Anda di halaman 1dari 4

.

Religi Dalam Kebudayaan Indis


Enkulturasi adalah suatu proses pembentukan budaya dari dua bentuk
kelompok budaya yang berbeda sampai munculnya pranata yang mantap.
Dalam pembahasan kajian teologi, enkulturasi diartikan sebagai rancang
bangun teologi lokal. Proses enkulturasi tidak hanya didukung oleh
keseluruhan penyesuaian diri dalam kehidupan sosial, tetapi juga didukung
oleh pengalaman-pengalaman sosial seperti bentuk ucapan atau bahasa,
tingkah laku, lambang dan simbol-simbol, serta sisyem kepercayaan.
Sebagai suatu proses enkulturasi dalam perkembangannya berjalan
melalui tiga tahapan gerakan prosesual. Tahap pertama, proses enkulturasi
di tandai oleh adanya pengenalan sosial, penyesuaian adat, serta
terjadinya relasi atau hubungan dalam interaksi sosial budaya. Tahap
kedua, proses enkulturasi ditandai dengan adanya koeksistensi dan
pluriformitas terhadap lingkungan sekitar. Tahap ini enkulturasi kepribadian
dasar sebagai objek legitimasi. Tahap tiga, sebagai tahap akhir, proses
enkulturasi diformulasikan dalam bentuk sinkretisme kebudayaan,
kesenian, agama.
Kegagalan enkulturasi terjadi apabila dalam prosesnya berkembang
dengan sistem pemaksaan, tidak luwes dan tidak beres, ataupun tidak
lancar. Bentuk-bentuk pemaksaan dan ketidakluwesan serta
ketidakbebasan akan berdampak munculnya unsur-unsur pemaksaan
kepentingan tertentu. Unsur-unsur pemaksaan bila dilakukan secara terus
menerus pada akhirnya muncul berbagai tindak kekerasan. Proses
enkulturasi banyak ditentukan oleh sususan kebudayaan dan lingkungan
sosial yang bersangkutan. Dalam kajian teologis, enkulturasi religi diartikan
sebagai rancang bangun teologi lokal yang disebut inkulturasi.
Proses penyebaran kepercayaan itu dilakukan dengan berbagai cara,
seperti mendirikan sarana dan prasarana, memberikan bantuan sosial,
melakukan Sinkretisme dan dengan kebudayaan setempat. Sinkretisme
kebudayaan dan agama ini kemudian diimplementasikan dengan istlah

lokalisasi. Sinkretisme sebagai bentuk perpaduan dua unsur budaya dan


agama. Sinkretisme terbagi dalam tiga bentuk :
1.

Sinkretisme agama Kristen dengan agama kepercayaan lokal

2.

Sinkretisme percampuran unsur-unsur Kristen dengan unsurunsur bukan Kristen

3.

Sinkretisme sistem keagamaan yang bersifat selektif dalam


memasukkan unsur Kristen.
Contoh masalah percampuran dua unsur budaya, khususnya seni dan
agama, misalnya seperti yang terjadi di Ganjuran, Yogyakarta. Gereja
Ganjuran digunakan sebagai contoh karena memunculkan bentuk-bentuk
sinkretisme Katolik (barat) dan budaya Jawa. Tokoh yang bernama Dr.
Joseph Schmutzer memegang peranan penting dalam usaha tersebut.
Philip van Akheren misalnya, menyebutkan bahwa keberhasilan
sinkretisme mengakibatkan Gereja Kristen di Jawa dijadikan ajang
kebudayaan Jawa yang hendak mengadakan sosialisasi budaya dan
agama. Gereja mempertahankan budaya lokal Jawa, antara lain gamelan
untuk mengiringi upacara-upacara keagamaan, kidung-kidung Jawa, figurfigur raja Jawa dalam pewayangan dalam berbagai atributnya yang
dipadukan dengan figur-figur keagamaan Kristiani sebagai penggambaran
visual tokoh suci agama Nasrani.
Realitas budaya dan agama yang berinkulturasi menurut Joseph
Schmutzer yaitu melihat realitas budaya serta agama yang dilakukan oleh
para penyebar agama sebelumnya. Penyebar agama Hindu dan Budha
misalnya, dinilai oleh Schmutzer telah mampu melakukan pengkaderan
agama serta mampu meninggalkan sisa keagungan kebudayaan yang
diwujudkan dalam bentuk bangunan tempat suci dan candi-candi. Kuatnya
pengaruh ajaran Hindu dan Budha yang diwariskan secara turun-temurun
orang Jawa, membuktikan tingkat keberhasilan sosialisasi agama Hindu
dan Budha. Sejalan dengan kepentingan misi agama Katolik, buku itu
menguraikan dan memberi contoh bentuk-bentuk enkulturasi yang muncul
di Desa Ganjuran, Yogyakarta.

