0 penilaian0% menganggap dokumen ini bermanfaat (0 suara)
56 tayangan4 halaman
Teks tersebut membahas tentang proses enkulturasi agama di Indonesia, khususnya proses penyebaran agama Kristen di Jawa. Proses ini melibatkan sinkretisme atau perpaduan unsur-unsur budaya dan agama setempat dengan ajaran Kristen, seperti yang terlihat di Gereja Ganjuran di Yogyakarta yang menggabungkan unsur seni dan arsitektur Jawa dalam bangunan dan ritual gereja.
Teks tersebut membahas tentang proses enkulturasi agama di Indonesia, khususnya proses penyebaran agama Kristen di Jawa. Proses ini melibatkan sinkretisme atau perpaduan unsur-unsur budaya dan agama setempat dengan ajaran Kristen, seperti yang terlihat di Gereja Ganjuran di Yogyakarta yang menggabungkan unsur seni dan arsitektur Jawa dalam bangunan dan ritual gereja.
Teks tersebut membahas tentang proses enkulturasi agama di Indonesia, khususnya proses penyebaran agama Kristen di Jawa. Proses ini melibatkan sinkretisme atau perpaduan unsur-unsur budaya dan agama setempat dengan ajaran Kristen, seperti yang terlihat di Gereja Ganjuran di Yogyakarta yang menggabungkan unsur seni dan arsitektur Jawa dalam bangunan dan ritual gereja.
Enkulturasi adalah suatu proses pembentukan budaya dari dua bentuk kelompok budaya yang berbeda sampai munculnya pranata yang mantap. Dalam pembahasan kajian teologi, enkulturasi diartikan sebagai rancang bangun teologi lokal. Proses enkulturasi tidak hanya didukung oleh keseluruhan penyesuaian diri dalam kehidupan sosial, tetapi juga didukung oleh pengalaman-pengalaman sosial seperti bentuk ucapan atau bahasa, tingkah laku, lambang dan simbol-simbol, serta sisyem kepercayaan. Sebagai suatu proses enkulturasi dalam perkembangannya berjalan melalui tiga tahapan gerakan prosesual. Tahap pertama, proses enkulturasi di tandai oleh adanya pengenalan sosial, penyesuaian adat, serta terjadinya relasi atau hubungan dalam interaksi sosial budaya. Tahap kedua, proses enkulturasi ditandai dengan adanya koeksistensi dan pluriformitas terhadap lingkungan sekitar. Tahap ini enkulturasi kepribadian dasar sebagai objek legitimasi. Tahap tiga, sebagai tahap akhir, proses enkulturasi diformulasikan dalam bentuk sinkretisme kebudayaan, kesenian, agama. Kegagalan enkulturasi terjadi apabila dalam prosesnya berkembang dengan sistem pemaksaan, tidak luwes dan tidak beres, ataupun tidak lancar. Bentuk-bentuk pemaksaan dan ketidakluwesan serta ketidakbebasan akan berdampak munculnya unsur-unsur pemaksaan kepentingan tertentu. Unsur-unsur pemaksaan bila dilakukan secara terus menerus pada akhirnya muncul berbagai tindak kekerasan. Proses enkulturasi banyak ditentukan oleh sususan kebudayaan dan lingkungan sosial yang bersangkutan. Dalam kajian teologis, enkulturasi religi diartikan sebagai rancang bangun teologi lokal yang disebut inkulturasi. Proses penyebaran kepercayaan itu dilakukan dengan berbagai cara, seperti mendirikan sarana dan prasarana, memberikan bantuan sosial, melakukan Sinkretisme dan dengan kebudayaan setempat. Sinkretisme kebudayaan dan agama ini kemudian diimplementasikan dengan istlah
lokalisasi. Sinkretisme sebagai bentuk perpaduan dua unsur budaya dan
agama. Sinkretisme terbagi dalam tiga bentuk : 1.
Sinkretisme agama Kristen dengan agama kepercayaan lokal
2.
Sinkretisme percampuran unsur-unsur Kristen dengan unsurunsur bukan Kristen
3.
Sinkretisme sistem keagamaan yang bersifat selektif dalam
memasukkan unsur Kristen. Contoh masalah percampuran dua unsur budaya, khususnya seni dan agama, misalnya seperti yang terjadi di Ganjuran, Yogyakarta. Gereja Ganjuran digunakan sebagai contoh karena memunculkan bentuk-bentuk sinkretisme Katolik (barat) dan budaya Jawa. Tokoh yang bernama Dr. Joseph Schmutzer memegang peranan penting dalam usaha tersebut. Philip van Akheren misalnya, menyebutkan bahwa keberhasilan sinkretisme mengakibatkan Gereja Kristen di Jawa dijadikan ajang kebudayaan Jawa yang hendak mengadakan sosialisasi budaya dan agama. Gereja mempertahankan budaya lokal Jawa, antara lain gamelan untuk mengiringi upacara-upacara keagamaan, kidung-kidung Jawa, figurfigur raja Jawa dalam pewayangan dalam berbagai atributnya yang dipadukan dengan figur-figur keagamaan Kristiani sebagai penggambaran visual tokoh suci agama Nasrani. Realitas budaya dan agama yang berinkulturasi menurut Joseph Schmutzer yaitu melihat realitas budaya serta agama yang dilakukan oleh para penyebar agama sebelumnya. Penyebar agama Hindu dan Budha misalnya, dinilai oleh Schmutzer telah mampu melakukan pengkaderan agama serta mampu meninggalkan sisa keagungan kebudayaan yang diwujudkan dalam bentuk bangunan tempat suci dan candi-candi. Kuatnya pengaruh ajaran Hindu dan Budha yang diwariskan secara turun-temurun orang Jawa, membuktikan tingkat keberhasilan sosialisasi agama Hindu dan Budha. Sejalan dengan kepentingan misi agama Katolik, buku itu menguraikan dan memberi contoh bentuk-bentuk enkulturasi yang muncul di Desa Ganjuran, Yogyakarta.
