Anda di halaman 1dari 20

BAB I

LAPORAN PENDAHULUAN PRAKTIK KEPERAWATAN MEDIKAL


BEDAH
PENATALAKSANAAN KEPERAWATAN PADA Tn.A dengan
CKR (Cidera Kepala Ringan)
A. DEFINISI
Retensio urine adalah ketidakmampuan untuk melakukan urinasi
meskipun terdapat keinginan ataudorongan terhadap hal tersebut (Brunner &
Suddarth).
Retensi urine adalah suatu keadaan penumpukan urine di kandung kemih
dan tidak mempunyai kemampuan untuk mengosongkannya secara sempurna.
Retensio urine adalah kesulitan miksi karena kegagalan urine dari fesika
urinaria. (Kapita Selekta Kedokteran).
Retensio urine adalah tertahannya urine di dalam akndung kemih, dapat
terjadi secara akut maupun kronis (Depkes RI Pusdiknakes 1995).
Jadi retensi urin merupakan suatu keadaan ketidakmampuan untuk
berkemih atau tidak bisa mengosongkan kandung kemih secara sempurna
meskipun ada dorongan untuk berkemih, yang dapat terjadi secara akut
maupun kronis.
B. ETIOLOGI
a. Kelemahan detrusor.
cedera /gangguan pada sumsum tulang belakang, kerusakan serat saraf
(diabetes melitus), detrusor yang mengalami peregangan/dilatasi yang
berlebihan untuk waktu lama
b. Gangguan koordinasi detrusor-sfingter (dis-sinergi)
cedera /gangguan sumsum tulang belakang di daerah cauda equina.
c. Hambatan pada jalan keluar:
a) kelainan kelenjar prostat (BPH, Ca)
b) striktura uretra
c) batu uretra
d) kerusakan uretra (trauma)
e) gumpalan darah didalam lumen buli-buli (clot retention)

AAfsx
detrusor yang mengalami peregangan/dilatasi yang berlebihan untuk waktu
lama
- Gangguan koordinasi detrusor-sfingter (dis-sinergi)
cedera /gangguan sumsum tulang belakang di daerah cauda equina.
- Hambatan pada jalan keluar:
kelainan kelenjar prostat (BPH, Ca)
striktura uretra
batu uretra
kerusakan uretra (trauma)
gumpalan darah didalam lumen buli-buli (clot retention) dll.

C. PHATWAY

Cedera saraf

1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.

Olfaktori
Optikus
Okulomotor
Troklearis
Trigeminalis
Abdusens
Fasialis
Vestibulokokle
ar
9. Glosofaringeu
s
10.Vagus
11.Assesorius
spinal

Kerusakan
Bagian
otak
1.Lobus
frontalis
2. Lobus
paretalis
3. Lobus
temporali
s

E. PATOFISIOLOGI
Patofisiologis dari cedera kepala traumatic dibagi dalam
proses primer dan proses sekunder. Kerusakan yang terjadi
dianggap karena gaya fisika yang berkaitan dengan suatu trauma
yang relative baru terjadi dan bersifat irreversible untuk sebagian
besar daerah otak.
Proses Primer
Proses primer timbul langsung pada saat trauma terjadi.
Cedera primer biasanya fokal (perdarahan, konusi) dan difus
(jejas akson difus).Proses ini adalah kerusakan otak tahap awal
yang diakibatkan oleh benturan mekanik pada kepala, derajat
kerusakan tergantung pada kuat dan arah benturan, kondisi kepala
yang bergerak diam, percepatan dan perlambatan gerak kepala.
Proses primer menyebabkan fraktur tengkorak, perdarahan segera
intrakranial, robekan regangan serabu saraf dan kematian
langsung pada daerah yang terkena.
Proses Sekunder
Sekunder timbul beberapa waktu setelah trauma menyusul
kerusakan primer. Dapat dibagi menjadi penyebab sistemik dari
intrakranial. Dari berbagai gangguan sistemik, hipoksia dan
hipotensi merupakan gangguan yang paling berarti. Hipotensi
menurunnya tekanan perfusi otak sehingga mengakibatkan
terjadinya iskemi dan infark otak. Perluasan kerusakan jaringan
otak sekunder disebabkan berbagai faktor seperti kerusakan sawar
darah otak, gangguan aliran darah otak metabolisme otak,
gangguan hormonal, pengeluaran bahan-bahan neurotrasmiter dan
radikal bebas. Trauma saraf proses primer atau sekunder akan

