
Jabatan yang diemban notaris adalah suatu jabatan kepercayaan yang diamanatkan
oleh undang-undang dan masyarakat, untuk itulah seorang notaris bertanggung
jawab untuk melaksanakan kepercayaan yang diberikan kepadanya dengan selaiu
menjunjung tinggi etika hukum dan martabat serta keluhuran jabatannya, sebab
apabila hal tersebut diabaikan oleh seorang notaris maka akan berbahaya bagi
masyarakat umum yang dilayaninya. Dalam menjalankan jabatannya notaris harus
mematuhi seluruh kaedah moral yang telah hidup dan berkembang di masyarakat.
Selain dari adanya tanggung jawab dari etika profesi, adanya integritas dan moral
yang baik merupakan persyaratan penting yang harus dimiliki oleh seorang
notaris. Oleh karena itu notaris harus senantiasa menjalankan jabatannya menurut
kode etik notaris yang ditetapkan dalam Kongres Ikatan Notaris Indonesia yang
telah mengatur mengenai kewajiban, dan larangan yang harus dipatuhi oleh
Notaris dalam menegakkan kode etik notaris dan mematuhi undang-undang yang
mengatur tentang Jabatan Notaris yaitu Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004
tentang Jabatan Notaris.41

41

Drs.H.SoegengSantosa,SH,MH,BidangTugasPengayomanDikaitkanDenganUndang
UndangNomor30Tahun2004TentangJabatanNotaris:DiskusiPanelBedahKrisisPasalUUNo.
30/2004(UUJN)danImplementasinya,HotelSahidJayaJakrta13,Desember2004.

Pelaksanaan kawin...,Sendy Yudawan,FHUI,2011

66

Berdasarkan uraian tersebut diatas, sikap yang perlu diambil oleh seorang
notaris terhadap pihak yang ingin dibuatkannya perjanjian kawin kontrak adalah
menolaknya dimana diatur didalam pasal 16 (d) Undang-Undang Nomor 30
Tahun 2004 tentang

Jabatan Notaris, notaris dapat menolak memberikan

pelayanannya kepada masyarakat apabila ada alasan hukum untuk menolak


memberikan pelayanan hukum tersebut. Penolakkan tersebut harus diikuti dengan
penyuluhan hukum kepada pihak tersebut mengenai apakah dasar alasan
penolakannya sesuai dengan penjelasan diatas, selain itu notaris perlu
memberikan saran kepada pihak tersebut agar perkawinan kontrak tersebut perlu
dicatat di Kantor Urusan Agama atau Kantor Catatan Sipil agar status
perkawinannya menjadi sah dan melindungi kedua belah pihak serta anak-anak
yang dilahirkan dalam perkawinan tersebut, sehingga perjanjian dalam kawin
kontraknya dapat dirubah menjadi perjanjian perkawinan akan tetapi harus
menghilangkan pasal-pasal yang melanggar hukum dimana yang utama adalah
menghilangkan jangka waktu dari perkawinan tersebut dan hal-hal yang
melanggar hak asasi manusia sehingga notaris dapat membuat akta perjanjian
perkawinan yang sah dan mempunyai kekuatan hukum serta otentik. Selain itu
notaris sebagai pengabdi hukum di bidang hukum perdata, harus menawarkan jasa
untuk membantu yang sesuai dengan kapasitasnya untuk membuat perkawinan
kontrak tersebut sah menurut hukum, dengan cara penyuluhan hukum dan
menghubungi pihak-pihak yang terkait untuk membantu men-sahkan perkawinan
tersebut sepanjang hal ini disetujui oleh pihak yang bersangkutan.

Pelaksanaan kawin...,Sendy Yudawan,FHUI,2011

67

BAB IV
PENUTUP

4.1. Kesimpulan

1. Konsekuensi isi surat perjanjian kawin kontrak memberatkan pihak wanita


yang dikontrak karena melanggar hak asasi manusia, semua gerak dan kehidupan
sehari-hari diatur oleh pihak laki-laki yaitu pengontrak. Walaupun berat isi surat
perjanjian dalam kawin kontrak tersebut, akan tetapi tidak ada masalah dalam
pelaksanaannya, para pelaku kawin kontrak, terutama pihak yang dikontrak tidak
keberatan atas isi surat perjanjian yang telah ditanda tanganinya, mereka
melaksanakannya dengan senang hati tanpa masalah apapun karena mereka
mempunyai maksud dan tujuan tertentu, dengan harapan dapat hidup lebih baik
demi peningkatan ekonomi keluarganya.

2. Untuk melindungi kaum wanita dan anak-anak, kiranya isi perjanjiannya harus
dirubah. Kiranya, ikatan perjanjian kawin kontrak yang dapat di izinkan oleh
pengadilan harus memuat hal-hal yang harus dipatuhi oleh pelaku kawin kontrak
yaitu:

1. Anak yang dilahirkan dari hasil perkawinan kontrak juga menjadi


tanggung jawab suami dan mempunyai garis keturunan kepada
pihak ayah serta wajib diakui sebagai anak yang sah;

2. Anak memiliki hak waris dari pihak ayah dan pihak ibu;

3. Suami berkewajiban memberikan nafkah kepada isterinya, dan


apabila perkawinan kontrak itu berakhir, pihak suami berkewajiban
untuk memberikan tunjangan kepada istri dan anak yang
besarannya dapat ditentukan dalam isi kontrak atau atas penetapan
pengadilan;

Pelaksanaan kawin...,Sendy Yudawan,FHUI,2011

68

4. Pihak suami harus memberikan uang jaminan yang nilainya


ditentukan oleh pengadilan sebagai jaminan kepada pihak istri
bahwa suami akan melaksanakan isi dalam kontrak dan apabila
terjadi pelanggaran maka uang jaminan tersebut menjadi milik istri
sebagai restitusi dari pihak suami. Uang jaminan tersebut disimpan
di Bank Syariah yang dapat dicairkan atas perintah pengadilan.

5. Kewajiban pihak istri didalam perjanjian kawin kontrak tersebut


tidak boleh melanggar hak asasi manusia.

Hal lain yang dapat ditempuh untuk menjerat pelaku kawin kontrak adalah dengan
menjerat pada pasal-pasal 304 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP),
karena akibat kawin kontrak rentan terjadinya perlakuan orang tua, suami, atau
isteri yang melakukan tindak pidana berupa penelantaran rumah tangga, baik
secara ekonomi maupun secara kejiwaan dalam menjalankan kehidupan rumah
tangga.

3. Seiring dengan dilakukannya upaya hukum untuk mencegah kawin kontrak,


DPR dan Pemerintah harus segera memberlakukan Rancangan Undang-Undang
(RUU) Hukum Materiil Peradilan Agama tentang Perkawinan karena mempunyai
sanksi pidana yang tegas untuk mencegah terjadinya kawin kontrak. Meski RUU
ini telah masuk dalam prioritas Prolegnas 2010 di DPR RI, namun
pemberlakuannya sepenuhnya bergantung pada pemerintah selaku inisiator karena
merupakan inisiasi pemerintah dan pembahasannya tentunya tergantung pada
seberapa jauh pemerintah mempersiapkannya.

4.2. SARAN-SARAN

Dalam maraknya kawin kontrak yang ada di Indonesia sekarang ini ,


walaupun tidak diakui di dalam UU Perkawinan dan diharamkan oleh fatwa MUI,
yang mana telah menghapuskan arti kesakralan dalam suatu lembaga perkawinan

Pelaksanaan kawin...,Sendy Yudawan,FHUI,2011

69

dan merugikan pihak wanita karena harus taat dan patuh terhadap apa yang
diinginkan dan diharapkan oleh pengontrak, akan tetapi tetap saja masih
dilaksanakan oleh masyarakat dan mereka tidak merasa keberatan terhadap
perlakuan yang demikian tersebut, akan tetapi akan dapat memperburuk keadaan
generasi mendatang dan moral manusia pelakunya, oleh karenanya perlu
ditempuh upaya:

1. Pemerintah secara tegas menertibkan tempat-tempat tertentu yang marak


dengan kehidupan kawin kontrak tersebut dengan

sanksi yang

memberatkan yaitu dengan cara mensahkan RUU Hukum Peradilan


Agama Bidang Perkawinan agar memperketat lembaga perkawinan
dengan diikuti pendidikan hukum bagi masyarakat, sosialisasi peraturan
perundangan, pengefektifan birokrasi perkawinan, pendataan warga asing
di lingkungan, hingga penegakan nilai agama oleh pemuka agama
setempat harus lebih dikedepankan.

2. Apabila RUU Hukum Peradilan Agama Bidang Perkawinan telah disahkan


maka Kewenangan Peradilan Agama yang semakin luas harus diimbangi
dengan peningkatan sumber daya manusia (SDM), aparatur pengadilan,
sarana dan prasarana yang memadai, serta ketentuan hukum yang aplikatif.
Dengan demikian paradigma baru peradilan agama benar-benar dapat
menjawab tuntutan dan problema hukum yang berkembang di masyarakat.

3. Pemerintah dengan melibatkan penggiat hak asasi manusia atau lembaga


swadaya masyarakat dan akademisi harus meningkatkan perlindungan
hak-hak asasi manusia, dengan cara memberikan penyuluhan bimbingan
moral dan pengenalan pola hidup yang mandiri bagi wanita di daerahdaerah pedesaan.

4. Pemerintah hendaknya membuat ketentuan untuk memintakan jaminan


terhadap kaum wanita Indonesia yang diinginkan para orang asing
tersebut, apabila mereka menghasilkan keturunan.

Pelaksanaan kawin...,Sendy Yudawan,FHUI,2011

70

5. Para pemuka Agama di daerah-daerah yang marak dengan pendatang dari


manca negara hendaknya membuat ketentuan dan sanksi adat yang tegas
terhadap masyarakat setempat, sehingga warga masyarakatnya akan
terjamin kehidupannya.

6. Pemerintah pusat dan daerah harus melakukan pemerataan kesejahteraan


dan meningkatkan mutu pendidikan bagi warga setempat yang daerahnya
rentan dengan fenomena kawin kontrak.

Pelaksanaan kawin...,Sendy Yudawan,FHUI,2011

DAFTAR REFERENSI

I. BUKU
Ahmid, Zahry. Pokok-Pokok Hukum Perkawinan Islam dan UU No. 1 Tahun
1974, Jakarta: Ghalia Indonesia, 1990.
Ahmid, Zahry, Pokok-Pokok Hukum Perkawinan dan UU Perkawinan di
Indonesia, Yogyakarta: Binacipta, 1978.
Darmabrata , Wahjono. Hukum Perdata: Asas-Asas Hukum Orang dan Keluarga,
Jakarta: Gitamajaya, 2004.
Darmabrata, Wahjono. Hukum Perkawinan Perdata: Syarat Sahnya Perkawinan,
Hak dan Kewajiban Suami Isteri, Harta Benda Perkawinan, Jakarta: Rizkita,
2009.
Darmabrata, Wahyono dan Sjarif, Ahlan, Surini.

Hukum Perkawinan dan

Keluarga di Indonesia, Jakarta: Badan Penerbit Fakultas Hukum Universitas


Indonesia, 2004.
Djubaidah, Neng, Pencatatan Perkawinan dan Perkawinan Tidak Dicatat:
Menurut Hukum Tertulis Di Indonesia dan Hukum Islam, Jakarta: Sinar Grafika,
2010.
Hazairin, Tinjauan Mengenai UU Perkawinan Nomor:1-1974, Jakarta: Tintamas,
1986.
Hadi, Sutrisno. Metodologi Research, Yogyakarta: Andi offset, 1989.
Hadikusuma, Hilman. Hukum Perkawinan Indonesia Menurut Perundangan,
Hukum Adat, dan Hukum Agama, Bandung: Mandar Maju,1990.
Prodjohamidjojo, Martiman. Hukum Perkawinan Indonesia, Jakarta: Indonesia
Legal Center Publishing, 2007.
Soekanto, Soerjono. Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta: UI Pers, Jakarta, 1984.

Pelaksanaan kawin...,Sendy Yudawan,FHUI,2011

Simanjuntak, Ricardo. Teknik Perancangan Kontrak Bisnis,: Jakarta, Mingguan


Ekonomi dan Bisnis KONTAN, 2006.
Sudarsono, Hukum Perkawinan Nasional, Jakarta: Bineka Cipta, 1991
Wirjono, Prodjodikoro. Hukum Perkawinan Di Indonesia, 1990: Bulan Bintang,
Jakarta.

II. PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN


Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Bergelijk Wetboek). Diterjemahkan oleh
Subekti. Jakarta : PT. Pradna Paramita, 2004
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (Wetboek van Strafrecht)
Indonesia, Undang-Undang Tentang Perkawinan , Nomor 1 Tahun 1974,
Indonesia, Peraturan Pemerintah Tentang Pelaksanaan Undang Undang Nomor
1 Tahun 1974, Nomor 9 Tahun 1975
Indonesia, Kompilasi Hukum Islam.
Indonesia, Rancangan Undang-Undang Hukum Materill Peradilan Agama
Bidang Perkawinan, Tahun 2007.