Gereja Hati Kudus di Ganjuran Yogyakarta mulai dibangun pada 14 April


1924. Gereja bergaya arsitek Jawa ini (berdenah axial bouw) dibangun
dalam satu kompleks dengan rumahsakit, asrama putri, dan sebuah
bangunan berbentuk candi kecil tetapi dengan lambang-lambang agama
Katolik (disebut Monumen Hati Kudus). Di dalam bangunan gereja ini
terdapat kelengkapan gereja yang semuanya berhiaskan ragam Jawa.
Para penguasa dan masyarakat Jawa malindungi dan mengembangkan
tradisi kesenian yang sudah dikenalnya sejak kuno. Dengan perlindungan
semacam itu, selain untuk melestarikan juga dapat memberikan inspirasi
yang bersumber dari masa klasik, yang akhirnya menimbulkan seni Jawa
Baru. Upaya-upaya mengkaji dan menggunakan unsur budaya lama
tersebut dapat menimbulkan kehidupan baru pada seni Jawa yang lambat
laun tumbuh menjadi modern, khususnya citra dalam gaya (stijlgvoel). Hal
ini umum dilakukan untuk mendapatkan bentuk lama dalam penilaian baru
agar didapatkan keharmonisan. Kasus-kasus semacam ini dapat
dimanfaatkan untuk menampung idealisme penciptaan, khususnya dalam
menggunakan peninggalan-peninggalan seni kuno sebagai acuan.
Begitulah dasar pikiran J. Schmutzer untuk memanfaatkan anasir-anasir
budaya Jawa lama dalam upaya mengembangkan agama Katolik.
Di Gereja Katolik Ganjuran Yogyakarta, sinkritisme kebudayaan dimulai
dengan dipakainya gamelan dan bidang kesenian lainnya dalam kegiatan
ritual gereja berturut-turut disajikan berbagai bidang seni Jawa yang
menurut Schmutzer dapta digunakan sebagai media menjelaskan ajaran
Katholik dan diterapkan dalam enkulturasi, antara lain menggunakan ilham
(inspirasi) dari wayang kulit purwa.
Wayang kulit purwa digunakan dalam menjelaskan kontak Trinitas ajaran
Katolik, yaitu wayang dapat berarti ayang-ayang atau bayang-bayang, yaitu
bayangan nenek moyang, disini diartikan sebagai Trinitas. R.M.
Poerwodiwiryo melukiskan keagungan Sang Tri-Mulyo Mahasuci yang
dipinjamnya dari wayang purw. Masing-masing tokoh pewayangan tersebut
duduk pada setangkai bunga lotus, yang pada seni Jawa Hindu

dipergunakan sebagai motif ragam untuk singgasana dan lapik (pijakan


kaki) atau tempat berdiri Sang Budha Gautama atau Dewa-dewa Hindu.
Ketiga bunga lotus dihubungkan oleh untaian tali bunga, yang menyilang
pada sebuah lingkaran dengan sinar mengelilinginya menggambarkan
ketiga tokoh tersebut muncul dari lingkaran bersinar yang merupakan
simbol Yang Mahasempurna. Tangan ketiga tokoh tersebut menyentuh
lambang lingkaran yang bersinar. Sang Allah Putra pada tangannya
memegang lingkaran kecil dengan simbol salib.
Setelah ada lukisan Trinitas beberapa waktu berikutnya dibuatlah patung
dari kayu jati yang mengambil ilham tokoh patung Diyani Budha Maetreya.
Tokoh tertinggi agama Nasrani itu duduk dari kiri : Sang Allah Bapa, Sang
Allah Putradan Sang Roh Suci, yang masing-masing menggunakan
pakaian kebesaran raja-raja dalam pewayangan Jawa.
Terdapat juga pemahatan patung yang terinspirasi dari relief Candi
Borobudur yaitu pemahatan adegan Gusti Yesus Kepatrapan Ukum
Pati (Kristus Dipidana Hukum Mati) dan Gusti Yesus Manggul
Pamenthangan (Sang Kristus Memikul Kayu Salib). Pada adegan Kristus
Dipidana Hukum Mati mengambil inspirasi relief Candi Borobudur yang
menggambarkan sang Budha Gautama duduk bersila diatas Singgasana,
yang digantikan oleh tokoh Pilatus. Kristus digambarkan mengenakan sari
atau jubah, dua orang prajurit dipahat dengan bentuk gaya klasik.
Sedangkan pada pahatan adegan Sang Kristus Memikul Kayu Salib, karya
Peter M. Reksoatmodjo, mengingatkan pada ceruk (nis) relief Candi
Borobusur yang melukiskan cerita Budha Carita. Ceruk (nis) berbentuk
lengkung berhiskan ragam hias tumbuh-tumbuhan yang distilir
darikalamakara.

Anda mungkin juga menyukai