menimbulkan gejala-gejala neurologis yang tergantung lokasi


kerusakan.
Penyebab trauma kepala atau cidera kepala karena adanya
trauma langsung dan tak langsung pada kepala. Trauma langsung
biasanya disebabkan oleh benturan, benda asing, serpihan tulang
yang mengenai jaringan lunak pada kepala misalnya; wajah.
Trauma pada saluran pernafasan bisa mengakibatkan fraktur
sehingga aliran udara menuju paru paru terganggu. Trauma pada
jaringan lunak juga dapat mengakibatkan rusaknya jaringan
kepala yang dapat menimbulkan luka terbuka. Keadaan tersebut
apabila tidak dilakukan perawatan luka dengan benar dapat
mengakibatkan risiko tinggi infeksi. jaringan disekitar luka yang
terbuka

biasanya

mengalami

tekanan

yang

menyebabkan

gangguan rasa nyaman pada klien.

Penyebab trauma yang berbeda, namun tidak memberikan


dampak yang berbeda pada dampak yang terjadi jika tidak efektif
dalam pemberian intervensi. Intervensi yang kurang efektif oleh
petugas kesehatan atau kurang cepatnya penanganan pasien dapat
menimbulkan komplikasi dari trauma . Salah satunya, kerusakan
pada otak berbeda dengan kerusakan pada organ- organ lain. Pada
otak, dimana dibatasi oleh tulang tengkorak yang keras, jika
terjadi memar atau perdarahan akan mempengaruhi jumlah cairan
yang berada dalam tulang tengkorak. Oleh karena tulang
tengkorak yang tidak dapat mengembang, sebagai akibatnya
perdarahan yang mengalir akan mendesak tulang tengkorak ke
dalam(ke jaringan otak). Jika hal ini terus dibiarkan maka jumlah
cairan dalam tulang tengkorak akan meningkat dan akan
menyebabkan peningkatan tekanan intra cranial.

Tahap selanjutnya setelah terjadi PTIK adalah terjadinya


gangguan pada aliran darah menuju otak. Peningkatan tekanan ini
akan menurunkan aliran darah ke otak sehingga jaringan otak
mengalami hipoksia dan terjadilah iskemia. Pada keadaan
hipoksia, otak akan melakukan metabolisme anaerob untuk
memenuhi kebutuhan energy sel nya. Metabolisme anaerob
menghasilkan asam laktat. Maka tubuh mengkompensasi keadaan
tersebut dengan nafas dangkal sehingga mengakibatkan pola
nafas tidak efektif.
Hipoksia jaringan yang diakibatkan menurunnya aliran
darah ke otak dapat mengakibatkan defisit neurologis berupa
babinski yang positif dan GCS kurang dari 15. Keadaan tersebut
menyebabkan seseorang mengalami gangguan kesadaran .Dalam
kondisi kesadaran yang kurang, maka beresiko pangkal lidah
akan terjatuh kebelakang sehingga menutupi aliran udara ke
dalam paru yang menyebabkan risiko gangguan jalan nafas. Bila
perdarahan hebat/luas dan mengenai batang otak akan terjadi
gangguan

pada

nervus

cranialis

sehingga

mengakibatkan

gangguan persepsi sensori .