III. INTERNET
http://www.beritajatim.com/detailnews.php/8/Peristiwa/2011-02
17/93143/MUI_Jatim_Terjunkan_Tim_Pencari_Fakta_ke_Pasuruan

http://www.nurmadinah.com/2010/11/nikah-mut%E2%80%99ah-halal-atauharam/
http://www.albayyinat.net/mutaht.html
http://www.eramuslim.com/berita/tahukah-anda/syi-ah-menurut-kacamatasejumlah-tokoh.htm

Pelaksanaan kawin...,Sendy Yudawan,FHUI,2011

http://lateralbandung.wordpress.com/2007/07/26/sekilas-nikah-mutah/
www.hariansumutpos.com/arsip/?p=33012
www.tempointeraktif.com/hg/.../brk,20041109-07,id.html

IV. MAKALAH
Soegeng, Santosa. Bidang Tugas Pengayoman Dikaitkan Dengan UndangUndang Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris: Diskusi Panel Bedah
Krisis Pasal UU No. 30/2004 (UUJN) dan Implementasinya, Hotel Sahid Jaya
Jakarta-13, 2004.

Pelaksanaan kawin...,Sendy Yudawan,FHUI,2011

LAMPIRAN

Pelaksanaan kawin...,Sendy Yudawan,FHUI,2011

RANCANGAN
UNDANG-UNDANG

HUKUM MATERIIL PERADILAN AGAMA


BIDANG PERKAWINAN

2008

Pelaksanaan kawin...,Sendy Yudawan,FHUI,2011

DAFTAR ISI
halaman
KONSIDERAN
BAB I
BAB II
BAB III
BAB IV
BAB V
BAB VI
BAB VII
BAB VIII
BAB IX
BAB X
BAB XI
BAB XII

BAB XIII
BAB XIV
BAB XV
BAB XVI

BAB XVII
BAB XVIII
BAB XIX
BAB XX
BAB XXI
BAB XXII
BAB XXIII
BAB XXIV

2
KETENTUAN UMUM
DASAR-DASAR PERKAWINAN
PEMINANGAN
RUKUN DAN SYARAT PERKAWINAN
MAHAR
LARANGAN PERKAWINAN DAN PERKAWINAN
YANG DILARANG
TAKLIK TALAK DAN PERJANJIAN PERKAWINAN
Bagian Kesatu
: Taklik Talak
Bagian Kedua
: Perjanjian Perkawinan
PERKAWINAN PEREMPUAN HAMIL KARENA ZINA
BERISTERI LEBIH DARI SATU ORANG
PENCEGAHAN PERKAWINAN
BATALNYA PERKAWINAN
HAK DAN KEWAJIBAN SUAMI ISTERI
Bagian Kesatu
: Umum
Bagian Kedua
: Kedudukan Suami Isteri
Bagian Ketiga
: Kewajiban Suami
Bagian Keempat
: Tempat Kediaman
Bagian Kelima
: Kewajiban Isteri
HARTA KEKAYAAN DALAM PERKAWINAN
KEDUDUKAN ANAK
PUTUSNYA PERKAWINAN
AKIBAT PUTUSNYA PERKAWINAN
Bagian Kesatu
: Akibat Cerai Talak
Bagian Kedua
: Waktu Tunggu
Bagian Ketiga
: Harta Bersama Akibat Perceraian
Bagian Keempat
: Akibat Khuluk
Bagian Kelima
: Akibat Lian
PEMELIHARAAN ANAK
PERWALIAN
RUJUK
PERKAWINAN CAMPURAN
KETENTUAN PIDANA
KETENTUAN LAIN
KETENTUAN PERALIHAN
KETENTUAN PENUTUP

PENJELASAN UMUM
PENJELASAN PASAL DEMI PASAL

draft RUU Hukum Materiil Peradilan Agama


Bidang Perkawinan
Pelaksanaan
kawin...,Sendy Yudawan,FHUI,2011
file Yuli Muth, Juni 2009

4
7
8
9
13
14
17
17
17
19
20
22
24
27
27
27
28
29
29
30
33
34
39
39
39
41
41
41
41
43
45
46
46
48
48
49
50
52

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA


NOMOR __ __ TAHUN __ __ __ __
TENTANG
HUKUM MATERIIL PERADILAN AGAMA
BIDANG PERKAWINAN
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
Menimbang

: a. bahwa penyelesaian perkara pada Badan Peradilan Agama sebagai salah satu pelaksana kekuasaan
ke-hakiman dalam menegakkan hukum dan keadilan harus berdasarkan undang-undang;
b. bahwa hukum materiil peradilan agama di bidang perkawinan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 dan Peraturan Pelaksa-naannya belum memadai bagi Badan Peradilan Agama dalam memeriksa, memutus, dan menyelesai-kan perkara sehingga perlu menggunakan
landasan Kompilasi Hukum Islam berdasarkan Instruksi Pre-siden Nomor 1 Tahun 1991;
c. bahwa dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan atas UndangUn-dang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama yang mengatur tentang susunan, kekuasaan,
dan acara Peradilan Agama perlu ditindaklanjuti dengan pembentukan undang-undang yang mengatur
ten-tang hukum materiil peradilan agama di bidang per-kawinan;
d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana di-maksud pada huruf a, huruf b, dan huruf c perlu
membentuk Undang-Undang tentang Hukum Ma-teriil Peradilan Agama Bidang Perkawinan.

Mengingat

1. Pasal 5 ayat (1) dan Pasal 20 Undang-Undang Da-sar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
2. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Per-kawinan (Lembaran Negara Republik Indonesia
Ta-hun 1974 Nomor 1; Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 2019);
3. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama sebagaimana telah diubah dengan
Un-dang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Per-ubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun
1989 tentang Peradilan Agama (Lembaran Negara Repu-blik Indonesia Tahun 1989 Nomor 49;
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3400);
4. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Ke-kuasaan Kehakiman (Lembaran Negara Republik
In-donesia Tahun 2004 Nomor 8; Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4358);

Dengan Persetujuan Bersama


DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA
Dan
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

Menetapkan

: UNDANG-UNDANG
PERKAWINAN.

MEMUTUSKAN
TENTANG HUKUM MATERIIL

draft RUU Hukum Materiil Peradilan Agama


Bidang Perkawinan
Pelaksanaan
kawin...,Sendy Yudawan,FHUI,2011
file Yuli Muth, Juni 2009

PERADILAN

AGAMA

BIDANG

BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Yang dimaksud dalam Undang-Undang ini dengan:
a.
b.
c.
d.
e.
f.
g.
h.
i.
j.
k.
l.
m.
n.
o.
p.
q.
r.
s.
t.

u.

perkawinan adalah pernikahan yang berlaku bagi umat Islam;


peminangan atau disebut khitbah adalah permintaan dari pihak laki-laki sebagai peminang kepada pihak perempuan
yang dipinang untuk menikah;
wali nikah adalah laki-laki yang berhak menikahkan seorang perempuan, menurut hukum Islam, baik wali nasab
maupun wali hakim;
wali nasab adalah laki-laki yang mempunyai hubungan darah dengan pihak ayah calon mempelai perempuan;
wali hakim adalah Kepala Kantor Urusan Agama Kecamatan atau pejabat lain yang ditunjuk oleh Menteri Agama,
untuk bertindak sebagai wali nikah bagi mempelai perempuan yang tidak mempunyai wali atau mempunyai wali yang
tidak dapat menggunakan hak walinya;
akad nikah adalah rangkaian ijab yang diucapkan oleh wali nikah atau wakilnya dan kabul yang diucapkan oleh
mem-pelai laki-laki atau wakilnya dengan disaksikan oleh dua orang saksi;
Akta Nikah adalah dokumen resmi yang diterbitkan/dikeluarkan oleh Pejabat Pencatat Nikah sebagai alat bukti autentik tentang telah terjadinya perkawinan;
Pejabat Pencatat Nikah atau disebut Penghulu adalah pegawai negeri sipil yang diangkat oleh Menteri Agama
dengan kewenangan untuk mencatat dan mengadminis-trasikan perkawinan menurut Undang-Undang;
mahar adalah pemberian dari mempelai laki-laki kepada mempelai perempuan, dalam bentuk benda atau uang yang
tidak bertentangan dengan hukum Islam;
taklik talak adalah perjanjian yang diucapkan mempelai laki-laki setelah akad nikah yang dicantumkan dalam Kutipan
Akta Nikah, berupa janji talak yang digantungkan kepada keadaan tertentu yang mungkin terjadi di masa yang akan
datang;
pemeliharaan anak atau disebut hadanah adalah kegiatan mengasuh, memelihara, dan mendidik anak hingga
dewasa atau mampu berdiri sendiri;
perwalian adalah kewenangan yang diberikan kepada seseo-rang untuk melakukan suatu perbuatan hukum sebagai
wa-kil untuk kepentingan dan atas nama anak yang tidak mem-punyai orangtua, atau orangtua yang masih hidup
tidak ca-kap melakukan perbuatan hukum;
khuluk adalah perceraian yang terjadi atas permintaan isteri dengan memberikan tebusan atau iwad kepada suami
atau atas persetujuan suaminya;
nusyuz adalah perilaku membangkang dan mengingkari ke-wajiban yang dilakukan oleh isteri terhadap suami atau
se-baliknya;
qabladdukhul adalah kondisi suami isteri belum melakukan hubungan badan;
badadukhul adalah kondisi suami isteri telah melakukan hubungan badan;
mutah (mutah) adalah pemberian berupa benda atau uang dari bekas suami kepada isteri yang telah dijatuhi talak;
perkawinan mutah adalah perkawinan yang dilangsungkan untuk jangka waktu tertentu dengan maksud untuk
mencari kesenangan dan/atau kepuasan seksual;
zina adalah hubungan badan di luar nikah yang dilakukan oleh seorang laki-laki dengan seorang perempuan;
lian (lian) adalah sumpah dengan cara tertentu yang diucapkan oleh suami yang mengandung tuduhan bahwa
isterinya telah berzina, atau sangkalan bahwa janin/bayi yang dikandung/ dilahirkan oleh isterinya sebagai anak
kandungnya; dan di-ikuti dengan sumpah yang diucapkan oleh isteri yang mengandung penolakan atas tuduhan

suami;
Pengadilan adalah Pengadilan Agama atau Mahkamah Syar-iyah.
B A B II
DASAR-DASAR PERKAWINAN

Pasal 2
Pasal 2x
Perkawinan merupakan ikatan lahir batin antara seorang laki-laki dan seorang perempuan sebagai suami isteri berdasarkan
akad nikah yang diatur dalam Undang-Undang ini dengan tujuan untuk membentuk keluarga sakinah atau rumah tangga yang
bahagia sesuai dengan hukum Islam.
draft RUU Hukum Materiil Peradilan Agama
Bidang Perkawinan
Pelaksanaan
kawin...,Sendy Yudawan,FHUI,2011
file Yuli Muth, Juni 2009

Pasal 3
Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum Islam.
Pasal 4
Setiap perkawinan wajib dicatat oleh Pejabat Pencatat Nikah menu-rut peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pasal 5
(1) Untuk memenuhi ketentuan Pasal 4, setiap perkawinan wajib di-langsungkan di hadapan Pejabat Pencatat Nikah.
(2) Perkawinan yang tidak dilakukan sesuai dengan ketentuan ayat (1) tidak mempunyai kekuatan hukum.
Pasal 6
(1) Perkawinan dapat dibuktikan dengan Akta Nikah yang dibuat oleh Pejabat Pencatat Nikah.
(2) Dalam hal perkawinan tidak dapat dibuktikan dengan Akta Ni-kah, dapat diajukan permohonan isbat nikah ke Pengadilan.
(3) Permohonan isbat nikah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat diajukan dengan alasan hilangnya Akta Nikah dan
Ku-tipannya.
(4) Perkawinan yang dilakukan tidak di hadapan Pejabat Pencatat Nikah dapat diisbatkan dengan dikenai sanksi pidana yang
diten-tukan dalam Undang-Undang ini.
(5) Yang berhak mengajukan permohonan isbat nikah adalah suami atau isteri, anak-anak mereka, wali nikah, dan pihak yang
berke-pentingan dengan perkawinan itu.
Pasal 7
Putusnya perkawinan selain karena kematian dibuktikan dengan Akta Cerai berdasarkan putusan Pengadilan.
Pasal 8
(1) Apabila Akta Cerai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 tidak ditemukan karena hilang atau sebab lain yang sah, dapat
dimin-takan keterangan resmi dari Pengadilan.
(2) Dalam hal keterangan resmi dimaksud pada ayat (1) tidak dapat diperoleh, maka dapat diajukan permohonan atau
gugatan perce-raian kepada Pengadilan.
Pasal 9
Rujuk dapat dibuktikan dengan Kutipan Buku Pencatatan Rujuk yang dikeluarkan oleh Pejabat Pencatat Nikah.
B A B III
PEMINANGAN
Pasal 10
Peminangan dilakukan secara langsung oleh laki-laki yang hendak menikah atau wakilnya yang dipercaya.
Pasal 11
(1) Peminangan dilakukan terhadap seorang perempuan yang belum pernah menikah atau perempuan yang sudah pernah
menikah yang idahnya telah habis.
(2) Peminangan dilarang terhadap:
a. perempuan yang masih berada dalam idah, kecuali yang ditinggal mati suaminya dapat dipinang secara sindiran (taridl);

b. perempuan yang sedang dipinang laki-laki lain selama pinangan tersebut belum putus atau belum ada penolakan
dari pihak perempuan.
(3) Pinangan pihak laki-laki dinyatakan putus dengan adanya per-nyataan tentang putusnya hubungan pinangan.
Pasal 12
(1) Peminangan belum menimbulkan akibat hukum perkawinan bagi para pihak.
(2) Para pihak dapat memutuskan hubungan pinangan dengan tata cara yang baik sesuai dengan tuntunan agama Islam dan
kebiasaan setempat yang tidak bertentangan dengan hukum Islam.
(3) Dalam hal pemutusan hubungan pinangan menimbulkan keru-gian terhadap salah satu pihak, maka pihak yang dirugikan
dapat mengajukan gugatan ke Pengadilan.

