Disusun Oleh:
Afif Qomaruddin
NIM. SN171004
A. Konsep penyakit
1. Pengertian
Contusio serebral merupakan cedera kepala berat, dimana otak
mengalami memar, dengan kemungkinan adanya daerah hemoragi
(Smeltzer and Bare, 2015).
Kontusio serebri (cerebral contussion) adalah luka memar pada
otak. Memar yang disebabkan oleh trauma dapat membuat jaringan
menjadi rusak dan bengkak dan pembuluh darah dalam jaringan pecah,
menyebabkan darah mengalir ke dalam jaringan disebut hematoma (kamus
besar bahasa Indonesia)
Memar otak atau kontusio serebri (contusio cerebri, cerebral
contusion) adalah perdarahan di dalam jaringan otak yang tidak disertai
oleh robekan jaringan yang terlihat, meskipun sejumlah neuron mengalami
kerusakan atau terputus. Memar otak disebabkan oleh akselerasi kepala
tiba-tiba yang menimbulkan pergeseran otak dan kompresi yang merusak,
yang membuat pingsan sementara (kamus besar bahasa Indonesia).
Secara definisi Contusio Cerebri didefinisikan sebagai gangguan
fungsi otak akibat adanya kerusakan jaringan otak disertai perdarahan
yang secara makroskopis tidak mengganggu jaringan (Corwin, 2010).
Pada kontusio atau memar otak terjadi perdarahan-perdarahan di
dalam jaringan otak tanpa adanya robekan jaringan yang kasat mata,
meskipun neuron-neuron mengalami kerusakan atau terputus (Harsono,
2010)
2. Etiologi
Penyebab contusio cerebri atau memar otak adalah adanya
akselerasi kepala tiba-tiba yang menimbulkan pergeseran otak dan
kompresi yang merusak akibat dari kecelakaan, jatuh atau trauma akibat
persalinan.
Kontusio dapat pula terjadi akibat adanya gaya yang dikembangkan
oleh mekanisme-mekanisme yang beroperasi pada trauma kapitis,
sehingga terdapat vasoparalisis.
3. Manifestasi klinis
Timbulnya lesi kontusio di daerah-daerah dampak (“coup”)
“countrecoup” dan “intermediated”, menimbulkan gejala defisit
neurologik, yang bisa berupa refleks babinski yang positif dan
kelumpuhan. Pada pemeriksaan neurologik pada kontusio ringan mungkin
tidak dijumpai kelainan neurologik yang jelas kecuali kesadaran yang
menurun. Pada kontusio serebri dengan penurunan kesadaran berlangsung
berjam-jam pada pemeriksaan dapat atau tidak dijumpai defisit
neurologik. Pada kontusio serebri yang berlangsung lebih dari enam jam
penurunan kesadarannya biasanya selalu dijumpai defisit neurologis yang
jelas. Gejala-gejalanya bergantung pada lokasi dan luasnya daerah lesi.
Keadaan klinis yang berat terjadi pada perdarahan besar atau tersebar di
dalam jaringan otak, sering pula disertai perdarahan subaraknoid atau
kontusio pada batang otak. Edema otak yang menyertainya tidak jarang
berat dan dapat menyebabkan meningkatnya tekanan intrakranial.
Tekanan intrakranial yang meninggi menimbulkan gangguan
mikrosirkulasi otak dengan akibat menghebatnya edema. Dengan demikian
timbullah lingkaran setan yang akan berakhir dengan kematian bila tidak
dapat diputus.
Pada perdarahan dan edema di daerah diensefalon pernapasan
biasa atau bersifat Cheyne Stokes, pupil mengecil, reaksi cahaya baik.
Mungkin terjadi rigiditas dekortikasi yaitu kedua tungkai kaku dalam sikap
ekstensi dan kedua lengan kaku dalam sikap fleksi pada sendi siku.
Pada gangguan di daerah mesensefalon dan pons bagian atas,
kesadaran menurun hingga koma, pupil melebar, refleks cahaya tidak ada,
gerakan mata diskonjugat, tidak teratur, pernapasan hiperventilasi, motorik
menunjukkan rigiditas deserebrasi dengan keempat ekstremitas kaku
dalam sikap ekstensi.
Pada lesi pons bagian bawah bila nuklei vestibularis terganggu
bilateral, gerakan kompensasi bola mata pada gerakan kepala
menghilang. Pernapasan tidak teratur. Bila oblongata terganggu,
pernapasan melambat tak teratur, tersengal-sengal menjelang kematian
(Harsono, 2010).