Kerusakan Sel otak yang meningkat pada cidera kepala
dapat mengakibatkan kelainan metabolisme, disebabkan adanya
kerusakan di daerah hipotalamus. Kerusakan dibagian depan
hipotalamus akan terjadi hepertermi. Lesi di regio optika
berakibat timbulnya edema paru karena kontraksi sistem vena.
Retensi air, natrium dan klor yang terjadi pada hari pertama
setelah trauma tampaknya disebabkan oleh terlepasnya hormon
ADH dari daerah belakang hipotalamus yang berhubungan
dengan hipofisis. Setelah kurang lebih 5 hari natrium dan klor
akan dikeluarkan melalui urine dalam jumlah berlebihan sehingga
keseimbangannya menjadi negatif. Hiperglikemi dan glikosuria

yang timbul juga disebabkan keadaan perangsangan pusat-pusat


yang mempengaruhi metabolisme karbohidrat didalam batang
otak.
Kerusakan sel otak mengakibatkan rangsangan saraf
simpatis meningkat, tekanan vaskular, sistemik dan tekanan darah
juga meningkat. Hal tersebut merupakan kompensasi dari tubuh
karena adanya kerusakan sel otak. Kompensasi tersebut
mengakibatkan tekanan di pembuluh pulmonal menurun namun
tekanan hidrostatik meningkat. Sehingga akan menyebabkan
kebocoran cairan kapiler kemudian odema paru yang berdampak
pada pola nafas tidak efektif.
Dampak Kerusakan sel otak juga akan menyebabkan
seseorang menjadi stres secara fisik dan psikis yang akan
meningkatkan ketokelamin sekresi asam lambung. Keadaan
tersebut benimbulkan respon mual muntah, sehingga seseorang
yang cidera kepala nafsu makannya akan menurun.
Macam macam saraf kranial :
Saraf Kranialis
Olfaktorius
Optikus
Okulomotor

Jenis fungsi
Sensorik

Respons

Sensorik

bau
Ketajaman

Motorik

lapang pandang
Pergerakan mata, elevasi
kelopak

Troklearis
Trigeminalis

Fungsi
dan intepretasi
visual

mata,

dan

kontriksi

Motorik

pupil, bentuk lensa


Pergerakan mata kebawah,

Sensorik,

kedalam
Sensasi pada wajah, kulit

motorik

kepala,

kornea,

dan

membran mukosa oral serta

nasal, pergerakan rahang


Abdusens
Fasialis

Vestibulokoklear
Glossofaringeus

Motorik
Sensorik,

untuk mengunyah
Pergerakan mata ke lateral
Rasa pada 2/3 anterior lidah,

Motorik

pergerakan

wajah,

penutupan

mata,

Sensorik

pergerakan bibir saat bicara


Pendengaran
dan

Sensorik

keseimbangan
Rasa pada 1/3 posterior
lidah,

refleks

tersedak

faring, sensasi dari gendang


telinga dan saluran telinga.
Menelan dan otot otot
Sensorik

fonasi pada faring


Sensasi dan faring, visera,

Motorik

badan karotis, dan sinus

Assesorius

Motorik

karotis
Pergerakan otot trapezius

Hipoglossus

Motorik

dan sternokleidomastoideus
Pergerakan
lidah
saat

Vagus

bicara, artikulasi suara dan


menelan

F. MANIFESTASI KLINIS
Menurut Reissner (2009), gejala klinis trauma kepala seperti berikut :
Tanda tanda klinis untuk mendiagnosa adalah :
a. Battle sign (warna biru atau ekhimosis dibelakang telinga diatas
b.
c.
d.
e.

osmastoid)
Hemotipanum (perdarahan didaerah membran timpani telinga)
Periorbital ecchymosis (mata warna hitam tanpa trauma langsung)
Rhinorrhoe (Cairan serobrospinal keluar dari hidung)
Otorrhoe (cairan serobrospinal keluar dari telinga)

Trauma kepala ringan :


a. Pasien tertidur atau kesadaran yang menurun selama beberapa saat
b.
c.
d.
e.
f.

kemudian sembuh
Sakit kepala yang menetap atau berkepanjangan
Mual muntah
Gangguan tidur dan nafsu makan yang menurun
Perubahan kepribadian diri
Letargik

Trauma kepala Berat


a. Simptom atau tanda tanda cardinal yang menunjukan peningkatan di
otak menurun atau meningkat
b. Perubahan ukuran pupil (anisokoria)
c. Triad Cushing ( denyut jantung menurun, hipertensi, depresi pernafasan)

Tingkat keparahan trauma kepala dengan Skor Koma Glasgow (SKG)