draft RUU Hukum Materiil Peradilan Agama


Bidang Perkawinan
Pelaksanaan
kawin...,Sendy Yudawan,FHUI,2011
file Yuli Muth, Juni 2009

B A B IV
RUKUN DAN SYARAT PERKAWINAN
Pasal 13
(1) Untuk melaksanakan perkawinan harus ada:
a. calon suami;
b. calon isteri;
c. wali nikah;
d. dua orang saksi;
e. ijab dan kabul; dan
f. mahar.
(2) Pelaksanaan perkawinan yang tidak memenuhi ketentuan pada ayat (1) tidak sah.
Pasal 14
(1) Untuk kemaslahatan keluarga dan rumah tangga, perkawinan hanya dapat dilakukan apabila calon mempelai laki-laki telah
mencapai umur 19 tahun dan calon mempelai perempuan men-capai umur 16 tahun.
(2) Dalam hal terjadi penyimpangan terhadap ayat (1), orangtua atau walinya harus meminta dispensasi kepada Pengadilan.
Pasal 15
(1) Perkawinan didasarkan atas persetujuan calon mempelai.
(2) Bentuk persetujuan calon mempelai perempuan dapat berupa pernyataan tegas dengan lisan atau tulisan, dengan isyarat,
atau dengan diam, dalam arti tidak ada penolakan.
Pasal 16
(1) Sebelum perkawinan berlangsung, Pejabat Pencatat Nikah mena-nyakan lebih dahulu persetujuan calon mempelai di
hadapan dua orang saksi nikah.
(2) Apabila perkawinan tidak disetujui oleh salah seorang calon mempelai maka perkawinan tersebut tidak dapat
dilangsungkan.
(3) Persetujuan calon mempelai yang menderita tuna wicara atau tuna rungu dapat dinyatakan dengan tulisan atau isyarat
yang dapat dimengerti.
Pasal 17
Pasal 17
Selain memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam pasal 15 dan 16, perkawinan dapat dilangsungkan apabila tidak
terdapat larangan perkawinan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini.
Pasal 18
(1) Wali nikah terdiri atas:
a. wali nasab, dan
b. wali hakim.
(2) Wali nikah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus meme-nuhi syarat:
a. laki-laki,
b. muslim,
c. akil,
d. balig, dan
e. tidak sedang ihram.

Pasal 19
(1) Wali nasab terdiri dari empat kelompok menurut kedudukan dan hubungan kekerabatan dengan calon mempelai
perempuan, de-ngan urutan sebagai berikut:
a. Ayah, kakek dari pihak ayah, dan seterusnya;
b. Saudara laki-laki kandung, saudara laki-laki seayah, dan keturunan laki-laki mereka;
c. saudara laki-laki kandung ayah, saudara laki-laki seayah dari ayah, dan keturunan laki-laki mereka; dan
d. Saudara laki-laki kandung dari orangtua laki-laki ayah, saudara laki-laki seayah dari orangtua laki-laki ayah, dan
keturunan laki-laki mereka.
(2) Dalam hal seorang janda tidak mempunyai wali kecuali anak kandungnya yang laki-laki, maka anak kandungnya tersebut
menjadi wali bagi dirinya.
draft RUU Hukum Materiil Peradilan Agama
Bidang Perkawinan
Pelaksanaan
kawin...,Sendy Yudawan,FHUI,2011
file Yuli Muth, Juni 2009

(3) Apabila terdapat beberapa orang dalam satu kelompok wali nikah maka yang paling berhak adalah wali yang memiliki
hubungan kekerabatan paling dekat dengan calon mempelai perempuan.
(4) Apabila dalam satu kelompok wali memiliki kesamaan derajat kekerabatan maka saudara kandung lebih berhak menjadi
wali nikah dari pada saudara seayah.
(5) Dalam hal satu kelompok wali hanya terdiri dari saudara kandung atau saudara seayah maka hak menjadi wali nikah
diberikan kepada yang berusia lebih tua.
(6) Perselisihan tentang wali nikah dapat diselesaikan melalui pe-netapan Pengadilan dan tidak dapat dimohonkan banding
atau kasasi.
Pasal 20
Apabila wali nikah yang paling berhak menurut urutannya tidak memenuhi syarat sebagai wali nikah maka hak menjadi wali
bergeser kepada wali nikah yang lain menurut derajat berikutnya.
Pasal 21
(1) Wali hakim bertindak sebagai wali nikah apabila wali nasab tidak ada, tidak mungkin menghadirkannya, tidak diketahui
tempat tinggalnya, atau enggan menikahkan (adhal).
(2) Dalam hal wali adhal, wali hakim hanya dapat bertindak sebagai wali nikah setelah ada penetapan Pengadilan tentang
adhal-nya wali tersebut.
Pasal 22
Selain wali nasab dan wali hakim sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 dan Pasal 21, tidak sah bertindak sebagai wali
nikah.
Pasal 23
Pasal 23
Setiap perkawinan harus disaksikan sekurang-kurangnya oleh dua orang saksi yang memenuhi syarat:
a. laki-laki,
b. muslim,
c. adil,
d. akil,
e. balig, dan
f. tidak tuna rungu dan/atau tidak tuna netra.
Pasal 24
Saksi wajib hadir dan menyaksikan secara langsung akad nikah serta menandatangani Akta Nikah pada waktu dan di tempat
akad nikah dilangsungkan.
Pasal 25
Ijab dan kabul antara wali nikah dan calon mempelai laki-laki harus dilaksanakan secara jelas dan dilangsungkan dalam satu
majelis akad nikah yang beruntun dan tidak berselang waktu.
Pasal 26
(1) Ijab diucapkan oleh wali nikah atau wakilnya, dan kabul diucapkan oleh mempelai laki-laki atau wakilnya.
(2) Dalam hal calon mempelai perempuan atau wali berkeberatan terhadap calon mempelai laki-laki yang mewakilkan ucapan
ka-bulnya maka akad nikah tidak dapat dilangsungkan.

BAB V
MAHAR
Pasal 27
Pasal 27
(1) Mempelai laki-laki berkewajiban memberi mahar kepada mempe-lai perempuan.
(2) Bentuk, jenis, dan jumlah mahar didasarkan atas asas kesederhanaan dan kepatutan yang disepakati kedua belah pihak.
(3) Mahar menjadi hak milik pribadi mempelai perempuan.
Pasal 28
Pasal 28
(1) Mahar dibayar langsung secara tunai kepada mempelai perempuan.
draft RUU Hukum Materiil Peradilan Agama
Bidang Perkawinan
Pelaksanaan
kawin...,Sendy Yudawan,FHUI,2011
file Yuli Muth, Juni 2009

(2) Apabila calon mempelai perempuan menyetujui, pembayaran mahar boleh ditangguhkan seluruhnya atau sebagian dan
menjadi hutang mempelai laki-laki.
Pasal 29
(1) Suami yang menalak isterinya qabladdukhul dan belum membayar mahar, wajib membayar setengah mahar yang telah
ditentukan dalam akad nikah, kecuali jika qabladdukhul itu terjadi karena kesalahan atau nusyuznya isteri.
(2) Apabila suami meninggal dunia qabladdukhul maka seluruh ma-har yang ditetapkan menjadi hak penuh isterinya.
(3) Apabila terjadi perceraian qabladdukhul namun besarnya mahar belum ditetapkan maka suami wajib membayar mutah.
Pasal 30
(1) Mahar yang mengandung cacat atau kurang, tetapi diterima tanpa syarat oleh mempelai perempuan dianggap telah
dibayar lunas.
(2) Suami harus mengganti mahar yang cacat atas permintaan isteri.
(3) Dalam hal terjadi perselisihan mengenai mahar maka penyele-saian perselisihan dapat diajukan ke Pengadilan.
B A B VI
LARANGAN PERKAWINAN
DAN PERKAWINAN YANG DILARANG
Pasal 31
Dilarang melangsungkan perkawinan antara seorang laki-laki de-ngan seorang perempuan, disebabkan:
a. berhubungan darah dalam garis keturunan lurus ke bawah atau ke atas;
b. berhubungan darah dalam garis keturunan ke samping, yaitu saudara, saudara orangtua, dan saudara kakek/nenek;
c. berhubungan semenda, yaitu mertua, menantu, anak tiri, dan ayah/ibu tiri;
d. berhubungan susuan yaitu, ibu susuan, anak susuan, sau-dara susuan, dan paman/bibi susuan; atau
e. mempunyai hubungan yang oleh hukum Islam dilarang me-langsungkan perkawinan.
Pasal 32
(1) Seorang laki-laki dilarang memadu isterinya dengan seorang perempuan yang mempunyai hubungan pertalian nasab atau
susuan dengan isterinya.
(2) Larangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tetap berlaku meskipun isterinya telah ditalak dan masih dalam idah.
Pasal 33
Seorang laki-laki dilarang melangsungkan perkawinan dengan seo-rang perempuan yang:
a. terikat perkawinan dengan laki-laki lain;
b. berada dalam masa idah dengan laki-laki lain; dan/atau
c. tidak beragama Islam.
Pasal 34
Dalam hal seorang laki-laki mempunyai 4 (empat) orang isteri, yang bersangkutan dilarang melangsungkan perkawinan dengan
seorang perempuan apabila:
a. masih terikat tali perkawinan yang sah dengan isteri-iste-rinya;
b. salah seorang atau beberapa orang dari keempat isterinya tersebut masih dalam idah talak raji; atau

c. keempat isterinya masih dalam idah talak raji.


Pasal 35
(1) Dilarang melangsungkan perkawinan antara seorang laki-laki dan:
a. seorang perempuan bekas isterinya yang ditalak tiga kali; atau
b. seorang perempuan bekas isterinya yang dilian.
(2) Larangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a tidak berlaku, jika bekas isterinya telah kawin dengan laki-laki lain
sebagaimana layaknya.
Pasal 36
Seorang perempuan muslimah dilarang melangsungkan perkawinan dengan seorang laki-laki yang tidak beragama Islam.

draft RUU Hukum Materiil Peradilan Agama


Bidang Perkawinan
Pelaksanaan
kawin...,Sendy Yudawan,FHUI,2011
file Yuli Muth, Juni 2009

Pasal 37
(1) Selama seseorang masih dalam keadaan ihram, dilarang melangsungkan perkawinan dan bertindak sebagai wali nikah
dan menjadi saksi dalam perkawinan.
(2) Apabila terjadi perkawinan dalam keadaan ihram, atau wali nikahnya masih berada dalam ihram perkawinannya tidak sah.
Pasal 38
Seorang isteri dilarang memiliki suami lebih dari satu orang.
Pasal 39
Laki-laki muslim atau perempuan muslimah dilarang melang-sungkan perkawinan mutah.
B A B VII
TAKLIK TALAK
DAN PERJANJIAN PERKAWINAN
Bagian Kesatu
Taklik Talak
Pasal 40
(1) Setelah akad nikah, suami dapat mengucapkan dan menan-datangan taklik talak di hadapan Pejabat Pencatat Nikah.
(2) Isi taklik talak tidak boleh bertentangan dengan hukum Islam.
(3) Dalam hal pernyataan yang tercantum dalam taklik talak kemu-dian terjadi, talak jatuh jika isteri mengajukan gugatan ke
Penga-dilan dan gugatan tersebut diterima.
(4) Perjanjian taklik talak bukan suatu kewajiban dalam perka-winan, tetapi jika sudah diperjanjikan tidak dapat dicabut kembali.
Bagian Kedua
Perjanjian Perkawinan
Pasal 41
(1) Pada waktu atau sebelum perkawinan dilangsungkan kedua calon mempelai dapat membuat perjanjian tertulis yang
disahkan Pejabat Pencatat Nikah mengenai kedudukan harta dalam perkawinan.
(2) Perjanjian tersebut pada ayat (1) dapat meliputi percampuran harta pribadi dan pemisahan harta pencaharian masingmasing sepanjang hal itu tidak bertentangan dengan hukum Islam.
(3) Di samping ketentuan pada Ayat (1) dan (2) di atas, dapat pula isi perjanjian itu menetapkan kewenangan masing-masing
untuk mengadakan ikatan hipotik atas harta pribadi dan harta bersama atau harta syarikat.
Pasal 42
(1) Apabila dibuat perjanjian perkawinan mengenai pemisahan harta bersama atau harta syarikat, maka perjanjian tersebut
tidak boleh menghilangkan kewajiban suami untuk memenuhi kebu-tuhan rumah tangga.
(2) Apabila dibuat perjanjian perkawinan yang tidak memenuhi ke-tentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dianggap
tetap ter-jadi pemisahan harta bersama atau harta syarikat dengan kewajiban suami untuk memenuhi kebutuhan rumah
tangga.
Pasal 43