Gejala lain yang sering muncul pada contusion serebri menurut
Smeltzer and Bare (2015) yaitu :
a. Pasien berada pada periode tidak sadarkan diri
b. Kehilangan gerakan
c. Denyut nadi lemah
d. Pernapasan dangkal
e. Kulit dingin dan pucat
f. Sering defekasi dan berkemih tanpa disadari
g. Pasien dapat diusahakan untuk bangun/sadar tetapi segera kembali
kedalam keadaan tidak sadarkan diri
h. Tekanan darah dan suhu abnormal
Umumnya, individu yang mengalami cedera luas mengalami fungsi
motorik abnormal, gerakan mata abnormal, dan peningkatan TIK
mempunyai prognosis buruk. Sebaliknya pasien mengalami pemulihan
kesadaran komplet dan mungkin melewati tahap peka rangsang serebral.
dalam tahap peka rangsang serebral, pasien sadar tetapi sebaliknya
mudah terganggu oleh suatu bentuk stimulasi, suara, cahaya, dan bunyi-
bunyian dan menjadi hiperaktif sewaktu. Berangsur-angsur denyut nadi,
pernapasan, suhu dan fungsi tubuh lain kembali normal. Walaupun
pemulihan sering terlihat lambat. sakt kepala dan sisa vertigo dan
gangguan fungsi mental atau kejang sering terjadi sebagai akibat
kerusakan serebral yang tidak dapat diperbaiki (Smeltzer and Bare, 2015).
Tekanan darah menjadi rendah dan nadi menjadi lambat, atau
menjadi cepat dan lemah. Juga karena pusat vegetatif ikut terlibat, maka
rasa mual, muntah dan gangguan pernapasan bisa terjadi.
Menurut Corwin (2010) manifestasi yang muncul pada pasien
dengan contusion cerebri adalah defisit neurologis jika mengenai daerah
motorik atau sensorik otak., secara klinis didapatkan penderita pernah atau
sedang tidak sadar selama lebih dari 15 menit atau didapatkan adanya
kelainan neurologis akibat kerusakan jaringan otak. Pada pemerikasaan CT
Scan didapatkan daerah hiperdens di jaringan otak.
4. Pathofisologi
Pada contusio cerebri (memar otak) terjadi perdarahan-perdarahan
di dalam jaringan otak tanpa adanya robekan jaringanyang kasat mata,
meskipun neuron-neuron mengalami kerusakan atau terputus. Yang
penting untuk terjadinya lesi contusio ialah adanya akselerasi kepala yang
seketika itu juga menimbulkan pergeseran otak serta pengembangan gaya
kompresi yang destruktif. Akselerasi yang kuat berarti pula hiperekstensi
kepala. Oleh karena itu, otak membentang batang otak terlalu kuat,
sehingga menimbulkan blockade reversible terhadap lintasan asendens
retikularis difus.
Akibat blockade itu, otak tidak mendapat input aferen dan karena
itu, kesadaran hilang selama blockade reversible berlangsung. Timbulnya
lesi contusio di daerah coup, contrecoup, dan intermediate menimbulkan
gejala deficit neurologik yang bisa berupa refleks babinsky yang positif
dan kelumpuhan. Setelah kesadaran pulih kembali, penderita biasanya
menunjukkan organic brain syndrome. Lesi akselerasi-deselerasi, gaya
tidak langsung bekerja pada kepala tetapi mengenai bagian tubuh yang
lain, tetapi kepala tetap ikut bergerak akibat adanya perbedaan densitas
tulang kepala dengan densitas yang tinggi dan jaringan otot yang densitas
yang lebih rendah, maka terjadi gaya tidak langsung maka tulang kepala
akan bergerak lebih dulu sedangkan jaringan otak dan isinya tetap
berhenti, pada dasar tengkorak terdapat tonjolan-tonjolan maka akan
terjadi gesekan antara jaringan otak dan tonjolan tulang kepala tersebut
akibatnya terjadi lesi intrakranial berupa hematom subdural, hematom
intra serebral, hematom intravertikal, kontra coup kontusio. Selain itu gaya
akselerasi dan deselarasi akan menyebabkan gaya tarik atau robekan yang
menyebabkan lesi diffuse berupa komosio serebri, diffuse axonal injuri.