SKG adalah nilai (skor) yang diberikan pada pasien trauma kapitis, gangguan
kesadaran dinilai secara kwantitif pada setiap tingkat kesadaran. Bagian yang

dinilai antara lain; proses membuka mata (Eye opening), Reaksi gerak motorik
ektremitas (Best motor response), Reaksi bicara (Best verbal response)
Eye Opening
Mata Terbuka dengan spontan
Mata membuka setelah diperintah
Mata membuka setelah diberi
rangsang nyeri
Tidak membuka mata
Best Motor Response
Menurut perintah
Menghindari nyeri
Fleksi (dekortikasi)
Ekstensi (decerebrasi)
Tidak ada gerakan
Best Verbal Response
Menjawab pertanyaan dengan benar
Salah menjawab pertanyaan
Mengeluarkan kata kata yang tidak

4
3
2
1
5
4
3
2
1
5
4
3

sesuai
Mengeluarkan suara yang tidak ada

artinya
Tidak ada jawaban

Berdasarkan Skala Koma Glasgow, berat ringan trauma kapitis dibagi atas :
1. Trauma kapitis Ringan, SKG 14 15
2. Trauma kapitis Sedang, SKG 9 13
3. Trauma kapitis Berat, SKG 3 8

D. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan penunjang yang

biasa

dilakukan

pada

trauma

kepala

menurutGrace, Piere A. 2006:


1. Rontgen tengkorak : AP, lateral dan posisi Towne
2. CT Scan / MRI : menunjukkan kontusio, hematoma, hidrosefalus, edema
serebral.
3. Pengkajian neurologis (Batticaca. FB. 2008)

4. GDA (Gas Darah Arteri) : mengetahui adanya masalah ventilasi atau


oksigenasi yang akan dapat meningkatkan TIK.
5. Angiografi Serebral : menunjukkan kelainan sirkulasi serebral seperti
pergeseran jaringan otak akibat edema, perdarahan dan trauma.
6. EEG : memperlihatkan keberadaan/ perkembangan gelombang.
7. Sinar X : mendeteksi adanya perubahan struktur tulang (faktur pergeseran
struktur dan garis tengah (karena perdarahan edema dan adanya frakmen
tulang).

E. PENGKAJIAN KEPERAWATAN
Pengkajian primer
Adapun data pengkajian primer menurut Rab, Tabrani. 2007 :
a. Airway
Ada tidaknya sumbatan jalan nafas
b. Breathing
Ada tidaknya dispnea, takipnea, bradipnea, sesak, kedalaman
c.

nafas.
Circulation
Ada tidaknya peningkatan tekanan darah, takikardi, bradikardi,

d.

sianosis, capilarrefil.
Disability
Ada tidaknya penurunan kesadaran, kehilangan sensasi dan
refleks, pupil anisokor dan nilai GCS. Menurut Arif Mansjoer. Et
all. 2000 penilaian GCS beerdasarkan pada tingkat keparahan

e.

cidera :
Exposure of extermitas
Ada tidaknya peningkatan suhu, ruangan yang cukup hangat.

Pengkajian sekunder
Data pengkajian secara umum tergantung pada tipe, lokasi dan
keparahan cedera dan mungkin diperlukan oleh cedera tambahan
pada organ-organ vital (Marilyn, E Doengoes. 2000)
1. Aktivitas/ Istirahat
Gejala : Merasa lemah, lelah, kaku, hilang keseimbangan.

Tanda

:
Perubahan kesehatan, letargi
Hemiparase, quadrepelgia
Ataksia cara berjalan tak tegap
Masalah dalam keseimbangan
Cedera (trauma) ortopedi
Kehilangan tonus otot, otot spastik

2. Sirkulasi
Gejala :
Perubahan darah atau normal (hipertensi)
Perubahan frekuensi jantung (bradikardia, takikardia
yang diselingi bradikardia disritmia).
3. Integritas Ego
Gejala : Perubahan tingkah laku atau kepribadian (tenang
Tanda

atau dramatis)
: Cemas, mudah tersinggung, delirium, agitasi,
bingung depresi dan impulsif.