(1) Perjanjian percampuran harta pribadi dapat meliputi semua harta, baik yang dibawa masing-masing ke dalam perkawinan
maupun yang diperoleh masing-masing selama perkawinan.
(2) Dengan tidak mengurangi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat juga diperjanjikan bahwa percampuran
harta pribadi hanya terbatas pada harta pribadi yang dibawa pada saat perkawinan dilangsungkan, sehingga
percampuran ini tidak meliputi harta pribadi yang diperoleh selama perkawinan atau sebaliknya.
Pasal 44
(1) Perjanjian perkawinan mengenai harta mengikat kepada para pihak dan pihak ketiga terhitung mulai tanggal
dilangsungkan perkawinan di hadapan Pejabat Pencatat Nikah.
(2) Perjanjian perkawinan mengenai harta dapat dicabut atas persetujuan bersama suami isteri dan wajib didaftarkan di
Kantor Pejabat Pencatat Nikah tempat perkawinan dilangsungkan.
(3) Sejak pendaftaran tersebut, pencabutan telah mengikat kepada suami isteri tetapi terhadap pihak ketiga pencabutan baru
mengikat sejak tanggal pendaftaran itu diumumkan oleh suami isteri dalam suatu surat kabar setempat.
draft RUU Hukum Materiil Peradilan Agama
Bidang Perkawinan
Pelaksanaan
kawin...,Sendy Yudawan,FHUI,2011
file Yuli Muth, Juni 2009

(4) Apabila dalam tempo 6 (enam) bulan pengumuman tidak dilakukan yang bersangkutan, pendaftaran pencabutan dengan
sendirinya gugur dan tidak mengikat kepada pihak ketiga.
(5) Pencabutan perjanjian perkawinan mengenai harta tidak boleh merugikan perjanjian yang telah dibuat sebelumnya
dengan pihak ketiga.
Pasal 45
Pelanggaran atas perjanjian perkawinan dapat dijadikan alasan bagi isteri atau suami untuk meminta pembatalan nikah atau
meng-ajukan gugatan perceraian ke Pengadilan.
Pasal 46
Pada saat dilangsungkan perkawinan dengan isteri kedua, ketiga atau keempat, dapat diperjanjikan mengenai tempat
kediaman, waktu giliran dan biaya rumah tangga bagi isteri yang akan dini-kahinya itu sepanjang tidak bertentangan dengan
Hukum Islam.
B A B VIII
PERKAWINAN PEREMPUAN HAMIL
KARENA ZINA
Pasal 47
Pasal 47
(1) Seorang perempuan hamil karena zina, dapat dikawinkan dengan laki-laki yang menzinainya.
(2) Perkawinan dengan perempuan hamil sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilangsungkan tanpa menunggu lebih
dahulu kelahiran anaknya.
(3) Dengan dilangsungkannya perkawinan pada saat perempuan hamil, tidak diperlukan perkawinan ulang setelah anak yang
dikandung lahir.
Pasal 48
Perempuan hamil akibat perkosaan dapat dikawinkan dengan laki-laki lain tanpa menunggu kelahiran anaknya dan tidak
diperlukan perkawinan ulang sebagaimana dimaksud dalam pasal 47 ayat (3).
Pasal 49
Dalam hal seorang laki-laki menzinai seorang perempuan yang belum kawin dan menyebabkan kehamilannya, sedangkan lakilaki tersebut menolak mengawininya sehingga terjadi perselisihan, maka penyelesaiannya diajukan ke Pengadilan.
B A B IX
BERISTERI LEBIH DARI SATU ORANG
Pasal 50
(1) Beristeri lebih dari satu orang pada waktu yang bersamaan, dibatasi hingga empat orang isteri.
(2) Untuk dapat beristeri lebih dari seorang, suami disyaratkan mampu memberikan nafkah lahir dan batin serta berlaku adil
terhadap isteri-isteri dan anak-anaknya.
(3) Dalam hal syarat sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak dapat dipenuhi, suami dilarang beristeri lebih dari seorang.

Pasal 51
Pada saat dilangsungkan perkawinan dengan isteri kedua, ketiga, atau keempat, dapat diperjanjikan mengenai tempat
kediaman, waktu giliran, dan biaya rumah tangga bagi isteri yang akan dini-kahinya itu sepanjang tidak bertentangan dengan
Hukum Islam.
Pasal 52
(1) Suami yang hendak beristeri lebih dari satu orang wajib mengajukan permohonan izin kepada Pengadilan
(2) Pengajuan permohonan izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan sesuai dengan peraturan perudangundangan.
(3) Perkawinan yang dilakukan dengan isteri kedua, ketiga, atau ke empat tanpa izin dari Pengadilan, tidak mempunyai
kekuatan hukum.

draft RUU Hukum Materiil Peradilan Agama


Bidang Perkawinan
Pelaksanaan
kawin...,Sendy Yudawan,FHUI,2011
file Yuli Muth, Juni 2009

10

Pasal 53
Pasal 53
(1) Pengadilan hanya memberikan izin kepada seorang suami yang akan beristeri lebih dari seorang apabila:
a. isteri tidak dapat menjalankan kewajiban sebagai isteri;
b. isteri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan;
c. isteri tidak dapat melahirkan keturunan; atau
d. terdapat alasan lain yang dibenarkan menurut hukum.
(2) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dan huruf c harus dibuktikan dengan keterangan tim dokter
rumah sakit yang ditunjuk oleh pemerintah atas permintaan pengadilan.
Pasal 54
Pasal 54
(1) Selain syarat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52 ayat (1) maka untuk memperoleh izin Pengadilan, harus dipenuhi
pula syarat-syarat sebagai berikut:
a. adanya persetujuan isteri/isteri-isteri; dan
b. adanya kepastian bahwa suami mampu menjamin keperluan hidup isteri-isteri dan anak-anak mereka.
(2) Persetujuan isteri atau isteri-isteri dapat diberikan secara tertulis atau dengan lisan, tetapi sekalipun telah ada persetujuan
ter-tulis, harus dipertegas dengan persetujuan lisan isteri pada si-dang Pengadilan.
(3) Persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a tidak diperlukan bagi seorang suami apabila:
a. isteri atau isteri-isterinya tidak mungkin dimintai perse-tujuannya dan tidak dapat menjadi pihak dalam perjanjian;
b. tidak ada kabar dari isteri atau isteri-isterinya sekurang-kurangnya 2 (dua) tahun; atau
c. sebab lain yang perlu mendapat penilaian Hakim.
Pasal 55
Pasal 55
Dalam hal isteri tidak mau memberikan persetujuan, dan permohonan izin untuk beristeri lebih dari satu orang telah memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 53 ayat (1), Pengadilan dapat menetapkan pemberian izin setelah
memeriksa dan mendengar keterangan isteri yang bersangkutan di persidangan Pe-ngadilan, dan terhadap penetapan ini tidak
dapat dimintakan ban-ding atau kasasi.
BAB X
PENCEGAHAN PERKAWINAN
Pasal 56
(1) Pencegahan perkawinan bertujuan untuk menghindari suatu perkawinan yang dilarang dan yang tidak memenuhi syarat
menurut hukum Islam dan peraturan perundang-undangan.
(2) Pencegahan perkawinan harus dilakukan bila calon suami atau calon isteri tidak memenuhi syarat menurut hukum Islam
dan peraturan perundang-undangan.
Pasal 57
Tidak sepadan (sekufu) tidak dapat dijadikan alasan untuk men-cegah perkawinan, kecuali tidak sekufu karena alasan akhlak
dan perbedaan agama.
Pasal 58
(1) Yang dapat mencegah perkawinan adalah para keluarga dalam garis keturunan lurus ke atas dan ke bawah, saudara, wali

nikah, wali pengampu dari salah seorang calon mempelai dan pihak-pihak yang berkepentingan.
(2) Walaupun ayah kandung tidak pernah melaksanakan fungsinya sebagai kepala keluarga, hak kewaliannya tidak gugur
untuk mencegah perkawinan yang akan dilakukan oleh wali nikah yang lain.
Pasal 59
Pencegahan perkawinan dapat dilakukan oleh suami atau isteri yang masih terikat dalam perkawinan dengan salah seorang
calon isteri atau calon suami yang akan melangsungkan perkawinan.
Pasal 60
Pejabat Pencatat Nikah berwenang mencegah perkawinan jika rukun dan syarat perkawinan tidak dipenuhi.

draft RUU Hukum Materiil Peradilan Agama


Bidang Perkawinan
Pelaksanaan
kawin...,Sendy Yudawan,FHUI,2011
file Yuli Muth, Juni 2009

11

Pasal 61
(1) Pencegahan perkawinan diajukan kepada Pengadilan di daerah hukum tempat perkawinan akan dilangsungkan serta
diberita-hukan kepada Pejabat Pencatat Nikah.
(2) Pemberitahuan mengenai permohonan pencegahan perkawinan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) juga disampaikan
Kepada calon mempelai oleh Pejabat Pencatat Nikah.
Pasal 62
Perkawinan tidak dapat dilangsungkan apabila pencegahan belum dicabut oleh pemohon.
Pasal 63
Dalam hal Pengadilan menolak permohonan pencegahan maka perkawinan dapat dilangsungkan.
Pasal 64
Pejabat Pencatat Nikah dilarang melangsungkan atau membantu melangsungkan perkawinan bila ia mengetahui adanya
pelanggaran dari ketentuan Pasal 14, Pasal 31, Pasal 32, Pasal 33, Pasal 34, Pasal 35, Pasal 36, Pasal 37, dan Pasal 38
Undang-Undang ini, meskipun tidak ada pencegahan perkawinan.
Pasal 65
(1) Pejabat Pencatat Nikah wajib menolak perkawinan jika terdapat larangan menurut Undang-Undang ini.
(2) Dalam hal adanya penolakan maka atas permintaan salah satu pihak yang berkehendak melangsungkan perkawinan,
Pejabat Pencatat Nikah menerbitkan surat penolakan disertai dengan alasan penolakannya.
(3) Para pihak yang kehendak nikahnya ditolak berhak mengajukan permohonan untuk mendapatkan penetapan Pengadilan
yang mewilayahi Pejabat Pencatat Nikah, dengan menyerahkan surat penolakan tersebut.
(4) Pengadilan memeriksa perkaranya dengan acara singkat dan memberikan penetapan, apakah menguatkan penolakan
tersebut atau memerintahkan agar perkawinan dilangsungkan.
(5) Penetapan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) hilang ke-kuatannya jika larangan yang mengakibatkan penolakan
tersebut telah hilang, dan para pihak yang hendak melangsungkan perka-winan dapat mengulangi pemberitahuan
kehendak nikah mereka.
B A B XI
BATALNYA PERKAWINAN
Pasal 66
Perkawinan batal apabila:
a. seseorang melakukan perkawinan, sedang ia tidak berhak melakukan akad nikah karena sudah mempunyai empat
orang isteri, sekalipun salah satu dari keempat isterinya itu dalam idah talak raji;
b. seseorang menikahi bekas isterinya yang telah diliannya;
c. seseorang menikahi bekas isterinya yang pernah dijatuhi tiga kali talak;
d. perkawinan dilakukan antara dua orang yang mempunyai hubungan darah, semenda, atau sesusuan sampai derajat
tertentu yang menghalangi perkawinan menurut Undang-Undang ini;
e. perempuan yang dikawini ternyata masih dalam idah dari suami lain; atau
f. perkawinan dilaksanakan oleh wali yang tidak berhak.
Pasal 67
Suatu perkawinan dapat dibatalkan apabila:

a. seorang suami beristeri lebih dari satu orang tanpa izin Pengadilan;
b. perempuan yang dikawini ternyata masih menjadi isteri laki-laki lain yang mafqud;
c. perkawinan yang melanggar batas umur perkawinan, seba-gaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (1); atau
d. perkawinan yang dilaksanakan dengan paksaan.
Pasal 68
(1) Seorang suami atau isteri dapat mengajukan permohonan pem-batalan perkawinan apabila:
a. perkawinan dilangsungkan di bawah ancaman;
b. terjadi penipuan dalam perkawinan; atau
c. salah sangka mengenai diri suami atau isteri.
(2) Apabila ancaman telah berhenti, atau yang bersalah sangka itu menyadari keadaannya, dan dalam jangka waktu 6
(enam) bulan setelah itu masih tetap hidup sebagai suami isteri, dan tidak menggunakan haknya untuk mengajukan
permohonan pemba-talan, maka haknya gugur.
draft RUU Hukum Materiil Peradilan Agama
Bidang Perkawinan
Pelaksanaan
kawin...,Sendy Yudawan,FHUI,2011
file Yuli Muth, Juni 2009