Akibat gaya yang dikembangkan oleh mekanisme-mekanisme yang
beroperasi pada trauma kapitis tersebut di atas, autoregulasi pembuluh
darah cerebral terganggu, sehingga terjadi vasoparalitis. Tekanan darah
menjadi rendah dan nadi menjadi lambat, atau menjadi cepat dan lemah.
Juga karena pusat vegetatif terlibat, maka rasa mual, muntah dan gangguan
pernafasan bisa timbul (Corwin, 2010)
5. Pathway
Gangguan autoregulasi
Gangguan oksigenasi
Metabolisme anaerob
Oedem otak
Perubahan kemampuan Nyeri akut
untuk mencerna nutrien
Ketidakefektifan perfusi
jaringan serebral
Kelemahan otot
mengunyah, menelan,
mual,muntah
Ketidakseimbangan nutrisi
kurang dari kebutuhan
tubuh
(Corwin, 2010)
6. Pemeriksaan diagnostik
Pemeriksaan penunjang seperti CT-Scan berguna untuk melihat
letak lesi dan adanya kemungkinan komplikasi jangka pendek.
Pemeriksaan tambahan yang perlu dilakukan ialah foto rontgen polos, bila
perlu scan tomografik, EEG dan pungsi lumbal.
7. Penatalaksaan medik
Penatalaksaan umum
a) Observasi GCS dan tanda vital (TD, nadi, suhu, RR dann saturasi O2)
b) Head Up 30 °
c) Oksigen lembab 4-6 lpm
d) IVFD NaCl 0.9 % (30-40 cc/Kg BB/ Perhari
e) Antibiotik
f) Analgesik
g) Antagonis H2 reseptor
h) Manitol, antikonvulsan (K/P)
i) Pasang NGT dan Folley cateter
Terapi konservatif untuk penatalaksanaan peningkatan TIK :
a) Head Up 30°
b) Hiperventilasi ringan 15-30 menit
c) Manitol 20% dosis 0.2 – 2 gr/ Kg BB/kali pemberian tiap 4-6 jam
b. Secondary Survey
1) Riwayat Kesehatan Sekarang
Tanyakan kapan cedera terjadi. Bagaimana mekanismenya. Apa
penyebab nyeri/cedera: Apakah peluru kecepatan tinggi? Objek
yang membentur kepala ? Jatuh ? Darimana arah dan kekuatan
pukulan? posisi jatuh? adakah alergi terhadap obat?
2) Riwayat Penyakit Dahulu
Apakah klien pernah mengalami kecelakaan/cedera sebelumnya,
atau kejang/ tidak. Apakah ada penyakti sistemik seperti DM,
penyakit jantung dan pernapasan. Apakah pernah mengalami
gangguan sensorik atau gangguan neurologis sebelumnya. Jika
pernah kecelakaan bagimana penyembuhannya serta bagaimana
asupan nutrisi.
3) Riwayat Keluarga
Apakah ibu klien pernah mengalami preeklamsia/ eklamsia,
penyakit sistemis seperti DM, hipertensi, penyakti degeneratif
lainnya.
4) Pengkajian Head To Toe
a) Pemeriksaan kepala dan leher
Adanya pembengkakan pada kepala, perdarahan, teraba
lunak/keras, adanya benjolan, luka/lesi, nyeri tekan
b) Mata
Perubahan dalam penglihatan, seperti ketajamannya, diplopia,
kehilangan sebagian lapang pandang, foto fobia. Perubahan
pupil (respon terhadap cahaya, simetri), deviasi pada mata.
c) Hidung : Adanya napas cuping hidung
d) Mulut : Adanya secret (hipersekresi), Gangguan nervus
hipoglosus. Gangguan yang tampak lidah jatuh kesalah satu
sisi, disfagia, disatria, sehingga kesulitan menelan.
e) Telinga : Terjadi penurunan daya pendengaran, adanya
perdarahan pada telinga (othoroe)
f) Genetalia
Pada contusio cerebri sering terjadi gangguan berupa retensi,
inkontinensia urin dan ketidakmampuan menahan miksi.
g) Pencernaan
Terjadi penurunan fungsi pencernaan: bising usus lemah, mual,
muntah (mungkin proyektil), kembung dan mengalami
perubahan selera. Gangguan menelan (disfagia) dan
terganggunya proses eliminasi alvi. Hal ini menjadi dasar
dalam pemberian makanan. Terdapat ketidakseimbangan cairan
dan elektrolit, dimana terdapat hiponatremia atau hipokalemia.