4.

Eliminasi
Gejala
: Inkontenensia

kandung

kemih/

usus

atau

mengalami gngguan fungsi.


5. Makanan/ cairan
Gejala : Mual, muntah dan mengalami perubahan selera.
Tanda : Muntah (mungkin proyektil)
Gangguan menelan (batuk, air liur keluar,
disfagia).
6. Neurosensoris
Gejala : Kehilangan kesadaran sementara, amnesia seputar
kejadian, vertigo, sinkope, tinitus kehilangan
pendengaran, fingking, baal pada ekstremitas.
Tanda :
Perubahan kesadaran bisa sampai koma
Perubahan status mental
Perubahan pupil (respon terhadap cahaya, simetri)
Wajah tidak simetri
Genggaman lemah, tidak seimbang
Refleks tendon dalam tidak ada atau lemah
Apraksia, hemiparese, Quadreplegia
7. Nyeri/ Kenyamanan

Gejala

: Sakit kepala dengan intensitas dan lokasi yang

Tanda

berbeda biasanya koma.


: Wajah menyeringai, respon

menarik

pada

rangangan nyeri yang hebat, gelisah tidak bisa


beristirahat, merintih.

8. Pernapasan
Tanda :
Perubahan pola nafas (apnea yang diselingi oleh
hiperventilasi). Nafas berbunyi stridor, terdesak
Ronki, mengi positif
9. Keamanan
Gejala : Trauma baru/ trauma karena kecelakaan
Tanda : Fraktur/ dislokasi
Gangguan penglihatan
Gangguan kognitif
Gangguan rentang gerak, tonus otot hilang, kekutan secara
umum mengalami paralisis
Demam, gangguan dalam regulasi suhu tubuh
10. Interaksi Sosial
Tanda : Afasia motorik atau sensorik, bicara tanpa arti,
bicara berulang-ulang.

F. INTERVENSI KEPERAWATAN
1. Ketidakefektifan perfusi jaringan berhubungan dengan edema serebral,
hipoksia cerebral

Tujuan dan kriteria hasil


Setelah dilakukan tindakan
1.
keperawatan selama 3x24

dengan keadaan penurunan perfusi

jam diharapkan pasien

jaringan otak

dapat mempertahankan

2. 2. Pantau status

tingkat kesadaran dengan

neurologis secara teratur

kriteria hasil :

3. 3. Pantau tekanan darah

TTV stabil :

4. 4. Catat adanya bradikardi, takikardi atau

Te - TD : 120/80 mmHg,
-

Intervensi
1. Tentukan factor yang berhubungan

- HR: 60-100x/menit
-Tidak

ada

disritmia
5. 5. Pantau irama nafas, adanya dispnea

tanda
6. 6. Evaluasi keadaan pupil

peningkatan TIK.

7. 7. Kaji adanya peningkatan rigiditas,


remangan, meningkatnya kegelisahan,
peka rangsang, serangan kejang
8. 8. Tinggikan kepala pasien 15-45 derajat
sesuai indikasi
9. 9. Batasi pemberian cairan sesuai indikasi
10.Berikan oksigen tambahan sesuai indikasi
1111.Berikan obat sesuai indikasi

2. Pola napas tidak efektif berhubungan dengan kerusakan neurovaskuler (cedera


pada pusat pernapasan otak). Kerusakan persepsi atau kognitif. Obstruksi
trakeobronkhial.
Tujuan dan kriteria hasil
Mempertahankan pola
pernapasan efektif.
Kriteria evaluasi:
- Bebas sianosis
-GDA dalam batas normal

Intervensi
1. Pantau frekuensi, irama, kedalaman
pernapasan. Catat ketidakteraturan
pernapasan.
2. Pantau dan catat kompetensi reflek
gag/menelan dan kemampuan pasien
untuk melindungi jalan napas
sendiri. Pasang jalan napas sesuai

indikasi.
3. Angkat kepala tempat tidur sesuai
aturannya, posisi miirng sesuai
indikasi.
4. Ajarkan pasien untuk melakukan
napas dalam yang efektif bila pasien
sadar.
5. Lakukan penghisapan dengan ekstra
hati-hati, jangan lebih dari 10-15
detik. Catat karakter, warna dan
kekeruhan dari sekret.
6. Auskultasi suara napas, perhatikan
daerah hipoventilasi dan adanya
suara tambahan yang tidak normal
misal: ronkhi, wheezing, krekel.
7. Pantau analisa gas darah, tekanan
oksimetri
8. Lakukan rontgen thoraks ulang.
9. Berikan oksigenasi.
10. Lakukan fisioterapi dada jika ada
indikasi.