Gereja Hati Kudus di Ganjuran Yogyakarta mulai dibangun pada 14 April
1924. Gereja bergaya arsitek Jawa ini (berdenah axial bouw) dibangun dalam satu kompleks dengan rumahsakit, asrama putri, dan sebuah bangunan berbentuk candi kecil tetapi dengan lambang-lambang agama Katolik (disebut Monumen Hati Kudus). Di dalam bangunan gereja ini terdapat kelengkapan gereja yang semuanya berhiaskan ragam Jawa. Para penguasa dan masyarakat Jawa malindungi dan mengembangkan tradisi kesenian yang sudah dikenalnya sejak kuno. Dengan perlindungan semacam itu, selain untuk melestarikan juga dapat memberikan inspirasi yang bersumber dari masa klasik, yang akhirnya menimbulkan seni Jawa Baru. Upaya-upaya mengkaji dan menggunakan unsur budaya lama tersebut dapat menimbulkan kehidupan baru pada seni Jawa yang lambat laun tumbuh menjadi modern, khususnya citra dalam gaya (stijlgvoel). Hal ini umum dilakukan untuk mendapatkan bentuk lama dalam penilaian baru agar didapatkan keharmonisan. Kasus-kasus semacam ini dapat dimanfaatkan untuk menampung idealisme penciptaan, khususnya dalam menggunakan peninggalan-peninggalan seni kuno sebagai acuan. Begitulah dasar pikiran J. Schmutzer untuk memanfaatkan anasir-anasir budaya Jawa lama dalam upaya mengembangkan agama Katolik. Di Gereja Katolik Ganjuran Yogyakarta, sinkritisme kebudayaan dimulai dengan dipakainya gamelan dan bidang kesenian lainnya dalam kegiatan ritual gereja berturut-turut disajikan berbagai bidang seni Jawa yang menurut Schmutzer dapta digunakan sebagai media menjelaskan ajaran Katholik dan diterapkan dalam enkulturasi, antara lain menggunakan ilham (inspirasi) dari wayang kulit purwa. Wayang kulit purwa digunakan dalam menjelaskan kontak Trinitas ajaran Katolik, yaitu wayang dapat berarti ayang-ayang atau bayang-bayang, yaitu bayangan nenek moyang, disini diartikan sebagai Trinitas. R.M. Poerwodiwiryo melukiskan keagungan Sang Tri-Mulyo Mahasuci yang dipinjamnya dari wayang purw. Masing-masing tokoh pewayangan tersebut duduk pada setangkai bunga lotus, yang pada seni Jawa Hindu
dipergunakan sebagai motif ragam untuk singgasana dan lapik (pijakan
kaki) atau tempat berdiri Sang Budha Gautama atau Dewa-dewa Hindu. Ketiga bunga lotus dihubungkan oleh untaian tali bunga, yang menyilang pada sebuah lingkaran dengan sinar mengelilinginya menggambarkan ketiga tokoh tersebut muncul dari lingkaran bersinar yang merupakan simbol Yang Mahasempurna. Tangan ketiga tokoh tersebut menyentuh lambang lingkaran yang bersinar. Sang Allah Putra pada tangannya memegang lingkaran kecil dengan simbol salib. Setelah ada lukisan Trinitas beberapa waktu berikutnya dibuatlah patung dari kayu jati yang mengambil ilham tokoh patung Diyani Budha Maetreya. Tokoh tertinggi agama Nasrani itu duduk dari kiri : Sang Allah Bapa, Sang Allah Putradan Sang Roh Suci, yang masing-masing menggunakan pakaian kebesaran raja-raja dalam pewayangan Jawa. Terdapat juga pemahatan patung yang terinspirasi dari relief Candi Borobudur yaitu pemahatan adegan Gusti Yesus Kepatrapan Ukum Pati (Kristus Dipidana Hukum Mati) dan Gusti Yesus Manggul Pamenthangan (Sang Kristus Memikul Kayu Salib). Pada adegan Kristus Dipidana Hukum Mati mengambil inspirasi relief Candi Borobudur yang menggambarkan sang Budha Gautama duduk bersila diatas Singgasana, yang digantikan oleh tokoh Pilatus. Kristus digambarkan mengenakan sari atau jubah, dua orang prajurit dipahat dengan bentuk gaya klasik. Sedangkan pada pahatan adegan Sang Kristus Memikul Kayu Salib, karya Peter M. Reksoatmodjo, mengingatkan pada ceruk (nis) relief Candi Borobusur yang melukiskan cerita Budha Carita. Ceruk (nis) berbentuk lengkung berhiskan ragam hias tumbuh-tumbuhan yang distilir darikalamakara.