12

Pasal 69
Yang dapat mengajukan permohonan pembatalan perkawinan adalah:
a. para keluarga dalam garis keturunan lurus ke atas dan ke bawah dari suami atau isteri;
b. suami atau isteri ;
c. Pejabat Pencatat Nikah; atau
d. pihak yang berkepentingan yang mengetahui adanya cacat dalam rukun dan syarat perkawinan.
Pasal 70
(1) Permohonan pembatalan perkawinan dapat diajukan kepada Pengadilan yang mewilayahi tempat tinggal suami atau isteri
atau tempat perkawinan dilangsungkan.
(2) Batalnya suatu perkawinan dimulai setelah putusan Pengadilan mempunyai kekuatan hukum yang tetap dan berlaku sejak
saat berlangsungnya perkawinan.
Pasal 71
Keputusan Pembatalan perkawinan tidak berlaku surut terhadap:
a. anak-anak yang dilahirkan dari perkawinan tersebut; dan/atau
b. pihak ketiga sepanjang mereka memperoleh hak-hak dengan beriktikad baik, sebelum putusan pembatalan
perkawinan mempunyai kekuatan hukum yang tetap.
Pasal 72
Pasal 72
Batalnya suatu perkawinan tidak akan memutuskan hubungan hukum antara anak dengan orangtuanya.
B A B XII
HAK DAN KEWAJIBAN SUAMI ISTERI
Bagian Kesatu
Umum
Pasal 73
(1) Suami isteri berkewajiban menegakkan rumah tangga yang sakinah yang dilandasi mawadah dan rahmah.
(2) Suami isteri harus saling mencintai, menghormati, setia, dan membimbing serta saling memberi bantuan lahir batin.
(3) Suami isteri harus mengasuh dan memelihara anak-anak mereka, baik mengenai pertumbuhan jasmani, rohani maupun
kecerdasannya dan pendidikan agamanya.
(4) Suami isteri harus memelihara kehormatan diri dan nama baik keluarganya.
(5) Jika suami atau isteri melalaikan kewajibannya, masing-masing dapat mengajukan gugatan kepada Pengadilan.
Pasal 74
Pasal 74
(1) Suami isteri harus mempunyai tempat kediaman yang tetap.
(2) Tempat kediaman sebagaimana dimaksud pada ayat (1), diten-tukan bersama oleh suami isteri.
Bagian Kedua
Kedudukan Suami Isteri

Pasal 75
(1) Suami adalah kepala keluarga dan isteri adalah ibu rumah tangga.
(2) Hak dan kedudukan isteri adalah seimbang dengan hak dan kedudukan suami dalam kehidupan keluarga dan rumah
tangga serta pergaulan hidup bersama dalam masyarakat.
(3) Masing-masing suami dan isteri berhak untuk melakukan perbu-atan hukum sesuai dengan ketentuan perundangan yang
berlaku.

draft RUU Hukum Materiil Peradilan Agama


Bidang Perkawinan
Pelaksanaan
kawin...,Sendy Yudawan,FHUI,2011
file Yuli Muth, Juni 2009

13

Bagian Ketiga
Kewajiban Suami
Pasal 76
(1) Suami adalah pembimbing isteri dan rumah tangganya, akan tetapi mengenai urusan penting dalam rumah tangga
diputuskan bersama oleh suami isteri.
(2) Suami harus melindungi dan membantu isteri lahir dan batin serta memberikan segala sesuatu keperluan hidup berumah
tang-ga sesuai dengan kemampuannya.
(3) Suami harus memberi pendidikan agama kepada isterinya dan memberi kesempatan belajar pengetahuan yang berguna
dan ber-manfaat.
(4) Sesuai dengan penghasilannya, suami menanggung:
a. nafkah, pakaian dan tempat kediaman bagi isteri;
b. biaya rumah tangga, biaya perawatan dan biaya pengobatan bagi isteri dan anak; dan
c. biaya pendidikan bagi anak.
(5) Apabila suami tidak dapat melaksanakan kewajibannya sebagai-mana dimaksud ayat (2) dan (4), isteri dengan
kerelaannya dapat membebaskan suami dari kewajiban tersebut.
(6) Kewajiban suami sebagaimana dimaksud pada ayat (5) gugur apabila isteri nusyuz.
Pasal 77
Dalam hal suami menunjukkan tanda-tanda nusyuz atau tidak mempergauli isteri dengan baik maka isteri dapat menentukan
pilihannya apakah tetap mempertahankan perkawinan atau meng-ajukan gugat cerai.
Bagian Keempat
Tempat Kediaman
Pasal 78
(1) Tempat kediaman adalah tempat tinggal yang layak untuk suami isteri dan anak-anaknya selama dalam ikatan
perkawinan, atau dalam idah talak atau idah wafat yang disediakan oleh suami atau diusahakan bersama.
(2) Tempat kediaman sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menca-kup perlengkapan rumah tangga dan sarana penunjang
lainnya sesuai dengan kemampuan suami.
Pasal 79
Suami yang mempunyai isteri lebih dari seorang berkewajiban memberi tempat tinggal dan biaya hidup kepada masing-masing
is-teri secara berimbang menurut besar kecilnya jumlah keluarga yang ditanggung masing-masing isteri, kecuali jika ada
perjanjian per-kawinan.
Bagian Kelima
Kewajiban Isteri
Pasal 80
(1) Isteri wajib menaati suami lahir dan batin di dalam batas-batas yang dibenarkan oleh hukum Islam.
(2) Isteri wajib mengatur urusan rumah tangga dengan sebaik-baiknya.
Pasal 81
(1) Isteri dapat dianggap nusyuz jika ia tidak melaksanakan kewa-jiban-kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 80

tanpa a-lasan yang sah.


(2) Kewajiban suami terhadap isteri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76 tidak berlaku kecuali yang berkaitan dengan
kepenting-an anak dan berlaku kembali sesudah isteri tidak nusyuz.
(3) Ketentuan tentang adanya nusyuz isteri harus berdasarkan buk-ti yang sah dan ditetapkan oleh Pengadilan.
B A B XIII
HARTA KEKAYAAN DALAM PERKAWINAN
Pasal 82
Pasal 82
(1) Perkawinan tidak mengakibatkan percampuran harta suami dan harta isteri kecuali suami isteri menentukan lain.
draft RUU Hukum Materiil Peradilan Agama
Bidang Perkawinan
Pelaksanaan
kawin...,Sendy Yudawan,FHUI,2011
file Yuli Muth, Juni 2009

14

(2) Harta isteri tetap menjadi hak isteri dan dikuasai penuh olehnya, harta suami tetap menjadi hak suami dan dikuasai penuh
oleh-nya.
Pasal 83
Harta kekayaan dalam perkawinan dapat terdiri dari:
a. Harta bersama (syirkah), yaitu harta yang diperoleh suami isteri baik sendiri-sendiri atau bersama suami isteri
selama dalam ikatan perkawinan berlangsung tanpa mempersoalkan terdaftar atas nama siapapun kecuali suami
isteri menen-tukan lain;
b. Harta bawaan, yaitu harta masing-masing suami atau isteri yang diperoleh sebelum terjadi perkawinan dan hasilnya;
c. Warisan, hibah, dan hadiah yang diperoleh masing-masing suami isteri dalam perkawinan.
Pasal 84
(1) Harta kekayaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 83 huruf b dan huruf c, di bawah penguasaan masing-masing,
sepanjang pa-ra pihak tidak menentukan lain dalam perjanjian perkawinan atau perjanjian lain.
(2) Suami dan isteri mempunyai hak sepenuhnya untuk melakukan perbuatan hukum atas harta masing-masing berupa hibah,
ha-diah, shadaqah atau lainnya.
(3) Terhadap harta bersama, suami isteri dapat bertindak atas perse-tujuan kedua belah pihak.
Pasal 85
Apabila terjadi perselisihan antara suami isteri tentang harta bersama, maka penyelesaian perselisihan itu diajukan kepada
Pengadilan.
Pasal 86
(1) Suami bertanggungjawab menjaga harta bersama, harta isteri maupun hartanya sendiri.
(2) Isteri turut bertanggungjawab menjaga harta bersama maupun harta suami yang ada padanya.
(1)
(2)
(3)
(4)

Pasal 87
Harta bersama sebagaimana tersebut dalam Pasal 83 huruf a di atas dapat berupa benda berwujud atau tidak berwujud.
Harta bersama yang berwujud dapat meliputi benda tidak ber-gerak, benda bergerak dan surat-surat berharga.
Harta bersama yang tidak berwujud dapat berupa hak kekayaan intelektual dan hak lainnya yang bernilai ekonomis.
Harta bersama dapat dijadikan sebagai barang jaminan oleh sa-lah satu pihak atas persetujuan pihak lainnya.

Pasal 88
Suami atau isteri tanpa persetujuan pihak lain tidak diperbolehkan menjual atau mengalihkan hak atas harta bersama.
(1)
(2)
(3)
(4)

Pasal 89
Pertanggungjawaban terhadap hutang suami atau isteri dibeban-kan pada hartanya masing-masing.
Pertanggungjawaban terhadap hutang yang dilakukan untuk ke-pentingan keluarga, dibebankan kepada harta bersama.
Bila harta bersama tidak mencukupi, dibebankan kepada harta suami.
Bila harta suami tidak ada atau tidak mencukupi tidak ada atau tidak mencukupi dibebankan kepada harta isteri.

Pasal 90
(1) Harta bersama dari perkawinan seorang suami yang mempunyai isteri lebih dari seorang, masing-masing terpisah dan
berdiri sendiri.
(2) Pemilikan harta bersama dari perkawinan seorang suami yang mempunyai isteri lebih dari seorang sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), dihitung sejak berlangsungnya akad perkawinan yang kedua, ketiga atau yang keempat.
(3) Penghitungan pemilikan harta bersama sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dimuat dalam putusan Pengadilan dalam
perkara permohonan izin beristeri lebih dari satu.
Pasal 91
(1) Suami atau isteri dapat meminta Pengadilan untuk meletakkan sita jaminan atas harta bersama tanpa adanya
permohonan izin talak atau gugatan cerai, apabila salah satu pihak melakukan perbuatan yang merugikan dan
membahayakan harta bersama seperti judi, mabuk, atau boros.
(2) Selama masa sita, dapat dilakukan penjualan atas harta bersama untuk kepentingan keluarga dengan izin Pengadilan.

draft RUU Hukum Materiil Peradilan Agama


Bidang Perkawinan
Pelaksanaan
kawin...,Sendy Yudawan,FHUI,2011
file Yuli Muth, Juni 2009

15

Pasal 92
(1) Dalam hal perkawinan putus karena kematian, seperdua harta bersama menjadi hak suami atau isteri yang masih hidup.
(2) Pembagian harta bersama bagi suami atau isteri yang mafqud di-tangguhkan sampai adanya putusan Pengadilan yang
mempunyai kekuatan hukum tetap tentang mafqud-nya isteri atau suami.
Pasal 93
Janda atau duda cerai hidup masing-masing berhak seperdua dari harta bersama, sepanjang tidak ditentukan lain dalam
perjanjian perkawinan.
B A B XIV
KEDUDUKAN ANAK
Pasal 94
(1) Anak yang sah adalah anak yang dilahirkan akibat perkawinan yang sah.
(2) Anak yang lahir sebagai hasil pembuahan suami isteri yang sah di luar cara alami dan dilahirkan oleh isteri tersebut
adalah anak yang sah.
Pasal 95
Anak yang lahir akibat perzinaan dan/atau di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan nasab dengan ibunya dan keluarga
ibunya.
Pasal 96
Dalam hal perkawinan perempuan hamil sebagaimana dimaksud dalam Pasal 47 dan Pasal 48, maka anak yang lahir dalam
waktu kurang dari 180 (seratus delapan puluh) hari terhitung sejak akad nikah, hanya mempunyai hubungan nasab dengan
ibunya dan keluarga ibunya.
Pasal 97
PSeorang suami yang mengingkari sahnya anak, sedang isteri menyangkalnya, suami dapat meneguhkan pengingkarannya
dan isteri dapat meneguhkan penyangkalannya dengan lian.
Pasal 98
Pengingkaran suami terhadap anak yang lahir dari isterinya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 97 diajukan ke Pengadilan.
Pasal 99
Pasal 99
(1) Asal usul anak dapat dibuktikan dengan akta kelahiran atau alat bukti lainnya.
(2) Bila akta kelahiran atau alat bukti lainnya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak ada, maka Pengadilan dapat
mengeluarkan penetapan tentang asal-usul anak setelah mengadakan pemeriksaan yang teliti berdasarkan bukti-bukti
yang sah.
(3) Atas dasar penetapan Pengadilan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), maka instansi pencatat kelahiran yang ada
dalam daerah hukum Pengadilan tersebut memberikan akta kelahiran bagi anak yang bersangkutan.
B A B XV
PUTUSNYA PERKAWINAN

Pasal 100
Perkawinan putus karena:
a. kematian,
b. perceraian, atau
c. putusan Pengadilan.
Pasal 101
Putusnya perkawinan yang disebabkan oleh perceraian dapat terjadi karena talak yang diikrarkan suami atau talak berdasarkan
gugatan perceraian.
draft RUU Hukum Materiil Peradilan Agama
Bidang Perkawinan
Pelaksanaan
kawin...,Sendy Yudawan,FHUI,2011
file Yuli Muth, Juni 2009