3. Ketidakefektifan bersihan jalan nafas berhubungan dengan obstruksi jalan


nafas, peningkatan jumlah sekret.
Tujuan dan kriteria hasil
Intervensi
Setelah dilakukan tindakan
1. 1. Auskultasi bunyi nafas. Catat adanya
keperawatan selama 3x24

bunyi nafas tambahan mis. Mengi, ronchi,

jam diharapkan pasien

krekels

dapat mempertahankan

2. 2. Pantau frekuensi pernafasan

jalan nafas paten dengan 3.

Catat adanya dispnea, gelisah, ansietas,

bunyi nafas bersih/jelas

distres pernafasan, penggunaan otot bantu

dengan kriteria hasil :

4. 4. Berikan posisi yang nyaman

- Tidak ada bunyi nafas

5. 5. Pertahankan polusi lingkungan minimum

tambahan

6. 6. Dorong atau bantu latihan nafas abdomen

- Tidak ada penumpukkn


sekret

atau bibir
7. 7. Observasi karakteristik batuk, mis

- Tidak ada sesak nafas

menetap, batuk pendek, basah bantu


tindakan untuk memperbaiki keefektifan
upaya batuk
8. Tingkatkan masukan cairan 3000 ml/hari
sesuai toleransi jantung
9.

Berikan obat sesuai indikasi

10 9. Berikan hudifiksi tambahan, mis,


nebulizar ultranik, humidifier aerosol
ruangan

4. Resiko tinggi terhadap infeksi berhubungan dengan jaringan trauma, kulit


rusak, prosedur invasif.

Tujuan dan Kriteria Hasil


Setelah dilakukan tindakan 3x24 jam
pertahankan hipotermi dalam rentang
normal dan bebas tanda-tanda infeksi.
Kriteria evaluasi:
- Suhu aksila 36,5 37,5oC
-Mencapai penyembuhan luka tepat
waktu.

Intervensi
1. Berikan perawatan aseptik
dan antiseptik, pertahankan
tehnik cuci tangan yang baik.
2. Observasi daerah kulit yang
mengalami kerusakan,
daerah yang terpasang alat
invasi, catat karakteristik
dari drainase dan adanya
inflamasi.
3. Pantau suhu tubuh secara
teratur, catat adanya demam,
menggigil, diaforesis dan

perubahan fungsi mental


(penurunan kesadaran).
4. Anjurkan untuk melakukan
napas dalam, latihan
pengeluaran sekret paru
secara terus menerus.
Observasi karakteristik
sputum.
5.

Berikan antibiotik sesuai


indikasi

5. Resiko tidak efektifnya jalan nafas dan tidak efektifnya pola nafas b/d gagal
nafas, adanya sekresi, gangguan fungsi pergerakandan meningkatnya tekanan
intrakranial

Tujuan dan Kriteria Hasil


Setelah dilakukan tindakan

1.

Intervensi
1. kaji airway, breathing, circulasi.

3x24 jam bersihan jalan nafas

kaji klien, apakah ada fraktur servikal

efektif dengan Kriteria hasil :

dan veterbra. Bila ada hindari

-Tidak ada sesak atau kesukaran

memposisikan kepala ekstensi dan hati-

bernafas,

hati dalam mengatur posisi bia ada cidera

-jalan nafas bersih

veterbra.