h) Muskuloskeletal
Pasien cidera kepala sering datang dalam keadaan hemiparese
atau paraplegi. Pada kondisi yang lama dapat terjadi kontraktur
karena imobilisasi dan dapat pula terjadi spastisitas atau
ketidakseimbangan antara otot-otot antagonis yang terjadi
karena rusak atau putusnya hubungan antara pusat saraf di otak
dengan refleks pada spinal selain itu dapat pula terjadi
penurunan tonus otot juga terjadi rigiditas dekortikasi yaitu
kedua tungkai kaku dalam sikap ekstensi dan kedua lengan
kaku dalam sikap fleksi pada sendi siku.
i) Aspek Neurologis :
- Nervus kranialis dapat terganggu bila trauma kepala meluas
sampai batang otak karena edema otak atau pendarahan
otak. Kerusakan nervus I (Olfaktorius) : memperlihatkan
gejala penurunan daya penciuman dan anosmia bilateral.
- Nervus II (Optikus), pada trauma frontalis :
memperlihatkan gejala berupa penurunan gejala
penglihatan.
- Nervus III (Okulomotorius), Nervus IV (Trokhlearis) dan
Nervus VI (Abducens), kerusakannya akan menyebabkan
penurunan lapang pandang, refleks cahaya ,menurun,
perubahan ukuran pupil, bola mata tidak dapat mengikuti
perintah, anisokor.
- Nervus V (Trigeminus), gangguannya ditandai ; adanya
anestesi daerah dahi.
- Nervus VII (Fasialis), pada trauma kapitis yang mengenai
neuron motorik atas unilateral dapat menurunkan
fungsinya, tidak adanya lipatan nasolabial, melemahnya
penutupan kelopak mata dan hilangnya rasa pada 2/3
bagian lidah anterior lidah.
- Nervus VIII (Akustikus), pada pasien sadar gejalanya
berupa menurunnya daya pendengaran dan kesimbangan
tubuh.
- Nervus IX (Glosofaringeus), Nervus X (Vagus), dan
Nervus XI (Assesorius), gejala jarang ditemukan karena
penderita akan meninggal apabila trauma mengenai saraf
tersebut. Adanya Hiccuping (cekungan) karena kompresi
pada nervus vagus, yang menyebabkan kompresi
spasmodik dan diafragma. Hal ini terjadi karena kompresi
batang otak. Cekungan yang terjadi, biasanya yang berisiko
peningkatan tekanan intrakranial.
- Nervus XII (hipoglosus), gejala yang biasa timbul, adalah
jatuhnya lidah kesalah satu sisi, disfagia dan disartria. Hal
ini menyebabkan adanya kesulitan menelan.
c. Tertiery Survey
Pada pemerikasaan CT Scan didapatkan daerah hiperdens di jaringan
otak.
Intervensi
a) Manajemen asam basa
- Kaji frekuensi, kedalaman dan kemudahan pernapasan
- Pertahankan kepatenan jalan napas dan terapi IV
- Monitor status hemodinamik (Tanda vital dan saturasi O2
secara continue) dan tingkat kesadaran
- Monitor gambaran seri AGD dan elektroklit
- Observasi warna kulit, membran mukosa, kuku dan adanya
dispnea
- Auskultasi bunyi napas abnormal, suara napas tambahan dan
adanya sianosis perifer
- Catat adanya cianosis perifer
- Berikan posisi yang nyaman untuk memaksimalkan potensial
ventilasi
- Berikan posisi semi fowler atau posisi yang mengurangi
dispnea
- Jelaskan pada pasien dan keluarga tujuan dari tindakan dan
pengobatan serta alat bantu yang digunakan (missal ventilator,
oksigen, pengisapan)
b) Kolaborasi
- Berikan oksigen yang dilembabkan sesuai indikasi
- Berikan bronkodilator sesuai dengan keperluan
- Pasang ventilasi mekanik bila diperlukan
- Konsultasikan dengan dokter tentang kebutuhan akan
pemeriksaan gas darah srteri dan penggunaan alat bantu yang
dianjurkan sesuai dengan adanya perubahan kondisi pasien
- Laporkan perubahan sehubungan dengan pengkajian data
(misal bunyi napas, pola napas, analisa gas darah arteri,
sputum, efek dari pengobatan)
Daftar Pustaka
Mardjono M., Sidharta P., Neurologi Klinis Dasar, Dian Rakyat, Jakarta, 2000