16

Pasal 102
Perceraian dilakukan di depan sidang Pengadilan setelah Pengadilan tersebut berusaha dan tidak berhasil mendamaikan
kedua belah pihak.
Pasal 103
Perceraian dapat terjadi karena alasan sebagai berikut:
a. salah satu pihak berbuat zina, menjadi pemabuk, pemadat, atau penjudi, dan lain sebagainya yang sukar
disembuhkan;
b. salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama 2 (dua) tahun berturut-turut tanpa izin dan alasan yang sah, atau
karena hal lain di luar kemampuannya;
c. salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 (lima) tahun atau hukuman yang lebih berat setelah perkawinan
berlang-sung;
d. salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang membahayakan pihak yang lain;
e. salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit dengan akibat tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai
suami atau isteri;
f. di antara suami dan isteri terjadi perselisihan dan perteng-karan terus menerus dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga;
g. suami melanggar taklik-talak; atau
h. suami atau isteri keluar dari agama Islam (murtad).
Pasal 104
Talak adalah ikrar suami di hadapan sidang Pengadilan yang menja-di salah satu sebab putusnya perkawinan.
Pasal 105
Talak sebagaimana dimaksud dalam pasal 112 dapat berupa:
a. talak raji,
b. talak bain sugra dan bain kubra,
c. talak suni (sunni),
d. talak bidi, dan
e. talak khuluk.
Pasal 106
Pasal 115
Talak raji adalah talak kesatu atau kedua yang suami dapat meru-juk isterinya selama idah.
Pasal 107
(1) Talak bain sugra adalah talak yang tidak boleh dirujuk tapi boleh akad nikah baru dengan bekas suaminya meskipun
dalam idah.
(2) Talak bain sugra sebagaimana tersebut pada ayat (1) adalah:
a. talak yang terjadi qabladdukhul;
b. talak dengan tebusan atau khuluk;
c. talak yang dijatuhkan oleh Pengadilan
Pasal 108
Talak bain kubra adalah talak yang terjadi untuk ketiga kalinya yang menyebabkan tidak dapat rujuk dan tidak dapat nikah
kembali, ke-cuali apabila perkawinan itu dilakukan setelah bekas isteri menikah dengan orang lain dan kemudian terjadi
perceraian badadukhul dan habis masa idahnya.
Pasal 109
Talak suni adalah talak yang dibolehkan yaitu talak yang dijatuhkan terhadap isteri yang sedang suci dan tidak campur dalam
waktu suci tersebut.
Pasal 110
Talak bidi adalah talak yang dilarang, yaitu:
a. talak yang dijatuhkan pada waktu isteri dalam keadaan haid; atau
b. talak yang dijatuhkan pada waktu isteri dalam keadaan suci tapi sudah dicampuri pada waktu suci tersebut.
Pasal 111
Perceraian terjadi dan terhitung pada saat dinyatakan di depan sidang Pengadilan.
draft RUU Hukum Materiil Peradilan Agama
Bidang Perkawinan
Pelaksanaan
kawin...,Sendy Yudawan,FHUI,2011
file Yuli Muth, Juni 2009

17

Pasal 112
Khuluk harus berdasarkan alasan perceraian yang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pasal 113
Putusnya perkawinan atas dasar putusan pengadilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 108 huruf c, terjadi karena lian atau
fasakh.
Pasal 114
Lian terjadi karena suami menuduh zina dan/atau mengingkari anak yang dikandung atau yang dilahirkan oleh isterinya;
sedangkan isteri menolak tuduhan dan/atau pengingkaran suami.
Pasal 115
Pasal 124Tata urutan lian diatur sebagai berikut:
a. suami bersumpah empat kali dengan tuduhan zina dan/atau pengingkaran anak tersebut, diikuti sumpah kelima
dengan ucapan: Laknat Allah atas diriku apabila tuduhan dan/atau pengingkaran tersebut dusta.;
b. isteri menolak tuduhan dan/atau pengingkaran tersebut de-ngan bersumpah empat kali dengan ucapan: Tuduhan
dan /atau pengingkaran tersebut tidak benar, dan diikuti sum-pah kelima dengan ucapan: Murka Allah atas diriku
bila tu-duhan dan/atau pengingkaran tersebut benar.;
c. tata cara pada huruf a dan huruf b tersebut merupakan satu kesatuan yang tak terpisahkan;
d. apabila ketentuan pada huruf a tidak diikuti dengan keten-tuan pada huruf b, maka lian tidak terjadi.

Pasal 116
Lian hanya sah apabila dilakukan di hadapan sidang Pengadilan.
Pasal 117
Pasal 126
Fasakh sebagaimana dimaksud dalam Pasal 122 dapat terjadi karena:
a. perkawinan dilakukan tidak memenuhi salah satu syarat dan rukun perkawinan;
b. melanggar larangan perkawinan; atau
c. suami atau isteri keluar dari Islam.
Pasal 118
Tata cara perceraian dilakukan sesuai dengan hukum acara yang berlaku di pengadilan.
Pasal 119
Dalam hal talak dijatuhkan tidak di depan sidang Pengadilan maka isteri dan pihak lain yang berkepentingan dengan
perkawinan dan/atau dirugikan akibat talak tersebut berhak mengajukan gugatannya ke Pengadilan.
B A B XVI
AKIBAT PUTUSNYA PERKAWINAN
Bagian Kesatu
Akibat Cerai Talak

Pasal 120
Putusnya perkawinan karena cerai talak mengakibatkan bekas suami wajib:
a. memberikan mutah yang layak berupa uang atau benda kepa-da bekas isterinya, kecuali qabladdukhul yang sudah
ditetap-kan maharnya;
b. memberi nafkah, tempat kediaman, dan pakaian kepada be-kas isteri selama dalam idah, kecuali bekas isteri telah
dija-tuhi talak bain atau nusyuz dalam keadaan tidak hamil;
c. melunasi seluruh mahar yang masih terhutang, dan separuh-nya apabila qabladdukhul yang sudah ditetapkan
maharnya; dan
d. memberikan biaya hadanah untuk anak-anaknya yang belum mencapai umur 21 tahun.
draft RUU Hukum Materiil Peradilan Agama
Bidang Perkawinan
Pelaksanaan
kawin...,Sendy Yudawan,FHUI,2011
file Yuli Muth, Juni 2009

18

Pasal 121
Bekas suami berhak melakukan rujuk dengan bekas isterinya yang masih dalam idah raji.
Pasal 122
Bekas isteri selama idah wajib menjaga dirinya, tidak menerima pinangan, dan tidak menikah dengan laki-laki lain.
Bagian Kedua
Waktu Tunggu
Pasal 123
(1) Waktu tunggu atau idah berlaku bagi janda yang perkawinannya putus kecuali perceraian qabladdukhul.
(2) Waktu tunggu janda ditentukan sebagai berikut:
a. apabila perkawinan putus karena kematian, waktu tunggu ditetapkan 130 (seratus tiga puluh) hari terhitung sejak
kematian suami;
b. apabila perkawinan putus karena perceraian dan putusan Pengadilan, waktu tunggu janda yang masih haid
ditetapkan 3 (tiga) kali suci dengan sekurang-kurangnya 9 (sembilan puluh) hari, dan janda yang tidak haid
ditetapkan 90 (sem-bilan puluh) hari; terhitung sejak:
1) diucapkannya ikrar talak dalam hal perkawinan putus ka-rena cerai talak, atau
2) putusan pengadilan mempunyai kekuatan hukum tetap dalam hal perkawinan putus karena cerai gugat dan
kare-na putusan Pengadilan;
c. apabila perkawinan putus karena perceraian atau karena kematian, sedang janda tersebut dalam keadaan hamil,
waktu tunggu ditetapkan sampai kelahiran anaknya.
(3) Waktu tunggu bagi isteri yang masih dalam usia haid sedang pada waktu menjalani idah tidak haid karena menyusui,
maka idahnya tiga bulan (90 hari).
(4) Dalam hal janda yang masih usia haid menjalani idah tidak haid bukan karena menyusui, maka idahnya satu tahun, akan
tetapi bila ia berhaid kembali dalam waktu tersebut, maka idahnya menjadi tiga kali waktu suci.
Pasal 124
Apabila bekas suami meninggal dalam waktu idah talak raji sebagaimana dimaksud dalam Pasal 131 ayat (2) huruf b, ayat (3)
dan ayat (4), maka idah janda berubah menjadi 4 (empat) bulan 10 (sepuluh) hari terhitung sejak kematian bekas suami.
Bagian Ketiga
Harta Bersama Akibat Perceraian
Pasal 125
Harta bersama dibagi menurut ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 92 dan Pasal 93.
Bagian Keempat
Akibat khuluk
Pasal 126
Perceraian dengan talak khuluk mengurangi jumlah talak dan tidak dapat dirujuk.
Bagian Kelima
Akibat lian

Pasal 127
(1) Apabila lian terjadi maka perkawinan putus untuk selamanya.
(2) Status anak yang lahir dari perkawinan yang putus karena lian dinasabkan kepada ibunya sedang suami terbebas dari
kewajiban memberi nafkah.
(3) Dalam hal dapat dibuktikan bahwa anak tersebut adalah anak ayahnya, maka ia dinasabkan kepada ayahnya dan
nafkahnya menjadi kewajiban ayahnya.

draft RUU Hukum Materiil Peradilan Agama


Bidang Perkawinan
Pelaksanaan
kawin...,Sendy Yudawan,FHUI,2011
file Yuli Muth, Juni 2009

19

B A B XVII
PEMELIHARAAN ANAK (HADANAH)
Pasal 128
Dalam hal terjadinya perceraian:
a. hak pemeliharaan anak yang belum mumayiz atau belum berumur 12 tahun dipegang oleh ibunya, kecuali untuk kepentingan anak, pengadilan memutuskan lain;
b. apabila ibu anak sebagaimana dimaksud pada huruf a me-ninggal dunia, maka kedudukannya digantikan oleh:
1) perempuan dalam garis lurus dari ibu,
2) ayah,
3) perempuan dalam garis lurus ke atas dari ayah,
4) saudara perempuan anak yang bersangkutan,
5) perempuan kerabat sedarah menurut garis ke samping dari ibu, atau
6) perempuan kerabat sedarah menurut garis ke samping dari ayah.
Pasal 129
Pasal 129
(1) Biaya pemeliharaan anak dibebankan kepada ayahnya, dan apa-bila ayahnya telah meninggal dunia, biaya pemeliharaan
ditang-gung oleh ahli waris atau kerabat ayahnya.
(2) Dalam hal ahli waris atau kerabat ayahnya sebagaimana disebut pada ayat (1) tidak ada, biaya pemeliharaan dibebankan
kepada ibunya atau kerabat ibunya.
Pasal 130
(1) Ayah menurut kemampuannya menanggung biaya hadanah se-kurang-kurangnya sampai anak tersebut dewasa atau
sudah berumur 21 tahun dan dapat mengurus diri sendiri.
(2) Pengadilan dapat pula menetapkan jumlah biaya untuk peme-liharaan dan pendidikan anak yang tidak ikut pada ayahnya
ber-dasarkan kemampuannya.
Pasal 131
(1) anak yang sudah mumayiz berhak memilih hadanah dari ayah atau ibunya.
(2) apabila pemegang hadanah tidak dapat menjamin keselamatan jasmani dan rohani anak meskipun telah memberikan
biaya naf-kah dan hadanahnya secara cukup maka atas permintaan kera-bat yang bersangkutan Pengadilan dapat
menggantinya dengan pemegang hak hadanah lainnya.

Pasal 132
Bilamana terjadi perselisihan mengenai hadanah dan nafkah anak, Pengadilan memberikan putusannya berdasarkan Pasal
100, Pasal 101, Pasal 102, dan Pasal 103.
B A B XVIII
PERWALIAN

Pasal 133
(1) Perwalian hanya terhadap anak yang belum mencapai umur 18 tahun dan/atau belum pernah melangsungkan
perkawinan.