-Pernafasan dalam batas normal 1. pastikan jalan nafas tetap terbukan dan
-Jalan nafas paten

kaji adanya secret. Bila ada secret segera


lakukan pengisapan lendir.
3. Kaji penafasan kedalamannya,

usaha

dalam bernafas
4. Bila tidak ada frktur sevikal berikan
posisi kepala sedikit ekstensi dan
tinggikan 15-30 derajat
5. Pemberian oksigen sesuai program

Tujuan dan Intervensi


Setelah dilakukan tindakan 3x24

Intervensi
1. Evaluasi / pantau secara teratur perubahan

jam fungsi otak optimal , tingkat

orientasi, kemampuan berbicara, alam

kesadaran, dan fungsi persepsi

perasaan / efektif sensorik dan proses

dalam keadaan normal


Batasan karakteristik :

piker.

-Kesadaran CM
-Persepsi sensori tidak mengalami
gangguan

2. Kaji kesadaran (penilainan GCS).


3. Observasi prilaku klien.
4. Berikan keamanan terhadap klien. Catat
adanya penurunan persepsi pada catatan
dan letakkan pada tempat tidur klien.
5. Rujuk pada ahli fisioterapi, terapi okupasi,
terapi wicara, dan terapi kognitif.

6. Perubahan persepsi sensori berhubungan dengan resepsi sensori, tranmisi dan


atau integrasi (trauma atau defisit neurologis).

7. Nyeri akut berhubungan dengan agen cidera


Tujuan dan Kriteria Hasil
Setelah dilakukan tindakan keperawatan

Intervensi
1. Bantu pasien mengidentifikasi

selama 3x24 jam memperlihatkan

rasa

pengendalian nyeri dengan kriteria hasil:

Berikan

-Menunjukkan tingkat nyeri0-10 ( 0:

nyeri, seperti: penyebab nyeri,

tidak nyeri, 1-3: nyeri ringan, 4-6: nyeri

berapa

sedang, 7-9: nyeri berat terkontrol, 10:

antisipasi

nyeri berat tidak terkontrol)

nyeri.

-M emperlihatkan pengendalian nyeri


-Nyeri berkurang atau teratasi

nyeri
informasi
lama

2. Menejemen

tentang

berlangsung,

ketidaknyamanan
nyeri

dengan

teknik distraksi nafas dalam


3. Gunakan

pendekatan

yang

positif untuk mengoptimalkan


respons

klien

terhadap

analgesia (misalnya, Obat ini


akan mengurangi nyeri Anda)
Kolaborasi:
pemberian analgesia
8. Nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b.d. mual tan muntah serta masukan nutrien
yang tidak adekuat
Tujuan dan Kriteria Hasil
Setelah dilakukan tindakan keperawatan

Intervensi
1. Kaji nafsu makan, kemampuan

3x24 jam Pasien dapat meningkatkan

pasien dalam menghabiskan

asupan nutrisi dengan diit seimbang

makanan. R/ Menentukan jika

Kriteria hasil :
-Kenaikan BB secara bertahap.
-Input dan output seimbang

2.

terdapat masalah dengan segera


Yakinkan pasien bahwa nafsu
makan akan timbul lagi jika

mual dan muntah telah teratasi.


3. Pertahankan nutrisi melalui
intravena atau nutrisi
perparenteral sampai asupan
peroral memungkinkan. R/
Memberikan cairan yang
diperlukan, elektrolit, kalori dan
masukan protein.
4. Ajarkan pasien untuk makan
makanan yang lunak dan tidak
mengiritasi.

DAFTAR PUSTAKA
Pierce.A Grace, Neil R. Borley. 2006. At a Glance ILMU BEDAH, Ed 3.
Jakarta: Erlangga.
George Dewanto. 2009. Panduan Praktis Diagnosis & Tata Laksana
Penyakit Syaraf. Jakarta: EGC
Muttaqin, Arif. 2008. Buku Ajar Asuhan Keperawatan Klien dengan
Gangguan Persyarafan. Jakarta: Salemba Medika
Baughman, Diane C. 2000. Keperawatan Medikal Bedah : buku saku
untuk Brunner dan Suddarth. Jakarta: EGC
Elistam, Michael. 1998. Penuntun Keperarawatan Medis, Ed 5. Jakarta:
EGC

Anda mungkin juga menyukai