(2) Perwalian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi perwali-an atas diri dan harta kekayaan anak.
(3) Bila wali tidak mampu berbuat atau lalai melaksanakan tugas perwaliannya maka atas permohonan kerabat yang lain,
Peng-adilan dapat menunjuk salah seorang kerabat untuk bertindak sebagai wali.
(4) Wali diutamakan dari keluarga anak tersebut atau orang lain yang muslim, dewasa, berpikiran sehat, adil, jujur, dan
berkela-kuan baik; atau badan hukum.
Pasal 134
Orangtua dapat mewasiatkan kepada seseorang atau badan hukum untuk melakukan perwalian atas diri dan kekayaan
anak/anak-anaknya sesudah ia meninggal dunia.
Pasal 135
Pasal 104
draft RUU Hukum Materiil Peradilan Agama
Bidang Perkawinan
Pelaksanaan
kawin...,Sendy Yudawan,FHUI,2011
file Yuli Muth, Juni 2009

20

Pengadilan dapat mencabut hak perwalian seseorang atau badan hukum dan memindahkannya kepada pihak lain atas
permohonan kerabat anak bila pemegang hak perwalian tersebut pemabuk, pen-judi, pemboros, gila dan/atau melalaikan, atau
menyalahgunakan hak dan wewenangnya sebagai wali, demi kepentingan terbaik bagi anak yang berada di bawah perwalian.
Pasal 136
(1) Wali berkewajiban mengurus diri dan harta anak yang berada di bawah perwaliannya dengan sebaik-baiknya dan
berkewajiban memberikan bimbingan agama, pendidikan, dan keterampilan la-innya untuk masa depannya.
(2) Wali dilarang mengikatkan, membebani, dan mengasingkan harta anak yang berada di bawah perwaliannya, kecuali bila
perbuatan tersebut menguntungkan anak atau merupakan suatu kenyataan yang tidak dapat dihindarkan.
(3) Wali bertanggungjawab terhadap harta anak yang berada di ba-wah perwaliannya, dan mengganti kerugian yang timbul
seba-gai akibat kesalahan atau kelalaiannya.
(4) Wali wajib membuat daftar harta benda anak yang berada di ba-wah perwaliannya pada waktu memulai jabatannya dan
mencatat semua keterangan mengenai perubahan yang terjadi atas harta benda anak/anak-anak itu.
(5) Pertanggungjawaban wali sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dibuktikan dengan pembukuan yang ditutup tiap satu
tahun sekali.
Pasal 137
(1) Wali berkewajiban menyerahkan seluruh harta anak yang berada di bawah perwaliannya, bila yang bersangkutan telah
mencapai umur 18 tahun atau telah kawin.
(2) Dalam hal anak telah mampu mengurus diri dan hartanya walau-pun belum mencapai umur 18 tahun, maka atas
permintaan a-nak yang bersangkutan, wali dapat melepaskan hak perwali-annya.
(3) Pengadilan berwenang mengadili perselisihan antara wali dan a-nak yang berada di bawah perwaliannya tentang harta
yang dise-rahkan kepadanya.
Pasal 138
Pasal 107
Wali dapat mempergunakan harta anak yang berada di bawah per-waliannya, sepanjang diperlukan untuk kepentingannya
menurut kepatutan atau cara yang makruf apabila wali itu fakir.
B A B XIX
RUJUK
Pasal 139
(1) Bekas suami dapat merujuk bekas isterinya dalam idah talak raji.
(2) Bekas isteri dalam idah talak raji berhak menyatakan keberatan atas kehendak rujuk bekas suaminya.
(3) Rujuk suami dan/atau keberatan isteri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan (2) hanya dapat dilakukan di hadapan
Pejabat Pencatat Nikah dan disaksikan oleh 2 (dua) orang saksi.
(4) Pejabat Pencatat Nikah hanya dapat mencatat rujuknya suami apabila memperoleh persetujuan isteri.
Pasal 140
Rujuk harus dapat dibuktikan dengan Kutipan Buku Pencatatan Rujuk dan bila bukti tersebut hilang atau rusak sehingga tidak
dapat dipergunakan lagi, dapat dimintakan duplikatnya dari Kantor Urus-an Agama Kecamatan yang mencatat peristiwa
rujuknya.

Pasal 141
Tata cara rujuk dilakukan sesuai dengan peraturan perundang-un-dangan.
B A B XX
PERKAWINAN CAMPURAN
(1)
(2)

Pasal 142
Pelaksanaan perkawinan di Indonesia antara pasangan warga negara asing dan warga negara Indonesia berlaku
ketentuan sebagaimana diatur dalam Pasal 13 sampai dengan Pasal 26.
Calon suami atau isteri yang berkewarganegaraan asing harus mendapatkan izin tertulis dari negara asalnya
berdasarkan bukti dari kedutaan Negara yang bersangkutan.

draft RUU Hukum Materiil Peradilan Agama


Bidang Perkawinan
Pelaksanaan
kawin...,Sendy Yudawan,FHUI,2011
file Yuli Muth, Juni 2009

21

(3)

Calon suami yang berkewarganegaraan asing telah membayar u-ang jaminan kepada calon isteri melalui bank syariah di
Indo-nesia sebesar Rp. 500.000.000,- (lima ratus juta rupiah).
B A B XXI
KETENTUAN PIDANA

Pasal 143
Setiap orang yang dengan sengaja melangsungkan perkawinan tidak dihadapan Pejabat Pencatat Nikah sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) dipidana dengan pidana denda paling banyak Rp. 6.000.000,- (enam juta rupiah) atau
hukuman kurungan paling lama 6 (enam) bulan.
Pasal 144
Setiap orang yang melakukan perkawinan mutah sebagaimana dimaksud Pasal 39 dihukum dengan penjara selama-lamanya 3
(tiga) tahun, dan perkawinannya batal karena hukum.
Pasal 145
Setiap orang yang melangsungkan perkawinan dengan isteri kedua, ketiga atau keempat tanpa mendapat izin terlebih dahulu
dari Pengadilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52 ayat (1) dipidana dengan pidana denda paling banyak Rp. 6.000.000,(enam juta rupiah) atau hukuman kurungan paling lama 6 (enam)bulan.
Pasal 146
Setiap orang yang menceraikan isterinya tidak di depan sidang Pengadilan sebagaimana dalam Pasal 110 dipidana dengan
pidana denda paling banyak Rp. 6.000.000 (enam juta rupiah) atau hukum-an kurungan paling lama 6 (enam)bulan.
Pasal 147
Setiap orang yang melakukan perzinaan dengan seorang perempuan yang belum kawin sehingga menyebabkan perempuan
tersebut hamil sedang ia menolak mengawininya dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) bulan.
Pasal 148
Pejabat Pencatat Nikah yang melanggar kewajibannya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 dikenai hukuman kurungan
paling lama 1 (satu) tahun atau denda paling banyak Rp. 12.000.000.,- (dua belas juta rupiah).
Pasal 149
Setiap orang yang melakukan kegiatan perkawinan dan bertindak seolah-olah sebagai Pejabat Pencatat Nikah dan/atau wali
hakim sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 dan Pasal 21 dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun.
Pasal 150
Setiap orang yang tidak berhak sebagai wali nikah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22, dan dengan sengaja bertindak
sebagai wali nikah dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun.
Pasal 151
Tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 140, Pasal 142, Pasal 143, dan Pasal 145 merupakan tindak pidana
pelanggaran, dan tindak pidana yang dimaksud dalam Pasal 141, Pasal 144, Pasal 146, dan Pasal 147 adalah tindak pidana
kejahatan.
B A B XXII
KETENTUAN LAIN

Pasal 152
Perkara pidana yang terjadi sebagai akibat pelanggaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 141, Pasal 143, Pasal 144, dan
Pasal 146 dan/atau kejahatan sebagaimana dimaksud Pasal 142, Pasal 145, Pasal 147, dan Pasal 148 Undang-Undang ini
diperiksa dan diputus oleh Pengadilan setelah Pengadilan menerima perkara tersebut dari Kejaksaan Negeri setempat.
Pasal 153
Kepolisian dan Kejaksaan Negeri melakukan penyelidikan, penyi-dikan, dan penuntutan perkara pidana tersebut dalam Pasal
141 sampai Pasal 148 setelah menerima laporan dari masyarakat atau dari pihak-pihak yang berkepentingan.

draft RUU Hukum Materiil Peradilan Agama


Bidang Perkawinan
Pelaksanaan
kawin...,Sendy Yudawan,FHUI,2011
file Yuli Muth, Juni 2009

22

B A B XXIII
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 154 Pasal 152
Pada saat Undang-Undang ini berlaku:
(1) Perkawinan yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini wajib diajukan permohonan
isbat ke Pengadilan selambat-lambatnya 5 (lima) tahun setelah Undang-undang ini berlaku.
(2) Tindak pidana perkawinan sebagaimana diatur dalam Undang- Undang ini yang belum diajukan ke Pengadilan Negeri
maka perkaranya dilimpahkan ke Pengadilan Agama.
B A B XXIV
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 155 Pasal 153
Hukum Acara yang berlaku pada Pengadilan dalam memeriksa dan memutus perkara pidana yang dimaksud dalam Pasal 150
Undang-Undang ini adalah Hukum Acara Pidana yang berlaku pada Peng-adilan dalam lingkungan Peradilan Umum.
Pasal 156 Pasal 155
Undang-Undang ini mulai berlaku pada saat diundangkan.
Agar setiap orang dapat mengetahuinya, memerintahkan pengun-dangan Undang-Undang ini dalam Lembaran Negara
Republik Indo-nesia.

Disahkan di Jakarta
pada tanggal
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

DR. H. SUSILO BAMBANG YUDHOYONO

draft RUU Hukum Materiil Peradilan Agama


Bidang Perkawinan
Pelaksanaan
kawin...,Sendy Yudawan,FHUI,2011
file Yuli Muth, Juni 2009

23

PENJELASAN

I.

UMUM
Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945
menegaskan bahwa Indonesia
adalah negara hukum. Prinsip itu
menuntut
penyelenggaraan
kekuasaan kehakiman sebagai
bagian dari kekuasaan negara
harus diselenggarakan dengan
atau
berdasarkan
undangundang.
Dalam menyelesaikan sengketa
di bidang perkawinan, Mahkamah
Agung dan badan peradilan
agama menerapkan UndangUndang Nomor 1 Tahun 1974
tentang
Perkawinan
dan
peraturan
pelaksanaannya.
Mengingat hukum materiil di
bidang
perkawinan
belum
memadai, sedangkan sahnya
perkawinan menurut Pasal 2 ayat
(1) Undang-Undang Perkawinan
apabila dilakukan menurut hukum
agama masing-masing, maka
dalam memeriksa, memutus dan
menyelesaikan perkara di bidang
perkawinan,
para
hakim
berpedoman kepada Kompilasi
Hukum Islam yang tercantum
dalam
Lampiran
Instruksi
Presiden Nomor 1 Tahun 1991
yang memuat hukum materiil di
bidang perkawinan.
Untuk memenuhi kebutuhan para
hakim dalam memeriksa, memutus
dan
menyelesaikan
perkara dengan atau berdasarkan
Undang-undang, dan masyarakat
yang memerlukan kepastian hu-

ATAS
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR
TAHUN
TENTANG
HUKUM MATERIIL PERADILAN AGAMA
BIDANG PERKAWINAN
kum di bidang perkawinan, maka
materi Kompilasi Hukum Islam Buku
I tentang Hukum Perkawinan perlu
diatur dengan undang-undang,
sebagaimana halnya materi Buku III
tentang Hukum Perwakafan telah
ditampung dalam Undang-Undang
Nomor 41 Tahun 2004 tentang
Wakaf.
Dengan pertimbangan perlunya
Hukum Islam di bidang Perkawinan
dijadikan sebagai bagian dari
sistem hukum nasional serta
adanya
berbagai
perubahan
kehidupan masyarakat yang secara
langsung maupun tidak langsung
memengaruhi
pemahaman
mengenai
perkawinan,
maka
Undang-undang ini melengkapi beberapa ketentuan hukum materiil di
bidang perkawinan.
Beberapa materi pokok Undangundang ini adalah sebagai berikut:
a.

Sesuai dengan prinsip yang


dianut dalam Undang-undang
Nomor 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan, maka Undang-Undang ini mewajibkan pencatatan perkawinan di hadapan
Pejabat Pencatat Nikah untuk
menjamin
ketertiban
administrasi perkawinan dan
kepastian hukum bagi para
pihak yang melangsungkan
perkawinan guna membentuk
keluarga sakinah. Kewajiban
hukum pencatatan perkawinan
membebankan tugas dan
wewenang kepada Pejabat
Pencatat Nikah untuk mencatat
perkawinan
dan
mengadministra-sikannya

draft RUU Hukum Materiil Peradilan Agama


Bidang Perkawinan
Pelaksanaan
kawin...,Sendy Yudawan,FHUI,2011
file Yuli Muth, Juni 2009

dalam Akta Nikah dan


Buku Pencatatan Rujuk.
Selain itu pencatatan
perkawinan
merupakan
peristiwa penting dari
aspek
administrasi
kependudukan, sehingga
Akta Nikah merupakan akta
autentik dalam sistem
administrasi Akta Catatan
Sipil berdasarkan UndangUndang.
b. Perkawinan yang tidak
memenuhi rukun dan
syarat-syarat perkawinan
atau melanggar ketentuan
larangan
perkawinan,
dinyatakan batal atau
dapat
dibatalkan
berdasarkan gugatan yang
diajukan ke Pengadilan.
Ketentuan ini dimaksudkan
untuk mencegah terjadinya
perkawinan yang tidak
sesuai dengan hukum
agama dan tidak sejalan
dengan dasar negara
Pancasila dan UndangUndang Dasar 1945.
c. Perkawinan mensyaratkan
mempelai pria mencapai
umur 21 tahun dan
mempelai wanita 18 tahun.
Peningkatan
batas
minimum usia perkawinan
ini dengan pertimbangan
bahwa kondisi kehidupan
keluarga (rumah tangga)
sakinah
me-nuntut
kesiapan suami dan isteri
untuk melaksanakan tugas
dan tanggung jawab yang
24

makin berat antara lain


dalam
mengusahakan
nafkah dan penyediaan
tempat kediaman se-hingga
diperlukan
tingkat
kedewasaan yang umumnya
ditandai dengan kematangan
usia (maturity). Dengan
demikian perkawinan di
bawah umur yang merupakan penyimpangan terhadap ketentuan ini harus
dengan dispensasi Pengadilan.
d.

Mengingat
perkawinan
dilangsungkan berdasarkan
hukum
agama,
maka
larangan perkawinan antara
seorang
pria
dengan
seorang wanita yang tidak
beragama Islam dimaksudkan untuk menghindari
konflik yang terus menerus
dalam rumah tangga yang
dibangun
atas
dasar
perbedaan agama (interfaith
marriage).
Perbedaan
agama yang terjadi karena
salah satu pihak keluar dari
agama
Islam
(murtad)
menjadi
alasan
untuk
mengajukan perceraian ke
Pengadilan.

e. Mengingat
penegakan
hukum materiil di bidang
perkawinan termasuk kewenangan yang berada dalam
lingkungan peradilan agama,
maka perkara pidana yang
terjadi
sebagai
akibat
pelanggaran
UndangUndang ini harus diputus
oleh Pengadilan dalam
lingkungan peradilan agama
setelah perkara tersebut
dilimpahkan oleh Kejaksaan
Negeri setempat.

II. PENJELASAN PASAL DEMI PASAL


Pasal 1
Cukup jelas
Pasal 2
cukup jelas
Pasal 3
cukup jelas
Pasal 4
Kata wajib dalam pasal ini dimaksudkan sebagai kewajiban
administrasi.
Pasal 5
ayat (1)
cukup jelas
ayat (2)
Perkawinan yang tidak dilangsungkan di hadapan
Pejabat Pencatat Nikah berakibat suami atau isteri tidak mendapatkan akta nikah sebagai bukti autentik
sahnya perkawinan. Perkawinan yang tidak memiliki bukti autentik tersebut
menyebabkan suami atau
isteri tidak memperoleh
perlindungan hukum dalam
hal gugat menggugat di
Pengadilan seperti gugatan
perceraian, pembagian harta bersama, nafkah, waris
mewaris atau untuk kepentingan lainnya.
Pasal 6
Ayat (1)
Kepada
masing-masing
suami dan isteri diberikan
Kutipan Akta Nikah yang
dapat digunakan sebagai
alat bukti perkawinannya.
Pasal 7
Cukup jelas
Pasal 8
Cukup jelas
Pasal 9
Cukup jelas
Pasal 10
Ketentuan ini tidak menutup kemungkinan adanya tata cara
peminangan menurut adat dan
tata cara setempat sepanjang tidak
bertentangan
dengan
hukum Islam.
Pasal 11
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)

draft RUU Hukum Materiil Peradilan Agama


Bidang Perkawinan
Pelaksanaan
kawin...,Sendy Yudawan,FHUI,2011
file Yuli Muth, Juni 2009

Huruf a
Peminangan
terhadap
janda
yang ditinggal mati
sua-minya
tidak
boleh
menggunakan
kalimat yang jelas
(sha-rih)
mengandung
makna
pinangan
melainkan hanya
dengan
menggunakan
kalimat
sindiran/
kiasan (taridl).
Huruf b
Cukup jelas
Pasal 12
Ayat (1)
Ketentuan ini dimaksudkan bahwa antara
peminang dan yang
dipinang belum mempunyai ikatan sebagai
layaknya suami isteri,
sehingga
berlaku
ketentuan
larangan
khalwat.
Ayat (2)
Terdapat banyak ragam
tata cara peminangan
yang dipraktikkan oleh
masyarakat Indonesia
yang telah menjadi tradisi. UU ini hendak
memberi
batasan
bahwa
kebiasaan/
tradisi
yang
diperbolehkan adalah
yang tidak bertentangan dengan syariah.
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan
adalah
kerugian
kerugian yang bersifat
materiil.
Dalam
peminangan dapat saja
terjadi penawaran atau
pengajuan
syaratsyarat tertentu yang
telah dipenuhi oleh
salah satu pihak. Maka,
dalam hal pemutusan
hubungan
pinangan
menimbulkan kerugian
materiil,
ia
dapat
2

mengajukan gugatan ke
Pengadilan.
Pasal 13
Cukup jelas
Pasal 14
Cukup jelas
Pasal 15
Cukup jelas
Pasal 16
Cukup jelas
Pasal 17
Cukup jelas
Pasal 18
Cukup jelas
Pasal 19
Cukup jelas
Pasal 20
Cukup jelas
Pasal 21
Ayat (1)
Wali dikatakan adhal
apabila
ia
enggan
menikahkan
anak
perempuannya
yang
telah balig dengan lakilaki yang sekufu.
Pasal 22
Cukup jelas
Pasal 23
Cukup jelas
Pasal 24
Cukup jelas
Pasal 25
Cukup jelas
Pasal 26
Cukup jelas
Pasal 27
Cukup jelas
Pasal 28
Cukup jelas
Pasal 29
Cukup jelas
Pasal 30
Cukup jelas
Pasal 31
Cukup jelas
Pasal 32
Cukup jelas
Pasal 33
Cukup jelas
Pasal 34
Cukup jelas
Pasal 35
Cukup jelas
Pasal 36
Cukup jelas
Pasal 37

Cukup jelas
Pasal 38
Cukup jelas
Pasal 39
Yang
dimaksud
dengan
perkawinan
mutah
adalah
perkawinan yang dilangsungkan
untuk jangka waktu tertentu
(misalnya
sebulan
atau
setahun), dengan maksud untuk
mencari kese-nangan dan/atau
kepuasan seksual. Perkawinan
ini dilarang karena bertentangan
dengan
syariat dan tujuan
perkawinan
sebagaimana
dimaksud dalam pasal 2.
Pasal 40
Cukup jelas
Pasal 41
Cukup jelas
Pasal 42
Cukup jelas
Pasal 43
Cukup jelas
Pasal 44
Cukup jelas
Pasal 45
Cukup jelas
Pasal 46
Cukup jelas
Pasal 47
Ayat (1)
Ketentuan dalam pasal ini
tidak menghilangkan ketentuan hukum agama yang
mengatur tentang zina.
Kebolehan
menikahi
perempuan
hamil
berdasarkan dalil dalam
surah An Nur ayat 4,
kecuali dengan orangorang yang diharamkan
menikahi perempuan hamil
tersebut karena mahram,
serta orang yang berbeda
kewarganegaraan.
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Pasal 48
Yang dimaksud dengan laki-laki
lain dalam pasal ini adalah
selain pelaku pemerkosa.
Pasal 49
Dalam hal terdapat lebih dari
seorang laki-laki yang menzinai
seorang perempuan yang belum

draft RUU Hukum Materiil Peradilan Agama


Bidang Perkawinan
Pelaksanaan
kawin...,Sendy Yudawan,FHUI,2011
file Yuli Muth, Juni 2009

kawin sehingga mengakibatkan kehamilan perempuan


tersebut,
maka
dimungkinkan
terjadi
perselisihan mengenai siapa
yang harus diminta pertanggungjawabannya oleh pihak
perempuan.
Pasal 50
Cukup jelas
Pasal 51
Cukup jelas
Pasal 52
Cukup jelas
Pasal 53
Cukup jelas
Pasal 54
Cukup jelas
Pasal 55
Cukup jelas
Pasal 56
Cukup jelas
Pasal 57
Cukup jelas
Pasal 58
Cukup jelas
Pasal 59
Cukup jelas
Pasal 60
Cukup jelas
Pasal 61
Cukup jelas
Pasal 62
Cukup jelas
Pasal 63
Cukup jelas
Pasal 64
Cukup jelas
Pasal 65
Cukup jelas
Pasal 66
Cukup jelas
Pasal 67
Cukup jelas
Pasal 68

Cukup jelas
Pasal 69
Cukup jelas
Pasal 70
Cukup jelas
Pasal 71
Cukup jelas
Pasal 72
Cukup jelas
Pasal 73
Cukup jelas
Pasal 74
Cukup jelas
3

Pasal 75
Ayat (1)
Ketentuan
ini
dimaksudkan
bahwa
isteri menempati kedudukan terhormat dalam
keluarga sebagai ibu
rumah tangga yang
bertanggungjawab dalam
mengurus dan mengatur
rumah tangga serta
sebagai
pendamping
suami (roiyah fi bayti
zaujiha).
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Pasal 76
Cukup jelas
Pasal 77
Cukup jelas
Pasal 78
Cukup jelas
Pasal 79
Cukup jelas
Pasal 80
Cukup jelas
Pasal 81
Cukup jelas
Pasal 82
Cukup jelas
Pasal 83
Cukup jelas
Pasal 84
Cukup jelas
Pasal 85
Cukup jelas
Pasal 86
Cukup jelas
Pasal 87
Cukup jelas
Pasal 88
Cukup jelas
Pasal 89
Cukup jelas
Pasal 90
Cukup jelas
Pasal 91
Cukup jelas
Pasal 92
Cukup jelas
Pasal 93
Cukup jelas
Pasal 94
Cukup jelas
Pasal 95

Cukup jelas
Pasal 96
Cukup jelas
Pasal 97
Cukup jelas
Pasal 98
Cukup jelas
Pasal 99
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan
bukti lainnya adalah alat
bukti menurut hukum
acara.
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Pasal 100
Cukup jelas
Pasal 101
Cukup jelas
Pasal 102
Cukup jelas
Pasal 103
Cukup jelas
Pasal 104
Cukup jelas
Pasal 105
Cukup jelas
Pasal 106
Cukup jelas
Pasal 107
Cukup jelas
Pasal 108
Cukup jelas
Pasal 109
Cukup jelas
Pasal 110
Cukup jelas
Pasal 111
Cukup jelas
Pasal 112
Cukup jelas
Pasal 113
Cukup jelas
Pasal 114
Cukup jelas
Pasal 115
Cukup jelas
Pasal 116
Cukup jelas
Pasal 117
Cukup jelas
Pasal 118
Cukup jelas
Pasal 119

draft RUU Hukum Materiil Peradilan Agama


Bidang Perkawinan
Pelaksanaan
kawin...,Sendy Yudawan,FHUI,2011
file Yuli Muth, Juni 2009

Yang dimaksud dengan


pihak lain dalam pasal ini
seperti anak, wali nikah,
orang tua, saudara, dan
sebagainya.
Pasal 120
Cukup jelas
Pasal 121
Cukup jelas
Pasal 122
Cukup jelas
Pasal 123
Cukup jelas
Pasal 124
Cukup jelas
Pasal 125
Cukup jelas
Pasal 126
Cukup jelas
Pasal 127
Cukup jelas
Pasal 128
Cukup jelas
Pasal 129
Cukup jelas
Pasal 130
Cukup jelas
Pasal 131
Cukup jelas
Pasal 132
Cukup jelas
Pasal 133
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Yang dimaksud dengan
badan hukum, antara
lain yayasan atau
perkumpulan
yang
bertindak sebagai wali
tidak
pengampu yang
bertentangan dengan
syariah.
Pasal 134
Cukup jelas
Pasal 135
Cukup jelas
Pasal 136
Cukup jelas
Pasal 137
Cukup jelas
Pasal 138
Cukup jelas
4

Pasal 139
Cukup jelas
Pasal 140
Cukup jelas
Pasal 141
Cukup jelas
Pasal 142
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Ketentuan
mengenai
pembebanan
uang
jaminan terhadap calon
suami warga negara
asing
dimaksudkan
untuk melindungi hakhak isteri dan anak-anak,
apabila
suami
menelantarkan,
tidak
memberi
nafkah,
meninggalkan Indonesia
secara
diam-diam,
murtad, menceraikan dan
lain-lain yang merugikan
kepentingan isteri dan
anak-anak yang dilahirkan dari perkawinan
tersebut. Uang jaminan
tersebut menjadi hak
isteri
berdasarkan
penetapan Pengadilan
atas
permohonan
eksekusi isteri. Apabila
kehidupan perkawinan
berjalan secara wajar
dan baik selama 10
tahun
maka
uang
jaminan tersebut dapat
diminta oleh kedua belah
pihak sebagai harta
bersama.
Pasal 143
Cukup jelas
Pasal 144
Cukup jelas
Pasal 145
Cukup jelas
Pasal 146
Demi mewujudkan kemaslahatan umum (maslahat alammah) dan mencegah praktik talak di bawah tangan maka selain mengatur tata cara
penjatuhan talak oleh suami
terhadap isteri harus dilakukan
berdasarkan Undang-Undang

dan di depan sidang Pengadilan,


perlu ditetapkan pula sanksi pidana terhadap penyimpangan
tersebut yang diatur dan ditentukan oleh Undang-Undang ini
agar hak talak yang dimiliki
suami tidak digunakan secara
ceroboh dan semena-mena.
Pasal 147
Cukup jelas
Pasal 148
Cukup jelas
Pasal 149
Cukup jelas
Pasal 150
Cukup jelas
Pasal 151
Cukup jelas
Pasal 152
Cukup jelas
Pasal 153
Cukup jelas
Pasal 154
Cukup jelas
Pasal 155
Cukup jelas
Pasal 156
Cukup jelas

draft RUU Hukum Materiil Peradilan Agama


Bidang Perkawinan
Pelaksanaan
kawin...,Sendy Yudawan,FHUI,2011
file Yuli Muth, Juni 2009

Anda mungkin juga menyukai